Вы находитесь на странице: 1из 57

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Osteoarthritis merupakan penyakit sendi degeneratif yang menyebabkan

perubahan reaktif pada batas-batas sendi pada kartilago sendi, contohnya

pembentukan osteofit, perubahan tulang subkondral, perubahan sumsum tulang,

reaksi fibrous pada sinovium, dan penebalan kapsul sendi (Ervan, 2011 dalam

Yuliastari, 2012). Secara global Osteoartritis (OA) adalah penyakit persendian yang

kasusnya sering dijumpai, Osteoarthritis ini berkembang lambat yang menyerang

tulang rawan sendi dan penyebabnya masih idiopatik, meskipun faktor resiko juga

berperan dalam timbulnya osteoarthritis. Kondisi seperti ini berkaitan dengan usia

lanjut (Elvira 2010). Osteoarthritis menjadi salah satu pencetus nyeri sendi, karena

kebanyakan penderita osteoarthritis mengeluhkan adanya nyeri sendi (Felson, T.,

& Schaible, H-G 2010). Osteoarthritis merupakan salah satu penyakit jenis rematik

yang sering dijumpai pada lansia di Indonesia, berkisar 50-60% (Muchid, dkk.

2006).

Data dari World Health Organization (2011) menunjukkan bahwa jumlah

penderita Osteoarthritis di seluruh dunia sebanyak 151 juta jiwa. Di kawasan Asia

Tenggara kejadian Osteoarthritis mencapai 24 juta jiwa (Arden, N & Nevitt, M C

2006). Sedangkan untuk wilayah Indonesia reumatik mencapai 23,6% hingga

31,3%. Angka ini menunjukkan bahwa tingginya angka kejadian reumatik.

Peningkatan jumlah populasi lansia yang mengalami penyakit osteoarthritis juga

terjadi di Jawa Timur, berdasarkan data statistik Indonesia (2016), di Jawa Timur

46
jumlah lansia pada 3 tahun 2015 adalah 173.606 orang, dengan status kesehatan

baik 64.818 orang, cukup baik 72.705 orang dan status kesehatan kurang baik

36.083 orang. Di Kabupaten Malang dan Kota Malang ditemukan prevalensi

osteoartritis sebesar 10% dan 13,5% (Dinkes; Jatim 2011). Osteoarthritis dapat

menyerang bagian sendi manapun, diperkirakan sendi yang sering terserang adalah

sendi-sendi yang banyak menanggung berat badan seperti lutut, panggul dan sendi

tulang belakangbagian lumbal bawah. Namun lokasi Osteoarthritis yang sering

ditemukan adalah pada lokasi lutut (Arissa 2013). Laporan data dari riskesdas juga

menunjukkan bahwa lokasi terbanyak terjadinya osteoarthritis adalah pada lutut

yaitu mencapai 89,91% (Riskesdas 2013).

Dari data tentang lokasi yang sering diserang OA diatas, penderita OA

menjadi lebih berhati-hati saat bergerak serta lebih membatasi gerakan sendi yang

sakit, sehingga pergerakan sendi kesemua arah menjadi terbatas. Kekakuan pada

otot sendi dapat terjadi akibat dari kurangnya gerakan aktif daripada gerakan pasif

yang dilakukan penderita (Isbagio 2005). Nyeri dan kaku sendi yang bertahan lama

dapat menghentikan secara permanen fungsional sendi. Penghentian fungsional

sendi ini dapat membatasi aktivitas fisik lansia, selanjutnya lansia mengalami

penurunan dari quality of life (Hopman-Rock, et al 2013). Penurunan mordibitas

dan mortalitas dari seorang lansia dapat dilihat dari aktifitas fisik lansia tersebut.

Aktifitas fisik yang meningkat juga dapat meningkatkan kesehatan serta quality of

life dari lansia tersebut (Klieman, L., et al 2011).

Menurut (Muchid, dkk. 2006) ada 3 tindakan pertahanan yang dapat

dilakukan yaitu terapi farmakologis atau pemberian obat-obatan, terapi non-

farmakologis seperti edukasi, teapi fisik, okupasional, latihan fisik, penurunan berat

47
badan, dan merawat persendian, serta tindakan pertahanan yang menjadi pilihan

terakhir yaitu terapi bedah. Jurnal publikasi American College Of Rheumatologi

mengatakan terapi yang lebih direkomendasikan untuk OA lutut adalah terapi non

farmakologis yang bersifat terapi modalitas seperti latihan fisik, senam, latihan

ketahanan, dan intervensi psikososial (Hochberg, M., et al 2012). Terapi non

farmakologis lainnya yang dapat digunakan untuk menurunkan nyeri sendi tetapi

tidak memberikan peningkatan pada kekuatan otot sendi karena peningkatan

kekuatan otot sendi dapat dicapai dengan adanya pergerakan melalui aktivitas fisik

adalah penurunan berat badan, akupunktur, okupasional, dan aplikasi dingin atau

panas.

Penelitian yang dilakukan tahun 2007 tentang tindakan non farmakologis

telah membuktikan bahwa latihan fisik dapat menurunkan skala nyeri pada

penderita OA serta memberikan efek positif dalam meningkatkan kekuatan sendi

(Nauberger et al 2007). Hasil yang sama juga didapati pada review penelitian

tentang observasi pasien osteoarthritis yaitu pasien melakukan aerobik dan latihan

kekuatan otot untuk mengurangi nyeri dan disabilitas diri di rumah (Roddy, E., et

al 2011). Penelitian Benefits of Physical Activity for Knee Osteoarthritis

menyatakan bahwa rasa sakit dan risiko gangguan fungsional atau cacat pada orang

dewasa tua penderita OA lutut dapat di cegah dengan menjadi lebih aktif

beraktivitas (Mentes, J.C., & Egan, B.A 2010).

Olahraga fisik adalah salah satu latihan yang dapat diberikan kepada lansia

penderita Osteoarthritis, dikarenakan olahraga fisik dapat mempertahankan

pergerakan sendi dan memiliki pengaruh besar dalam penurunan skala nyeri sendi

(Stevenson 2012). Olahraga fisik yang mudah dan sederhana yang dapat dilakukan

48
adalah senam rematik (Nurhidayah 2012). Senam rematik memiliki gerakan-

gerakan yang efektif dan berfokus pada mempertahankan lingkup gerak sendi

secara maksimal. Adapun tujuan dari senam rematik ini adalah mengurangi nyeri

sendi dan menjaga kesehatan jasmani penderita rematik. Senam rematik juga

memiliki keuntungan lain yaitu tulang menjadi lebih lentur, otot tetap kencang,

memperlancar peredaran darah, menjaga kadar lemak darah tetap normal, tidak

mudah mengalami cidera, dan kecepatan reaksi sel tubuh menjadi lebih baik (Heri

2014).

Dari hasil wawancara singkat yang dilakukan di Puskesmas Desa Dadapan

Pagak, terdapat banyak masyarakat yang menderita osteoarthritis lutut beberapa

tahun terakhir. Menurut narasumber sampai saat ini, banyak yang tidak mengetahui

manfaat melaksanakan senam rematik. Kegiatan senam rematik menjadi penting

yang dapat diterapkan oleh perawat sebagai care giver dalam memberikan

penatalaksanaan osteoarthritis lutut untuk meningkatkan derajat kesehatan hidup

lansia.

1.2 Rumusan Masalah

Menurut narasumber banyak yang menderita penyakit rematik dan sampai

saat ini banyak yang tidak mengetahui manfaat senam rematik. Berdasarkan

rumusan masalah di atas peniliti merumuskan masalah : “Seberapa efektif senam

rematik terhadap penurunan skala nyeri pada lansia penderita Osteoarthritis Lutut

di Puskesmas Desa Tlogorejo Pagak”.

49
1.3 Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui Efektivitas senam rematik terhadap penurunan skala

nyeri pada lansia penderita Osteoarthritis Lutut.

2. Tujuan Khusus

2.1 Mengidentifikasi skala nyeri sebelum dilakukan senam

rematik.

2.2 Mengidentifikasi skala nyeri sesudah dilakukan senam rematik.

2.3 Menganalisis Efektivitas senam rematik terhadap penurunan

skala nyeri pada lansia penderita osteoarthritis lutut.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi Instansi Kesehatan

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi

perkembangan ilmu kesehatan dan khususnya pada lansia penderita

osteoarthritis lutut.

2. Bagi Peneliti

Dengan adanya penelitian ini maka diharapkan bisa menambah

pengetahuan, informasi dan wawasan dalam melaksanakan penelitian lebih

lanjut tentang lansia penderita osteoarthritis lutut.

3. Bagi Lahan Peneliti

Memberikan pengetahuan tentang cara megurangi skala nyeri terhadap

penyakit osteoarthritis lutut.

4. Bagi Institusi

50
Dapat dijadikan tambahan kepustakaan untuk pengembangan ilmu

kesehatan khususnya di bidang keperawatan dan untuk tambahan proses

pembelajaran tentang mengatasi osteoarthritis lutut.

5. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi kepada responden tentang

rematik dan diharapkan dapat menjadi referensi untuk penelitian

selanjutnya.

1.5 Batasan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh senam rematik terhadap

penurunan skala nyeri pada lansia penderita osteoarthritis lutut. Peneliti juga

melakukan pengukuran skala nyeri serta pengukuran gula darah sebelum dan

sesudah senam.

51
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nyeri

2.1.1 Pengertian Nyeri

Nyeri (Pain) adalah kondisi perasaan seseorang yang tidak

menyenangkan. Perasaan nyeri setiap orang berbeda-beda baik dalam hal

skala ataupun tingkatanya dan hanya orang tersebutlah yang dapat

mendiskripsikan serta mengevaluasi rasa nyeri tersebut (Hidayat, 2008).

Nyeri adalah pengalaman sensori nyeri dan emosional yang tidak

menyenangkan. Pengalaman tersebut berkaitan dengan kerusakan jaringan

aktual dan potensial yang tidak menyenangkan yang terletak pada suatu

bagian tubuh ataupun sering disebut dengan istilah distruktif, rasanya

seperti di tusuk-tusuk, panas terbakar, melilit, seperti emosi, perasaan takut

dan mual (Afroh, F., Mohamad Judha, Sudarti, 2012).

