Вы находитесь на странице: 1из 33

BAB 1

Konsep Teori

CVA-IVH

1.1 Pengertian

Stroke merupakan penyakit neurologis yang sering dijumpai dan harus

ditangani secara cepat dan tepat. Stroke merupakan kelainan fungsi otak yang timbul

mendadak yang disebabkan karena terjadinya gangguan peredaran darah otak dan

bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja (Muttaqin, 2008).

Stroke (CVA) penyakit serebral vaskuler menunjukkan adanya beberapa

kelainan otak baik secara fungsional maupun struktural yang disebabkan oleh

keadaan patologis dan pembuluh darah serebral atau dari seluruh sistem pembuluh

darah (Dongoes, 2012).

Perdarahan intraventrikel atau yang biasa disebut dengan IVH adalah

perdarahan yang terdapat pada sistem ventrikel otak, dimana cairan serebrospinal di

produksi dan disirkulasikan ke ruang subarachnoid. Perdarahan ini dapat disebabkan

karena adanya trauma ataupun juga perdarahan pada stroke.

Disebutkan pula bahwa Primary Intraventricular Hemorrhage merupakan

perdarahan intraserebral nontraumatik yang terbatas pada sistem ventrikel.

Sedangkan perdarahan sekunder intraventrikuler muncul akibat pecahnya pembuluh

darah intraserebral dalam dan jauh dari daerah periventrikular, yang meluas ke

sistem ventrikel. IVH sekunder mungkin terjadi akibat perluasan dari perdarahan

intraparenkim atau subarachnoid yang masuk ke system intraventrikel. Kontusio dan

perdarahan subarachnoid (SAH) berhubungan erat dengan IVH. Perdarahan dapat

berasal dari middle communicating artery atau dari posterior communicating artery.

Sepertiga pasien IVH tidak bertahan pada perawatan di rumah sakit (39%).

Angka kejadian IVH di antara seluruh pasien dengan perdarahan intrakranial adalah

3,1% dengan prognosis yang dilaporkan lebih baik dari prognosis pasien perdarahan

intraventrikel sekunder. IVH menginduksi morbiditas, termasuk perkembangan

hidrosefalus dan menurunnya kesadaran. Dilaporkan terdapat banyak faktor yang


berhubungan dengan IVH, namun hipertensi merupakan faktor yang paling sering

ditemukan. Sering kali kejadian IVH bersamaan dengan munculnya CVA hemoragik

lain, yang tersering adalah ICH (intra cranial Hematoma), sehingga kejadian CVA

ICH ini juga menimbulkan kesan gejala yang sama dengan CVA yang terjadi setelah

atau bersamaan.

Selain itu kejadian IVH lebih banyak terjadi pada bayi dibandingkan dengan

orang dewasa. Pada bayi IVH banyak terjadi pada bayi yang prematur atau BBLR,

ha ini dikarenakan belum matangnya pembentukan pembuluh darah, terutama di

otak. Ketidakmatangan inilah yang akan mengakibatkan adanya ruptur pembuuh

darah pada sistem ventrikel. Sedangkan pada orang dewasa IVH banyak terjadi

karena perdarahan dari sistem atau tempat disekitar ventrikel otak.

1.2 Etiologi

Etiologi IVH bervariasi dan pada beberapa pasien tidak diketahui. Tetapi

menurut penelitian didapatkan :

a. Hipertensi, aneurisma bahwa PIVH tersering berasal dari perdarahan hipertensi

pada arteri parenkim yang sangat kecil dari jaringan yang sangat dekat dengan

sistem ventrikuler.

b. Kebiasaan merokok dan Alkoholisme

Dari studi observasional dilaporkan meningkatnya kejadian stroke perdarahan

pada pasien merokok dan konsumsi alkohol. Kandungan (zat) yang terkandung

dalam rokok, terutama nikotin dapat menyebabkan penurunan elastisitas

dinding vaskuler. Konsumsi alkohol dengan jumlah banyak maupun sedikit

namun dalam jangka waktu yang lama akan berefek pada sistem

kardiovasluler, gangguan yang mungkin muncul pada sistem jantung

diantaranya adalah berhubungan dengan fungsi fisiologis jantung, yang

tersering diantaranya adalah fungsi sebagai “pompa” darah, sedangkan pada

sistem vaskuler, konsumsi alkohol dapat mengganggu lipid profile yang

kedepannya akan mengakibatkan gangguan pada lemak di vaskuler yang

nantinya dapat menyebabkan penyempitan vaskuler.


c. Etiologi lain yang mendasari PIVH di antaranya adalah anomali pembuluh dara

hserebral, malformasi pembuluh darah termasuk angioma kavernosa dan

aneurisma serebri merupakan penyebab tersering PIVH pada usia muda. Pada

orang dewasa, PIVH disebabkan karena penyebaran perdarahan akibat

hipertensiprimer dari struktur periventrikel.

1.3 Faktor Resiko

a. Usia tua

b. Kebiasaan merokok

c. Alkoholisme

d. Tekanan darah lebih dari 120 mmHg.

e. Lokasi dari Intracerebral hemoragik primer.

f. Perdarahan yang dalam, pada struktur subkortikal lebih beresiko menjadi

intraventrikular hemoragik, lokasi yang sering terjadi yaitu putamen (35-50%),

lobus(30%), thalamus (10-15%), pons (5%-12%), caudatus (7%) dan serebelum

(5%). Adanya perdarahan intraventrikular meningkatkan resiko kematian yang

berbanding lurus dengan banyaknya volume IVH.

1.4 Pathofisiologi

Beberapa faktor penyebab stroke antara lain: hipertensi, penyakit

kardiovaskular-embolisme serebral berasal dari jantung, kolestrol tinggi, obesitas,

peningkatan hematokrit yang meningkatkan resiko infark serebral, diabetes

mellitus, kontrasepsi oral (khususnya dengan hipertensi, merokok, dan kadar

estrogen tinggi), merokok, penyalahgunaan obat (khususnya kokain), dan konsumsi

alcohol.(Arif muttaqin, 2008)

Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan

lokal (trombus, emboli, perdarahan, dan spasme vaskular) atau karena gangguan

umum (hipoksia karena gangguan paru dan jantung). Aterosklerosis sering kali

merupakan faktor penyebab infark pada otak, trombus dapat berasal dari flak

arterosklerosis, sehingga terjadi thrombosis serebral, thrombosis ini terjadi pada


pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemik jaringan

otak yang dapat menimbulkan odema dan kongesti disekitarnya (Arif

Muttaqin,2008).

