Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era globalisasi dan pasar bebas WTO dan GATT yang akan berlaku tahun
2020 mendatang, kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu prasyarat
yang ditetapkan dalam hubungan ekonomi perdagangan barang dan jasa antar
negara yang harus dipenuhi oleh seluruh negara anggota, termasuk bangsa
Indonesia. Untuk mengantisipasi hal tersebut serta mewujudkan perlindungan
masyarakat pekerja Indonesia; telah ditetapkan Visi Indonesia Sehat 2010 yaitu
gambaran masyarakat Indonesia di masa depan, yang penduduknya hidup dalam
lingkungan dan perilaku sehat, memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu
secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
(Ridley, 2008).
1
Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu
bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari
pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat
meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja (Ridley, 2008).
Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian
materi bagi pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi
secara menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak
pada masyarakat luas (Ridley, 2008).
Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan
petugas kesehatan dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam
dengan baik. Jika kita pelajari angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di
beberapa negara maju (dari beberapa pengamatan) menunjukan kecenderungan
peningkatan prevalensi. Sebagai faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya
kesadaran pekerja dan kualitas serta keterampilan pekerja yang kurang memadai.
Banyak pekerja yang meremehkan risiko kerja, sehingga tidak menggunakan alat-
alat pengaman walaupun sudah tersedia. Dalam penjelasan undang-undang nomor
23 tahun 1992 tentang Kesehatan telah mengamanatkan antara lain, setiap tempat
kerja harus melaksanakan upaya kesehatan kerja, agar tidak terjadi gangguan
kesehatan pada pekerja, keluarga, masyarakat dan lingkungan disekitarnya
(Poerwanto, 2005).
Setiap orang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuan hidupnya.
Dalam bekerja Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan faktor yang
sangat penting untuk diperhatikan karena seseorang yang mengalami sakit atau
kecelakaan dalam bekerja akan berdampak pada diri, keluarga dan lingkungannya.
Salah satu komponen yang dapat meminimalisir Kecelakaan dalam kerja adalah
tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan mempunyai kemampuan untuk menangani
korban dalam kecelakaan kerja dan dapat memberikan penyuluhan kepada
masyarakat untuk menyadari pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja
(Poerwanto, 2005)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
e) Kesehatan dan Keselamatan Kerja menunjukkan kepada kondisi-kondisi
fisiologis-fisikal dan psikologis tenaga kerja yang diakibatkan oleh lingkungan
kerja yang disediakan oleh perusahaan (Jackson, 1999).
Menurut Depnakes, Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah segala daya upaya
pemikiran yang dilakukan dalam rangka mencegah, menanggulangi dan mengurangi
terjadinya kecelakan dan dampak melalui langkah-langkah identifikasi, analisis dan
pengendalian bahaya dengan menerapkan pengendalian bahaya secara tepat dan
melaksanakan perundangundangan tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(Depkes, 2008).
Tujuan dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah sebagai berikut
(Mangkunegara, 2002):
1. Agar setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja baik
secara fisik, sosial, dan psikologis.
2. Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya
selekif mungkin.
3. Agar semua hasil produksi di pelihara keamanannya.
4. Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi
pegawai.
5. Agar meningkatnya kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi kerja.
4
6. Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atas
kondisi kerja.
7. Agar setiap pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja
Salah satu organisasi profesional Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di USA,
International Association of Safety Professional (IASP) menetapkan prinsip K3 yang
menjadi landasan pengembangan K3 sebagai berikut (British, 2014):
1. K3 adalah tanggung jawab moral atau etik (Safety is an ethical responsibility)
Masalah K3 hendaknya dilihat sebagai tanggung jawab moral untuk melindungi
keselamatan sesama manusia. Oleh karena itu, K3 bukan sekadar pemenuhan
perundangan atau kewajiban, tetapi merupakan tanggung jawab moral setiap
pelaku bisnis untuk melindungi keselamatan pekerjanya.
2. K3 adalah budaya, bukan sekadar program (Safety is a culture, not a program)
Banyak perusahaan yang menganggap K3 hanya sekadar program yang
dijalankan dalam perusahaan atau untuk memperoleh penghargaan dan sertifikat.
Padahal K3 adalah cerminan dari budaya (safety culture) dalam organisasi. K3
harus menjadi nilai-nilai yang dianut dan menjadi landasan dalam pengembangan
bisnis.
3. K3 adalah tanggung jawab manajemen (Management is responsible). Selama ini
manajemen sering melemparkan tanggung jawab K3 kepada para pengawas dan
jika terjadi kecelakaan akan melimpahkan kepada mereka yang berada di tempat
kerja. Padahal secara moral, tanggung jawab mengenai keselamatan ada pada
manajemen. Tanggung jawab ini tentu dalam wujud kebijakan, kepedulian,
kepemimpinan dan dukungan penuh terhadap upaya keselamatan dan kesehatan
kerja di perusahaan.
4. Pekerja harus dididik untuk bekerja dengan aman (Employees must be trained to
work safety). Setiap tempat kerja, lingkungan kerja dan jenis pekerjaan memiliki
karakteristik dan persyaratan K3 berbeda. Karena itu, K3 tidak bisa timbul
sendirinya pada diri pekerja atau pihak lainnya. K3 harus ditanamkan dan
dibangun melalui pembinaan dan pelatihan.
5. K3 adalah cerminan kondisi ketenagakerjaan (Safety is a condition of
employment). Tempat kerja yang baik adalah tempat kerja yang aman.
Lingkungan kerja yang menyenangkan dan serasi akan mendukung tingkat
5
keselamatan. Oleh karena itu, kondisi K3 dalam perusahaan adalah pencerminan
dari kondisi ketenagakerjaan dalam perusahaan.
6. Semua kecelakaan dapat dicegah (All injuries are preventable). Prinsip dasar
ilmu K3 adalah semua kecelakaan dapat dicegah karena semua kecelakaan pasti
ada sebabnya. Jika sebab kecelakaan dapat dihilangkan, maka kemungkinan
kecelakaan dapat dihindarkan.
7. Program K3 bersifat spesifik (Safety programs must be site specific). Prinsip ini
melihat bahwa program K3 tidak bisa dibuat, ditiru, atau dikembangkan
semuanya. Namun harus berdasarkan kondisi dan kebutuhan nyata di tempat
kerja sesuai dengan potensi bahaya sifat kegiatan, kultur, kemampuan finansial,
dan lainnya. Program K3 harus dirancang spesifik untuk masing-masing
organisasi atau perusahaan sehingga tidak bisa sekadar meniru atau mengikuti
arahan dan pedoman dari pihak lain.
8. K3 baik untuk bisnis (Safety is good business). Melaksanakan K3 jangan
dianggap sebagai pemborosan atau biaya tambahan, namun harus dilihat sebagai
bagian dari proses produksi atau strategi perusahaan. K3 adalah bagian integral
dari aktivitas perusahaan. Kinerja K3 yang baik akan memberikan manfaat
terhadap bisnis perusahaan.
A. Zaman Perbudakan
Zaman perbudakan ini secara legistis yaitu menurut peraturan perundangan
dinyatakan berakhir pada tanggal 31 Desember 1921. Jika dibandingkan dengan
Negara lain, berkat aturan adat yang dijiwai oleh kepribadian bangsa, yaitu
kemanusiaan yang adil dan beradab para budak agak lumayan kedudukannya.
6
Regerings Reglement (RR) tahun 1818 (semacam Undang-undang Dasar Hindia
Belanda) pada pasal 115 memerintahkan supaya diadakan peraturan-perturan
mengenai perlakuan terhadap keluarga budak. Peraturan pelaksananya dimuat dalam
Staatsblad 1825 No.44 ditetapkan bahwa (Sary,2010):
1. Harus dijaga agar anggota-anggota keluarga budak bertempat tinggal bersama-
sama, maksudnya seorang budak yang telah berkeluarga tidak boleh
dipisahkan dari istri dan anaknya.
