Вы находитесь на странице: 1из 99

SNI 03-2406-1991

Standar Nasional Indonesia

Perencanaan drainase perkotaan


berwawasan lingkungan

ICS 93.010 Badan Standardisasi Nasional


BSN
SNI 03-2406-1991

Daftar isi

DAFTAR ISI
1 Daftar isi............................................................................................................................ i
2 Prakata ............................................................................................................................ ii
3 Pendahuluan ....................................................................................................................iii
1. Ruang lingkup ................................................................................................................... 4
2. Acuan normatif .................................................................................................................. 4
3. Istilah dan definisi .............................................................................................................. 5
4. Ketentuan Umum ............................................................................................................ 14
4.1 Faktor sosial ekonomi .................................................................................................... 14
4.2 Faktor medan dan lingkungan ......................................................................................... 14
4.3 Faktor Teknis ................................................................................................................ 14
5. Ketentuan Teknis ............................................................................................................ 17
5.1. Aspek Hidrologi ........................................................................................................ 18
5.1.1. Penentuan Daerah Tangkapan Hujan .................................................................. 20
5.1.2. Pengukuran dan Penggambaran ......................................................................... 20
5.1.3. Penyelidikan Tanah ........................................................................................... 21
5.1.4. Perhitungan hujan rencana ................................................................................. 21
5.1.5. Perhitungan hujan wilayah ................................................................................. 24
5.1.6. Penentuan Intensitas hujan (Analisa IDF) ............................................................. 26
5.1.7. Perhitungan Koefisien Runoff (C) ........................................................................ 29
5.1.8. Perhitungan waktu konsentrasi ........................................................................... 29
5.1.9. Perhitungan debit banjir rencana ......................................................................... 31
5.2. Aspek Hidraulika ...................................................................................................... 44
5.2.1. Kelayakan Teknis ............................................................................................. 44
5.2.2. Saluran Terbuka .............................................................................................. 44
5.2.3. Saluran Tertutup .............................................................................................. 46
5.3. Aspek Struktur ......................................................................................................... 54
5.4. Aspek Ekonomi ........................................................................................................ 55
5.5. Aspek Lingkungan .................................................................................................... 56
6. Perencanaan ................................................................................................................. 57
6.1. Analisis dan perencanaan ......................................................................................... 57
6.1.1. Data dan Informasi ............................................................................................ 57
6.1.2. Inventarisasi kondisi sistem drainase eksisting...................................................... 58
6.1.3. Analisis ............................................................................................................ 58
6.2. Perencanaan Drainase Jalan dan Jembatan ................................................................ 59
6.3. Perencanaan Permukiman ........................................................................................ 59
6.4. Perencanaan Drainase Pasang Surut ......................................................................... 73
6.5. Perencanaan Drainase Pengendalian Banjir ................... Error! Bookmark not defined.
7. Lain-lain......................................................................................................................... 73
7.1 Laporan .................................................................................................................. 73
7.2 Koordinasi dan tanggung jawab perencanaan ........................................................... 73

i
SNI 03-2406-1991

Prakata

Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang ‘Tata cara perencanaan umum drainase
perkotaan’ merupakan revisi dari SNI 03-2406-1991, Tata cara perencanaan umum drainase
perkotaan.

Standar ini disusun oleh Gugus Kerja Pendayagunaan Sumber Daya Air Bidang Hidrologi
dan Tata Air pada Sub Panitia Teknis Sumber Daya Air yang berada di bawah Panitia Teknis
Bahan Konstruksi Bangunan dan Rekayasa Sipil.

Perumusan standar ini dilakukan melalui proses pembahasan pada Kelompok Bidang
Keahlian Hidrologi dan Tata Air dan Rapat Teknis yang melibatkan para narasumber dan
pakar dari berbagai instansi terkait.

ii
SNI 03-2406-1991

Pendahuluan

Urbanisasi telah mempengaruhi hidrologi perkotaan sehingga mempengaruhi tata air


perkotaan baik penyediaan air maupun drainasenya. Dampak pertama dari urbanisasi ini
adalah kebutuhan pemukiman yang akan memperluas daerah kedap air dan menaikkan
volume dan waktu banjir, ujung dari semua ini adalah masalah banjir yang membutuhkan
usaha pengendalian. Naiknya urbanisasi akan mengakibatkan naiknya limbah rumah tangga
yang akan menimbulkan masalah polusi air.

Pengendalian banjir akibat dampak urbanisasi dapat dibedakan dalam dua katagori yaitu
drainase dari pemukiman (mikro) dan drainase sistem sungai (makro). Pada pedoman ini
hanya membahas masalah drainase mikro (drainase perkotaan). Drainase perkotaan
merupakan sarana membuang kelebihan air permukaan baik dari limbah rumah tangga
maupun dari hujan. Limbah rumbah tangga tidak dibahas, jadi dalam pedoman ini hanya
membahas pembuangan limpasan air hujan saja.

Banjir terutama terjadi pada musim hujan, akibat debit besar melampaui kapasitas
penampang aliran yang telah mengalami degradasi kapasitas. Hal ini diakibatkan oleh hasil
erosi dari hulu DAS atau Sub DAS-nya. Disamping sedimentasi, penurunan fungsi &
kapasitas Sungai dan Drainase Perkotaan juga disebabkan adanya bangunan-bangunan
ilegal di bantaran atau bahkan badan sungai atau saluran, yang mengurangi fungsi kapasitas
luberan (High Water Channel) dari palung sungai (Low Water Channel) diatas debit normal,
meningkatnya unit hydrograph debit banjir, dan semakin cepatnya waktu konsentrasi debit
akibat menurunnya fungsi resapan daerah tangkapan air (DAS) nya pada waktu musim
hujan. Sebaliknya juga, menurunnya base flow debit andalan menyebabkan kekeringan
dimusim kemarau. Hal ini mengakibatkan defisit Neraca Air yang berefek pada menyusutnya
debit andalan. Dengan meningkatnya konsentrasi beban kandungan limbah termasuk
sedimen akan terjadi penurunan kwalitas air.

Tata cara perencanaan ini drainase dimaksudkan sebagai pegangan untuk :


1) survei, penyelidikan, desain, penyiapan tanah, pelaksanaan, operasi dan pe-
meliharaan serta pemantauan drainase perkotaan;
2) proses perencanaan drainase perkotaan yang berlandaskan pada konsep pem-
bangunan yang terlanjutkan (pembangunan yang berwawasan lingkungan).

Masalah tersebut di atas memerlukan peningkatan pengelolaan diantaranya mencakup


bagaimana merencanakan suatu sistem drainase perkotaan yang berkesinambungan
yang terdiri dari pembuatan Rencana Induk, Studi Kelayakan dan Rencana Detail
(Detailed Engineering Design). Untuk itu diperlukan Panduan Tata Cara Penyusunan
Rencana Induk Sistem Drainase Perkotaan Yang Berwawasan Lingkungan.

