Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PRESEPTOR :
Hj. Hertika dr,. Sp.PD
PENYUSUN:
Ibnu Abdillah 12100111003
Tri Suci Lestari 12100111029
Dony Septriana R 12100111031
1.1. Pendahuluan
Penyakit jantung koroner ialah suatu penyakit yang sangat umum terjadi dan
merupakan penyebab kematian nomor satu di negara-negara maju. Di Indonesia dengan
makin berkembangnya tingkat kesejahteraan masyarakat sejalan dengan lajunya
pembangunan, sudah dapat diramalkan penyakit ini juga akan menjadi penyebab
kematian nomor satu.6
Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan pada tahun 1992 menunjukkan bahwa penyebab kematian utama di Indonesia
terutama di kota besar adalah penyakit kardiovaskuler. Sedangkan SKRT yang dilakukan
pada tahun 1972, penyakit kardiovaskuler baru menduduki urutan ke 11.6
Operasi jantung koroner yang dilakukan di Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta
mencapai lebih dari 200 kasus pada tahun 1992 dibandingkan hanya 20-30 kasus pada
tahun 1984. Ini belum termasuk kasus-kasus yang berobat di luar negeri dan angioplasti.6
Di Rumah Sakit Jantung Rajawali Bandung, kasus penyakit jantung koroner yang
berupa infark miokard pada tahun 1992 meningkat menjadi rata-rata 1,5-2 kasus per hari,
dibandingkan 0,5-1 kasus per hari pada tahun 1990.6
1.2. Epidemiologi
Data penelitian Framingham di Amerika Serikat yang didapat pada tahun 1950
dan 1960 menunjukkan bahwa dari empat pria dengan angina, satu orang akan
mengalami infark miokard dalam waktu 5 tahun. Sedangkan untuk wanita resikonya
hanya setengah dari itu.5
Penelitian menunjukkan pula bahwa penderita yang simtomatis prognosisnya
lebih daripada yang penderita yang asimtomatis. Data saat ini menunjukkan bahwa bila
penderita asimtomatis atau dengan simtom ringan, kematian tahunan pada penderita
dengan pada satu dan dua pembuluh darah koroner adalah 1,5 % dan kira-kira 6 % untuk
lesi pada tiga pembuluh darah koroner. Kalau pada golongan terakhir ini kemampuan
latihan (exercise capacity) penderita baik, kematian tahunan adalah 4 % dan bila ini tidak
baik kematian tahunannya kira-kira 9 %, karena itu penderita harus dipertimbangkan
untuk revaskularisasi.5
Data dari Coronary Artery Surgery Study (CASS) telah menunjukkan hubungan
antara jumlah pembuluh darah koroner yang terlibat, banyak stenosis di pembuluh darah
koroner bagian proksimal serta kemunduran kemampuan fungsi ventrikel kiri sebagai
tanda prognosis tidak baik.5
Survey Kesehatan Rumah Tangga Nasional Departemen Kesehatan 1996
melaporkan angka kematian di daerah perkotaan dan di pedesaan untuk penyakit jantung
koroner masing-masing 53,5 dan 24,6 per 100.000 penduduk. Ini relatif masih rendah
dibandingkan negara maju. Sebagai gambaran, negara tetangga kita Singapura
mempunyai angka kematian untuk penyakit jantungkoroner sebanyak 215 per 100.00
penduduk pada tahun 1994.5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Sindroma koronaria akut adalah gabungan gejala klinik yang menandakan
iskemia miokard akut, yang terdiri dari infark miokard akut dengan elevasi segmen ST
(ST segment elevation myocardial infarction = STEMI), infark miokard akut tanpa elevasi
segmen ST (non ST segment elevation myocardial infarction = NSTEMI), dan angina
pectoris tidak stabil (unstable angina pectoris = UAP). Ketiga kondisi tersebut berkaitan
erat, hanya berbeda dalam derajat beratnya iskemia dan luasnya jaringan miokardiaum
yang mengalami nekrosis.4
UAP dan NSTEMI merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan
patofisiologi dan gambaran klinis. Perbedaan antara angina pectoris tidak stabil (UAP)
dengan infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) adalah apakah iskemi
yang ditimbulkan cukup berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan miokardium,
sehingga adanya marker kerusakan miokardium dapat diperiksa.4
2. Hiperlipidemia
Lipid plasma (kolesterol, trigliserida, fosfolipida, dan asam lemak bebas) berasal
dari makanan (eksogen) dan sintesis lemak endogen. Kolesterol dan trigliserida
adalah dua jenis lipd yang relatif mempunyai makna klinis yang penting
sehubungan dengan aterogenesis. Lipid terikat pada protein, karena lipid tidak