Aneurisme intracranial adalah dilatasi dinding arteri serebral yang mungkin

terjadi karena hipertensi, arterosklerosis, yang mengakibatkan kerusakan dinding

pembuluh darah dengan dilanjutkan kelemahan pada dinding pembuluh darah

karena kerusaakan congenital atau terjadi karena penambahan usia. Pelebaran

Aneurisma dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah di otak yang

mengakibatkan terjadinya perdarahan intraserebral termasuk perdarahan dalam

ruang subaraknoid atau kedalam jaringan otak itu sendiri. Akibat pecahnya

pembuluh darah menyebabkan perembesan darah ke dalam parenkim otak yang

dapat mengakibatkan penekanan jaringan otak yang berdekatan sehingga otak akan

membengkak, jaringan otak tertekan, sehingga terjadi infark otak, edema dan

mungkin herniasi otak (Arif Muttaqin,2008 ; bruner & suddarth, 2002).

Abnormalitas patologik pada jantung kiri, seperti endokarditis infeksi, infark

miocard, katup jatung rusak, fibriasi atrium menyebabkan penyumbatan pembuluh

darah otak oleh bekuan darah, lemak, dan udara sehingga terjadinya emboli

serebral, biasanya embolus menyumbat arteri serebral tengah atau cabang-

cabangnya, yang merusak sirkulasi serebral (Bruner & suddarth, 2002).

Setiap kondisi yang menyebabkan perubahan pefusi darah pada otak akan

menyebabkan insufisiensi darah ke otak sehingga akan terjadi keadaan hipoksia.

Hipoksia yang berlangsung dapat menyebabkan iskemik otak. Iskemik yang terjadi

dalam waktu yang sangat singkat kurang dari 10-15 menit dapat menyebabkan

deficit sementara dan bukan deficit permanen. Sedangkan iskemik yang dalam

waktu lama dapat menyebabkan sel mati permanen dan mengakibatkan infark pada

otak sehingga terdinya perubahan perfusi jaringan serebral. Gangguan predaran

darah otak akan menimbulkan gangguan pada metabolisme pada sel-sel neuron,

dimana sel-sel neuron tidak mampu menyimpan glikogen sehingga kebutuhan

metabolisme tergantung dari glukosa dan oksigen yang terdapat dari arteri-arteri

yang menuju otak sehingga bisa terjadi kerusan sel neuron. Selain kerusakan pada
neuron terjadi kerusakan pada pengaturan panas dalam otak (hipotalamus) yang

mengakibatkan terjadinya peningkatan metabolism serebral (Fransisca B. Batticaca,

2008; Bruner & Suddarth, 2002).

Semua faktor tersebut akan menyebabkan terjadinya stroke tergantung pada

lokasi lesi (pembuluh darah yang tersumbat). Secara patologis gambaran klinis yang

sering terjadi yaitu nyeri kepala, mual, muntah, hemiparesis atau hemiplegi,

kesadaran menurun, kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya hemiparesis)

yang timbul mendadak, kelemahan, gangguan sensibilitas pada satu atau lebih

anggota badan (gangguan hemisensorik), perubahan mendadak status mental

(konfusi, delirium, letargi, stupor, koma), afasia (bicara tidak lancar), kesulitan

memahami ucapan, disartria (bicara cadel atau pelo), gangguan penglihatan, vertigo,

pasien harus berbaring di tempat tidur, pasien sulit bernafas, adanya ronchi, dan

batuk, pasien juga sering bertanya-tanya dengan penyakitnya dan terjadi peningkatan

suhu tubuh.

IVH primer terbatas pada sistem ventrikel, yang timbul dari sumber

intraventrikular atau bersebelahan lesi ke ventrikel. Contohnya termasuk trauma

intraventrikular, aneurisma, malformasi pembuluh darah, dan tumor, biasanya

melibatkan pleksus koroid. Sekitar 70% dari IVHs yang sekunder; IVHs sekunder

dapat terjadi sebagai perpanjangan dari perdarahan intraparenchymal atau SAH ke

dalam sistem ventrikel. Faktor risiko untuk ivh termasuk usia yang lebih tua, lebih

tinggi volume yang dasar ICH, nilai mean tekanan arteri lebih besar dari 120 mm

Hg, dan lokasi ICH utama. Mendalam, struktur subkortikal cenderung paling

berisiko untuk ivh; lokasi sering meliputi putamen (35% -50%), lobus (30%),
(9)
thalamus (10% -15%), pons (5% -12%), berekor (7%), dan otak kecil (5%) .

Sedangkan beberapa penulis telah difokuskan pada volume ICH asli sebagai

prediktor hasil yang buruk, orang lain telah menggunakan volumetrics canggih

untuk menentukan volume ambang ivh (20 mL) sebagai sangat menyenangkan .

berkorelasi lebih besar volume yang ICH dengan kehadiran IVH, serta lokasi dekat

sistem ventrikel, yang kemungkinan mengarah ke awal pecahnya intraventrikular.


1.5 Pathway

Hipertensi
abnormalitas formasi vaskuler
otak
Tek. Vaskuler melebihi tek.
Menyebabkan vaskuler mudah ruptur
Maksimal vaskuler otak
karena formasi vaskuler sendiri

Perdarahan yang terjadi menyebabkan


penekanan pada area otak (desak ruang)
Kerusakan
Penekanan komunikasi verbal
pada area Peningkatan TIK Penekanan pada area
sensitif nyeri tertentu pada otak
dapat menybabkan Defisit perawatan diri
Apabila dibiarkan akan gangguan fisiologis
terjadi edema otak otak seperti
Nyeri kepala
:gangguan bicara Gangguan mobilitas fisik
kesadaran menurunan (area broca),
gangguan gerak, dll
Nyeri Akut Gangguan persepsi sensori
Resiko injuri

Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral


1.6 Manifestasi Klinik

Pada dasarnya gejala dari IVH sama dengan gejala pada perdarahan intraserebral

lainnya, seperti sakit kepala mendadak, mual dan muntah, perubahan/penurunan status

mental atau level kesadaran.

a. Sakit kepala mendadak

b. Kaku kuduk

c. Muntah

d. Letargi.

e. Penurunan Kesadaran.

f. Gangguan atau penurunan fisiologis pada bagian tubuh tertentu misal pada anggota gerak.

