Вы находитесь на странице: 1из 22

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat, taufiq,
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun tugas Keperawatan Medikal Bedah
tentang “Konsep Penyakit Flu Burung”.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami
miliki sangat kurang oleh karena itu kami harap kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.

Depok, 27 Februari 2019

(Kelompok IV)

i|Asuhan Keperawatan Morbus Hansen


DAFTAR ISI

SAMPUL ..................................................................................................................

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1. LATAR BELAKANG ................................................................................ 1


1.2. TUJUAN .................................................................................................... 1
1.2.1.TUJUAN UMUM.............................................................................. 1
1.2.2.TUJUAN KHUSUS .......................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 2

2.1. DEFINISI MORBUS HANSEN ................................................................ 2


2.2. ETIOLOGI MORBUS HANSEN .............................................................. 3
2.3. EPIDEMIOLOGI MORBUS HANSEN .................................................... 5
2.4. PATOFISIOLOGI MORBUS HANSEN ................................................... 6
2.5. MANIFESTASI KLINIS MORBUS HANSEN ........................................ 7
2.6. KOMPLIKASI MORBUS HANSEN ........................................................ 8
2.7. PENATALAKSANAAN MORBUS HANSEN ........................................ 9

BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN ............................................. 11

BAB IV PENUTUP.............................................................................................. 19

4.1. KESIMPULAN ........................................................................................ 19


4.2. SARAN .................................................................................................... 19

DAFTAR REFERENSI

ii | A s u h a n K e p e r a w a t a n M o r b u s H a n s e n
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Penyakit kusta telah menyerang manusia sepanjang sejarah. Banyak ahli
percaya bahwa tulisan pertama tentang kusta muncul dalam sebuah dokumen
Papirus Mesir ditulis sekitar tahun 1550 sebelum masehi. Sekitar tahun 600
sebelum masehi, ditemukan sebuah tulisan berbahasa India menggambarkan
penyakit yang menyerupai kusta. Di Eropa, kusta pertama kali muncul dalam
catatan Yunani kuno setelah tentara Alexander Agung kembali dari India.
Kemudian di Roma pada 62 sebelum masehi bertepatan dengan kembalinya
pasukan Pompei dari Asia kecil. Pada tahun 1873, Dr. Gerhard Armauer Henrik
Hansen dari Norwegia adalah orang pertama yang mengidentifikasi kuman
yang menyebabkan penyakit kusta di bawah mikroskop.
Penemuan Mycobacterium leprae membuktikan bahwa kusta disebebkan oleh
kuman, dan dengan demikian tidak turun menurun, dari kutukan atau dari dosa
(Info Datin Kemenkes RI, 2015).

1.2. TUJUAN
1.2.1. Tujuan Umum
Tujuan di susunnya makalah ini agar pembaca mengetahui asuhan
keperawatan pada klien dengan morbus hansen.
1.2.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui definisi kusta.
2. Untuk mengetahui etiologi dari kusta.
3. Untuk mengetahui epidemiologi dari kusta.
4. Untuk mengetahui patofisiologi dari kusta.
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari kusta.
6. Untuk mengetahui komplikasi yang disebabkan oleh kusta.
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari kusta.
8. Untuk mengetahui asuhan keperawatan dari kusta.

1|Asuhan Keperawatan Morbus Hansen


BAB II

PEMBAHASAN

2.1. DEFINISI
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium leprae (M. Leprae) yang pertama kali menyerang susunan saraf
tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernafasan
bagian atas, sistem retikulum endotelia, mata, otot, tulang dan testis. Kusta
merupakan penyakit infeksi mikrobakterium yang bersifat kronik progresif,
mula-mula menyerang saraf tepi, dan kemudian terdapat manifestasi kulit.
Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus
Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman. Kusta adalah penyakit
yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae. Kusta menyerang berbagai
bagian tubuh diantaranya saraf dan kulit. Penyakit ini adalah tipe penyakit
granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas dan lesi
pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta
dapat sangat progresif menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota
gerak dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyaraka, kusta tidak
menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah seperti pada
penyakit tzaraath yang digambarkan dan sering disamakan dengan kusta (Info
Datin Kemenkes RI, 2015).
Kusta adalah penyakit granulomatosa kronis yang pada dasarnya
menyerang kulit dan sistem saraf perifer. Kusta disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae. Meski sudah membaik dalam 25 tahun terakhir,
pengetahuan tentang patogenesis, pengobatan, dan pencegahan penyakit kusta
terus berevolusi. Lesi dan kelainan kulit secara historis bertanggung jawab atas
stigma yang melekat pada kusta. Namun, bahkan dengan terapi multidrug yang
tepat (MDT), kerusakan sensorik dan motorik yang luas dapat menyebabkan
kelainan bentuk dan kecacatan yang terkait dengan penyakit kusta. (Felisa,
2016).