larut dalam plasma. Ikatan ini menghasilkan empat kelas utama lipoprotein,
yaitu; kilomikron, VLDL, LDL dan HDL. LDL paling tinggi kadar kolesterolnya,
sedangkan kilomikron dan VLDL kaya akan trigliserida. Kadar protein tertinggi
terdapat pada HDL.7
Peningkatan kolesterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya resiko penyakit
jantung koroner, sementara kadar HDL yang tinggi berperan sebagai faktor
pelindung penyakit jantung koroner, sebaliknya kadar HDL yang rendah ternyata
bersifat aterogenik. Rasio kadar LDL dan HDL dalam darah mempunyai makna
klinis untuk terjadinya aterosklerosis.7
3. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap
pemompaan darah dari ventrikel kiri, akibatnya beban kerja jantung bertambah.
Sebagai akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel untuk menguatkan kontraksi. Akan
tetapi kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan
hipertropi kompensasi akhirnya terlampaui , tejadi dilatasi dan payah jantung.
Jantung jadi semakin terancam dengan adanya aterosklerosis koroner. Kebutuhan
oksigen miokardium meningkat sedangkan suplai oksigen tidak mencukupi,
akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa menjadi infark. 7
Disamping itu, hipertensi dapat meningkatkan kerusakan endotel pembuluh darah
akibat tekanan tinggi yang lama (endothelial injury).7
4. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus menyebabkan gangguan lipoprotein. LDL dari sirkulasi akan di
bawa ke hepar. Pada penderita diabetes mellitus, degradasi LDL di hepar
menurun, dan gikolasi kolagen meningkat. Hal ini mengakibatkan meningkatnya
LDL yang berikatan dengan dinding vaskuler.7
5. Obesitas
Kegemukan mungkin bukan faktor resiko yang berdiri sendiri, karena pada
umumnya selalu diikuti oleh faktor resiko lainnya.7
2.3. Faktor Predisposisi
1. Hipertensi
Di samping itu, hipertensi dapat meningkatkan kerusakan endotel pembuluh darah
akibat tekanan tinggi yang lama. Hipertensi dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya rupturnya plak pada pembuluh darah.1
2. Anemia
Adanya anemia mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke jaringan, termasuk
ke jaringan jantung. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen, jantung dipacu untuk
meningkatkan cardiac ouput. Hal ini mengakibatkan kebutuhan oksigen di jantung
meningkat. Ketidakseimbangan kebutuhan dan suplai oksigen mengakibatkan
gangguan pada jantung.1
3. Kerja fisik / olahraga
Pada aktivitas fisik yang meningkat, kebutuhan oksigen terhadap jaringan dan
miokardium meningkat. Adanya aterosklerosis mengakibatkan suplai oksigen
tidak mencukupi, akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa
terjadi infark.1
2.4. Patogenesis
Mekanisme umum terjadinya SKA adalah ruptur atau erosi lapisan fibrotik dari
plak arteri koronaria. Hal ini mengawali terjadinya agregasi dan adhesi platelet,
trombosis terlokalisir, vasokonstriksi, dan embolisasi trombus distal. Keberadaan
kandungan lipid yang banyak dan tipisnya lapisan fibrotik, menyebabkan tingginya
resiko ruptur plak arteri koronaria. Pembentukan trombus dan terjadinya vasokonstriksi
yang disebabkan pelepasan serotonin dan tromboxan A2 oleh platelet mengakibatkan
iskemik miokardium yang disebabkan oleh penurunan aliran darah koroner.4
Aterosklerosis adalah bentuk arteriosklerosis dimana terjadi penebalan dan
pengerasan dari dinding pembuluh darah yang disebabkan oleh akumulasi makrofag yang
berisi lemak sehingga menyebabkan terbentuknya lesi yang disebut plak. Aterosklerosis
bukan merupakan kelainan tunggal namun merupakan proses patologi yang dapat
mempengaruhi system vaskuler seluruh tubuh sehingga dapat menyebabkan sindroma
iskemik yang bervariasi dalam manifestasi klinis dari tingkat keparahan. Hal tersebut
merupakan penyebab utama penyakit arteri koroner.1
Oksidasi LDL merupakan langkah terpenting pada atherogenesis. Inflamasi
dengan stress oksidatif dan aktivasi makrofag adalah mekanisme primer. Diabetes
mellitus, merokok, dan hipertensi dihubungkan dengan peningkatan oksidasi LDL yang
dipengaruhi oleh peningkatan kadar angiotensin II melalui stimulasi reseptor AT-I.