2.1.2 Teori- Teori Nyeri

a. Teori Spesivitas ( Specivicity Theory)

Menurut (Andarmoyo, 2013) teori ini diperkenalkan oleh

Descartes, teori ini menjelaskan bahwa nyeri berjalan dari reseptor-

reseptor nyeri yang spesifik melalui jalur neuroanatomik tertentu

menuju pusat nyeri diotak.

Teori spesivitas ini hanya melihat nyeri secara sederhana tidak

melihat menurut karakteristiknya. Teori ini hanya memaparkan

biologisnya saja tanpa melihat variasi dari efek psikologis individu

(Prasetyo, 2010).

52
b. Teori Pola (Pattern theory)

Menurut (Andarmoyo, 2013) teori ini diperkenalkan

Goldscheider pada tahun 1989, teori ini menjelaskan ada berbagai

reseptor sensori yang menyebabkan nyeri yang diransang oleh pola

tertentu, dimana nyeri ini merupakan akibat dari stimulasi reseptor yang

menghasilkan pola implus saraf.

Pada sejumlah causalgia (suatu kondisi kronis dan tak umum

yang biasanya menyerang tangan atau kaki), nyeri phantom dan

neuralgia, teori pola ini bertujuan untuk menimbulkan rangsangan yang

kuat yang mengakibatkan berkembangnya gaung secara terus menerus

pada spinal cord sehingga saraf transmisi nyeri nyeri bersifat

hypersensitif yang mana ransangan dengan intensitas rendah dapat

menghasilkan transmisi nyeri (Lewis, 1983 dalam Andarmoyo, 2013).

c. Teori Pengontrol Nyeri (Theory Gate Control)

Menurut (Andarmoyo, 2013) teori gate control dari Melzack

dan Wall, menyatakan bahwa ransangan nyeri dapat diatur dan

dihambat oleh mekanisme pertahanan disepanjang sistem saraf pusat,

dimana ransangan nyeri dihantarkan saat sebuat pertahanan dibuka dan

ransangan dihambat saat sebuah pertahanan tertutup.

d. Endogenous Opiat Theory

Teori ini di kembangkan oleh Avron Goldstein, ia

mengemukakan bahwa terdapat suatu unsur seperti opiet yang terjadi

selama tubuh mengalami nyeri, unsur ini disebut endorphine

(Andarmoyo, 2013). Ditafsirkan sebagai nyeri, endorphine menerima

53
pesan dari nyeri untuk menghambat tansmisinya yang kemungkinan

bertindak sebagai neurotransmitter maupun neuromodulator

(Andarmoyo, 2013).

2.1.3 Klasifikasi Nyeri

a. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Durasi

1) Nyeri Akut

Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, nyeri

ini memiliki durasi yang terbatas. Nyeri ini biasanya menyebabkan

peradangan dikarenakan nyeri akut saling berhubungan dengan

pembedahan, trauma dan infeksi serta memiliki proses yang cepat

dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat), dan

berlangsung untuk waktu yang singkat (Andarmoyo, 2013). Nyeri

akut berdurasi singkat (kurang lebih 6 bulan). Setelah area yang rusak

pulih kembali nyeri tersebut secara otomatis akan menghilang tanpa

dilakukannya pengobatan (Prasetyo, 2010).

2) Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau langsung yang

letaknya menetap sepanjang suatu periode waktu tertentu. Nyeri ini

berlangsung lama dengan intensitas yang bervariasi dan biasanya

berlangsung lebih dari 6 bulan (McCaffery, 1986 dalam Potter

&Perry, 2013).

54
Tabel 2.1 Perbedaan Nyeri Akut dan Nyeri Kronik

Nyeri Akut Nyeri Kronik

Penyebab berupa kerusakan Penyebab multiple (keganasan,

jaringan yang nyata jinak)

Onset yang jelas Onset gradual atau jelas

Durasi yang pendek dan Menetap setalah 3-6 bulan setelah

jelas penyembuhan

Dapat merupakan gejala atau

Hilang dengan sembuhnya diagnosis

luka Tidak ada tujuan adaptif

Berfungsi sebagai proteksi Dapat refrakter terhadap

Memiliki terapi efektif pengobatan

Vadivelu N et al. Pain Pathway and Acute Pain Processing dalam


Acute Pain Management. Cambridge University Press. New York.
2009. p 3-20.

b. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Asal


1) Nyeri Nosiseptif

Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang diakibatkan oleh

aktivitas atau sensivitas nosiseptor perifer yang merupakan reseptor

khusus yang mengantarkan stimulus naxious (Andarmoyo, 2013).

Nyeri Nosiseptif juga dapat diakibatkan dari kerusakan

jaringan atau sel setelah operasi atau yang berhungan dengan

penyakit. Nyeri Nosiseptif juga dapat disebut dengan inflamasi

karena inflamasi perifer mediator berperan penting dalam

55
perkembangannya. Secara umum, intensitas nyeri tergantung

besarnya area kerusakan jaringan serta terlepasnya mediator

(Marandina, 2014). Nyeri nosiseptor ini dapat terjadi karena adanya

stimulus yang mengenai kulit, tulang sendi, otot, jaringan ikat dan

lain-lain (Andarmoyo, 2013).

2) Nyeri neuropatik

Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang diakibatkan oleh

cedera atau abnormalitas yang terdapat pada struktur fraktur saraf

perifer maupun sentral, nyeri ini lebih sulit ditangani daripada nyeri

nosiseptif (Andarmoyo, 2013).

Nyeri neuropatik adalah nyeri yang disebabkan oleh lesi atau

disfungsi saraf pusat dan saraf tepi. Nyeri ini bersifat episodik atau

terus menerus dan digambarkan dalam banyak gambaran seperti,

rasa terbakar, kejutan listrik spasme dan dingin, serta tertusuk,

shooting dan remasan. Nyeri neuropatik sering disebut dengan nyeri

patologi karena tidak jelas tujuannya atau bisa dikatakan tidak jelas

organ mana yang diserang. Beberapa hal yang mungkin berpengaruh

pada nyeri neuropatik adalah sensitisasi perifer, timbulnya aktifitas

listrik ektopik, sensitisasi sentral, reorganisasi struktur, adanya

proses disinhibisi sentral, dimana mekanisme inhibisi dari sentral

yang normal menghilang, serta terjadinya gangguan pada koneksi

neural, dimana serabut saraf membuat koneksi yang lebih luas dari

yang normal (Marandina, 2014).

56
c. Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Lokasi

1) Supervicial atau kutaneus

Nyeri supervisial adalah nyeri yang disebabkan oleh

stimulus kulit atau jaringan subkutan. Karakteristik dari nyeri ini

biasanya berlangsung sebentar dan berlokalisasi. Nyeri ini bersifat

burning (sensasi terbakar) serta biasanya terasa sebagai sensasi yang

tajam. Contohnya tertusuk jarum suntik dan luka potong kecil atau

laserasi (Sulistyo, Andarmoyo, & Suharti, 2013).

2) Viseral Dalam

Nyeri viseral adalah nyeri yang terjadi akibat stimulasi

organ-organ dalam (internal), misalnya dari abdomen, cranium dan

thorak. Nyeri neuropatik bersifat disfusi dan dapat menyebar

keberbagai arah. Nyeri ini dapat menimbulkan rasa yang tidak

menyenangkan seperti mual-mual dan gejala-gejala otonom.

Contohnya sensasi pukul (crushing) seperti angina pectoris dan

sensasi terbakar seperti pada ulkus lambung (Sulistyo, Andarmoyo,

& Suharti, 2013).

3) Nyeri Alih (Referred pain)

Nyeri alih merupakan nyeri yang memiliki sumber terasanya

tidak sama atau menetap. Fenomena umum dalam nyeri viseal

karena banyak organ tidak memeiliki reseptor nyeri. Karakteristik

nyeri dapat terasa di bagian tubuh yang terpisah dari sumber nyeri

dan dapat terasa dengan berbagai karakteristik nyeri. Contohnya

nyeri yang terjadi pada infark miokard, yang menyebabkan nyeri

57
alih ke rahang, lengan kiri, batu empedu, yang mengalihkan nyeri ke

selangkangan (Sulistyo, Andarmoyo, & Suharti, 2013).

4) Radiasi

Nyeri radiasi merupakan sensasi nyeri yang terasa dari

sumber nyeri yang bergerak meluas keseluruh bagian tubuh. Nyeri

ini memiliki karakteristik yang seakan-akan nyeri itu bergerak dari

bagian tubuh bawah menuju kesepanjang tubuh. Contoh nyeri

punggung bagian bawah akibat diskusi interavertebral yang ruptur

disertai nyeri yang meradiasi sepanjang tungkai dari ritasi saraf

skiatik (Sulistyo, Andarmoyo, & Suharti, 2013).

d. Pengukuran Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran seberapa parah nyeri yang

dirasakan oleh seseorang. Pengukuran intensitas nyeri bersifat

sangat subjektif atau tergantung individu tersebut. Intensitas nyeri

yang sama akan dirasakan berbeda oleh dua orang yang berbeda

(Andarmoyo, 2013). Pengukuran nyeri dengan metode objektif yang

bisanya dan paling mungkin dapat dilakukan adalah dengan

menggunakan ransangan fisiologik tubuh terhadap nyeri tersebut.

Namun metode ini tidak dapat mengetahui secara pasti seberapa

parah nyeri yang dialami oleh individu tersebut (Tamsuri, 2007

dalam Andarmoyo, 2013). Intensitas nyeri dibedakan menjadi lima

dengan menggunakan skala numerik yaitu:

1) 0 : Tidak Nyeri

2) 1-2 : Nyeri Ringan

58
3) 3-5 : Nyeri Sedang

4) 6-7 : Nyeri Berat

5) 8-10 : Nyeri Yang Tidak Tertahankan (Afroh, F.,Mohamad

Judha, Sudarti, 2012).