Tujuan tata cara perencanaan umum ini untuk memperoleh hasil perencanaan drainase
perkotaan yang dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan teknik
perencanaan dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berpengaruh.

iii
SNI 03-2406-1991

Perencanaan drainase perkotaan berwawasan lingkungan

1. Ruang lingkup
Pedoman ini menetapkan tata cara perencanaan umum drainase perkotaan untuk
memperoleh hasil perencanaan drainase perkotaan yang dapat dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan-ketentuan teknik perencanaan dengan mempertimbangkan faktor-
faktor yang berpengaruh.
Tata cara umum perencanaan ini:
a) Mencakup perencanaan drainase perkotaan sebagai pembuang air hujan dengan
mempertimbangkan pembangunan yang berwawasan lingkungan; tidak termasuk
saluran pengendali banjir, pembuang air limbah dan drainase pedesaan.
b) Pedoman ini telah mencakup perencanaan teknik drainase perkotaan yang lebih
terperinci.

2. Acuan normatif
a. RSNI Perhitungan debit banjir rencana.
b. SNI 06-2406-1991 Tata cara perencanaan umum drainase perkotaan
c. SNI 03-3424-1994 Tata cara perencanaan drainase permukiman jalan
d. Pt T-15-2002-C Penerapan drainase berwawasan lingkungan di kawasan
permukiman
e. Pt T-02-2006-B Perencanaan sistem drainase jalan
f. Pedoman No. 05/BM/2013 Perancangan drainase jalan perkotaan
g. SNI 03-2453-2002, Tata cara perencanaan sumur resapan air hujan untuk lahan
pekarangan.
h. SNI 03-2459-2002, Spesifikasi sumur resapan air hujan.
i. SNI 03-2847-2002, Tata cara perencanaan struktur beton untuk bangunan gedung.
j. SNI-03-2847-2002, Tata Cara Perencanaan Struktur Beton Untuk Bangunan
Gedung;
k. SNI-07-2052-2002, Baja Tulangan Beton;
l. SNI 15-2049-2004, Penggunaan Semen Portland;
m. SNI 03-2461-2002, Spesifikasi Agregat Ringan Untuk Beton Ringan Struktur;
n. SNI 03-2834-2000, Tata cara penggunaan Jumlah air yang diperlukan per meter
kubik beton;
o. SNI 06-0162-1987, Pipa PVC untuk saluran air buangan di dalam dan di luar
bangunan.
p. SNI 06-0178-1987, Pipa PVC untuk saluran air buangan di luar dan di dalam
bangunan, Sambungan.
q. SNI 03-6719-2002, Spesifikasi pipa baja bergelombang dengan lapis pelindung
logam untuk pembuangan air dan drainase bawah tanah.
r. SNI 05-6900-2002, Spesifikasi katup pipa penyalur.
s. SNI 06-0084-2002, Pipa PVC untuk saluran air minum.
t. SNI 03-6799-2002, Spesifikasi pipa saluran dari tanah lempung.
u. BS 4994:1973, Specification for vessels and tanks in reinforced plastics.

4 dari 43
SNI 03-2406-1991

3. Istilah dan definisi

Istilah dan definisi yang berkaitan dengan standar ini adalah sebagai berikut.

3.1
drainase
prasarana yang berfungsi mengalirkan air permukaan ke badan air dan atau ke bangunan
resapan buatan [SNI 2406]

3.2
sistem drainase perkotaan adalah satu kesatuan sistem teknis dan non teknis dari
prasarana dan sarana drainase perkotaan [Permen Drainase]

3.3
drainase perkotaan
drainase di wilayah kota yang berfungsi mengendalikan kelebihan air permukaan, sehingga
tidak mengganggu masyarakat dan dapat memberikan manfaat bagi kegiatan kehidupan
manusia

3.4
drainase permukaan
sistem drainase yang berkaitan dengan pengendalian air permukaan

3.5
sistem drainase utama
sistem drainase perkotaan yang melayani kepentingan sebagian besar warga masyarakat
melingkupi jaringan primer, sekunder, tersier dan bangunan pelengkapnya.

3.6
sistem drainase lokal
saluran awal yang melayani suatu kawasan kota tertentu atau melayani kepentingan
sebagian kecil warga masyarakat seperti komplek, areal pasar, perkantoran, industri dan
komersial.

3.7
sistem drainase terpisah
sistem drainase yang mempunyai jaringan saluran pembuangan yang terpisah untuk air
permukaan atau air limbah

5 dari 43
SNI 03-2406-1991

3.8
sistem drainase gabungan
sistem drainase yang mempunyai jaringan saluran pembuangan yang sama, baik untuk air
permukaan maupun air limbah yang telah diolah

3.9
sarana drainase
bangunan pelengkap yang merupakan bangunan yang ikut mengatur dan mengendalikan
sistem aliran air hujan agar aman dan mudah melewati jalan, belokan daerah curam,
bangunan tersebut seperti gorong-gorong, pertemuan saluran, bangunan terjunan, jembatan,
tali-tali air, pompa, pintu air [Permen Drainase]

3.10
prasarana drainase
lengkungan atau saluran air di permukaan atau di bawah tanah, baik yang terbentuk secara
alami maupun dibuat oleh manusia, yang berfungsi menyalurkan kelebihan air dari suatu
kawasan ke badan air penerima [Permen Drainase]

3.11
debit aliran
volume air yang mengalir melalui penampang melintang saluran per satuan waktu

3.12
debit banjir rencana
debit aliran di saluran atau sungai yang besarnya ditentukan berdasarkan periode ulang
tertentu

3.13
debit desain
besar debit banjir rencana yang selain ditentukan berdasarkan periode ulang, juga
ditentukan oleh faktor-faktor ekonomi, resiko dan sosial

3.14
pengendali banjir
bangunan untuk mengendalikan tinggi muka air agar tidak terjadi limpasan dan atau
genangan yang menimbulkan kerugian

6 dari 43
SNI 03-2406-1991

3.15
curah hujan
besar hujan yang terjadi pada suatu daerah dalam jangka waktu tertentu yang diukur dengan
penakar hujan dinyatakan dalam mm

3.16
intensitas curah hujan
curah hujan yang terjadi per satuan waktu tertentu

3.17
periode ulang
probabilitas kejadian debit atau hujan dengan besaran tertentu akan disamai atau dilampaui
sekali dalam jangka waktu tertentu.