Penyebab lain dapat berupa peningkatan C-reactive protein, peningkatan fibrinogen
serum, resistensi insulin, stress oksidatif, infeksi dan penyakit periodontal. 1
LDL teroksidasi bersifat toksik terhadap sel endotel dan menyebabkan proliferasi
sel otot polos, aktivasi respon imun dan inflamasi. LDL teroksidasi mauk ke dalam tunika
intima dinding arteri kemudian difagosit oleh makrofag. Makrofag yang mengandung
oksi-LDL disebut foam cell berakumulasi dalam jumlah yang signifikan maka akan
membentuk jejas fatty streak. Pembentukan lesi tersebut dapat ditemukan pada dinding
pembuluh darah sebagian orang termasuk anak-anak. Ketika terbentuk, fatty streak
memproduksi radikal oksigen toksik yang lebih banyak dan mengakibatkan perubahan
inflamasi dan imunologis sehingga terjadi kerusakan yang lebih ptogresif. Kemudian
terjadi proliferasi sel otot polos, pembentukan kolagen dan pembentukan plak fibrosa di
atas sel otot polos tersebut. Proses tersebut diperantarai berbagai macam sitokin inflamasi
termasuk growth factor (TGF beta). Plak fibrosa akan menonjol ke lumen pembuluh
darah dan menyumbataliran darah ysng lebih distal, terutama pada saat olahraga,
sehingga timbul gejala klinis (angina atau claudication intermitten).1
Banyak plak yang unstable (cenderung menjadi ruptur) tidak menimbulkan gejala
klinis sampai plak tersebut mengalami ruptur. Ruptur plak terjadi akibat aktivasi reaksi
inflamasi dari proteinase seperti metalloproteinase matriks dan cathepsin sehingga
menyebabkan perdarahan pada lesi. Plak atherosklerosis dapat diklasifikasikan
berdasarkan strukturnya yang memperlihatkan stabilitas dan kerentanan terhadap ruptur.
Plak yang menjadi ruptur merupakan plak kompleks. Plak yang unstable dan cenderung
menjadi rupture adalah plak yang intinya banyak mengandung deposit LDL teroksidasi
dan yang diliputi oleh fibrous caps yang tipis. Plak yang robek (ulserasi atau rupture)
terjadi karena shear forces, inflamasi dengan pelepasan mediator inflamasi yang multiple,
sekresi macrophage-derived degradative enzyme dan apotosis sel pada tepi lesi. Ketika
rupture, terjadi adhesi platelet terhadap jaringan yang terpajan, inisiasi kaskade
pembekuan darah, dan pembentukan thrombus yang sangat cepat. Thrombus tersebut
dapat langsung menyumbat pembuluh darah sehingga terjadi iskemia dan infark.1
Rupture of plaque
Unstable angina or
myocardial infarction
2.5. Patofisiologi
Proses progresifitas dari plak atherosklerotik dapat terjadi perlahan-lahan. Namun,
apabila terjadi obstruksi koroner tiba-tiba karena pembentukan thrombus akibat plak
aterosklerotik yang rupture atau mengalami ulserasi, maka terjadi sindrom koroner akut.1
- Unstable angina : adalah akibat dari iskemi miokard reversibel dan dapat mencetuskan
terjadinya infark.1
- Infark miokard : terjadi apabila iskemia yang berkepanjangan menyebabkan kerusakan
ireversibel dari otot jantung. 1
Atherosclerotic plaque partially obstructs
coronary blood flow
Trancient Sustained
ischemia ischemia
Unstable angina
Myocardial
infarction
Stunned myocytes
Ruptur Plak
Ruptur dari plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting dari angina
pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari
pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Dua
pertiga dari pembuluh yang mengalami rutur sebelumnya mempunyai
penyempitan 50 % atau kurang, dan pada 97 % pasien dengan angina tak stabil
mempunyai penyempitan kurang dari 70 %. Plak aterosklerotik terdiri dari inti
yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotik (fibrotic cap).