2|Asuhan Keperawatan Morbus Hansen


2.2. ETIOLOGI
Penyebab penyakit ini adalah Mikobakterium lepra (Mycobacterium
leprae. M. Leprae). Secara morfologik, M. Leprae berbentuk pleomorf lurus,
batang panjang, sisi paralel yang kedua unujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8
mikron. Basil ini berbentuk gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora,
dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk massa
ireguler besar yang disebut sebagai globi. Dengan mikroskop elektron, tampak
M. Leprae mempunyai dinding dari 2 lapisan, yakni lapisan peptidoglikan padat
pada bagian dalam dan lapisan transparan lipopolisakarida dan kompleks
protein lipopolisakarida pada bagian luar. Dinding polisakarida ini adalah suatu
arabinogalaktan yang di esterifikasi oleh asam mikolik dengan ketebalan 20 nm.
Tampaknya peptidoglikan ini mempunyai sifat spesifik pada M. Leprae, yaitu
adanya asam amino glisin, sedangkan pada bakteri lain mengandung alanin.
Dalam suatu penelitian, didapatkan dinding membran ini tetap simetrik
walaupun dilakukan suatu fiksasi dengan pewarnaan. Keadaan ini merupakan
salah satu sifat khas dari M. Leprae yang tidak didaptkan pada mikobakterium
lainnya, seperti mikobakterium tuberkolosis atau mikobakterium aurum.
Beberapa tahun terakhir ini terlihat perkembangan dalam bidang penelitian
penyakit kusta. Telah ditemukan struktur kimia suatu antigen, terutama
phenolic glycolipid (PGL), sehingga menghasilkan revolusi dalam
serodiagnosis penyakit kusta. Antigen ini ternyata dapat ditemukan pada
jaringan armadillo yang terinfeksi dengan M. Leprae. PGL terdiri dari 3 macam
yakni PGL-I, PGL-II, PGL-III. M. LepraeI adalah basil obligat intaseluler yang
terutama dapat berkembang biak di dalam sel Schwann saraf dan makrofag kulit.
Basil ini dapat ditemukan dimana-mana, misalnya di dalam tanah, air, udara,
dan pada manusia terdapat di permukaan kulit, rongga hidung, dan tenggorokan.
Basil ini dapat berkembang biak di dalam otot polos atau otot bergaris sehingga
dapat ditemukan pada otot erektor pili, otot dan endotel kapiler, otot di skrotum,
dan otot di iris mata. Basil ini dapat ditemukan dalam folikel rambut, kelenjar
keringat, sekret hidung, mukosa hidung, dan daerah erosi atau ulkus pada
penderita tipe borderlinedan lepromatous.