2. Para pemilik diwajibkan bertindak baik terhadap para budak mereka.
3. Penganiayaan seorang budak diancam dengan pidana berupa denda antara
Rp.10,00 dan Rp.500,00 dan pidana lain yang dijatuhkan oleh pengadilan
untuk penganiayaan biasa.
B. Zaman Rodi
Zaman rodi atau kerja paksa ini berlaku bersamaan dengan zaman perbudakan
dan berakhir resminya di Jawa dan Madura pada tanggal 1 Februari 1938, kecuali di
tanah partikelir yang baru dihapuskan pada tahun 1946 oleh Coamacab (Commando
Officer Allied Military Administration, Civil Affairs Branch) dalam Noodverordening
Particuliere Landrijen 1946 Java en Madura (Herdiana, 2014).
Kesehatan kerja bagi pekerja rodi lebih diperuntukkan pada kekhawatiran
kehabisan jumlah pekerja paksa, bukan karena prikemanusiaan. Kesehatan kerja pada
7
bidang rodi ini lebih terletak pada pembatasan jam kerja. Misalnya hanya boleh sehari
seminggu dan paling banyak 52 hari dalam setahun dan seharinya tidak boleh lebih
dari 12 jam kerja rodi. Jarak antara rumah dan tempat kerja juga diperhatikan. Tetapi
hal ini pun dilanggar oleh pihak yang berkepentingan karena kurangnya pengawasan.
Penghapusan rodi dilakukan dengan membayar uang pembebasan atau tebusan
kepada Pemerintah dan bersamaan dengan itu gaji pegawai dinaikkan dengan uang
pembebasan itu (Herdiana, 2014).
C. Poenale Sanksi
Zaman poenale sanksi meliputi antara tahun 1872 dan 1879 serta antara masa
1880 dan 1941, berakhir pada tanggal 1 Januari 1942. Kedudukan buruh/pekerja
dalam hubungannya dengan majikan ditetapkan sebagai berikut (Sary, 2010):
1. buruh tidak boleh meninggalkan perusahaan, tanpa izin tertulis dari
pengusaha, administrasi atau pegawai yang diberi wewenang untuk itu.
Apabila hal itu tetap dilakukan maka buruh dikenai tindak pidana yang disebut
melarikan diri. Hukuman untuk itu adalah denda atau kerja dengan makan
tanpa upah, biasanya disebut “krakal” selama-lamanya 1 bulan.
2. buruh wajib secara teratur melakukan pekerjaannya.
3. jika buruh meninggalkan perusahaan, ia wajib selalu membwa dan atas
permintaan yang berwajib memperhatikan kartu keterangan yang memuat
identitas buruh dan lamanya hubungan kerja.
4. jika buruh dalam masa hubungan kerja diadili atau menjalani pidana, maka
sesudahnya atas biaya perusahaan ia dapat di bawa kembali ke perusahaan.
Demikian pula jika buruh setelah menjalani istirahat, sakit dan sebagainya jika
tidak kembali lagi ke perusahaan maka dapat dipanggil kembali.
5. dilarang memberi pemondokan kepada seorang buruh yang tidak dapat
membuktikan kebebasannya dari kewajiban bekerja.
6. dalam keadaan bagaimanapun, buruh tidak dapat memutuskan hubungan
kerjanya secara sepihak.
Dalam lembaga poenale sanksi yang menyerahkan pribadi buruh sepenuhnya kepada
wewenang perusahaan / majikan tidak dapat diharapkan adanya perlindungan buruh.
Satu-satunya jalan untuk memberikan perlindungan bagi buruh itu pda kedudukan
manusia social adalah penghapusan poenale sanksi yang terjadi pada tangga 1 Januari
1942 (Herdiana, 2014).
8
D. Zaman Modern
Kesehatan kerja di Indonesia dimulai pada dasawarsa ketiga abad XX.
Kesehatan kerja pertama kali diatur dalam (British, 2014) :
1. Maatregelen ter Beperking van de Kindearrbied en de Nachtarbeid van de
Vroewen, yang biasanya disingkat Maatregelen, yaitu peraturan tentang
pembatsan pekerjaan anak dan wanita pada malam hari, yang dikeluarkan
dengan Ordonantie No. 647 Tahun 1925, mulai berlaku tanggal 1 Maret 1926.
2. Bepalingen Betreffende de Arbeit van Kinderen en Jeugdige Persoonen ann
Boord van Scepen, biasanya disingkat ‘Bepalingen Betreffende’, yaitu
peraturan tentang pekerjaan anak dan orang muda di kapal, yang diberlakukan
dengan Ordonantie No. 87 tahun 1926, mulai berlaku 1 Mei 1926.
Selain Maatregelen dan Bepalingen Betreffende, peraturan lain yang dikwalifikasi
sebagai peraturan kesehatan kerja, yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda
adalah (British, 2014):
1. Mijn Politie Reglement, Stb No. 341 tahun 1931 (peraturan tentang
pengawasan di tambang).
2. Voorschriften omtrent de dienst en rushtijden van bestuur der an
motorrijtuigen (tentang waktu kerja dan waktu mengaso bagi pengemudi
kendaraan bermotor).
3. Riauw Panglongregeling (tentang panglong di Riau)
4. Panglongkeur Soematra Oostkust (tentang panglong di Sumatera Timur).
5. Aanvullende Plantersregeling (peraturan perburuhan di perusahaan
perkebunan).
6. Arbeidsregeling nijverheidsberijvn (peraturan perburuhan di perusahaan
perindustrian).
Di Indonesia secara historis peraturan keselamatan dan kesehatan kerja telah ada
sejak pemerintahan Hindia Belanda. Setelah kemerdekaan dan diberlakukannya
Undang-undang Dasar 1945, maka beberapa peraturan termasuk peraturan
keselamatan kerja yang pada saat itu berlaku yaitu Veiligheids Reglement telah
dicabut dan diganti dengan Undag-undang Keselamatan Kerja No.1 Tahun 1970
(British, 2014).
Setelah kemerdekaan pula yang pertama-tama menjadi perhatian pemerintah
adalah masalah kesehatan kerja. Sewaktu Imdonesia masih berbentuk serikat
9
beribukota di Yogyakarta pada tannga 20 April 1948 mengundangkan Undang-
undang No.12 Tahun 1948 tentang kerja. Setelah Indonesia berbentuk Negara
kesatuan UU No.12 tahun 1948 ini di berlakukan ke seluruh wilayah Indonesia
dengan UU No.2 Tahun 1951. Undang-undang pokok kerja ini mamuat aturan dasar
mengenai (Herdiana, 2014) :
1. Pekerjaan anak
2. Pekerjaan orang muda
3. Pekerjaan wanita
4. Waktu kerja, istirahat, dan mengaso
Tempat kerja dan perumahan buruh, untuk semua pekerjaan tidak membeda-bedakan
tempatnya, misalnya di bengkel, di pabrik, di rumah sakit, di perusahaan pertanian,
perhubungan, pertambangan, dan lain-lain (Sary, 2010).
Undang-undang No.12 Tahun 1948 merupakan undang-undang pokok sehingga
memerlukan peraturan pelaksana yang lebih rinci. Mengingat keadaaan Indonesia
yang masih di awal kemerdekaan, maka peraturan pelaksana dibuat secara bertahap.
Peraturan pelaksana yang sempat dikeluarkan pada masa itu adalah (Sary, 2010):
1. Peraturan pemerintah No.3 Tahun 1950 yang memberlakukan aturan waktu
kerja, istirahat, dan mengaso serta mengatur tata cara pengusaha untuk dapat
mengadakan penyimpangan dari waktu kerja.
2. Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 1954 yang mengatur tentang berlakunya
ketentuan cuti tahunan bagi pekerja/buruh.
