Вы находитесь на странице: 1из 20

Trend dan Issue dalam Kesehatan Keperawatan Jiwa

Untuk memenuhi tugas matakuliah


Keperawatan Jiwa
yang dibina oleh Ibu Dr. Farida Halis, SKp,MPd.

Oleh
Maria Ulfah (P17210171006)
Nabilla Nurvitri Firdausy (P17210171009)
Eva Apriliya Sutiyono (P17210171020)
Sarah Maulany Baretta (P17210173029)
Trisna Dwi Hapsari (P17210173036)

KEMENTERIAN KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
D-III KEPERAWATAN MALANG
Januari 2019
Teori Konsep Trend dan Issue Dalam Keperawatan Jiwa

A. Pengertian Trend dan Issue dalam Keperawatan Jiwa


Trend dan issue dalam keperawatan jiwa adalah masalah-masalah yang sedang
hangat dibicarakan dan dianggap penting. Masalah-masalah tersebut dapat dianggap
ancaman atau tantangan yang akan berdampak besar pada keperawatan jiwa baik
dalam tatanan regional maupun global. Trend dan issue keperawatan adalah sesuatu
yang sedang dibicarakan banyak orang mengenai praktek keperawatan baik itu
berdasarkan fakta ataupun tidak, dan tentunya menyangkut tentang aspek legal dan
etik dalam keperawatan.
Beberapa tren penting yang menjadi perhatian dalam keperawatan jiwa di
antaranya adalah sebagai berikut:
a. Kesehatan jiwa dimulai masa konsepsi
Perkembangan terkini menyimpulkan bahwa berbicara masalah kesehatan
jiwa harus dimulai dari masa konsepsi malahan harus dimulai dari masa
pranikah.banyak penelitian yang menunjukkan adanya keterkaitan masa dalam
kandungan dengan kesehatan fisik dan mental seseorang di masa yang akan
datang. Penelitian-penelitian berikut membuktikan bahwa kesehatan mental
seseorang dimulai pada masa konsepsi.
b. Trend peningkatan masalah kesehatan jiwa
Masalah jiwa akan meningkat di era globalisasi, Penderita tidak lagi
didominasi masyarakat kelas bawah. Kalangan pejabat dan masyarakat lapisan
menengah ke atas, juga tersentuh gangguan psikotik dan depresif. Klien
gangguan jiwa dari kalangan menengah ke atas, sebagian besar disebabkan tidak
mampu mengelola stress dan ada juga kasus mereka yang mengalami post power
syndrome akibat dipecat atau mutasi jabatan
c. Kecenderungan dalam penyebab gangguan jiwa
Terjadinya perang, konflik, lilitan krisis ekonomi berkepanjangan
merupakan salah satu pemicu yang memunculkan stress, depresi, dan berbagai
gangguan kesehatan jiwa pada manusia. Menurut data World Health
Organization (WHO), masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia
memang sudah menjadi masalah yang sangat serius. WHO (2001) menyataan,
paling tidak, ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental.
Tiga golongan penyebab gangguan jiwa ini. Pertama, gangguan fisik,
biologis atau organic. Penyebabnya antara lain berasal dari:
 Faktor keturunan, kelainan pada otak, penyakit infeksi (tifus, hepatitis,
malaria dan lain-lain), kecanduan obat dan alkohol dan lain-lain.
 Gangguan mental, emosional atau kejiwaan. Penyebabnya, karena salah
dalam pola pengasuhan (pattern of parenting) hubungan yang patologis di
antara anggota keluarga disebabkan frustasi, konflik, dan tekanan krisis.
 Gangguan sosial aau lingkungan. Penyebabnya dapat berupa stressor
psikososial (perkawinan, problem orangtua, hubungan antarpersonal dalam
pekerjaan atau sekolah, di lingkungan hidup, dalam masalah keuangan,
hukum, perkembangan diri, faktor keluarga, penyakit fisik, dan lain-lain).
d. Kecenderungan situasi di era global
Era globalisasi adalah suatu era dimana tidak ada lagi pembatas antara
negara-negara khususnya di bidang informasi, ekonomi, dan politik.
Perkembangan IPTEK yang begitu cepat dan perdagangan bebas yang