2.1.4 Faktor –faktor yang mempengaruhi nyeri

a. Usia

Reaksi nyeri dapat dipengaruhi oleh usia seseorang. Sebagai

contoh seorang lansia akan mengungkapkan reaksi nyerinya dengan

alasan nyeri, sedangkan anak-anak kecil yang belum dapat

mengucapkan kata-kata akan mengalami kesulitan dalam

mengungkapkan secara verbal dan kebingungan untuk

mengekspresikan rasa nyerinya (Potter & Perry, 2006).

b. Jenis kelamin

Secara umum faktor ini tidak memiliki perbedaan yang

bermakna. Kebudayaan yang telah ada dapat mempengaruhi faktor ini,

misalnya anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis

sedangkan seorang anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang

sama (Rahadhanie dalam Andari, 2015).

c. Kebudayaan

Kebudayaan yang ada serta diajarkan akan secara konstan akan

dipelajari oleh individu untuk mengatasi nyerinya, misalnya obat-obat

an herbal untuk mengatasi sementara nyeri mereka (Rahadhanie dalam

Andari, 2015).

59
d. Perhatian

Seseorang dapat meningkatkan fokus perhatiannya untuk

mengendalikan persepsi nyerinya. Perhatian yang meningkat akan

dihubungkan dengan nyeri yang meningkat. Sedangkan upaya

pengalihan (distraksi) akan dihubungkan dengan respon nyeri yang

menurun. Konsep ini merupakan salah satu konsep yang perawat

terapkan di berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri, seperti

relaksasi, teknik imajinasi terbimbing (guided imaginary) dan mesase,

dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi klien pada stimulus

yang lain, misalnya pengalihan pada distraksi (Fatmawati, 2011).

e. Ansietas

Emosi seseorang dikendalikan oleh bagian system yang disebut

dengan system limbik. Apabila system ini diaktifkan oleh stimulus

nyeri, maka ansietas akan meningkat sehingga persepsi juga akan

meningkat. Namun nyeri juga dapat menimbulkan ansietas (Wijarnoko,

2012).

f. Kelemahan

Kelemahan atau keletihan dapat menyebabkan sensasi nyeri akan

semakin intensif dan menurunkan koping (Fatmawati, 2011).

g. Pengalaman sebelumnya

Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Jika individu

sering mengalami pengalaman nyeri dan individu tersebut tidak pernah

bisa mengatasinya maka ansietas atau rasa takut dapat muncul.

Sebaliknya jika individu mengalami jenis nyeri yang sama berulang-

60
ulang tetapi nyeri tersebut dengan berhasil dihilangkan akan lebih

mudah individu tersebut menginterpretasikan sensasi nyeri

(Rahadhanie dalam Andari, 2015).

h. Gaya koping

Menurut (Ekowati, 2012) melakukan komunikasi dengan

keluarga, latihan atau menyanyi dapat mempengaruhi seseorang dalam

mengatati nyeri yang dirasakan oleh penderita.

i. Dukungan keluarga dan sosial

Dukungan serta kehadiran keluarga dalam memberikan motivasi

pada penderita sangat berpengaruh untuk meminimalkan ketakutan

akibat nyeri yang dirasakan, contohnya dukungan keluarga (suami)

dapat menurunkan nyeri kala I, hal ini dikarenakan ibu merasa tidak

sendiri, diperhatikan dan mempunyai semangat yang tinggi

(Widjanarko, 2012).

j. Makna nyeri

Individu akan berbeda-beda dalam mempersepsikan nyeri yang

dialaminya, nyeri tersebut dapat memberi kesan ancaman, suatu

kehilangan hukuman dan tantangan. Misalnya seorang wanita yang

bersalin akan mempersepsikan nyeri yang berbeda dengan wanita yang

mengalami nyeri cidera kepala akibat dipukul pasangannya. Derajat

dan kualitas nyeri yang dipersepsikan klien berhubungan dengan makna

nyeri (Potter & Perry, 2006).

61
2.2 Senam Rematik

2.2.1 Pengertian Senam Rematik

Senam rematik adalah salah satu upaya untuk menjaga kesehatan

tubuh serta merupakan metode yang praktis dan efektif dalam

memelihara kesehatan tubuh. Gerakan yang terkandung dalam senam

rematik adalah gerakan yang sangat logis, efisien, dan efektif, karena

rangkaian gerakan nya dilakukan secara teratur dan terorganisasi

(Wahyudi, 2008).

Senam rematik merupakan senam yang befokus untuk

mempertahankan lingkup gerak sendi secara maksimal. Tujuan lain dari

senam rematik yaitu untuk meningkatkan kemampuan gerak, fungsi,

kekuatan dan daya tahan otot, kapasitas aerobic, keseimbangan,

biomedik, sendi dan rasa posisi sendi, dengan melakukan senam rematik

di harapkan kualitas hidup lansia meningkat sehingga lansia dapat

melakukan ADL (Activity Daily Living) secara mandiri dengan maksimal

dan tidak menjadi beban bagi orang lain (Nunohoni & Tulaat, 2011).

Islam mengajarkan pemeluknya untuk menjadi pribadi yang sehat

dan kuat secara rohani maupun jasmani. Seorang muslim akan lebih

khusuk atau fokus dalam menjalankan ibadahnya ketika memiliki tubuh

yang sehat dan kuat, seperti yang dijelaskan pada ayat berikut.

Allah Subhanah wa Ta‟ala berfirman:

‫َل إي ص إ اص ي إ ةًي َل ص َل َاَلهُي َل َل صي هُ ص َل َل لَقاهُي َل اص لَي َّن نَّي إ قالَي يإ‬

‫ص إ اص‬

62
Terjemahnya :

(Nabi mereka) berkata, “Sesungguhnya Allah Subhanah wa

Ta’ala telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu

yang luas dan tubuh yang perkasa.” (QS. al-Baqarah: 247).

Dari Abu Hurairah Radiyallahu anhu ia berkata: Rasulullah

Sallallahu Alayhi Wasallam bersabda:

‫عن‬ ُّ ‫ اَلـ ُمؤمنُ القَـو‬: ‫س َّل َم‬


َ ‫ي‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَيه َو‬ َ ‫َعن أَبي ه َُري َرة َ َرض‬
ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ي هللاُ َعنهُ قَال‬
َ ‫سو ُل هللا‬

ُّ ‫ “اَل ُمؤمنُ اَلقَو‬: ‫َّللا صلى هللا عليه و سلم‬


‫ي خَي ٌر‬ ُ ‫ قا َ َل َر‬:َ‫أَبي ه َُري َرة َ رضي هللا عنه قاَل‬
َّ ‫سو ُل‬

َ‫اّلل َوَل‬ َ ‫ احرص َع‬،‫ َوفي ُك ٍّل خَي ٍّر‬،‫َّللا منَ ال ُمؤمن الضَّعيف‬
َّ ‫ َواست َعن ب‬، َ‫لى ما َ يَنفَعُك‬ َّ ‫لى‬َ ‫َوأ َ َحبُّ إ‬

َّ ‫ قَد ََّر‬:‫ َو َلكن قُل‬،‫صابَكَ شَي ٌء فَالَ تَقُل لَو أَني فَ َعلتُ َكانَ َكذَا َو َكذَا‬
‫َّللاُ َوما َ شَا َء‬ َ َ‫ َوإن أ‬،‫ت َعجز‬

‫” أَخ َر َجهُ ُمسل ٌم‬.‫طان‬


َ ‫شي‬
َّ ‫ فَإ َّن لَو تَـفت َـ ُح َع َم َل ال‬،َ‫ فَعَل‬.

Terjemahannya :

“Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh

Allah daripada orang mukmin yang lemah, namun pada masing-masing

(dari keduanya) ada kebaikan. Bersemangatlah terhadap hal-hal yang

berguna bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan

menjadi lemah. Jika kamu ditimpa sesuatu, jangan berkata seandainya

aku berbuat begini, maka akan begini dan begitu, tetapi katakanlah Allah

telah menakdirkan, dan kehendak oleh Allah pasti dilakukan. Sebab kata

‘seandainya’ itu dapat membuka perbuatan setan.” [HR. Muslim].

Dengan dilakukannya senam rematik dapat mempermudah

seseorang yang mengalami kekakuan dalam aktivitas fisik menjadi lebih

mudah digerakkan, sehingga seseorang akan lebih mudah untuk beramal

63
saleh dan beraktivitas didalam urusan agama dan urusan dunia seorang

muslim.

2.2.2 Tujuan Senam Rematik

a. Mengurangi nyeri pada penderita rematik

b. Menjaga kesehatan jasmani menjadi lebih baik.

2.2.3 Keuntungan Senam Rematik

a. Tulang menjadi lebih lentur.

b. Otot-otot akan menjadi tetap kencang.

c. Memperlancar peredaran darah.

d. Memperlancar cairan getah bening.

e. Menjaga kadar lemak tetap normal.

f. Jantung menjadi lebih sehat.

g. Tidak mudah mengalami cedera.

h. Kecepatan reaksi menjadi lebih baik

2.2.4 Cara melakukan senam rematik

a. Gerakan Duduk

1) Angkat kedua bahu keatas mendekati telinga, putar kedepan dan

kebelakang.

2) Bungkukan badan, kedua lengan meraih ujung kaki lantai.

3) Angkat kedua sisi sejajar dada, tarik kedepan dada.

4) Angkat paha dan lutut secara bergantian, kedua lengan menahan

tubuh.

5) Putar tubuh bagian atas kesamping kanan dan kiri, kedua lengan

diatas pinggang.

64
b. Gerakan berbaring atau tidur

1) Bentangkan kedua lengan dan tangan, ambil nafas dalam-dalam

dan hembuskan.

2) Kedua tangan disamping tekuk siku dan tangan mengepal.

3) Tangan di luruskan keaatas lalu tepuk tangan

4) Tekuk sendi panggul dan tekuk lutut dengan kedua tangan tarik

sampai diatas dada.

5) Pegang erat kedua tangan diatas perut, tarik kebelakang kepala dan

kebawah.

6) Angkat tungkai bawah bergantian dengan bantuan kedua tangan.

