Вы находитесь на странице: 1из 20

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA An. A DENGAN DIAGNOSA MEDIS St. EPILEPTIKUS

DI RUANG 7B RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

OLEH

SOFIYATUS SAK’DIYAH

P17220173015

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG

JURUSAN KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN LAWANG

FEBRUARI 2019
LAPORAN PENDAHULUAN
EPILEPSI

I. KONSEP DASAR
A. DEFINISI
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang
akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto,
2007).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang
datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan
listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi
(Arif, 2000).
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan
ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik
neron-neron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan
laboratorik. Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua
bahkan bayi yang baru lahir (Utopias,2008).
B. KLASIFIKASI
Epilepsi diklasifikasikan menjadi dua pokok umum yaitu klasifikasi epilepsi
dengan sindrom epilepsi dan klasifikasi berdasarkan tipe kejang
1. Klasifikasi epilepsi dan sindrom epilepsy
Berdasarkan penyebab
a. Epilepsi idiopatik: bila tidak diketahui penyebabnya, epilepsi pada anak
dengan paroksimal oksipital
b. Simtomatik: bila ada penyebabnya, letak fokus pada pada semua lobus
otak
2. Klasifikasi tipe kejang epilepsi (browne, 2008)
a. Epilepsi kejang parsial (lokal, fokal)
1. Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran
tetap normal
2. Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran.
3. Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-
klonik, tonik, klonik).
b. Epilepsi kejang umum
1. Lena Atau Kejang absant (Petit mal)
2. Grand Mal
3. Epilepsi kejang tak tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan
bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang,
menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sederhana.

II. PATOFISIOLOGI (POHON MASALAH)


Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan
pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron.
Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf
yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat
yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid)
bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan
epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit
ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan
hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan
demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar
ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat
merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan
menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan
terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel
lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx 𝑁𝑎 + ke
intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke
dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah
keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi
neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus
kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik.
Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut.
Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat
apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu
kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
a) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
b) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
c) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi
asam gama-aminobutirat (GABA).
d) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang
sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat
hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi
1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama
dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses
berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena pendarahan;
kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama
aktivitas kejang.
Pathway
Trauma lahir, cedera kepala,
Faktor idiopatik demam, gangguan metabolik,
tumor otak

Kerusakan neuron

stabilisasi membran sinaps Ketidak seimbangan neurotransmiter


sinapsmembra

Invlux Na ke intraseluler depolarisasi Asetilkolin GABA zat inhibitif


(zat eksitatif) )
Na dlm intra sel berlebihan
G3 polarisasi (hypo/hiper
polarisasi) Kerusakan berfikir
Ketidk seimbangan ion Na & Ka

G3 presesi
Ketidak sambungan lektrolit sensori
Isolasi
G3b depolarisasi (ke listrikan saraf) sosial
KEJANG

Parsial Umum

sederhana komplex
absen mioklonik Tonik klonik atonik
s

kesadaran G3 peredaran darah Aktifitas otot

Reflek menelan Pen CO metabolisme


Resti injuri
Akumulasi mucus Permeabilitas
kapiler Keb O2
suhu tubuh/
hipertermi
G3 bersihan jalan asfiksia
nafas inefektif

Lidah melemah, dan Kerusakan


Gangguan perfusi G3 nervus V, IX, X
menutup saluran trakea neuron otak
jaringan
III. ETIOLOGI
A. Menurut Pincus Catzel halaman 216-226, penyebab epilepsi yaitu:
1. Pra Lahir-genetika
Kesalahan metabolisme herediter seperti penyakit penimbunan glikogen dan
fenilketonuria. Anomali otak kongenital seperti porensefali, infeksi dalam
rahim seperti rubella, penyakit cytomegalo virus, meningoensefalolitis dan
toksoplasmosis.
2. Perinatal
Trauma kelahiran, infeksi, hiperbilirubinemia, hipoglikemia dan
hipokalsemia.
3. Pasca Lahir
Termasuk meningitis, trauma, ensefalitis, ensefalopati (misalnya keracunan
timah an elektrolit berat, neoplasma dan kelainan degeneratif SSP.

