Вы находитесь на странице: 1из 30

BAB I

PENDAHULUAN

Tujuan bab ini adalah untuk memberikan gambaran pada penilaian pre
operasi pasien dengan penyakit paru-paru. Ahli anestesi harus tahu kapan harus
meminta konsul untuk pasien ini dan apakah pemeriksaan mahal yang akan
dilakukan tidaklah relevan atau tidak diperlukan. Bab ini menguraikan riwayat
terkait, temuan pemeriksaan fisik, algoritma uji diagnostik, dan penatalaksanaan
pasien dengan penyakit paru secara umum, meliputi asma, fibrosis kistik (CF),
dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Kami juga membahas metode untuk
mengevaluasi pasien dengan dispnea atau riwayat penggunaan tembakau. Kami
mempertimbangkan cara untuk mengoptimalkan penatalaksanaan medis (kapan
harus menggunakan kortikosteroid atau menggunakan regimen bronkodilator) dan
bagaimana mengidentifikasi pasien bedah berisiko tinggi. Diskusi singkat tentang
operasi lung volume reduction dan transplantasi paru juga disertakan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

ASMA

Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran nafas yang ditimbulkan


oleh mediator seluler dan kimia. Penyebab mendasar dari inflamasi saluran naf as
tidak diketahui. Konsekuensinya meliputi hipertrofi dan hiperplasia otot polos
bronkial, kebocoran mikrovaskular yang menyebabkan edema dinding bronkial,
peningkatan produksi mukus, dan aktivasi neuron saluran nafas. Pada penderita
asma, bronkus menjadi sangat responsif terhadap berbagai rangsangan dan
dinding saluran napas mengalami perubahan. Ciri asma adalah obstruksi jalan
napas yang ditandai dengan mengi, sesak napas, dada sesak, dan batuk. Pada
kebanyakan kasus yang berat, udara yang masuk berkurang (“silen chest”) dan
pulsus paradoxus menonjol. Gejala-gejala ini biasanya terkait dengan keterbatasa
aliran udara yang meluas serta beragam dan sebagian bersifat reversibel, baik
secara spontan ataupun dengan pengobatan. Bronkokonstriksi dapat dicetus oleh
faktor pemicu yang tidak diketahui atau paparan alergen; bahan iritan seperti asap
atau asap rokok; infeksi virus; obat-obatan; dan instrumentasi laring, trakea, dan
saluran udara (1,2). Tidak semua pasien yang mengalami mengi menderita asma,
dan tidak semua pasien yang menderita asma mengalami mengi. Diagnosis
banding meliputi PPOK, disfungsi pita suara, iritasi saluran pernapasan akibat
penyakit gastroesophageal reflux (GERD), gagal jantung kongestif (CHF; "asma
kardiak"), alergi bronkopulmoner aspergillosis, bronkospasme yang diinduksi
obat, kistik fibrosis, bronkiolitis obliterans, hipersensitifitas pneumonitis,
obstruksi jalan nafas, dan defisiensi α1-antitrypsin. Spirometri adalah uji
diagnostik awal yang disukai. Namun, spirometri normal tidak menyingkirkan
asma. Pasien dengan dugaan asma disertai spirometri normal dapat
dilakukaninhalation challenge menggunakan metakolin atau berdasarkan respon
terhadap terapi asma. The National Asthma Education dan Prevention Program
(1) telah mengklasifikasikan asma menjadi empat derajat dalam paduan terapi

2
(Tabel 5.1 dan 5.2). Klasifikasi ini didasarkan pada tingkat keparahan dan
frekuensi gejala.

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)

PPOK ditandai oleh keterbatasan aliran udara kronis yang tidak


sepenuhnya dapat kembalikan. Keterbatasan aliran udara biasanya progresif dan
berhubungan dengan inflamasi paru-paru. Hal ini dapat disebabkan oleh partikel
berbahaya atau asap dari rokok atau area kerja (misalnya, penambang batu bara,
pekerjagandum, dan pekerja semen atau kapas), polutan lingkungan, dan faktor
host (misalnya, penyebab genetik seperti kekurangan α1-antitrypsin; penyakit
pada masa kanak-kanak; seperti berat lahir rendah, infeksi saluran pernapasan,
dan asma pada masa kanak-kanak). Peradangan akhirnya mengubah parenkim
paru-paru dan pembuluh darah paru-paru (3).

PPOK, meliputi bronkitis kronis dan emfisema. Diagnosis banding


meliputi asma, CHF, bronkiektasis, TBC, bronkiolitis obliterans, dan
panbronkiolitis difus (4).

Emfisema

Didefinisikan oleh American Thoracic Society dan European Respiratory


Society (ATS / ERS) sebagai "suatu kondisi paru yang ditandai dengan
pembesaran abnormal permanen pada ruang udara distal hingga ke bronkiolus
terminal, disertai dengan destruksi dinding, dan tanpa fibrosis yang jelas" (3).
Destruksi didefinisikan sebagai "ketidakseragaman pola pembesaran ruang udara
respirasi sehingga keteraturan dari asinus serta komponennya akan terganggu dan
dapat hilang."Patogenesis emfisema pada perokok tidak diketahui dengan baik
dan mungkin dapat diakibatkan aktivitas proteolitik yang diturunkan atau didapat
terhadap protein matriks ekstraseluler di paru-paru. Kerusakan serabut elastis
menyebabkan pembesaran dinding alveolar, dan kerusakan septum dapat
timbulpada keadaan berat (5). Kapasitas paru difus yang diukur dengan karbon
monoksida (DLCO) menurun dan kepadatan parenkim paru tampak berkurang pada
rontgen dan computed tomography (CT) Thoraks.

3
Tiga pola morfologis utama emfisema yang diketahui:(a) emfisema asinar
proksimal yang melibatkan zona paru bagian atas (emfisema centrilobular, PPOK
tipikal, dan emfisema terkait dengan debu seperti pneumokoniosis pekerja
batubara); (b) emfisema panacinar yang biasanya melibatkan zona paru-paru
bagian bawah (mis. defisiensi α1-antitrypsin); dan (c) asinar distal atau emfisema
paraseptal, bentuk yang paling jarang, sebagai lesi yang terisolasi atau dalam
kombinasi dengan bentuk lain.

Bronkitis kronis

Merupakan bronkitis yang dialami hampir setiap hari selama setidaknya 3


bulan dalam setahun selama minimal 2 tahun berturut-turut atau rekurensi sekresi
lendir bronkial yang berlebihan (tidak dikaitkan dengan penyakit lain
sepertibronkiektasis) yang sangat mengganggu laju aliran ekspirasi (3). Pada
bronkitis kronis, kelenjar mukus membesar akibat hiperplasia dan hipertrofi sel
serta inflamasi saluran nafas (5).