3.18
lengkung kekerapan durasi intensitas curah hujan
lengkung yang menyatakan hubungan antara deras hujan dengan variasi durasi hujan pada
suatu lokasi dengan berbagai periode ulang

3.19
bangunan resapan buatan
bangunan yang berfungsi meresapkan air permukaan

3.20
bangunan pelengkap
bangunan yang dibuat dan berfungsi sebagai pe¬lengkap sistem drainase perkotaan antara
lain: gorong-gorong, pintu air, stasiun pompa, bak penampung, bak pengontrol dan
bangunan terjunan

3.21
garis sempadan drainase
garis batas luar saluran untuk melindungi fungsi drainase perkotaan

3.22
volume total aliran
jumlah volume air yang ditampung dan atau disalur¬kan dalam waktu tertentu

3.23
kota metropolitan
kota yang mempunyai penduduk lebih besar daripada 1.000.000 orang

7 dari 43
SNI 03-2406-1991

3.24
kota besar
kota yang mempunyai penduduk` berkisar antara 500.000 sampai 1.000.000 orang

3.25
kota sedang
kota yang mempunyai penduduk berkisar antara 100.000 sampai 500.000 orang

3.26
kota kecil
kota yang mempunyai penduduk berkisar antara 20.000 sampai 100.000 orang

3.27
badan air
sumber air di permukaan tanah berupa sungai dan danau dan di bawah permukaan tanah
berupa air tanah di dalam akifer

3.28
waktu konsentrasi
Waktu yang dibutuhkan air mengalir dari titik terjauh di DAS sampai mencapai outlet. “

3.29
kolam detensi
Prasarana drainase yang berfungsi untuk menampung sementara air hujan di suatu wilayah.

3.30
kolam retensi
Prasarana drainase yang berfungsi untuk menampung dan meresapkan air hujan di suatu
wilayah.

3.31
kolam tandon
Prasarana drainase yang berfungsi untuk menampung air hujan agar dapat digunakan
sebagai sumber air baku.

3.32
sumur resapan
Prasarana drainase yang berfungsi untuk meresapkan air hujan dari atap bangunan ke
dalam tanah melalui lubang sumuran.

8 dari 43
SNI 03-2406-1991

3.33
daerah genangan
Kawasan yang tergenang air akibat tidak berfungsinya sistem drainase yang mengganggu
aktivitas masyarakat.

3.34
sistem polder
Suatu sistem yang secara hidrologis terpisah dari sekelilingnya baik secara alamiah maupun
buatan yang dilengkapi dengan tanggul, sistem drainase internal, pompa, pintu air dan
waduk.

3.35
tinggi jagaan
Ruang pengamanan berupa ketinggian yang diukur dari permukaan air maksimum sampai
permukaan tanggul saluran/muka tanah.

3.36
saluran primer
saluran drainase yang menerima air dari saluran sekunder dan menyalurkannya ke badan air
penerima

3.37
saluran sekunder
Saluran drainase yang menerima air dari saluran tersier dan menyalurkannya ke saluran
tersier.

3.38
saluran tersier
saluran drainase yang menerima air dari saluran pelengkap dan menyalurkannya ke saluran
sekunder.

3.39
aliran seragam
aliran yang kedalaman airnya tidak berubah sepanjang saluran.

3.40
aliran tidak seragam
aliran yang kedalaman airnya berubah sepanjang saluran.

9 dari 43
SNI 03-2406-1991

3.41
Kawasan
adalah wilayah yang batasnya ditentukan berdasarkan lingkup pengamatan fungsi tertentu,
seperti kawasan ruang terbuka hijau (RTH), kawasan perkantoran, kawasan perumahan dan
kawaan industri, dengan luas daerah layanan drainase maksimal 100 hektar.

3.42
Drainase kawasan atau lokal
adalah saluran awal yang melayani suatu kawasan kota tertentu seperti komplek peumahan,
areal pasar, perkantoran, areal industri dan komersial. Pengelolaan sistem drainase lokal
menjadi tanggung jawab masyarakat, pengembang atau instansi lainnya.

3.43
Drainase perkotaan berwawasan lingkungan
adalah prasarana drainase di wilayah kota yang berfungsi mengelola/mengendalikan air
permukaan (limpasan air hujan) sehingga tidak menimbulkan masalah genangan, banjir dan
kekeringan bagi masyarakat serta bermanfaat bagi kelestarian lingkungan hidup.

3.44
Curah hujan
Besar hujan yang terjadi pada suatu daerah dalam jangka waktu tertentu yang diukur
dengan penakar hujan dinyatakan dalam mm.

3.45
Periode ulang hujan (PUH)
adalah waktu hipotetik dimana probabilitas kejadian debit atau hujan dengan besaran
tertentu akan disamai atau dilampaui sekali dalam jangka waktu tersebut.

3.46
Bidang tadah
adalah daerah atau bidang tertentu, yang mengahalangi infiltrasi air hujan ke dalam tanah,
yang diperhitungan sebagai besaran tempat untuk menampung limpasan air hujan, diisi oleh
berbagai karakteristik penutup permukaan tanah.

3.47
Debit banjir rencana
adalah debit maksimum dari suatu sistem drainase yang didasarkan kala ulang tertentu yang
dipakai dalam perencanaan.

3.48
Daerah Pengaliran Saluran (DPSal)
adalah daerah yang mengalirkan air hujan ke dalam saluran dan/atau badan air penerima
lainnya.

3.49
Subreservoir air hujan
adalah waduk/kolam/tangki yang ditempatkan di bawah permukaan tanah untuk menampung
air hujan yang berasal dari talang atap rumah, bangunan atau lainnya

3.50
Permeabilitas tanah
adalah kemampuan tanah untuk dapat diserapi air;

10 dari 43
SNI 03-2406-1991

3.51
Saluran air hujan berlubang
adalah prasarana untuk menampung dan meresapkan serta mengalirkan air hujan ke badan
penerima (sungai).

3.52
sumur resapan air hujan individual
prasarana untuk menampung dan meresapkan air hujan ke dalam tanah untuk setiap
rumah/bangunan;

3.53
sumur resapan air hujan komunal
prasarana untuk menampung dan meresapkan air hujan ke dalam tanah untuk beberapa
rumah/bangunan;

3.54
lahan pekarangan
lahan atau halaman yang dapat difungsikan untuk menempatkan sumur dan parit resapan
air hujan;

3.55
bidang tadah
daerah permukaan yang menampung limpasan air hujan dapat berupa atap ataupun
permukaan tanah yang terkedapkan;

3.56
bangunan gedung
bangunan yang didirikan dan atau diletakkan dalam suatu lingkungan sebagian atau
seluruhnya pada, di atas, atau di dalam tanah dan/atau perairan secara tetap yang berfungsi
sebagai tempat manusia untuk melakukan kegiatan bertempat tinggal, berusaha, bersosial-
budaya, dan kegiatan lainnya.

3.57
permeabilitas tanah
kecepatan air merembes kedalam tanah ke arah horisontal dan vertikal melalui pori-pori
tanah. Kecepatan perembesan air dipengaruhi oleh tekstur tanah.

3.58
kedalaman air tanah
kedalaman air yang terdapat dalam lapisan tanah atau bebatuan dibawah permukaan tanah.

3.59
debit andil banjir
debit air hujan yang jatuh ke bidang tadah, yang akan dilimpaskan ke sumur dan parit
resapan air hujan.