3|Asuhan Keperawatan Morbus Hansen


M. Leprae ini merupakan basil gram positif karena sitoplasma basil ini
mempunyai struktur yang sama dengan basil gram positif yang lain, yaitu
mengandung DNA dan RNA dan berkembang biak secara perlahan dengan cara
binaryfision yang membutuhkan waktu 11-13 hari. Sifat multiplikasi ini lebih
lambat daripada Mybacterium tuberculosis yang hanya membutuhkan waktu 20
jam. Pertumbuhan yang sangat lambat ini tidak diragukan sebagai faktor utama
yang menyebabkan masa inkubasi kusta sangat lama (5-7 tahun) dan
menyebabkan semua manifestasi kliniknya menjadi kronik. Basil ini belum
dapat dibiak in vitro walaupun telah dapat inokulasi pada beberapa binatang
percobaan seperti armadillo, mencit, tupai hadgehog, dengan pertumbuhan yang
terbatas dan tidak teratur. Basil ini bersifat tahan asam, tetapi kurang tahan
asam bila dibanding M. Tubeculosis. Piridin bisa merusak kempuan basil ini
untuk dapat diwarnai dengan karbol fuhsin. Sifat ini khas untuk M. Leprae.
Dengan pulasan Ziehl-Neelson (ZN), basil ini dapat terlihat soliter,
bergerombol atau berbentuk globi yang dibatasi oleh mebran, dan dapat
mengandung 50-1000 basil M. Leprae. Dengan pulasan ini, basil yang hidup
tampak berbentuk batang untuk berwarna merah terang dan ujung yang bulat
(solid), sedangkan basil yang mati terpecah-pecah (fragmented) atau granuler.
Adanya distribusi lesi yang secara klinik bredominan pada kulit, mukosa
hidung, dan saraf perifer superfisial menunjukkan pertumbuhan basil ini
cenderung menyukai temperatur kurang dari 37◦C. Bagian tubuh yang dingin
seperti saluran pernafasan, testis, ruang anterior mata, dan kulit terutama cuping
telinga, dan jari, merupakan tempat yang biasa diserang. Saraf perifer yang
terkena, terutama yang superfisial, dan bagian kulit yang dingin cenderung
paling banyak mengalami anestesi. Bagian tubuh yang dingin merupakan
tempat predileksi tidak hanya karena pertumbuhan optimal M. Leprae pada
temperatur rendah, tetapi mungkin juga oleh karena temperatur dapat
mengurangi respon imunologis. Di luar hospes, dalam sekret kering dengan
temperatur dan kelembaban dan bervariasi, M. Leprae dapat bertahan hidup 7-9
hari, sedangkan pada temperatur kamar dibuktikan dapat bertahan hidup sampai
46 hari. Untuk kriteria identifikasi, ada lima sifat khas M. Leprae, yaitu :

4|Asuhan Keperawatan Morbus Hansen


1. M. Leprae merupakan parasit intraseluler obligat yang tidak dapat dibiakkan
pada media buatan.
2. Sifat tahan asam M. Leprae dapat diekstraksi oleh piridin.
3. M. Leprae merupakan satu-satunya mikobakterium yang mengoksidasi D-
Dopa (D-Dihydroxyphenilalanin).
4. M. Leprae adalah satu-satunya spesies mikobakterium yang menginvasi dan
bertumbuh dalam saraf perifer.
5. Ekstrak terlarut dan preparat M. Leprae mengandung komponen antigenik
yang stabil dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif
pada penderita tuberkoloid dan negatif pada penderita lepromatous.

2.3. EPIDEMIOLOGI
Cara-cara penularan penyakit kusta samapai saat ini masih merupakan tanda
tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita,
yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan
penyakit kusta adalah:
1. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang
sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2-7 x 24 jam.
2. Kontak kulit dengan kulit. Syaratnya adalah harus dibwah umur 15 tahun,
keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya
kontak yang lama dan berulang-ulang.

Menurut Rees (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan


perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau
keganasan microbakterillm Leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping
itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah :

- Internasional
Prevalensi kusta di seluruh dunia dilaporkan hanya kurang dari 1 kasus per
10.000 penduduk. Sebagian besar orang yang terkena dampak tinggal di
daerah tropis dan subtropis. Enam negara besar di Asia, Afrika, dan
Amerika Selatan belum mencapai tujuan eliminasi (<1 kasus per 10.000
penduduk). Sekitar 95% kasus yang dilaporkan ditemukan di 16 negara:

