Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
Tujuan bab ini adalah untuk memberikan gambaran pada penilaian pre
operasi pasien dengan penyakit paru-paru. Ahli anestesi harus tahu kapan harus
meminta konsul untuk pasien ini dan apakah pemeriksaan mahal yang akan
dilakukan tidaklah relevan atau tidak diperlukan. Bab ini menguraikan riwayat
terkait, temuan pemeriksaan fisik, algoritma uji diagnostik, dan penatalaksanaan
pasien dengan penyakit paru secara umum, meliputi asma, fibrosis kistik (CF),
dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Kami juga membahas metode untuk
mengevaluasi pasien dengan dispnea atau riwayat penggunaan tembakau. Kami
mempertimbangkan cara untuk mengoptimalkan penatalaksanaan medis (kapan
harus menggunakan kortikosteroid atau menggunakan regimen bronkodilator) dan
bagaimana mengidentifikasi pasien bedah berisiko tinggi. Diskusi singkat tentang
operasi lung volume reduction dan transplantasi paru juga disertakan.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ASMA
2
(Tabel 5.1 dan 5.2). Klasifikasi ini didasarkan pada tingkat keparahan dan
frekuensi gejala.
Emfisema
3
Tiga pola morfologis utama emfisema yang diketahui:(a) emfisema asinar
proksimal yang melibatkan zona paru bagian atas (emfisema centrilobular, PPOK
tipikal, dan emfisema terkait dengan debu seperti pneumokoniosis pekerja
batubara); (b) emfisema panacinar yang biasanya melibatkan zona paru-paru
bagian bawah (mis. defisiensi α1-antitrypsin); dan (c) asinar distal atau emfisema
paraseptal, bentuk yang paling jarang, sebagai lesi yang terisolasi atau dalam
kombinasi dengan bentuk lain.
Bronkitis kronis
Aspek Klinis
Pasien dengan PPOK biasanya mengalami dispnea, batuk kronis, mengi, dan
produksi sputum yang memburuk setelah infeksi virus pernafasan (1). Ekskursi
diafragmatik dan penurunan hiperinflasi dinamis dan diameter dada anterior-
posterior meningkat, membatasi aktivitas. Dalam keadaan berat dapat
menimbulkan tanda-tanda hipoksia (polisitemia, sianosis, clubbing), hypercarbia
(asterixis), dan wasting. Tabel 5.3 merangkum tahap dan penatalaksanaan medis
PPOK sebagaimana didefinisikan oleh National Heart Lung and Blood Institute /
World Health Organization (4). Gejala paru dapat sangat bervariasi bergantung
pada pasien dari waktu ke waktu. Sementara ini belum ada definisi yang diterima
secara universal untuk PPOK eksaserbasi akut, guideline ATS dan ERS
mendefinisikan eksaserbasi sebagai peningkatan gejala harian pada dispnea,
batuk, atau dahak di luar variabilitas normal dari hari ke hari dan cukup parah
untuk membutuhkan perubahan pada penatalaksanaannya.
4
meningkatkan kapasitas paru. Namun, spirometri tidak memberikan penilaian
lengkap padaderajat keparahan penyakit. Sebagai contoh, dalam sebuah studi
kohort, indeks massa tubuh, obstruksi aliran udara (prediksi FEV1), dispnea (skor
berdasarkanskala dyspnea dari The Modifies Medical Research Council ; Tabel
5.4), dan uji berjalan kaki 6 menit untuk toleransi aktivitasyang dikombinasikan
dalam skala 10 poin multidimensional di mana skor yang lebih tinggi
menunjukkan risiko kematian yang lebih tinggi. Indeks ini lebih baik dalam
memprediksi penyebab keseluruhan dan mortalitas respirasi pada pasien dengan
PPOK dibandingkan dengan FEV1 saja, yang dimana memiliki nilai prediksi yang
kecil (6).
5
terbatas, transplantasi paru meningkatkan fungsi paru, kapasitas aktivitas, dan
kualitas hidup. Karena jumlah transplantasi terus meningkat dan kelangsungan
hidup meningkat, pasien dengan komplikasi terkait dengan paru yang
ditransplantasikan beserta pasien transplantasi paru dengan kelainan yang tidak
terkait, menjalani prosedur yang lebih sering (9). Angka bertahan hidup dalam 1,
5 dan 10 tahun pada pasien dengan emfisema setelah transplantasi paru masing-
masing sekitar 80%, 50%, dan 35% (10).