2.3 Lansia

2.3.1 Definisi Lansia

Menurut (Hawari, 2007), lansia merupakan sekelompok orang yang

mengalami proses perubahan secara bertahap dan dalam jangka waktu

tertentu, keadaan ini ditandai dengan kegagalan seseorang untuk

mempertahankan keseimbangan terhadap stres fisiologis. Kegagalan tersebut

berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan

kepekaan secara individual. Menurut WHO, lansia dikelompokkan menjadi 4

kelompok yaitu:

a. Usia pertengahan (middle age) : usia 45-59 tahun

b. Lansia (elderly) : usia 60-74 tahun

c. Lansia tua (old) : usia 75-90 tahun

d. Usia sangat tua (very old): usia diatas 90 tahun

65
Departemen Kesehatan RI memberikan batasan lansia sebagai berikut:

a. Virilitas (prasenium) : masa persiapan usia lanjut yang menampakkan

kematangan jiwa (usia 55-59 tahun)

b. Usia lanjut dini (senescen) : kelompok yang mulai memasuki masa usia

lanjut dini (usia 60-64 tahun).

c. Lansia beresiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif :

usai diatas 65 tahun (Fatmah, 2010).

Pengertian lansia dibedakan atas 2 macam, yaitu lansia kronologis

(kalender) dan lansia biologis. Lansia kronologis yaitu lansia berdasarkan

usianya sedangkan lansia biologis berdasarkan kekuatan metabolis serta

jaringan pada tubuhnya, lansia biologis mudah diketahui dan dihitung.

Individu yang berusia muda tetapi secara biologis dapat tergolong lansia jika

dilihat dari keadaan jaringan tubuhnya, begitupun sebaliknya (Fatmah, 2010).

2.3.2 Teori-Teori Tentang Menua

Menua adalah suatu proses normal yang berupa penuaan yang dialami

oleh seseorang yang berlangsung terus-menerus secara alamiah,

menghilangnya kemampuan jarungan untuk memperbaiki diri dan

mempertahankan struktur dan fungsi normalnya secara perlahan adalah tanda

dari proses menua, sehingga penderita tidak mampu bertahan dari jejas dan

kerusakan tubuh lainnya (Darmojo & Boedhi, 2010). Secara umum seluruh

spesies yang hidup akan mengalami penuaan yang secara progresif dengan

seiring berjalannya waktu akan menyebabkan perubahan disfungsi organ dan

menyebabkan kegagalan suatu organ atau sistem tubuh tertentu (Fatmah,

2010).

66
Teori menua didasari oleh 3 landasan yaitu:

a. Semua proses penuaaan yang dialami oleh makhluk hidup mamalia adalah

sama.

b. Gen sangat menentukan laju penuaan makhluk hidup tersebut, meskipun

berbeda-beda.

c. Penuaan adalah hal yang mutlak bagi setiap spesies, namun laju atau

kecepatan penuaan tersebut dapat diperlambat (Fatmah, 2010).

Beberapa teori penuaan yang diketahui dijelaskan berikut ini:

a. Teori Berdasarkan Sistem Organ

Teori berdasarkan sistem organ (organ system based story) ini

diduga berlangsung secara otomatis yang disebabkan adanya hambatan

dalam tubuh secara genetik sehingga akan menyebabkan seseorang

mengalami proses penuaan. Organ tersebut adalah sistem endokrin dan

sistem imun. Pada proses penuaan, seiring dengan mengecilnya kelenjar

imun, fungsi imun akan menurun, sehingga dapat menyebabkan

peningkatan berbagai penyakit infeksi pada lansia. Dapat disimpulkan

bahwa peningkatan usia seseorang berhubungan dengan munculnya

berbagai penyakit pada seseorang (Fatmah, 2010). Lansia akan mengalami

kesulitan mencerna makanan akibat dari penanggalan gigi yang

menyebabkan hilangnya tulang penyokong periostal dan periodontal

(Stanley, 2006).

b. Teori Kekebalan Tubuh

Menurunnya sistem kekebalan tubuh merupakan tanda dari proses

penuaan yang sifatnya bertahap, sehingga seseorang tidak dapat lagi

67
mempertahankan tubuhnya dari luka atau serangan sel-sel asing. Seiring

dengan bertambahnya usia seseorang hormon-hormon yang ada pada

kelenjar timus yang mengontrol kekebalan tubuh akan perlahan

menghilang (Fatmah, 2010).

c. Teori Kekebalan

Teori kekebalan (autoimmunity) ini adalah teori yang lebih

menekankan bahwa tubuh lansia sudah tidak dapat lagi membedakan

antara sel normal dan sel tidak normal, sehingga jika ada sel asing yang

masuk kedalam tubuh, antibodi bisa saja menyerang sel normalnya dan hal

ini berkaitan dengan mutasi yang berulang yang menyebabkan

berkurangnya kemampuan sistem tubuh untuk mengenali dirinya sendiri

(self recognition). Semakin bertambahnya penyakit degeneratif yang

terjadi pada lansia merupakan salah satu bukti bahwa peristiwa autoimun

tersebut benar-benar terjadi (Fatmah, 2010).

d. Teori Fisiologik

Teori ini menjelaskan bahwa regenerasi jaringan sudah tidak dapat

lagi mempertahankan kestabilan dalam tubuh akibat dari proses penuaan

yang terjadi yang telah menghilangkan beberapa sel-sel yang biasa

digunakan oleh tubuh. Sebagai contoh, proses menua adalah akibat dari

adaptasi terhadap stres. Stres dapat berasal dari dalam maupun dari luar,

juga dapat bersifat fisik, psikologik, maupun sosial (Fatmah, 2010).

e. Teori Psikososial

Semakin bertambahnya usia seseorang, maka ia akan hanya fokus

terhadap kesehatan dirinya sendiri serta arti dalam hidupnya. Seorang

68
lansia sudah tidak akan tertarik apalagi memperhatikan peristiwa atau isu-

isu yang terjadi di sekitarnya (Fatmah, 2010).

f. Teori Kontinuitas

Gabungan antara teori pelepasan ikatan dan teori aktivitas.

Perubahan diri lansia dipengaruhi oleh tipe kepribadiannya. Sebagai

contoh, seseorang yang sebelumnya sukses, pada usia lanjut akan tetap

berinteraksi dengan lingkungannya serta tetap memlihara identitas dan

kekuatan egonya karena memiliki tipe kepribadian yang aktif dalam

kegiatan sosial (Fatmah, 2010).

g. Teori Sosiologik

Teori ini mendapat kritikan dari banyak ilmuwan. Teori ini

menjelaskan bahwa lanjut usia untuk bebas dari tanggung jawab dari

pekerjaan dan tidak perlu lagi mengejar peran lain untuk mencari

penghasilan. Teori ini berdasarkan perubahan sosial yang menerangkan

menurunnya sumber daya dan meningkatkan ketergantungan yang

mengakibatkan keadaan sosial yang tidak merata dan menurunnya sistem

penunjang sosial. Teori ini berhubungan dengan teori pelepasan yang

menjelaskan bahwa usia lanjut mengalami penurunan partisipasi ke dalam

masyarakat karena terjadi proses pelepasan ikatan yang artinya seorang

lansia sudah jarang mengikuti atau bahkan tidak sama sekali berpastipasi

dalam kegiatan sosial. Sebagai contoh sederhana adalah seorang

pensiunan.(Fatmah, 2010).

69
h. Teori Aktifitas

Teori ini sangat berlawanan dengan teori pelepasan ikatan, teori

aktivitas ini menjelaskan bahwa lansia yang sukses adalah yang aktif dan

ikut dalam kegiatan sosial. Jika seseorang sebelumnya sangat aktif, maka

pada usia lanjut ia akan tetap memelihara keaktifannya seperti peran dalam

keluarga dan masyarakat dalam berbagai kegiatan sosial dan keagamaan,

karena ia tetap merasa dirinya berarti dan puas di hari tuanya. Bila lansia

kehilangan peran dan tanggung jawab di masyarakat atau kelaurga, maka

ia harus segera terlibat dalam kegiatan lain seperti klub atau organisasi

yang sesuai dengan bidang atau minatnya. Teori ini menganggap bahwa

pelepasan ikatan bukan merupakan proses alamiah. Dalam pandangan

teori aktivitas, teori pelepasan adalah melekatnya sifat atau pembawaan

lansia dan tidak ke arah masa tua yang positif (Fatmah, 2010).

i. Teori Penuaan Ditinjau dari Sudut Biologis.

Dulunya proses penuaan biologis tubuh dikaitkan dengan organ

tubuh. Akan tetapi, kini proses penuaan biologis ini dihubungkan dengan

perubahan dalam sel-sel tubuh disebabkan oleh :

1) memiliki batas maksimum untuk membelah diri sebelum mati,

2) setiap spesies mempunyai karakteristik dan masa hidup yang berbeda,

3) penurunan fungsi dan efisiensi selular terjadi sebelum sel mampu

membelah diri secara maksimal.

Proses mekanisme guna memenuhi kebutuhan metabolisme telah

mengalami penurunan akibat dari penurunan fungsi fisiologis pada mulut.

Perubahan dalam rongga mulut yang terjadi pada lansia mencakup

70
tanggalnya gigi, mulut kering dan penurunan motilitas esofagus (Meiner

& Annette G L, 2006).

2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi ketuaan

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketuaan adalah (Nugroho, 2008) :

a. Hereditas (ketuaan genetik)

b. Nutrisi (makanan)

c. Status kesehatan

d. Pengalaman hidup

e. Lingkungan

f. Stres

2.3.4 Penyakit yang sering dijumpai pada lansia

Menurut "The national Old People's Welfare Council" di Inggris

mengemukakan bahwa penyakit atau gangguan umum pada lanjut usia ada

12 macam, yakni (Nugroho, 2008):

a. Depresi mental

b. Gangguan pendengaran

c. Bronkitis kronis

d. Gangguan pada tungkai / sikap berjalan

e. Gangguan pada koksa / sendi panggul

f. Anemia

g. Demensia

2.4 Osteoartritis

Osteoartitis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang

menyebabkan sendi akan terasa nyeri dan kaku akibat dari perubahan patologis.

71
Osteoarthritis lebih sering dijumpai pada lutut, paha dan tulang belakang.

Ditandai dengan kerusakan tulang rawan (kartilago) hyalin sendi,

meningkatnya ketebalan serta sklerosis dari lempeng tulang, pertumbuhan

osteofit pada tepian sendi, meregangnya kapsula sendi, timbulnya peradangan,

dan melemahnya otot-otot yang menghubungkan sendi (Felson D.T, 2008).