Plak yang tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya
infiltrasi sel makrofage. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan
dengan intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang
keretakan timbul pada dinding plak yang paling lemah Karen adanya enzim
protease yang dihasilkan makrofage dan secara enzimatik melemahkan dinding
plak (fibrous cap).2
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan
menyebabkan aktivasi terbentuknya thrombus. Bila thrombus menutup pembuluh
darah 100 % akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila
trombus tidak menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat
akan terjadi angina tak stabil.2
Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak
stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang
diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah
dan menyebabkan spasm. Spasm yang terlokalisir seperti pada angina Prinzmetal
juga dapat menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasm seringkali terjadi pada
plak yang tak stabil, dan mempunyai peran pembentukan trombus.2
Kematian selular
Iskemia miokard yang berlangsung lebih dari 20 menit merupakan jejas
hipoksia irreversible yang dapat menyebabkan kematian sel dan nekrosis jaringan.
Nekrosis jaringan miokardium dapat menyebabkan pelepasan beberapa enzim
intraseluler tertentu melalui membrane sel yang rusak ke dalam ruang intersisisal.
Enzim yang terlepas kemudian diangkut melalui pembuluh darah limfe ke
pembuluh darah. Sehingga dapat terdeteksi oleh tes serologis.2
bawah ini.
2
Waktu Perubahan Jaringan Tahapan Proses Pemulihan
setelah MI
6-12 jam Tidak ada perubahan Belum dimulai
makroskopis; sianosis subseluler
dengan penurunan temperatur
18-24 jam Pucat sampai abu-kecoklatan; Respon inflamasi;
slight pallor pelepasan enzim
intraseluler
2-4 hari Tampak nekrosis; kuning-coklat di Enzim proteolitik
tengah dan hiperemis di sekitar dipindahkan oleh debris;
tepi katekolamin, lipolisis, dan
glikogenolisis
meningkatkan glukosa
plasma dan FFA untuk
membantu miokard keluar
dari anaerobic state
4-10 hari Area soft, dengan degenerasi Debris telah dibersihkan;
lemak di tengah, daerah collagen matrix laid down
perdarahan pada area infark
10-14 hari Weak, fibrotic scar tissue dengan Penyembuhan berlanjut
awal revaskularisasi namun area sangat lunak,
mudah dipengaruhi stress
6 minggu Jaringan parut biasanya telah Jaringan parut kuat yang
komplit tidak elastis menggantikan
miokardium yg nekrosis
Fase Perbaikan
Infark miokard menyebabkan respon inflamasi yang parah yang diakhiri
dengan perbaikan luka. Perbaikan terdiri dari degradasi sel yang rusak, proliferasi
fibroblast dan sintesis jaringan parut. Banyak tipe sel, hormone, dan substrat
nutrisi harus tersedia agar proses penyembuhan dapat berlangsung optimal. Dalam
24 jam terjadi infiltrasi lekosit dalam jaringan nekrotik dan degradasi jaringan
nekrotik oleh enzim proteolisis dari neutrofil scavenger. Fase pseudodiabetik
sering timbul oleh karena lepasnya katekolamin dari sel yang rusak yang dapat
menstimulasi lepasnya glukosa dan asam lemak bebas. Pada minggu kedua,
terjadi sekresi insulin yang meningkatkan pergerakan glukosa dan menurunkan
kadar gula darah. Pada 10-14 hari setelah infark terbentuk matriks kolagen yang
lemah dan rentan terhadap jejas yang berulang. Pada masa itu, biasanya individu
merasa sehat dan meningkatkan aktivitasnya kembali sehingga proses
penyembuhan terganggu. Setelah 6 minggu, area nekrosis secara utuh diganti oleh
jaringan parut yang kuat namun tidak dapat berkontraksi seperti jaringan
miokardium yang sehat.2
BAB III
DIAGNOSIS
Diagnosis angina pectoris tidak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemi
sedangkan tidak ada kenaikan troponin maupun CK-MB dengan ataupun tanpa perubahan
EKG untuk iskemi, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi yang sebentar atau
adanya gelombang T yang negatif. Karena kenaikan enzim biasanya dalam waktu 12 jam,
maka pada tahap awal serangan angina pectoris tidak stabil seringkali tak bisa dibedakan
dari NSTEMI.2
Beratnya angina2 :
Kelas I. Angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah beratnya
nyeri dada.
