Вы находитесь на странице: 1из 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Malpraktik Medis

Kesadaran hukum masyarakat makin meningkat baik di bidang kesehatan

maupun di bidang lain. Sering ditemukan dokter maupun rumah sakit yang dituntut

dalam perkara malpraktik. Kata “malpraktik” berasal dari Hukum Luar Negeri. Di

KUHP, KUHPerdata, UU RI No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan maupun UU RI

No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tidak ada kata malpraktik, yang ada

adalah kata kelalaian.

Sebetulnya malpraktik dapat berlaku untuk medic (medical malpractice) atau

profesi lain, tetapi khusus dalam hal ini akan dibahas mengenai medical malpractice.

Medical malpractice ada 2 macam yaitu Ethical Malpractice dan Yuridical

Malpractice. Setiap Yuridical Malpractice pasti merupakan ethical malpractice,

tetapi tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice. Yuridical

Malpractice dibagi menjadi 3 yaitu: Criminal Malpractice, Civil Malpractice dan

Administrative Malpractice.(1)

4
5

Yuridical
malpractice :
1. Criminal
2. Civil
3. Administrative

Ethical Malpratice

Gambar 1. pembagian medical palpractice(2)

2.2 Definisi Malpraktik

Di dalam kasus Valentin v. Society se Biefaisance de Los Angelos California,

1956 dirumuskan: Malpraktik adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat

untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam memberikan

pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazimnya

diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di lingkungan

wilayah yang sama.


6

1. Stedman’s Medical Dictionary

Malpraktik adalah salah cara mengobati suatu penyakit atau luka, karena

disebabkan sikap-tindak yang acuh, sembarangan atau berdasarkan motivasi

kriminal.

2. Coughlin’s Dictionary of Law

Malpraktik adalah “sikap-tidak professional yang salah dari seorang yang

berprofesi, seperti dokter, ahli hukum, akuntan, dokter gigi, dan dokter hewan.

Malpraktik bisa diakibatkan karena sikap-tindak yang bersifat tak pedulian,

kelalaian, atau kekurangan keterampilan serta kehati-hatian di dalam

pelaksanaan kewajiban profesionalnya; tindakan salah yang sengaja atau

praktik yang bersifat tidak etis.”

3. Blac’s Law Dictionary

Malpraktik adalah setiap sikap-tindakan yang salah, kekurangan keterampilan

dalam ukuran tingkat yang tidak wajar. Istilah ini umum dipergunakan

terhadap sikap-tindakan dari para dokter, pengacara, dan akuntan. Kegagalan

untuk memberikan pelayanan professional, melakukan pada ukuran tingkat

keterampilan, dan kepandaian yang wajar di dalam masyarakatnya oleh teman

sejawat. Rata-rata dari profesi itu, sehingga mengakibatkan luka, kehilangan

atau kerugian pada penerima pelayanan tersebut yang cenderung menaruh

kepercayaan terhadap mereka itu. Termasuk di dalamnya setiap sikap-tindak

professional yang salah, kekurangan keterampilan yang tidak wajar atau


7

kurang kehati-hatian, kewajiban hukum, praktik buruk, atau illegal/ sikap

immoral.

4. The Oxford Illustrated Dictionary, 2 nd ed., 1975

Malpraktik = sikap-tindak yang salah; (hukum) pemberian pelayanan terhadap

pasien yang tidak benar oleh profesi medis; tindakan yang illegal untuk

memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi keercayaan.

Pengertian malpraktik medis menurut World Medical Association (WMA)

(1992) adalah: “medical malpractice involves the physician’s failure to conform to

the standar of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or

negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to

the patient.” Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa malpraktik dapat

terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional), seperti pada misconduct tertentu,

tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurangan-mahiran/ ketidak-

kompetenan yang tidak beralasan.

Menurut W.L. Prosser dalam buku The Law of Torts yang dikutip oleh Dagi,

T.F dalam tulisannya yang berjudul Cause and Culpability di Journal of Medicine

and Philosophy Vol. 1, No. 4, 1976, unsur malpraktik adalah:

1) Adanya perjanjian dokter-pasien

2) Adanya pengingkaran perjanjian


8

3) Adanya hubungan sebab akibat antara tindakan pengingkaran itu dengan

musibah yang terjadi

4) Tindakan pengingkaran itu merupakan penyebab musibah yang terjadi

5) Musibah itu dapat dibuktikan keberadaannya

Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan malpraktik

adalah:

a. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang

tenaga kesehatan

b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan

kewajiban (negligence)

c. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan

perundang-undangan

Menurut Hubert W. Smith tindakan malpraktik meliputi 4D, yaitu:

a) Duty to use due care (kewajiban).

Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk mengobati. Hal ini

berarti harus ada hubungan hukum antara pasien dan dokter/ rumah sakit.

Dengan adanya hubungan hukum, maka implikasinya adalah bahwa sikap-

tindak dokter (atau tenaga medis lainnya) di rumah sakit tersebut harus

sesuai dengan standar pelayanan medis agar pasien jangan sampai

menderita cedera karenanya.


9

b) Dereliction (breach of duty/ adanya penyimpangan dalam pelaksanaan

tugas).