10
Sumber hukum peraturan perundang-undangan tentang K3 adalah UUD 1945
Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan bahwa, ”Tiap warga Negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Makna pasal tersebut
sangatlah luas. Disamping menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak
mendapatkan pekerjaan yang layak, juga berhak mendapatkan perlindungan
terhadap K3 agar dalam melaksanakan pekerjaan tercipta kondisi kerja yang
kondusif, nyaman, sehat, dan aman serta dapat mengembangajan ketrampilan dan
kemampuannya agar dapat hidup layak sesuai dengan harkat dan martabat
manusia.
Berdasarkan UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) tersebut, kemudian ditetapkan UU
RI No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Ketenagakerjaan.
Dalam UU Pokok Ketenagakerjaan tersebut diatur tentang perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja, yaitu:
a. Pasal 9 yang menyatakan bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapatkan
perlindungan atas keselamatan, kesehatan, pemeliharaan moril kerja serta
perlakuan sesuai dengan harkat dan martabat serta moral agama.
b. Pasal 10 yang menyatakan bahwa pemerintah membina perlindungan kerja
yang mencakup:
1. norma keselamatan kerja,
2. norma kesehatan kerja dan hygiene perusahaan,
3. norma kerja, dan
4. pemberian ganti kerugian, perawatan, dan rehabilitasi dalam hal
kecelakaan kerja.
11
2) Ayat (2): Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna
mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya
keselamatan dan kesehatan kerja.
b. Pasal 87 Ayat (1): Setiap perusahaan wajib menerapkan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang terintegrasi dengan sistem
manajemen perusahaan.
12
a. Hak Tenaga Kerja ditetapkan dalam Pasal 12 Huruf (d) dan (e) Huruf d:
Meminta pada pengurus agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan
kesehatan kerja yang diwajibkan. Huruf e: Menyatakan keberatan kerja pada
pekerjaan dimana syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat-alat
perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal
khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih
dipertanggungjawabkan.
b. Kewajiban tenaga kerja ditetapkan dalam Pasal 12 Huruf (a), (b), dan (c)
Huruf a: Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai
pengawas dan atau ahli keselamatan kerja. Huruf b: Memakai alat-alat
perlindungan diri yang diwajibkan. Huruf c: Memenuhi dan mentaati syarat-
syarat keselamatan kerja dan kesehatan kerja yang diwajibkan. Kewajiban
pengusaha/pengurus Pasal 3 Ayat (1): Melaksanakan syarat-syarat
keselamatan kerja untuk:
a) mencegah dan mengurangi kecelakaan
b) mencegah, mengurangi, dan memaadmkan kebakaran
c) mencegah dan mengurangi bahaya peledakan
d) memberikan kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu
lebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya
e) memberikan pertolongan pada kecelakaan
f) memberikan alat-alat perlindungan diri pada para pekerja
g) mencagah dan mengendalikan timbul atau menyebarluasnya suhu,
kelebaban, debu, kotoran, asap, gas, dan hembusan
h) mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik
mauun psikis, peracunan, infeksi dan penularan
i) memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai
j) menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang cukup
k) menyelenggarakan penyegaeab udara yang cukup
l) memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban
m) memperoleh keserasian antara tenaga kerja, lingkungan, cara kerja, dan
porses kerjanya
n) mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkat muat, perlakuan, dan
penyimpanan barang.
o) Mengamankan dan memelihara segala jenis bengunan
13
p) Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya
q) Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamatan pada pekerjaan yang
berbahaya kecelakaan kerja menjadi lebih tinggi
c. Pasal 8
1. Ayat (1): Pengurus diwajibkan memeriksa kesehatan badan, kondisi
mental, dan kemampuan fisik dari tenaga kerja yang akan diterimanya
maupun yang akan dipindahkan sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang
diberikan kepadanya.
2. Ayat (2): Pengurus diwajibkan memeriksa semua tenaga kerja yang
berada dibawah pimpinannya, secara berkala pada dokter yang ditunjuk
oleh pengusaha dan dibenarkan oleh direktur.
d. Pasal 9
1. Ayat 1: Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap
tenaga kerja baru tentang:
a. kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta yang dapat timbul dalam
tempat kerja
b. semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan dalam
tempat kerja,
c. alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan,
d. cara-cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan pekerjaannya.
2. Ayat (2): Pengurus hanya dapat mempekerjakan tenaga kerja yang
bersangkutan setelah ia yakin bahwa tenaga kerja tersebut telah
memahami syarat-syarat tersebut diatas.
3. Ayat (3): Pengurus diwajibkan menyelenggarakan pembinaan bagi semua
tenaga kerja yang berada dibawah pimpinannya, dalam pencegahan
kecelakaan dan pemberantasan kebakaran serta peningkatan keselamatan
dan kesehatan kerja, pula dalam pemberian pertolongan pertama pada
kecelakaan.
4. Ayat (4): Pengurus diwajibkan memenuhi dan mentaati semua syarat-
syarat dan ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi usaha dan tempat kerja
yang dijalankan.
e. Pasal 10 Ayat (1): Menteri Tenaga Kerja berwenang membentuk Panitia
Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) guna memperkembangkan
kerjasama, saling pengertian, dan partisipasi dari pengusaha atau pengurus
14
dan tenaga kerja dalam tempat-tempat kerja untuk melaksanakan tugas
kewajiban bersama di bidang K3, dalam rangka melancarkan usaha
berproduksi.
f. Pasal 11 Ayat (1): Pengurus diwajibkan melaporkan tiap kecelakaan yang
terjadi dalam tempat kerja yang dipimpinnya pada pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri Tenaga Kerja.
g. Pasal 14: Pengurus diwajibkan
1. secara tertulis menempatkan dalam tempat kerja yang dipimpinnya,
semua syarat-syarat keselamatan kerja yang diwajibkan, sehelai undang-
undang ini dan semua peraturan pelaksananya yang berlaku bagi tempat
kerja yang bersangkutan, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan
terbaca dan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan
kerja.
2. memasang dalam tempat kerja yang dipimpinnya semua gambar
keselamatan kerja yang diwajibkan dan semua bahan pembinaan lainnya,
pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca menurut petunjuk
pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.
3. menyediakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang
diwajibkan pada tenaga kerja berada di bawah pimpinannya dan
menyediakan bagi setipa orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut,
disertai denfan petunjukpetunjuk yang diperlukan menurut petunjuk
pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja.
15
4) UU Petasan Tahun 1932 (Stbl. No. 143 Tahun 1932 jo Stbl. No. 10
Tahun 1933) tentang petasan buatan yang diperuntukkan untuk
kegembiraan/keramaian kecuali untuk keperluan pemerintah.
5) UU Rel Industri (Industrie Baan Ordonnantie) Tahun 1938 (Stbl. No.
595 Tahun 1938) tentang pemasangan, penggunaan jalan-jalan rel
guna keperluan perusahaan, pertanian, kehutanan, pertambangan,
kerajinan dan perdagangan.
Peraturan perundang-undangan K3 tersebut merupakan produk hokum pada masa
koonial Belanda yang hingga saat ini tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan UU RI No- 1 Tahun 1970. Pada Pasal 17 UU RI No. 1 Tahun 1970 dinyatakan
bahwa,”Selama peraturan perundangan untuk melaksanakan ketentuan dalam
Undangundang ini belum dikeluarkan, maka peraturan dalam bidang keselamatan
kerja yang ada pada waktu undang- undang ini mulai berlaku, tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan- undang ini. Peraturan pelaksana dari ketetuan pasal-pasal
UU RI No. 1 Tahun 1970 (Pasal 15 UU RI No. 1 Tahun 1970). UU Keselamatan
Kerja masih bersifat umum (lex generalis), oleh karena itu peraturan pelaksananya
dijabarkan secara teknis dan rinci dalam bentuk PP, Keppres, Permenaker,
Kepmenaker, Surat Edaran (SE) Menaker, dan Kepdirjen Binwasnaker Depnakertrans
RI
16
8. Memastikan manajemen K3 diberlakukan sama terhadap kontraktor, pekerja
kontrak dan pekerja tetap.