FIBROSIS KISTIK
6
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya peningkatan konsentrasi
klorida keringat (> 60 mEq / L) ditambah setidaknya satu dari gejala
berikut:Penyakit jalan nafas kronis (biasanya bronkiolitis dengan obstruksi jalan
napas dan / atau bronkiektasis), insufisiensi pankreas eksokrin (manifestasi
ekstrapulmoner yang paling sering), atau riwayat CF yang didiagnosis pada
orangtua, saudara kandung, atau sepupu pertama. Manifestasi klinis dan pilihan
terapi yang paling umum diuraikan dalam Tabel 5.6.
DYSPNEA
7
Dispnea adalah gejala yang paling sering pada pasien dengan penyakit
kardiopulmoner. Pernyataan konsensus ATS mendefinisikan dispnea sebagai
"pengalaman subjektif dari ketidaknyamanan bernafas yang terdiri atas sensasi
yang berbeda secara kualitatif dengan intensitas yang bervariasi" (12). Sensasi
tersebut berasal dari interaksi antara beberapa faktor fisiologis, psikologis, sosial,
dan lingkungan dan dapat menyebabkan respons fisiologis dan perilaku sekunder
(12). Dispnea berhubungan dengan kondisi di mana dorongan pernafasan
meningkat atau sistem pernapasan mengalami peningkatan beban mekanis.
Penilaian dispnea adalah bagian penting dari evaluasi pre operatif. Metode
evaluasi mencoba untuk menjabarkan gejala melalui anamnesis dan pemeriksaan
fisik serta dengan pengujian diagnostik awal dan lanjutan (Gambar 5.1).
Dispnea bisa akut ataupun kronis. Penyebab paling terseringdispnea akut adalah
PPOK, asma, dan CHF. Dua pertiga pasien dengan dispnea kronis (lebih dari 1
bulan) menderita asma, PPOK, penyakit paru interstitial, dan / atau kardiomiopati
(13). Dispnea dapat bersifat intermiten (cth, Asma), berulang (cth, CHF), atau
persisten (cth, Pasien dengan PPOK dan / atau penyakit paru interstitial) dan dapat
dipengaruhi oleh posisi. Dispnea ketika pasien dalam posisi dekubitus lateral
kanan atau kiri disebut trepopnea. Hal ini mungkin menandakan penyakit paru
unilateral, seperti efusi pleura atau obstruksi cabang trakeobronkial proksimal.
Ketika pasien berbaring dengan paru-paru yang sakitdibawah, gaya gravitasi
meningkatkan perfusi paru yang sakit yang tidak dapat berventilasi dengan baik.
Orthopnea, atau dispnea saat telentang, biasanya terjadi pada malam hari pada
8
pasien dengan disfungsi ventrikel kiri (LV), obstructive sleep apnea (OSA),
GERD, atau asma.Platypnea adalah dispnea yang memburuk pada posisi tegak.
Hal ini disebut platypnea-orthodeoxia, ketika desaturasi oksigen arteri disebabkan
oleh hubungan dari intracardiac kanan ke kiri (14), sambungan intrapulmoner
(15), penyakit hati (16), atau reseksi pulmoner (17).
Uji Diagnostik
9
penting dalam evaluasi awal pasien dengan dispnea, tetapi tidak adanya temuan
abnormal tidak menyingkirkan penyakit kardiopulmoner yang signifikan. PFT dan
CT thoraks dapat memberikan bukti emfisema atau penyakit paru interstitial difus
yang tidak terlihat pada foto thoraks.
MEROKOK
10
mengalami komplikasi perioperatif pulmoner maupun nonpulmoner (22,27,28).
Pemberhentian merokok mengurangi risiko; Tampaknya beberapa minggu
pemberhentian merokok diperlukan untuk mendapaat efek maksimal, sejalan
dengan waktu yang diperlukan untuk perbaikan fungsi paru (29-32). Tidak ada
bukti kuat untuk mendukung kesimpulan sebelumnya bahwapemberhentian
singkat sebenarnya meningkatkan tingkat komplikasi paru (28,33). Meskipun
demikian, semakin lama durasi pemberhentian pra operasi, maka semakin baik.
Setidaknya 8 minggu pemberhentian diperlukan untuk mendapat efek maksimal,
konsisten dengan waktu yang dibutuhkan paru-paru untuk pulih dari paparan asap
kronis (22,28).