1.7 Pemeriksaan penunjang

Diagnosis klinis dari PIVH sangat sulit dan jarang dicurigai sebelum CT scan

meskipun gejala klinis menunjukkan diagnosis mengarah ke IVH, namun CT Scan kepala

diperlukan untuk konfirmasi. CT sangat sensitif dalam mengidentifikasi perdarahan akut dan

dipertimbangkan sebagai baku emas.

1. Rekomendasi AHA Guideline 2010 untuk pencitraan pada kasus stroke adalah:

a. Computed Tomography-Scanning (CT- scan).

CT Scan merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk PIS (perdarahan intra

serebral/ICH) dalam beberapa jam pertama setelah perdarahan. CT-scan dapat

diulang dalam 24 jam untuk menilai stabilitas. Bedah emergensi dengan

mengeluarkan massa darah diindikasikan pada pasien sadar yang mengalami

peningkatan volume perdarahan.

b. Magnetic resonance imaging (MRI).

MRI dapat menunjukkan perdarahan intraserebral dalam beberapa jam pertama

setelah perdarahan. Perubahan gambaran MRI tergantung stadium disolusi

hemoglobinoksihemoglobin-deoksihemogtobin-methemoglobin-ferritin dan

hemosiderin.
c. CT angiografi, CT venografi, contrast-enhanced CT, contrast-enhanced MRI,

magnetic resonance angiography, and magnetic resonance venography dapat

digunakan untuk mengevaluasi lesi struktural yang mendasari, termasuk malformasi

pembuluh darah dan tumor jika terdapat kecurigaan klinis atau radiologis.

2. Pemeriksaan syaraf kranial

a. Fungsi saraf kranial I (N Olvaktorius)

Pastikan rongga hidung tidak tersumbat oleh apapun dan cukup bersih. Lakukan

pemeriksaan dengan menutup sebelah lubang hidung klien dan dekatkan bau-bauan

seperti kopi dengan mata tertutup klien diminta menebak bau tersebut. Lakukan

untuk lubang hidung yang satunya.

b. Fungsi saraf kranial II (N. Optikus)

 Catat kelainan pada mata seperti katarak dan infeksi sebelum pemeriksaan.

Periksa ketajaman dengan membaca, perhatikan jarak baca atau menggunakan

snellenchart untuk jarak jauh.

 Periksa lapang pandang: Klien berhadapan dengan pemeriksa 60-100 cm,

minta untuk menutup sebelah mata dan pemeriksa juga menutup sebelah mata

dengan mata yang berlawanan dengan mata klien. Gunakan benda yang berasal

dari arah luar klien dank lien diminta , mengucapkan ya bila pertama melihat

benda tersebut. Ulangi pemeriksaan yang sama dengan mata yang sebelahnya.

Ukur berapa derajat kemampuan klien saat pertama kali melihat objek.

Gunakan opthalmoskop untuk melihat fundus dan optic disk (warna dan

bentuk)

c. Fungsi saraf kranial III, IV, VI (N. Okulomotoris, Troklear dan Abdusen)

 Pada mata diobservasi apakah ada odema palpebra, hiperemi konjungtiva, dan

ptosis kelopak mata

 Pada pupil diperiksa reaksi terhadap cahaya, ukuran pupil, dan adanya

perdarahan pupil
 Pada gerakan bola mata diperiksa enam lapang pandang (enam posisi cardinal)

yaitu lateral, lateral ke atas, medial atas, medial bawah lateral bawah. Minta

klien mengikuti arah telunjuk pemeriksa dengan bolamatanya

d. Fungsi saraf kranial V (N. Trigeminus)

 Fungsi sensorik diperiksa dengan menyentuh kilit wajah daerah maxilla,

mandibula dan frontal dengan mengguanakan kapas. Minta klien mengucapkan

ya bila merasakan sentuhan, lakukan kanan dan kiri.

 Dengan menggunakan sensori nyeri menggunakan ujung jarum atau peniti di

ketiga area wajah tadi dan minta membedakan benda tajam dan tumpul.

 Dengan mengguanakan suhu panas dan dingin juag dapat dilakukan diketiga

area wajah tersebut. Minta klien menyebabkanutkan area mana yang

merasakan sentuhan. Jangan lupa mata klien ditutup sebelum pemeriksaan.

 Dengan rasa getar dapat pukla dilakukan dengan menggunakan garputala yang

digetarkan dan disentuhkan ke ketiga daerah wajah tadi dan minta klien

mengatakan getaran tersebut terasa atau tidak

 Pemerikasaan corneal dapat dilakukan dengan meminta klien melihat lurus ke

depan, dekatkan gulungan kapas kecil dari samping kea rah mata dan lihat

refleks menutup mata.

 Pemeriksaan motorik dengan mengatupkan rahang dan merapatkan gigi periksa

otot maseter dan temporalis kiri dan kanan periksa kekuatan ototnya, minta

klien melakukan gerakan mengunyah dan lihat kesimetrisan gerakan

mandibula.

e. Fungsi saraf kranial VII (N. Fasialis)

 Fungsi sensorik dengan mencelupkan lidi kapas ke air garam dan sentuhkan ke

ujung lidah, minta klien mengidentifikasi rasa ulangi untuk gula dan asam

 Fungsi motorik dengan meminta klien tersenyum, bersiul, mengangkat kedua

al;is berbarengan, menggembungkan pipi. Lihat kesimetrisan kanan dan kiri.

Periksa kekuatan otot bagian atas dan bawah, minta klien memejampan mata
kuat-kuat dan coba untuk membukanya, minta pula klien utnuk

menggembungkan pipi dan tekan dengan kedua jari.

f. Fungsi saraf kranial VIII (N. Vestibulokoklear)

 cabang vestibulo dengan menggunakan test pendengaran mengguanakan weber

test dan rhinne test

 Cabang choclear dengan rombreng test dengan cara meminta klien berdiri

tegak, kedua kaki rapat, kedua lengan disisi tubuh, lalu observasi adanya

ayunan tubuh, minta klien menutup mata tanpa mengubah posisi, lihat apakah

klien dapat mempertahankan posisi

g. Fungsi saraf kranial IX dan X (N. Glosovaringeus dan Vagus)

 Minta klien mengucapkan aa lihat gerakan ovula dan palatum, normal bila

uvula terletak di tengan dan palatum sedikit terangkat.