OA yang sering dijumpai adalah OA pada lutut dikarenakan lutut

merupakan sendi yang paling banyak digunakan sebagai tumpuan untuk

berjalan, bergerak duduk, jongkok atau memanjta. Osteoartrhtitis yang terjadi

pada lutut membuthkan waktu bertahun-bertahun dan kondisi ini akan tetap

sama selama beberapa tahun. OA lutut merupakan sumber utama rasa sakit dan

ketidakmampuan penderita untuk melakukan aktivitas dibandingan dengan

Osteoarthritis yang terjadi pada bagian sendi lainnya (Sugondo S, 2009).

Osteoarthritis dapat disimpulkan sebagai suatu penyakit yang terjadi akibat dari

proses inlamasi kronis yang berlangsung bertahun-bertahun pada sendi dan

tulang yang ada disekitarnya (Hamijoyo, 2018).

Prevalensi OA lutut berdasar diagnosis radiologis di Indonesia cukup

tinggi, yaitu mencapai 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita. Karena

prevalensi yang cukup tinggi dan sifatnya yang kronik progresif, OA

mempunyai dampak sosioekonomi yang besar baik di negara maju maupun di

negara berkembang. OA menyebabkan orang lanjut usia di Indonesia

menderita kecacatan, diperkirakan 1 sampai 2 juta orang lanjut usia (Sugondo

S, 2009).

Osteoarthritis lutut adalah penyakit sendi degeneratif yang berkaitan

dengan proses penuaan dan kerusakan kartilago pada sendi lutut. OA lutut

72
memiliki kemampuan berkembang cukup lambat dan penyebabnya masih

idiopatik. Proses terjadinya OA lutut akan meningkat seiring dengan

bertambahnya usia serta beberapa faktor resiko lain (Elvira 2010). Kebanyakan

OA lutut akan menyerang seseorang yang berusia 55 tahun keatas dan usia

tersebut lebih banyak berjenis kelamin wanita. Beberapa aktivitas seperti naik

turun tangga, berjalan jauh serta mengangkat barang dengan beban yang berat

menjadi faktor resiko terjadinya OA lutut. Faktor resiko lain yaitu dari olahraga

yang dapat menyebabkan trauma pada sendi seperti sepak bola, basket dan voli

(Hamijoyo, 2018). Nyeri dari OA ini akan muncul secara perlahan-lahan akibat

dari faktor resiko yang dialami oleh penderita. Nyeri tersebut akan membaik

ketika penderita beristirahat dan akan semakin memburuk jika aktivitas

tersebut dipaksakan. Proses nyeri akan berlangsung sekitar 15-20 menit yang

disertai dengan suara krepitus, bengkak dan kaku pada sendi (Hamijoyo, 2018).

2.4.1 Epidemiologi Osteoartritis

Osteoartritis merupakan penyakit sendi yang paling umum

menyerang orang dewasa di dunia yang menjadi penyebab utama dari

kelumpuhan dan gangguan pergerakan sendi. (Felson D.T, 2008)

melaporkan bahwa satu dari tiga orang dewasa memiliki tanda-tanda

radiologis terhadap OA. OA pada lutut merupakan tipe OA yang paling

umum dijumpai pada orang dewasa. Penelitian epidemiologi dari

(Joern, 2010) menemukan bahwa orang dewasa dengan kelompok umur

60-64 tahun sebanyak 22%. Pada pria dengan kelompok umur yang

sama, dijumpai 23% menderita OA. Pada lutut kanan, sementara 16,3%

sisanya didapati menderita OA pada lutut kiri. Berbeda halnya pada

73
wanita yang terdistribusi merata, dengan insiden OA pada lutut kanan

sebanyak 24,2% dan pada lutut kiri sebanyak 24,7. Sedangkan untuk

wilayah Indonesia osteoarthritis mencapai 23,6% hingga 31,3%. Angka

ini menunjukkan bahwa tingginya angka kejadian osteoarthritis.

Peningkatan jumlah populasi lansia yang mengalami penyakit

osteoarthritis juga terjadi di Jawa Timur, berdasarkan data statistik

Indonesia (2016), di Jawa Timur jumlah lansia pada 3 tahun 2015

adalah 173.606 orang, dengan status kesehatan baik 64.818 orang,

cukup baik 72.705 orang dan status kesehatan kurang baik 36.083

orang. Di Kabupaten Malang dan Kota Malang ditemukan prevalensi

osteoartritis sebesar 10% dan 13,5% (Dinkes; Jatim, 2011).

2.4.2 Patogenesis Osteoartritis

Berdasarkan penyebabnya, OA dibedakan menjadi dua yaitu

OA primer dan OA sekunder. OA primer adalah jenis OA yang belum

diketahui penyebabnya dan tidak disebabkan oleh penyakit sistemik

maupun proses perubahan lokal pada sendi, atau dapat disebut OA

idiopatik. Sedangkan OA sekunder, berbeda dengan OA primer,

merupakan OA yang disebabkan oleh inflamasi, kelainan sistem

endokrin, metabolik, pertumbuhan, faktor keturunan (herediter), dan

immobilisasi yang terlalu lama. Kasus OA primer lebih sering dijumpai

pada praktik sehari-hari dibandingkan dengan OA sekunder (Soeroso,

2008).

Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari proses

penuaan dan tidak dapat dihindari. Namun telah diketahui bahwa OA

74
merupakan gangguan keseimbangan dari metabolisme kartilago dengan

kerusakan struktur yang penyebabnya masih belum jelas diketahui

(Soeroso, 2008). Kerusakan tersebut diawali oleh kegagalan

mekanisme perlindungan sendi serta diikuti oleh beberapa mekanisme

lain sehingga pada akhirnya menimbulkan cedera (Felson, 2008).

Pelindung sendi yang berperan sebagai mekanisme pertahanan sendi

adalah kapsula dan ligamen sendi, otot-otot, saraf sensori aferen dan

tulang di dasarnya. Kapsula dan ligamen-ligamen sendi memberikan

batasan pada rentang gerak (Range of motion) sendi (Felson, 2008).

Gesekan antar kartilago dapat diminimalisir dengan cairan sendi

synovial sehingga dapat mencegah terjadinya keletihan kartilago akibat

gesekan. Terdapat suatu proten pada cairan sendi yang berfungsi

sebagai pelumas, protein yang dimaksud biasa disebut dengan lubricin.

Apabila terjadi peradangan dan cedera pada sendi, protein ini akan

secara otomatis berhenti disekresi (Felson, 2008). Mekanoreseptor

tersebar luas di sepanjang rentang gerak sendi yang terkandung di

dalam ligamen, bersama dengan kulit dan tendon. Feedback yang

dikirimkan oleh mekanoreseptor mampu menimbulkan tegangan yang

cukup yang terjadi di antara otot dan tendon pada titik-titik tertentu saat

sendi bergerak (Felson, 2008).

Fungsi dari pelindung sendi adalah sebagai penghubung antara

otot-otot dan tendon dengan sendi. Kontraksi otot yang terjadi akan

memberikan tenada dan akselarasi yang cukup pada anggota gerak

sehingga anggata gerak dapat menyelesaikan tugasnya. Kontraksi otot

75
tersebut turut meringankan stres yang terjadi pada sendi dengan cara

melakukan deselerasi sebelum terjadi tumbukan (impact). Tumbukan

yang diterima akan didistribusikan ke seluruh permukaan sendi

sehingga meringankan dampak yang diterima. Tulang di balik kartilago

memiliki fungsi untuk menyerap goncangan yang diterima (Felson,

2008). Kartilago memiliki peran penting yaitu sebagagi pelindung

sendi. Kartilago yang dilumasi oleh cairan syvonal dapat

menghilangkan gesekan antar tulang yang terjadi ketika kita bergerak.

Kekakuan kartilago yang dapat dimampatkan yang disebabkan dari

proses penghilangan gesekan antar tulang tadi dapat berfungsi sebagai

penyerap tumbukan yang diterima sendi. Sebelum timbulnya OA

terdapat sebuah perubahan pada sendi yang dapat terlihat pada kartilago

sehingga penting untuk mengetahui lebih lanjut tentang kartilago

(Felson, 2008).

Terdapat dua jenis makromolekul utama pada kartilago, yaitu

Kolagen tipe dua dan Aggrekan. Kolagen tipe dua terjalin dengan ketat,

membatasi molekul-molekul aggrekan di antara jalinan-jalinan

kolagen. Sel kartilago terdiri dari aggrekan dan kondrosit. Aggrekan

adalah molekul proteoglikan yang berikatan dengan asam hialuronat

dan memberikan kepadatan pada kartilago. Sedangkan kondrosit adalah

sel yang terdapat di jaringan avaskular, seluruh elemen yang terdapat

pada matriks kartilago di sintesis oleh sel tersebut. Kondrosit

menghasilkan enzim pemecah matriks, sitokin {Interleukin-1 (IL-1),

Tumor Necrosis Factor (TNF)}, dan faktor pertumbuhan. feedback

76
yang diberikan enzim tersebut akan merangsang kondrosit untuk

melakukan sintesis dan membentuk molekul-molekul matriks yang

baru. Pembentukan dan pemecahan ini dijaga keseimbangannya oleh

sitokin faktor pertumbuhan, dan faktor lingkungan (Felson, 2008).

Kondrosit mensintesis metaloproteinase matriks (MPM) untuk

memecah kolagen tipe dua dan aggrekan. MPM memiliki tempat kerja

di matriks yang dikelilingi oleh kondrosit. Namun, pada fase awal OA,

aktivitas serta efek dari MPM menyebar hingga ke bagian permukaan

(superficial) dari kartilago (Felson, 2008). Stimulasi dari sitokin

terhadap cedera matriks adalah menstimulasi pergantian matriks,

namun stimulasi IL-1 yang berlebih malah memicu proses degradasi

matriks. TNF menginduksi kondrosit untuk mensintesis prostaglandin

(PG), oksida nitrit (NO), dan protein lainnya yang memiliki efek

terhadap sintesis dan degradasi matriks. TNF yang berlebihan

mempercepat proses pembentukan tersebut. NO yang dihasilkan akan

menghambat sintesis menggerakan dan meningkatkan proses

pemecahan protein pada jaringan. Hal ini berlangsung pada proses awal

timbulnya OA (Felson, 2008).

