Вы находитесь на странице: 1из 13

Kerang Sungai

Jumat, 05 September 2014

Penelitian Kerang Pokea di Sungai Lasolo, sulawesi Tenggara

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sulawesi Tenggara mempunyai potensi keanekaragaman hayati peraira yang cukup
tinggi. Salah satu diantaranya adalah bivalvia air tawar. Bivalvia ini memiliki arti penting pada
ekologi dan ekonomi. Bivalvia dapat menjaga keseimbangan ekosistem di lingkungannya,
yaitu : (1) sebagai konsumen yang memfilter organisme-organisme berukuran lebih kecil; (2)
komponen tersuspensi dalam air (filter feeder); dan (3) sebagai bioindikator. Dari sisi
ekonomi, organisme ini merupakan sumber protein hewani yang murah bagi masyarakat.
Selain itu cangkangnya dapat dibuat sebagai perhiasan rumah tangga dan bahan bangunan
(Bahtiar 2005).
Secara umum, bivalvia dapat kita jumpai hampir di seluruh wilayah perairan
Indonesia yang sebagian besar hidup dengan cara membenamkan diri dalam pasir, lumpur
dan karang batu bahkan ada yang melekatkan diri pada substratnya. Salah satu daerah yang
mempunyai potensi sumber daya hayati khususnya bivalvia terdapat di perairan Sungai
Lasolo. Sungai dengan tepian sedikit landai sampai curam ini banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari dalam berbagai peruntukan diantaranya adalah
sebagai sarana transportasi untuk mengangkut kendaraan bermotor kemudian
diseberangkan ke tempat lain, sumber air minum, mandi-cuci-kakus (MCK), tempat produksi
bahan makan tradisional (sagu) bahkan sebagai daerah penangkapan/pengambilan bivalvia.
Bivalvia yang hidup diperairan ini berasal dari famili Corbicula dengan jenis Batissa violacea
var celebensis von Marten, 1897. Masyarakat setempat mengenalnya dengan sebutan
“pokea”. Penangkapan kerang pokea yang dilakukan masyarakat setempat dijadikan sebagai
sumber mata pencaharian yang hasilnya akan dijual ke tempat penampung dan pasar lokal
di sekitar perairan Sungai Lasolo.
Penangkapan kerang pokea di Sungai Lasolo menggunakan dua cara yaitu (1) dengan
alat tangkap terbuat dari keranjang besi yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat
disebut “paniki” (2) dengan cara menyelam dan menggunakan compresor. Jumlah
masyarakat yang diketahui mengambil kerang setiap harinya adalah kurang lebih 10 nelayan.
Keberadaan kerang air tawar saat ini terus mengalami penurunan. Grabarkiewicz dan
Wayne (2008), mengatakan bahwa saat ini 37 spesies kerang air tawar diduga mengalami
kepunahan. Hal tersebut dijelaskan Strayer et al., (2004) dalam Grabarkiewicz dan Wayne
(2008) bahwa penurunan tajam jumlah spesies kerang air tawar disebabkan oleh kerusakan
habitat, penurunan kualitas air, introduksi spesies eksotis, perubahan hidrologi dan
pengaruh pengambilan yang dilakukan oleh masyarakat.
Pada sisi lain, informasi yang berhubungan dengan kepadatan dan distribusi kerang
pokea di perairan Sulawesi Tenggara masih terbatas jumlah dan aspeknya, yaitu menyangkut
kepadatan dan distribusi kerang pokea (B. violacea celebensis) di Sungai Pohara Desa
Andadowi Kecamatan Bondoala (Renel, 2001), dan di perairan Sungai Pohara Desa Laosu
Kecamatan Bondoala (Saharuddin, 2003), distribusi dan kelimpahan kerang pokea (B.
violacea celebensis) pada bagian Sungai Pohara di Desa Kapoiala Kecamatan Bondoala
Kabupaten Konawe Balda (2007), studi kebiasaan makanan kerang pokea (B. violacea
celebensis) di Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe (Nurfatmah, 2006),
karakteristik kualitas air terhadap kepadatan kerang pokea (B. violacea celebensis) di daerah
Sungai Pohara Desa Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe (Riama, 2006), studi
pertumbuhan dan tingkat eksploitasi populasi kerang pokea (B. violacea celebensis) di
Sungai Pohara (Hasmawaty, 2007), kajian populasi pokea (B. violacea celebensis) di Sungai
Pohara Kendari, (Nafsal, 2007) distribusi dan kepadatan kerang pokea (B. violacea
celebensis) di Sungai Pohara. Penelitian tersebut hanya dilakukan di Sungai Pohara saja,
sedangkan organisme ini masih tersebar di beberapa sungai dengan karakteristik ekologi
yang diduga berbeda. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang distribusi dan
kepadatan kerang pokea (B. violacea celebensis) di Sungai Lasolo.
B. Rumusan Masalah
Kepadatan kerang pokea (B. violacea celebensis) saat ini diduga telah mengalami
penurunan dan distribusinya tidak beraturan. Hal ini diakibatkan oleh aktivitas pengambilan
kerang pokea secara terus menerus yang akan mengakibatkan kerusakan habitat hidupnya,
berupa beberapa bagian perairan yang mengalami perubahan tekstur substrat sehingga
mempengaruhi kepadatan dan distribusi kerang pokea. Oleh sebab itu, perlu dilakukan
penelitian tentang distribusi dan kepadatan kerang pokea (B. violacea celebensis) di Sungai
Lasolo Konawe Utara