B. Menurut Arif Mansjoer halaman 27, penyebab epilepsi yaitu :


1. Idiopatik
Sebagian epilepsi pada anak adalah epilepsi idiopatik.
a. Faktor Herediter
Ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai bangkitan
kejang seperti sklerosis tuberosa, neurofibromatosis, fenilketonuria,
hipoparatiroidisme, hipoglikemia.
b. Faktor Genetik
Pada kejang demam dan breath holding spell.
c. Kelainan Kongenital Otak
Atrofi, porensefali
d. Gangguan Metabolik
Penurunan konsentrasi glukosa darah (Hipoglikemia), hipokalsemia,
hiponatremia, hipernatremia.
1. Glukosa digunakan dalam metabolisme dari otak. Kekurangan
glukosa sama merusak seperti kekurangan oksigen.
2. Air dan elektrolit sepanjang membrane sel bertanggungjawab bagi
keadaan terangsang (eksitabilitas) neuron dan karena setiap
gangguan elektrolit dapat mencetuskan konvulsi.
e. Infeksi
Radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan selaputnya,
toksoplamosis.
f. Trauma
Cedera kepala, kontusio cerebri, hematoma subaraknoid, hematoma
subdural.
g. Neoplasma dan selaputnya
Tumor otak yang jinak (benigna) lebih sering mengakibatkan epilepsy
dibanding tumor ganas. Hal ini didapatkan pada sekitar 25-40 %
penderita tumor otak.
h. Keracunan
Timbal (Pb), kamper (kapur barus), air.

C. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi ialah faktor yang mempermudah terjadinya serangan, yaitu :
1. Faktor sensori
Cahaya, bunyi-bunyi yang mengejutkan, air panas.
2. Faktor sistenis
Demam, penyakit infeksi, obat-obatan tertentu (misal fenotiazin),
hipoglikemia dan kelelahan fisik.
3. Faktor mental
Stress, gangguan emosi.
4. Haid
Penelitian menduga bahwa perubahan keseimbangan hormon semasa haid
ikut berperan dalam mencetuskan serangan.

Tabel 01. Penyebab-penyebab kejang pada epilepsy


Bayi (0- 2 th) Hipoksia dan iskemia prenatal
Cedera lahir intrakranial
Infeksi akut
Gangguan metabolik (hipoglikemia,
hipokalsemia, hipomagnesmia, defisiensi
piridoksin)
Malformasi kongenital
Gangguan genetic
Anak (2- 12 th) Idiopatik
Infeksi akut
Trauma
Kejang demam
Remaja (12-18 th) Idiopatik
Trauma
Gejala putus obat dan alkohol
Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- Trauma
35 th) Alkoholisme
Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35 Tumor otak
th) Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )
Alkoholisme

IV. GEJALA/TANDA
A. Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau
gangguan penginderaan
B. Kelainan gambaran EEG
C. Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen
D. Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura
dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak
enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)
E. Napas terlihat sesak dan jantung berdebar
F. Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat
G. Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus
atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak
normal seperti pada keadaan normal
H. Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang
individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat
I. Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara secara
tiba- tiba
J. Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang-
menendang
K. Gigi geliginya terkancing
L. Hitam bola matanya berputar- putar
M. Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air kecil
N. Klien sadar kembali dengan lesu, nyeri otot dan sakit kepala.
V. MASALAH KEPERAWATAN
1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah
di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3. Ketidakefektifan pola napas b.d terganggunya saraf pusat pernafasan