5|Asuhan Keperawatan Morbus Hansen


Bangladesh, Brasil, China, Republik Demokratik Kongo, Ethiopia, India,
Indonesia, Pantai Gading, Madagaskar, Myanmar, Nepal, Nigeria, Filipina,
Sudan Selatan, Sri Lanka, dan Republik Tanzania. Secara keseluruhan,
prevalensi kusta telah menurun sejak diperkenalkannya MDT pada tahun
1982. Tingkat deteksi tahunan global untuk kusta sedikit meningkat pada
tahun 2012, kemungkinan hasil metode pencarian kasus yang lebih baik.
- Ras
Kusta terjadi pada orang-orang dari semua ras. Orang kulit hitam Afrika
memiliki kejadian kusta tuberkuloid yang tinggi. Orang dengan kulit terang
dan individu Cina cenderung untuk kontrak jenis lepromatosa kusta. Kusta
adalah endemik di Asia, Afrika, lembah Pasifik, dan Amerika Latin (tidak
termasuk Chile). Kusta lebih merupakan perdesaan daripada penyakit
perkotaan.
- Seks
Pada orang dewasa, jenis kusta tipe lepromat lebih sering terjadi pada pria
daripada pada wanita setelah pubertas, dengan rasio laki-laki terhadap
perempuan 2: 1. Pada anak-anak, bentuk kusta tuberkuloid mendominasi
dan tidak ada preferensi seks yang dilaporkan. Wanita cenderung memiliki
presentasi tertunda, yang meningkatkan tingkat deformitas.
- Usia
Kusta memiliki distribusi usia dengan puncak pada usia 10-14 tahun dan 35-
44 tahun. Kusta jarang terjadi pada bayi. Anak-anak tampak paling rentan
terhadap kusta dan cenderung memiliki bentuk tuberkuloid (Felisa, 2016).

2.4. PATOFISIOLOGI
Kuman Mycobacterium leprae menular kepada manusia melalui kontak
langsung dengan penderita dan melalui pernapasan, kemudian kuman
membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata dua hingga
lima tahun. Setelah lima tahun, tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta
mulai muncul antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan
bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya (Info Datin
Kemenkes RI, 2015). Kusta bukan penyakit yang sangat menular. Sarana utama

6|Asuhan Keperawatan Morbus Hansen


penularan adalah dengan aerosol menyebar dari sekret hidung yang terinfeksi
ke hidung terbuka dan mukosa mulut. Kusta umumnya tidak menyebar dengan
cara kontak langsung melalui kulit yang tidak terdapat lesi. Masa inkubasi kusta
adalah 6 bulan sampai 40 tahun atau lebih. Masa inkubasi rata-rata terjadi
selama 4 tahun untuk tipe tuberkuloid dan 10 tahun untuk tipe kusta
lepromatosa.
Daerah yang paling sering terkena kusta adalah permukaan saraf perifer,
misalnya kulit, selapu lendir pada saluran pernapasan bagian atas, ruang
anterior mata, dan testis. Kerusakan jaringan tergantung pada sejauh mana sel
imun mengalami kerusakan, jenis dan tingkat penyebaran sel basil dan banyak
komplikasi jaringan imunologi yang rusak (yaitu, reaksi kusta). Kusta dapat
bermanifestasi dalam bentuk yang berbeda, tergantung pada respon host
terhadap organisme. Penyakit kusta dikatakan paucibacillary karena rendahnya
jumlah bakteri di lesi kulit). Lesi kulit sering digambarkan seperti munculnya
nodul (benjolan) dan plak. Organisme tumbuh pada suhu sekitar 27 - 30° C,
sehingga lesi kulit cenderung berkembang di daerah-daerah yang lebih dingin
dari tubuh, dari pangkal paha, ketiak, dan kulit kepala. Bentuk penyakit ini juga
disebut sebagai multibacillary kusta karena sejumlah besar bakteri yang
ditemukan dalam lesi. Kusta memiliki 2 klasifikasi skema (tuberkuloid polar
(TT) dan lepromatosa polar (LL)): sistem Ridley Jopling dengan 5 kategori dan
sederhana dan lebih umum digunakan standar WHO. Ridley Joping: tergantung
pada respon host terhadap organisme, kusta dapat bermanifestasi klinis
sepanjang spektrum dibatasi oleh bentuk penyakit tuberkuloid dan lepromatosa.
Kebanyakan pasien jatuh ke dalam klasifikasi menengah, yang meliputi kusta
tuberkuloid borderline, kusta midborderline, dan kusta borderline lepramatosa
(Darvin, 2016).

2.5. MANIFESTASI KLINIS


Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau
tipe dari penyakit tersebut. Secara umum tanda-tanda penyakit kusta yaitu :
1. Adanya bercak putih tipis seperti panu pada seluruh badan yang lama
kelamaan melebar dan semakin banyak.