merupakan ciri era ini, berdampak pada semua sector termasuk sektor kesehatan
e. Globalisasi dan perubahan orientasi sehat
Pengaruh globalisasi terhadap perkembangan yankes termasuk
keperawatan adalah tersedianya alternatif pelayanan dan persaingan
penyelenggaraan pelayanan. (persaingan kualitas). Tenaga kesehatan (perawat
“jiwa”) harus mempunyai standar global dalam memberikan pelayanan kesehatan,
jika tdk ingin ketinggalan.
Fenomena masalah kesehatan jiwa, indicator keswa di masa mendatang
bukan lagi masalah klinis spt prevalensi gangguan jiwa, melainkan berorientasi
pd konteks kehidupan sosial. Fokus kesehatan jiwa bukan hanya menangani
orang sakit, melainkan pada peningkatan kualitas hidup. Jadi konsep kesehatan
jiwa buka lagi sehat atau sakit, tetapi kondisi optimal yang ideal dalam perilaku
dan kemampuan fungsi social Paradigma sehat Depkes, lebih menekankan upaya
proaktif untuk pencegahan daripada menunggu di RS, orientasi upaya kesehatan
jiwa lebih pada pencegahan (preventif) dan promotif. Penangan kesehatan jiwa
bergeser dari hospital base menjadi community base.
Empat Ciri Pembentuk Struktur Masyarakat Yang Sehat :
 Suatu masyarakat yang di dalamnya tak ada seorang manusia pun yg
diperalat oleh orang lain. Oleh karena itu seharusnya tidak ada yang
diperalat/ memperalat diri sendiri, diman manusia itu mjd pusat dari semua
aktivitas ekonomi maupun politik diturunkan pada tujuan perkembangan diri
manusia.
 Mendorong aktivitas produktif setiap warganya dalam pekerjaannya,
merangsang perkembangan akal budi dan lebih jauh lagi, mampu membuat
manusia untuk mengungkapkan kebutuhan batinnya berupa seni dan perilaku
normatif kolektif.
 Masyarakat terhindar dari sifat rakus, eksploitatif, pemilikan berlebihan,
narsisme, tidak mendapatkan kesempatan meraup keuntungan material tanpa
batas.
 Kondisi masyarakat yang memungkinkan orang bertindak dalam dimensi2
yang dpt dipimpin dan diobservasi. Partisipasi aktif dan bertanggungjawab
dalam kehidupan bermasyarakat.
f. Kecenderungan penyakit jiwa
 Meningkatknya Post Traumatic Syndrome Disorder
Trauma yang katastropik, yaitu trauma di luar rentang pengalaman
trauma yang umum di alami manusia dlm kejadian sehari-hari.
Mengakibatkan keadaan stress berkepanjangan dan berusaha untuk tidak
mengalami stress yang demikian. Mereka mjd manusia yang invalid dlam
kondisi kejiwaan dengan akibat akhir menjadi tidak produktif. Trauma
bukan semata2 gejala kejiwaan yang bersifat individual, trauma muncul
sebagai akibat saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan pribadi
tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan.
 Meningkatnya Masalah psikososial
Lingkup keswa sangat luas dan kompleks, juga saling berhubungan
dengan segala aspek kehidupan manusia. Mengacu pd UU No. 23 1992
tentang Kes. Dan Ilmu Psikiatri, masalah kesehatan jiwa secara garis besar
digolongkan menjadi:
• Masalah perkembangan manusia yg harmonis dan peningkatan kualitas
hidup, yaitu masalah kejiwaan yang berkaitan dengan makna dan nilai2
kehidupan manusia
• Masalah psikososial yaitu masalah psikis atau kejiwaan yang timbul akibat
terjadinya perubahan sosial, meliputi :
• Psikotik gelandangan
• Pemasungan penderita gangguan jiwa
• Masalah anak jalanan
• Masalah anak remaja (tawuran, kenakalan)
• Penyalaggunaan Narkotik dan psikotropik
• Masalah seksual (penyimpangan seksual, pelecehan seksual dll)
• Tindak kekerasan sosial (kemiskinan, penelantaran tdk diberi nafkah,
korban kekerasan pd anak, dll)
 Trend Bunuh Diri pada Anak dan Remaja