Kerangka konsep kebijakan OSH (K3) internasional menurut komite gabungan
ILO dan WHO untuk Occupational Health Program K3 nasional harus memiliki
tiga unsur yaitu; Program promosi budaya K3, Program Penguatan Sistem
Manjemen K3, dan Program Sasaran Penerapan. Ketiga program tersebut harus
didukung oleh advokasi promosi, perundang-undangan, pengawasan dan tenaga
ahli dibidang K3. Dalam membuat kebijakan nasional, pemerintah harus
mengacu pada peraturan-perturan international seperti WHO dan ILO.
Pemerintah juga harus membentuk Dewan Penesehat K3 untuk membantu
membuat kebijakan atau program K3 [Takala.J, 2007].
17
Tidak ada upaya SMK3 tanpa kerja sama, dukungan dan komitmen dari
pekerja. Mereka adalah orang-orang yang berada di kantor atau di lantai pabrik,
melakukan pekerjaan. Mereka merupakan mitra penting dalam proses atau
menciptakan kebijakan K3. Sebagai pemilik perusahaan dan manajer mempunyai
tanggung jawab akhir untuk keselamatan dan kesehatan kerja, itu adalah
kepentingan mereka untuk mengambil inisiatif untuk memulai proses
pembuatannya. Namun, ini harus dilakukan ke depan dalam konsultasi dengan
pekerja dan perwakilan mereka. Melalui organisasi K3 atau P2K3 semua dapat
berjalan sebagaimana mestinya.
18
3. Prosedur tanggap darurat;
4. Pertolongan pertama;
5. Pelaporan dan investigasi kecelakaan / insiden
6. Keselamatan untuk operasional tertentu atau misalnya peralatan listrik
aman, bahan berbahaya dan penanganan manual;
7. Bagaimana kemajuan tentang keselamatan dan kesehatan akan diukur
dan Kebijakan akan dievaluasi.
2.5 Prinsip Kebijakan K3 Rumah Sakit
Rumah sakit merupakan suatu industri jasa yang padat karya, padat pakar,
padat modal dan padat teknologi sehingga risiko terjadinya Penyakit Akibat Kerja
(PAK) dan Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) sangat tinggi, oleh karena itu upaya
K3 sudah menjadi suatu keharusan. Perlunya pelaksanaan K3 di rumah sakit
(K3RS) sebagai berikut:
1. Kebijakan Pemerintah tentang rumah sakit di Indonesia meningkatkan akses,
keterjangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan yang aman di rumah sakit.
2. Perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi K3 rumah sakit serta
tindak lanjut yang merujuk pada SK Menkes No. 432/Menkes/SK/IV/2007
tentang pedoman Manajemen K3 di rumah sakit dan OHSAS 18001 tentang
Standar Sistem Manajemen K3.
3. Sistem manajemen K3 rumah sakit adalah bagian dari sistem manajemen
rumah sakit.
4. Rumah sakit kompetitif di era global tuntutan pengelolaan program K3 di
rumah sakit (K3RS) semakin tinggi karena pekerja, pengunjung, pasien, dan
masyarakat sekitar rumah sakit ingin mendapatkan perlindungan dari
gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja, baik sebagai dampak proses
kegiatan pemberian pelayanan maupun karena kondisi sarana dan prasarana
yang ada di rumah sakit yang tidak memenuhi standar.
5. Tuntutan hukum terhadap mutu pelayanan rumah sakit semakin meningkat dan
tuntutan masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang terbaik.
6. Pelaksanaan K3 berkaitan dengan citra dan kelangsungan hidup rumah sakit.
7. Karakteristik rumah sakit; pelayanan kesehatan merupakan industri yang
‘labor intensive’, padat modal, padat teknologi, dan padat pakar, bidang
pekerjaan dengan tingkat keterlibatan manusia yang tinggi, terbukanya akses
19
bagi bukan pekerja rumah sakit dengan leluasa serta kegiatan yang terus
menerus setiap hari.
8. Beberapa isu K3 yang penting di rumah sakit yakni keselamatan pasien dan
pengunjung, K3 pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan
peralatan di rumah sakit yang berdampak terhadap keselamatan pasien dan
pekerja dan keselamatan lingkungan yang berdampak terhadap pencemaran
lingkungan.
9. Rumah sakit sebagai sistem pelayanan yang terintegrasi meliputi input, proses,
dan output. Input: kebijakan, SDM, fasilitas, sistem informasi, logistik
obat/reagensia/ peralatan, keuangan, dan lain-lain. Proses: pelayanan rawat
jalan dan rawat inap (in and out patient), IGD (emergency), pelayanan kamar
operasi, pemulihan yang dilaksanakan dengan baik, benar, dan lain-lain.
Output: pelayanan prima (excellence medicine and services). (Sucipto, 2014)
20
Tabel. Pengelompokkan Potensi Bahaya di Rumah Sakit
B. Prinsip K3RS
Agar kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit (K3RS) dapat
dipahami secara utuh, ada 3 komponen yang saling berinteraksi, yaitu: (Drs.
Buntarto, 2015)
1. Kapasitas kerja adalah status kesehatan kerja dan gizi kerja yang baik serta
kemampuan fisik yang prima setiap pekerja agar dapat melakukan
pekerjaannya dengan baik. Contoh bila seseorang kekurangan zat besi yang
21
menyebabkan anemia, maka kapasitas kerja akan menurun karena pengaruh
kondisi lemah dan lesu.
2. Beban kerja adalah beban fisik dan mental yang harus di tanggung oleh
pekerja dalam melaksanakan tugasnya. Contoh: pekerja yang melakukan
lembur (overtime).
3. Lingkungan kerja adalah lingkungan terdekat dari seorang pekerja. Contoh
seorang bekerja di instalasi laboratorium serologi maka lingkungan
kerjanya adalah laboratorium dan ruangan-ruangan yang berkaitan dengan
proses pekerjaan nya di instalasi serologi.
22
Pelayanan K3RS harus dilaksanakan secara terpadu melibatkan berbagai
komponen yang ada di rumah sakit. Pelayanan K3 di rumah sakit sampai saat ini
dirasakan belum maksimal. Hal ini dikarenakan masih banyak rumah sakit yang
belum menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(SMK3). (Sucipto, 2014 dan Drs. Buntarto, 2015)
1. Standar Pelayanan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit (K3RS)
Bentuk pelayanan kesehatan kerja yang perlu dilakukan sebagai berikut:
a. Melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum kerja bagi pekerja, meliputi:
1) Pemeriksaan fisik.
2) Pemeriksaan penunjang dasar (foto thorax, laboratorium rutin, EKG).
3) Pemeriksaan khusus sesuai dengan jenis pekerjaannya.
23
1) Pemberian makanan tambahan dengan gizi yang mencukupi untuk
pekerja dinas malam, petugas radiologi, petugas lab, petugas kesling,
dan lain-lain.
2) Olah raga, senam kesehatan, dan rekreasi.
3) Pembinaan mental/rohani.
e. Memberikan pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi bagi pekerja yang
menderita sakit:
1) Memberikan pengobatan dasar secara gratis kepada seluruh pekerja.
2) Memberikan pengobatan dan menanggung biaya pengobatan untuk
pekerja yang terkena Penyakit Akibat Kerja (PAK).
3) Menindaklanjuti hasil pemeriksaan kesehatan berkala dan pemeriksaan
kesehatan khusus.
4) Melakukan upaya rehabilitasi sesuai penyakit terkait.
f. Melakukan pemeriksaan kesehatan khusus pada pekerja rumah sakit yang
akan pensiun atau pindah kerja:
1) Pemeriksaan kesehatan fisik
2) Pemeriksaan laboratorium lengkap, EKG, paru (foto torak dan fungsi
paru).
g. Melakukan koordinasi dengan Tim Panitia Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi mengenai penularan infeksi terhadap pekerja dan pasien:
1) Pertemuan koordinasi.
2) Pembahasan kasus.
3) Penanggulangan kejadian infeksi nosokomial.
h. Melaksanakan kegiatan surveilans kesehatan kerja:
1) Melakukan mapping tempat kerja untuk mengidentifikasi jenis bahaya
dan besar risiko.