Aspek Klinis

Pasien dengan PPOK biasanya mengalami dispnea, batuk kronis, mengi, dan
produksi sputum yang memburuk setelah infeksi virus pernafasan (1). Ekskursi
diafragmatik dan penurunan hiperinflasi dinamis dan diameter dada anterior-
posterior meningkat, membatasi aktivitas. Dalam keadaan berat dapat
menimbulkan tanda-tanda hipoksia (polisitemia, sianosis, clubbing), hypercarbia
(asterixis), dan wasting. Tabel 5.3 merangkum tahap dan penatalaksanaan medis
PPOK sebagaimana didefinisikan oleh National Heart Lung and Blood Institute /
World Health Organization (4). Gejala paru dapat sangat bervariasi bergantung
pada pasien dari waktu ke waktu. Sementara ini belum ada definisi yang diterima
secara universal untuk PPOK eksaserbasi akut, guideline ATS dan ERS
mendefinisikan eksaserbasi sebagai peningkatan gejala harian pada dispnea,
batuk, atau dahak di luar variabilitas normal dari hari ke hari dan cukup parah
untuk membutuhkan perubahan pada penatalaksanaannya.

Spirometri adalah uji diagnostik utama, dengan temuan biasanya meliputi


penurunan volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1) dan normal untuk

4
meningkatkan kapasitas paru. Namun, spirometri tidak memberikan penilaian
lengkap padaderajat keparahan penyakit. Sebagai contoh, dalam sebuah studi
kohort, indeks massa tubuh, obstruksi aliran udara (prediksi FEV1), dispnea (skor
berdasarkanskala dyspnea dari The Modifies Medical Research Council ; Tabel
5.4), dan uji berjalan kaki 6 menit untuk toleransi aktivitasyang dikombinasikan
dalam skala 10 poin multidimensional di mana skor yang lebih tinggi
menunjukkan risiko kematian yang lebih tinggi. Indeks ini lebih baik dalam
memprediksi penyebab keseluruhan dan mortalitas respirasi pada pasien dengan
PPOK dibandingkan dengan FEV1 saja, yang dimana memiliki nilai prediksi yang
kecil (6).

Penatalaksanaan Operatif PPOK

Lung volume reduction surgery(LVRS) dan transplantasi paru-paru adalah


dua pilihan tindakan bedah untuk pasien dengan PPOK lanjut. LVRS dapat
bermanfaat sebagai terapi primer untuk pasien dengan PPOK atau jembatan
menuju transplantasi paru. The National Emphysema Therapy Trial, sebuah uji
coba klinis acak terkontrol multisenter yang membandingkan terapi medis dengan
terapi medis ditambah LVRS, menunjukkan bahwa sekelompok pasien dengan
emfisema dengan predominansi lobus atas dan beban kerja maksimal yang rendah
setelah rehabilitasi memiliki mortalitas yang lebih rendah dan kapasitas aktivitas
serta status kesehatan yang lebih baik dibandingkan dengan yang
menggunakanpenatalaksanaan medis yang intens (7). Di saat yang bersamaan,
penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan nilai prediksi FEV1 <20% maupun
emfisema yang terdistribusi secara homogen atau gangguan pertukaran gas yang
berat tidak boleh menjalani operasi (7). LVRS meningkatkan fungsi ventilasi
dengan meningkatkan kapasitas vital (meningkatkan kompliens paru, mengurangi
tahanan elastisitas dinding dada, meningkatkan fungsi diafragma) dan kesesuaian
ventilasi-perfusi (8).

Transplantasi paru adalah terapi, bukan penyembuhan, untuk berbagai


penyakit paru-paru stadium akhir. PPOK adalah indikasi paling umum untuk
transplantasi paru (database online United Network for Organ Sharing;
www.unos.org). Pada pasien tertentu dengan PPOK lanjut dan usia harapan hidup

5
terbatas, transplantasi paru meningkatkan fungsi paru, kapasitas aktivitas, dan
kualitas hidup. Karena jumlah transplantasi terus meningkat dan kelangsungan
hidup meningkat, pasien dengan komplikasi terkait dengan paru yang
ditransplantasikan beserta pasien transplantasi paru dengan kelainan yang tidak
terkait, menjalani prosedur yang lebih sering (9). Angka bertahan hidup dalam 1,
5 dan 10 tahun pada pasien dengan emfisema setelah transplantasi paru masing-
masing sekitar 80%, 50%, dan 35% (10).

PASIEN POST-TRANSPLANTASI PARU

Penilaian risiko dan strategi untuk mengurangi komplikasi paru


perioperatif pada pasien pasca transplantasi paru harus berfokus pada fungsi
cangkok, risiko infeksi, dan efek samping dari imunosupresi (Tabel 5.5) (11).
Waktu, jenis (cth. Paru-paru tunggal atau ganda), indikasi untuk transplantasi dan
jenis serta tingkat imunosupresi telah ditentukan. Ahli paru yang berspesialisasi
dalam transplantasi harus dikonsultasikan. Hitung darah lengkap (CBC) untuk
memantau kadar leukosit dan trombosit serta kadar kreatinin diperlukan jika
pasien menggunakan siklosporin atau tacrolimus. Jika pasien memiliki gejala
respirasi (mis., Dispnea), rontgen dada dan spirometri diindikasikan. Bronkoskopi
rutin dilakukan untuk mendeteksi adanya penolakan asimtomatik atau infeksi dan
melakukan tes fungsi paru (PFT) untuk mendeteksi komplikasi pencangkokan
(graft) seringkali direkomendasikan.

FIBROSIS KISTIK

CF adalah penyakit autosomal resesif, kronis, progresif,


multisistem.Kejadiannya sangat bervariasi antar kelompok etnis. Menurut The
American Lung Association, sekitar 30.000 orang Amerika memiliki CF dan
sekitar 1.000 kasus baru terdiagnosis setiap tahun. CF adalah penyakit genetik
herediter mematikan yang paling umum pada ras Kaukasia. Hal ini disebabkan
oleh kelainan pada membran klorida kanal protein (yang di encoded oleh gen
regulator konduktan transmembran CF) yang mengubah transpor klorida dan
aliran air yang melintasi permukaan apikal sel epitel. Lebih dari 1.000 mutasi
telah diidentifikasi.

6
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya peningkatan konsentrasi
klorida keringat (> 60 mEq / L) ditambah setidaknya satu dari gejala
berikut:Penyakit jalan nafas kronis (biasanya bronkiolitis dengan obstruksi jalan
napas dan / atau bronkiektasis), insufisiensi pankreas eksokrin (manifestasi
ekstrapulmoner yang paling sering), atau riwayat CF yang didiagnosis pada
orangtua, saudara kandung, atau sepupu pertama. Manifestasi klinis dan pilihan
terapi yang paling umum diuraikan dalam Tabel 5.6.