 Periksa gag refleks dengan menyentuh bagian dinding belakang faring

menggunakan aplikator dan observasi gerakan faring.

 Periksa aktifitas motorik faring dengan meminta klien menelan air sedikit,

observasi gerakan meelan dan kesulitan menelan. Periksa getaran pita suara

saat klien berbicara.

h. Fungsi saraf kranial XI(N. Asesoris)

 Periksa fungsi trapezius dengan meminta klien menggerakkan kedua bahu

secara bersamaan dan observasi kesimetrisan gerakan.

 Periksa fungsi otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien menoleh ke

kanan dan ke kiri, minta klien mendekatkan telinga ke bahu kanan dan kiri

bergantian tanpa mengangkat bahu lalu observasi rentang pergerakan sendi

 Periksa kekuatanotottrapezius dengan menahan kedua bahu klien dengan kedua

telapak tangan danminta klien mendorong telapak tangan pemeriksa sekuat-

kuatnya ke atas, perhatikan kekuatan daya dorong.

 Periksa kekuatan otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien untuk

menoleh kesatu sisi melawan tahanan telapak tangan pemeriksa, perhatikan

kekuatan daya dorong


i. Fugsi saraf kranial XII (N. Hipoglosus)

 Periksa pergerakan lidah, menggerakkan lidah kekiri dan ke kanan, observasi

kesimetrisan gerakan lidah

 Periksa kekuatan lidah dengan meminta klien mendorong salah satu pipi

dengan ujung lidah, dorong bagian luar pipi dengan ujung lidah, dorong kedua

pipi dengan kedua jari, observasi kekuatan lidah, ulangi pemeriksaan sisi yang

lain

3. Pemeriksaan fungsi motorik

Sistem motorik sangat kompleks, berasal dari daerah motorik di corteks cerebri,

impuls berjalan ke kapsula interna, bersilangan di batang traktus pyramidal medulla

spinalis dan bersinaps dengan lower motor neuron. Pemeriksaan motorik dilakukan

dengan cara observasi dan pemeriksaan kekuatan.

a. Massa otot : hypertropi, normal dan atropi

b. Tonus otot : Dapat dikaji dengan jalan menggerakkan anggota gerak pada berbagai

persendian secara pasif. Bila tangan / tungkai klien ditekuk secara berganti-ganti

dan berulang dapat dirasakan oleh pemeriksa suatu tenaga yang agak menahan

pergerakan pasif sehingga tenaga itu mencerminkan tonus otot.

 Bila tenaga itu terasa jelas maka tonus otot adalah tinggi. Keadaan otot disebut

kaku. Bila kekuatan otot klien tidak dapat berubah, melainkan tetap sama. Pada

tiap gerakan pasif dinamakan kekuatan spastis. Suatu kondisi dimana kekuatan

otot tidak tetap tapi bergelombang dalam melakukan fleksi dan ekstensi

extremitas klien.

 Sementara penderita dalam keadaan rileks, lakukan test untuk menguji tahanan

terhadap fleksi pasif sendi siku, sendi lutut dan sendi pergelangan tangan.

 Normal, terhadap tahanan pasif yang ringan / minimal dan halus.

c. Kekuatan otot :

Aturlah posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji. Klien secara

aktif menahan tenaga yang ditemukan oleh sipemeriksa. Otot yang diuji biasanya
dapat dilihat dan diraba. Gunakan penentuan singkat kekuatan otot dengan skala

Lovett’s (memiliki nilai 0 – 5)

0 = tidak ada kontraksi sama sekali.

1 = gerakan kontraksi.

2 = kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat kalau melawan tahanan atau

gravitasi.

3 = cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.

4 = cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.

5 = kekuatan kontraksi yang penuh.

4. Pemeriksaan fungsi sensorik

Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit diantara

pemeriksaan sistem persarafan yang lain, karena sangat subyektif sekali. Oleh sebab itu

sebaiknya dilakukan paling akhir dan perlu diulang pada kesempatan yang lain (tetapi

ada yang menganjurkan dilakukan pada permulaan pemeriksaan karena pasien belum

lelah dan masih bisa konsentrasi dengan baik). Pemeriksaan ini bertujuan untuk

mengevaluasi respon klien terhadap beberapa stimulus. Pemeriksaan harus selalu

menanyakan kepada klien jenis stimulus. Gejala paresthesia (keluhan sensorik) oleh

klien digambarkan sebagai perasaan geli (tingling), mati rasa (numbless), rasa

terbakar/panas (burning), rasa dingin (coldness) atau perasaan-perasaan abnormal yang

lain. Bahkan tidak jarang keluhan motorik (kelemahan otot, twitching / kedutan,

miotonia, cramp dan sebagainya) disajikan oleh klien sebagai keluhan sensorik. Bahan

yang dipakai untuk pemeriksaan sensorik meliputi:

1. Jarum yang ujungnya tajam dan tumpul (jarum bundel atau jarum pada

perlengkapan refleks hammer), untuk rasa nyeri superfisial.

2. Kapas untuk rasa raba.

3. Botol berisi air hangat / panas dan air dingin, untuk rasa suhu.

4. Garpu tala, untuk rasa getar.

5. Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif) seperti :

a. Jangka, untuk 2 (two) point tactile dyscrimination.


b. Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan sebagainya), untuk

pemeriksaan stereognosis

c. Pen / pensil, untuk graphesthesia.

5. Pemeriksaan fungsi refleks

Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan refleks

hammer. Skala untuk peringkat refleks yaitu :

0 = tidak ada respon

1 = hypoactive / penurunan respon, kelemahan (+)

2 = normal (++)

3 = lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal (+++)

4 = hyperaktif, dengan klonus (++++)

Refleks-refleks yang diperiksa adalah :

a. Refleks patella

Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi kurang lebih

300. Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae) dipukul dengan

refleks hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps femoris yaitu ekstensi dari

lutut.

b. Refleks biceps

Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900 , supinasi dan lengan

bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa ditempatkan pada

tendon m. biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul dengan refleks hammer.

Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi fleksi

sebagian dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi penyebaran gerakan

fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu.

c. Refleks triceps

Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900 , tendon triceps diketok

dengan refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas olekranon).

Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila ekstensi
ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebabkanar keatas sampai otot-

otot bahu atau mungkin ada klonus yang sementara.

d. Refleks achilles

Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini

kaki yang diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas tungkai bawah kontralateral.

Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa gerakan

plantar fleksi kaki.

e. Refleks abdominal

Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah umbilikus. Kalau

digores seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah daerah yang digores.

f. Reflek Patologis

1. Babinski

Stimulus : penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke anterior.

Respons : ekstensi ibu jari kaki dan pengembangan (fanning) jari – jari kaki.

2. Chaddock

Stimulus : penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral, sekitar malleolus

lateralis dari posterior ke anterior. Respons : seperti babinski.

3. Oppenheim

Stimulus : pengurutan crista anterior tibiae dari proksimal ke distal. Respons :

seperti babinski.

4. Gordon

Stimulus : penekanan betis secara keras, Respons : seperti babinski.

5. Schaeffer

Stimulus : memencet tendon achilles secara keras. Respons : seperti babinski.

6. Gonda

Stimulus : penekukan ( planta fleksi) maksimal jari kaki keempat. Respons :

seperti babinski.
7. Hoffman

Stimulus : goresan pada kuku jari tengah pasien. Respons : ibu jari, telunjuk dan

jari – jari lainnya berefleksi.

8. Tromner

Stimulus : colekan pada ujung jari tengah pasien. Respons : seperti Hoffman.

Pemeriksaan khusus sistem persarafan, untuk mengetahui rangsangan selaput otak

(misalnya pada meningitis) dilakukan pemeriksaan :

a. Kaku kuduk

Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat

menempel pada dada, kaku kuduk positif (+).

b. Tanda Brudzinski I

Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan tangan lain didada

klien untuk mencegah badan tidak terangkat. Kemudian kepala klien

difleksikan kedada secara pasif. Brudzinski I positif (+) bila kedua tungkai

bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut.

c. Tanda Brudzinski II

Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi panggul

secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan

lutut.

d. Tanda Kernig

Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan tungkai bawah pada

sendi lutut. Normal, bila tungkai bawah membentuk sudut 1350 terhadap

tungkai atas.

Kernig (+) bila ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa sakit terhadap

hambatan.

1.8 Penatalaksanaan Medis

a. CT Scan kepala sangat sensitif dalam mengidentifikasi perdarahan akut dan

dipertimbangkan sebagai gold standard.


b. Terapi konvensional IVH berpusat pada tatalaksana hipertensi dan peningkatan tekanan

intrakranial bersamaan dengan koreksi koagulopati dan mencegah komplikasi seperti

perdarahan ulang dan hidrosefalus.

Tatalaksana peningkatan TIK adalah dengan :

a. Resusitasi cairan intravena

b. Elevasi kepala pada posisi 300

c. Mengoreksi demam dengan antipiretik.

d. Usaha awal untuk fokus menangani peningkatan tekanan intrakranial (TIK)

sangatberalasan, karena peningkatan tekanan intrakranial yang berat berhubungandengan

herniasi dan iskemi. Rasio mortalitas yang lebih rendah konsisten ditemukan pada

kebijakan terapi dengan: 1) Penggunaan keteter intraventrikuler untuk mempertahankan

TIK dalam batas normal dan 2) Usaha untuk menghilangkan bekuan darah dengan

menyuntikkan trombolitik dosis rendah.

Rekomendasi AHA Guideline 2009:

a. Pasien dengan nilai GCS <8, dan dengan bukti klinis herniasi transtentorial, atau dengan

IVH yang nyata atau hidrosefalus dipertimbangkan untuk monitor dan tatalaksana TIK.

Cerebral perfusion pressure (CPP) 50-70 mmHg beralasan untuk dipertahankan

tergantung dari autoregulasi serebri.

b. Drainase ventrikuler sebagai terapi untuk hidrosefalus beralasan pada pasiendengan

penurunan tingkat kesadaran.

c. Terapi hidrosefalus pada pasien dilanjutkan dengan konsul ke bagian bedah saraf dengan

rencana tindakan VP shunt cito. Ventriculo peritoneal (VP) Shunt merupakan tehnik

operasi yang paling popular untuk tatalaksana hidrosefalus,yaitu LCS dialirkan dari

ventrikel otak ke rongga peritoneum.Menurut Butler et gambaran klinis pada PIVH dapat

berbeda tergantung dari jumlah perdarahan dan daerah kerusakan otak di sekitarnya.Pada

CT Scan kepala pasien tampak bahwa darah sebagian besar mengisi ventrikelsebelah kiri,

hal ini yang menjelaskan terdapatnya hemiparesis dekstra pada pasienini. Kerusakan pada

reticular activating system (RAS) dan talamus selama fase akutdari perluasan perdarahan

dapat menyebabkan menurunnya derajat kesadaran.


1.9 Komplikasi

a. Hidrosefalus,hal ini merupakan komplikasi yang sering dan kemungkinan disebabkan

karena obstruksi cairan sirkulasi serebrospinal atau berkurangnya absorpsi meningeal.

Hidrosefalus dapat berkembang pada 50% pasien dan berhubungan dengan keluaran yang

buruk.

b. Perdarahan ulang (rebleeding) dapat terjadi setelah serangan hipertensi.

c. Vasospasme,beberapa laporan telah menyimpulkan hubungan antara intraventricular

hemorrhage (IVH) dengan kejadian dari vasospasme serebri.


BAB 2

Konsep Asuhan Keperawatan

2.1 Pengkajian

1. Data Umum

Pengkajian adalah merupakan tahap awal dari proses perawatan yaitu suatu

pendekatan yang sistematis dimana sumber data, diperoleh dari klien, keluarga klien.

1. Anamnesia/Identitas.

Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, agama, bangsa/suku, pendidikan,

bahasa yang digunakan dan alamat rumah.

2. Keluhan Utama.

Biasanya pada klien mengeluh sakit kepala, kadang-kadang nyeri, awalnya bisa

pada waktu melakukan kegiatan.