Apabila sudah ada kewajiban, maka dokter (atau tenaga medis lainnya) di

rumah sakit tersebut harus bertindak sesuai standar profesi yang berlaku.

Jika terdapat penyimpangan dari standar tersebut, maka ia dapat

dipersalahkan.

c) Damage (injury/ kerugian).

Unsur ketiga untuk penuntutan malpraktik medis adalah cedera atau

kerugian yang diakibatkan kepada pasien. Walaupun seorang dokter atau

rumah sakit dituduh telah berlaku lalai, tetapi jika tidak sampai

menimbulkan luka/ cedera/ kerugian (damage, injury, harm) kepada

pasien, maka ia tidak dapat dituntut ganti-kerugian. Istilah injury tidak

saja dalam bentuk fisik, namun kadangkala juga termasuk dalam arti

gangguan mental yang hebat

d) Direct Causation (Proximate Cause/ penyebab langsung)

Untuk berhasilnya suatu gugatan ganti-rugi berdasarkan malpraktik

medilk, maka harus ada hubungan kausal yang wajar antara sikap tindak

tergugat (dokter) dengan kerugian (damage) yang diderita oleh pasien

sebagai akibatnya, tindakan dokter itu harus merupakan penyebab

langsung.
10

Meskipun demikian, pada kenyataan tidak semua sengketa medik yang

memenuhi unsure 4-D berakhir dengan proses peradilan. Hal ini terjadi akibat adanya

unsur kelima kelalaian, yaitu willing plaintiff (keinginan menggugat).

Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus

merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi. Kelalaian dapat

terjadi dalam 3 bentuk, yaitu:

(1) Malfeasance, melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/

layak (unlaw atau improper). Misalnya melakukan tindakan medis tanpa

indikasi yang memadai.

(2) Misfeasance, melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi

dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance). Misalnya

melakukan tindakan medis yang menyalahi prosedur.

(3) Nonfeasance, tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban

baginya.

Tingkat-tingkat kelalaian oleh hukum hanya dibedakan 2 ukuran tingkat:

1. Yang bersifat ringan, biasa (culpa levis), yaitu apabila seseorang tidak

melakukan apa yang seorang biasa, wajar, dan berhati-hati akan

melakukan, atau justru melakukan apa yang orang wajar tidak akan

melakukan di dalam situasi yang meliputi keadaan tersebut.


11

2. Yang bersifat kasar, berat (culpa lata), yaitu apabila seseorang dengan

sadar dan dengan sengaja tidak melakukan atau melakukan sesuatu yang

tidak sepatutnya dilakukan.

Menurut Prof. Leenen suatu tindakan medic harus memenuhi syarat:

a. Harus ada indikasi medic

b. Dilakukan berdasarkan standar

c. Dilakukan dengan teliti

d. Harus ada informed consent

Setiap tindakan medis mengandung risiko buruk, sehingga harus

dilakukan tindakan pencegahan ataupun tindakan guna mereduksi risiko

tersebut. Risiko yang dapat diterima adalah sebagai berikut:

a) Risiko yang derajat propabilitas dan keparahannya cukup kecil, dapat

diantisipasi, diperhitungkan atau dapat dikendalikan, misalnya efek

samping obat, perdarahan atau infeksi pada pembedahan, dan lain-lain.

b) Risiko yang derajat propabilitas dan keparahannya besar pada waktu

tertentu, yaitu apabila tindakan medis yang berisiko tersebut harus

dilakukan karena merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh

terutama dalam keadaan gawat darurat.


12

2.3 Jenis Malpraktik

Jika diukur menurut berat-ringannya maka malpraktik yang dilakukan oleh

profesi kedokteran dapat dibedakan menjadi malpraktik etika, malpraktik disiplin dan

malpraktik hukum.

Table 2.1. Perbedaan antara malpraktik etika, disiplin dan hukum

BIDANG SIFAT TUJUAN SANKSI


Etika Intern(self imposed Memelihara harkat Teguran, skorsing,
regulatiom) martabat profesi pemecatan sebagai
dan menjaga mutu anggota
Disiplin Hukum public (ada Melindungi Teguran, skorsing,
unsur pemerintah masyarakat pencabutan izin
dan awam (termasuk anggota
profesi)
Hukum Berlaku umum Menjaga tata tertib Hukum perdata =
(bersifat memaksa) masyarakat luas ganti rugi
Hukum pidana =
sanksi badan dan/
atau pencabutan
izin
Sumber : Guwanji D. Hukum Medik ( medical law), 2005(2)

2.4 Pencegahan Malpraktik Medis

Praktik kedokteran bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan oleh siapa saja,

melainkan hanya boleh dilakukan oleh kelompok professional kedokteran tertentu

yang berkompetensi dan mendapatkan izin dari institusi yang berwenang dan bekerja
13

sesuai dengan standard dan profesionalisme yang ditetapkan oleh organisasi

profesinya.