PENYAKIT PARU RESTRIKTIF

Gangguan paru restriktif ditandai dengan penurunan kapasitas paru total


(TLC). FEV1 dan kapasitas vital paksa (FVC) berkurang secara proporsional dan
rasio FEV1 :FVC biasanya normal atau meningkat.

Etiologi penyakit paru restriktif dapat bersifatpulmoner atau


ekstrapulmoner. Penyebab pulmoner meliputi, pneumonia interstitial idiopatik,
penyakit paru interstitial sekunder (cth., jaringan ikat atau diinduksi obat), reseksi
paru, atelektasis, pneumonia, dan pneumokoniosis lanjutan. Penyakit interstitial
menyumbang sebagian besar pada kategori ini dan ditandai oleh fibrosis,
inflamasi, ataupun keduanya. Gangguan restriktif ekstrapulmoner dibagi menjadi
yang melibatkan dinding dada (misalnya, kyphoscoliosis, ankylosing spondylitis,
kehamilan), otot-otot pernapasan (misalnya, kelumpuhan diafragma, myasthenia
gravis, polymyositis), atau rongga pleura (misalnya, efusi pleura, pneumotoraks,
fibrothoraks, kardiomegali).

Jika maximum voluntary ventilationberkurang, penyebabnya kemungkinan


adalah kelemahan neuromuskuler, atau kerja sama atau koordinasi yang buruk
selama pengujian. Manajemen pre operasi berupa penilaian kekuatan otot, dengan
perhatian khusus pada fungsi pernapasan. Tekanan inspirasi dan ekspirasi
maksimum bersifat sensitif tetapi tidak spesifik dalam mendeteksi kelemahan
neuromuskuler. Penatalaksanaan medis yang tepat untuk pasien dengan penyakit
paru restriktif sebelum operasi elektif adalah hal yang penting. Dianjurkan untuk
berkonsultasi dengan spesialis paru.

DYSPNEA

7
Dispnea adalah gejala yang paling sering pada pasien dengan penyakit
kardiopulmoner. Pernyataan konsensus ATS mendefinisikan dispnea sebagai
"pengalaman subjektif dari ketidaknyamanan bernafas yang terdiri atas sensasi
yang berbeda secara kualitatif dengan intensitas yang bervariasi" (12). Sensasi
tersebut berasal dari interaksi antara beberapa faktor fisiologis, psikologis, sosial,
dan lingkungan dan dapat menyebabkan respons fisiologis dan perilaku sekunder
(12). Dispnea berhubungan dengan kondisi di mana dorongan pernafasan
meningkat atau sistem pernapasan mengalami peningkatan beban mekanis.

Sensasi pada dispnea tampaknya berasal dengan aktivasi sistem sensorik


yang terlibat dengan respirasi. Informasi sensorik, kemudian, diteruskan ke pusat-
pusat otak yang lebih tinggi di mana pemrosesan terpusat dari sinyal-sinyal yang
berhubungan dengan pernapasan dan pengaruh kontekstual, kognitif, dan perilaku
membentuk ekspresi akhir dari sensasi yang ditimbulkan (12). Dispnea adalah
gejala yang kompleks dan tidak dapat dihubungkan secara singkatmelalui
mekanisme patofisiologis tertentu. Kemungkinan mekanisme pada dispnea dalam
kondisi tertentu diuraikan pada Gambar 5.1.

Penilaian dispnea adalah bagian penting dari evaluasi pre operatif. Metode
evaluasi mencoba untuk menjabarkan gejala melalui anamnesis dan pemeriksaan
fisik serta dengan pengujian diagnostik awal dan lanjutan (Gambar 5.1).

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Dispnea bisa akut ataupun kronis. Penyebab paling terseringdispnea akut adalah
PPOK, asma, dan CHF. Dua pertiga pasien dengan dispnea kronis (lebih dari 1
bulan) menderita asma, PPOK, penyakit paru interstitial, dan / atau kardiomiopati
(13). Dispnea dapat bersifat intermiten (cth, Asma), berulang (cth, CHF), atau
persisten (cth, Pasien dengan PPOK dan / atau penyakit paru interstitial) dan dapat
dipengaruhi oleh posisi. Dispnea ketika pasien dalam posisi dekubitus lateral
kanan atau kiri disebut trepopnea. Hal ini mungkin menandakan penyakit paru
unilateral, seperti efusi pleura atau obstruksi cabang trakeobronkial proksimal.
Ketika pasien berbaring dengan paru-paru yang sakitdibawah, gaya gravitasi
meningkatkan perfusi paru yang sakit yang tidak dapat berventilasi dengan baik.
Orthopnea, atau dispnea saat telentang, biasanya terjadi pada malam hari pada

8
pasien dengan disfungsi ventrikel kiri (LV), obstructive sleep apnea (OSA),
GERD, atau asma.Platypnea adalah dispnea yang memburuk pada posisi tegak.
Hal ini disebut platypnea-orthodeoxia, ketika desaturasi oksigen arteri disebabkan
oleh hubungan dari intracardiac kanan ke kiri (14), sambungan intrapulmoner
(15), penyakit hati (16), atau reseksi pulmoner (17).

Pasien dengan berbagai penyakit kardiopulmoner menggunakan kata atau


frasa yang berbeda untuk menggambarkan sensasi dispnea mereka (18,19).
Riwayat medis yang terperinci harus mencantumkan faktor pencetus, keparahan
(Tabel 5.4), waktu, faktor posisi, dan gambaran terkait. Temuan fisik yang terkait
dengan dispnea dapat memberikan petunjuk diagnostik: Distensi vena jugularis
(gagal jantung), bruit karotis (penyakit arteri koroner), sianosis (hipoksemia),
takipnea (pernapasan dangkal dan cepat pada pasien dengan penyakit
neuromuskuler), pulsus paradoxus (pada pasien dengan PPOK berat akut dan /
atau eksaserbasi asma), peningkatan komponen pulmonic dari bunyi jantung
kedua (hipertensi paru), perpindahan impuls jantung maksimal menuju prosesus
xiphoideus (hipertrofi ventrikel pada pasien dengan gagal jantung), atau
hipersonor pada perkusi, ekspirasi yang memanjang, dan mengi (PPOK atau
asma).

