Вы находитесь на странице: 1из 4

Antisipasi Permintaan Cokelat

Oleh MARIA CLARA WRESTI | 21 Februari 2019

JAKARTA, KOMPAS — Permintaan cokelat di pasar lokal dan internasional


meningkat. Untuk mengantisipasi hal itu, PT Wahana Interfood Nusantara Tbk
berencana menerbitkan saham perdana pada pertengahan Maret. Saham akan
ditawarkan pada 20-26 Februari dengan harga di kisaran Rp 178-Rp 198 per lembar.

”Kami berharap bisa membangun pabrik baru untuk meningkatkan kapasitas


produksi kami yang saat ini hampir mencapai maksimum,” kata Direktur Utama
Wahana Interfood Nusantara, Reinald Siswanto, dalam paparan publik di Jakarta,
Rabu (20/2/2019).

Wahana Interfood Nusantara adalah pemegang merek Schoko, salah satu dari lima
pemain cokelat di Indonesia. Schoko yang semula hanya mengemas ulang bubuk
cokelat pada 2006, kini menjadi pabrik pengolah biji kakao fermentasi dan
memproduksi cokelat berkualitas premium. Pasar utamanya adalah bakery berskala
besar dan kafe.

Menurut Reinald, saat ini produksinya 4.800 ton per tahun atau 80 persen dari
kapasitas terpasang yang sebesar 6.000 ton. Produksi yang sudah hampir mencapai
batas maksimal ini terus bertambah, seiring permintaan pasar yang terus meningkat.

”Permintaan ekspor juga meningkat, sementara kami hanya bisa memenuhi 1 persen
dari kapasitas kami,” ujar Reinald.

Dia mengatakan, permintaan olahan cokelat dari lokal dan pasar ekspor masih
tinggi, tetapi kapasitas produksi terbatas. Adapun, penjualan pada 2018 tercatat
Rp152 miliar, naik 9,43% dari penjualan pada 2017 sebesar Rp138,9 miliar. Sekitar
1% atau Rp1,52 miliar berasal dari penjualan ekspor.

Schoko diekspor ke Spanyol, Pakistan, Korea, Jepang, dan negara-negara ASEAN.

”Masih banyak permintaan dari Australia dan Timur Tengah. Dari negara-negara
yang sudah ada saja permintaan belum bisa kami penuhi semua,” kata Reinald.

Untuk memenuhi permintaan yang terus bertambah, Schoko akan menambah pabrik
dan membeli mesin-mesin baru yang lebih modern. Dana yang diperoleh dari
penjualan saham akan digunakan untuk membeli lahan seluas 6.280 meter persegi
di Sumedang, membayar uang muka pembangunan pabrik, dan uang muka
pembelian mesin dari Eropa.
Reinald mengatakan dengan pembangunan pabrik dan pembelian mesin baru,
perseroan mampu meningkatkan kapasitas dari semula 6.000 ton per tahun menjadi
10.500 ton per tahun. Dengan begitu, perseroan dapat memperbesar pasar ekspor
dengan target kontribusi sebesar 20% terhadap total penjualan.

”Kami berharap pabrik bisa beroperasi pada 2021 sehingga menambah kapasitas
produksi kami menjadi 10.500 ton per tahun,” kata Reinald.

Rudi Ho, Vice President Corporate Finance PT UOB Kay Hian Sekuritas, selaku
penjamin emisi efek, mengatakan, Schoko akan melepaskan saham perdananya
sebanyak 168 juta lembar saham atau 33,07 persen dari saham yang ada.

”Kami menargetkan dana yang terkumpul Rp 33 miliar,” kata Rudi.

Menurut Rudi, risiko dari Schoko yang utama adalah risiko ketersediaan bahan
baku, kontaminasi saat produksi dan pengiriman, serta ketersediaan suku cadang.
Industri makanan dan minuman termasuk industri yang memiliki risiko kecil.
Schoko telah menjalin kerja sama yang baik dengan petani cokelat di Jember, Pulau
Seram, Purwakarta, dan Padang sehingga risikonya bisa diminimalkan.