C. Tujuan dan Kegunaan


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola distribusi dan kepadatan kerang
pokea (B. violacea celebensis) di perairan Sungai Lasolo Konawe Utara Sulawesi Tenggara.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi
masyarakat dan intansi terkait dalam hal pengelolaan pokea (B. violacea celebensis) di
Sungai Lasolo serta sebagai acuan bagi penelitian selanjutnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Klasifikasi dan Morfologi (B. violacea celebensis)
Klasifikasi kerang B.violacea celebensis menurut (James dan Covich, 1991) adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Sub kingdom : Avertebrata
Phylum : Mollusca
Class : Bivalvia
Family : Corbiculidae
Genus : Batissa
Species : Batissa violacea var celebensis von Martens, 1897

Secara morfologi hewan kerang pokea jantan sukar dibedakan dengan kerang pokea
betina, karena bentuknya yang sama bila dilihat dari penampakannya. Alat kelamin hewan
ini terbungkus oleh mantel dan cangkang yang sangat kuat dan keras (Nyuheri, 1993). Jenis
kerang pokea yang ditemukan mempunyai sedikit perbedaan, antara lain: ukuran cangkang,
bentuk dan warna cangkang, isi dalam (viceral mass) dan bentuk umbonya, sebagaimana
disajikan pada (gambar 1) berikut.

