Вы находитесь на странице: 1из 9

Penulis : Ghina Zulfatunnisa

Program Studi : Teknik Sipil’16


“Jaga dan Sejahterakan Tunas Atlet Indonesia Sebagai Wujud Bangga
Menjadi Indonesia”

Kini dunia tengah berada dalam era globalisasi, begitu juga Indonesia. Dampak
globalisasi tidak hanya dirasakan pada bidang teknologi, informasi, dan budaya bahkan bidang
olahraga pun ikut terpengaruh arus globalisasi. Berbagai macam kejuaraan di bidang olahraga
berhasil dimenangkan oleh Indonesia berkat para atletnya. Sayangnya, prestasi atlet yang
gemilang ini tidak dapat menarik hati pemerintah untuk memberikan perhatian yang lebih
terhadap atlet Indonesia. Pensiunan atlet Indonesia seperti ‘terlupakan’ oleh negaranya sendiri.
Atlet bulu tangkis putri terbaik Indonesia, Susi Susanti, ia merajai kompetisi bulu tangkis
wanita dunia dengan menjuarai All England sebanyak empat kali (1990, 1991, 1993, 1994) dan
menjadi Juara dunia pada tahun 1993. Puncak karier Susi terjadi pada tahun 1992 ketika ia
menjadi juara tunggal putri cabang bulu tangkis di Olimpiade Barcelona. Susi menjadi peraih
emas pertama bagi Indonesia di ajang Olimpiade. Susi pensiun di usia 26 tahun setelah menikah
dengan pemain bulu tangkis tunggal putra, Alan Budikusuma. Mereka memulai kehidupan dari
nol lagi, karena pemerintah dinilai kurang memperhatikan kesejahteraan para mantan atlet.
Beruntung Susi memiliki jiwa pebisnis yang handal, sebuah toko di ITC Mega Grosir Cempaka
Mas yang menjual berbagai macam pakaian asal Cina, Hongkong dan Korea, serta sebagian
produk lokal. Selain itu, Susi bdan Alan mendirikan Olympic Badminton Hall di Kelapa Gading
sebagai gedung pusat pelatihan bulu tangkis. Mereka berdua membuat raket dengan merek Astec
(Alan-Susi Technology) pada pertengahan tahun 2002. Susi dan Alan merupakan salah satu
contoh atlet yang beruntung karena selain berprestasi di bidang olahraga ,memiliki jiwa dagang
yang baik sehingga dapat membantu perekonomian dirinya tanpa mengharapkan bantuan
pemerintah. Namun, bagaimana nasib atlet yang lain?
Marina Segedi, seorang mantan atlet pencak silat yang pernah mempersembahkan medali
emas saat SEA Games di Filipina, 1981 silam untuk Indonesia. Sayangnya, prestasinya yang
gemilang ini tidak dapat menghantarkannya kepada kehidupan yang mapan di masa pensiunnya.
Di usia 47 tahun, Marina harus menjadi sopir taksi. Marina tidak memiliki rumah apalagi setelah
berpisah dengan suaminya, Rainer Nurdin, pada 1990. Ia terpaksa harus menghidupi sendiri
beserta kedua anak perempuannya, yaitu Ayu Yulinasari dan Rima Afriani Caroline. Sekalipun
telah mengharumkan nama bangsa di tingkat Asia, tidak banyak yang diterima Marina dari
pemerintah. Ia hanya sempat mendapat beasiswa Supersemar selama 1 tahun dari Presiden
soeharto saat itu sebesar 100 ribu, setelah itu nama Marina Segedi layaknya hilang di telan
waktu.
Indonesia juga pernah Berjaya di cabang olahraga perahu naga, Leni merupakan salah
satu atlet perahu naga yang memiliki segudang prestasi yaitu meraih dua medali emas dalam
kejuaraan perahu naga Asia di Singapura 1996, dua medali emas dan perak pada SEA Games
1997, satu emas pada kejuaraan perahu naga Asia di Taiwan 1998, dan 1 emas dan 3 perak pada