• Bunuh diri : suatu tindakan mencabut nyawa sendiri dgn sengaja cara.
Bunuh diri merupakan masalah psikologis dunia yang sangat mengancam,
angka kejadian terus meningkat. Metode yg paling disukai = menggunakan
pistol, menggantung diri dan minum racun.
• Latar belakangnya beragam: asmara, pekerjaan, cek-cok rumah tangga,
ekonomi (perasaan malu terlilit utang.)
Masalah Napza dan HIV/ AIDS
• Gangguan penggunaan zat adiktif ini sangat berkaitan dan merupakan
dampak dari pembangunan serta teknologi dari suatu negara yang semakin
maju. Hal terpenting yang mendukung merebaknya NAPZA di negara kita
adalah perangkat hukum yang lemah bahkan terkadang oknum aparat hukum
seringkali menjadi backing, ditambah dengan keragu-raguan penentuan
hukuman bagi pengedar dan pemakai, sehingga dampaknya SDM Indonesia
kalah dengan Malaysia yang lebih bertindak tegas terhadap pengedar dan
pemakai NAPZA. Kondisi ini akan semakin menigkat untuk masa yang akan
datang khususnya dalam era globalisasi.
 Paterrn of Parenting dalam Kep. Jiwa
Dengan banyaknya kasus bunuh diri dan depresi pd anak, maka pola
asuh keluarga kembali menjadi sorotan Pola asuh yang baik adalah pola asuh
dimana orang tua menerapkan kehangatan yang tinggi disertai dengan
kontrol yang tinggi. Kehangatan adalah Bagaimana orang tua menjadi teman
curhat, teman bermain, teman yang menyenangkan bagi anak terutama saat
rekreasi, belajar dan berkomunikasi. Berbagai upaya agar anak dekat dan
berani bicara pada ortunya saat punya masalah. Ortu menjadi teman dalam
ekspresi feeling anak sehingga anak menjadi sehat jiwanya. Bagaimana anak
dilatih mandiri dan mengenal disiplin di rumahnya.
g. Trend dalam pelayanan keperawatan mental psikiatri
Sehubungan dengan trend masalah kesehatan utama dan pelayanan
kesehatan jiwa secara global, harus fokus pelayanan keperawatan jiwa sudah
saatnya berbasis pada komunitas (community based care) yang memberi
penekanan pada preventif dan promotif.
Sehubungan dengan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sangat cepat, perlu peningkatan dalam bidang ilmu pengetahuan dengan cara
mengembangkan institusi pendidikan yang telah ada dan mengadakan program
spesialisasi keperawatan jiwa.Dalam rangka menjaga mutu pelayanan yang
diberikan dan untuk melindungi konsumen, sudah saatnya ada “licence” bagi
perawat yang bekerja di pelayanan.
Sehubungan dengan adanya perbedaan latar belakang budaya kita dengan
narasumber, yang dalam hal ini kita masih mengacu pada Negara-negara Barat
terutama Amerika, maka perlu untuk menyaring konsep-konsep keperawatan
mental psikiatri yang didapatkan dari luar.
h. Trend Pelayanan Keperawatan Mental Psikiatri di Era Globalisasi
Sejalan dengan program deinstitusionalisasi yg didukung ditemukannya
obat psikotropika yg terbukti dpt mengontrol perilaku klien gangguan jiwa, peran
perawat tidak terbatas di RS, tetapi dituntut lebih sensitif terhadap lingkungan
sosialnya, serta berfokus pada pelayanan preventif dan promotif. Perubahan
hospial based care mejadi community based care. Perawat mental psikiatri harus
mengintegrasikan diri dalam community mental health, dengan 3 kunci utama:
 Pengalaman dan pendidikan perawat, peran dan fungsi perawat serta
hubungan perawat dengan profesi lain di komunitas.
 Reformasi dalam yankes menuntut perawat meredefinisi perannya.
 Intervensi keperawatan yang menekankan pada aspek pencegahan dan
promosi kesehatan, sudah saatnya mengembangkan community based car.
Pengembangan pendidikan keperawatan sangat penting, terutama
keperawatan mental psikiatri baik dlm jumlah maupun kualitas.