3.60
Intensitas hujan
Besaran ketinggian hujan yang ditetapkan sebagai harga perencanaan yang memperhatikan
Periode Ulang yang dihitung dengan metode yang lazim dalam analisis hidrologi

3.61
lanau
tanah atau butiran penyusun tanah/batuan yang berukuran di antara pasir dan lempung;

11 dari 43
SNI 03-2406-1991

3.62
tanah berbutir kasar
tanah yang sebagian besar butir-butir tanahnya berupa pasir (sand) dan kerikil
(gravel) agregat dengan besar butir 4,75 mm sampai dengan 2,00 mm;

3.63
tanah berbutir halus
t a n a h y a n g s e b a g i a n b e s a r b u t i r - b u t i r t a n a h n y a b e r u p a lempung (clay)
dan lanau (silt). agregat dengan besar butir 0,075 mm sampai dengan 0,425 mm;

3.64
lempung
partikel mineral berkerangka dasar silikat yang berdiameter kurang dari 4 mikrometer.

3.65
Aliran seragam (uniform flow)
adalah aliran yang kedalaman airnya tidak berubah sepanjang saluran.

3.66
Aliran tidak seragam (non uniform flow)
adalah aliran yang kedalaman airnya berubah di sepanjang saluran.

3.67
Badan air penerima
adalah wadah-wadah air alamiah atau buatan berupa laut, sungai, danau, kolam retensi,
kolam detensi, kolam tandon, sumur resapan dan sarana resapan lainnya yang ramah
lingkungan.

3.68
Bangunan pelengkap
adalah bangunan air yang melengkapi sistem drainase berupa, gorong-gorong, bangunan
pertemuan bangunan terjunan, siphon, talang, tali air/street inlet, pompa dan pintu air.

3.69
Daerah genangan
adalah kawasan yang tergenang air akibat tidak berfungsinya sistem drainase yang
mengganggu dan/atau merugikan aktivitas masyarakat.

3.70
Hujan efektif
adalah curah hujan dikurangi infiltrasi dan evaporasi.

3.71
Periode ulang hujan (PUH)
adalah waktu hipotetik dimana probabilitas kejadian debit atau hujan dengan besaran
tertentu akan disamai atau dilampaui sekali dalam jangka waktu tersebut.

3.72
Neraca air
adalah neraca masukan dan keluaran air disuatu tempat pada periode tertentu, sehingga
dapat diketahui jumlah air kelebihan (surplus) ataupun kekurangan (defisit) pada tempat
tersebut.

12 dari 43
SNI 03-2406-1991

3.73
Perkotaan
Adalah satuan permukiman bukan pedesaan yang berperan di dalam satuan wilayah
pengembangan dan atau wilayah nasional sebagai simpul jasa, menurut pengamatan
tertentu.

3.74
Sistem drainase perkotaan berwawasan lingkungan
adalah jaringan drainase perkotaan yang terdiri dari saluran induk/primer, saluran sekunder,
saluran tersier, bangunan peresapan, bangunan tampungan beserta sarana pelengkapnya
yang berhubungan secara sistemik satu dengan lainnya.

3.75
Sistem drainase utama
adalah jaringan saluran drainase primer, sekunder, tersier beserta bangunan
pelengkapnya yang melayani kepentingan sebagian besar masyarakat.
pengelolaan/pengendalian banjir merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah kota.

3.76
Sistem polder
adalah suatu sistem yang secara hidrologis terpisah dari sekelilingnya baik secara alamiah
maupun buatan yang dilengkapi dengan tanggul, sistem drainase internal, pompa dan/atau
waduk, serta pintu air.

3.77
Studi terkait
adalah studi lain yang terkait dengan kegiatan studi drainase perkotaan, antara lain: RUTRK,
studi persampahan, studi limbah dan studi transportasi.

3.78
Tata air hujan
adalah pengelolaan air hujan di kawasan permukiman dalam daerah aliran sungai.

3.79
Tinggi jagaan
adalah ruang pengamanan berupa ketinggian yang diukur dari permukaan air maksimum
sampai permukaan tanggul saluran dan/atau muka tanah (pada saluran tanpa tanggul).

3.80
Waktu konsentrasi (tc)
adalah waktu yang diperlukan oleh titik air hujan yang jatuh terjauh pada permukaan tanah
dalam Daerah Tangkapan Air ke saluran terdekat (to) dan ditambah waktu untuk mengalir
sampai di suatu titik di saluran drainase yang ditinjau (td).

3.81
Zero run off (ZRO)
adalah air limpasan yang keluar dari sistem drainase kawasan direncanakan hingga
mencapai atau sama dengan nol persen

13 dari 43
SNI 03-2406-1991

4. Ketentuan umum

4.1 Faktor sosial ekonomi


Beberapa faktor sosial ekonomi yang terkait adalah:
a) Pertumbuhan penduduk, urbanisasi dan angkatan kerja.
b) Kebutuhan nyata dan prioritas daerah.
c) Keseimbangan pembangunan antarkota dan dalam kota.
d) Ketersediaan dan tataguna tanah.
e) Pertumbuhan fisik kota dan ekonomi pedesaan.

4.2 Faktor lingkungan


Keterkaitan faktor medan dan lingkungan dijelaskan sebagai berikut.
a) Topografi, keberadaan jaringan saluran drainase, jalan, sawah, perkampungan, laut,
pantai, tataguna tanah, pencemaran lingkungan, estetika dan sebagainya yang
mempengaruhi dan dipengaruhi sistem drainase perkotaan perlu dipertimbangkan
dan diperhitungkan dalam perencanaan.
b) Dalam merencanakan sistem drainase perkotaan yang terletak pada daerah lereng
pegunungan agar diperhitungkan terhadap masalah longsor yang disebabkan oleh
kandungan air tanah.
c) Dalam merencanakan sistem drainase perkotaan yang terletak pada daerah datar
agar diperhitungkan tersedianya air penggelontor untuk mengatasi kemungkinan
pengendapan dan pencemaran.
d) Dalam merencanakan sistem drainase perkotaan yang terletak pada daerah yang
terkena pengaruh pengempangan dari laut, danau atau waduk dan sungai agar
diperhitungkan terhadap masalah pembendungan atau pengempangannya.

4.3 Faktor teknis


Perencanaan drainase perkotaan secara teknis perlu memperhatikan fungsi drainase
perkotaan sebagai prasarana kota yang dilandaskan pada konsep pembangunan yang
berwawasan lingkungan dengan mengendalikan air hujan supaya lebih banyak meresap
ke dalam tanah dan tidak banyak terbuang sebagai aliran permukaan.

Perencanaan teknis drainase perkotaan harus memenuhi tahapan perencanaan drainase


perkotaan meliputi:
a) Tahapan dilakukan melalui pembuatan rencana induk, studi kelayakan dan
perencanaan detil, dengan penjelasan:
1) Studi kelayakan dapat dibuat sebagai kelanjutan dari pembuatan rencana induk.
2) Perencanaan detil perlu dibuat sebelum pekerjaan konstruksi drainase perkotaan
dilaksanakan.
b) Drainase perkotaan di kota-raya dan kota-besar perlu direncanakan secara
menyeluruh melalui tahapan rencana induk.
c) Drainase perkotaan di kota-sedang dan kota-kecil dapat direncanakan melalui
tahapan rencana kerangka sebagai pengganti rencana induk.
d) Drainase perkotaan di kota-sedang yang mempunyai pertumbuhan fisik dan
pertambahan penduduk yang cepat serta drainase perkotaan yang mempunyai
permasalahan rumit karena keadaan alam setempat, perlu perencanaan yang
menyeluruh melalui tahapan rencana induk.