2) Melakukan identifikasi pekerja berdasarkan jenis pekerjaannya, lama
pajanan dan dosis pajanan.
3) Melakukan analisa hasil pemeriksaan kesehatan berkala dan khusus.
4) Melakukan tindak lanjut analisa pemeriksaan kesehatan berkala dan
khusus. (Dirujuk ke spesialis terkait, rotasi kerja, merekomendasikan
pemberian istirahat kerja).
5) Melakukan pemantauan perkembangan kesehatan pekerja.
24
i. Melaksanakan pemantauan lingkungan kerja dan ergonomi yang berkaitan
dengan kesehatan kerja (Pemantauan/pengukuran terhadap faktor fisik,
kimia, biologi, psikososial dan ergoomi).
j. Membuat evaluasi, pencatatan, dan pelaporan kegiatan kesehatan kerja
yang disampaikan kepada Direktur rumah sakit dan unit teknis terkait di
wilayah kerja rumah sakit.
25
3) Melakukan evaluasi dan memberikan rekomendasi untuk memperbaiki
lingkungan kerja.
d. Pembinaan dan pengawasan terhadap sanitasi air:
1) Penyehatan makanan dan minuman.
2) Penyehatan air.
3) Penyehatan tempat cucian.
4) Penanganan sampah dan limbah.
5) Pengendalian serangga dan tikus.
6) Sterilisasi/desinfeksi.
7) Perlindungan radiasi.
8) Upaya penyuluhan kesehatan lingkungan.
e. Pembinaan dan pengawasan perlengkapan keselamatan kerja:
1) Pembuatan rambu-rambu arah dan tanda-tanda keselamatan.
2) Penyediaan peralatan keselamatan kerja dan Alat Pelindung Diri (APD).
3) Membuat SOP peralatan keselamatan kerja dan APD.
4) Melakukan pembinaan dan pemantauan terhadap kepatuhan penggunaan
peralatan keselamatan dan APD.
f. Pelatihan/ penyuluhan keselamatan kerja untuk semua pekerja:
1) Sosialisasi dan penyuluhan keselamatan kerja bagi seluruh pekerja.
2) Melaksanakan pelatihan dan sertifikasi K3 Rumah Sakit kepada petugas
K3 Rumah Sakit.
g. Memberi rekomendasi/masukan mengenai perencanaan, pembuatan tempat
kerja dan pemilihan alat serta pengadaannya terkait keselamatan/keamanan:
1) Melibatkan petugas K3 rumah sakit di dalam perencanaan, pembuatan,
pemilihan serta pengadaan sarana, prasarana dan peralatan keselamatan
kerja.
2) Membuat evaluasi dan rekomendasi terhadap kondisi sarana, prasarana
dan peralatan keselamatan kerja.
h. Membuat sistem pelaporan kejadian dan tindak lanjutnya.
1) Membuat alur pelaporan kejadian nyaris celaka dan celaka.
2) Membuat SOP pelaporan, penanganan dan tindak lanjut kejadian nyaris
celaka (near miss) dan celaka.
i. Pembinaan dan pengawasan Manajemen Sistem Penanggulangan
Kebakaran (MPSK).
26
1) Manajemen menyediakan sarana dan prasarana pencegahan dan
penanggulangan kebakaran.
2) Membentuk tim penanggulangan kebakaran.
3) Membuat SOP.
4) Melakukan sosialisasi dan pelatihan pencegahan dan penanggulangan
kebakaran.
5) Melakukan audit internal terhadap sistem pencegahan dan
penanggulangan kebakaran.
j. Membuat evaluasi, pencatatan, dan pelaporan kegiatan pelayanan
keselamatan kerja yang disampaikan kepada Direktur Rumah Sakit dan
Unit teknis terkait di wilayah kerja Rumah Sakit.
27
Berikut akan diuraikan langkah demi langkah dari tahap kedua yaitu tahap
pengembangan dan penerapan:
1. Menyatakan Komitmen.
Langkah ini dilakukan oleh manajemen puncak. Sebagai pedoman,
sistem manajemen K3 tidak akan berjalan tanpa adanya komitmen dan
tanggung jawab dari manajemen puncak terhadap sistem manajemen tersebut.
Komitmen itu harus dinyatakan bukan hanya dengan kata-kata, tetapi perlu
tindakan nyata agar dapat diketahui, dipelajari, dihayati dan dilaksanakan oleh
selurh staf dan karyawan perusahaan termasuk dirinya sendiri secara individu.
Seluruh staf harus tahu tanggung jawab masing-masing dalam penerapan
SMK3.
2. Menetapkan Cara Penerapan SMK3.
Dalam menetapkan SMK3 perusahaan dapat menggunakan jasa
konsultan khusus di bidang SMK3. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan
sebagai berikut:
a. Konsultan yang berpengalaman sehingga bisa jadi agen pengalihan
pengetahuan secara efektif, sehingga bisa memberikan rekomendasi yang
tepat dalam proses penerapan SMK3;
b. Konsultan yang independen, artinya bisa secara bebas memberikan
feedback kepada manajemen secara obyektif tanpa terpengaruh oleh
persaingan antar kelompok dalam perusahaan;
3. Membentuk Kelompok Kerja Penerapan SMK3.
Anggota kelompok kerja tersebut terdiri dari seorang wakil dari setiap
unit kerja yang ada yang biasanya adalah seorang manajer. Hal-hal penting
yang menjamin kesuksesan kelompok kerja tergantung pada:
a. bagaimana peran anggota kelompok kerja, dan
b. bagaimana tugas dan tanggungjawab anggota kelompok kerja,
c. bagaimana kualifikasi anggota kelompok kerja,
d. berapa jumlah anggota kelompok kerja, dan
e. adanya kelompok kerja pendukung.
Peran anggota kelompok sangat penting dalam usaha penerapan SMK3,
meliputi:
28
a. Sebagai agen perubahan dan fasilitator dalam unit kerjanya. Merekalah
yang melatih dan menjelaskan tentang standar SMK3 termasuk manfaat dan
konsekuensinya.
b. Menjaga konsistensi penerapan SMK3, baik melalui tinjauan sehari-hari
maupun berkala.
c. Menjadi penghubung manajemen dan unit kerjanya.
Masing-masing anggota kelompok kerja punya tugas dan tanggung
jawab, yaitu:
a. Mengikuti pelatihan lengkap dengan standar SMK3.
b. Melatih staf dalam unit kerjanya sesuai kebutuhan.
c. Melakukan latihan terhadap sistem yang berlangsung dibandingkan dengan
standar SMK3 yang diterapkan.
d. Melakukan tinjauan terhadap sistem yang berlangsung dibandingkan
dengan standar SMK3.
e. Membuat diagram alir yang dapat menjelaskan keterlibatan unit kerjanya
dengan komponen lain yang ada dalam standar SMK3.
f. Bertanggung jawab untuk mengembangkan sistem sesuai dengan
komponen SMK3 yang terkait dalam unit kerjanya. Misalnya anggota
kelompok kerja wakil unit SDM bertanggungjawab untuk kegiatan terkait
pelatihan, dan sebagainya.
g. Melakukan tugas seperti apa yang tertulis dalam dokumen baik di unit
kerjanya sendiri maupun perusahaan.
h. Ikut menjadi tim auditor internal.
i. Bertanggung jawab mempromosikan standar SMK3 secara kontinyu baik di
unit kerja sendiri, maupun di unit kerja lain secara konsisten serta
bersamasama memelihara penerapan SMK3 secara berkelanjutan.
Untuk memudahkan dalam memilih anggota kelompok, perlu
dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. mampu berfikir secara konseptual dan imajinatif;
b. rajin dan pekerja keras;
c. suka membaca buku-buku tentang standar SMK3.;
d. mampu membuat diagram alir dan menulis;
e. disiplin dan tepat waktu;
29
f. berpengalaman kerja cukup di dalam unit kerjanya sehingga menguasai segi
operasional;
g. mampu berkomunikasi secara efektif dalam presentasi dan pelatihan;
Mengenai jumlah anggota kelompok kerja, umumnya 8 orang cukup
memadai. Selain kelompok kerja, diperlukan juga Panitia pengarah (Steering
Commitee), yang bertugas mengawal dan mengarahkan kelompok kerja.