i. Issue Seputar Yankep Mental Psikiatri


 Pelayanan kep. Mental Psikiatri, kurang dapat dipertanggung jawabkan
karena masih kurangnya hasil hasil riset keperawatan Jiwa Klinik.
 Perawat Psikiatri, kurang siap menghadapi pasar bebas karena pendidikan
yang rendah dan belum adanya licence untuk praktek yang diakui secara
internasional.
 Pembedaan peran perawat jiwa berdasarkan pendidikan dan pengalaman
sering kali tidak jelas “Position description.” job responsibility dan sistem
reward di dlm pelayanan.
 Menjadi perawat psikiatri bukanlah pilihan bagi peserta didik (mahasiswa
keperawatan).
B. Teori Konsep Kesehatan Jiwa

a. Pengertian Jiwa

Jiwa adalah unsur manusia yang bersifat non materi, tetapi fungsi dan
manifestasi nya sangat terkait pada materi. Mahasiswa yang pertama kali mempelajari
ilmu jiwa dan keperawatan jiwa sering mengalami kesulitan dengan hal yang harus
dipelajari, karena jiwa bersifat abstrak dan tidak berwujud benda. Setiap manusia
memiliki jiwa, tetapi ketika ditanya, “Mana jiwamu?” hanya sebagian kecil yang
dapat menunjukkan tempat jiwanya. Hal ini karena jiwa memang bukan berupa benda,
melainkan sebuah sistem perilaku, hasil olah pemikiran, perasaan, persepsi, dan
berbagai pengaruh lingkungan sosial. Semua ini merupakan manifestasi sebuah
kejiwaan seseorang. Oleh karena itu, untuk mempelajari ilmu jiwa dan
keperawatannya, pelajarilah dari manifestasi jiwa terkait pada materi yang dapat
diamati berupa perilaku manusia.
Manifestasi jiwa antara lain tampak pada kesadaran, afek, emosi, psikomotor,
proses berpikir, persepsi, dan sifat kepribadian. Kesadaran dalam hal ini lebih bersifat
kualitatif, diukur dengan memperhatikan perbedaan stimulus (stressor) dan respons
(perilaku yang ditampilkan), serta tidak diukur dengan Glasgow Coma Scale (GCS).
Selain kesadaran terlalu tinggi, dalam keperawatan kesehatan jiwa kita sering
menemukan kesadaran terlalu rendah. Hal ini sering dialami oleh pasien depresi atau
yang tertekan. Dengan stimulasi yang banyak, pasien tetap tidak memberikan respons,
seperti diajak makan tidak mau, diajak mandi tidak mau, diajak jalan jalan tidak mau.
Pasien hanya duduk diam, tidak beranjak dari tempatnya, bahkan diajak bicara pun
pasien tidak menjawab. Selain itu, mungkin kita temukan kesadaran pasien yang
fluktuatif, kadang marah, kadang diam, sebentar marah sebentar lagi tertawa.
Aspek kesadaran pada masalah kejiwaan mungkin kita temukan kesadaran
yang terlalu tinggi, terlalu rendah, atau fluktuatif. Inilah manifestasi jiwa, tampak dari
perilaku yang diekspresikan (secara lebih detail, ekspresi perilaku pasien akan
dipelajari pada komponen pengkajian tanda dan gejala gangguan jiwa).
b. Pengertian Kesehatan Jiwa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sehat adalah dalam keadaan bugar
dan nyaman seluruh tubuh dan bagian-bagiannya. Bugar dan nyaman adalah relatif,
karena bersifat subjektif sesuai orang yang mendefinisikan dan merasakan. Bagi
seorang kuli bangunan, kaki kejatuhan batu, tergencet, dan berdarah-darah adalah hal
biasa, karena hanya dengan sedikit dibersihkannya, kemudian disobekkan pakaian
kumalnya, lalu dibungkus, kemudian dapat melanjutkan pekerjaan lagi. Namun, bagi
sebagian orang, sakit kepala sedikit harus berobat ke luar negeri. Seluruh komponen
tubuh juga relatif, apakah karena adanya panu, kudis, atau kurap pada kulit, seseorang
disebut tidak sehat? Padahal komponen tubuh manusia bukan hanya fisik, melainkan
juga psikologis dan lingkungan sosial bahkan spiritual.
Jiwa yang sehat sulit didefinisikan dengan tepat. Meskipun demikian, ada
beberapa indikator untuk menilai kesehatan jiwa. Karl Menninger mendefinisikan
orang yang sehat jiwanya adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk
menyesuaikan diri pada lingkungan, serta berintegrasi dan berinteraksi dengan baik,
tepat, dan bahagia. Michael Kirk Patrick mendefinisikan orang yang sehat jiwa
adalah orang yang bebas dari gejala gangguan psikis, serta dapat berfungsi optimal
sesuai apa yang ada padanya. Clausen mengatakan bahwa orang yang sehat jiwa
adalah orang yang dapat mencegah gangguan mental akibat berbagai stresor, serta
dipengaruhi oleh besar kecilnya stresor, intensitas, makna, budaya, kepercayaan,
agama, dan sebagainya.
World Health Organization (WHO) pada tahun 2008 menjelaskan kriteria