14 dari 43
SNI 03-2406-1991

e) Drainase perkotaan agar direncanakan dengan berbagai alternatif dan pemilihan


alternatif yang terbaik dilaksanakan melalui proses pengkajian dengan
mempertimbangkan aspek teknik, sosial ekonomi, finansial dan lingkungan.
f) Survei yang dilakukan dalam rangka perencanaan drainase perkotaan meliputi lokasi,
topografi, hidrologi, geoteknik, tataguna tanah, sosial ekonomi, institusi atau
kelembagaan, peranserta masyarakat, kependudukan, lingkungan dan pembiayaan.
g) Penyelidikan yang dilakukan dalam rangka perencanaan drainase perkotaan adalah
rincian lebih lanjut pekerjaan survei untuk mendapatkan parameter-parameter desain.
h) Desain drainase perkotaan agar didasarkan pada pertimbangan hidrologi, hidraulik,
struktur dan biaya.
i) Penyiapan tanah untuk pembangunan drainase perkotaan agar dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
j) Pelaksanaan drainase perkotaan agar dikerjakan sesuai dengan peraturan konstruksi
yang lazim dipakai dan disetujui instansi yang berwenang.
k) Operasi dan pemeliharaan drainase perkotaan agar mengikuti peraturan yang lazim
dipakai dan disetujui instansi yang berwenang.

Dalam pelaksanaan tahapan kegiatan diatas, diperlukan data dan persyaratan yang
dijelaskan sebagai berikut:
a) Data primer adalah data dasar yang sangat dibutuhkan dalam perencanaan drainase
perkotaan yang diperoleh baik dari lapangan maupun dari pustaka, mencakup:
1) data permasalahan dan data kuantitatif pada setiap lokasi genangan dan atau
banjir yang meliputi luas, lama, kedalaman rata-rata dan frekuensi genangan;
2) data keadaan fungsi, sistem, geometri dan dimensi saluran;
3) data spasial melingkupi data daerah aliran sungai atau saluran meliputi topografi
(skala 1:5000 sampai dengan 1:25.000 sesuai tipologi kota, data tataguna tanah,
dan sebagainya.
4) data hidrologi melingkupi data hujan minimal 10 tahun terakhir, data tinggi muka
air, data debit sungai, data pengaruh air balik, peil banjir dan data pasang surut.
5) data hidraulika melingkupi data arah aliran, data keadaan, fungsi, geometri dan
dimensi saluran dan bangunan pelengkap seperti gorong-gorong, pompa dan
pintu air.
6) data prasarana dan fasilitas kota yang telah ada dan yang direncanakan, seperti
kolam tandon, kolam resapan dan sumur resapan.
b) Data sekunder adalah data tambahan yang dipergunakan dalam perencanaan
drainase perkotaan yang sifatnya menunjang dan atau melengkapi data primer,
terdiri atas:
1) rencana pengembangan kota atau Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW);
2) geoteknik;
3) foto udara;
4) pembiayaan;
5) kependudukan yang terdiri dari jumlah, kepadatan, laju pertumbuhan,
penyebaran dan data kepadatan bangunan.
6) institusi atau kelembagaan;
7) sosial ekonomi;
8) peranserta masyarakat;
9) keadaan kesehatan lingkungan pemukiman;

15 dari 43
SNI 03-2406-1991

c) Data teknis lainnya seperti jaringan jalan kota, jaringan drainase, jaringan air limbah,
jaringan telepon, jaringan listrik, jaringan pipa air minum dan jaringan utilitas lainnya.
d) Persyaratan kualitas dan kuantitas data untuk analisis agar dikaji dan dipilih sesuai
dengan peralatan, metode perhitungan dan asumsi yang digunakan.

4.4 Prinsip Berwawasan Lingkungan

Konsep drainase yang dulu dipakai di Indonesia (paradigma lama) adalah drainase
pengatusan yaitu mengatuskan air kelebihan (utamanya air hujan) ke badan air terdekat.
Air kelebihan secepatnya dialirkan ke saluran drainase, kemudian ke sungai dan akhirnya
ke laut, sehinggga tidak menimbulkan genangan atau banjir. Konsep pengatusan ini
masih dipraktekkan masyarakat sampai sekarang. Pada setiap proyek drainase,
dilakukan upaya untuk membuat alur-alur saluran pembuang dari titik genangan ke arah
sungai dengan kemiringan yang cukup untuk membuang sesegera mungkin air genangan
tersebut. Drainase pengatusan semacam ini adalah drainase yang lahir sebelum pola
pikir komprehensif berkembang, dimana masalah genangan, banjir, kekeringan dan
kerusakan lingkungan masih dipandang sebagai masalah lokal dan sektoral yang bisa
diselesaikan secara lokal dan sektoral pula tanpa melihat kondisi sumber daya air dan
lingkungan di hulu, tengah dan hilir secara komprehensif.

Drainase perkotaan berwawasan lingkungan merupakan prasarana drainase di wilayah kota


yang berfungsi mengelola/mengendalikan air permukaan (limpasan air hujan) sehingga tidak
menimbulkan masalah genangan, banjir dan kekeringan bagi masyarakat serta bermanfaat
bagi kelestarian lingkungan hidup dan atau tidak terganggunya keseimbangan tata air dan
hidro ekosistem kawasan. Salah satu upaya untuk mengelola kelebihan air atau
melestarikan air tanah, adalah dengan cara meresapkan sebagian air hujan kedalam tanah
secara alamiah.

Drainase ramah lingkungan didefinisikan sebagai upaya mengelola air kelebihan dengan
cara meresapkan sebanyak-banyaknya air ke dalam tanah secara alamiah atau
mengalirkan air ke sungai dengan tanpa melampaui kapasitas sungai sebelumnya.
Dalam drainase ramah lingkungan, justru air kelebihan pada musim hujan harus dikelola
sedemikian rupa sehingga tidak mengalir secepatnya ke sungai. Namun diusahakan
meresap ke dalam tanah, guna meningkatkan kandungan air tanah untuk cadangan pada
musim kemarau. Konsep ini sifatnya mutlak di daerah beriklim tropis dengan perbedaan
musim hujan dan kemarau yang ekstrim seperti di Indonesia.