Komplikasi paru pasca operasi, yang didefinisikan cukup luas dan tidak
konsisten dalam literatur, tergantung pada jenis dan lamanya operasi dan kondisi
preoperatif pasien serta komorbiditas (cth, CHF). Komplikasi tersering adalah
atelektasis, retensi sekresi trakeobronkial, pneumonia, hipoksemia, emboli paru,
gagal pernapasan dengan kebutuhan ventilasi mekanik yang mengalami
pemanjangan, dan cedera paru akut pasca operasi. Komplikasi paru telah
dilaporkan pada 5% hingga 10% di populasi bedah umum dan hingga 22% pada
pasien berisiko tinggi yang diidentifikasi saat preoperatif (34-36).
Karena semakin banyak pasien dengan kondisi paru yang sudah ada
sebelumnya atau faktor risiko lain saat menjalani operasi, komplikasi paru akan
terus menjadi pertimbangan perioperatif yang penting. Melalui riwayat medis,
pemeriksaan fisik, dan ujidiagnostik tertentu, risiko pulmoner perioperatif dapat
dinilai secara akurat untuk memandu pengobatan dan untuk mengurangi risiko
pasca operasi. Model indeks risiko multifaktorial yang baru-baru ini divalidasi
untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko mengalami kegagalan pernapasan
pasca operasi mungkin merupakan indeks yang berguna untuk memandu
penatalaksanaan pernapasan perioperatif (36a).
11
prosedur bedah yang diantisipasi, jenis dan durasi operasi, dan adanya penyakit
lain (pulmoner dan nonpulmoner) dapat memengaruhi risiko perioperatif
(1,27,34,38). Tabel 5.7 merangkum kekuatan pada bukti mengenai hubungan
antara pasien, prosedur, dan hasil uji laboratorium dengan komplikasi paru pasca
operasi (39).
Usia
Obesitas
Merokok
12
Insidensi komplikasi pulmoner perioperatif meningkat pada proporsi
langsung untuk merokok di atas ambang batas 10 bungkus/tahun (27,38). Data
yang tersedia menunjukkan peningkatan dalam risiko komplikasi paru pasca
operasi di antara para perokoktersebut(40).
13
secara tidak disengaja atau blokade saraf frenikus selama blok pleksus brakialis
interskalenus dapat menyebabkan paralisa otot pernapasan interkostal atau
diafragma, yang menimbulkan dampak merugikan untuk pasien dengan cadangan
ventilasi menurun (cth, PPOK).
14
diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan spesifik mengenai kondisi pasien.
Uji diagnostik bersifat selektif sesuai dengan faktor resiko pasien dan resiko
operasi (Tabel 5.8). Spirometri pre operatif, analisa gas darah, dan rontgen thoraks
tidak boleh dilakukan secara rutin untuk memprediksi risiko komplikasi paru
pasca operatif (40). Pemeriksaan khusus dapat diperlukan untuk planning
pembedahan pasien yang dijadwalkan untuk reseksi paru-paru. Sebagai contoh,
resiko insufisiensi respirasi pasca operasi atau kematian lebih besar pada pasien
yang menjalani pneumonektomi dengan FEV1 pre operatif<2 L atau 50% dari
yang diprediksi, maximal voluntary ventilation<50% dari yang diprediksi, atau
DLCO paru <60% dari yang diprediksi (3). Dengan demikian, pasien yang
dijadwalkan untuk reseksi paru umumnya harus menjalani spirometri, dan pada
pasien tertentu, DLCO paru harus diketahui (44).
Jika pasien yang akandioperasi reseksi paru memiliki kelainan pre operatif
pada FEV1 atau DLCO, penting untuk memperkirakan kemungkinan volume
cadangan paru postreseksi. Jumlah fungsi residual paru post reseksi paru dapat
diperkirakan dengan menggunakan scanning paru radionuklida kuantitatif beserta
spirometri. FEV1 dari spirometri merupakan satu-satunya nilai lain yang
diperlukan dalam rumus ini. FEV1residual diprediksi dengan mengalikan FEV1
dengan persentase jumlah radioaktif dari paru atau luas paru menurut persamaan
berikut (45):
Perkiraan jumlah FEV1 pasca operasi setidaknya adalah 0,8 L (27) atau>40% dari
nilai prediksi normal yang menunjukkan bahwa pasien memiliki jaringan paru
yang cukup untuk mentoleransi tindakan (38). Nilai FEV1 atau DLCO post operasi
yang diprediksi <40% menunjukkan peningkatan risiko komplikasi perioperatif.