Kelas II. Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan, tapi
tak ada serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir.
Klas III. Adanya serangan angina dalam waktu istirahat dan terjadinya secara akut
baik sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.
Keadaan Klinis2 :
Kelas A. Angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, ineksi lain atau
febris.
Kelas B. Angina tak stabil yang primer, tak ada faktor extra cardiac.
Kelas C. Angina yang timbul setelah serangan infark jantung.
3.1.1.2.Exercise test
Pemeriksaan EKG tidak memberikan data untuk diagnosis angina tak stabil secara
lansung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, adanya mitral
insuffisiensi dan abnormalitas gerakan dinding reginal jantung, menandakan prognosis
kurang baik. Stress ekokardiografi juga dapat membantu menegakkan adanya iskemi
miokardium.2
3.2. Diagnosis dan Gambaran Klinis Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST
3.2.1. Evaluasi klinis
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala epigastrium dengan ciri
khas seperti diperas, diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau
tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada NSTEMI. Analisis
berdasarkan gambaran klinis menunjukkan mereka memiliki gejala dengan onset baru
angina berat / terakselerasi memiliki prognosis lebih baik berbanding dengan memiliki
nyeri pada waktu istirahat. Gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop
atau nyeri lengan, epigastrium, bahu atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok yang
lebih besar terutama pasien lebih dari 65 tahun.2
3.2.3.1.Skor TIMI
Skor risiko merupakan suatu metoda sederhana dan sesuai untuk stratifikasi
risiko, dan angka faktor risiko bebas pada presentasi kemudian ditetapkan. Skor risiko ini
berasal dari analisis pasien-pasien pada penelitian TIMI 11B dan telah divalidasi pada
empat penelitian dan satu registry. Dengan meningkatnya skor risiko, telah terobservasi
manfaat yang lebih besar secara progresif pada terapi dengan low molecular weight
heparin (LMWH) versus unfractionated heparin (UFH), dengan platelet GP Iib/IIIa
receptor blocker tirofiban versus palcebo, dan strategi nivasif versus konservatif.2
Pada pasien untuk semua level skor risiko TIMI, penggunaan klopidogrel
menunjukkan penurunan keluaran yang buruk relatif sama. Skor risiko juga efektif dalam
memprediksi keluaran yang buruk pada pasien yang pulang.2
3.3.1. Anamnesis
Anamnesis yang cermat perlu dilakukan apakah nyeri dadanya berasal dari
jantung atau diluar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu
dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula
apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor resiko antara lain
hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung
koroner pada keluarga.2
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI,
seperti aktivitas fisik berat, stress emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun
STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi
hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.2
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Harus mampu
mengenal nyeri dada angina dan mamapu membedakan dengan nyeri dada lainnya,
karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA.2
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut2 :
Lokasi: substernal , retrosternal, dan prekordial.
Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, sperti
ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung interskapular, perut dan dapat juga ke lengan kanan.
Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
Gejala yang menyertai: mual muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan
lemas.
Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru, diseksi
aorta akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu
ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes melitus
dan usia lanjut.2
Gambar 4: Diagnosis banding nyeri dada
3.3.2. Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30menit
dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark
anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau
hipotensi) dan hampir setengah pasien infark posterior menunjukkan hiperaktivitas
parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi).2
Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan
intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat
ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena
disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai
380C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI .2
3.3.3. Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri
dada atau keluhan yang dicurigai STEMI dan harus dilakukan segera dalam 10 menit
sejak kedatangan di UGD. Pemriksaan EKG menentukan keputusan terapi karena bukti
kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang
bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak
diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat
STEMI, EKG serial dengan interval 5-10menit atau pemantauan EKG 12 sadapan secara
kontinu harus dilakukan unutk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST.
Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi
kemungkinan infark pada ventrikel kanan.2
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami
evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosa infark miokard
gelombang Q, sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika
obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak
kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST dan biasanya megalami UA atau
NSTEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan
gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural
digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau menghilangnya gelombang R dan
infark miokard nontransmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara
segmen ST atau gelombang T. Namun tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG
dengan lokasi infark (mural atau transmural) sehingga terminologi IMA gelombang Q
atau non Q menggantikan infark mural atau nontransmural.2
Gambar 5 : EKG menunjukkan STEMI dengan evolusi patologik Q wave di lead I
dan VL
3.3.4. Laboratorium
3.3.4.1.Petanda Kerusakan Jantung (Biomarkers)
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinine Kinase (CKMB) dan Cardiac
Specific Troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan
sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal,
karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan
elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak
tergantung pada pemeriksaan biomarker.2
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya
nekrosis jantung (infark miokard)2
CKMB: menigkat setelah 3 jam bial ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. CKMB turut meningkat
pada operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik.
cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila
ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu2:
Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-
8 jam.
Creatinine Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai punak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
Lactic Dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
CKMM Tissue
Isoform 86000 1-6jam 12jam 3jam
Tabel 2. Biomarker Molekuler Untuk Evaluasi Pasien Infark Miokard dengan
Elevasi ST
Gambar 6 : Perubahan konsentrasi enzim plasma setelah infark miokard
Komplikasi STEMI
1. Disfungsi ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk, ukuran
dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut
remodelling ventricular dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara
klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark, ventrikel kiri
mengalami dilatasi. Secara akut hasil ini berasal dari ekspansi infark. Selanjutnya terjadi
pula pemanjangan segmen non infark, mengakibatan penipisan yang disproporsional dan
elongasi zona infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi
dikaitkan dengan ukuran dan lokasi infark dengan dilatasi pasca infark pada apeks
ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering
terjadi gagal jantung dengan prognosis yang buruk.2
2. Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit karena
STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal
pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang
tersering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada
roentgen sering dijumpai kongesti paru.2
3. Syok kardiogenik
Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan saat masuk, sedangkan 90%
ditemukan selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok
kardiogenik mempunayi penyakit arteri koroner multivessel.2
4. Infark ventrikel kanan
Sekitar sepertiga pasien dengan infark posteroposterior menunjukkan sekurang-
kurangnya nekrosis ventrikel kanan derajat ringan. Jarang pasien dengan infark terbatas
primer pada ventrikel kanan. Infark ventrikel kanan secara klinis menyebabkan tanda
gagal ventrikel kanan yang berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul’s,
hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi. Elevasi segmen ST pada sadapan EKG sisi
kanan, terutama sadapan V4R sering dijumpai pada 24 jam pertama pasien infark
ventrikel kanan. Terapi terdiri dari ekspansi volume untuk mempertahankan preload
ventrikel kanan yang adekuat dan upaya untuk meningkatkan tampilan dengan reduksi
takanan arteri pulmonalis.2
5. Aritmia pasien pasca STEMI
Insidens aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien segera setelah onset gejala.
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom,
gangguan elektrolit, iskemia dan penghambatan konduksi di zona iskemia miokard.2
6. Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadik yang tidak sering terjadi pada hampir
semua pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Penyekat beta efektif dalam
mencegah aktifitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI dan pencegahan fibrilasi
ventrikel, dan harus diberikan rutin kecuali terdapat kontraindikasi. Hipokalemia dan