Tugasnya adalah memberikan arahan, menetapkan kebijakan, sasaran dan lain-
lain menyangkut kepentingan organisasi secara keseluruhan. Dalam
penerapannya, kelompok kerja bertanggung jawab melapor kepada Panitia
pengarah. Jika diperlukan, perusahaan bisa membentuk kelompok kerja
pendukung, yang bertugas membantu kelancaran kelompok kerja, khususnya
pekerjaan yang bersifat teknis administratif. Misalnya mengumpulkan catatan-
catatan K3 dan fungsi administratif lain seperti pengetikan, penggandaan dan
pekerjaan pendukung lainnya.
4. Menetapkan Sumber Daya yang Diperlukan.
Mencakup personil, perlengkapan, waktu dan sumber dana. Personal
yang dimaksud ini adalah orang-orang yang secara resmi diangkat manajemen
untuk terlibat penuh dalam penerapan SMK3. Perlengkapan dalam hal ini
termasuk ruang kerja dengan segala fasilitas yang dibutuhkan, seperti fasilitas
penyimpan arsip/ dokumen tertulis maupun perlengkapan seperti komputer
tambahan untuk mengolah dan menyimpan data. Waktu yang dibutuhkan akan
bertambah banyak, seperti untuk kegiatan sosialisasi, pelatihan personil, rapat-
rapat, studi-studi pustaka, menulis dokumen mutu dan menjalani kegiatan
audit. Dana yang dikeluarkan untuk penerapan SMK3 juga harus disiapkan,
karena kegiatan ini berdurasi minimal satu tahun. Untuk itu perusahaan harus
mengalokasikan dana yang cukup untuk membiayai kegiatan “unit kerja
proyek” penerapan manajemen K3, biaya konsultan, lembaga sertifikasi
maupun biaya pelatihan yang dilaksanakan.
5. Kegiatan Penyuluhan
Penerapan SMK3 adalah kegiatan yang difokuskan untuk kebutuhan
personel perusahaan. Oleh karena itu harus dibangun komitmen kebersamaan
semua personel, yaitu karyawan, staf manajemen dan semua tenaga kerja yang
ada harus terlibat dalam kegiatan penyuluhan SMK3. Tujuan kegiatan
penyuluhan adalah:
30
a. menyamakan persepsi dan motivasi akan pentingnya penerapan SMK3 bagi
kinerja perusahaan, dan
b. membangun komitmen menyeluruh mulai dari jajaran direksi, manajer, staf
dan seluruh jajaran dalam perusahaan untuk bekerjasama dalam
menerapkan standar SMK3 ini.
Kegiatan penyuluhan bisa dilakukan dengan bantuan media komunikasi,
seperti spanduk, leaflet, surat edaran, ceramah-ceramah, maupun buku-buku
panduan penerapan SMK3. Pada dasarnya kegiatan penyuluhan mencakup 3
kegiatan, yaitu:
a. Pernyataan komitmen manajemen,
b. pelatihan awareness SMK3, dan
c. membagikan bahan bacaan sebagai media promosi SMK3.
Sebagai kegiatan untuk memback-up penerapan SMK3, sangat penting
dikembangkan media komunikasi agar kesadaran karyawan tentang K3
menjadi optimal. Media yang dapat dikembangkan adalah brosur-brosur,
pamplet, leaflet, buku-buku saku SMK3. Dengan mudahnya informasi
menjangkau semua karyawan, maka mis-informasi dapat ditekan, sehingga
persepsi karyawan tentang K3 menjadi positif, sehingga kesadaran dan
komitmen karyawan akan kesuksesan penerapan SMK3 akan sangat tinggi.
6. Peninjauan sistem.
Kelompok kerja yang telah dibentuk akan mulai bekerja meninjau sistem
K3 yang sedang berjalan, dibandingkan dengan dengan persyaratan yang ada
dalam SMK3. Peninjauan dapat dilakukan dengan meninjau dokumen dan
meninjau pelaksanaan. Apakah perusahaan telah mengikuti dan melaksanakan
secara konsisten prosedur dari OHSAS 18001 atau SMK3 sesuai Permenaker
No.05 tahun 1996.
7. Penyusunan Jadwal Kegiatan.
Dalam menyusun jadwal kegiatan, ada hal yang perlu dipertimbangkan,
seperti ruang lingkup pekerjaan, kegiatan-kegiatan yang harus disiapkan, lama
waktu yang diperlukan untuk pemeriksaan, disempurnakan, disetujui, dan
diaudit. Perlu dipertimbangkan juga kemampuan wakil manajemen dan
kelompok kerja penerapan, yaitu tugas penerapan SMK3, dan kelancaran dan
efisiensi serta produktivitas perusahaan.
8. Pengembangan SMK3.
31
Ada beberapa kegiatan yang perlu dilakukan dalam tahap pengembangan
sistem manajemen K3, antara lain mencakup: dokumentasi, pembagian
kelompok, penyusunan diagram alir, penulisan manual SMK3, prosedur, dan
instruksi kerja.
9. Penerapan SMK3.
Setelah semua dokumen selesai disiapkan, setiap anggota kelompok
kerja kembali ke unit kerja masing-masing, untuk menerapkan rencana
penerapan SMK3 yang telah ditulis.
10. Proses Sertfikasi.
Dalam kegiatan sertifikasi penerapan SMK3, ada sejumlah lembaga
seperti Sucofindo, melakukan sertifikasi terhadap Permennaker No.05 Tahun
1996. Selain SMK3 dapat digunakan OHSAS 18001: 1999 atau OHSAS
18001: 2007. (Ridley, 2008 dan Sucipto, 2014)
32
berupa pertolongan sementara yang dilakukan oleh petugas P3K yang pertama
melihat korban. P3K dimaksudkan memberikan perawatan darurat pada
korban sebelum pertolongan yang lebih lengkap diberikan oleh dokter atau
petugas kesehatan lainnya. Tujuan dari P3K seperti berikut.
1. Menyelamatkan nyawa korban.
2. Meringankan penderitaan korban.
3. Mencegah cedera/penyakit menjadi lebih parah.
4. Mempertahankan daya tahan korban.
5. Mencarikan pertolongan yang lebih lanjut prinsip dari P3K yaitu
menolong secara tepat dengan memperhatikan tujuan P3K,
menolong secara cepat kepada penderita dengan cara-cara P3K yang
sesuai,
menolong korban yang bersifat sementara sebelum dibawa ke
dokter/instalasi gawat darurat (IGD).
33
Plester gulung Gelas pencuci mata
Plester tunggal (band aid) Gunting kecil/besar
Kain pembalut lebar untuk kecelakaan Jepitan/pinset
berat Obat-obatan
Boor water
34
Pertolongan yang dapat diberikan adalah matikan sumber arus listrik dan
tolong korban dengan cara mengisolasi diri dari tanah. Kemudian, tarik
korban dari pakaiannya. Bila korban tidak pingsan maka diberi minum
larutan NaHCO3 (1 sendok teh dalam 1 gelas air). Bila korban pingsan
maka lakukan langkah penyadaran, jika pernafasan terhenti maka diberi
nafas buatan. Jangan memberi minum pada saat korban pingsan. Jika terjadi
luka bakar, rawat luka bakar korban. Korban segera dibawa ke rumah sakit
untuk ditangani lebih lanjut.
4. Kecelakaan pada Mata. Penanganan yang dilakukan yaitu dengan
meneteskan setetes minyak jarak pada mata, tutup dengan kapas tebal, lalu
balut perlahan-lahan untuk mencegah cahaya masuk. Berikut ini adalah
beberapa sumber kecelakaan pada mata serta penanganannya yakni
zat padat pada mata jika tidak berbahaya, dapat dihilangkan dengan sapu
tangan yang dibasahi air dengan membuka kelopak mata bagian bawah.