CPET harus dilakukan pada pasien ini untuk menentukan secara jelas risiko
perioperatif sebelum dioperasi. Resiko komplikasi perioperatif umumnya dapat
dikelompokkan berdasarkan perhitungan konsumsi oksigen maksimal (VO2 max).
Pasien dengan VO2 max Pre operasi> 20 mL / kg / menit tidak mengalami
15
peningkatan resiko komplikasi atau kematian; VO2 max<15 mL / kg / menit
menunjukkan peningkatan risiko komplikasi perioperatif; dan pasien dengan VO2
max<10 mL / kg / menit memiliki risiko yang sangat tinggi untuk komplikasi post
operasi (45). Jenis uji aktivitas alternatif lainnya, meliputi menaiki tangga dan
berjalan kaki-6 menit (45-47). Meskipun sering idakk dilakukan sesuai standar,
menaiki tangga dapat memprediksi VO2 max. Secara umum, pasien yang dapat
menaiki lima set tangga memiliki VO2 max> 20 mL / kg / menit. Sebaliknya,
pasien yang tidak dapat menaiki satu set tangga memiliki VO2 max<10 mL / kg /
menit. Desaturasi oksihemoglobin selama uji aktivitas telah dikaitkan dengan
peningkatan risiko komplikasi perioperatif (47). Tabel 5.8 menunjukkan usulan
untuk uji preoperatif pasien dengan penyakit paru.
16
Penyakit paru-paru harus dikontrol sebelum operasi (cth., Terapi
bronkodilator dan, jika perlu, prednison oral sebelum operasi elektif dapat
mengurangi komplikasi pada pasien dengan asma persisten sedang sampai
berat). Langkah-langkah untuk mengendalikan infeksi aktif (cth.
Antibiotik) dapat mengurangi insiden dan tingkat keparahan komplikasi
pulmoner perioperatif (38).
o Tindakan yang bertujuan untuk mencegah deep vein thrombosis
(DVT) dan emboli paru (PE) penting untuk semua operasi besar,
terutama untuk operasi ortopedi, di mana kejadian trombosis dapat
mencapai 60% (48-50). Pemberian profilaksis heparin dapat
membantu mengurangi kejadian DVT dan kematian pada pasien
berisiko tinggi. Pencegahan DVT ekstremitas bawah pasti
mengurangi frekuensi PE. Populasi yang berisiko (cth, Operasi
bedah saraf atau ortopedi, riwayat PE atau DVT) harus
diidentifikasi sehingga pemberian antitrombotik profilaksis yang
aman dan efisien dapat digunakan. Konsensus Ketujuh dari The
American College of Chest Physician’s mengenai terapi
antitrombotik telah mepublikasikan sebuah guideline, yang
direview pada Bab 7 (51).
Atelektasis dan hipoksemia sering terjadi saat periode perioperatif (52).
Spirometri insentif dan strategi ekspansi paru lainnya akan bermanfaat.
Continous Positive Airway Pressure (CPAP) dapat mengurangi
komplikasi pulmoner pada pasien yang berisiko mengalami hipoksemia
setelah ekstubasi dan mengurangi intubasi intubasi trakea ulang (53).
Pasien yang menggunakan CPAP harus diinstruksikan untuk membawa
peralatan mereka ke rumah sakit pada hari operasi. Persiapan dapat alat
dapat memfasilitasi ekstubasi dini atau pencegahan intubasi ulang (54).
Prosedur elektif harus ditunda untuk pasien dengan PPOK eksaserbasi
akut atau asma. Tidak ada data mengenai berapa lama setelah eksaserbasi
akut pasien masih memiliki resiko.
Kortikosteroid dapat diberikan dalam "stress dose" bagi mereka yang aksis
hipopituitari-adrenalnya (HPA) mengalami supresi akibat terapi
17
kortikosteroid jangka panjang. Pemberian jangka panjang (bulan hingga
tahun) > 5 mg prednison setiap hari meningkatkan risiko supresi HPA
(55). Pasien yang telah mendapat prednison > 20 mg / hari atau yang
setara selama > 3 minggu mungkin memerlukan suplementasi (Tabel 5.9)
(lihat Bab 6 dan 17 untuk rincian lebih lanjut). Orang dewasa yang hanya
menerima kortikosteroid inhalasi jarang membutuhkan kortikosteroid
sistemik pada periode perioperatif untuk mencegah insufisiensi adrenal
(56). Kortikosteroid dapat digunakan untuk meningkatkan fungsi
pulmoner pre operatif, tetapi tidak ada bukti bahwa kortikosteroid
parenteral rutin diperlukan untuk semua pasien dengan reactive airway
disease.