orang yang sehat jiwanya adalah orang yang dapat melakukan hal berikut.
1. Menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan, meskipun kenyataan itu
buruk.
2. Merasa bebas secara relatif dari ketegangan dan kecemasan.
3. Memperoleh kepuasan dari usahanya atau perjuangan hidupnya.
4. Merasa lebih puas untuk memberi dari pada menerima.
5. Berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong dan saling
memuaskan.
6. Mempunyai daya kasih sayang yang besar.
7. Menerima kekecewaan untuk digunakan sebagai pelajaran di kemudian hari.
8. Mengarahkan rasa permusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif.
Di Indonesia draf rencana undang undang (RUU) kesehatan jiwa belum
selesai dibahas. Pada perundangan terdahulu, UU Kesehatan Jiwa No. 3 Tahun 1966
tentang Upaya Kesehatan Jiwa, memberikan batasan bahwa upaya kesehatan jiwa
adalah suatu kondisi dapat menciptakan keadaan yang memungkinkan atau
mengizinkan perkembangan fisik, intelektual, dan emosional yang optimal pada
seseorang, serta perkembangan ini selaras dengan orang lain. Menurut UU Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada Bab IX tentang kesehatan jiwa menyebutkan
Pasal 144 ayat 1 “Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat
menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan
gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa”. Ayat 2, “Upaya kesehatan
jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas preventif, promotif, kuratif,
rehabilitatif pasien gangguan jiwa, dan masalah psikososial”.
Batasan ini pun sulit dipenuhi, sehingga semua kriteria dapat dipertimbangkan
dalam menilai kesehatan jiwa. Oleh karenanya, orang yang sehat jiwanya adalah
orang yang sebagai berikut.
1. Melihat setiap hari adalah baik, tidak ada satu alasan sehingga pekerjaan harus
ditunda, karena setiap hari adalah baik.
2. Hari besok adalah hari yang baik.
3. Tahu apa yang diketahui dan tahu apa yang tidak diketahui.
4. Bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan membuat lingkungan menjadi
lebih baik.
5. Selalu dapat mengembangkan usahanya.
6. Selalu puas dengan hasil karyanya.
7. Dapat memperbaiki dirinya dan tidak menganggap dirinya selalu benar.
c. Pengertian Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa menurut PPDGJ III adalah sindrom pola perilaku seseorang
yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya
(impairment) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi
psikologik, perilaku, biologik, dan gangguan itu tidak hanya terletak di dalam
hubungan antara orang itu tetapi juga dengan masyarakat (Maslim, 2002; Maramis,
2010).
Gangguan jiwa merupakan deskripsi sindrom dengan variasi penyebab.
Banyak yang belum diketahui dengan pasti dan perjalanan penyakit tidak selalu
bersifat kronis. Pada umumnya ditandai adanya penyimpangan yang fundamental,
karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta adanya afek yang tidak wajar atau tumpul
(Maslim, 2002).
d. Sumber Penyebab Gangguan Jiwa
Manusia bereaksi secara keseluruhan—somato-psiko-sosial. Dalam mencari
penyebab gangguan jiwa, unsur ini harus diperhatikan. Gejala gangguan jiwa yang
menonjol adalah unsur psikisnya, tetapi yang sakit dan menderita tetap sebagai
manusia seutuhnya (Maramis, 2010).
1. Faktor somatik (somatogenik), yakni akibat gangguan pada neuroanatomi,
neurofisiologi, dan neurokimia, termasuk tingkat kematangan dan
perkembangan organik, serta faktor pranatal dan perinatal.
2. Faktor psikologik (psikogenik), yang terkait dengan interaksi ibu dan anak,
peranan ayah, persaingan antarsaudara kandung, hubungan dalam keluarga,
pekerjaan, permintaan masyarakat. Selain itu, faktor intelegensi, tingkat
perkembangan emosi, konsep diri, dan pola adaptasi juga akan memengaruhi
kemampuan untuk menghadapi masalah. Apabila keadaan ini kurang baik,
maka dapat mengakibatkan kecemasan, depresi, rasa malu, dan rasa bersalah
yang berlebihan.
3. Faktor sosial budaya, yang meliputi faktor kestabilan keluarga, pola
mengasuh anak, tingkat ekonomi, perumahan, dan masalah kelompok
minoritas yang meliputi prasangka, fasilitas kesehatan, dan kesejahteraan
yang tidak memadai, serta pengaruh rasial dan keagamaan.
e. Klasifikasi gangguan Jiwa
Klasifikasi diagnosis gangguan jiwa telah mengalami berbagai
penyempurnaan. Pada tahun 1960-an, World Health Organization (WHO) memulai