Keterangan :
A : Lebar cangkang
B : Panjang cangkang
C : Tebal cangkang

B
C

Gambar 1. Morfologi kerang air tawar B. violacea celebensis, Marten 1897


Sumber : Bahtiar, 2005
Selanjutnya Whitten dkk. (1987), menyatakan bahwa Genus Batissa ditemukan di
perairan tawar Sulawesi. Organisme ini ditemukan pada perairan tertentu dengan kondisi
ekologi yang sesuai. Kerang air tawar mempunyai cangkang yang berfungsi sebagai
pelindung dari hewan pemangsa dan untuk mencegah tubuhnya agar tidak kehilangan air
terlalu banyak. Morfologi organisme ini terdiri dari dua keping yang ukurannya relatif sama
dan bertumpu pada satu engsel yang terletak di sebelah lateral (Jasin, 1992).
Sebagai hewan yang hidupnya selalu membenam diri di dalam pasir atau lumpur,
sumber makanan kerang pokea adalah berasal dari organisme kecil dan endapan-endapan
zat hara yang terdapat pada bagian pinggir sungai atau pada bagian dasar sungai tersebut.
Jenis hewan juga dipengaruhi oleh keadaan arus aliran sungai tersebut, karena arus
mempunyai peranan penting dalam membawa substrat berupa makanan yang diperlukan
oleh kerang tersebut (Renel, 2001).
B. Ekologi dan Pergerakan Kerang
Menurut Nontji (1993), diperkirakan terdapat sekitar 1.000 jenis kerang yang hidup di
Perairan Indonesia. Berbagai jenis kerang tersebut hidup dengan cara membenamkan diri
dalam pasir dan lumpur bahkan dalam karang batu. Ada yang melekatkan diri di dalam
substratnya dengan menggunakan organ yang bernama byssus, berupa benang-benang yang
kuat. Selain itu, terdapat kerang yang dapat merangkak dalam substratnya serta berenang
dengan menyemburkan diri, karena mengepakkan kedua keping cangkangnya kuat-kuat.
Kerang banyak ditemukan hidup pada dasar perairan misalnya pada danau atau
sungai yang tidak terlalu dalam. Secara umum, hewan ini hidup di dalam pasir atau lumpur
dan aktif pada malam hari, sedangkan pada siang hari membenamkan diri dibagian yang
lebih dalam (Sugiri, 1985).
Cangkang bagian luar berwarna hitam, semakin tua warna hitamnya semakin
terdesak ke tepian. Ada garis-garis lengkung mengikuti bentuk pinggiran cangkangnya. Garis-
garis lengkung ini disebut garis pertumbuhan atau garis umur, sedangkan cangkang luarnya
berwarna putih (Asikin, 1981).
C. Beberapa Aspek Biologi Kerang Pokea
Kerang air tawar umumnya berkelamin dua (dioceous), tetapi terdapat juga yang satu
atau individu yang mempunyai alat kelamin ganda (hermaprodit) (Jasin,1992). Selanjutnya
dinyatakan bahwa alat reproduksi terletak di daerah dekat kaki. Jumlah dan ukuran kerang
pokea bervariasi untuk setiap jenisnya. Jenis kerang ini selalu ditemukan dalam keadaan
bercampur mulai yang berukuran kecil sampai berukuran cukup besar. Umur kerang dapat
ditentukan dengan mengamati garis-garis pertumbuhannya yang terlihat pada bagian luar
cangkang.
Sistem pencernaan terdiri dari alat-alat penyaring makanan yang berupa insang yang
demikian halus dan tak bergigi, diartikan bahwa kerang hanya menyukai jenis makanan yang
lembut. Menurut para ahli, makanan kerang terdiri dari jasad-jasad renik terutama plankton
hewani, lumpur dan lain-lain dalam jumlah yang sangat sedikit. Karena itu kerang dijumpai
di perairan sekitar muara sungai (Nykolsky, 1963).
Makanan kerang air tawar diambil dengan jalan menggerak-gerakkan cilia yang
terdapat pada lapisan kulit mantel. Setelah berada di dalam rongga mantel arus air kian
berkurang, maka benda-benda berat atau organisme senantiasa terhenti, sehingga tidak
dapat melekat pada insang. Dengan gerakan insang, bahan-bahan makanan pilihan tadi
masuk melalui celah-celah filamen insang, setelah disaring oleh insang, mengalir melalui
celah-celah tepian insang dan masuk ke dalam rongga mulut, esophagus (kerongkongan), di
dalam lambung, bahan makanan dicerna (Asikin, 1981).
Menurut Nontji (1993), makanan kerang terdiri atas benda-benda dan organisme
yang terbawa masuk bersama air ke dalam mulut melalui ventral siphon. Mulut terletak
diantara dua pasang lembaran yang disebut pulpus labialis. Pulpus labialis mengiring
makanan ke dalam mulut, dan makanan dicerna dalam lambung, selanjutnya akan diserap
oleh usus dan akhirnya ke anus.
D. Penyebaran Batissa sp.
Kerang (B. violacea) adalah moluska air tawar yang daerah penyebarannya meliputi
bagian barat pasifik (Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Australia barat daya) dan berbagai
daerah lainnya di Pasifik (Morton, 1989). Menurut Sastrapradja (1977) bahwa B. violacea
lamarck, tersebar di Asia Tenggara dan Australia Utara. Secara geografik, di Indonesia
tersebar di Sumatra, Jawa (Sastraprdja, 1977), Papua Barat (Djajasasmita, 1977) dan
Sulawesi. Selanjutnya (Aldridge dan Mc Mahon, 1978) menyatakan bahwa Corbicula ini
merupakan hewan asli perairan Asia yang kemudian diintroduksi oleh imigran pekerja Cina
ke Amerika Serikat, penyebarannya belum diketahui secara pasti karena belum adanya