18
BAB III
KESIMPULAN
19
20
21
22
23
24
25
DAFTAR PUSTAKA
26
11. Kostopanagiotou G, Smyrniotis V, Arkadopoulos N, et al. Anesthetic and
perioperative management of adult transplant recipients in nontransplant surgery.
Anesth Analg. 1999;89:613–622.
12. Dyspnea. Mechanisms, assessment, and management: a consensus statement.
American Thoracic Society. Am J Respir Crit Care Med. 1999;159:321–340.
13. Pratter MR, Curley FJ, Dubois J, et al. Cause and evaluation of chronic
dyspnea in a pulmonary disease clinic. Arch Intern Med. 1989;149:2277–2282.
14. Wranne B, Tolagen K. Platypnoea after pneumonectomy caused by a
combination of intracardiac right-to-left shunt and hypovolaemia. Relief of
symptoms on restitution of blood volume. Scand J Thorac Cardiovasc Surg.
1978;12:129–131.
15. Robin ED, Laman D, Horn BR, et al. Platypnea related to orthodeoxia caused
by true vascular lung shunts. N Engl J Med. 1976;294:941–943.
16. Santiago SM Jr, Dalton JW Jr. Platypnea and hypoxemia in Laennec's
cirrhosis of the liver. South Med J. 1977;70:510–512.
17. Begin R. Platypnea after pneumonectomy. N Engl J Med. 1975;293:342–343.
18. Simon PM, Schwartzstein RM, Weiss JW, et al. Distinguishable types of
dyspnea in patients with shortness of breath. Am Rev Respir Dis. 1990;142:1009–
1014.
19. Scano G, Stendardi L, Grazzini M. Understanding dyspnoea by its language.
Eur Respir J. 2005;25:380–385.
20. Januzzi JL Jr, Camargo CA, Anwaruddin S, et al. The N-terminal Pro-BNP
investigation of dyspnea in the emergency department (PRIDE) study. Am J
Cardiol. 2005;95:948–954.
21. American Thoracic Society, American College of Chest Physicians.
ATS/ACCP statement on cardiopulmonary exercise testing. Am J Respir Crit
Care Med. 2003;167:211–277.
22. Egan TD, Wong KC. Perioperative smoking cessation and anesthesia: a
review. J Clin Anesth. 1992;4:63–72.
P.146
27
23. Cooper CB. Assessment of pulmonary function in COPD. Semin Respir Crit
Care Med. 2005;26:246–252.
24. Fletcher C, Peto R. The natural history of chronic airflow obstruction. BMJ.
1977;1:1645–1648.
25. Sandford AJ, Chagani T, Weir TD, et al. Susceptibility genes for rapid decline
of lung function in the lung health study. Am J Respir Crit Care Med.
2001;163:469–473.
26. Scanlon PD, Connett JE, Waller LA, et al. Smoking cessation and lung
function in mild-to-moderate chronic obstructive pulmonary disease. The Lung
Health Study. Am J Respir Crit Care Med. 2000;161:381–390.
27. Okeson GC. Pulmonary dysfunction and surgical risk. How to assess and
minimize the hazards. Postgrad Med. 1983;74:75–83.
28. Warner DO. Perioperative abstinence from cigarettes: physiologic and clinical
consequences. Anesthesiology. 2006;104:356–367.
29. Bluman LG, Mosca L, Newman N, et al. Preoperative smoking habits and
postoperative pulmonary complications. Chest. 1998;113:883–889.
30. Kotani N, Kushikata T, Hashimoto H, et al. Recovery of intraoperative
microbicidal and inflammatory functions of alveolar immune cells after a tobacco
smoke-free period. Anesthesiology. 2001;94:999–1006.
31. Moores LK. Smoking and postoperative pulmonary complications. An
evidence-based review of the recent literature. Clin Chest Med. 2000;21:139–146.
32. Warner MA, Offord KP, Warner ME, et al. Role of preoperative cessation of
smoking and other factors in postoperative pulmonary complications: a blinded
prospective study of coronary artery bypass patients. Mayo Clin Proc.
1989;64:609–616.
33. Barrera R, Shi W, Amar D, et al. Smoking and timing of cessation: impact on
pulmonary complications after thoracotomy. Chest. 2005;127:1977–1983.
34. Wong DH, Weber EC, Schell MJ, et al. Factors associated with postoperative
pulmonary complications in patients with severe chronic obstructive pulmonary
disease. Anesth Analg. 1995;80:276–284.