SEA Games 1999. Ironisnya, prestasinya yang cemerlang di bidang olahraga tidak sejalan lurus
dengan perekonomiannya. Dengan ijazah SD Leni akhirnya bekerja serabutan untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya. Ibarat jatuh tertimpa tangga, buah hati ketiga Leni mengidap penyakit
rapuh kulit yang membuatnya hanya bisa terbaring tanpa pakaian di kamar mes Pemerintah
Provinsi Jambi. Janji manis yang diberikan oleh Pengurus Besar Persatuan Olahraga Dayung
Seluruh Indonesia Jambi saat itu untuk menjamin pendidikan atlet-atletnya dan memberikan
pekerjaan yang juga pernah terucap oleh wali kota Jambi ternyata hanya tinggal kenangan,
perkataan memang hanya sebuah angin lalu bila hanya di ucapkan tanpa adanya tindakan.
Begitulah ironi atlet Indonesia pada saat ini, kita ingin bangga akan para atletnya yang
mampu berlaga di kancah Internasional dan menaikkan derajat nama Indonesia sekaligus
menjaring bibit muda agar mampu memiliki kemampuan olahraga yang baik dan dapat
mengaharumkan nama negerinya. Namun, di sisi lain kita tidak dapat mempertahankan dan
memberi kehidupan yang layak kepada para atlet sehingga banyak atlet Indonesia sendiri yang
telah ‘kabur’ dari kandangnya dan hijrah keluar negeri dengan alasan kesejahteraan. Seperti
pebulutangkis asli Indonesia Shinta Mulia Sari yang akhirnya pindah ke negeri seberang
Singapore demi materi dan masa depan. Tony Gunawan yang pindah ke Amerika secara
permanen sejak 2002 lalu. Mereka adalah emas muda Indonesia yang telah ‘terlupakan’ oleh
bangsanya sendiri.
Peningkatan kesejahteraan atlet membutuhkan langkah konkret semua pihak. Kunci agar
atlet bisa sejahtera setelah mereka pensiun adalah industri olah raga itu sendiri. Para atlet senior
hendaknya dapat melatih bibit baru yang kelak akan meneruskan perjuangannya. Pemerintah
hendaknya bertindak sebagai jembatan yang memberikan fasilitas bagi para atlet senior untuk
menjadi pelatih atlet muda. Lihat saja industri sepak bola Indonesia saat ini, nyaris seluruh
pelatih TIMNAS di datangkan dari luar negeri. Begitu juga dengan dunia tinju, Chris John sang
jawara tinju Indonesia itu dilatih oleh Craig Chrtian yang berkebangsaan Australia. mengapa kita
tidak memanfaatkan para pemain senior Indonesia seperti Ellyas Pical, setelah berita yang
menyatakan bahwa setelah pensiun dirinya bekerja sebagai penjaga keamanan di sebuah
diskotek, barulah ia mendapatkan kesempatan bekerja di KONI (Komite Olahraga Nasional
Indonesia) pusat sebagai asisten ketua KONI pada era Agum Gumelar. Daripada hanya menjadi
asisten ketua dan tidak dapat meneruskan bakatnya, lebih baik atlet seperti Ellyas Pical ini
diberikan sebuah sarana seperti club atau organisasi keolahragaan yang di dalamnya terdapat
kegiatan senior mengajar junior. Kita bisa belajar dari negara tetangga seperti Malaysia yang
setiap bulan memberikan gaji, jaminan, dan asuransi kepada atletnya. Hal serupa dapat kita
terapkan di Indonesia, para senior akan diberi gaji dan tunjangan yang layak dari pemerintah
sehingga mereka mampu mengajar junior dengan maksimal. Di samping itu, Masyarakat yang
melihat penghasilan atlet lebih baik akan tertarik dan berminat untuk menjadi atlet. Mindset serta