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Pemeriksaan laboratorium
1) Elektrolit : tidak seimbang dapat berpengaruh atau menjadi predisposisi
pada aktivitas kejang
2) Glukosa : hipoglikemi, dapat menjadi presipitasi (pencetus kejang)
3) Ureum atau kreatinin : meningkat, dapat meningkatkan resiko timbulnya
aktivitas kejang atau mungkin sebagai indikasi nefrotoksik yang
berhubungan dengan pengobatan.
4) Pungsi lumbal (PL) : untuk mendeteksi tekanan abnormal dari CSS, tanda-
tanda infeksi, perdarahan (hemoragik subarachnoid, subdural) sebagai
penyebab kejang tersebut.
B. Pemeriksaan EEG
Pemeriksaan EEG sangat berguna untuk diagnosis epilepsi. Rekaman EEG dapat
menentukan fokus serta jenis epilepsi apakah fokal, multifokal, kortikal atau
subkortikal dan sebagainya. Harus dilakukan secara berkala (kira-kira 8-12 %
pasien epilepsi mempunyai rekaman EEG yang normal).
C. MRI : melokalisasi lesi-lesi fokal.
D. Pemeriksaan radiologis
Foto tengkorak untuk mengetahui kelainan tulang tengkorak, destruksi tulang,
kalsifikasi intrakranium yang abnormal, tanda peninggian TIK seperti pelebaran
sutura, erosi sela tursika dan sebagainya
Pneumoensefalografi dan ventrikulografi untuk melihat gambaran ventrikel,
sisterna, rongga sub arachnoid serta gambaran otak. Arteriografi untuk
mengetahui pembuluh darah di otak : anomali pembuluh darah otak,
penyumbatan, neoplasma dan hematoma

VII. PENATALAKSANAAN
A. Penatalaksanaan Medis
1) Farmakoterapi : Anti kovulsion untuk mengontrol kejang
2) Pembedahan : Untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau
adanya anomali vaskuler
3) Jenis obat yang sering digunakan
a) Phenobarbital (luminal).
Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah.
b) Primidone (mysolin)
Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan
phenyletylmalonamid.
c) Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin).
1. Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialah
DPH. Berhasiat terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus
temporalis.
2. Tak berhasiat terhadap petit mal.
3. Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus, ataxia, hiperlasi
gingiva dan gangguan darah.
d) Carbamazine (tegretol).
1. Mempunyai khasiat psikotropik yang mungkin disebabkan
pengontrolan bangkitan epilepsi itu sendiri atau mungkin juga
carbamazine memang mempunyai efek psikotropik.
2. Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang
sering disertai gangguan tingkah laku.
3. Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo,
disartri, ataxia, depresi sumsum tulang dan gangguan fungsi hati.
e) Diazepam.
1. Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung
(status konvulsi.).
2. Pemberian i.m. hasilnya kurang memuaskan karena penyerapannya
lambat. Sebaiknya diberikan i.v. atau intra rektal.
f) Nitrazepam (Inogadon).
Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus.
g) Ethosuximide (zarontine)
Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal
h) Na-valproat (dopakene)
1. Obat pilihan kedua pada petit mal
2. Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai.
3. Obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak.
4. Efek samping mual, muntah, anorexia
i) Acetazolamide (diamox).
1. Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan
epilepsi.
2. Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak
menurun, influks Na berkurang akibatnya membran sel dalam
keadaan hiperpolarisasi.
j) ACTH
Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantil.
B. Penatalaksanaan Keperawatan
Cara menanggulangi kejang epilepsi :
1) Selama Kejang
a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin
tahu
b) Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
c) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras,
tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
d) Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping
untuk mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
e) Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara
giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi
klien melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita
tapi jangan sampai menutupi jalan pernapasannya.
f) Ajarkan penderita untuk mengenali tanda-tanda awal munculnya epilepsi
atau yang biasa disebut “aura”. Jika Penderita mulai merasakan aura,
maka sebaiknya berhenti melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan
anjurkan untuk langsung beristirahat atau tidur.
g) Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang
terluka berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.
2) Setelah Kejang
a) Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
b) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi.
Yakinkan bahwa jalan napas tidak mengalami gangguan.
c) Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal.
d) Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah
kejang.
e) Pasien pada saat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
f) Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yang hilang selama
kejang dan biarkan penderita beristirahat.
g) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba
untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member
restrein yang lembut
h) Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk
pemberian pengobatan oleh dokter.
Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan
medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah
bagaimana meminimalisasikan dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi
penderita dan keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita
epilepsi.
VIII. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian
dan diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita untuk masuk RS. Pasien
sering mangalami kejang.
3. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya keluhan,
mulai timbul. Biasanya ditandai dengan anak mulai rewel, kelihatan pucat,
demam, anemia, terjadi pendarahan (pendarah gusi dan memar tanpa sebab),
kelemahan. nyeri tulang atau sendi dengan atau tanpa pembengkakan.
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaa
n penyakit sekarang perlu ditanyakan.
5. Riwayat kehamilan dan kelahiran.
Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal.
Dalam riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita
oleh ibu. Riwayat natal perlu diketahui apakah bayi lahir dalam usia kehamilan
aterm atau tidak karena mempengaruhi sistem kekebalan terhadap penyakit
pada anak. Trauma persalinan juga mempengaruhi timbulnya penyakit
contohnya aspirasi ketuban untuk anak. Riwayat post natal diperlukan untuk
mengetahui keadaan anak setelah kelahariran dan pertumbuhan dan
perkembanagannya.
6. Riwayat penyakit keluarga
Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya dengan
penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan keluarga perlu
diketahui, apakah ada yang menderita gangguan hematologi, adanya faktor
hereditas misalnya kembar monozigot.
Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam
mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya.
a) Selama serangan :
1. Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.
2. Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
3. Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
4. Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik,
kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.
5. Apakah pasien menggigit lidah.
6. Apakah mulut berbuih.
7. Apakah ada inkontinen urin.
8. Apakah bibir atau muka berubah warna.
9. Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.
10. Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah
pada satu sisi atau keduanya.
b) Sesudah serangan
1. Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit,
gangguan bicara
2. Apakah ada perubahan dalam gerakan.
3. Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi
sebelum, selama dan sesudah serangan.
4. Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau
frekuensi denyut jantung.
5. Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.
c) Riwayat sebelum serangan
1. Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi
2. Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar.
3. Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik,
olfaktorik maupun visual.
d) Riwayat Penyakit
1. Sejak kapan serangan terjadi.
2. Pada usia berapa serangan pertama.
3. Frekuensi serangan.
4. Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam,
kurang tidur, keadaan emosional.
5. Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai
dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang.
6. Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak
7. Apakah makan obat-obat tertentu
8. Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga
Pemeriksaan fisik
1. Tingkat kesadaran pasien
2. Sirkulasi
Gejala : palpitasi.
Tanda : Takikardi, membrane mukosa pucat.