28
35. McAlister FA, Bertsch K, Man J, et al. Incidence of and risk factors for
pulmonary complications after nonthoracic surgery. Am J Respir Crit Care Med.
2005;171:514–517.
36. McAlister FA, Khan NA, Straus SE, et al. Accuracy of the preoperative
assessment in predicting pulmonary risk after nonthoracic surgery. Am J Respir
Crit Care Med. 2003;167:741–744.
36a. Johnson RG, Arozullah AM, Neumayer L, et al. Multivariable predictors of
postoperative respiratory failure after general and vascular surgery: Results from
the patient safety in surgery study. J Am Coll Surg. 2007;204(6):1188–1198.
37. Merli GJ, Weitz HH. Approaching the surgical patient. Role of the medical
consultant. Clin Chest Med. 1993;14:205–210.
38. Mohr DN, Lavender RC. Preoperative pulmonary evaluation. Identifying
patients at increased risk for complications. Postgrad Med. 1996;100:241–251.
39. Smetana GW, Lawrence VA, Cornell JE. American College of Physicians.
Preoperative pulmonary risk stratification for noncardiothoracic surgery:
systematic review for the American College of Physicians. Ann Intern Med.
2006;144:581–595.P.147
40. Qaseem A, Snow V, Fitterman N, et al. Risk assessment for and strategies to
reduce perioperative pulmonary complications for patients undergoing
noncardiothoracic surgery: a guideline from the American College of Physicians.
Ann Intern Med. 2006;144:575–580.
41. Lawrence VA, Cornell JE, Smetana GW. Strategies to reduce postoperative
pulmonary complications after noncardiothoracic surgery: systematic review for
the American College of Physicians. Ann Intern Med. 2006;144:596–608.
42. Rodgers A, Walker N, Schug S, et al. Reduction of postoperative mortality
and morbidity with epidural or spinal anaesthesia: results from overview of
randomised trials. BMJ. 2000;321:1493.
43. Lawrence VA, Dhanda R, Hilsenbeck SG, et al. Risk of pulmonary
complications after elective abdominal surgery. Chest. 1996;110:744–750.
44. Schuurmans MM, Diacon AH, Bolliger CT. Functional evaluation before lung
resection. Clin Chest Med. 2002;23:159–172.
29
45. Wyser C, Stulz P, Soler M, et al. Prospective evaluation of an algorithm for
the functional assessment of lung resection candidates. Am J Respir Crit Care
Med. 1999;159:1450–1456.
46. Datta D, Lahiri B. Preoperative evaluation of patients undergoing lung
resection surgery. Chest. 2003;123:2096–2103.
47. Beckles MA, Spiro SG, Colice GL, et al. The physiologic evaluation of
patients with lung cancer being considered for resectional surgery. Chest.
2003;123:105S–114S.
48. Haas S. Prevention of venous thromboembolism: recommendations based on
the International Consensus and the American College of Chest Physicians Sixth
Consensus Conference on Anti-thrombotic Therapy. Clin Appl Thromb Hemost.
2001;7:171–177.
49. Clagett GP, Anderson FA Jr, Geerts W, et al. Prevention of venous
thromboembolism. Chest. 1998;114:531S–560S.
50. Geerts W, Ray JG, Colwell CW, et al. Prevention of venous
thromboembolism. Chest. 2005;128:3775–3776.
51. Geerts WH, Pineo GF, Heit JA, et al. Prevention of venous thromboembolism:
the Seventh ACCP Conference on Antithrombotic and Thrombolytic Therapy.
Chest. 2004;126:338S–400S.
52. Brooks-Brunn JA. Postoperative atelectasis and pneumonia. Heart Lung.
1995;24:94–115.
53. Squadrone V, Coha M, Cerutti E, et al. Continuous positive airway pressure
for treatment of postoperative hypoxemia: a randomized controlled trial. JAMA.
2005;293:589–595.
54. Bohner H, Kindgen-Milles D, Grust A, et al. Prophylactic nasal continuous
positive airway pressure after major vascular surgery: results of a prospective
randomized trial. Langenbecks Arch Surg. 2002;387:21–26.
55. Bromberg JS, Alfrey EJ, Barker CF, et al. Adrenal suppression and steroid
supplementation in renal transplant recipients. Transplantation. 1991;51:385–390.
56. Goldmann DR. Surgery in patients with endocrine dysfunction. Med Clin
North Am. 1987;71:499–509.
30