Uji Diagnostik

Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik selesai, uji diagnostik pre


operatif spesifik pada pasien dengan dispnea harus disesuaikan dengan faktor
risiko jantung dan / atau penyakit pernapasan yang mendasarinya. Sebagai contoh,
jika penyebab dispnea tampaknya kardiovaskular, pemeriksaan jantung noninvasif
(elektrokardiogram [EKG], ekokardiogram transthoracic, uji stres) dan bahkan
angiografi koroner mungkin diperlukan sebelum operasi. Kadar peptida
natriuretik telah terbukti bernilai dalam membedakan dispnea akut yang
disebabkan oleh CHF dengan yang nonkardiogenik. Fragmen N-terminal (NT-
proBNP) pada titik potong> 450 pg / mL untuk pasien berusia<50 tahun dan> 900
pg / mL untuk pasien berusia ≥50 tahun sangat sensitif dan spesifik untuk
diagnosis CHF akut (20) Tingkat NT-proBNP <300 pg / mL memiliki nilai
prediksi negatif 99% untuk menyingkirkan CHF akut (20). Rontgen thoraks

9
penting dalam evaluasi awal pasien dengan dispnea, tetapi tidak adanya temuan
abnormal tidak menyingkirkan penyakit kardiopulmoner yang signifikan. PFT dan
CT thoraks dapat memberikan bukti emfisema atau penyakit paru interstitial difus
yang tidak terlihat pada foto thoraks.

CBC, uji fungsi tiroid, dan scanning ventilasi / perfusi (V / Q) atau CT


angiogram berguna untuk mengidentifikasi kondisi yang dapat berkontribusi
terhadap dispnea seperti anemia, hipertiroidisme, dan tromboemboli paru. Untuk
pasien dengan dispnea yang tidak dapat dijelaskan dan untuk pasien yang hasil
pemeriksaan awal tidak terdiagnosis, cardiopulmonary exercise testing (CPET)
adalah alat yang berguna untuk membedakan antara penyebab kardiopulmoner
dengan penyebab lain seperti gangguan neuromuskuler, gangguan hematopoietik,
faktor psikologis (misalnya, sindrom kecemasan), atau deconditioning (misalnya,
obesitas) (21). Menurut ATS / ERS, “CPET memberikan penilaian global
terhadap respons latihan integratif yang tidak tercermin secara memadai melalui
pengukuran fungsi sistem organ individual. Uji fisiologis dinamis yang relatif
non-invasif ini memungkinkan evaluasi respon latihan submaksimal dan puncak,
memberikan dokter informasi yang relevan untuk pengambilan keputusan klinis
”(21). Hasil dari CPET dapat mengarahkan uji diagnostik selanjutnya untuk
menargetkan sistem organ yang dicurigai atau membantu membatasi pemeriksaan
lebih lanjut (Gambar 5.2) (21).

MEROKOK

Merokok menyebabkan pembesaran kelenjar mukus dan hiperplasia sel


goblet, hipersekresi lendir, gangguan pembersihan mukosiliar, dan gangguan
pertahanan paru-paru lokal (misalnya, antiprotease), dan dapat berkontribusi pada
peningkatan risiko infeksi bakteri, inflamasi saluran napas kecil serta remodeling,
dan reaktivitas bronkial (22). FEV1 biasanya menurun sekitar 25 hingga 30 mL /
tahun pada non perokok, tetapi penurunan ini dipercepat pada perokok dan
mungkin sekitar 100 mL / tahun pada mereka dengan PPOK yang terus merokok
(23-25). Penghentian merokok tidak secara dramatis meningkatkan FEV1 tetapi
lebih kearah memperlambat laju penurunan lebih lanjut mendekati jumlah
penurunan yang terjadi pada non perokok (26). Pasien yang merokok beresiko

10
mengalami komplikasi perioperatif pulmoner maupun nonpulmoner (22,27,28).
Pemberhentian merokok mengurangi risiko; Tampaknya beberapa minggu
pemberhentian merokok diperlukan untuk mendapaat efek maksimal, sejalan
dengan waktu yang diperlukan untuk perbaikan fungsi paru (29-32). Tidak ada
bukti kuat untuk mendukung kesimpulan sebelumnya bahwapemberhentian
singkat sebenarnya meningkatkan tingkat komplikasi paru (28,33). Meskipun
demikian, semakin lama durasi pemberhentian pra operasi, maka semakin baik.
Setidaknya 8 minggu pemberhentian diperlukan untuk mendapat efek maksimal,
konsisten dengan waktu yang dibutuhkan paru-paru untuk pulih dari paparan asap
kronis (22,28).

PENILAIAN RESIKO PREOPERATIK PADA KOMPLIKASI PARU


POSTOPERATIF

Komplikasi paru pasca operasi, yang didefinisikan cukup luas dan tidak
konsisten dalam literatur, tergantung pada jenis dan lamanya operasi dan kondisi
preoperatif pasien serta komorbiditas (cth, CHF). Komplikasi tersering adalah
atelektasis, retensi sekresi trakeobronkial, pneumonia, hipoksemia, emboli paru,
gagal pernapasan dengan kebutuhan ventilasi mekanik yang mengalami
pemanjangan, dan cedera paru akut pasca operasi. Komplikasi paru telah
dilaporkan pada 5% hingga 10% di populasi bedah umum dan hingga 22% pada
pasien berisiko tinggi yang diidentifikasi saat preoperatif (34-36).

Karena semakin banyak pasien dengan kondisi paru yang sudah ada
sebelumnya atau faktor risiko lain saat menjalani operasi, komplikasi paru akan
terus menjadi pertimbangan perioperatif yang penting. Melalui riwayat medis,
pemeriksaan fisik, dan ujidiagnostik tertentu, risiko pulmoner perioperatif dapat
dinilai secara akurat untuk memandu pengobatan dan untuk mengurangi risiko
pasca operasi. Model indeks risiko multifaktorial yang baru-baru ini divalidasi
untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko mengalami kegagalan pernapasan
pasca operasi mungkin merupakan indeks yang berguna untuk memandu
penatalaksanaan pernapasan perioperatif (36a).

Baik faktor pulmoner dan nonpulmoner (37) menambah risiko anestesi


dan pembedahan. Usia, obesitas, riwayat merokok, jenis dan lokasi anatomi dari

11
prosedur bedah yang diantisipasi, jenis dan durasi operasi, dan adanya penyakit
lain (pulmoner dan nonpulmoner) dapat memengaruhi risiko perioperatif
(1,27,34,38). Tabel 5.7 merangkum kekuatan pada bukti mengenai hubungan
antara pasien, prosedur, dan hasil uji laboratorium dengan komplikasi paru pasca
operasi (39).