Untuk memastikan bahwa para dokter yang berpraktik adalah benar telah

memiliki kompetensi dan kewenangan medis dan yang sesuai dengan standar medis

dan etika profesi. Maka perlu adanya UU Praktik Kedokteran. UU Praktik

Kedokteran dimaksudkan untuk mecapai akuntabilitas profesi dan layanan

kedokteran.

Prof. Dr. dr. Daldiyono mengatakan bahwa seharusnya yang diperlukan

dokter yang bijak. Dalam filsafat kedokteran, dokter bijak diharapkan memiliki

kriteria:

a. Pendidikan kedokteran berkelanjutan

b. Praktik kedokteran bermutu dan beretika (manusiawi) (good clinical practice)

c. Sistem dan cara pelayanan kesehatan bermutu serta beretika (good clinical

governance)

Apabila seorang dokter telah terbukti dan dinyatakan telah melakukan

tindakan malpraktik maka dia kan dikenai sanksi hukum sesuai dengan UU No. 23

1992 tentang Kesehatan. Dan UU Praktik Kedokteran dalam BAB X Ketentuan

Pidana Pasal 75 ayat (1) yang berbunyi “Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan

sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
14

paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak 100.000.000.00,- (seratus juta

rupiah).” Sehubungan dengan hasil keputusan Mahkamah Konstitusi pasal tersebut

telah mengalami revisi, di mana salah satu keputusan dari Mahkamah Konstitusi

adalah ketentuan ancaman pidana penjara kurungan badan yang tercantum dalam

pasal 75, 76, 79, huruf a dan c dihapuskan. Namun mengenai sanksi pidana denda

tetap diberlakukan.

Di Negara kita IDI telah mempunyai Majelis Kehormatan Etik Kedokteran

(MKEK), baik di tingkat pusat maupun di tingkat cabang. Walaupun demikian,

MKEK ini belum lagi dimanfaatkan dengan baik oleh para dokter maupun

masyarakat.

Masih banyak kasus yang keburu diajukan ke pengadilan sebelum ditangani

oleh MKEK. Oleh karena itu fungsi MKEK ini belum memuaskan, maka pada 1982

Departemen Kesehatan membentuk Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etik

Kedokteran (P3EK) yang terdapat pula di pusat dan di tingkat propinsi.

Tugas P3EK ialah menangani kasus-kasus malpraktik etik yang tidak dapat

ditanggulangi oleh MKEK, dan memberi pertimbangan serta usul-usul kepada pejabat

berwenang. Jadi instasi pertama yang akan menangani kasus-kasus malpraktik etik

ialah MKEK cabang atau wilayah. Masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh

MKEK dirujuk ke P3EK Propinsi dan jika P3EK Propinsi tidak mampu

menanganinya maka kasus tersebut diteruskan ke P3EK Pusat.


15

Demikian juga kasus-kasus malpraktik etik yang dilaporkan kepada propinsi,

diharapkan dapat diteruskan lebih dahulu ke MKEK Cabang atau Wilayah. Dengan

demikian diharapkan bahwa semua kasus pelanggaran etik dapat diselesaikan secara

tuntas.

Tentulah jika sesuatu pelanggaran merupakan malpraktik hukum pidana atau

perdatan, maka kasusnya diteruskan kepada pengadilan. Dalam hal ini perlu dicegah

bahwa karena kurangnya pengetahuan pihak penegak hukum tentang ilmu dan

tekonologi kedokteran menyebabkan dokter yang ditindak menerima hukuman yang

dianggap tidak adil.

Skema proses investigasi kasus malpraktek(4)

2.4 Permasalahan Medikolegal

Permasalahan medikolegal merupakan permasalahannya yang sangat

kompleks, serta dibutuhkan kejelian dan ilmu yang mumpuni agar dapat
16

membedakan perbuatan satu dengan perbuatan lainnya. Perbuatan-perbuatan yang

dimaksud adalah tindakan medis, kelalaian medis, dan resiko medis.(5)

2.4.1 Tindakan Medis

Tindakan medis merupakan salah satu permasalahan di dalam kajian

medikolegal. Sederhananya, tindakan medis ini merupakan tindakan yang dilakukan

oleh dokter (secara profesional) terhadap pasien yang membutuhkan jasanya, baik itu

dalam hal memulihkan kesehatannya (recovery) maupun juga menghilangkan

penyakit yang si pasien derita. Pendapat lain disebutkan bahwa tindakan medis adalah

tindakan profesional oleh dokter terhadap pasien dengan tujuan memelihara,

meningkatkan, memulihkan kesehatan, atau menghilangkan atau mengurangi

penderitaan.(6) Meski memang harus dilakukan, tetapi tindakan medis tersebut ada

kalanya atau sering dirasa tidak menyenangkan. Tindakan medis adalah suatu

tindakan yang seharusnya hanya boleh dilakukan oleh para tenaga medis, karena

tindakan itu ditujukan terutama bagi para pasien yang mengalami gangguan

kesehatan. Suatu tindakan medik adalah keputusan etik karena dilakukan oleh

manusia terhadap manusia lain, yang umumnya memerlukan pertolongan dan

keputusan tersebut berdasarkan pertimbangan atas beberapa alternatif yang ada.