7|Asuhan Keperawatan Morbus Hansen


2. Bintil-bintil kemerahan di seluruh tubuh (leproma, nodul).
3. Adanya bagian kulit tubuh yang tidak berkeringat.
4. Adanya pelebaran saraf terutama pada saraf ulnaris, medianus, aulicularis
magnus serta paeoneus.
5. Muka bentol-bentol dan tegang yang disebut facial leomina (muka singa).
6. Mati rasa.
7. Alis dan rambut rontok.
Gejala-gejala umum pada kusta, yaitu:
1. Panas dari derajat yang rendah hingga menggigil
2. Anoreksia
3. Nausea, kadang kadang disertai dengan vomitus
4. Cephalgia
5. Iritasi, orchitis dan pleuritis
6. Neprhosia, nepritis dan hepatospleenomegali
7. Neuritis
Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda pokok
atau “Cardinal sign” pada badan yaitu:
1. Kelainan kulit atau lesi yang hypopigmentasi atau kemerahan dengan
hilang/mati rasa yang jelas.
2. Kerusakan dari saraf tepi, yang berupa hilang/mati rasa dan kelemahan atau
tangan, kaki atau muka.
3. Adanya kuman tahan asam di dalam kerokan jaringan kulit (BTA positif)

Seorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari


tanda-tanda pokok diatas. Bila ragu-ragu orang tersebut dianggap sebagai kasus
dicurigai (suspek) dan diperiksa ulang setiap 3 bulan sampai diagnosa dapat
ditegakkan kusta. (Dinas Kesehatan Kabupaten Kayong Utara, 2011)

2.6. KOMPLIKASI
Status reaksional terjadi pada kira-kira 20-50% pasien dan merupakan
radang kaut pada penyakit ini. Mungkin disebabkan oleh MD, stress fisik atau
mental, pubertas, persalinan, trauma, kehamilan, atau prosedur pembedahan.
Reaksi kusta harus dianggap sebagai keadaan darurat medis dan membutuhkan

8|Asuhan Keperawatan Morbus Hansen


perawatan segera. Keadaan ini dapat menyebabkan sekuele neurologis
permanen dan merupakan penyebab utama kecacatan kelas 2. Neuropati yang
disebabkan oleh kusta dapat menyebabkan trauma, nekrosis tekanan, atau
infeksi sekunder yang tidak diketahui, yang menyebabkan amputasi angka atau
anggota badan. Pergelangan tangan dan tetes kaki juga umum terjadi. Neuropati
diam bisa terjadi tanpa adanya tanda-tanda syaraf atau peradangan kulit.
Bahkan dengan pengobatan kortikosteroid, hanya sekitar 60% fungsi saraf yang
ditemukan. Cyclosporine A berguna untuk mengendalikan kerusakan saraf dan
nyeri. Injeksi kortikosteroid intranal dalam satu kasus menghasilkan regenerasi
saraf dan fungsi sensorik dan motorik yang lebih baik. Tibialis posterior
transfer oleh rute interosseus dengan mobilisasi pasca operasi dini dapat
memperbaiki penurunan tungkai pada kusta.
Cedera bisa mengakibatkan ulserasi, selulitis, jaringan parut, da
kerusakan tulang. Ulkus kaki yang ditemukan di awal harus diobati dengan
istirahat karena mereka sembuh jika tidak mengalami beban berat. Osteoporosis
dan patah tulang bisa terjadi akibat perubahan tulang akibat kusta. Risedronate
dan bisphosphate lainnya dapat membantu memperbaiki kepadatan mineral
tulang lumbal. Arthritis dapat terjadi pada sekitas 10% pasien dengan gejala
kusta dan sendi, dan besamaan dengan keadaan reaksional. Sebagian besar
memiliki artritis simetris polinearik. Artritis umumnya tidak responsif terhadap
terapi konensional, namun 50% menjaldi asimtomatik dalam waktu 24 bulan
setelah diagnosis. Kerusakan mata, terutama pada bagian anterior mata, dapat
mengakibatkan hilangnya refleks kornea, lagophthalmos, ektropion, entropion,
dan kebutaan. Satu studi menemukan risiko komplikasi okular pada pasien
dengan penyakit multibasiler, setelah selesai MDT, menjadi 5,6% dengan
komplikasi yang mengancam mata pada 3,9%. Peringatan dan retakan kulit bisa
disebabkan oleh gangguan otonom. Hipogonadisme dan atrofi testis dapat
menyebabkan kemandulan dan ginekomastia (Felisa, 2016).