informasi tentang organisme ini. Namun berdasarkan informasi yang dihimpun LIPI (2005),
bahwa organisme ini merupakan bivalvia yang diduga khas Sulawesi terkhusus Sulawesi
Tenggara. Penyebaran organisme ini hanya terdapat di Sungai Pohara yang masih termasuk
dalam jazirah Sulawesi.
Whitten, dkk, (1987) menjelaskan bahwa perairan tawar Sulawesi dihuni oleh
sejumlah besar hewan moluska yang tersebar di beberapa sungai dan danau dan
kelimpahan kerang air tawar di Sulawesi telah dapat diteliti sejak tahun 1976.
Selanjutnya Darma (1988) menyatakan bahwa kelimpahan moluska dikelompokkan
ke dalam lima golongan yaitu:
: dapat ditemukan dalam jumlah yang sangat besar dan bila disukai orang dan dagingnya
dapat dikonsumsi.
: mudah dijumpai dan jumlahnya masih cukup banyak
Kadang : jumlah yang sangat terbatas
Tidak umum : hanya sekali-sekali dapat ditemukan
Jarang : sulit untuk ditemukan
Rudi (1999), menyatakan bahwa pola distribusi mengelompok menunjukkan bahwa
hewan tersebut hanya dapat hidup pada habitat tertentu saja dengan kondisi lingkungan
yang dapat menunjang kelangsungan hidupnya.
James dan Covich (1991), menyatakan kehidupan bivalvia dan moluska lainnya
dibatasi oleh beberapa faktor yakni; makanan, bahan organik terlarut, substrat, arus,
kedalaman dan tekanan.
Ukuran partikel sedimen berperan penting dalam menentukkan jenis hewan benthos
(Levinton, 1982). Partikel sedimen mempunyai ukuran yang bervariasi, mulai dari yang kasar
sampai halus. Umumnya, famili Corbicula dapat ditemukan pada substrat yang menyediakan
oksigen yang baik seperti pada pasir kasar atau campuran pasir dan kerikil. Organisme ini
ditemukan dengan jumlah yang kecil atau tidak sama sekali dihabitat dengan sedikit pasir,
berlumpur atau sedimen lumpur dengan bahan organik yang tinggi dan oksigen yang rendah
(Mc Mahon, 1979). Habitat yang disenangi untuk dapat membebaskan juvenil muda dari
populasi Corbicula fluminea adalah substrat pasir atau kasar ( Bahtiar 2005). Kerang B.
violacea lamarck ditemukan pada permukaan atau membenamkan diri didalam substrat
(Sastrapradja; Djajasasmita, 1977).
Arus perairan berperan dalam penyebaran spat kerang, suplai makanan dan proses
penempelan larva. Kerang B. violacea lamarck ditemukan pada kondisi arus yang lemah dan
tidak jauh dari muara (Sastrapradja, 1977) dengan kecepatan arus berkisar 5,55-12,80
cm/dtk (Jabang, 2000).
Kedalaman perairan akan mempengaruhi distribusi bivalvia air tawar. Vakily (1989)
menyatakan bahwa dengan bertambahnya kedalaman maka ketersediaan makanan menjadi
faktor pembatas bagi fitoplankton yang menjadi kerang muda (spat) sehingga kerang banyak
tumbuh dekat permukaan air. Pada umumnya, kerang air tawar ditemukan pada kedalaman
kurang dari 10 m dan nampaknya paling melimpah pada daerah yang lebih dangkal (Russel
dan Hunter, 1983). Kerang B. violacea kai yang ditemukan di Fiji, Sungai Ba umumnya berada
pada kedalaman yang rendah yaitu 0,2-1,4 m (Ledue et al., 1996). Namun dapat pula
ditemukan hidup pada kedalaman 5 m atau lebih yang ditemukan di daerah Sumatera
(Sastrapradja, 1977).
Ketersediaan makanan dilingkungan akan sangat menentukan pertumbuhan bivalvia.
Makanan bivalvia terdiri dari partikel organik dan mikroorganisme dalam air. Secara umum
berdasarkan kebiasaan makan bivalvia digolongkan sebagai deposit feeder dan suspension
feeder. Famili Corbicula termasuk Batissa violacea mengambil makanan dengan cara
memfilter sehingga digolongkan kedalam yang filter feeder (Hunter dan Russel, 1983).
E. Parameter Lingkungan
Parameter yang diduga cukup berpengaruh terhadap pertumbuhan kerang pokea adalah
suhu, pH, kecerahan, kedalaman, kecepatan arus, pH substrat, oksigen terlarut dan substrat.
1. Suhu
Menurut Rangan (1996), suhu mempunyai pengaruh yang besar terhadap ekosistem
sungai. Keberadaan jenis dan keberadaan seluruh kehidupan komunitas pantai cenderung
bervariasi dengan berubahnya suhu. Suhu dapat merupakan faktor pembatas bagi beberapa
fungsi biologis hewan air seperti migrasi, pemijahan, efisiensi makanan, kecepatan renang,
perkembangan embrio dan kecepatan metabolisme. Pengaruh suhu ini dapat terjadi secara
langsung maupun tidak langsung. Kehabisan air ini terjadi karena meningkatnya suhu di
perairan tersebut (Nybakken, 1992).
Asikin (1981), menyatakan bahwa kenaikan suhu secara tiba-tiba akan mempengaruhi
sifat fisika dan kimia perairan antara lain: densitas, pH dan kandungan organisme. Kondisi
perairan yang baik bagi kehidupan kerang yaitu suhu berkisar antara 27-35°C akan tetapi
dapat lebih tinggi dengan berkurangnya kedalaman air.
2. Nilai pH Air
Nilai pH yang merupakan salah satu penentu nilai kehidupan biologi di dalam air
dapat berjalan baik atau tidak, walaupun kualitas perairan juga bergantung pada faktor lain.
Hasil pengukuran pH air pada setiap stasiun penelitian memiliki nilai rata-rata yang seragam