Usia

Usia adalah faktor risiko independen untuk komplikasi paru perioperatif,


terutama untuk pasien> 65 tahun (39,40). Untuk pasien berusia 70 tahun atau
lebih, perkiraan komplikasi paru pasca operasi berkisar dari 4% hingga 45%,
dengan median 15% (39). Risiko akan meningkat dengan prevalensi yang lebih
tinggi dengan adanya penyakit nonpulmoner lain (37) dan efek penuaan pada
sistem pernapasan: Hilangnya elastisitas paru-paru, prevalensi yang lebih besar
dari penutupan jalan napas fungsional, penurunan bertahap dari aliran ekspirasi
maksimal, dan gangguan refleks proteksi jalan napas (27). Bagaimanapun, usia
bukan merupakan kontraindikasi untuk operasi. Pertimbangan lainnya adalah
status fungsional dan kondisi komorbiditas.

Obesitas

Obesitas telah dikaitkan dengan fisiologi paru restriktif dan penurunan


volume cadangan ekspirasi dan kapasitas residual fungsional (cth, Hilangnya
volume paru akibat atelektasis). Pernapasan tidal di bawah closing volume,
terutama ketika pasien terlentang, dapat menyebabkan intrapulmonary shunting
dan hipoksemia. Meskipun demikian, sebagian besar penelitian belum
menunjukkan bahwa peningkatan indeks massa tubuh meningkatkan risiko (40).
Obesitas adalah faktor risiko OSA, yang membuat airway management sulit,
meningkatkan komplikasi pada periode pasca operasi segera. Dalam studi
retrospektif pasien dengan OSA yang memiliki knee dan hip replacement, pasien
dengan diagnosis OSA memiliki outcome pasca operasi yang lebih buruk daripada
kelompok pasien kontrol yang sesuai. Jumlah komplikasi pulmoner pasca operasi
tidak berbeda secara signifikan antara kedua kelompok.

Merokok

12
Insidensi komplikasi pulmoner perioperatif meningkat pada proporsi
langsung untuk merokok di atas ambang batas 10 bungkus/tahun (27,38). Data
yang tersedia menunjukkan peningkatan dalam risiko komplikasi paru pasca
operasi di antara para perokoktersebut(40).

Tipe Operasi dan Anestesi

Insiden komplikasi pulmoner juga dipengaruhi oleh lokasipembedahan


dan jenis pembedahan. Secara umum, lokasi yang dekat dengan diafragma
memiliki risiko tertinggi. Pasien yang menjalani operasi aorta dan operasi
emergensi berada pada risiko tertinggi untuk komplikasi pulmoner pasca operasi
(39). Risiko komplikasi pulmoner meningkat sekitar tiga kali lipat setelah
torakotomi (dan meningkat lagi setelah reseksi jaringan paru) atau setelah
pembedahan perut bagian atas yang nonlaparoskopis (38). Setelah prosedur bedah
nonabdominal, nonthoracic, risiko komplikasi pulmoner biasanya rendah (27,38).

Insidensi komplikasi pulmoner dapat dipengaruhi oleh jenis dan durasi


anestesi (27,38). Durasi anestesi dikaitkan dengan risiko komplikasi pulmoner,
masa observasi recovery room , dan masuk ke unit perawatan intensif (ICU) (34).
Karena anestesi yang lebih lama diperlukan untuk prosedur bedah yang lebih luas,
ini mungkin mencerminkan ketepatanpembedahan daripada efek anestesi. Tidak
ada data yang meyakinkan untuk menunjukkan bahwa outcome pulmoner berbeda
antara teknik anestesi umum dan regional; oleh karena itu, risiko komplikasi
pulmoner membatas pemilihan tehnik anestesi (41). Hal yang sama berlaku ketika
melakukan analgetik regional untuk memberikan efek analgetik pasca operasi.
Meskipun beberapa meta-analisis telah menyarankan manfaat anestesi regional,
keterbatasan metodologi penelitian menghalangi kesimpulan tersebut (42).
Terlepas dari kenyataan bahwa anestesi umum tampaknya menjadi faktor risiko
berdasarkan data pengamatan yang disesuaikan (Tabel 5.7) (39), tinjauan
sistematis uji acak terkontrol belum secara konsisten melaporkan pengaruh jenis
anestesi pada tingkat komplikasi pulmoner pasca operasi ( 41). Oleh karena itu,
sebagaimana didukung oleh uji acak terbaik, tidak ada bukti bahwa analgetik
regional meningkatkan risiko pulmoner (41). Teknik regional dapat menimbulkan
tantangan bagi pasien dengan penyakit pulmoner. Tingkat neuraxial yang tinggi

13
secara tidak disengaja atau blokade saraf frenikus selama blok pleksus brakialis
interskalenus dapat menyebabkan paralisa otot pernapasan interkostal atau
diafragma, yang menimbulkan dampak merugikan untuk pasien dengan cadangan
ventilasi menurun (cth, PPOK).

Kondisi Komorbid dan Kapasitas Aktivitas

Penilaian status kesehatan umum, seperti status fisik American Society of


Anesthesiologists (ASA) dan penyakit pulmoner yang sudah ada sebelumnya,
penting untuk menentukan risiko komplikasi pulmoner pasca operasi. PPOK dan
asma adalah faktor risiko yang signifikan, terutama jika tidak terkontrol dengan
baik. Pasien dengan temuan abnormal pada pemeriksaan paru-paru seperti rhonki,
mengi, dan penurunan suara nafas beresiko tinggi untuk mengalami komplikasi
pulmoner setelah operasi abdominal (43). Faktor lain yang dapat mempengaruhi
komplikasi pulmoner meliputi keparahan dan stabilitas gangguan paru (misalnya,
peningkatan batuk produktif atau asma yang tidak terkontrol dengan mengi) serta
faktor nonpulmoner (misalnya, iskemia miokard yang spontan atau dapat
diprediksi) (34,37, 38).

Ketergantungan fungsional dan penurunan kapasitas aktivitas


meningkatkan risiko komplikasi pulmoner dan kardiak pasca operasi. Aktivitas
terganggu jika pasien tidak dapat berjalan empat blok di permukaan datar atau
naik dua set tangga tanpa gejala. Penyebab mendasar yang paling umum dari
kapasitas aktivitas yang buruk adalah keterbatasan dan gangguan jantung. Jika
kapasitas menjadi terbatas akibat masalah pertukaran gas atau cadangan
pernafasan, risiko kejadian komplikasi pulmoner yang merugikan setelah operasi
akan tinggi.