hipomagnesemia merupakan faktor risiko fibrilasi ventrikel pada pasien STEMI,
konsentrasi kalium serum diupayan mencapai 4,5 mmol/liter dan magnesium 2
mmol/liter.2
7. Takikardi dan fibrilasi ventrikel.
Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardidan fibrilasi ventrikular dapat terjadi
tanpa tanda bahaya aritmia sebelumnya.2
8. Komplikasi mekanik
- Ruptur muskularpapilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventikel.2
- Penatalaksaan : operasi.2
Prognosis
Terdapat beberapa sistem yang ada dalam menentukan pronosis pasien pasca
IMA2:
Klas Definisi Mortalitas (%)
I Tidak ada tanda gagal jantung kongestif 6
II + S3 dan / atau ronkhi basah 17
III Edema paru 30-40
IV Syok kardiogenik 60-80
Tabel 4: Klasifikasi Killip pada IMA
BAB IV
PENATALAKSANAAN
4.1.2.2.Penyekat Beta
Beta-blocker menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek
penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Meta-analisis dari 4700
pasien dengan UA menunjukkan penyekat beta dapat menurunkan resiko infark sebesar
13% (p<0.04). Semua pasien UA harus diberi penyekat beta kecuali ada kontraindikasi
seperti asam bronkiale dan pasien dengan bradiaritmia. Beta-bloker seperti propanolol,
metoprolol, atenolol, telah diteliti pada pasien UA, yang menunjukkan effektivitas yang
serupa. 2
4.1.2.3.Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium dibagi dalam 2 golongan besar: golongan dihidropiridin
seperti nifedipin dan golongan nondihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil. Kedua
golongan ini dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan menurunkan tekanan darah.2
Golongan dihidropiridin mempunyai efek vasodilatasi lebih kuat dan
penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit, dan efek inotropik negatif
juga lebih kecil. Verapamil dan diltiazem memperbaiki survival dan mengurangi infark
pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang
berkurang, pengurangan afterload memberikan keuntungan pada golongan
nondihidropiridin pada pasien SKE dengan faal jantung normal. Pemakaian antagonis
kalsium pada pasien yang ada kontraindikasi dengan beta-bloker.2
4.1.2.4.2. Tiklopidin
Tiklopidin suatu derivat tienopiridin merupakan obat lini kedua dalam pengobatan
UA bila pasien tidak tahan aspirin. Dalam pemberian tiklopidin harus diperhatikan efek
samping granulositopenia, dimana insidennya 2,4%. Dengan adanya klopidogrel yang
lebih aman pemakaian tiklopidin mulai ditinggal.2
4.1.2.4.3. Klopidogrel
Klopidogrel merupakan derivat tienopiridin, yang menghambat agregasi platelet.
Klopidogrel juga terbukti dapat mengurangi strok, infark dan kematian kardiovaskular
dan dianjurkan pada pasien yang tidak tahan aspirin. AHA menganjurkan pemberian
klopidogrel bersama aspirin paling sedikit 1 bulan sampai 9 bulan. Dosis klopidogrel
dimulai 300 mg per hari dan selanjutnya 75 mg per hari.2
4.1.2.5.Obat antitrombin
4.1.2.5.1. Unfractionated Heparin
Heparin adalah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagai rantai
polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagualn yang berbeda-beda.
Antitrombin III, bila terikat dengan heparin, akan bekerja menghambat trombin dan
faktor Xa. Kelemahan heparin adalah efek terhadap trombus yang kaya trombosit dan
heparin dapat dirusak oleh platelet faktor 4.2
Stratifikasi Risiko
Pasien yang termasuk risiko rendah antara lain adalah2:
- pasien yang tidak pernah memiliki angina sebelumnya, dan sudah tidak
ada serangan
- sebelumnya tidak memakai obat anti angina
- ECG normal atau tak ada perubahan dari sebelumnya.
- Enzim jantung tidak meningkat termaasuk troponin dan biasanya usia
lebih muda.
Pasien yang termasuk dalam risiko sedang adalah2:
- Bila ada angina baru dan makin berat, didapatkan angina pada waktu
istirahat
- Laki-laki, usia >70 tahun, menderita diabetes melitus
- Tidak ada perubahan ST segmen
- Enzim jantung tidak meningkat.
Pasien yang termasuk dalam risiko tinggi adalah2:
- Angina berlansung lama atau angina pasca infark; sebelumnya mendapat
terapi yang intensif
- Ditemukan hipotensi, diaforesis, edema paru atau ”rales” pada
pemeriksaan fisik
- Terdapat perubahan segmen ST yang baru
- Didapatkan kenaikan troponin, keadaan hemodinamika tidak stabil.