yaitu 6-7. Kondisi pH yang demikian akan mendorong proses penguraian bahan
makanan berjalan baik sehingga akan memenuhi kebutuhan makanan bagi hewan kerang-
kerangan seperti halnya pokea (Saharuddin, 2003).
Nilai pH air yang hampir sama tersebut pada setiap stasiun penelitian diduga karena
stasiun penelitian berada pada kawasan sungai (Odum, 1994). Tingkat kesuburan perairan
sangat dipengaruhi oleh pH air, sehingga berpengaruh pula terhadap ketersediaan bahan
makanan bagi makrozoobentos adalah 7,0-8,0 (Odum, 1994). Nilai derajat keasaman (pH)
yang diperoleh selama penelitian berkisar 6,5-7,0 (Saharuddin, 2003).
Setyawati (1986), menegaskan bahwa pH 6,95-8,35 merupakan kisaran yang masih
layak bagi kehidupan organisme bivalvia. Pada kondisi tertentu pH ini akan berubah-ubah
sesuai dengan sifat zat-zat yang terdapat dalam perairan yang bersangkutan, seperti adanya
penambahan volume air akibat adanya hujan dan meningkatnya suhu disekitar sungai
tersebut.
3. Kecepatan Arus
Menurut Efriyeldi (1997), kecepatan arus selain yang disebabkan oleh angin juga
dapat terjadi karena pasang surut, jika arus kuat dapat menyebabkan erosi sedimen dan
membawa jauh serta sebaliknya arus yang lemah dapat terjadi dengan tidak mengganggu
dasar perairan. Nybakken (1992) menyatakan bahwa jika arus lambat substrat yang banyak
ditemui adalah lumpur dan bila arus kuat, maka akan banyak ditemui substrat berpasir.
Pada pantai berpasir substratnya tidak stabil, sedangkan pada sungai yang berlumpur
faktor fisik yang sangat berpengaruh adalah kecenderungan memiliki banyak partikel
organik dalam ukuran yang sangat halus. Nybakken (1992), menyatakan keberadaan lumpur
di dasar air tawar dan air laut serta oleh faktor-faktor yang mempengaruhi pengendapan
bahan tersuspensi tersebut seperti air dari laut.
Arus berpengaruh terhadap ketersediaan makanan disuatu perairan karena
keberadaan arus dapat menyebabkan terjadinya proses transfer makanan. Adaptasi oleh
organisme bivalvia terhadap arus yang kuat dilakukan dengan cara menggali substrat sampai
mencapai kedalaman tertentu yang tidak dapat lagi dipengaruhi oleh arus yang ada
diatasnya.
4. Kecerahan
Kecerahan merupakan suatu nilai yang bersifat antagonis terhadap kekeruhan Odum
(1994). Kekeruhan yang tinggi akan menurunkan kecerahan perairan serta mengurangi
penetrasi cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan sehingga akan membatasi proses
fotosintesis dan produktivitas perairan (Wardoyo, 1981).
Kecerahan ini dipengaruhi oleh bahan tersuspensi yang terdapat dalam air baik
organik maupun anorganik serta besarnya intensitas cahaya matahari (Wardana, 1995).
Berdasarkan hasil pengukuran kecerahan perairan setiap stasiun pengamatan memiliki nilai
100%. Hal ini menandakan kurangnya bahan buangan atau bahan pencemar yang dapat
mengganggu penetrasi sinar matahari ke dalam perairan, kecerahan perairan tersebut
mendukung kehidupan kerang. Hal ini sesuai pernyataan Odum (1994), bahwa semakin
tinggi kecerahan perairan akan memberikan kontribusi positif suatu organisme perairan.
5. Kedalaman
Kedalaman sungai mempengaruhi distribusi bivalvia air tawar. Kebanyakan dari
spesies Unionidol lebih menyukai habitat dangkal yang umumnya kurang dari 4-6 m,
meskipun beberapa spesies yang dapat ditemukan pada bagian yang lebih dalam jika
organisme tersebut masih mendapatkan suplai oksigen yang cukup (James dan Covich,
1991).
Kedalaman suatu perairan adalah salah satu faktor yang membatasi kecerahan
karena mempengaruhi penetrasi cahaya matahari sehingga membatasi proses fotosintesis
dan produktivitas primer perairan (Whitten dkk, 1987).
Curah hujan yang tinggi sebagai salah satu faktor yang dapat menimbulkan
kenaikan arus air di sungai. Setiap daerah di dalam suatu aliran sungai akan memberikan
tanggapan yang berbeda-beda terhadap curah hujan dan dengan demikian pelepasan aliran-
aliran air berubah-ubah sepanjang aliran sungai pada titik tersebut (Koesoebiono, 1981).
6. Oksigen Terlarut
Oksigen merupakan zat yang sangat diperlukan untuk kehidupan suatu organisme
disuatu tempat. Pada tempat-tempat seperti sungai yang memiliki kadar oksigen (O2)
terlarut jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan udara bebas.
Sejumlah bivalvia air tawar laju konsumsi oksigen lebih tinggi pada malam hari
dibandingkan pada siang hari khusunya pada famili Corbiculidae (James dan Covich, 1991).
7. Substrat
Lumpur sebagian besar merupakan partikel dan zat organik serta untuk berbagi
jenis kerang (Bivalvia) merupakan tempat hidup yang baik. Bivalvia ini ditemukan pada
permukaan atau membenamkan diri di dalam substrat (Sastrapradja ; Djajasasmita, 1997),
hanya terdistribusi pada segmen muara sejauh lapisan pasang air laut dan ditemukan pada
semua tekstur substrat perairan dari krikil sampai dengan liat ( Bahtiar, 2007).