menyusun klasifikasi diagnosis seperti tercantum pada International Classification of
Disease (ICD). Klasifikasi ini masih terus disempurnakan, yang saat ini telah sampai
pada edisi ke sepuluh (ICD X). Asosiasi dokter psikiatri Amerika juga telah
mengembangkan sistem klasifikasi berdasarkan diagnosis dan manual statistik dari
gangguan jiwa (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder— DSM). Saat
ini, klasifikasi DSM telah sampai pada edisi DSM-IV-TR yang diterbitkan tahun
2000. Indonesia menggunakan pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa
(PPDGJ), yang saat ini telah sampai pada PPDGJ III (Maslim, 2002; Cochran, 2010;
Elder, 2012; Katona, 2012).
Sistem klasifikasi pada ICD dan DSM menggunakan sistem kategori. ICD
menggunakan sistem aksis tunggal (uniaksis), yang mencoba menstandarkan
diagnosis menggunakan definisi deskriptif dari berbagai sindroma, serta memberikan
pertimbangan untuk diagnosis banding. Kriteria diagnosis pada DSM menggunakan
sistem multiaksis, yang menggambarkan berbagai gejala yang harus ada agar
diagnosis dapat ditegakkan (Katona, 2012). Multiaksis tersebut meliputi hal sebagai
berikut.
1. Aksis 1 : sindroma klinis dan kondisi lain yang mungkin menjadi fokus
perhatian klinis.
2. Aksis 2 : gangguan kepribadian dan retardasi mental.
3. Aksis 3 : kondisi medis secara umum.
4. Aksis 4 : masalah lingkungan dan psikososial.
5. Aksis 5 : penilaian fungsi secara global.
Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia (PPDGJ)
pada awalnya disusun berdasarkan berbagai klasifikasi pada DSM, tetapi pada
PPDGJ III ini disusun berdasarkan ICD X. Secara singkat, klasifikasi PPDGJ III
meliputi hal berikut.
1. F00 – F09 : gangguan mental organik (termasuk gangguan mental
simtomatik).
2. F10 – F19 : gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif.
3. F20 – F29 : skizofrenia, gangguan skizotipal, dan gangguan waham.
4. F30 – F39 : gangguan suasana perasaan (mood/afektif).
5. F40 – F48 : gangguan neurotik, gangguan somatoform, dan gangguan terkait
stres.
6. F50 – F59 : sindroma perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis
dan faktor fisik.
7. F60 – F69 : gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa.
8. F70 – F79 : retardasi mental.
9. F80 – F89 : gangguan perkembangan psikologis.
10. F90 – F98 : gangguan perilaku dan emosional dengan onset biasanya pada
anak dan remaja.
Secara umum, klasifikasi gangguan jiwa menurut hasil Riset Kesehatan Dasar
tahun 2013 dibagi menjadi dua bagian, yaitu (1) gangguan jiwa berat/kelompok
psikosa dan (2) gangguan jiwa ringan meliputi semua gangguan mental emosional
yang berupa kecemasan, panik, gangguan alam perasaan, dan sebagainya. Untuk
skizofrenia masuk dalam kelompok gangguan jiwa berat.
Klasifikasi diagnosis keperawatan pada pasien gangguan jiwa dapat
ditegakkan berdasarkan kriteria NANDA (North American Nursing Diagnosis
Association) ataupun NIC (Nursing Intervention Classification) NOC (Nursing
Outcame Criteria). Untuk di Indonesia menggunakan hasil penelitian terhadap
berbagai masalah keperawatan yang paling sering terjadi di rumah sakit jiwa. Pada
penelitian tahun 2000, didapatkan tujuh masalah keperawatan utama yang paling
sering terjadi di rumah sakit jiwa di Indonesia, yaitu:
1. perilaku kekerasan;
2. halusinasi;
3. menarik diri;
4. waham;
5. bunuh diri;
6. defisit perawatan diri (berpakaian/berhias, kebersihan diri, makan, aktivitas
sehari-hari, buang air);
7. harga diri rendah.
Hasil penelitian terakhir, yaitu tahun 2005, didapatkan sepuluh diagnosis
keperawatan terbanyak yang paling sering ditemukan di rumah sakit jiwa di Indonesia
adalah sebagai berikut.
1. Perilaku kekerasan.
2. Risiko perilaku kekerasan (pada diri sendiri, orang lain, lingkungan, verbal).
3. Gangguan persepsi sensori: halusinasi (pendengaran, penglihatan, pengecap,
peraba, penciuman).
4. Gangguan proses pikir.
5. Kerusakan komunikasi verbal.
6. Risiko bunuh diri.
7. Isolasi sosial.
8. Kerusakan interaksi sosial
9. Defisit perawatan diri (mandi, berhias, makan, eliminasi).
10. Harga diri rendah kronis.
Dari seluruh klasifikasi diagnosis keperawatan yang paling sering ditemukan
di rumah sakit jiwa ini, telah dibuat standar rencana tindakan yang dapat digunakan
acuan perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan kesehatan jiwa.
C. Contoh Trend Pada Kesehatan Jiwa