2.7. PENATALAKSANAAN
Tujuan umum program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan
pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai

9|Asuhan Keperawatan Morbus Hansen


penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk
menurunkan insidens penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan
kombinasi rifampisin, klofazimin dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini
bertujuan untuk mengatasi resitensi dapson yang semakin meningkat,
mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat dan
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Rejimen pengobatan
MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO sebagai berikut:
1. Tipe PB
Jenis obat dan dosis untuk dewasa :
- Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
- DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah.
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum
6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment = berhenti minum obat
kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO tidak lagi
dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion of Treatment Cure
dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
2. Tipe MB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
- Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
- Klofazimin 300 mg/bulan diminum didepan petugas dilanjutkan dengan
klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah.
- DDS 100 mg/hari diminum di rumah.
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Sesudah
selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya
masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO pengobatan MB
diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien
langsung dinyatakan RFT.

10 | A s u h a n K e p e r a w a t a n M o r b u s H a n s e n
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
Pengakajian didapat dari menulis data dengan menggunakan metode wawancara,
observasi, pencarian data medis.
3.1.1. Identitas pasien meliputi:
1) Nama (disesuaikan dengan nama pasien)
Umur (Kusta memiliki distribusi usia dengan puncak pada usia 10-14 tahun
dan 35-44 tahun. Kusta jarang terjadi pada bayi. Anak-anak tampak
paling rentan terhadap kusta dan cenderung memiliki bentuk tuberkuloid)
Jenis kelamin (Pada orang dewasa, jenis kusta tipe lepromat lebih sering
terjadi pada pria daripada pada wanita setelah pubertas, dengan rasio
laki-laki terhadap perempuan 2: 1. Pada anak-anak, bentuk kusta
tuberkuloid mendominasi dan tidak ada preferensi seks yang dilaporkan.
Wanita cenderung memiliki presentasi tertunda, yang meningkatkan
tingkat deformitas)
Suku/Bangsa/Negara (Sebagian besar orang yang terkena dampak tinggal
di daerah tropis dan subtropis, Kusta terjadi pada orang-orang dari semua
ras. Orang kulit hitam Afrika memiliki kejadian kusta tuberkuloid yang
tinggi, kusta lebih merupakan perdesaan daripada penyakit perkotaan
(Felisa, 2016).
2) Riwayat penyakit sekarang
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan
adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf)
kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam
ringan karena adanya infeksi).
3) Riwayat penyakit dahulu
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam
kondisi lemah, kehamilan, stres atau ada riwayat penyakit yang pernah
diderita pada masa lampau.
4) Riwayat kesehatan keluarga

11 | A s u h a n K e p e r a w a t a n M o r b u s H a n s e n
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang
disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa
inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga
yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
5) Riwayat psikososial
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar
masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit
kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga
klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan
fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita.
6) Pola aktiviatas sehari-hari
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan
dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada
orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak
memungkinkan

3.1.2. Pemeriksaan Fisik


1) Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat
pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena
adanya gangguan saraf tepi motorik.
2) Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea
mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi
mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata
akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe
II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan
mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak
pada alis mata maka alis mata akan rontok.
3) Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti
pelana dan terdapat gangguan pada tenggorokan.
4) Sistem persarafan:
 Kerusakan fungsi sensorik: Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan
terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak

12 | A s u h a n K e p e r a w a t a n M o r b u s H a n s e n
tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata
mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.
 Kerusakan fungsi motorik : Kekuatan otot tangan dan kaki dapat
menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi)
karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok
dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila
terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan
(lagophthalmos).
 Kerusakan fungsi otonom : Terjadi gangguan pada kelenjar keringat,
kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi
kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.
5) Sistem muskuloskeletal. Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik
adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan
akan atropi.
6) Sistem integumen. Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu),
bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul
(benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar
keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit
kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati
kerontokan jika terdapat bercak.