Drainase ramah lingkungan didefinisikan sebagai upaya untuk mengelola air kelebihan
(air hujan) dengan berbagai metode diantaranya dengan menampung melalui bak tandon air
untuk langsung bisa digunakan, menampung dalam tampungan buatan atau badan air
alamiah, meresapkan dan mengalirkan ke sungai terdekat tanpa menambah beban pada
sungai yang bersangkutan serta senantiasa memelihara sistem tersebut sehingga berdaya
guna secara berkelanjutan.
Dengan konsep drainase ramah lingkungan tersebut, maka kelebihan air hujan tidak
secepatnya dibuang ke sungai terdekat. Namun air hujan tersebut dapat disimpan di
berbagai lokasi di wilayah yang bersangkutan dengan berbagai macam cara, sehingga dapat
langsung dimanfaatkan atau dimanfaatkan pada musim berikutnya, dapat digunakan untuk
mengisi/konservasi air tanah, dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas ekosistem dan
lingkungan, dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengurangi genangan dan banjir
yang ada. Dengan drainase ramah lingkungan, maka kemungkinan banjir/genangan di lokasi
yang bersangkutan, banjir di hilir serta kekeringan di hulu dapat dikurangi. Hal ini karena
sebagian besar kelebihan air hujan ditahan atau diresapkan baik bagian hulu, tengah
maupun hilir.

16 dari 43
SNI 03-2406-1991

Demikian juga Longsor di bagian hulu akan berkurang karena fluktuasi lengas tanah, tidak
ekstrim dan perubahan iklim yang ada di daerah tengah dan hulu dan beberapa daerah hilir
tidak terjadi dengan tersedianya air yang cukup, lengas tanah yang cukup maka flora dan
fauna di daerah tersebut akan tumbuh lebih baik. Hal ini dapat mengurangi terjadinya
perubahan iklim mikro maupun makro di wilayah yang bersangkutan.

Metode sumur resapan merupakan metode praktis dengan cara membuat sumur-sumur
untuk mengalirkan air hujan yang jatuh pada atap perumahan atau kawasan tertentu. Sumur
resapan ini juga dapat dikembangkan pada areal olahraga dan wisata. Konstruksi dan
kedalaman sumur resapan disesuaikan dengan kondisi lapisan tanah setempat. Perlu dicatat
bahwa sumur resapan ini hanya dikhususkan untuk air hujan, sehingga masyarakat harus
mendapatkan pemahaman mendetail untuk tidak memasukkan air limbah rumah tangga ke
sumur resapan tersebut.

5. Ketentuan teknis

Saluran drainase perkotaan berwawasan lingkungan agar direncanakan dengan


pertimbangan teknik termasuk metode perhitungan yang lazim berlaku sebagai berikut:
a) Aspek hidrologi:
1) Penentuan debit rencana agar dihitung melalui lengkung kekerapan durasi deras
hujan.
2) Penentuan debit desain dan tinggi jagaan agar didasarkan pada: macam kota (kota-
raya, kota-besar, kota-sedang dan kota- kecil), macam daerah (daerah
perdagangan, daerah industri dan daerah pemukiman), macam saluran (saluran
primer, saluran sekunder, saluran tersier, saluran jalan bebas hambatan, saluran
jalan arteri dan lain-lain).
3) Penetapan karakteristik daerah aliran berupa luas daerah aliran, koefisien aliran,
dan penetapan tinggi jagaan agar didasarkan pada macam kota-raya, kota-besar,
kota-sedang, kota-kecil, daerah perdagangan, daerah industri dan daerah
pemukiman.
4) Drainase perkotaan yang menggunakan bangunan stasiun pompa, perlu
mempertimbangkan penyediaan waduk atau kolam tandon dan memperhitungkan
volume total aliran serta waktu konsentrasi curah hujan.

b) Aspek hidraulik:
1) Kecepatan maksimum aliran agar ditentukan tidak lebih besar dari pada kecepatan
maksimum yang diizinkan sehingga tidak terjadi kerusakan.
2) Kecepatan minimum aliran agar ditentukan tidak lebih kecil dari pada kecepatan
minimum yang diizinkan sehingga tidak terjadi pengendapan dan pertumbuhan
tanaman air.
3) Bentuk penampang saluran agar dipilih berupa segi empat, trapesium, lingkaran,
bagian dari lingkaran, bulat telur, bagian dari bulat telur atau kombinasi dari bentuk-
bentuk tersebut.
4) Saluran sebaiknya dibuat dengan bentuk majemuk, terdiri atas saluran kecil dan
saluran besar, guna mengurangi beban pemeliharaan.
5) Kelancaran pengaliran air dari jalan ke dalam saluran drainase agar dilewatkan
melalui lubang pematus yang berdimensi dan berjarak penempatan tertentu.

17 dari 43
SNI 03-2406-1991

6) Dimensi bangunan pelengkap seperti gorong-gorong, pintu air dan lubang


pemeriksaan agar ditentukan berdasarkan kriteria desain sesuai dengan macam
kota, daerah dan macam saluran;
c) Aspek struktur:
1) Jenis dan mutu bahan bangunan agar dipilih sesuai dengan persyaratan desain,
tersedia cukup banyak dan mudah diperoleh.
2) Kekuatan dan kestabilan bangunan agar diperhitungkan sesuai dengan umur layan
yang ditentukan.

Saluran drainase perkotaan agar direncanakan dengan pertimbangan segi-segi lainnya


sebagai berikut:
a) Biaya:
1) Drainase perkotaan agar direncanakan sesuai dengan ketersediaan biaya.
2) Biaya agar dikelola dan dipertanggungjawabkan sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
b) Pemeliharaan:
1) Drainase perkotaan agar dipelihara dengan membersihkan saluran dan merawat
bangunan pelengkapnya secara berkala sesuai dengan peraturan pemeliharaan
yang lazim dipakai.
2) Pembersihan saluran drainase dengan cara penggelontoran agar diperhitungkan
sejak tahap awal perencanaan dan debit minimum untuk penggelontoran agar
diusahakan dari saluran yang ada di dalam atau di dekat perkotaan.
3) Drainase perkotaan agar dilindungi dengan garis sempadan yang batasnya
ditetapkan sesuai dengan macam saluran.
4) Drainase perkotaan agar dilengkapi dengan jalan inspeksi untuk keperluan
pemeliharaan dan dapat berfungsi ganda, yaitu di samping berfungsi sebagai
jalan inspeksi dapat pula berfungsi sebagai jalan akses, jalan lokal, jalan
kolektor atau jalan arteri yang merupakan bagian dari jaringan jalan di dalam
kota.

5.1. Aspek hidrologi


Perencanaan drainase dapat dibedakan menjadi dua yaitu drainase daerah baru yang
belum ada jaringannya sama sekali dan daerah lama yaitu sudah ada jaringan drainase
tetapi belum memadai akibat bertambahya pemukiman. Untuk daerah baru, perencanaannya
relatif lebih mudah, tetapi untuk daerah lama harus diperhitungkan kondisi existing dan
sulitnya lahan yang ada. Prosedur desain harus melihat unsur ekonomi dan kesehatan
masyarakat dalam arti berapa lama genangan diijinkan dan dana yang dimiliki dengan
menentukan periode ulangnya. Periode ulang untuk drainase perkotaan biasanya berkisar
antara 2 sampai 10 tahun (lihat Tabel 1). Jika periode ulang sudah ditentukan, maka hujan
rencana dari data hujan yang ada dapat diestimasikan. Dengan menggunakan pendekatan
hubungan hujan - limpasan dapat diperoleh besarnya banjir rencana. Model mana yang akan
digunakan dalam desain sangat tergantung dari ketersediaan data, data yang biasanya
tersedia dan dapat digunakan untuk analisa adalah data hujan harian, untuk itu dalam
pedoman ini dibahas estimasi intensitas hujan menggunakan data hujan harian dan data
hujan durasi pendek. Dalam menentukan besarnya puncak banjir digunakan pendekatan
rasional yang sudah dimodifikasi dan desain salurannya dianggap aliran uniform.