Beberapa contoh trend pada kesehatan jiwa, antara lain :

a. Penggunaan Narkoba bagi generasi muda


Banyak alasan mengapa narkoba diantaranya agar dapat diterima oleh
lingkungan, mengurangi stres, mengurangi kecemasan, agar bebas dari murung,
mengurangi keletihan, dan mengatasi masalah pribadi. Akan tetapi, terlepas dari
semua itu, remaja memakai narkoba karena narkoba membuatnya merasa nikmat,
enak, dan nyaman pada awal pemakaian. Alasan remaja memakai narkoba dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
 Anticipatory beliefs, yaitu anggapan bahwa jika memakai narkoba, orang akan
menilai dirinya hebat, dewasa, mengikuti mode, dan sebagainya.
 Relieving beliefs, yaitu keyakinan bahwa narkoba dapat digunakan untuk
mengatasi ketegangan, \cemas, dan depresi akibat stresor psikososial.
 Facilitative atau permissive beliefs, yaitu keyakinan bahwa pengguna narkoba
merupakan gaya hidup atau kebiasaan karena pengaruh zaman atau perubahan
nilai, sehingga dapat diterima.
Jadi, penggunaan narkoba berawal dari persepsi, anggapan, atau keyakinan
keliru yang tumbuh di masyarakat. Maka tidak mau memahami atau tidak mau
menerima kenyataan dan fakta yang dapat dibuktikan secara ilmiah dan sah menurut
hukum.
b. Kepribadian Remaja
Masa romantisme remaja dan nostalgia orang dewasa terhadap masa itu berada
sekitar ekspoitasi masa remaja yang mengandung resiko. Contoh : berselancar,
ngebut, dan mencoba narkoba. Remaja berada diantara masa kanak – kanak dan
dewasa, baik secara biologis maupun psikologis. Di satu pihak, remaja memiliki
kemampuan orang dewasa, tetapi di lain pihak belum memiliki kewenangan untuk
manggunakan kemampuan itu. Keterbatasan perspektif remaja menyebabkan remaja
sulit menunda pemuasan keinginan seketika, sehingga remaja lebih mirip anak kecil
yang berbadan besar daripada orang dewasa. Penyalahgunaan narkoba memperburuk
keadaan. Narkoba memperlemah kemauan, mendorong pemuasan keinginan segera,
dan melemahkan daya pikir ke depan.
Narkoba memberikan pemuasan keinginan segera, melemahkan kemampuan untuk
berpartisipasi terhadap bahaya dan kemampuan untuk menangkal kenikmatan sesaat.
Remaja yang terlalu dikendalikan dengan orang tua akan gagal memenuhi fungsi
kemandirian orang dewasa, sehingga ia tidak mampu menghargai dirinya sebagai
individu yang mendiri. Berlainan dengan penampilan luarnya, remaja ini sangat
rawan terhadap tekanan kelompok sebaya. Mereka akan menyerahkan diri terhadap
tuntutan orang lain. Mereka akan mevcari kebebasan semu dan kepribadian semu
pada teman sebayanya untuk menggantikan fungsi orang tua.
c. Tekanan Kelompok Sebaya
Tekanan kelompok sebaya berpengaruh kuat terhadap terjadinya
penyalahgunaan narkoba. Semua orang pasti merasan cemas jika ditolak oleh
lingkungan sehingga berusaha mencari persetujuan kelompoknya. Konflik orang tua
dan remaja sebenarnya adalah konflik loyalitas, yaitu loyalitas terhadap orang tua
dengan loyalitas terhadap teman sebaya.
d. Keterasingan Remaja
Keterasingan adalah adanya hubungan antar remaja dan nilai orang tua dan
masyarakat secara cita – cita , tradisi, dan kerohanian. Keterasingan dapat diartikan
sebagai dimensi spiritual, karena meliputi penolakan terhadap nilai – nilai yang
berharga, yang memotivasi atau memimpin sesorang melalui keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Ada juga komponen emosional pada keterasingan. Remaja yang terasing
adalah remaja yang marah, yang secara tidak sadar meluapkan perasaan dikhianati
karena merasa nilai – nilainya ditolak. Dengan perkataan lain, remaja yang terasing
adalah remaja yang diabaikan atau tidak dipedulikan oleh keluarga atau masyarakat.
Dari keterasingan itu, remaja memilih jalan untuk mencoba – coba berteman dengan
narkoba.
e. Stress
Banyak sekali sumber stres. Pengalaman terhadap stres itu sendiri merupakan
interaksi faktor luar sebagai penyebab stres (disebut stresor) dan faktor dalam yang
disebut keterampilan mengatasi masalah (coping skills). Orang dengan sejumlah
besar stresor, seperti kehilangan, penyakit, dan trauma dikatakan mengalami banyak
stres. Di lain pihak, seseorang yang kurang terampil mengatasi masalah menganggap
dirinya ‘sangat stres’ dibandingkan orang lain yang lebih terampil mengatasi masalah.
Gejala stres termasuk gelisah dan cemas, mudah tersinggung dan teragitasi, sulit tidur
atau mengalami gangguang tidur, sulit berkonsentrasi, mengalami gangguan dalam
selera makan, dan penyalahgunaan narkoba.
Penelitian membuktikan bahwa lingkungan keluarga yang tidak berfungsi baik
dan kejadian – kejadian yang membuat stres, berkaitan erat dengan penyalahgunaan
narkoba. Penelitian pada sejumlah siswa penyalahguna yang mengikuti perawatan
terapi, menunjukkan tingkat stres yang tinggi, penilaian diri yang rendah, keluarga
yang mereka nilai sebagai ‘penuh permusuhan dan kebencian’, serta orang tua yang
kurang komunitkatif dan terlalu banyak menuntut.
Tidak semua penyalahguna narkoba datang dari keluarga yang tidak berfungsi
baik. Namun, faktor stres dirumah tidak boleh diabaikan. Umumnya remaja memakai
narkoba guna menghilangkan stres, sebagai cara untuk mengatasi masalah yang
kronis dan tidak ada jalan keluarga.