III. METODE PENELITIAN


A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Februari-Mei 2014, yang bertempat di
perairan Sungai Lasolo Sulawesi Tenggara (Gambar 2).
B. Parameter Pengamatan
Parameter yang diukur dan diamati serta alat/metode yang digunakan dalam
penelitian disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Parameter yang diamati dalam penelitian
No Parameter Pengamatan Satuan Alat / Metode Keterangan
1 B. violacea celebensis
- Pola distribusi - paniki lapangan
- Kepadatan kelimpahan Ind.m-2 swept area lapangan
2 Parameter Lingkungan
Kualitas Air
- Nilai pH - pH meter lapangan
- Suhu °C thermometer lapangan
- Kecepatan arus m.det-1 modifikasi bola lapangan
plastik dan
stop watch
secchi
- Kecerahan cm disc lapangan
- Kedalaman m tongkat berskala lapangan
3 Bahan organik air
- O2 terlarut (DO) mg.l-1 DO meter lapangan
4 Karakteristik Substrat
-
- pH substrat pH soil tester lapangan
- Tekstur substrat - kantong sampel, lapangan
- Bahan organi substrat saringan lab

Gambar 2. Peta lokasi penelitian di Sungai Lasolo


C. Penentuan Stasiun Pengamatan
Penelitian ini dilaksanakan di perairan Sungai Lasolo. Sebelum sampel diambil pada
setiap stasiun, ditentukan terlebih dahulu jumlah dan posisi stasiun pengamatan pada lokasi
penelitian (gambar 3). Pengambilan sampel pokea dilakukan dengan cara purposive randem
sampling yang berdasarkan pada karakteristik ekologi dengan mempertimbangkan jarak
stasiun dan keberadaan organisme pokea yang meliputi:
1. Stasiun I (03o 30' 20.3" LS dan 122o 09' 05.9" BT), awal ditemukan kerang pokea. Lokasi ini
merupakan bagian paling atas dari arah hulu perairan Sungai Lasolo yang kurang lebih 10 m
dari pinggir Sungai (Andowia/desa Pantai Laronanga), dengan karakter substrat kerikil
2. Stasiun II (03o 30' 37,6" LS dan 122o 09' 35,1" BT). Lokasi ini terletak pada bagian tengah
perairan kearah hulu tepat di bawah gunung Tapusuli dengan karekter substrat pasir kasar
dan halus

Gambar 3. Sketsa Lokasi Penelitian di Sungai Lasolo

3. Stasiun III (03o 30' 47,2" LS dan 122o 10'1 5,8"BT), merupakan daerah yang berada pada
bagian tengah perairan dangan memiliki karakter substrat berpasir halus dan berlumpur
4. Stasiun IV (03o 30' 37,7" LS dan 122o 10' 57,3"BT), lokasi ini tepat ke arah bagian muara
sungai yang merupakan tempat pengambilan pokea dan tempat pengolahan sagu dangan
substrat berpasir dan banyak ditemukan kerang-kerang pokea yang sudah mati
5. Stasiun V (03o 31' 55,1" LS dan 122o 13' 14,6"BT), lokasi ini diketahui akhir dari keberdaan
kerang pokea yang terletak di muara sungai. Tempat pengambilan sampel kerang pokea
yang merupakan pertemuan antara Sungai Buaya dengan Sungai Lasolo dan aktifitas nelayan
pada titik stasiun tersebut sudah jarang skali di temukan dengan karakter substrat yang
berpasir halus.
D. Metode Pengambilan Data
1. Pengambilan Kerang Pokea
Pengambilan kerang pokea dilakukan dengan menggunakan metode luas sapuan
(swept area). Pengambilan kerang pokea menggunakan alat yang terbuat dari keranjang besi
yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat yang disebut “paniki” (Gambar 4).
Diameter paniki kurang lebih 23 cm. Bagian mulut paniki dilengkapi dengan besi tipis yang
melingkar pada mulut paniki. Alat ini dirancang sedemikian rupa sehingga substrat tidak ikut
terangkat pada saat pengambilan kerang pokea. Tali nilon yang terdapat pada alat ini
berguna sebagai pengendali arus pada saat alat dimasukkan ke dasar sungai, sedangkan
batang bambu berguna sebagai pegangan pada saat alat ini dioperasikan. Panjang bambu
disesuaikan dengan kedalaman sungai.
Gambar 4. Alat tangkap pokea (paniki) (A = besi pelingkar, B = bambu, C = tali dan D = mata
paniki).(Sumber : Bahtiar 2005)