Bila manifestasi iskemia kembali secara spontan atau pada waktu pemeriksaan,
maka pasien sebaiknya dilakukan angiografi. Bila pasien tetap stabil dan termasuk risiko
rendah maka terapi medikamentosa sudah mencukupi. Hanya pasien dengan risiko tinggi
yang membutuhkan tindakan invasif segera, dengan kemungkinan tindakan
revaskularisasi.2
4.2.1.2.Penyekat Beta
Penyekat beta oral diberikan dengan target frekuensi jantung 50-60kali/menit.
Antagonis kalsium yang mengurangi frekuensi jantung seperti diltiazem dan verapamil
pada pasien dengan nyeri dada persisten.2
4.2.1.3.Terapi antitrombotik
Oklusi trombus subtotal pada koroner mempunyai peran utama dalam patogenesis
NSTEMI dan keduanya mulai dari agregasi platelet dan pembentukan thrombin-activated
fibrin bertanggungjawab atas klot.2
4.3.3.2.Nitrogliserin (NTG)
NTG sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0.4mg dan dapat
diberikan samapai 3 dosis dngan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG
juga dapat menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara
dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau pembuluh darah kolateral. Jika
nyeri dada terus berlansungdapat diberikan NTG intravena (iv). NTG juga diberikan
untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru.2
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg
atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan. Pasien yang menggunakan
phosphodiesterase-3 inhibitor sildanefil dalam 24 jam karena dapat memicu efek
hipotensi nitrat.2
Terapi reperfusi
Reperfusi dini akan akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien
STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna.2
a. Percutaneous Coronary Intervention (PCI)
Biasanya angioplasty dan atau stenting (CABG) tanpa didahului
fibrinolisis disebut PCI primer. Akan efektif pada STEMI jika
dilakukan dalam beberapa jam pertama IMA. PCI primer lebih efektif
bila dibandingkan fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang
teroklusi dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan
panjang yang lebih baik.2
b. Fibrinolisis
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan
dalam 30 menit sejak masuk. Tujuan utama adalah restorasi cepat
patensi arteri koroner. Antara obat fibrinolitik yang digunakan yaitu2:
- Streptokinase (SK)
Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin. Pasien yang pernah
terpajan dengan SK tidak boleh dinerikan pajanan selanjutnya karena
terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan.
Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens pendarahan
intracranial yang rendah.
- tissue plasmibnogen Activator (tPA, alteplase)
Keuntungannya menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari
sebesar 15% pada pasien yang mendapat tPA dibandingkan SK.
Namun tPA harganya lebih mahal daripada SK dan resiko pendarahan
intracranial lebih tinggi.
- Reteplase ( Retavasemencakup memperbaiki spesifisitas fibrin dan
resistensi tinggi terhadap plasminogen activator inhibitor (PAI-1)
4.3.4.2.Penyekat beta
Manfaat penyekat beta pada STEMI dapat dibagi menjadi : yang terjadi segera
jika obat diberikan secara akut dan yang diberkan jangka panjang jika obat diberikan
untuk pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian secara iv membaiki kebutuhan
suplai serta kebutuhan oksigen moikard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark,
dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang khusus.2
4.3.4.3.ACE inhibitor
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap
mortalitas bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Inhibitor ACE harus
diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE harus
dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien
dengan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat
abnormalitas gerakan dinding global atau pasien hipertensif.2
DAFTAR PUSTAKA
2. Hanafi B. Trisnohadi, Idrus Alwi, S. Harun. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
III. 2006. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
3. Antman Elliot M., Braunwald Eugene. Chapter 227: Unstable Angina and non-
ST-Elevation Myocardial Infarction in Harrison’s Principles of Internal
Medicine 16th edition. Braunwald, Fauci,Hauser, Jameson, Longo, Kasper.
2005. USA: McGraw Hill
4. Kumar
5. Rilantono, Lily Ismudiati, dkk. Buku Ajar Kardiologi. 2004. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
6. Shen, Demin. Penyakit Jantung Koroner. 1997. Bandung : Rumah Sakit Rajawali