3. Riwayat Penyakit Sekarang.

Klien biasanya datang dengan keluhan pusing yang sangat, parase pada extrimitis,

yang didapat sesudah bangun tidur baik sinistra atau dextra, gangguan fokal,

menurunnya sensasi sensori dan tonus otot biasanya tanpa disertai kejang,

menurunnya kesadaran seperti CVA Bleeding.

4. Riwayat Penyakit Dahulu.

Pada klien dengan CVA didapat hipertensi, aktivitas dan olahraga yang tidak

adekuat, kadang klien juga cidera kepala di masa mudah dan punya riwayat DM.

5. Riwayat Kesehatan Keluarga.

Dari pihak keluarga resesif mempunyai riwayat DM dan hipertensi atau punya

anggota keluarga yang punya atau pernah mengalami CVA Bleeding maupun infark

6. Riwayat Kesehatan Lingkungan.

Resiko tinggi terjadi CVA berada pada lingkungan yang kurang sehat seperti gizi

yang jelek, aktivitas yang kurang adekuat dan pola hidup yang kurang sehat

7. Riwayat Psikososial.
Riwayat psikososial sangat berpengaruh dalam psikologi klien dengan timbul

gejala-gejala yang dialami dalam proses penerimaan terhadap penerimaan terhadap

penyakitnya.

8. Pola Sehari-hari :

a. Pola Nutrisi dan Metablisme

Biasanya pada klien dengan CVA makanan yang disukai atau tidak disukai

oleh klien, mual – muntah, penurunan nafsu makan sehingga mempengaruhi

status nutrisi

b. Pola Eliminasi.

Kebiasaan dalam BAB didapatkan ,sedangkan kebiasaan BAK akan terjadi

retensi, konsumsi cairan tidak sesuai dengan kebutuhan.

c. Pola aktivitas dan latihan

Biasanya klien dengan CVA tidak bisa melakukan aktivitas, badan terasa

lemas, muntah dan terpasang infus.

d. Pola tidur dan istirahat.

Biasanya klien sebelum tidur, lama tidur siang dan malam karena nyeri kepala

yang hebat maka kebiasaan tidur akan terganggu.

e. Pola persepsi dan konsep diri.

Didalam perubahan konsep diri itu bisa berubah bila kecemasan dan kelemahan

tidak mampu dalam mengambil sikap.

f. Pola sensori dan kognitif

Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan mempengaruhi pengetahuan

dan kemampuan dalam merawat diri.

g. Pola reproduksi sexual

Pada pria reproduksi dan seksual pada klien yang telah/sudah menikah akan

terjadi perubahan

h. Pola hubungan dan peran

Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan peran dan peran

serta mengalami tambahan dalam menjalankan perannya selama sakit.


i. Pola penanggulangan stress

Stress timbul apabila seorang klien tidak efektif dalam mengatasi masalah

penyakitnya.

j. Pola tata dan kepercayaan.

Timbulnya distress dalam spiritual pada klien, maka klien akan menjadi cemas

dan takut akan kematian, serta kebiasaan ibadahnya akan terganggu.

2. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan umum

Biasanya klien CVA mengalami badan lemah, nyeri kepala, penurunan kesadaran,

tensi meningkat, suhu, nadi, pernafasan.

2. Kepala dan leher

Keadaan rambut, kepala simetris atau tidak, ada tidaknya benjolan kepala, panas

atau tidak, maka simetris atau tidak, keadaan sclera, puppi reflek terhadap cahaya,

hidung simetris atau ada tidaknya polrip, epistaksis mulut, leher simetris serta ada

pembesaran kelenjar tiroid

3. Thorax dan abdomen

Biasanya klien CVA tidak terdapat kelainan, bentuk dada simetris.

4. Sistem respirasi

Apa ada pernafasan abnormal, tidak ada suara tambahan dan tidak terdapat

pernafasan cuping hidung

5. Sistem kardio vaskuler

Pada umumnya klien dengan CVA ditemukan tekanan darah normal/meningkat

akan tetapi bisa didapatkan Tachicardi atau Bradicardi

6. Sistem integument

Pada umumnya klien CVA turgor kulit menurun, kulit bersih, wajah pucat,

berkeringat banyak

7. Sistem eliminasi

Pada sistem eliminasi urine dan alvi biasanya tidak ditemukan kelainan
8. Sistem muskulos keletal

Apakah ada gangguan pada extriminitas atas dan bawah atau tidak ada gangguan

9. Sistem endoksin

Apakah didalam penderita CVA ada pembesaran kelenjar tiroid dan tonsil

10. Sistem persyarafan

Apakah kesadaran itu penuh atau apatis, somnolen dan koma dalam klien CVA

2.2 Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan Perfusi jaringan serebral berhubungan dengan aliran darah ke otak

terhambat

2. Nyeri akut berhubungan dengan penekanan area sensitif nyeri

3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi ke otak

4. Defisit perawatan diri: makan, mandi, berpakaian, toileting berhubungan kerusakan

neurovaskuler

5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler

6. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan Perubahan penerimaan sensori,

transmisi, dan atau integrasi

7. Resiko injuri berhubungan dengan penurunan kesadaran


2.3 Rencana Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)

1. Ketidakefektifan Perfusi Setelah dilakukan tindakan NIC :

jaringan serebral b.d keperawatan selama 3 x 24 Intrakranial Pressure (ICP)

aliran darah ke otak jam, diharapkan suplai Monitoring (Monitor

terhambat. aliran darah keotak lancar tekanan intrakranial)