UJI DIAGNOSTIK UNTUK MENILAI RESIKO

Uji laboratorium dan pemeriksaan radiologis harus disesuaikan dengan


kondisi klinis. Studi belum menunjukkan manfaat yang konsisten dari
pemeriksaan khusus atau pemeriksaan radiologis, meskipun banyak pemeriksaan
rutin yang diminta atau bahkan diperlukan berdasarkan kebijakan institusi.
Literatur tidak mendukung permintaanpemeriksaan pre operatif "rutin" kecuali

14
diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan spesifik mengenai kondisi pasien.
Uji diagnostik bersifat selektif sesuai dengan faktor resiko pasien dan resiko
operasi (Tabel 5.8). Spirometri pre operatif, analisa gas darah, dan rontgen thoraks
tidak boleh dilakukan secara rutin untuk memprediksi risiko komplikasi paru
pasca operatif (40). Pemeriksaan khusus dapat diperlukan untuk planning
pembedahan pasien yang dijadwalkan untuk reseksi paru-paru. Sebagai contoh,
resiko insufisiensi respirasi pasca operasi atau kematian lebih besar pada pasien
yang menjalani pneumonektomi dengan FEV1 pre operatif<2 L atau 50% dari
yang diprediksi, maximal voluntary ventilation<50% dari yang diprediksi, atau
DLCO paru <60% dari yang diprediksi (3). Dengan demikian, pasien yang
dijadwalkan untuk reseksi paru umumnya harus menjalani spirometri, dan pada
pasien tertentu, DLCO paru harus diketahui (44).

Jika pasien yang akandioperasi reseksi paru memiliki kelainan pre operatif
pada FEV1 atau DLCO, penting untuk memperkirakan kemungkinan volume
cadangan paru postreseksi. Jumlah fungsi residual paru post reseksi paru dapat
diperkirakan dengan menggunakan scanning paru radionuklida kuantitatif beserta
spirometri. FEV1 dari spirometri merupakan satu-satunya nilai lain yang
diperlukan dalam rumus ini. FEV1residual diprediksi dengan mengalikan FEV1
dengan persentase jumlah radioaktif dari paru atau luas paru menurut persamaan
berikut (45):

Perkiraan jumlah FEV1 pasca operasi setidaknya adalah 0,8 L (27) atau>40% dari
nilai prediksi normal yang menunjukkan bahwa pasien memiliki jaringan paru
yang cukup untuk mentoleransi tindakan (38). Nilai FEV1 atau DLCO post operasi
yang diprediksi <40% menunjukkan peningkatan risiko komplikasi perioperatif.
CPET harus dilakukan pada pasien ini untuk menentukan secara jelas risiko
perioperatif sebelum dioperasi. Resiko komplikasi perioperatif umumnya dapat
dikelompokkan berdasarkan perhitungan konsumsi oksigen maksimal (VO2 max).
Pasien dengan VO2 max Pre operasi> 20 mL / kg / menit tidak mengalami

15
peningkatan resiko komplikasi atau kematian; VO2 max<15 mL / kg / menit
menunjukkan peningkatan risiko komplikasi perioperatif; dan pasien dengan VO2
max<10 mL / kg / menit memiliki risiko yang sangat tinggi untuk komplikasi post
operasi (45). Jenis uji aktivitas alternatif lainnya, meliputi menaiki tangga dan
berjalan kaki-6 menit (45-47). Meskipun sering idakk dilakukan sesuai standar,
menaiki tangga dapat memprediksi VO2 max. Secara umum, pasien yang dapat
menaiki lima set tangga memiliki VO2 max> 20 mL / kg / menit. Sebaliknya,
pasien yang tidak dapat menaiki satu set tangga memiliki VO2 max<10 mL / kg /
menit. Desaturasi oksihemoglobin selama uji aktivitas telah dikaitkan dengan
peningkatan risiko komplikasi perioperatif (47). Tabel 5.8 menunjukkan usulan
untuk uji preoperatif pasien dengan penyakit paru.

REKOMENDASI PREOPERATIF UNTUK MENCEGAH KOMPLIKASI


PARU POSTOPERATIF

Penilaian medis komprehensif (37) harus dilakukan untuk menatalaksana penyakit


paru yang mendasarinya. Konsultasi dengan spesialis paru dapat bermanfaat untuk
pasien dengan penyakit paru yang berat atau yang menunggu transplantasi paru,
pneumonectomy, atau lung volume reduction. Strategi pencegahan standar selalu
diperlukan, disamping dari penilaian resiko. Strategi-strategi ini adalah
penghentian merokok (32) sebelum operasi yang dijadwalkan dan pelatihan
spirometri insentif atau pernafasan tekanan positif intermiten untuk mengurangi
risiko atelektasis pasca operasi (3). Satu studi menunjukkan bahwa pelatihan otot
inspirasi intensif pre operatif mengurangi insidensi komplikasi paru pasca operasi
dan durasi rawat inap pasca operasi pada pasien dengan risiko tinggi pada
timbulnya komplikasi pulmoner setelah operasi coronary bypass graft arteri
koroner. Gambar 5.3 merangkum rekomendasi untuk identifikasi pasien yang
berisiko mengalami komplikasi pulmoner perioperatif dan memberikan anjuran
untuk pemberian profilaksis untuk mengurangi resiko.

Pasien yang beresiko tinggi mengalami komplikasi pulmoner post operasi,


strategi pencegahan yang lebih agresif ditambahkan pada strategi standar.
Langkah-langkah tambahan meliputi hal berikut ini (Tabel 5.2 dan 5.3):

16
 Penyakit paru-paru harus dikontrol sebelum operasi (cth., Terapi
bronkodilator dan, jika perlu, prednison oral sebelum operasi elektif dapat
mengurangi komplikasi pada pasien dengan asma persisten sedang sampai
berat). Langkah-langkah untuk mengendalikan infeksi aktif (cth.
Antibiotik) dapat mengurangi insiden dan tingkat keparahan komplikasi
pulmoner perioperatif (38).
o Tindakan yang bertujuan untuk mencegah deep vein thrombosis
(DVT) dan emboli paru (PE) penting untuk semua operasi besar,
terutama untuk operasi ortopedi, di mana kejadian trombosis dapat
mencapai 60% (48-50). Pemberian profilaksis heparin dapat
membantu mengurangi kejadian DVT dan kematian pada pasien
berisiko tinggi. Pencegahan DVT ekstremitas bawah pasti
mengurangi frekuensi PE. Populasi yang berisiko (cth, Operasi
bedah saraf atau ortopedi, riwayat PE atau DVT) harus
diidentifikasi sehingga pemberian antitrombotik profilaksis yang
aman dan efisien dapat digunakan. Konsensus Ketujuh dari The
American College of Chest Physician’s mengenai terapi
antitrombotik telah mepublikasikan sebuah guideline, yang
direview pada Bab 7 (51).
 Atelektasis dan hipoksemia sering terjadi saat periode perioperatif (52).
Spirometri insentif dan strategi ekspansi paru lainnya akan bermanfaat.
Continous Positive Airway Pressure (CPAP) dapat mengurangi
komplikasi pulmoner pada pasien yang berisiko mengalami hipoksemia
setelah ekstubasi dan mengurangi intubasi intubasi trakea ulang (53).
Pasien yang menggunakan CPAP harus diinstruksikan untuk membawa
peralatan mereka ke rumah sakit pada hari operasi. Persiapan dapat alat
dapat memfasilitasi ekstubasi dini atau pencegahan intubasi ulang (54).
 Prosedur elektif harus ditunda untuk pasien dengan PPOK eksaserbasi
akut atau asma. Tidak ada data mengenai berapa lama setelah eksaserbasi
akut pasien masih memiliki resiko.
 Kortikosteroid dapat diberikan dalam "stress dose" bagi mereka yang aksis
hipopituitari-adrenalnya (HPA) mengalami supresi akibat terapi