Keputusan etik harus memenuhi tiga syarat, yaitu bahwa keputusan tersebut harus

benar sesuai ketentuan yang berlaku, juga harus baik tujuan dan akibatnya, dan

keputusan tersebut harus tepat sesuai dengan konteks serta situasi dan kondisi saat

itu, sehingga dapat di pertanggungjawabkan. Sedangkan menurut Budi Sampurno,


17

dalam melakukan tindakan medik yang merupakan suatu keputusan etik, seorang

dokter harus :(7)

1. Mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, profesi, dan

pasien.

2. Mempertimbangkan etika, prinsip-prinsip moral, dan keputusan-keputusan

khusus pada kasus klinis yang dihadapi.

Tindakan medik yang merupakan suatu keputusan etik yang dilakukan dokter

sebagaimana disebutkan di atas juga menjadi pedoman bagi seorang dokter dalam

menjalankan profesinya, sehingga jika kedua hal tersebut di atas dijalankan dengan

sungguh-sungguh, dilandasi dengan integritas tinggi dan penuh rasa tanggung jawab,

maka seorang dokter tersebut baru dikatakan sebagai seorang dokter yang

profesional. Secara material, menurut Danny Wiradharma, suatu tindakan medik

tidak bertentangan dengan hukum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Mempunyai indikasi medik, untuk mencapai suatu tujuan yang kongkret.

2. Dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku dalam ilmu kedokteran

3. Sudah mendapat persetujuan dan pasien.

Syarat a dan b juga disebut sebagai bertindak secara lege artis. Secara yuridis

sering dipermasalahkan apakah suatu tindakan medik dapat dimasukkan dalam

pengertian penganiayaan. Akan tetapi dengan dipenuhinya ketiga syarat tersebut di

atas maka kemudian menjadi jelas. Sebenarnya kualifikasi yuridis mengenai tindakan

medik tidak hanya mempunyai arti bagi hukum pidana saja, melainkan juga bagi
18

hukum perdata dan hukum administratif.(8) Selain itu juga memiliki arti bagi disiplin

profesi dan etika profesi yang tidak kalah penting dengan kualifikasi yuridis.

2.4.2 Kelalaian Medis

Kelalaian medis juga merupakan salah satu permasalahan di dalam kajian

medikolegal. Karena kelalaian ini merupakan tindakan yang tidak professional

seorang dokter, dimana ketidak profesionalannya dapat diukur dari :

1) Tidak dipertimbangkannya nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, profesi,

dan pasien dalam menjalankan profesinya.

2) Tidak dipertimbangkannya etika, prinsip-prinsip moral, dan keputusan-keputusan

khusus pada kasus klinis yang dihadapi dalam menjalankan profesinya.

Treub, seorang pakar hukum pidana dari Belanda, menyebutkan bahwa yang

penting adalah ketelitian dan kehati-hatian yang wajar yang dapat diharapkan dari

seorang dokter. Bukan ukuran dari seorang dokter yang terpandai atau yang paling

hati-hati, tetapi ukuran dari seorang dokter rata-rata pada umumnya. Treub

mengatakan bahwa: "Baru dapat dikatakan ada culpa apabila ia tidak tahu, tidak

memeriksa, melakukan atau tidak melakukan yang dokter-dokter lain yang baik

bahkan pada umumnya dan di dalam keadaan yang sama, akan mengetahui,

memeriksa, melakukan, atau tidak melakukan".(9) Untuk berhasilnya suatu tuntutan

berdasarkan kelalaian, menurut J. Guwandi, harus dipenuhi empat unsur yang dikenal

dengan nama 4-D.(10)


19

Sebagaimana penjelasan di atas, maka kelalaian medis ini bisa dilihat dari dua

aspek, pertama ketika seorang dokter tersebut melakukan tindakan medis, namun

tindakannya tersebut tidak sesuai dengan tindakan yang semestinya dilakukan oleh

dokter pada umumnya atas dasar pengetahuan (aktif/ melakukan tindakan), kedua

ketika seorang dokter tersebut tidak melakukan tindakan medis, namun tidak

melakukan tindakan medis tersebut tidak sesuai dengan seharusnya dilakukan oleh

dokter pada umumnya atas dasar pengetahuan (pasif/ tidak melakukan tindakan).

2.4.3 Resiko Medis

Resiko medis juga merupakan salah satu permasalahan di dalam kajian

medikolegal. Resiko dalam setiap pekerjaan pasti ada, resiko tersebut ada yang

tingkatannya besar, sedang, bahkan adapula tingkatan resiko pekerjaan yang rendah.

Bukan hanya pekerjaan, profesipun demikian, sehingga resiko sekecil apapun mesti

diperhitungkan oleh seseorang yang menjalankan profesinya dalam bidang apapun,

karena ada resiko yang juga tidak dapat dihindari dalam pelaksanaannya, namun

meminimalisir resiko adalah satu-satunya jalan terbaik guna terhindarnya masalah

besar yang mungkin saja akan terjadi dikemudian hari. Setiap manfaat yang kita

dapatkan selalu ada risiko yang harus dihadapi. Satu-satunya jalan menghindari

resiko adalah dengan tidak berbuat sama sekali. Kalimat di atas merupakan salah satu

ungkapan yang perlu kita renungkan, bahwa di dalam kehidupan, manusia tidak akan

pernah lepas dari ketidaksengajaan atau kesalahan yang tidak dikehendaki di dalam

menjalankan profesi atau pekerjaannya. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya
20

resiko yang tidak diharapkan, seorang profesional harus selalu berpikir cermat dan

bertindak hati-hati agar dapat mengantisipasi resiko yang mungkin terjadi.