Bila kotoran ada di bagian kelopak mata bagian atas, kedip-kedipkan
mata dalam air di atas piring kecil;
pecahan kaca jika masuk ke dalam mata jangan berusaha untuk
mengeluarkannya karena berbahaya. Penanganannya yaitu tutup mata
dengan kapas tebal, balut perlahan-lahan. Korban segera dibawa ke
rumah sakit untuk ditangani lebih lanjut;
zat Korosif asam keras. Penanganannya yaitu diguyur dengan larutan
soda 5% atau air biasa selama 15-30 menit secara terus menerus dan
harus mengenai bagian-bagian yang berada di balik kelopak mata;
zat korosif basa keras. Penanganannya yaitu diguyur dengan larutan
cuka encer (1 bagian cuka dapur +1 bagian air) atau air biasa, guyur
selama 30-45 menit terus menerus dan harus mengenai bagian-bagian
yang berada di balik kelopak. Selama diguyur gerakan-gerakan bola
matanya.
5. Keracunan memiliki gejala yaitu pusing, sesak nafas, muntah, sakit perut,
diare, kejang-kejang, kram perut, air liur berlebih, nyeri otot, koma, dan
pingsan. Tindakan yang harus dilakukan seperti berikut.
Jika korban tidak sadar, korban jangan disuruh muntah/minum.
35
Jika korban sadar, beri minum 24 gelas air/susu kemudian korban
disuruh muntah dengan cara memasukkan telunjuk jauh ke dalam mulut
(kecuali jika yang termakan bensin, pelumas, asam/basa).
Korban disuruh muntah hingga muntahnya jernih. Untuk menghindari
kekurangan cairan, korban diberi minum 1 gelas air garam (1 sendok
dalam 1 liter air).
Penawar racun seperti susu, putih telur yang sudah dikocok, penawar
racun
universal, proses netralisasi dengan memberikan bahan kimia tertentu,
tergantung dari jenis racun.
36
bagian kulit yang terkena racun dibilas dengan air yang mengalir selama 15
menit.
6. Pingsan dengan gejala hilang kesadaran lalu berkeringat pada bagian kepala
dan bibir atas. Bila korban pingsan maka penanganan yang dilakukan sebagai
berikut.
Baringkan korban pada tempat sejuk dengan posisi datar atau kepala korban
sedikit lebih rendah.
Telentangkan korban di atas lantai dan biarkan menghirup uap ammonia
encer atau garam-garam yang berbau.
Stimulasi kulit korban dengan menggosok menggunakan sikat berbulu
keras.
Lepas atau longgarkan semua pakaian yang menekan leher dan segera
bungkukkan kepala korban diantara kedua kaki sampai muka korban
merah.
Bila korban dapat menelan air, berikan air kopi.
Bila korban muntah, miringkan kepala korban agar tidak tersedak
Bila pernafasan pendek/tertahan-tahan, lakukan pernafasan buatan atau
hembuskan oksigen 6% dengan CO2.
Pernafasan buatan diberikan bila korban tidak ada gerakan bernafas, tidak
ada uap hasil pernafasan, kuku, bibir, dan muka korban mulai membiru.
(Ridley, 2008)
B. PEMADAM KEBAKARAN
Pemadaman kebakaran/PMK adalah petugas atau dinas yang dilatih dan
bertugas untuk menanggulangi kebakaran. Terdapat 3 cara untuk
mengatasi/memadamkan kebakaran seperti berikut.
37
1. Cara penguraian yaitu cara memadamkan dengan memisahkan atau
menjauhkan bahan/benda-benda yang mudah terbakar.
2. Cara pendinginan yaitu cara memadamkan kebakaran dengan menurunkan
panas atau suhu. Bahan airlah yang paling dominan digunakan dalam
menurunkan panas dengan cara menyemprotkan atau menyiramkan air ke
titik api.
3. Cara isolasi/lokalisasi yaitu cara memadamkan kebakaran dengan
mengurangi kadar/persentase O2 pada benda-benda yang terbakar.
Bahan Pemadam kebakaran yang banyak dijumpai dan dipakai saat ini
antara lain:
1. Bahan pemadam air
Bahan pemadam air mudah didapat, harga murah, dapat digunakan dalam
jumlah yang tak terbatas bahkan tidak perlu beli/gratis. Keuntungan
menggunakan bahan air yaitu sebagai media pendingin yang baik dan dapat
juga menahan/menolak dan mengusir masuknya oksigen apabila
dikabutkan. Sedangkan kelemahannya yaitu air dapat mengantarkan listrik,
merusak barang berharga seperti alat elektronik dan juga kurang bagus jika
digunakan di kapal karena dapat mengganggu keseimbangannya. Air juga
dapat menambah panas apabila terkena karbit kopramentah, atau bahan-
bahan kimia tertentu. Pada saat ini bahan pemadam kebakaran air banyak
digunakan dengan sistem/bentuk kabut (fog) karena mempunyai beberapa
kelebihan jika dibandingkan dengan pancaran air seperti berikut ini.
a. Mempunyai kemampuan menyerap panas (pendinginan) lebih besar, 1
liter air yang dipancarkan dapat menyerap panas 30 kcal, sedangkan bila
dikabutkan 1 liter air dapat menjadi uap sebanyak 1600 lt dan akan
menyerap panas sampai 300 kcal.
b. Penyemprotan nozzle lebih mudah dikendalikan, dengan mengatur
nozzle pancaran dapat dikendalikan bahkan sistem kabut (fog).
c. Menghasilkan udara segar.
d. Dapat digunakan pada kebakaran minyak (zat cair).
2. Bahan pemadam busa (foam)
Bahan pemadam busa efektif untuk memadamkan kebakaran kelas B
(minyak, solar, dan cairnya), untuk memadamkan kebakaran benda padat
38
(Kelas A) kurang baik. Seperti diketahui bahwa pemadam kebakaran
dengan bahan busa adalah dengan cara isolasi yaitu mencegah masuknya
udara dalam proses kebakaran (api), dengan menutup/menyelimuti
permukaan benda yang terbakar sehingga api tidak mengalir. Menurut
proses pembuatannya terdapat dua jenis busa seperti berikut.
a. Busa kimia (Chemis).
b. Busa mekanis. Busa kurang sesuai untuk disemprotkan pada permukaan
cairan yang mudah bercampur dengan air (alkohol, spirtus) karena busa
mudah larut dalam air.
3. Bahan pemadam gas CO2
39
b. Dapat menurunkan suhu, mudah dibersihkan, dan tidak merusak alat-
alat.
Cara penggunaannya dry chemical hampir sama dengan gas CO2 sebagai
berikut.
a. Pertama harus diperhatikan adanya/arah angin, jika angin bertiup terlalu
kuat maka penggunaan dry chemical ini tidak efisien.
b. Arahkan pancaran pemotong nyala api dan usahakan dapat terbentuk
semacam awan/asap untuk menutup nyala api tersebut.
5. Bahan pemadam Gas Halogen (BCF)
Alat Pemadam Api Ringan jenis Halon 1211 (BCF/ Carbon, Flourine,
Chlorine, Bromide). Halon 1211 (BCF) biasanya dipasang di dinding-
dinding kantor dalam bentuk Alat Pemadam Api Ringan (APAR) dan
efektif digunakan pada ruangan, karena dalam pemadaman kebakaran
bersifat mengisolir oksigen, di samping itu gas halon sangat baik karena
tidak bersifat merusak dan bersih. (Ridley, 2008)
40
mengenai jenis alat pemadam api yang sesuai dengan material yang terbakar
sangat diperlukan.
Ketahuilah tempat pemadam api, perlengkapan pemadam api seperti
selang air, selimut api, mencuci muka/mandi di dalam daerah bekerja di mana
anda bekerja, jangan pindahkan alat pencegahan/pemadam kebakaran dari
daerah yang ditentukan tanpa persetujuan dari bagian Safety Personil kecuali
untuk penanggulangan terhadap bahaya kebakaran.