dengan kriteria hasil: Berikan informasi kepada

NOC : keluarga

Circulation status Set alarm

Tissue Prefusion : cerebral Monitor tekanan perfusi

Kriteria Hasil : serebral

1. mendemonstrasikan Catat respon pasien terhadap

status sirkulasi yang stimuli

ditandai dengan : Monitor tekanan intrakranial

Tekanan systole pasien dan respon neurology

dandiastole dalam rentang terhadap aktivitas

yang diharapkan Monitor jumlah drainage cairan

Tidak ada serebrospinal

ortostatikhipertensi Monitor intake dan output

Tidk ada tanda tanda cairan

peningkatan tekanan Restrain pasien jika perlu

intrakranial (tidak lebih Monitor suhu dan angka WBC

dari 15 mmHg) Kolaborasi pemberian

2. mendemonstrasikan antibiotik

kemampuan kognitif yang Posisikan pasien pada posisi

ditandai dengan: semifowler

berkomunikasi dengan jelas Minimalkan stimuli dari

dan sesuai dengan lingkungan

kemampuan Terapi oksigen

menunjukkan perhatian, 1. Bersihkan jalan nafas dari


konsentrasi dan orientasi sekret

memproses informasi 2. Pertahankan jalan nafas tetap

membuat keputusan dengan efektif

benar 3. Berikan oksigen sesuai

3. menunjukkan fungsi intruksi

sensori motori cranial yang4. Monitor aliran oksigen, kanul

utuh : tingkat kesadaran oksigen dan sistem humidifier

mambaik, tidak ada 5. Beri penjelasan kepada klien

gerakan gerakan involunter tentang pentingnya pemberian

oksigen

6. Observasi tanda-tanda hipo-

ventilasi

7. Monitor respon klien

terhadap pemberian oksigen

8. Anjurkan klien untuk tetap

memakai oksigen selama

aktifitas dan tidur

2. Nyeri Akut berhubungan NOC : NIC :

dengan penekanan area


 Pain Level, Pain Management
sensitif nyeri
 Pain control,
1. Lakukan pengkajian nyeri
 Comfort level
secara komprehensif

Kriteria Hasil : termasuk lokasi,

karakteristik, durasi,
1. Mampu mengontrol
frekuensi, kualitas dan
nyeri (tahu penyebab
faktor presipitasi
nyeri, mampu
2. Observasi reaksi nonverbal
menggunakan tehnik
dari ketidaknyamanan
nonfarmakologi untuk
3. Gunakan teknik
mengurangi nyeri,
komunikasi terapeutik
mencari bantuan)
2. Melaporkan bahwa untuk mengetahui

nyeri berkurang pengalaman nyeri pasien

dengan menggunakan 4. Kaji kultur yang

manajemen nyeri mempengaruhi respon nyeri

3. Mampu mengenali 5. Evaluasi pengalaman nyeri

nyeri (skala, intensitas, masa lampau

frekuensi dan tanda 6. Evaluasi bersama pasien

nyeri) dan tim kesehatan lain

4. Menyatakan rasa tentang ketidakefektifan

nyaman setelah nyeri kontrol nyeri masa lampau

berkurang 7. Bantu pasien dan keluarga

5. Tanda vital dalam untuk mencari dan

rentang normal menemukan dukungan

8. Kontrol lingkungan yang

dapat mempengaruhi nyeri

seperti suhu ruangan,

pencahayaan dan

kebisingan

9. Kurangi faktor presipitasi

nyeri

10. Pilih dan lakukan

penanganan nyeri

(farmakologi, non

farmakologi dan inter

personal)

11. Kaji tipe dan sumber nyeri

untuk menentukan

intervensi

12. Ajarkan tentang teknik non

farmakologi
13. Berikan analgetik untuk

mengurangi nyeri

14. Evaluasi keefektifan

kontrol nyeri

15. Tingkatkan istirahat

16. Kolaborasikan dengan

dokter jika ada keluhan dan

tindakan nyeri tidak

berhasil

17. Monitor penerimaan pasien

tentang manajemen nyeri

Analgesic Administration

1. Tentukan lokasi,

karakteristik, kualitas, dan

derajat nyeri sebelum

pemberian obat

2. Cek instruksi dokter

tentang jenis obat, dosis,

dan frekuensi

3. Cek riwayat alergi

4. Pilih analgesik yang

diperlukan atau kombinasi

dari analgesik ketika

pemberian lebih dari satu

5. Tentukan pilihan analgesik

tergantung tipe dan

beratnya nyeri

6. Tentukan analgesik pilihan,

rute pemberian, dan dosis


optimal

7. Pilih rute pemberian secara

IV, IM untuk pengobatan

nyeri secara teratur

8. Monitor vital sign sebelum

dan sesudah pemberian

analgesik pertama kali

9. Berikan analgesik tepat

waktu terutama saat nyeri

hebat

10. Evaluasi efektivitas

analgesik, tanda dan gejala

(efek samping)

3. Kerusakan komunikasi Setelah dilakukan tindakan1. Libatkan keluarga untuk

verbal b.d penurunan keperawatan selama 3 x membantu memahami /

sirkulasi ke otak 24 jam, diharapkan klien memahamkan informasi dari /

mampu untuk ke klien

berkomunikasi lagi dengan2. Dengarkan setiap ucapan

kriteria hasil: klien dengan penuh perhatian

- dapat menjawab 3. Gunakan kata-kata sederhana

pertanyaan yang diajukan dan pendek dalam komunikasi

perawat dengan klien

- dapat mengerti dan 4. Dorong klien untuk

memahami pesan-pesan mengulang kata-kata

melalui gambar 5. Berikan arahan / perintah

- dapat mengekspresikan yang sederhana setiap interaksi

perasaannya secara verbal dengan klien

maupun nonverbal 6. Programkan speech-language

teraphy
7. Lakukan speech-language

teraphy setiap interaksi dengan

klien

4. Defisit perawatan diri; Setelah dilakukan tindakan NIC :

mandi,berpakaian, keperawatan selama 3x 24 Self Care assistance : ADLs

makan, toileting jam, diharapkan kebutuhan Monitor kemempuan klien

b.d kerusakan mandiri klien terpenuhi, untuk perawatan diri yang

neurovaskuler dengan kriteria hasil: mandiri.

NOC : Monitor kebutuhan klien untuk

Self care : Activity of Daily alat-alat bantu untuk

Living (ADLs) kebersihan diri, berpakaian,

Kriteria Hasil : berhias, toileting dan makan.

Klien terbebas dari bau Sediakan bantuan sampai klien

badan mampu secara utuh untuk

Menyatakan kenyamanan melakukan self-care.

terhadap kemampuan Dorong klien untuk melakukan

untuk melakukan ADLs aktivitas sehari-hari yang

Dapat melakukan ADLS normal sesuai kemampuan

dengan bantuan yang dimiliki.

- Dorong untuk melakukan

secara mandiri, tapi beri

bantuan ketika klien tidak

mampu melakukannya.

Ajarkan klien/ keluarga untuk

mendorong kemandirian, untuk

memberikan bantuan hanya

jika pasien tidak mampu untuk

melakukannya.

Berikan aktivitas rutin sehari-


hari sesuai kemampuan.