D. Contoh Issue Dalam Keperawatan Jiwa


Beberapa contoh issue dalam keperawatan jiwa di antaranya, yaitu :
Menjadikan kesehatan jiwa sebagai prioritas global dengan cara meningkatkan
pelayanan kesehatan jiwa melalui advokasi dan aksi masyarakatPerkembangan
teknologi digital membuat dunia terasa semakin sempit, informasi dari berbagai
belahan dunia mampu di akses dalam waktu yang sangat cepat, perkembangan
pengetahuan, perkembangan terapi menjadi sebuah media perubahan dalam proses
penatalaksanaan gangguan jiwa, berdasarkan issue diatas maka advokasi dan aksi
masyarakat menjadi salah satu langkah awal untuk menekan penderita gangguan jiwa
di indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya.
Dua tindakan nyata diatas menjadi tanggung jawab kita semua, tuntutan
material, tuntutan hedonisme dan kesenangan duniawi mampu membuat beberapa
orang mengalami goncangan dalam kehidupannya, ketika agama tidak lagi menjadi
pegangan, ketika nafsu duniawi menjadi tuhan maka akan banyak perilaku tidak
wajar yang muncul, tekanan ekonomi, tekanan sosial, tekanan psikologis dan tekanan
– tekanan yang lain mampu membuat ego defence mechanisme seseorang menjadi
terganggu. Seseorang pada intinya ingin dianggap penting, perilaku agar dianggap
atau terlihat penting ini yang terkadang merusak integritas pribadinya sendiri, contoh:
“agar kelihatan kaya melakukan hutang dengan beban angsuran diluar kemampuan,
akhirnya harus gerilya dengan debt collector, setiap debt collector datang harus
bersembunyi atau bahkan melarikan diri agar hutangnya tidak ditagih, jika perlu
pindah rumah kontrakan”. Kejaran dari debt collector bisa membuat seseorang
menjadi tertekan secara psikologis.
Pemasungan penderita gangguan jiwa adalah tindakan masyarakat terhadap
penderita gangguan jiwa (biasanya yang berat) dengan cara dikurung, dirantai
kakinya dimasukan kedalam balok kayu dan lain-lain sehingga kebebasannya menjadi
hilang. Pasung merupakan salah satu perlakuan yang merampas kebebasan dan
kesempatan mereka untuk mendapat perawatan yang memadai dan sekaligus juga
mengabaikan martabat mereka sebagai manusia. Di Indonesia, kata pasung mengacu
kepada pengekangan fisik atau pengurungan terhadap pelaku kejahatan, orang-orang
dengan gangguan jiwa dan yang melakukan tindak kekerasan yang dianggap
berbahaya (Broch, 2001, dalamMinas & Diatri, 2008). Pengekangan fisik terhadap
individu dengan gangguan jiwa mempunyai riwayat yang panjang dan memilukan.
Alasan seseorang melakukan pemasungan, yaitu :
Ketidaktahuan pihak keluarga, rasa malu pihak keluarga, penyakit yang tidak
kunjung sembuh, tidak adanya biaya pengobatan, dan tindakan keluaga untuk
mengamankan lingkungan merupakan penyebab keluarga melakukan pemasungan
(Depkes, 2005).
Perawatan kasus psikiatri dikatakan mahal karena gangguannya bersifat jangka
panjang (Videbeck, 2008). Biaya berobat yang harus ditanggung pasien tidak hanya
meliputi biaya yang langsung berkaitan dengan pelayanan medik seperti harga obat,
jasa konsultasi tetapi juga biaya spesifik lainnya seperti biaya transportasi ke rumah
sakit dan biaya akomodasi lainnya (Djatmiko, 2007).
Dampak dari pemasungan, yaitu :
 Salah satu bentuk pelanggaran hak asasi tersebut adalah masih adanya praktek
pasung yang dilakukan keluarga jika ada salah satu anggota keluarga yang
mengidap gangguan jiwa. Pasung merupakan suatu tindakan memasang sebuah
balok kayu pada tangan atau kaki seseorang, diikat atau dirantai lalu diasingkan
pada suatu tempat tersendiri di dalam rumah ataupun di hutan.
 Secara tidak sadar keluarga telah memasung fisik dan hak asasi penderita hingga
menambah beban mental dan penderitaannya. Tindakan tersebut mengakibatkan
orang yang terpasung tidak dapat.
 Tindakan tersebut mengakibatkan orang yang terpasung tidak dapat
menggerakkan anggota badannya dengan bebas sehingga terjadi atrofi. Tindakan
ini sering dilakukan pada seseorang dengan gangguan jiwa bilaorang tersebut
dianggap berbahaya bagi lingkungannya atau dirinya sendiri (Maramis, 2006).
DAFTAR RUJUKAN

 Yosep I,. 2009. Keperawatan Jiwa, Edisi Revisi. Bandung. PT. Refika
Aditama.
 Nihayati E.H, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa, Jakarta:
Salemba Medika.
 Nurmalia Mila, 2011. Trend Isuue Keperawatan Jiwa,. Online PDF,
(https://id.scribd.com/doc/68771810/Trend -Issue-Keperawatan-Jiwa), diakses
pada tanggal 27 Januari 2019.
 Septiyadi Irza,. 2016. Trend dan Issue Keperawatan Jiwa,. Online PDF,
(https://id.scribd.com/doc/306386056/Trend -Issue-Keperawatan-Jiwa),
Bengkulu. Poltekkes Kemenkes Bengkulu., diakses pada tanggal 28 Januari
2019.
 Suhardin R.A,. 2016. Perspektif Ruang Lingkup dan Isu Keperawatan Jiwa.
Online,
(https://rabiyatuladawiahsuhardin.wordpress.com/2016/06/27/perspektif-
ruang-lingkup-trend-dan-isu-keperawatan-jiwa/), diakses pada tanggal 27
Januari 2019.

Вам также может понравиться

  • Bab Ii
    Bab Ii
    Документ14 страниц
    Bab Ii
    Trisna Hapsari
    Оценок пока нет
  • Tema 5
    Tema 5
    Документ19 страниц
    Tema 5
    Trisna Hapsari
    Оценок пока нет
  • 6 PPKN
    6 PPKN
    Документ4 страницы
    6 PPKN
    Trisna Hapsari
    Оценок пока нет
  • Tema 4
    Tema 4
    Документ11 страниц
    Tema 4
    Trisna Hapsari
    Оценок пока нет
  • Soal Uts B. Indonesia Kelas 5 SMT 2
    Soal Uts B. Indonesia Kelas 5 SMT 2
    Документ4 страницы
    Soal Uts B. Indonesia Kelas 5 SMT 2
    Trisna Hapsari
    Оценок пока нет
  • LP Tugas
    LP Tugas
    Документ5 страниц
    LP Tugas
    Trisna Hapsari
    Оценок пока нет
  • Askep ISK
    Askep ISK
    Документ9 страниц
    Askep ISK
    Trisna Hapsari
    Оценок пока нет
  • Ruqyah
    Ruqyah
    Документ23 страницы
    Ruqyah
    Trisna Hapsari
    Оценок пока нет