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


1) Gangguan rasa nyaman (nyeri) yang berhubungan dengan proses inflamasi
jaringan.
2) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan citra tubuh terhadap lesi
pada kulit.
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kontraktur otot dan kaku sendi
4) Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakseimbangan pertahanan tubuh primer
dan kerusakan integritas kulit
5) Resiko trauma berhubungan dengan peningkatan resiko cedera jaringan karena
neuritis
6) Resiko cidera berhubungan dengan kerusakan integritas kulit

13 | A s u h a n K e p e r a w a t a n M o r b u s H a n s e n
3.3 INTERVENSI KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA NOC NIC
1 Gangguan rasa nyaman Tujuan : 1) Kaji skala nyeri
(nyeri) yang  Rasa nyaman klien
berhubungan dengan terpenuhi dan nyeri 2) Alihkan perhatian
proses inflamasi jaringan. berkurang setelah klien terhadap
dilakukan tindakan nyeri
keperawatan 3) Monitor keadaan
Kriteria hasil : umum dan tanda-
 Klien merasakan tanda vital
nyeri berkurang 4) Awasi keadaan
didaerah operasi luka operasi
 Klien tenang 5) Ajarkan cara nafas
 Pola istirahat – dalam & massage
tidur normal, 7-8 untuk mengurangi
jam perhari nyeri
6) Kolaborasi untuk
pemberian obat
antibiotic dan
analgetik.

2 Gangguan citra tubuh Tujuan: 1) Kaji secara verbal


berhubungan dengan  Body image dan nonverbal
perubahan citra tubuh  Self esteem 2) Respon klien
terhadap lesi pada kulit Kriteria hasil: terhadap tubuhnya
 Body image positif 3) Monitor frekuensi
 Mampu mengkritik dirinya
mengidentifikasi 4) Jelaskan tentang
kekuatan personal pengobatan,
 Mendeskripsikan peralatan,
secara factual kemajuan dan

14 | A s u h a n K e p e r a w a t a n M o r b u s H a n s e n
perubahan fungsi prognosis penyakit
tubuh 5) Dorong klien
 Mempertahankan mengungkapkan
interaksi sosial perasaannya
6) Identifikasi arti
pengurangan
melalui pemakaian
alat bantu

3 Hambatan mobilitas fisik Tujuan : 1) Monitor TTV


berhubungan dengan  Join movement : sebelum atau
kontraktur otot dan kaku active sesudah latihan
sendi  Mobility level dan lihat respons
 Self care: ADLs pasien saat latihan
 Transfer 2) Konsultasikan
performance dengan terapi fisik
Kriteria hasil: tentang rencana
 Klien meningkat ambulansi sesuai
dalam aktifitas dengan kebutuhan
fisik 3) Ajarkan pasien
 Mengerti tujuan tentang teknik
dalam peningkatan ambulansi
mobilitas 4) Kaji kemampuan
 Mengungkapkan pasien dalam
perasaan secara mobilisasi
lisan dalam 5) Latihan pasien
meningkatkan dalam pemenuhan
kekuatan dan kebutuhan ADLs
kemampuan secara mandiri
berpindah sesuai kemampuan

4 Resiko infeksi Tujuan : 1) Bersihkan

15 | A s u h a n K e p e r a w a t a n M o r b u s H a n s e n
berhubungan dengan  Immune status lingkungan setelah
ketidakadekuatan  Knowledge: dipakai pasien lain
pertahanan tubuh primer infection control 2) Pertahankan teknik
dan kerusakan integritas  Risk control isolasi
kulit Kriteria hasil: 3) Batasi pengunjung
 Klien bebas dari bila perlu
tanda dan gejala 4) Instruksikan
infeksi kepada pengunjung
 Mendeskripsikan untuk mencuci
proses penularan tangan saat
penyakit, faktor berkunjung dan
yang setelah berkunjung
mempengaruhi meninggalkan
penularan serta pasien
penatalaksanaanny 5) Gunakan sabun
a antimikrobia untuk
 Menunjukkan mencuci tangan
kemampuan untuk 6) Cuci tangan
mencegah sebelum dan
timbulnya infeksi sesudah tindakan
 Jumlah leukosit keperawatan
dalam batasan 7) Gunakan baju,
normal sarung tangan
 Menunjukkan sebagai alat
perilaku hidup pelindung
sehat 8) Pertahankan
lingkungan aseptic
selama
pemasangan alat