17
kortikosteroid jangka panjang. Pemberian jangka panjang (bulan hingga
tahun) > 5 mg prednison setiap hari meningkatkan risiko supresi HPA
(55). Pasien yang telah mendapat prednison > 20 mg / hari atau yang
setara selama > 3 minggu mungkin memerlukan suplementasi (Tabel 5.9)
(lihat Bab 6 dan 17 untuk rincian lebih lanjut). Orang dewasa yang hanya
menerima kortikosteroid inhalasi jarang membutuhkan kortikosteroid
sistemik pada periode perioperatif untuk mencegah insufisiensi adrenal
(56). Kortikosteroid dapat digunakan untuk meningkatkan fungsi
pulmoner pre operatif, tetapi tidak ada bukti bahwa kortikosteroid
parenteral rutin diperlukan untuk semua pasien dengan reactive airway
disease.

18
BAB III
KESIMPULAN

Tujuan penilaian pre operasi adalah untuk mengidentifikasi pasien dengan


kelainan yang sudah ada sebelumnya atau faktor predisposisi yang meningkatkan
risiko komplikasi pulmoner post operasi. Anamnesis pra operasi yang rinci dan
pemeriksaan fisik sangat penting untuk stratifikasi risiko. Sebagai tambahan
padapenatalaksanaan perioperatif, upaya pencegahan harus difokuskan pada
pengoptimalan kondisi medis pasien sebelum operasi untuk meminimalkan
komplikasi pulmonerpost operasi. Ketika memperkirakan resiko, pertimbangkan
faktor risiko terkait pasien serta prosedur yang dapat memengaruhi perawatanpost
operasi. Uji diagnostik pre operatif harus diminta berdasarkan karakteristik klinis
masing-masing pasien; pemeriksaanrutin tidak dibenarkan. Akhir kata, intervensi
preoperatif penting harus dipertimbangkan seperti penghentian merokok,
spirometri insentif dan latihan pernafasan dalam, pelatihan otot inspirasi intensif,
dan optimalisasi pernafasan, nutrisi, dan status kardiak pada pasien dengan
penyakit paru, yang dapat membantu mencegah komplikasi paru post operasi
secara efektif.

19
20
21
22
23
24
25
DAFTAR PUSTAKA

1. National Asthma Education and Prevention Program. Expert Panel Report:


Guidelines for the Diagnosis and Management of Asthma Update on Selected
Topics–2002. J Allergy Clin Immunol. 2002;110:S141–219.
2. Folkerts G, Busse WW, Nijkamp FP, et al. Virus-induced airway
hyperresponsiveness and asthma. Am J Respir Crit Care Med. 1998;157:1708–
1720.
3. Celli BR, MacNee W. Standards for the diagnosis and treatment of patients
with COPD: a summary of the ATS/ERS position paper. Eur Respir J.
2004;23:932–946.
4. Fabbri L, Pauwels RA, Hurd SS. Gold Scientific Committee. Global strategy
for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary
disease: GOLD executive summary updated 2003. COPD. 2004;1:105–141.P.145
5. Repine JE, Bast A, Lankhorst I. Oxidative stress in chronic obstructive
pulmonary disease. Oxidative Stress Study Group. Am J Respir Crit Care Med.
1997;156:341–357.
6. Celli BR, Cote CG, Marin J, et al. The body-mass index, airflow obstruction,
dyspnea, and exercise capacity index in chronic obstructive pulmonary disease. N
Engl J Med. 2004;350:1005–1012.
7. Fishman A, Martinez F, Naunheim K, et al. A randomized trial comparing
lung-volume-reduction surgery with medical therapy for severe emphysema. N
Engl J Med. 2003;348:2059–2073.
8. Utz JP, Hubmayr RD, Deschamps C. Lung volume reduction surgery for
emphysema: out on a limb without a NETT. Mayo Clin Proc. 1998;73:552–566.
9. Trulock EP. Lung transplantation. Am J Respir Crit Care Med. 1997;155:789–
818.
10. Trulock EP, Edwards LB, Taylor DO, et al. The Registry of the International
Society for Heart and Lung Transplantation: twentieth official Adult Lung and
Heart-Lung Transplant Report—2003. J Heart Lung Transplant. 2003;22:625–
635.

26
11. Kostopanagiotou G, Smyrniotis V, Arkadopoulos N, et al. Anesthetic and
perioperative management of adult transplant recipients in nontransplant surgery.
Anesth Analg. 1999;89:613–622.
12. Dyspnea. Mechanisms, assessment, and management: a consensus statement.
American Thoracic Society. Am J Respir Crit Care Med. 1999;159:321–340.
13. Pratter MR, Curley FJ, Dubois J, et al. Cause and evaluation of chronic
dyspnea in a pulmonary disease clinic. Arch Intern Med. 1989;149:2277–2282.
14. Wranne B, Tolagen K. Platypnoea after pneumonectomy caused by a
combination of intracardiac right-to-left shunt and hypovolaemia. Relief of
symptoms on restitution of blood volume. Scand J Thorac Cardiovasc Surg.
1978;12:129–131.
15. Robin ED, Laman D, Horn BR, et al. Platypnea related to orthodeoxia caused
by true vascular lung shunts. N Engl J Med. 1976;294:941–943.
16. Santiago SM Jr, Dalton JW Jr. Platypnea and hypoxemia in Laennec's
cirrhosis of the liver. South Med J. 1977;70:510–512.
17. Begin R. Platypnea after pneumonectomy. N Engl J Med. 1975;293:342–343.
18. Simon PM, Schwartzstein RM, Weiss JW, et al. Distinguishable types of
dyspnea in patients with shortness of breath. Am Rev Respir Dis. 1990;142:1009–
1014.
19. Scano G, Stendardi L, Grazzini M. Understanding dyspnoea by its language.
Eur Respir J. 2005;25:380–385.
20. Januzzi JL Jr, Camargo CA, Anwaruddin S, et al. The N-terminal Pro-BNP
investigation of dyspnea in the emergency department (PRIDE) study. Am J
Cardiol. 2005;95:948–954.
21. American Thoracic Society, American College of Chest Physicians.
ATS/ACCP statement on cardiopulmonary exercise testing. Am J Respir Crit
Care Med. 2003;167:211–277.
22. Egan TD, Wong KC. Perioperative smoking cessation and anesthesia: a
review. J Clin Anesth. 1992;4:63–72.
P.146