18 dari 43
SNI 03-2406-1991

Tabel 1. Periode ulang minimum banjir rencana pengendalian banjir


Berdasarkan : Tahap Tahap
Sistim
- Tipe proyek pengendalian banjir (sungai) awal1) akhir1)
Saluran
- Jumlah penduduk (sistem saluran drainase) (tahun) (tahun)
Sungai Proyek Mendesak (Emergency Project) 2) 5 10
Proyek Baru (New Project) 3) 10 25
Proyek Peningkatan (Updating Project) 4)
- Daerah perdesaan/perkotaan penduduk < 2 juta jiwa 25 50
- Daerah perkotaan penduduk > 2 juta jiwa 25 100
Sistem Saluran Pedesaan 2 5
Drainase Perkotaan dengan jumlah penduduk < 500 ribu jiwa 5 10
Utama (Luas Perkotaan dengan jumlah pendudul 500 ribu – 2 juta jiwa 5 15
DPS > 500 ha) Perkotaan dengan jumlah penduduk < 2 juta jiwa 10 25
Sistem Saluran Pedesaan 1 2
Drainase Perkotaan dengan jumlah penduduk < 500 ribu jiwa 2 5
Sekunder Perkotaan dengan jumlah penduduk 500 ribu – 2 juta jiwa 2 5
(Luas Perkotaan dengan jumlah penduduk > 2 juta jiwa 5 10
DPS<500 ha)
Sistem Saluran Perdesaan dan Perkotaan 1 2
Drainase
Tersier (Luas
DPS<10 ha)
Sumber : CIDA, 1993
Catatan :
1) Banjir Rencana yang lebih tinggi dapat diterapkan apabila hasil analisa kelayakan ekonomi diperlukan
pemakaian banjir rencana yang lebih tinggi atau banjir mengancam terhadap kehidupan manusia.
2) Proyek Mendesak adalah proyek yang dilaksanakan di suatu lokasi rawan banjir dengan tingkat resiko yang
dapat mengancam jiwa manusia, tanpa melalui proses studi kelayakan teknik dan studi kelayakan ekonomi
3) Proyek Baru adalah proyek yang dilaksanakan di suatu lokasi rawan banjir yang sebelumnya belum pernah
ada proyek pengendalian banjir atau proyek mendesak yang dilaksanakan di lokasi tersebut.
4) Proyek Peningkatan berupa proyek rehabilitasi dan pengembangan. Hampir seluruh Proyek Pengembangan
Wilayah Sungai dianggap sebagai Proyek Peningkatan.

Parameter hidrologi yang dibutuhkan dalam Drainase Perkotaan adalah Banjir Rencana,
estimasi banjir rencana dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, yaitu:
1. Hubungan hujan limpasan
i. Puncak  Rasional
ii. Hidrograf  Rasional dan SCS
iii. Unit Hidrograf  Aktual dan Sintetik
2. Penelusuran Banjir :
i. Hidrologi : Saluran  Muskingum
ii. Reservoir  Storage Indication
iii. Hidrolika : Steady flow dan unsteady flow.

19 dari 43
SNI 03-2406-1991

EKONOMI DAN PILIH PERIODE ULANG


KESEHATAN
MASYARAKAT

METEOROLOGI ESTIMASI HUJAN RENCANA

HIDROLOGI ESTIMASI DEBIT PUNCAK ATAU


HIDROGRAF BANJIR RENCANA

HIDRAULIK TENTUKAN DIMENSI


SALURAN

Gambar 1. Prosedur desain untuk drainase

5.1.1. Penentuan daerah tangkapan hujan

Daerah Aliran Sungai (DAS) (catchment, basin, watershed) merupakan daerah dimana
semua airnya mengalir ke dalam suatu sungai yang dimaksudkan. Daerah ini umumnya
dibatasi oleh batas topografi, yang berarti ditetapkan berdasar aliran air permukaan.
Dari peta topografi, ditetapkan titik-titik tertinggi disekeliling sungai utama (main stream) dan
masing-masing titik tersebut dihubungkan satu dengan lainnya sehingga membentuk garis
utuh yang bertemu ujung pangkalnya. Garis tersebut merupakan batas DAS dititik kontrol
tertentu (Sri Harto Br., 1993).
Subcatchment atau disebut juga sub daerah pengalian sungai adalah salah satu unit
hidrologi di permukaan tanah yang mempunyai topografi dan element sistem drainase
internal yang mengalirkan limpasan permukaan ke satu titik outlet. Subcatchment dapat di
bagi menjadi bagian pervious sub-area dan impervious sub-area dimana limpasan dapat
mengalami infiltrasi jika melewati pervious sub-area tetapi tidak dapat jika melewati
impervious sub-area. Limpasan dapat mengalir dari satu sub-area ke sub-area lainnya atau
mengalir ke bersama ke satu titik outlet.

5.1.2. Pengukuran dan penggambaran


Pengukuran situasi dengan poligon tertutup untuk menggambarkan posisi saluran dengan
ketentuan sebagai berikut:
1) Pengukuran yang dilaksanakan harus dapat memberikan gambaran yang jelas
mengenai medan lapangan yang diukur sesuai keperluan perencanaan.
2) Pengukuran saluran meliputi pengukuran profil memanjang, melintang dan peta situasi.
Pengukuran profil melintang dilaksanakan pada jalur lurus setiap 50 m dan kurang dari
50 m untuk jalur belokan dan daerah padat.
3) Toleransi kesalahan pengukuran leveling maksimum adalah..7 d (mm).....dengan d
adalah jarak diukur dalam kilometer (km).

20 dari 43
SNI 03-2406-1991

4) Toleransi kesalahan penutupan sudut poligon sebesar maksimal 10 n.. (detik) dengan n
adalah jumlah titik poligon.
5) Pengukuran menggunakan titik acuan ketinggian dan koordinat tertentu yang terikat
dengan titik triangulasi yang ada, bila titik triangulasi tidak ada dapat dipakai titik acuan
yang ada yang ditetapkan instansi setempat.
Dalam penggambaran, ketentuan yang diperlukan adalah sebagai berikut
1) Peta sistem drainase, jaringan jalan, tata guna lahan dan topografi. (kontur setiap 0.5 m
sampai 2 m) dibuat dengan skala 1:5000 sampai 1:10.000.
2) Gambar potongan memanjang saluran, horizontal 1:1000, vertikal 1:100
3) Gambar potongan melintang saluran, horizontal dan vertikal skala 1: 100
4) Gambar detail bangunan skala 1: 10 sampai 1:100.