pandangan buruk masyarakat tentang para atlet akan berubah menjadi sebuah ketertarikan di
dunia olahraga.
Untuk mencegah terulangnya berbagai kasus atlet yang hidup terlantar karena tidak
mempunyai pendidikan saat mereka pensiun, pemerintah juga harus menyediakan fasilitas
pendidikan bagi para atlet muda seperti yang sudah berjalan di Kalimantan Timur pada saat ini
yaitu SKOI (Sekolah Khusus Olahraga Internasional). SKOI merekrut para siswa dan siswi
Kaltim yang memiliki prestasi olahraga.S KOI merupakan sekolah yang menggabungkan
pendidikan sekolah dan kegiatan olahraga. Kurikulum yang diterapkan SKOI sama dengan
sekolah lainnya, hanya saja SKOI menyediakan jadwal latihan rutin bagi para atlet. Sekolah
seperti ini sangat baik bagi masa depan atlet kedepannya, mereka tidak hanya hebat dalam
bidang olahraga tetapi juga hebat di dunia pendidikan. Hendaknya sekolah ini menjadi panutan
bagi daerah lain di Indonesia agar bibit – bibit unggul di setiap daerah dapat terdeteksi
Undang-Undang yang mengatur Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) No 3 tahun 2005
hendaknya direvisi kembali sehingga nantinya akan tercipta pernyataan yang menyatakan
pemerintah menaungi dan bertanggung jawab terhadap kehidupan masa depan dan pensiun atlet
Indonesia. Dengan adanya Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahwrawi yang
terpilih pada tahun ini di harapkan mampu memberikan terobosan baru dalam kepengurusan
olahraga, terlebih pada tahun 2018 Indonesia akan menjadi tuan rumah Asian Games 2018.
Sebagai tuan rumah kita tentu harus menampilkan yang terbaik termasuk para atlet. Dari pihak
swasta kita beruntung masih terdapat beberapa yayasan yang peduli terhadap atlet Indonesia
seperti Yayasan Olahragawan Indonesia (YOI) yang telah banyak membantu atlet Indonesia dan
MNC Grup yang mendatangkan klub-klub sepakbola luar negeri sebagai acuan bagi sepakbola
Indonesia.
Sudah saatnya para atlet yang berhasil menjulang prestasi di dunia internasional
mendapatkan masa depan yang gemilang dengan harapan pemerintah telah mengatur kehidupan
saat pensiunnya kelak. Seluruh jiwa dan raga di serahkan oleh atlet Indonesia demi
mengharumkan nama bangsa ini. Latihan keras nan panjang di lakoninya dengan tulus, tetesan
keringat yang mengalir deras dianggap sebagai biaya untuk sebuah prestasi. Waktu yang
digunakan untuk berlatih dianggap sebagai pengorbanan sehingga pendidikan yang menjadi
kebutuhan pokok masa depan pun rela ia tinggalkan. Mereka adalah pahlawan wajah olahraga
Indonesia, kita sebagai orang Indonesia sudah sepatutnya berbangga hati berkat kerja keras
mereka demi memenangkan sebuah pertandingan di mata dunia. Atlet Indonesia hanya butuh
perhatian dari negaranya untuk masa depan mereka, mereka ingin hidup layak sebagai atlet
bukan sebagai pekerja serabutan. Hargailah para atlet Indonesia, sambutlah ia dengan gemuruh
tepukan tangan berkat prestasinya yang mendunia. Mereka adalah sumber kebanggaan bangsa
ini.Merdeka atletku, Jayalah indonesiaku.Mari maju bersama buktikan pada dunia dan katakan
dengan lantang “Aku bangga menjadi orang Indonesia!”
Penulis : Audi Rajid Faturrahman