Pada bagian bambu dekat mulut paniki dikaitkan tali nilon untuk menarik alat
tersebut di saat alat ini dioperasikan. Alat (paniki) dioperasikan oleh dua orang masing-
masing menurunkan paniki dan menarik tali. Pokea yang tertangkap kemudian dipisahkan
dari substratnya. Setiap pokea yang tertangkap pada setiap tarikan dihitung jumlahnya yang
ditemukan dari setiap tarikan alat serta jumlah tarikan sampel dalam setiap minggu
pengoperasian, selanjutnya di masukkan dalam kantong plastik.
Pengambilan sampel pokea dilakukan sebanyak 5 kali ulangan dalam setiap stasiun
pada setiap periode pengamatan dengan selang waktu pengamatan 1 bulan sekali.
2. Pengukuran Parameter Lingkungan
Parameter lingkungan perairan yang diukur dilakukan pada pagi-siang hari bersamaan
dengan pengambilan contoh pokea. Pengukuran kualias air dilakukan sebanyak 3 kali pada
setiap stasiun pengamatan setiap bulan. Parameter lingkungan yang diukur meliputi suhu,
kedalaman dan kecerahan, kecepatan arus, bahan organik substrat, pH, oksigen terlarut
(DO), karakteristik substrat, dan pH substrat.
3. Analisis Komposisi Butiran
Sampel sedimen yang telah kering ditimbang dengan timbangan digital seberat 100 gr
kemudian dimasukkan ke dalam alat Automatich Gravel Seiver selama 10 menit. Setelah itu
butiran sedimen yang telah tersaring pada tiap-tiap mata saringan diambil kembali dan
ditimbang beratnya untuk mengetahui presentase ukurannya. Klasifikasi ukuran butiran
sedimen berdasarkan pembagian menurut Davis dan Bennet (1927) dalam Gerlach, (1971)
seperti tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi ukuran butiran sedimen menurut Davis dan Bennet (1927 dalam Gerlach, 1971)
Jenis butiran sedimen Ukuran (µm)
Pasir sangat kasar (very coarse sand) 2000-1000
Pasir kasar (coarse sand) 1000-500
Pasir sedang (medium sand) 500-250
Pasir halus (find sand) 250-100
Pasir sangat halus (very find sand) 100-50
Lumpur (silt) 50-20
Lempung) (clay) 20-2
Liat (mud) <2

E. Analisis Data
Data yang diperoleh ditabulasi dan dihitung. Data yang dianalisis terdiri dari kualitas
perairan (fisika dan kimia), distribusi dan kepadatan :
1. Kualitas Perairan (Fisik dan Kimia)
Kualitas perairan (fisik dan kimia) dianalisis secara deskriptif dengan mentabulasi
data-data yang ditemukan secara spasial dan temporal dalam bentuk grafik.
2. Distribusi
Pola penyebaran tiap jenis pokea pada setiap lokasi pengamatan digunakan indeks
Morisita (Morisita dalam Soegianto, 1994) yaitu:
Keterangan :
n = jumlah plot
x2 = jumlah individu per plot
N = jumlah total individu dalam n plo

Adapun kriteria indeks morisita dapat dikelompokkan sebagai berikut :


Id = 1; pola penyebaran bersifat seragam
Id < 1; pola penyebaran acak
Id > 1; pola penyebaran mengelompok
Untuk menguji apakah penyebaran tersebut bersifat acak atau tidak maka digunakan
uji Chi-square (Soegianto, 1994) yaitu :

Hasil perhitungan Chi-square dibandingkan dengan X2 tabel pada taraf kepercayaan


0,05 dengan derajat bebas (n-1):
≤ X2 tabel = pola penyebaran tidak berbeda nyata dengan acak
Jika X2 hitungan ≥ X2 tabel = pola penyebaran berbeda nyata dengan acak
3. Kepadatan
Untuk kepadatan kerang pokea dihitung berdasarkan rumus yang dikemukakan oleh
Soegianto (1994) yaitu:

Keterangan :

D = kepadatan
n = jumlah individu pokea
A = luas daerah pengamatan (m2)