3. Penglihatan (mata)
Perubahan pada posisi bola mata, dan perubahan pupil
4. Makanan / cairan
Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia.
Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, perdarahan pada gusi
5. Ekstremitas:
Adanya kelemahan otot ekstremitas, distrosia osteo atau tidak
6. Integritas ego
Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan.
Tanda : depresi, ansietas, marah.
7. Neurosensori
Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang konsentrasi, pusing.
Tanda : aktivitas kejang, otot mudah terangsang.
8. Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram otot.
Tanda : gelisah, distraksi.
9. Pernafasan
Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal, akumulasi cairan.
Tanda : dispnea, apnea, batuk
B. Diagnosa yang mungkin muncul
1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah
di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3. Ketidakefektifan pola napas b.d terganggunya saraf pusat pernafasan
C. Rencana Keperawatan
1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk
klien, menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman,
tidak ada memar, tidak jatuh

Intervensi Rasional

Kaji tanda-tanda vital Untuk mengetahui tindakan keperawatan


selanjutnya.

Identivikasi factor lingkungan yang Barang- barang di sekitar pasien dapat


memungkinkan resiko terjadinya cedera membahayakan saat terjadi kejang

Pantau status neurologis setiap 8 jam Mengidentifikasi perkembangan atau


penyimpangan hasil yang diharapkan

Jauhkan benda- benda yang dapat Mengurangi terjadinya cedera seperti


mengakibatkan terjadinya cedera pada akibat aktivitas kejang yang tidak
pasien saat terjadi kejang terkontrol