Program Studi : Material dan Metalurgi’16

“Kerjasama Dalam Olahraga Sepak Bola”

Mungkin olahraga sepakbola bukanlah hal yang asing ditelinga kita . Mulai dari anak
kecil hingga orang dewasa banyak terhipnotis dengan olahraga yang satu ini. Sepak bola saat ini
tidak hanya sebagai sebuah hobi belaka, namun bisa juga sebagai sebuah pekerjaan. Ya, bekerja
dalam dunia yang satu ini menjadi banyak impian. Bukan hanya dari gajinya yang besar, namun
lebih dari itu ada pula ketenaran dan rasa bangga karena hobi yang dilakoni bisa mengasilkan
uang.
Baiklah kita tinggalkan paragraf pembuka diatas, saatnya masuk kedalam pembahasan
mengenai disiplin dalam olahraga sepakbola. Kita tahu bahwa sepakbola dimainkan oleh 11
orang lawan 11 orang lainnya. Dari 11 orang ini memiliki fungsi dan posisi bermain yang
berbeda, ada yang bertindak sebagai penjaga gawang atau kiper, ada yang bertindak sebagai
pemain belakang, ada yang bertindak sebagai gelandang dan ada yang bertindak sebagai
penyerang. Mereka dengan posisi yang berbeda-beda ini memiliki satu tujuan yang sama yakni
memenangkan timnya dalam pertandingan. Nah, dalam pertandingan tersebut dengan posisi dan
fungsi yang berbeda bersama-sama bahu-membahu untuk saling menjalankan fungsinya demi
sebuah kemenangan, karena mereka tahu bahwa dalam olahraga ini kemampuan individu tidak
dapat membuat mereka memenangkan pertandingan, mereka perlu rekan se-tim yang dapat
menyokong dan membantu mereka agar meraih apa yang diinginkan, yakni kemenangan. Oleh
karena itu dalam dunia sepakbola kerja sama tim adalah hal penting yang ditananmkan seorang
pelatih terhadap anak asuhnya.
Salah satu yang membuat saya menyukai sepakbola adalah hal ini yakni kerjasama, dari
sini saya dapat belajar bahwa untuk mencapai sebuah kejayaan akan lebih mudah jika melakukan
kolaborasi, kerja sama karena semua akan terasa lebih ringan. Dan juga sebagai makhluk sosial
kita perlu bantuan orang lain dan membantu orang lain. Dan itulah pentingnya sebuah kerjasama
yang bisa saya amati dari sepak bola.
Penulis : Zulfazri Fathmana
Program Studi : Perencanaan Wilayah dan Kota’15
“Potensi atau Masalah ?”
Negara Indonesia memiliki jumlah populasi terbanyak ke-4 pada tahun 2015 yang lalu
dengan jumlah penduduk di Indonesia adalah sebesar 255,461,700 jiwa. Hanya berbeda 3
peringkat dari negara dengan jumlah populasi terbanyak di dunia, Tiongkok (China). Tetapi,
dengan jumlah penduduk yang ratusan juta seperti ini, apakah ini termasuk potensi Indonesia
untuk menjadi negara maju atau ini termasuk sebuah masalah atau tantangan untuk negara ini?
Dapat kita lihat bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia dari tahun 2014 ke tahun 2015
mengalami peningkatan sekitar 780.000 jiwa. Tentu 780.000 jiwa bukan merupakan hal yang
sedikit.
Salah satu penyebab kemiskinan ini adalah masih banyaknya kepala keluarga di
Indonesia yang berusia 50 tahun keatas dan pendidikan terakhirnya hanya pada tingkat sekolah
dasar dan banyaknya tanggungan yang dimilikinya dan juga salah satunya adalah tingginya
tingkat pengangguran di Indonesia. Pengangguran merupakan salah satu hal yang memicu atau
memompa tingginya tingkat kemiskinan di Indonesia. Jumlah pengangguran di Indonesia pada
Agustus 2015 menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah 7,56 juta orang. Dan diantaranya
adalah 12,65 persen lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), 10,32 persen Sekolah
Menengah Atas (SMA), Diploma 7,54 persen, Sarjana 6,40 persen, Sekolah Menengah Pertama
6,22 persen, dan Sekolah Dasar ke bawah 2,74 persen. Salah satu penyebab pengangguran di
Indonesia adalah PHK yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia
misalnya, perusahaan dalam sektor industri.
Perusahaan industri yang melakukan PHK adalah perusahaan industri yang memiliki
ketergantungan terhadap bahan baku impor. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
turut menambah beban biaya produksi perusahaan industri tersebut. Penyebab pengangguran di
Indonesia yang lainnya adalah masih banyaknya lulusan diploma dan sarjana yang masih belum
mendapatkan pekerjaan.Tetapi, dewasa ini pemerintah juga sudah melakukan beberapa cara
untuk mengurangi permasalahan kemiskinan di Indonesia dengan cara penediaan layanan
kesehantan untuk masyarakat yang kurang mampu dengan Kartu Indonesia Sejahtera (KIS),
beasiswa untuk pelajar yang kurang mampu dengan Kartu Indonesia Pintar (KIP), program Bidik
Misi untuk Perguruan Tinggi, Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan masih banyak lagi. Jadi, bisa
disimpulkan bahwa dengan jumlah penduduk Indonesia yang sebanyak kurang lebih 255 juta
jiwa itu Indonesia masih memiliki masalah, terutama masalah kemiskinan. Dengan jumlah
penduduk Indonesia yang sebanyak kurang lebih 255 juta, apakah jumlah ini dapat membuat
Indonesia lebih berpotensi menjadi negara maju atau merupakan suatu masalah yang harus
dihadapi negara tersebut?
Penulis : M. Ridho Anshory