DAFTAR PUSTAKA
Asikin, T. 1981. Kerang Hijau. Penebar Swadaya. Jakarta.
Bahtiar. 2005. Kajian Populasi Pokea (B. violacea celebensis, Martens 1897) di sungai Pohara Kendari
Sulawesi Tenggara. Tesis. IPB. Bogor.
Bahtiar. 2007. Kepadatan dan distribusi pokea (B. violacea celebensis Martens, 1879) pada substrat yang
berbeda di Sungai Pohara Sulawesi Tenggara. Aqua Hayati (2012) 8 (2):115-123
Balda. 2007. Distribusi dan Kelimpahan Kerang Pokea (B. violacea celebensis) pada Bagian Sungai Pohara
di Desa Kapoiala Kecamatan Bondoala Kabupaten Konawe. Skripsi. Jurusan MIPA. Unhalu.
Kendari.
Djajasasmita, M. 1977. An Anotate list of the Spesies of the Genus Corbicula From Indonesia (Mollusca:
Corbiculidae). Bulletin Zoologisch Museum. Universiteit Van Amsterdam. Amsterdam.
Efriyeldi. 1997. Struktur Komunitas Makrozoobentos dan Kaitanya dengan Karakteristik Sedimen di Muara
Sungai Bantas Tengah Riau. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.
Gerlach, S. S. 1971. On the Inportance of Marine Fauna for Meiobenthos Comunites. Ecologie. Berlin.
Grabarkiewicz, J. D., dan Wayne S. D., 2008, An Introduction to Freshwater Mussels as Biological
Indicators: Including Account of Interior Basin, Cumberlandian, and Atlantic Slope Species,
United States Environmental Protection Agency, Washington DC.
Hasmawaty. 2007. Studi Pertumbuhan dan Tingkat Eksploitasi Populasi Kerang Pokea (Batissa violacea
celebensis, Marten 1897) di Sungai Pohara Sulawesi Tenggara. Skripsi. Jurusan Perikanan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Haluoleo. Kendari.
Jabang. 2000. Kepadatan, Penyebaran dan Perilaku Makan Kerang Lokan Batissa violacea lamarck di
Estuaria Batang Masang Tiku, Sumatera Barat Serta Laju Pertumbuhannya di Laboratorium.
Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung. Bandung.
James, H.T. and A.P. Covich. 1991. Ecology and Classification of Northern American Freswather
Invertebrates. Academic Press. Inc. America.
Jasin, M. 1992. Zologi Invertebrata Untuk Perguruan Tinggi. Sinar Wijaya. Surabaya.
Koesoebiono. 1981. Biologi Laut diktat kuliah fakultas perikanan. IPB. Bogor.
Ledue, E., Matoto, S.V., Apisai, S and K. Jovesa. 1996. Fresh Water Clam Resources Assesmen of the Ba
River. Fisheries Division. South Pasific Comision. New Caledonia. Suva. Fiji.
Levinton, J. S. 1982. Marine Ecology. Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs. New Jersey.
McMahon, R.F.. 1978. Ecology of an Invasive Pest Bivalve, Corbicula. University of Texas. Texas.
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta
Nurfatmah. 2006. Studi Kebiasaan Makanan Bivalvia (Batissa violacea celebensis Marten, 1897) di Sungai
Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe. Skripsi. Jurusan Perikanan Fakultas
Pertanian. Universitas Haluoleo. Kendari.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. (Diterjemahkan oleh Eidman, M.
Koesbiono, D.G. Bengen, M. Hutomo, dan S. Sukardjo). Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Nyuheri, S. 1993. Studi Kelimpahan Anadonta sp. Berdasarkan Stratifikasi Vertikal Pada Sungai Pohara di
kelurahan Sampara Kecamatan Bondoala. Skripsi. Jurusan MIPA. FKIP Unhalu. Kendari.
Odum, 1994. Dasar-Dasar Ekologi Edisi Ke Tiga. Diterjemahkan Oleh Samingan, T. UGM Press.
Yogyakarta.
Rangan, J.K. 1996. Struktur dan Tipologi Komunitas Gastropoda Pada Zona Hutan Mangrove Perairan
Kulu, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Tesis. Program Pasca sarjana. IPB. Bogor.
Renel, F. 2001. Studi Kepadatan dan Distribusi Kerang Pokea (Corbicula spp) pada Sungai Pohara Desa
Andadowi Kecamatan Bondoala. Skripsi. Jurusan Perikanan. Fakultas Pertanian. Unhalu.
Kendari.
Riama, B.M. 2006. Karakteristik Fisika – Kimia Perairan Terhadap Kepadatan dan Distribusi Kerang Pokea
(Batissa violacea celebensis) di Sungai Pohara Desa Kapoiala Kecamatan Bondoala
Kabupaten Konawe. Skripsi. Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian. Universitas Haluoleo.
Kendari.
Rudi, E. 1999. Beberapa Aspek Morfologi dan Makanan Kerang Tahu (Meretrix Meretrix Linnaeus) di Teluk
Meskam Panimbang Selat Sunda, Jawa Barat. Tesis. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor.
Russel, W. D. and Hunter. 1983. Actuarial Bioenergetics of Nonmarine Moluscan Productivity.
Departement of Biology. Syracuse University. New York.
Saharuddin. 2003. Studi Kepadatan Kerang Pokea (Anadonta sp.). Pada Perairan Sungai Pohara Desa
Lausu Kecamatan Bondoala. Skripsi. Jurusan Perikanan. Fakultas Pertanian. Unhalu.
Kendari.
Sastrapradja. 1977. Sumber Protein Hewani. Lembaga Biologi Nasional. LIPI. Bogor.
Setiawati, Y. 1986. Distribusi Jenis-Jenis Kerang (Bivalvia) di Pantai Muara Sungai Ciseukeut, Desa Mekar
Sari Kecamatan Cigeulis, Panembang Jawa Barat. Karya Ilmiah. Jurusan Manajemen
Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.
Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif (Metode Analisis Populasi dan Komunitas). Usaha Nasional.
Surabaya.
Sugiri, N. 1985. Zoologi Avertebrata II. Depdikbud Dik jen Pendidikan tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu
Hayati. IPB. Bogor.
Vakily, J. M. 1989. The Biology and Culture of Mussels of the Genus Perna. ICIANRM Studies and
Revagement, Manila, Philippines and Deiews 17,63 p. International Center for Living
Aquatic Resources Manutshe Jesellschaft fur Techenenische Zusammernabeit (GTZ) Gmbh,
Eschbom. Federal Republic of Germany.
Wardana, W. 1995. Taksonomi Avertebrata Pengantar Laboratorium. UI Press. Jakata.
Wardoyo, S.T.H. 1981. Pengelolaan Kualitas Air. Fakultas Perikanan. Proyek Peningkatan Mutu
Perguruan Tinggi. IPB. Bogor.
Whitten, A.M, Mustafa dan G.S. Henderson. 1987. Ekologi Sulawesi. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.

Вам также может понравиться