Menurut Herkutanto dengan mengutip World Medical Association Statement

on Medical Malpractice, yang diadaptasi dari 44"' World Medical Assembly Marbela-

Spain, September 1992, yang menyebutkan bahwa resiko medis atau yang lazim

disebut sebagai untoward result adalah suatu kejadian luka/resiko yang terjadi sebagai

akibat dari tindakan medik yang oleh suatu hal yang tidak dapat diperkirakan

sebelumnya dan bukan akibat dari ketidakmampuan atau ketidaktahuan, untuk hal ini

secara hukum dokter tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.(7)

Setiap tindakan medik selalu mengandung resiko, sekecil apapun tindakannya

tetap saja dapat menimbulkan resiko yang besar, sehingga pasien menderita

kerugian/celaka. Dalam hal terjadi resiko, baik yang dapat diprediksi maupun yang

tidak dapat diprediksi, maka dokter tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban.

Dalam ilmu hukum terdapat adagium volontie non fit injura atau asumpsion of risk.

Maksud adagium tersebut adalah apabila seseorang menempatkan dirinya ke dalam

suatu bahaya (resiko) yang sudah ia ketahui, maka ia tidak dapat menuntut

pertanggungjawaban pada orang lain apabila resiko itu benar-benar terjadi. Tidak

dapat menuntut pertanggungjawaban kepada seseorang karena resiko terjadi bukan

karena kesalahan (schuld) baik sengaja maupun kelalaian. Apabila resiko muncul

pada saat pelayanan medis, maka pasien tidak dapat menuntut pertanggungjawaban

pidana pada seorang tenaga medik.(7)


21

Disini terlihat bahwa satu-satunya persoalan medicolegal yang tidak dapat

dimintai pertanggungjawaban secara hukum adalah persoalan resiko medis, hal ini

memang sangat tepat oleh karena setiap tindakan medis pasti memiliki resiko, namun

yang menjadi poin pentingnya adalah apakah resiko tersebut telah ia perkirakan

sebelumnya atau tidak, selanjutnya apakah resiko tersebut dijelaskan kepada pasien

dan keluarganya atau tidak. Hal terakhir ini menjadi penting karena pasien dan

keluarganya pasti menginginkan tindakan medis yang terbaik bagi diri dan

keluarganya, namun tidak semua pasien atau keluarga pasien memiliki latar belakang

medis yang dapat mengetahui atau mendeteksi potensi resiko yang akan terjadi akibat

tindakan medis yang dilakukan oleh seorang dokter, sehingga perlu dijelaskan

sebelumnya agar pasien dan keluarganya sama-sama paham terhadap resiko yang bisa

saja terjadi akibat tindakan seorang dokter tersebut, dengan catatan bahwa resiko

tersebut bukan akibat dari ketidakmampuan atau ketidaktahuan seorang dokter akibat

tindakan medis yang dilakukannya.

2.5 Perbedaan Mendasar antara Malpraktik Medis, Tindakan Medis, Kelalaian

Medis, dan Resiko Medis

Terminologi malpraktik medik (malpractice medic) dan kelalaian medik

(negligence) merupakan dua hal yang berbeda. Kelalaian medik memang termasuk

malpraktik medik, akan tetapi di dalam malpraktik medik tidak hanya terdapat unsur

kelalaian, dapat juga karena adanya kesengajaan. Jika dilihat dari definisi di atas

jelaslah bahwa malpractice mempunyai pengertian yang lebih luas daripada


22

negligence karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup

tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus, opzettelijk) dan

melanggar undang-undang. Di dalam arti kesengajaan tersirat ada motif (mens rea,

guilty mind), sedangkan arti negligence lebih berintikan ketidak-sengajaan (culpa),

kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono, tak peduli terhadap

kepentingan orang lain, namun akibat yang timbul memang bukanlah menjadi

tujuannya. Harus diakui bahwa kasus malpraktik murni yang berintikan kesengajaan

(criminal malpractice) dan yang sampai terungkap ke pengadilan memang tidak

banyak. Demikian pula di luar negeri yang tuntutannya pada umumnya bersifat

perdata atau pengganti kerugian. Namun perbedaannya tetap ada. Oleh karena itu,

mal praktik dalam arti luas dapat dibedakan dari tindakan yang dilakukan :(7)

1. Dengan sengaja (dolus, vorsatz, willens en wetens handelen, intentional) yang

dilarang oleh peraturan perundang-undangan atau malpraktik dalam arti

sempit, misalnya dengan sengaja melakukan abortus tanpa indikasi medik,

melakukan eutanasia, memberi surat keterangan medik yang isinya tidak benar,

dan sebagainya.