Program Studi : Sistem Informasi’17

“Dolar Menguat atau Rupiah Melemah ?”

Nilai tukar rupiah masih merosot terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Selasa
sore, rupiah tembus 14.900 per dolar AS. Mengutip data Bloomberg, Selasa sore (4/9/2018),
rupiah berada di kisaran 14.935 per dolar AS.

Sepanjang Selasa pekan ini, rupiah bergerak di kisaran 14.780-14.938 per dolar AS.
Rupiah pun sudah melemah 10,18 persen sejak awal 2018. Berdasarkan kurs referensi, Jakarta
Interbank Spot Dollar Rate, rupiah melemah 73 poin dari posisi Rp 14.767,00 per dolar AS pada
3 September 2018 menjadi Rp 14.840 per dolar AS pada 4 September 2018.

Dolar AS perkasa tidak hanya terhadap rupiah. Berdasarkan data RTI, dolar AS perkasa
terhadap ringgit Malaysia sekitar 0,37persen. Kemudian dolar AS menguat terhadap peso
Filipina sekitar 0,04persen. Selain itu, dolar AS menguat terhadap yen sebesar 0,28 persen,
terhadap dolar Singapura sebesar 0,37 persen, terhadap baht Thailand sebesar 0,37 persen,
terhadap rupee India sebesar 0,44 persen.

Upaya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah harusnya bukan hanya datang dari
Pemerintah. Siapapun tidak bisa hanya meminta Bank Indonesia bekerja keras sendiri.
Melainkan kita sebagai masyarakat Indonesia juga harus berupaya untuk menjaga rupiah agar
tetap stabil. Ekonomi menilai pentingnya gerakan cinta rupiah dalam menghadapi gejolak nilai
tukar rupiah yang dipicu perkembangan global saat ini. Masyarakat diharap tidak menimbun
dolar dengan mengharapkan keuntungan dimasa mendatang, karena hal tersebut dapat membuat
suplai dolar yang terus menipis dan akan berdampak pada mahalnya dolar. Masyarakat perlu
meningkatkan kepercayaan terhadap Pemerintah, bahwa perekonomian Indonesia berada pada
posisi yang aman. Melihat dari keadaan Bank Indonesia saat ini, masyarakat tidak bisa
membandingkan posisi rupiah sekarang dengan posisi saat krisis moneter 1998. Kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah juga penting sehingga dapat menekan permintaan dolar dan
mencegah harga dolar AS semakin melambung tinggi. Selain itu, perlunya kesadaran masyarakat
untuk mengurangi permintaan terhadap barang-barang impor yang bersifat konsumtif dan beralih
kepada produk-produk dalam negeri.

Вам также может понравиться