Jangan meletakkan benda yang menghalangi alat pemadam kebakaran.
Pemadam api harus selalu tersedia jika diperlukan untuk pekerjaan panas.
Laporkan segera ke petugas safety jika terdapat kerusakan pada alat pemadam
api. (Ridley, 2008)
D. PENYEBAB KEBAKARAN
Kebakaran dapat terjadi bila terdapat 3 hal sebagai berikut.
1. Terdapat bahan yang mudah terbakar baik berupa bahan padat cair atau gas
(kayu, kertas, tekstil, bensin, minyak, acetelin, dan lain-lain).
2. Terdapat suhu yang tinggi yang disebabkan oleh sumber panas seperti sinar
matahari, listrik (kortsluiting, panas energi mekanik (gesekan), reaksi
kimia, kompresi udara.
3. Terdapat Oksigen (O2) yang cukup kandungannya. Makin besar kandungan
oksigen dalam udara maka nyala api akan semakin besar. Pada kandungan
oksigen kurang dari 12% tidak akan terjadi kebakaran. Dalam keadaan
normal kandungan oksigen di udara 21%, cukup efektif untuk terjadinya
kebakaran.
Bila tiga unsur tersebut cukup tersedia maka kebakaran terjadi. Apabila
salah satu dari 3 unsur tersebut tidak tersedia dalam jumlah yang cukup maka
tidak mungkin terjadi kebakaran. Jadi, api dapat dipadamkan dengan tiga cara
yaitu
1. dengan menurunkan suhunya di bawah suhu kebakaran,
2. menghilangkan zat asam,
3. menjauhkan barang-barang yang mudah terbakar. (Ridley, 2008)
E. PENGELOMPOKAN KEBAKARAN
41
Pengelompokan kebakaran menurut peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 04/MEN/1980 Bab I Pasal 2, ayat 1 mengklasifikasikan
kebakaran menjadi 4 yaitu kategori A, B, C, D, sedangkan National Fire
Protection Association (NFPA) menetapkan 5 kategori jenis penyebab
kebakaran yaitu kelas A, B, C, D, dan K. Bahkan beberapa negara menetapkan
tambahan klasifikasi dengan kelas E. Klasifikasi kebakaran sebagai berikut.
1. Kebakaran Kelas A
Kebakaran kelas A adalah kebakaran yang menyangkut benda-benda padat
kecuali logam. Contoh: Kebakaran kayu, kertas, kain, plastik, dan
sebagainya. Alat/media pemadam yang tepat untuk memadamkan
kebakaran kelas ini adalah dengan: pasir, tanah/lumpur, tepung pemadam,
foam (busa), dan air.
2. Kebakaran Kelas B
Kebakaran kelas B adalah kebakaran bahan bakar cair atau gas yang mudah
terbakar. Contoh: kerosine, solar, premium (bensin), LPG/LNG, minyak
goreng. Alat pemadam yang dapat dipergunakan pada kebakaran tersebut
adalah tepung pemadam (dry powder), busa (foam), air dalam bentuk
spray/kabut yang halus.
3. Kebakaran Kelas C
Kebakaran kelas C adalah kebakaran instalasi listrik bertegangan. Seperti
breaker listrik dan alat rumah tangga lainnya yang menggunakan listrik.
Alat Pemadam yang dipergunakan adalah: Carbondioxyda (CO2), tepung
kering (drychemical). Dalam pemadaman ini dilarang menggunakan media
air.
4. Kebakaran Kelas D
Kebakaran kelas D adalah kebakaran pada benda-benda logam padat
seperti: magnesium, alumunium, natrium, kalium, dan sebagainy. Alat
pemadam yang dipergunakan adalah: pasir halus dan kering, dry powder
khusus.
5. Kebakaran Kelas K
Kebakaran kelas K adalah kebakaran yang disebabkan oleh bahan akibat
konsentrasi lemak yang tinggi. Kebakaran jenis ini banyak terjadi di dapur.
Api yang timbul di dapur dapat dikategorikan pada api Kelas B.
6. Kebakaran kelas E
42
Kebakaran kelas E adalah kebakaran yang disebabkan oleh adanya
hubungan arus pendek pada peralatan elektronik. Alat pemadam yang bisa
digunakan untuk memadamkan kebakaran jenis ini dapat juga
menggunakan tepung kimia kering (dry powder), akan tetapi memiliki
risiko kerusakan peralatan elektronik, karena dry powder mempunyai sifat
lengket. Lebih cocok menggunakan pemadam api berbahan clean agent.
43
membara, bunga api, petir, reaksi eksoterm, timbulnya bara api juga terjadi
karena gesekan benda dalam waktu relatif lama, atau terjadi hubungan
singkat rangkaian listrik. Berikut ini adalah beberapa cara pengendalian
titik nyala api antara lain:
1) Jangan menggunakan steker berlebihan.
2) Sambungan kabel harus sempurna.
3) Jangan mengisi minyak pada waktu kompor menyala.
4) Sumbu kompor jangan ada yang kosong.
5) Jangan meninggalkan kompor yang menyala.
6) Hati-hati menaruh lilin dan obat nyamuk. (Ridley, 2008)
BAB III
KESIMPULAN
44
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah suatu usaha dan upaya untuk
menciptakan perlindungan dan keamanan dari resiko kecelakaan dan bahaya baik
fisik, mental maupun emosional terhadap pekerja, perusahaan, masyarakat dan
lingkungan. Kesehatan dan Keselamatan Kerja merupakan salah satu unsur yang
penting dalam ketenagakerjaan. Oleh karena itulah sangat banyak berbagai peraturan
perundang-undangan yang dibuat untuk mengatur masalah ini.
Kesehatan dan keselamatan kerja atau K3 diharapkan dapat menjadi upaya
preventif terhadap timbulnya kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja
dalam lingkungan kerja. Pelaksanaan K3 diawali dengan cara mengenali hal-hal yang
berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja dan
tindakan antisipasi bila terjadi hal demikian. Tujuan dari dibuatnya sistem ini adalah
untuk mengurangi biaya perusahaan apabila timbul kecelakaan kerja dan penyakit
akibat hubungan kerja.
Peran tenaga kesehatan dalam menangani korban kecelakaan kerja adalah
menjadi melalui pencegahan sekunder ini dilaksanakan melalui pemeriksaan
kesehatan pekerja yang meliputi pemeriksaan awal, pemeriksaan berkala, dan
pemeriksaan khusus. Untuk mencegah terjadinya kecelakaan dan sakit pada tempat
kerja dapat dilakukan dengan penyuluhan tentang kesehatan dan keselamatan kerja.
DAFTAR PUSTAKA
45
Sucipto, Cecep Dani. 2014. Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Yogyakarta: Gosyen
Publishing.
Buntarto. 2015. Panduan Praktis Keselamatan & Kesehatan Kerja untuk Industri.
Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Ridley, John. 2008. Kesehatan dan Keselamatan Kerja Ikhtisar. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Alli, B. O. (2008). Fundamentals Principles of Occupational Health and Safety.
Geneva, Swiss.
British Safety Council. (2014, August 19). Health and safety timeline: 200 years of
progress. Retrieved October 28, 2015, from British Safety Council:
https://sm.britsafe.org/health-and-safety-timelineHarington. 2005. Buku saku
Kesehatan Kerja. Jakarta: EGC
Herdiana, D., Kusumawardani, H. T., Efendi, N., & Saputra, I. E. (2014). Kesehatan
Lingkungan Kerja. In A. Wibowo, Kesehatan Masyarakat di Indonesia (pp. 249-261).
Jakarta: Rajawali Press
Sary, Indah. 2010. Upaya Promosi Kesehatan Di Tempat Kerja Terkait Pengetahuan,
Suma’mur. 1990 Keselamatan kerja dan pencegahan kecelakaan. Jakarta: CV Haji
Masagung
46