2. Tidak dengan sengaja (negligence, culpa) atau karena kelalaian, misalnya

menelantarkan pengobatan pasien karena lupa atau sembarangan sehingga

penyakit pasien bertambah berat dan kemudian meninggal.

Perbedaan yang lebih jelas kalau kita melihat motif yang dilakukan, yaitu : (7)

1. Pada malpraktik (dalam arti ada kesengajaan): tindakannya dilakukan secara

sadar, dan tujuan dari tindakannya memang sudah terarah kepada akibat yang
23

hendak ditimbulkan atau tidak peduli terhadap akibatnya, walaupun ia

mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa tindakannya itu bertentangan

dengan hukum yang berlaku.

2. Pada kelalaian: tidak ada motif ataupun tujuan untuk menimbulkan akibat yang

terjadi. Akibat yang timbul disebabkan karena adanya kelalaian yang

sebenarnya terjadi di luar kehendaknya.

Mengacu pada rumusan-rumusan yang dikemukakan di atas dapat ditarik

kesimpulan mengenai malpraktik medik, yaitu bahwa yang dimaksud malpraktik

medik adalah kesalahan baik sengaja maupun tidak dengan disengaja (lalai) dalam

menjalankan profesi medik yang tidak sesuai dengan Standar Profesi Medik (SPM)

dan Standar Prosedur Operasional (SPO) dan berakibat buruk/fatal dan atau

mengakibatkan kerugian lainnya pada pasien, yang mengharuskan dokter

bertanggung jawab secara administratif dan atau secara perdata dan atau secara

pidana. Dalam penjelasan Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran disebutkan bahwa standar profesi medik adalah batasan kemampuan

minimal yang harus dikuasai seorang dokter untuk dapat melakukan kegiatan

profesionalnya pada masyarakat secara mandiri, yang disusun oleh Ikatan Dokter

Indonesia. Sedangkan standar prosedur operasional adalah suatu perangkat instruktif

tentang langkahlangkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin

tertentu. Standar prosedur operasional disusun oleh institusi tempat dokter bekerja

(rumah sakit, puskesmas, dan lain-lain).(85) Sedangkan kelalaian medis ini bisa dilihat

dari dua aspek, pertama ketika seorang dokter tersebut melakukan tindakan medis,
24

namun tindakannya tersebut tidak sesuai dengan tindakan yang semestinya dilakukan

oleh dokter pada umumnya atas dasar pengetahuan (aktif/melakukan tindakan), kedua

ketika seorang dokter tersebut tidak melakukan tindakan medis, namun tidak

melakukan tindakan medis tersebut tidak sesuai dengan seharusnya dilakukan oleh

dokter pada umumnya atas dasar pengetahuan (pasif/tidak melakukan tindakan). Baru

dapat dikatakan ada culpa apabila ia tidak tahu, tidak memeriksa, melakukan atau

tidak melakukan yang dokter-dokter lain yang baik bahkan pada umumnya dan di

dalam keadaan yang sama, akan mengetahui, memeriksa, melakukan, atau tidak

melakukan. Serta setiap tindakan medis pasti memiliki resiko, namun yang menjadi

poin pentingnya adalah apakah resiko tersebut telah ia perkirakan sebelumnya atau

tidak, selanjutnya apakah resiko tersebut dijelaskan kepada pasien dan keluarganya

atau tidak. Hal sangat penting karena pasien dan keluarganya pasti menginginkan

tindakan medis yang terbaik bagi diri dan keluarganya, namun tidak semua pasien

atau keluarga pasien memiliki latar belakang medis yang dapat mengetahui atau

mendeteksi potensi resiko yang akan terjadi akibat tindakan medis yang dilakukan

oleh seorang dokter, sehingga perlu dijelaskan sebelumnya agar pasien dan

keluarganya sama-sama paham terhadap resiko yang bisa saja terjadi akibat tindakan

seorang dokter tersebut, dengan catatan bahwa resiko tersebut bukan akibat dari

ketidakmampuan atau ketidaktahuan seorang dokter akibat tindakan medis yang

dilakukannya. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan 5 (lima) poin penting sebagai

berikut :
25

1. Tindakan medis dapat berujung kepada malpraktik medis dan/atau

mengakibatkan resiko medis.

2. Kelalaian medis merupakan bagian dari malpraktik medis.

3. Malpraktik medis meliputi kesengajaan ataupun kelalaian medis (berdasarkan

teori kesalahan sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya)

4. Malpraktik medis (secara umum) dan kelalaian medis (secara khusus) yang

berasal dari tindakan medis dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum.

5. Resiko medis tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.

Contoh Kasus

Kasus Pertama : Dugaan malpraktik yang dialami oleh Prita Mulyasari

Berikut ini akan dipaparkan kronologi singkat kasus yang menimpa Prita

Mulyasari ketika berobat ke Rumah Sakit (RS) Omni International.74

7 Agustus 2008, Pukul 20:30 Prita Mulyasari datang ke RS Omni

Internasional dengan keluhan panas tinggi dan pusing kepala. Hasil pemeriksaan

laboratorium: Thrombosit 27.000 (normal 200.000), suhu badan 39 derajat. Malam

itu langsung dirawat inap, diinfus dan diberi suntikan dengan diagnosa positif demam

berdarah.