Kartilago memiliki metabolisme yang lamban, dengan

pergantian matriks yang lambat dan keseimbangan yang teratur antara

sintesis dengan degradasi. Namun, pada fase awal perkembangan OA

kartilago sendi memiliki metabolisme yang sangat aktif (Felson, 2008).

Pada proses timbulnya OA, kondrosit yang terstimulasi akan

melepaskan aggrekan dan kolagen tipe dua yang tidak adekuat ke

77
kartilago dan cairan sendi. Aggrekan pada kartilago akan sering habis

serta jalinan-jalinan kolagen akan mudah mengendur (Felson, 2008).

Kegagalan dari mekanisme pertahanan oleh komponen pertahanan

sendi akan meningkatkan kemungkinan timbulnya OA pada sendi

(Felson, 2008).

Gambar 2.1 A. Kiri : sendi lutut normal B. Kanan : sendi lutut

yang mengalami osteoarthritis (Helmi, 2012).

2.4.3 Faktor Resiko

Banyak peneliti yang telah melakukan penelitian tentang

Osteoarthritis yang menghasilkan temuan faktor-faktor yang dapat

menjadi faktor resiko OA lutut diantaranya adalah usia lanjut, jenis

kelamin, suku/kebudayaan, kebiasaan buruk seperti merokok, genetik,

konsumsi vitamin D yang berlebih, kebiasaan beraktivitas berat serta

bekerja dengan beban yang berat, dan olahraga dengan resiko trauma

(Wahyuningsih, 2009).

78
Beberapa faktor resiko menurut Buku Ajar Gangguan

Muskuloskeletal yang disusun oleh Noor Helmi (2012) terdiri dari :

a. Peningkatan usia.

Bertambahnya usia seseorang dapat mempengaruhi

kelemahan pada sendi, menurunkan kelenturan sendi, dan

menurunkan funsi kondrosit sehingga terpicunya Osteoarthritis

(OA) (Maharani, 2007).

Rata-rata usia orang yang terkena Osteoarthritis adalah 40

tahun ke atas atau sering disebut dengan lansia. Sangat jarang

dijumpai penderita OA dengan usia dibawah 40 tahun. Usia rata-rata

penderita OA laki-laki sekitar 59 tahun, sedangkan pada wanita yaitu

65,3 tahun. Presentase pasien dengan osteoarthritis berdasarkan usia

di RSU dr. Soedarso menunjukan bahwa pada usia 43-48 tahun

(13,30%), usia 49- 54 tahun (16,06%), dan usia 55- 60 tahun

meningkat (27,98%) (Arissa, 2012).

b. Obesitas

Salah satu faktor resiko pemicu OA adalah beban yang

terlalu berat. Orang dengan obesitas adalah orang yang menumpu

berat badannya berlipat-lipat saat berjalan, bergerak atau bahkan saat

duduk, oleh karena itu Obesitas adalah faktor terkuat seseorang

dapat terkena OA. Penambahan berat badan pada orang obesitas

diperkirakan sebesar 4 kali lipat, misalnya penambahan 1 kilogram

akan meningkat menjadi 4 kilogram. Rumus Indeks Masa Tubuh

79
(IMT) adalah cara untuk mengetahui seseorang termasuk obesitas

atau tidak (Sugondo S, 2009).

c. Jenis kelamin

Prevalensi penderita OA terbanyak yaitu laki-laki yang

berusia sebelum 50 tahun, tetapi jika seseorang sudah menginjak

usia 50 tahun keatas OA akan banyak menyerang seseorang dengan

jenis kelamin wanita. OA lutut sering dijumpai pada wanita

dibandingkan dengan laki-laki (Nursarifah.R 2011). Semakin

berkurangnya hormon estrogen pada wanita dapat meningkatkan

resiko terjadinya OA pada wanita, umumnya terjadi pada usia 50-80

tahun (Maharani, 2007). Penelitian di Malang menemukan

prevalensi OA lutut pada pasien usia 60-70 tahun didapatkan

hasil laki-laki 10,7 % dan wanita 14,1% (Gede, Imbawan, & Putra,

2011).

d. Riwayat trauma.

OA lutut lebih sering terjadi pada sendi lutut dikarenakan

sendi lutut menjadi tumpuan berat badan seseorang. Resiko OA akan

meningkat jika penderita memiliki cedera pada lutut. Trauma lutut

yang akut termasuk robekan terhadap ligamentum krusiatum dan

meniskus merupakan faktor timbulnya osteoartritis lutut

(Wahyuningsih, 2009). Trauma lutut adalah faktor penting

timbulnya peningkatan resiko OA lutut, Studi Framingham

menemukan bahwa orang dengan riwayat trauma lutut memiliki

resiko 5-6 kali lipat lebih tinggi untuk menderita OA lutut. Hal

80
tersebut biasanya terjadi pada kelompok usia yang lebih muda

serta dapat menyebabkan kecacatan yang lama dan pengangguran

(Maharani, 2007).

e. Riwayat cedera sendi.

Letak terjadinya osteoarthritis ditentukan oleh cedera sendi

yang terjadi pada penderita. Benturan yang berat yang terjadi secara

berulang-ulang menentukan perkembangan dan beratnya

osteoarthritis yang diderita (Sudoyo AW, 2009).

f. Faktor genetik.

Adanya mutasi dalam gen prokolagen menjadi faktor

herediter timbulnya osteoarthritis. Unsur-unsur tulang rawan sendi

juga dapat berperan dalam timbulnya osteoarthritis seperti kolagen

dan proteoglikan (Wahyuningsih, 2009).

g. Kelainan pertumbuhan tulang

Munculnya osteoarthritis dapat berhubungan dengan

pertumbuhan tulang yang abnormal seperti penyakit perthes dan

dislokasi kongenitas (Sudoyo AW, 2009).

h. Pekerjaan dengan beban berat.

Pekrjaan seperti bertani, mencangkul atau penambang adalah

perkejaan yang rentan terkena OA lutut. Bekerja dengan berat beban

lebih dari 20 kg selama kurang lebih 10 tahun serta lokasi dan

kondisi tempat bekerja merupakan salah satu faktor yang dapat

menimbulkan OA lutut (Maharani, 2007). Berat badan yang

meningkat akan meningkatkan juga resiko terjadinya osteoarthritis,

81
dikarenakan lutut yang menerima terlalu banyak beban akan

merusakn kartilago serta terjadi kegagalan ligament (Amrullah,

2013).

Resiko terjadinya OA akan meningkat ketika seseorang yang

berumur 43 tahun mengangkat beban seberat kurang lebih 25 kg dan

akan meningkat tajam pada usia 50 tahun (Martin, 2013).

i. Tingginya kepadatan tulang

Tingginya kepadatan tulang harus diminimalisir untuk

mengurangi resiko terjadinya OA, sebab tulang yang padat dan keras

tak akan membantu berkurangnya benturan beban yang terjadi pada

tulang rawan (Sudoyo AW 2009).

j. Gangguan metabolik menyebabkan kegemukan.

Terdapat beberapa macam osteoarthritis, tidak hanya tentang

OA lutut. Gangguan metabolik juga berperan dalam timbulnya

penyakit sendi ini yang berkaitan dengan penyakit diabetes melitus,

jantung koroner, dan hipertensi (Wahyuningsih, 2009).

2.4.4 Tanda dan Gejala Klinis

Menurut Australian Physiotherapy Association (APA)

(2003) dalam Nur (2009) Gejala yang timbul pada penyakit

osteoarthritis dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya.

Keluhan yang dirasakan oleh penderitanya berlangsung sudah sejak

lama namun dengan tingkat perkembangan yang lambat. Berikut

adalah keluhan yang dapat dijumpai pada pasien OA:

82
a. Nyeri sendi

Keluhan ini merupakan keluhan utama pasien. Nyeri

biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang

dengan istirahat. Ada beberapa gerakan tertentu yang terkadang

dapat menimbulkan rasa nyeri yang melebihi gerakan lain.

Perubahan ini dapat ditemukan meski OA masih tergolong dini

(secara radiologis). Umumnya berambahnya berat beban dengan

semakin beratnya penyakit pada penderita OA, sendi penderita

hanya bisa digoyangkan dan menjadi kontraktur. Hambatan gerak

dapat bersifat konsentris (seluruh arah gerakan) maupun eksentris

(salah satu arah gerakan saja) (Soeroso, 2009). Kartilago tidak

mengandung serabut saraf dan kehilangan kartilago pada sendi

tidak akan menimbulkan nyeri. Sehingga dapat diasumsikan

bahwa nyeri yang timbul pada OA berasal dari luar kartilago

(Felson, 2008).

Pada penelitian dengan menggunakan MRI, didapat

bahwa sumber dari nyeri yang timbul diduga berasal dari

peradangan sendi (sinovitis), efusi sendi, dan edema sumsum

tulang ( Felson, 2008).