Pasang penghalang tempat tidur pasien Penjagaan untuk keamanan, untuk


mencegah cidera atau jatuh

Letakkan pasien di tempat yang rendah Area yang rendah dan datar dapat
dan datar mencegah terjadinya cedera pada pasien
Tinggal bersama pasien dalam waktu Memberi penjagaan untuk keamanan
beberapa lama setelah kejang pasien untuk kemungkinan terjadi kejang
kembali

Menyiapkan kain lunak untuk mencegah Lidah berpotensi tergigit saat kejang
terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi karena menjulur keluar
kejang

Tanyakan pasien bila ada perasaan yang Untuk mengidentifikasi manifestasi awal
tidak biasa yang dialami beberapa saat sebelum terjadinya kejang pada pasien
sebelum kejang

Berikan obat anti konvulsan sesuai advice Mengurangi aktivitas kejang yang
dokter berkepanjangan, yang dapat mengurangi
suplai oksigen ke otak

2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah


di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
Tujuan : jalan nafas menjadi efektif
Kriteria hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak
ada dispnea

Intervensi Rasional

Kaji tanda-tanda vital Untuk mengetahui tindakan keperawatan


selanjutnya

Identifikasi bersihan jalan nafas Mengurangi terjadinya subatan jalan nafas

Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut Menurunkan resiko aspirasi atau


dari benda / zat tertentu / gigi palsu atau masuknya sesuatu benda asing ke faring.
alat yang lain jika fase aura terjadi dan
untuk menghindari rahang mengatup jika
kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal.
Letakkan pasien dalam posisi miring, meningkatkan aliran (drainase) sekret,
permukaan datar mencegah lidah jatuh dan menyumbat
jalan nafas

Tanggalkan pakaian pada daerah leher /


dada dan abdomen untuk memfasilitasi usaha bernafas /
ekspansi dada

Mengeluarkan mukus yang


Melakukan suction sesuai indikasi
berlebih, menurunkan resiko aspirasi atau
asfiksia.

Berikan oksigen sesuai program terapi Membantu memenuhi kebutuhan oksigen


agar tetap adekuat, dapat menurunkan
hipoksia serebral sebagai akibat dari
sirkulasi yang menurun atau oksigen
sekunder terhadap spasme vaskuler
selama serangan kejang.

3. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan gangguan saraf pernafasan


Tujuan :
setelah diberikan asuhan keperawatan selama … pasien tidak mengalami gangguan
pola napas kriteria hasil :
 RR dalam batas normal sesuai umur
 Nadi dalam batas normal sesuai umur
Intervensi Rasional

Kaji tanda-tanda vital Untuk mengetahui tindakan keperawatan


selanjutnya

Identifikasi pola napas Untuk mengetahui adanya tanda hipoksia


Tanggalkan pakaian pada daerah Memfasilitasi usaha bernapas/ekspansi
leher/dada, abdomen dada

Masukkan spatel lidah/jalan napas buatan Dapat mencegah tergigitnya lidah, dan
memfasilitasi saat melakukan penghisapan
lendir, atau memberi sokongan pernapasan
jika diperlukan

Menurunkan risiko aspirasi atau asfiksia

Lakukan penghisapan sesuai sesuai indikasi

Berikan tambahan O2 Dapat menurunkan hipoksia serebral


DAFTAR PUSTAKA

Ola, B. 2012. Asuhan Keperawatan Epilepsi Pada Anak, (Online),


(https://www.academia.edu/15889178/225160127-ASUHAN-KEPERAWATAN-
EPILEPSI-PADA-ANAK) diakses pada februari 2019
Ayu, M. 2015. LP Epilepsi, (Online),
(https://www.academia.edu/10646171/LP_EPILEPSI..) diakses pada februari 2019
Legu, A. 2014. Laporan Pendahuluan Epilepsi, (Online),
(https://www.academia.edu/10079976/LAPORAN_PENDAHULUAN_EPILEPSI) diakses
pada februari 2019
Ben. 2015. Laporan Pendahuluan Epilepsi, (Online),
(https://id.scribd.com/doc/285687815/LAPORAN-PENDAHULUAN-EPILEPSI) diakses
pada februari 2019

Вам также может понравиться