8 Agustus 2008 Ada revisi hasil lab semalam, thrombosit bukan 27.000 tapi

181.000. Mulai mendapat banyak suntikan obat, tangan kiri tetap diinfus. Tangan kiri

mulai membangkak, Prita minta dihentikan infus dan suntikan. Suhu badan naik lagi

ke 39 derajat.
26

9 Agustus 2008 Kembali mendapatkan suntikan obat. Dokter menjelaskan dia

terkena virus udara. Infus dipindahkan ke tangan kanan dan suntikan obat tetap

dilakukan. Malamnya Prita terserang sesak nafas selama 15 menit dan diberi oksigen.

Karena tangan kanan juga bengkak, dia memaksa agar infus diberhentikan dan

menolak disuntik lagi.

10 Agustus 2008 Terjadi dialog antara keluarga Prita dengan dokter. Dokter

menyalahkan bagian lab terkait revisi thrombosit. Prita mengalami pembengkakan

pada leher kiri dan mata kiri. 11 Agustus 2008 Terjadi pembengkakan pada leher

kanan, panas kembali 39 derajat. Prita memutuskan untuk keluar dari rumah sakit dan

mendapatkan data-data medis yang menurutnya tidak sesuai fakta. Prita meminta

hasil lab yang berisi thrombosit 27.000, tapi yang didapat hanya informasi thrombosit

181.000. Pasalnya, dengan adanya hasil lab thrombosit 27.000 itulah dia akhirnya

dirawat inap. Pihak OMNI berdalih hal tersebut tidak diperkenankan karena hasilnya

memang tidak valid. Di rumah sakit yang baru, Prita dimasukkan ke dalam ruang

isolasi karena dia terserang virus yang menular.

Kasus Kedua : Dugaan malpraktik yang dialami oleh Muhammad Raihan75

Kasus dugaan malpraktik yang dilakukan Rumah Sakit Medika Permata Hijau

(RSMPH) Jakarta terhadap bocah berusia 12 tahun bernama Muhammad Raihan

belum juga usai. Bahkan, kabar terakhir menyebutkan kalau kondisi Raihan masih

lumpuh total dan tak ada perubahan yang cukup membahagiakan. "Masih berjuang.
27

Sebab, Raihan masih mengalami kelumpuhan total seperti sebelumnya", kata

Yunus/ayah Raihan (Rabu, 18 Februari 2015).

Yunus menceritakan kalau Raihan belum bisa melakukan apa pun hingga hari

ini, hanya terbaring lemah di atas ranjang di bawah pengasuhan sang Bunda, Oti

Puspa Dewi. "Bahkan Raihan hanya terbaring tanpa respons dan menunggu

mukjizat," kata Yunus menambahkan. Raihan, lanjut Yunus, saat ini menjalani

perawatan di rumah. Kontrol ke medis dan pengobatan alternatif masih terus

dilakukan Yunus dan Oti demi kesembuhan bocah kelahiran Jambi, 30 Juni 2002.

"Namun terkadang tetap menjalani rawat inap dan ke UGD. Sebab, kadang kala ada

masalah yang kondisi darurat yang terjadi pada Raihan". kata Yunus.

Berikut kronologis yang terjadi pada Muhammad Raihan saat operasi usus

buntu pada hari Sabtu, 22 September 2012, versi ayahnya, Muhammad Yunus, dalam

surat elektronik yang diterima oleh liputan6.com :

Pukul 04.00 WIB Raihan dibawa oleh Ibundanya, Oti Puspa Dewi, ke Rumah

Sakit Medika Permata Hijau (MPH) Jakarta dengan maksud untuk mendapatkan

pengobatan atas sakit yang diderita Raihan. Penanganan awal ditangani oleh bagian

IGD Rumah Sakit Medika Permata Hijau (MPH) Jakarta. Setelah pihak IGD

melakukan tindakan, selanjutnya Raihan dimasukkan di ruang rawat inap anak di

lantai 5 Rumah Sakit Medika Permata Hijau (MPH) Jakarta.

Sekitar Pukul 10.00 WIB Dokter spesialis Anak melakukan kunjungan pada

Raihan dan melakukan diagnosa awal dan menduga Raihan mengalami sakit usus

buntu.
28

Sekitar Pukul 13.00 WIB Ibunda Raihan melakukan konsultasi ke dokter

Bedah Umum dan mendapat penjelasan bahwa penyakit yang diderita oleh Raihan

adalah usus buntu dan disampaikan secara mendesak agar segera dilakukan tindakan

operasi.

Pukul 13.30 WIB - Terjadi pembicaraan via telepon antara ayahanda Raihan,

Muhammad Yunus (yang sedang berada di Kalimantan Selatan) dengan dokter bedah

umum Rumah Sakit Medika Permata Hijau (MPH) Jakarta yang telah menyarankan

untuk segera dilakukan operasi pada Raihan. Muhammad Yunus pun menanyakan

mengapa anaknya harus segera dioperasi. Dijelaskan oleh dokter bedah umum bahwa

Raihan mengalami usus buntu akut yang secepatnya untuk segera dioperasi, jika tidak

dioperasi dikhawatirkan akan terjadi infeksi.