Pertimbangkan usia klien jika

mendorong pelaksanaan

aktivitas sehari-hari.

5. Kerusakan mobilitas fisik Setelah dilakukan tindakan NIC :

b.d kerusakan keperawatan selama 3x24 Exercise therapy :

neurovaskuler jam, diharapkan klien ambulation

dapat melakukan Monitoring vital sign

pergerakan fisik dengan sebelm/sesudah latihan dan

kriteria hasil : lihat respon pasien saat latihan

Joint Movement : Active Konsultasikan dengan terapi

Mobility Level fisik tentang rencana ambulasi

Self care : ADLs sesuai dengan kebutuhan

Transfer performance Bantu klien untuk

Kriteria Hasil : menggunakan tongkat saat

Klien meningkat dalam berjalan dan cegah terhadap

aktivitas fisik cedera

Mengerti tujuan dari Ajarkan pasien atau tenaga

peningkatan mobilitas kesehatan lain tentang teknik

Memverbalisasikan ambulasi

perasaan dalam Kaji kemampuan pasien dalam

meningkatkan kekuatan mobilisasi

dan kemampuan berpindah Latih pasien dalam pemenuhan

Memperagakan kebutuhan ADLs secara

penggunaan alat Bantu mandiri sesuai kemampuan

untuk mobilisasi (walker) Dampingi dan Bantu pasien

saat mobilisasi dan bantu

penuhi kebutuhan ADLs ps.

Berikan alat Bantu jika klien

memerlukan.
1 Ajarkan pasien bagaimana

merubah posisi dan berikan

bantuan jika diperlukan

6. Gangguan persepsi Setelah dilakukan tindakan NIC :

sensori berhubungan keperawatan selama NEUROLOGIK

dengan Perubahan ..........x 24 jam, MONITORING :

penerimaan sensori, diharapakan gangguan


ð Monitor tingkat neurologis
transmisi, dan atau persepsi sensori teratasi.
ð Monitor fungsi neurologis
integrasi Kriteria hasil:
klien
NOC :
ð Monitor respon neurologis
- Sensori function :
ð Monitor reflek-reflek
hearing
meningeal
- Sensori function : vision
ð Monitor fungsi sensori dan
- Sensori function : taste
persepsi : penglihatan,
and smell
penciuman, pendengaran,

pengecapan, rasa
Kriteria Hasil:
ð Monitor tanda dan gejala
ð Menunjukan tanda dan
penurunan neurologis klien
gejala persepsi dan sensori

baik : penglihatan,
EYE CARE :
pendengaran, makan, dan
ð Kaji fungsi penglihatan klien
minum baik.
ð Jaga kebersihan mata
ð Mampu mengungkapkan
ð Monitor penglihatan mata
fungsi persepsi dan sensori
ð Monitor tanda dan gejala
dengan tepat
kelainan penglihatan

ð Monitor fungsi lapang

pandang, penglihatan, visus

klien
EAR CARE :

ð Kaji fungsi pendengaran klien

ð Jaga kebersihan telinga

ð Monitor respon pendengaran

klien

ð Monitor tanda dan gejala

penurunan pendengaran

ð Monitor fungsi pendengaran

klien

MONITORING VITAL SIGN

ð Monitor TD, Suhu, Nadi dan

pernafasan klien

ð Catat adanya fluktuasi TD

ð Monitor vital sign saat pasien

berbaring, duduk atau berdiri

ð Auskultasi TD pada kedua

lengan dan bandingkan

ð Monitor TD, Nadi, RR

sebelum dan setelah aktivitas

ð Monitor kualitas Nadi

ð Monitor frekuensi dan irama

pernafasan

ð Monitor suara paru

ð Monitor pola pernafasan

abnormal

ð Monitor suhu, warna, dan

kelembaban kulit

ð Monitor sianosis perifer


ð Monitor adanya cushing triad

(tekanan nadi yang melebar,

brakikardi, peningkatan

sistolik)

ð Identifikasi penyebab dari

perubahan vital sign

7. Resiko Injury Setelah dilakukan tindakan NIC : Environment

berhubungan dengan perawatan selama 3 x 24 Management (Manajemen

penurunan tingkat jam, diharapkan tidak lingkungan)

kesadaran terjadi trauma pada pasien Sediakan lingkungan yang

dengan kriteria hasil: aman untuk pasien

NOC : Risk Kontrol Identifikasi kebutuhan

Kriteria Hasil : keamanan pasien, sesuai

Klien terbebas dari cedera dengan kondisi fisik dan fungsi

Klien mampu menjelaskan kognitif pasien dan riwayat

cara/metode penyakit terdahulu pasien

untukmencegah Menghindarkan lingkungan

injury/cedera yang berbahaya (misalnya

Klien mampu menjelaskan memindahkan perabotan)

factor resiko dari Memasang side rail tempat

lingkungan/perilaku tidur

personal Menyediakan tempat tidur yang

Mampumemodifikasi gaya nyaman dan bersih

hidup untukmencegah Menempatkan saklar lampu

injury ditempat yang mudah

Menggunakan fasilitas dijangkau pasien.

kesehatan yang ada Membatasi pengunjung

- Mampu mengenali Memberikan penerangan yang

perubahan status kesehatan cukup


Menganjurkan keluarga untuk

menemani pasien.

Mengontrol lingkungan dari

kebisingan

Memindahkan barang-barang

yang dapat membahayakan

Berikan penjelasan pada pasien

dan keluarga atau pengunjung

adanya perubahan status

kesehatan dan penyebab

penyakit.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2007. Jakarta:
Depkes RI

Barbara Engram (1998), Rencana Asuhan Keperawatan Medikal – Bedah Jilid I,


Peneribit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Bare Brenda G & Smeltzer Suzan C. (2000). Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol.
1, EGC, Jakarta.

Betz, C. L., & Sowden, L. A 2002, Buku saku keperawatan pediatri, RGC, Jakarta.

Carpenito, Lynda Juall.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik


Klinis.Jakarta : EGC

Dahlan, Zul. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2 edisi 4. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Depkes RI 2002, Pedoman penanggulangan P2 ISPA, Depkes RI, Jakarta

Doenges, Marilynn, E. dkk (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC,


Jakarta.

Mansjoer, Arief dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius FKUI
Jakarta

Nanda. 2011. Diagnostik keperawatan. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC

Вам также может понравиться