”Industri ini tidak terganggu dengan fluktuasi dollar, politik, dan sebagainya,”
katanya. (ARN)

Sumber : https://kompas.id/baca/utama/2019/02/21/antisipasi-permintaan-cokelat-2/
Opini Berita “Antisipasi Permintaan Cokelat”

Coklat merupakan salah satu hasil olahan makanan atau minuman yang sangat
populer. Coklat sendiri berasal dari biji kakao yang mengalami proses pengolahan yang
menjadikannya lezat untuk dikonsumsi. Menurut Euromonitor, cokelat menjadi salah satu
kategori cemilan terfavorit di dunia yang menduduki posisi ke-empat setelah kategori pastry,
biskuit, dan permen. Sedangkan data Euromonitor merilis penetrasi konsumsi cokelat di
Indonesia mencapai angka 78%. Hal tersebut tentunya terbilang tinggi untuk ukuran
konsumsi yang menjadikannya berpeluang besar dalam dunia industri. Terlebih lagi produksi
kakao di Indonesia mencapai sekitar 600.000 ton per tahun. Hal itu mebuat Indonesia tercatat
sebagai satu-satunya negara Asia penghasil kakao terbesar.

Perkembangan industri cokelat yang semakin pesat membuat lonjakan permintaan


akan produk olahan cokelat pun bertambah. Salah satunya terjadi pada PT. Wahana Interfood
Nusantara. Wahana Interfood Nusantara adalah salah satu produsen cokelat premium di
Indonesia yang memegang merek Schoko, salah satu dari lima pemain cokelat di Indonesia.
Permintaan akan cokelat meningkat sedangkan kapasitas produksi tidak bertambah secara
signifikan yang membuat timbul kekhawatiran pemenuhan kebutuhan cokelat bagi para
produsen. Permintaan cokelat yang meningkat diindikasikan sebagai akibat dari peningkatan
konsumsi cokelat di Indonesia juga diperkirakan tumbuh akibat trend makanan cokelat yang
menjamur dengan banyaknya waralaba minuman cokelat, produk 3in1 dan juga
minuman ready to drink berbahan dasar cokelat.
Menurut Direktur Utama Wahana Interfood Nusantara, Reinald Siswanto permintaan
cokelat cukup tinggi baik untuk lokal maupun pasar ekspor luar negeri yakni hampir
mencapai angka 10% pada penjulan 2018. Permintaan ekspor cokelat semakin meningkat
sedangkan kapasitas produksi yang terbatas hanya sekitar 6000 ton menyebabkan PT.
Wahana Interfood Nusantara hanya dapat mengekspor sekitar 1% dari kapasitas produksi
perseroan tersebut. Dampaknya adalah permintaan cokelat dari Australia dan negara timur
tengah belum dapat dipenuhi. Hal tersebut memaksa perseroan untuk meningkatkan kapasitas
produksi sebagai strategi pemenuhan permintaan ekspor.
Solusi untuk mengatasi permasalahan peningkatan permintaan cokelat dengan
kapasitas produksi yang terbatas adalah dengan menerbitkan saham perdana. PT. Wahana
Interfood Nusantara melepaskan saham sebesar 33,07% sebagai upaya untuk penambahan
dana dengan target dana terkumpul sebesar 33 miliar rupiah. Dana tersebut yang nantinya
akan digunakan untuk membangun pabrik baru, pembelian lahan seluas 6.280 meter, dan
mesin-mesin yang lebih modern. Nantinya implikasi dari langkah ini adalah meningkatnya
kapasitas produksi perseroan dari semula 6.000 ton per tahun menjadi 10.500 ton per tahun.
Dari hal tersebut, perseroan menargetkan kontribusi ekspor sebesar 20% terhadap total
penjualan Sehingga pemenuhan permintaan cokelat untuk diekspor pun meningkat.
Sejatinya, solusi tersebut belum menyelesaikan semua permasalahan atas permintaan
cokelat yang bertambah. Masih terdapat beberapa kendala khususnya resiko keterbatasan
bahan baku kakao. Antisipasi permintaan cokelat seharusnya diimbangi dengan investasi
pada perkebunan kakao. Produksi kakao mentah di Indonesia diperkirakan menurun karena
minimnya produktivitas petani kakao. Oleh karena itu, perlu adanya investasi dan program
revitalisasi perkebunan kakao agar bahan baku dalam pembuatan olahan cokelat stabil
bahkan meningkat. Hal tersebut perlu diperhatikan pihak perseroan dan pemerintah dalam
mendorong pihak swasta melakukan investasi. Menurut saya, perluasan lahan tidak terlalu
penting bila pemerintah mampu meningkatkan produktivitas para petani kakao dan membuat
ketersediaan bahan baku kakao tetap terjaga untuk pemenuhan permintaan produk cokelat
yang meningkat..

Вам также может понравиться