Proses terjadinya nyeri adalah ketika osteofit tumbuh,

inervasi neurovaskular menembus sampai ke bagian dasar tulang

hingga ke kartilago dan menuju ke osteofit yang sedang

berkembang. (Felson, 2008).Nyeri dapat timbul dari bagian di

luar sendi, termasuk bursae di dekat sendi. Sumber nyeri yang

83
umum di lutut adalah akibat dari anserine bursitis dan sindrom

iliotibial band (Felson, 2008).

b. Hambatan gerakan sendi

Seseorang akan merasakan nyeri yang teramat parah

sejalan dengan bertambahnya berat suatu beban yang ia topang,

sehingga penderita akan mengalami suatu gangguan atau

hambatan untuk menggerakan sendinya (Soeroso, 2009).

c. Kaku pagi

Penderita akan mengalami kekakuan saat sendinya tidak

digunakan untuk bergerak seperti duduk di kusi atau mobil dalam

waktu yang cukup lama, bahkan setelah bangun tidur di pagi hari

penderita bisa mengalami rasa kaku pada sendinya (Soeroso,

2009).

d. Krepitasi

Gejala ini umum ijumpai pada pasien OA lutut, yaitu rasa

gemeretak pada sendi yang sakit. Pada awalnya hanya berupa

perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien

atau dokter yang memeriksa. Seiring dengan perkembangan

penyakit, krepitasi dapat terdengar hingga jarak tertentu (Soeroso,

2009). Penderita pun juga akan mengalami semacam pembesaran

sendi (deformitas) yang mungkin disebabkan oleh peradangan

sendi, sendi yang terkena secara perlahan dapat membesar

(Soeroso, 2009).

e. Pembengkakan sendi yang asimetris

84
Pembengkakan sendi dapat timbul dikarenakan terjadi

efusi pada sendi yang biasanya tidak banyak (< 100 cc) atau

karena adanya osteofit, sehingga bentuk permukaan sendi

berubah (Soeroso, 2009).

f. Tanda-tanda peradangan

Kemerahan pada sendi merupakan tanda-tanda adanya

peradangan pada sendi (nyeri tekan, gangguang gerakan dan rasa

hangat yang merata) dapat dijumpai pada OA karena adanya

synovitis. Biasanya tanda-tanda ini tidak menonjol dan timbul

pada perkembangan penyakit yang lebih jauh. Gejala ini sering

dijumpai pada OA lutut (Soeroso, 2009).

g. Perubahan gaya berjalan

Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien

dan merupakan ancaman yang besar untuk kemandirian pasien

OA, penderita akan kesulitan bergerak bahkan mungkin hanya

bisa merangkak untuk penderita OA yang sudah parah, terlebih

pada pasien lanjut usia. Hal ini akan menurunkan kualitas hidup

penderita. Kondisi seperti ini selalu berhubungan dengan nyeri

karena menjadi tumpuan berat badan terutama pada OA lutut

(Soeroso, 2009).

2.4.5 Penatalaksaan Osteoarthritis

Penatalaksanaan Osteoarthritis dibagi menjadi 2 macam

yaitu dengan cara Farmakologis dan Non Farmakologis. Penanganan

secara farmakologis yaitu dengan memberikan analgetik lalu

85
dilanjutkan dengan fisioterapi, sedangkan dengan cara yang kedua

yaitu dengan cara non farmakologis berupa edukasi mengenai

penyakitnya secara lengkap, olahraga serta terapi fisik. Tujuan dari

penatalaksaan pada pasien osteoarthritis ini adalah untuk

mengurangi gejala dan mencegah terjadinya kontraktur atau atrofi

otot. (Imayati, 2012).

Penanganan osteoatritis berdasarkan atas distribusinya (sendi

mana yang terkena) dan berat ringannya sendi yang terkena.

Penanganannya terdiri dari 3 hal :

1) Terapi non-farmakologis:

a. Senam rematik (senam yang berfokus untuk mempertahankan

lingkup gerak sendi secara maksimal)

b. Edukasi (Penjelasan/penerangan tentang penyakit kepada

pasien dan keluarga)

c. Terapi fisik dan rehabilitasi (manajemen rehabilitasi fisik

dengan menggunakan berbagai modalitas fisik)

d. Penurunan berat badan (dilakukan pada pasien OA simtomatik

dan pasien dengan IMT> 25kg/m2, dengan target IMT 18,5 –

25kg/m2)

2) Terapi farmakologis :

a. Analgesik oral non-opiat

b. Analgesik topikal

c. NSAID

d. Chondroprotective

86
e. Steroid intra-artikuler

3) Terapi bedah :

a. Malaligment, deformitas lutut Valgus-Varus dsb

b. Arthroscopic debridement dan joint lavage

c. Osteotomi

d. Artroplasti sendi total

Menurut Hochberg M.,et al 2012 terapi yang lebih

direkomendasikan untuk OA lutut adalah terapi non farmakologis

yang bersifat terapi fisik seperti aerobik, latihan ketahanan, dan

intervensi psikososial. Terapi fisik sangat berguna untuk pasien agar

dapat beraktivitas seperti biasanya. Pasien juga akan dapat melatih

dirinya untuk melindungi sendinya serta dapat mengurangi resiko

fisik. Terapi fisik pada penderita osteoartritis dapat berupa

fisioterapi ataupun olahraga ringan seperti berjalan santai, bersepeda

dan berenang. Terapi fisik ini berusaha untuk tidak memberikan

beban yang terlalu berat pada penderita (Nur, 2009).

87
2.5 Kerangka Konsep

Faktor yang mempengaruhi :


Lansia penderita
1. Peningkatan usia
Osteoarthritis
2. Obesitas
3. Jenis kelamin
4. Riwayat trauma
Nyeri
5. Riwayat cedera sendi
6. Faktor genetik Terjadi peningkatan otot
disekitar sendi yang
7. Kelainan pertumbuhan tulang
mempercepat aliran darah
8. Pekerjaan dengan beban berat Senam Rematik dan metabolisme ,
sehingga metabolisme
9. Gangguan metabolik
terbawa aliran darah yang
menyebabkan nyeri
88
Faktor yang mempengaruhi : Penurunan Skala
Nyeri
1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Kebudayaan
1. Tidak nyeri
4. perhatian
2. Nyeri ringan
5. Anxietas
3. Nyeri sedang
6. Kelemahan
4. Nyeri Berat
7. Pengalaman sebelumnya
5. Nyeri tidak
8. Gaya koping
tertahankan
9. Dukungan keluarga dan sosial
10. Makna nyeri
Keterangan :

: Tidak Diteliti

: Diteliti

: Berperngaruh

Tabel 2.1 Kerangka konsep Efektivitas senam rematik terhadap penurunan

skala nyeri pada lansia penderita osteoarthritis.

2.6 Penjelasan Kerangka Konsep

Osteoarthritis menyebabkan penurunan kualitas hidup pada lansia

penderita. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi seperti peningkatan usia,

obestitas, jenis kelamin, riwayat trauma, riwayat cedera sendi, faktor genetik,

kelainan pertumbuhan tulang, pekerjaan dengan beban berat, gangguan

metabolik. Nyeri yang dirasakan oleh penderita menyebabkan penderita

kesulitan untuk bergerak. Intensitas nyeri dapat diukur secara subjektif dan

objektif. Melakukan senam rematik adalah salah satu cara untuk mengurangi

skala nyeri. Senam rematik menjadi variabel bebas yang dipercaya dapat

89
mengurangi skala nyeri pada lansia penderita osteoarthritis lutut. Dengan

gerakan yang berulang pada senam rematik ini akan terjadi peningkatan kerja

otot-otot sekitar sendi sehingga mempercepat aliran darah yang mengakibatkan

metabolisme juga ikut meningkat sehingga sisa metabolisme akan ikut terbawa

aliran darah sehingga nyeri berkurang. Peneliti akan membandingkan sebelum

dan sesudah senam ini dilakukan, terjadi penurunan pada skala nyeri penderita

atau tidak.

2.7 Hipotesis Penelitian


Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau

pertanyaan penelitian, suatu pernyataan asumsi tentang hubungan dua

variabel atau lebih yang di harapkan bisa menjawab suatu pertanyaan dalam

penelitian (Nursalam, 2008).

Ho ditolak, ada hubungan antara senam rematik dengan penurunan

skala nyeri pada lansia penderita osteoarthritis.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain pra eksperimental dengan metode

one group pre-test and post test, yaitu dengan dilakukannya 2 kali pengukuran

sebelum dan sesudah intervensi. Observasi dilakukan terlebih dahulu guna

untuk pengumpulan sampel sebelum diberi perlakuan, kemudian setelah

diberikan perlakuan sampel tersebut diobervasi kembali (Hidayat, 2008).

90
Subjek Pre test Treatment Post test

Z Y1 X Y2

Keterangan :

Z : Subjek (lansia penderita OA) diberikan senam rematik

Y1 : Pengukuran sebelum dilakukan senam rematik

Y2 : Pengukuran sesudah dilakukan senam rematik

X : Senam rematik

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di wilayah kerja puskesmas desa

Tlogorejo Kecematan Pagak Kabupaten Malang pada bulan April 2018.

3.3 Kerangka Kerja

Populasi : 52 lansia penderita Osteoarthritis Lutut di


Puskesmas Desa Tlogorejo Kec. Pagak Kab. Malang

Sampling : Teknik sampling yang digunakan secara non


probability sampling dengan teknik purposive
samplingatau judgement

Sampel : sesuai dengan kriteria inklusi sebanyak 46


responden

PRE TEST
Pengukuran skala nyeri sebelum
91
dilakukan senam rematik
Tabel 3.1 Kerangka Kerja Efektivitas Senam Rematik Terhadap Penurunan

Skala Nyeri Pada Lansia Penderita Osteoarthritis

3.4 Populasi, Sampel dan Sampling

3.4.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang akan diteliti,

populasi memiliki kualitas dan karakteristik yang sudah ditentukan oleh

peneliti (Setiadi, 2013). Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah

lansia penderita osteoarthritis lutut berdasarkan studi pendahuluan yang

berjumlah 52 orang yang dilakukan di Puskesmas Desa Tlogorejo Kec.

Pagak Kab. Malang.

92
3.4.2 Sampel

Sampel penelitian adalah sebagian dari keseluruhan objek yang

diteliti dan dianggap mewakili populasi (Setiadi, 2013). Pada penelitian

ini peneliti mengambil sampel sebanyak (46) dari lansia penderita OA

yang berada di Puskesmas Desa Tlogorejo Pagak. Sampel penelitian

tersebut dengan memperhatikan kriteria inklusi dan eksklusi.

a. Kriteria

Kriteria inklusi merupakan subjek penelitian dari suatu populasi target

dan terjangkau yang memiliki karakteristik umum yang akan diteliti

(Setiadi, 2013).

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :

1) Bersedia menjadi responden dan menandatangani surat persetujuan

informed consent).

2) Pasien yang memiliki ciri ciri osteoatritis.

3) Pasien yang aktif melakukan aktivitas fisik.

4) Pasien yang tidak mengkonsumsi obat-obatan anti nyeri

osteoatritis dalam seminggu terakhir.

5) Pasien berusia 60-74 tahun.

b. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan

subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan studi karena berbagai

sebab (Setiadi, 2013).

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah :

1) Responden yang mengundurkan diri di tengah-tengah penelitian

93
2) Responden menolak tindakan

3) Pasien osteoatritis yang memiliki komplikasi penyakit.