5 Resiko trauma Tujuan : 1) Sediakan


berhubingan dengan  Knowledge: lingkungan yang

16 | A s u h a n K e p e r a w a t a n M o r b u s H a n s e n
peningkatan resiko cidera personal safety aman untuk pasien
jaringan karena neuritis  Safety behavior: 2) Identifikasi
fall prevention kebutuhan
 Safety behavior : keamanan pasien
fall occurance sesuai dengan
 Safety behavior : kondisi fisik dan
physical injury fungsi kognitif
 Tissway intregity : serta riwayat
skin and mucosa penyakit terdahulu
membrane pasien
Kriteria hasil: 3) Berikan penjelasan
 Pasien terbebas pada pasien dan
dari trauma fisik keluarga atau
 Lingkungan rumah pengunjung adanya
aman perubahan status
 Perilaku kesehatan dan
pencegahan jatuh penyebab penyakit
 Dapat mendeteksi
resiko
 Pengendalian
resiko:
pengetahuan
personal safety
6 Resiko cedera Tujuan : 1) Sediakan
berhubungan dengan  Risk control lingkungan yang
kerusakan integritas kulit Kriteria hasil: nyaman untuk
 Pasien terbebas pasien
dari cidera 2) Identifikasi
 Pasien mampu kebutuhan
menjelaskan cara keamanan pasien
untuk mencegah sesuai dengan
cidera kondisi fisik dan

17 | A s u h a n K e p e r a w a t a n M o r b u s H a n s e n
 Mampu mengenali fungsi kognitif
perubahan status serta riwayat
kesehatan penyakit terdahulu
pasien
3) Sediakan tempat
tidur yang nyaman
dan bersih
4) Hindarkan
lingkungan yang
berbahaya
5) Anjurkan keluarga
untuk menemani
pasien

3.4 IMPLEMENTASI KEPERAWATAN


Merupakan tindakan yang dilakukan sesuai dengan prioritas diagnosa sesuai
kebutuhan pasien. Tindakan dilaksanakan berdasarkan intervensi keperawatan
yang telah disusun dari hasil pengkajian dan analisa data. Implementasi
keperawatan berfokus pada pencapaian tujuan, intervensi dengan batas waktu
yang telah ditentukan.

3.5. EVALUASI KEPERAWATAN


Mengidentifikasi kriteria hasil untuk mengukur keberhasilan, mengumpulkan
data sesuai dengan kriteria hasil yang telah ditetapkan, mengevaluasi pencapaian
tujuan dengan membandingkan data yang dikumpulkan dengan kriteria, lalu
memodifikasi rencana keperawatan bila tujuan belum tercapai.

18 | A s u h a n K e p e r a w a t a n M o r b u s H a n s e n
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
mycrobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.( Djuanda, 2010)

4.2 SARAN
Dengan adanya makalah ini diharapkan mahasiswa mampu memahami tentang
penyalit lepra dan mampu melaksanakan pemberian asuhan keperawatan pada
pasien lepra yang berkualitas.

19 | A s u h a n K e p e r a w a t a n M o r b u s H a n s e n
DAFTAR REFERENSI

Krisnawati, arini. . 2009. Penyakit Kusta Dalam : Asuhan Keperawatan Gangguan Integumen. Ternate,
Politeknik Kesehatan : 78 – 65
Nurarif, amin huda dan hardhi kusuma. 2015. Aplikasi asuhan keperawatan
berdasarkan diagnose medis & nanda nic-noc jilid 2. Jogjakarta : mediaction
Ester,monica dan herdman. 2011. Diagnosis keperawatan definisi dan klasifikasi 2011-
2014. Jakarta : penerbit buku kedokteran EGC
Andareto, Obi. 2015. Penyakit Menular di Sekitar Anda. Jakarta: Pustaka Ilmu Semesta
Hal 182
Lewis, Felisa S. 2016. Dermatologic Manifestasions of Leprosy.

Rohmah, Nikmatur dan Walid, Saiful. 2012. Proses keperawatan Teori dan Aplikasi.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

20 | A s u h a n K e p e r a w a t a n M o r b u s H a n s e n

Вам также может понравиться