27
23. Cooper CB. Assessment of pulmonary function in COPD. Semin Respir Crit
Care Med. 2005;26:246–252.
24. Fletcher C, Peto R. The natural history of chronic airflow obstruction. BMJ.
1977;1:1645–1648.
25. Sandford AJ, Chagani T, Weir TD, et al. Susceptibility genes for rapid decline
of lung function in the lung health study. Am J Respir Crit Care Med.
2001;163:469–473.
26. Scanlon PD, Connett JE, Waller LA, et al. Smoking cessation and lung
function in mild-to-moderate chronic obstructive pulmonary disease. The Lung
Health Study. Am J Respir Crit Care Med. 2000;161:381–390.
27. Okeson GC. Pulmonary dysfunction and surgical risk. How to assess and
minimize the hazards. Postgrad Med. 1983;74:75–83.
28. Warner DO. Perioperative abstinence from cigarettes: physiologic and clinical
consequences. Anesthesiology. 2006;104:356–367.
29. Bluman LG, Mosca L, Newman N, et al. Preoperative smoking habits and
postoperative pulmonary complications. Chest. 1998;113:883–889.
30. Kotani N, Kushikata T, Hashimoto H, et al. Recovery of intraoperative
microbicidal and inflammatory functions of alveolar immune cells after a tobacco
smoke-free period. Anesthesiology. 2001;94:999–1006.
31. Moores LK. Smoking and postoperative pulmonary complications. An
evidence-based review of the recent literature. Clin Chest Med. 2000;21:139–146.
32. Warner MA, Offord KP, Warner ME, et al. Role of preoperative cessation of
smoking and other factors in postoperative pulmonary complications: a blinded
prospective study of coronary artery bypass patients. Mayo Clin Proc.
1989;64:609–616.
33. Barrera R, Shi W, Amar D, et al. Smoking and timing of cessation: impact on
pulmonary complications after thoracotomy. Chest. 2005;127:1977–1983.
34. Wong DH, Weber EC, Schell MJ, et al. Factors associated with postoperative
pulmonary complications in patients with severe chronic obstructive pulmonary
disease. Anesth Analg. 1995;80:276–284.

28
35. McAlister FA, Bertsch K, Man J, et al. Incidence of and risk factors for
pulmonary complications after nonthoracic surgery. Am J Respir Crit Care Med.
2005;171:514–517.
36. McAlister FA, Khan NA, Straus SE, et al. Accuracy of the preoperative
assessment in predicting pulmonary risk after nonthoracic surgery. Am J Respir
Crit Care Med. 2003;167:741–744.
36a. Johnson RG, Arozullah AM, Neumayer L, et al. Multivariable predictors of
postoperative respiratory failure after general and vascular surgery: Results from
the patient safety in surgery study. J Am Coll Surg. 2007;204(6):1188–1198.
37. Merli GJ, Weitz HH. Approaching the surgical patient. Role of the medical
consultant. Clin Chest Med. 1993;14:205–210.
38. Mohr DN, Lavender RC. Preoperative pulmonary evaluation. Identifying
patients at increased risk for complications. Postgrad Med. 1996;100:241–251.
39. Smetana GW, Lawrence VA, Cornell JE. American College of Physicians.
Preoperative pulmonary risk stratification for noncardiothoracic surgery:
systematic review for the American College of Physicians. Ann Intern Med.
2006;144:581–595.P.147
40. Qaseem A, Snow V, Fitterman N, et al. Risk assessment for and strategies to
reduce perioperative pulmonary complications for patients undergoing
noncardiothoracic surgery: a guideline from the American College of Physicians.
Ann Intern Med. 2006;144:575–580.
41. Lawrence VA, Cornell JE, Smetana GW. Strategies to reduce postoperative
pulmonary complications after noncardiothoracic surgery: systematic review for
the American College of Physicians. Ann Intern Med. 2006;144:596–608.
42. Rodgers A, Walker N, Schug S, et al. Reduction of postoperative mortality
and morbidity with epidural or spinal anaesthesia: results from overview of
randomised trials. BMJ. 2000;321:1493.
43. Lawrence VA, Dhanda R, Hilsenbeck SG, et al. Risk of pulmonary
complications after elective abdominal surgery. Chest. 1996;110:744–750.
44. Schuurmans MM, Diacon AH, Bolliger CT. Functional evaluation before lung
resection. Clin Chest Med. 2002;23:159–172.

29
45. Wyser C, Stulz P, Soler M, et al. Prospective evaluation of an algorithm for
the functional assessment of lung resection candidates. Am J Respir Crit Care
Med. 1999;159:1450–1456.
46. Datta D, Lahiri B. Preoperative evaluation of patients undergoing lung
resection surgery. Chest. 2003;123:2096–2103.
47. Beckles MA, Spiro SG, Colice GL, et al. The physiologic evaluation of
patients with lung cancer being considered for resectional surgery. Chest.
2003;123:105S–114S.
48. Haas S. Prevention of venous thromboembolism: recommendations based on
the International Consensus and the American College of Chest Physicians Sixth
Consensus Conference on Anti-thrombotic Therapy. Clin Appl Thromb Hemost.
2001;7:171–177.
49. Clagett GP, Anderson FA Jr, Geerts W, et al. Prevention of venous
thromboembolism. Chest. 1998;114:531S–560S.
50. Geerts W, Ray JG, Colwell CW, et al. Prevention of venous
thromboembolism. Chest. 2005;128:3775–3776.
51. Geerts WH, Pineo GF, Heit JA, et al. Prevention of venous thromboembolism:
the Seventh ACCP Conference on Antithrombotic and Thrombolytic Therapy.
Chest. 2004;126:338S–400S.
52. Brooks-Brunn JA. Postoperative atelectasis and pneumonia. Heart Lung.
1995;24:94–115.
53. Squadrone V, Coha M, Cerutti E, et al. Continuous positive airway pressure
for treatment of postoperative hypoxemia: a randomized controlled trial. JAMA.
2005;293:589–595.
54. Bohner H, Kindgen-Milles D, Grust A, et al. Prophylactic nasal continuous
positive airway pressure after major vascular surgery: results of a prospective
randomized trial. Langenbecks Arch Surg. 2002;387:21–26.
55. Bromberg JS, Alfrey EJ, Barker CF, et al. Adrenal suppression and steroid
supplementation in renal transplant recipients. Transplantation. 1991;51:385–390.
56. Goldmann DR. Surgery in patients with endocrine dysfunction. Med Clin
North Am. 1987;71:499–509.

30

Вам также может понравиться