3.4.3 Sampling

Dalam penelitian ini, teknik sampling yang digunakan secara non

probability sampling dengan teknik purposive sampling atau judgement

sampling. Yaitu cara pengambilan sampel dilakukan dengan memilih

sampel yang memenuhi kriteria penelitian sampai kurung waktu tertentu

sehingga jumlah sampel terpenuhi (Hidayat, 2008).

Pada penelitian ini menggunakan rumus sebagai berikut (Susila &

Suyanto, 2015):

𝑁
𝑛=
1 + 𝑁(𝐷2 )

52
𝑛=
1 + 52(0,052 )

𝑛 = 46,017

Keterangan : n = Besar Sample

N = Besar Populasi

D = Nilai kritis atau batas ketelitian yang diinginkan (𝛼 = 0,05)

3.5 Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah karakteristik yang diamati yang mempunyai

variasi nilai dan merupakan operasionalisasi dari konsep agar bisa diteliti

secara empiris dan ditentukan tingkatannya (Setiadi, 2013)

3.5.1 Variabel Bebas (variable independent)

94
Variabel bebas yaitu variabel yang menjadi sebab suatu

perubahan yang mampu mempengaruhi penderita (Setiadi, 2013).

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah senam rematik.

3.5.2 Variabel Tergantung (variabel dependent)

Variabel tergantung adalah variabel yang dipengaruhi oleh

variabel bebas, sering disebut variabel akibat atau variabel tergantung

(Setiadi, 2013). Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah tingkat

nyeri osteoarthritis lutut.

95
3.6 Definisi Operasional

Tabel 3.2 Definisi Operasional Efektivitas Senam Rematik Terhadap Penurunan Nyeri pada Lansia Penderita Ostearthritis
Lutut.

No Variabel Definisi Instrumen Skala Skoring


1. Independent: Tindakan pemberian senam rematik Lembar SOP senam - -
Senam dengan gerakan-gerakan yang rematik
Rematik efektif, efisien dan logis selama 10
menit atau lebih pada penderita OA
di puskesmas desa Tlogorejo
2. Dependent: Rasa tidak nyaman yang dirasakan 1. Skala Penilaian Nilai numerik:
Tingkat oleh pasien dan diukur 10 menit Numerik (NRS) 1. Skala 0 : Tidak nyeri
nyeri sebelum dilakukan senam rematik 2. Lembar observasi 2. Skala 1-3: Nyeri ringan
dan 10 menit sesudah dilakukan 3. Skala 4-6: Nyeri sedang
Ratio
senam rematik 4. Skala 7-9: Nyeri berat
5. Skala 10 : Nyeri berat tak
terkontrol (Afroh, F.,
Mohamad Judha,
Sudarti, 2012)

96
3.7 Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen pengumpulan data adalah alat yang digunakan oleh peneliti

dalam pengumpulan data yang bertujuan mempermudah saat pengolahan data

(Arikunto, 2006).

Menurut Nursalam (2008), instrument yang digunakan untuk

pengumpulan data adalah sebagai berikut:

a. Wawancara

Wawancara langsung yang akan dilakukan oleh peneliti kepada

responden penlitian, wawancara berisi tentang identitas diri responden, yang

isinya menekankan pada informasi karakteristik yaitu; nama, usia, jenis

kelamin dan lain-lain.

b. Pengukuran Observasi

Pengukuran observasi dilakukan melalui lembar observasi.

Penurunan rasa nyeri pada responden osteoarthritis akan diobservasi

sebeleum dan sesudah intervensi serta sebelum dan sesudah tanpa

intervensi.

c. Skala numerik

Skala yang paling efektif digunakan untuk mengukur intensitas nyeri

sebelum dan sesudah intervensi pada responden adalah dengan

menggunakan skala penilaian 0-10. Dimana 0 menunjukkan bahwa tidak

ada nyeri, sedangkan 10 menunjukkan adanya nyeri yang hebat yang tak

tertahankan.

97
3.8 Metode Pengumpulan Data

a. Tahap Persiapan

1) Peneliti membuat proposal penelitian

2) Mengajukan permohonan ijin penelitian untuk diterbitkan surat

pengambilan data pada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kec.Kepanjen

Kab.Malang. Kemudian menyerahkan surat yang telah didisposisi

kepada Kepala Puskesmas Desa Tlogorejo Pagak.

b. Tahap Pelaksanaan

1) Peneliti menentukan responden yang sesuai dengan kriteria inklusi dan

eksklusi dan membagi dalam kelompok intervensi dan kelompok kontrol

2) Peneliti memberikan penjelasan (informed concent) kepada responden

tentang tujuan, manfaat dan kerugian dalam penelitian ini. Kemudian

meminta tanda tangan sebagai tanda persetujuan dan selanjutnya

mengkaji identitas responden sesuai yang dibutuhkan peneliti.

3) Melakukan observasi terhadap skala nyeri pada responden sebelum

dilakukan terapi senam rematik.

4) Melakukan tindakan senam rematik terhadap responden sesuai dengan

Standar Operasional Prosedur.

5) Melakukan observasi terhadap skala nyeri pada responden setelah

dilakukan senam rematik

6) Mencatat hasil dari observasi dan melakukan evaluasi kepada responden.

98
c. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan secara manual yaitu dengan mengisi

lembar observasi yang disediakan. Pengolahan data tersebut kemudian

diolah menggunakan program SPSS dengan tahap-tahap sebagai berikut :

1) Editing

Kegiatan memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan

kepada peneliti. Dalam penelitian ini memeriksa kembali pada lembar

wawancara dan lembar observasi.

2) Coding

Mengklasifikasikan jawaban dari responden ke dalam bentuk angka/

bilangan. Dalam penelitian ini responden pertama akan diberi kode 1 dan

responden kedua akan diberi kode 2.

3) Processing

Proses memasukkan data yang sudah di entry dapat dianalisis. Data

diolah dalam SPSS 16.0 merupakan data rerata tingkat nyeri sebelum

dilakukan senam rematik (pre test) dan rerata tingkat nyeri sesudah

dilakukan senam rematik (post test).

4) Cleaning

Pengecekan kembali data yang sudah di entry apakah ada kesalahan

atau tidak.

99
3.9 Analisa Data

3.9.1 Analisa Univariat

Analisis univariat adalah analisa statistik deskriptif dari variable

penelitian (Nursalam, 2017).

Dalam penelitian ini, peneliti mendeskripsikan data tingkat nyeri

sebelum dan sesudah dilakukan senam rematik untuk melihat apakah ada

penurunan skala nyeri pada penderita atau tidak ada efek dari senam tersebut.

3.9.2 Analisa Bivariat

Analisa bivariate adalah analisa yang dilakukan pada dua variabel yang

diduga ada korelasi (Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini menggunakan uji

parametrik karena data berbentuk numerik dengan skala data ratio. Pada

penelitian ini akan dilakukan uji normalitas skor tingkat nyeri sebelum dan

sesudah dilakukan intervensi untuk mengetahui apakah data tersebut

berdistribusi normal atau tidak dengan menggunakan Shapiro Wilk dengan

derajat kepercayaan 95% α=0,05. Jika p≥0,05 maka data berdistribusi normal

dan jika p ≤0,05 maka data tidak berditribusi normal.

Apabila hasil uji Shapiro Wilk menunjukkan distribusi data normal

maka akan digunakan uji paired t-test dan independent test, namun jika hasil

uji Shapiro Wilk menunjukkan data tidak berdistribusi normal maka akan

digunakan uji Wilcoxon.

Uji statistik akan menghasilkan ρ value. Jika ρ value ≤0,05 H0 ditolak

dan H1 diterima maka kesimpulannya ada perbedaan yang significan. Namun

jika ρ value >0,05 H0 diterima dan H1 ditolak maka kesimpulannya tidak ada

perbedaan yang signifikan.

100
3.10 Penyajian Data

Data statistik perlu disajikan dalam bentuk yang mudah dibaca dan

dimengerti. Secara garis besar ada 3 cara penyajian data yang sering dipakai

yaitu: tulisan, tabel dan diagram (Setiadi,2013).

3.11 Etika Penelitian

Menurut (Hidayat, 2007) peneliti harus mempunyai etika penelitian .

Dikarenakan subjek dari penelitian langsung berhubungan dengan manusia.

Oleh karena itu etika penelitian adalah hal yang penting dalam penelitian.

3.11.1 Inform Consent

Inform Consent adalah lembar persetujuan yang diberikan

peneliti kepada responden sebelum penelitian. Tujuannya adalah agar

subjek mengenal maksud dan tujuan serta mengetahui dampaknya.

Ketika subjek bersedia maka subjek harus menanda tangani lembar

persetujuan. Apabila subjek tidak bersedia, peneliti harus

menghormati. Informasi yang harus ada pada inform consent antara

lain: partisipasi responden, tujuan tindakan, jenis data yang

dibutuhkan, komitmen, prosedur pelaksanaan, potensial masalah yang

akan terjadi, manfaat, kerahasiaan, informasi yang mudah dihubungi,

dan lain-lain.

3.11.2 Anonimity (Tanpa Nama)

Privasi responden harus dijaga, dengan hanya mencantumkan

kode pada lembar pengumpulan data, tidak disertakan nama

responden.

101
3.11.3 Confeidentiality (Kerahasiaan)

Peneliti bertanggungjawab penuh atas semua informasi yang

telah dikumpulkan oleh responden, hanya kelompok tertentu yang

akan dilaporkan pada hasil riset.

3.11.4 Prinsip keadilan (right to justice)

Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right in fair

treatment). Peneliti memperlakukan semua responden secara adil

perawatan yang diberikan pada responden. Meskipun intervensi

senam rematik diberikan pada kelompok perlakuan dan kelompok

kontrol. Peneliti berlaku adil terhadap pemberian intervensi tersebut.

3.11.5 Prinsip Etik

Prinsip etik yang digunakan pada penelitian ini adalah

beneficence yaitu responden dijelaskan oleh peneliti tentang manfaat

dan tujuan dari Senam Rematik terhadap penurunan skala nyeri pada

subjek penelitian sehingga dapat membuat klien lebih nyaman. Dalam

peneltian ini juga dilakukan prinsip autonomy dimana responden bisa

memutuskan sendiri hal apa saja yang bersedia dan tidak bersedia

dilakukan oleh peneliti.

102

Вам также может понравиться