- Dalam pembicaraan via telepon antara Yunus dengan dokter bedah umum

tersebut, Yunus memohon kepada dokter tersebut untuk dilakukan semacam second

opinion atas dugaan usus buntunya Raihan. Dan sekalian meminta dirawatinapkan

terlebih dahulu guna dilakukan observasi lebih lanjut atas dugaan dokter tersebut.

Namun, dokter bedah umum tersebut tetap menyatakan Raihan menderita usus buntu

akut dan harus sesegera mungkin diambil langkah operasi sore hari itu juga.

- Muhammad Yunus menanyakan apa efek yang akan terjadi jika dilakukan

operasi dan jika tidak dilakukan operasi secepat itu seperti permintaan dokter bedah

tersebut. Dokter tersebut menjawab, bahwa operasi yang akan dilakukan Raihan

adalah operasi kecil dan biasa dilakukan oleh dokter tersebut. Lalu 2 atau 3 hari

setelah operasi dokter meyakinkan bahwa Raihan sudah bisa pulang. Namun jika
29

tidak segera dioperasi, dikhawatirkan akan terjadi infeksi atau pecah dan

kemungkinan bisa menjadi operasi besar.

- Bukan hanya Yunus yang meminta untuk tidak dilakukan operasi tersebut,

istrinya Oti Puspa Dewi juga melakukan hal yang sama. Oti meminta untuk dilakukan

pemeriksaan berupa dilakukannya USG untuk melihat kebenaran dugaan tersebut,

namun tidak dilakukan oleh dokter tersebut dan menyatakan tidak perlu. Karena

menurut pengalamannya, hal ini umum terjadi dan sudah 99 persen usus buntu akut.

- Penolakan awal untuk tidak segera dilakukan operasi tersebut mengingat

kondisi psikologis Raihan, terlebih saat itu ayahnya sedang tidak berada di

sampingnya. Dan orangtua Raihan merasa bahwa hal ini tidak separah dugaan dokter

tersebut sambil menunggu kepulangan ayahnya dari Kalimantan.

Sekitar Pukul 16.00 s/d selesai Akhirnya setelah menerima keyakinan dokter

tersebut dan harapan terbaik untuk Raihan, operasi pada Raihan dilakukan dengan

dokter yang terlibat dalam operasi itu adalah dokter bedah umum dan dokter anastesi.

Sekitar Pukul 18.00 Tiba-tiba ibunda Raihan, Oti Puspa Desi, dipanggil ke

dalam ruang operasi untuk melihat Raihan yang sudah dalam keadaan kritis dan

terkulai tidak sadarkan diri tanpa adanya pertolongan yang maksimal. Pihak keluarga

pun akhirnya menyangsikan kelengkapan peralatan di ruangan operasi tersebut.

Sampai saat ini M. Yunus masih menunggu itikad baik dari pihak Rumah Sakit

Medika Permata Hijau (MPH) Jakarta terkait dugaan malpraktik yang menimpa

Muhammad Raihan.
30

BAB III

KESIMPULAN

Kesadaran hukum masyarakat makin meningkat baik di bidang kesehatan

maupun di bidang lain. Sering ditemukan dokter maupun rumah sakit yang dituntut

dalam perkara malpraktik. Kata “malpraktik” berasal dari Hukum Luar Negeri. Di

KUHP, KUHPerdata, UU RI No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan maupun UU RI

No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tidak ada kata malpraktik, yang ada

adalah kata kelalaian.

Tindakan Malpraktik meliputi beberapa unsur (1) duty atau kewajiban tenaga

medis untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan suatu tindakan

tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang sama, (2) dereliction of

the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut, (3) damage atau kerugian yaitu

segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari pelayanan

kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan, (4) direct causation

Untuk berhasilnya suatu gugatan ganti-rugi berdasarkan malpraktik medilk, maka

harus ada hubungan kausal yang wajar antara sikap tindak tergugat (dokter) dengan

kerugian (damage) yang diderita oleh pasien sebagai akibatnya, tindakan dokter itu

harus merupakan penyebab langsung.

Praktik kedokteran bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan oleh siapa saja,

melainkan hanya boleh dilakukan oleh kelompok professional kedokteran tertentu


31

yang berkompetensi dan mendapatkan izin dari institusi yang berwenang dan bekerja

sesuai dengan standard dan profesionalisme yang ditetapkan oleh organisasi

profesinya.

Dalam filsafat kedokteran, dokter bijak diharapkan memiliki kriteria: (a)

Pendidikan kedokteran berkelanjutan, (b) Praktik kedokteran bermutu dan beretika

(manusiawi) (good clinical practice), (c) Sistem dan cara pelayanan kesehatan

bermutu serta beretika (good clinical governance)

Apabila seorang dokter telah terbukti dan dinyatakan telah melakukan

tindakan malpraktik maka dia akan dikenai sanksi hukum sesuai dengan UU No. 23

1992 tentang kesehatan.

Вам также может понравиться