5.1.3. Penyelidikan tanah


Ketentuan yang perlu dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1) Pengambilan sampel dipilih pada tempat-tempat yang akan memikul konstruksi
bangunan pelengkap saluran seperti: jembatan, rumah pompa, gorong-gorong yang
relatif besar, dinding penahan tanah dan lain lain.
2) Minimal 2 sampel untuk daerah yang labil untuk menentukan konstruksi saluran.
3) Jenis penyelidikan tergantung dari jenis konstruksi.
4) Pengukuran angka permeabilitas tanah dan penentuan jenis tanah.

5.1.4. Perhitungan hujan rencana


Estimasi banjir rencana menggunakan analisa frekuensi banjir tahunan (Annual Maximum
Flood Frequency) disyaratkan jika data banjir maksimum sesaat tahunan layak digunakan.
Panjang pencatatan yang digunakan minimal 5 tahun - 20 tahun. Estimasi banjir dengan
metode ini hanya menghasilkan puncak banjir sesaat, jika dibutuhkan hidrograf maka
metode ini tidak dapat digunakan. Jika data banjir maksimum sesaat tidak diperoleh maka
harus dicari cara lain. Persyaratan lain seri data yang digunakan harus lolos test statistik
seperti homogenitas, independensi, stasionaritas.
Analisis frekuensi juga digunakan memilih distribusi yang sesuai untuk :
a. Hujan harian maksimum tahunan untuk estimasi banjir rencana menggunakan
pendekatan hubungan hujan-limpasan.
b. Pada analisis Intensitas durasi frekuensi (IDF) untuk hujan durasi pendek dengan
pendekatan korelasi regresi
c. Kebutuhan lain.
Jenis distribusi frekuensi yang banyak digunakan dalam hidrologi adalah : Distribusi
Gumbel, Distribusi Log Pearson tipe III, Distribusi Log Normal, Distribusi Normal.
Dalam kenyataannya jarang sekali dijumpai data hujan yang sesuai dengan distribusi
normal. Masing-masing distribusi memiliki sifat-sifat khas, sehingga setiap data hidrologi
harus diuji kesesuaiannya dengan sifat statistik masing-masing distribusi. Pemilihan
distribusi yang tidak tepat dapat mengundang kesalahan yang cukup besar, dengan
demikian pengambilan salah satu distribusi secara sembarang sangat tidak dianjurkan.

21 dari 43
SNI 03-2406-1991

Secara umum beberapa sifat khas masing-masing distribusi, sebagai berikut:

 Distribusi Normal
Memiliki sifat khas yaitu nilai asimetrisnya (skewness) hampir sama dengan nol (Cs  0)
dengan kurtosis = 3
 Distribusi Log Normal
Memiliki sifat khas yaitu nilai asimetrisnya (Skewness) Cs hampir sama dengan 3 dan
bertanda positif. Atau dengan nilai Cs kira-kira sama dengan tiga kali nilai koefisien
variassi Cv.
 Distribusi Gumbel Tipe I
Memiliki sifat khas yaitu nilai asimetrisnya (skewness) Cs  1,1396. Sedangkan nilai
kurtosis Ck  5,4002
 Distribusi Log Pearson Tipe III
Tidak mempunyai sifat khas yang dapat dipergunakan untuk memperkirakan jenis
distribusi ini.
Sebaran peluang yang sesuai dengan seri data hujan atau banjir dapat diuji dengan
berbagai pendekatan. Pendekatan yang lazim digunakan adalah cara grafis dan pemilihan
secara visual dengan plot data ke dalam kertas distribusi dengan berbagai cara seperti
Weibull. Hazen dsb. Data yang mendekati teoritisnya dianggap yang sesuai dan dipilih
distribusinya. Selain visual dilakukan uji kedekatan (goodness of fit test) Chi-Square,
Smirnov –Kolmogorov, Standard Error dan Least Square.
Di luar negeri sudah ada standar atau pedoman sebaran mana yang dipakai, di Indonesia
standard tersebut belum ada. Menurut WMO No.718 sebaran peluang hujan yang banyak
digunakan dan menjadi standard adalah sebaran Gumbel (20 negara) dan Log Normal (10
negara). Sedangkan sebaran peluang untuk banjir yang banyak digunakan dan dipakai
sebagai standard adalah Gumbel dan Log Normal (16 negara) dan Log Pearson Tipe III (13
negara). Analisa frekuensi ini dapat dilakukan dengan mudah dan sederhana yaitu
pendekatan Matematis cara Kite.

5.1.4.1 Metode matematis Kite


Analisa frekuensi ini dapat dilakukan dengan mudah dan sederhana yaitu pendekatan
Matematis cara Kite. Metode ini menggunakan persamaan Chow seperti berikut :

X T  X  K * S …………………………………………………………….(1)
dengan :
XT : Debit/hujan rencana periode ulang T tahun.

X : Debit/hujan maximum rata-rata tahunan.
K : Koefisien kekerapan menurut Kite.
S : Simpangan baku.

a. Sebaran peluang normal.


Persamaan estimasi banjir/hujan rencana periode T tahun:

XT  X  KN *S ……………………………………………………….(2)
dengan :
KN : koefisien kekerapan normal dan dirumuskan seperti berikut :

22 dari 43
SNI 03-2406-1991

C 0  C1W  C 2W 2
KN  W  ……………………………………….(3)
1  d1W  d 2W 2  d 3W 3
 1 
W  ln 2  untuk p<0,5  p : probability ……………….(4)
p 
 1 
W  ln  untuk p>0,5  p : probability ……………….(5)
 (1  p )
2

C0 = 2,515517 d1 = 1,432788
C1 = 0,802853 d2 = 0,189269
C2 = 0,010328 ` d3 = 0,001308

b. Sebaran Peluang Log Normal Dua Parameter.


Persamaan estimasi banjir/hujan rencana periode T tahun :

X T  X  K LN * S ……………………………………………………….(6)
dengan :
K LN : Koefisien kekerapan Log Normal Dua

Untuk mendapatkan besaran kekerapan jenis sebaran ini, seri data yang ada dibuat dalam
bentuk ln terlebih dahulu untuk mendapatkan harga rata-rata dan simpangan bakunya.
Koefisien kekerapan log normal 2 dirumuskan seperti di bawah ini :
 S 
 SY *K N  Y 
e  2 
1
K LN 
e S Y2
 1
0 ,5 ……………………………….(7)

Koefisien kekerapan log Normal dua ini sedikit kompleks, untuk mempermudah dapat
digunakan kekerapan normal (KN), tetapi rumus umumnya berubah seperti berikut :

XY  K N *SY
XT  e ……………………………………………………….(8)
dengan :

XY : Debit/hujan maksimum tahunan rata rata dalam bentuk ln

SY : Simpangan baku dalam bentuk ln.

c. Sebaran Peluang Gumbel


Sebaran peluang ini menghasilkan estimasi paling besar diantara sebaran peluang yang lain
jadi pemilihannya harus sangat hati-hati karena dapat menyebabkan overdesign.
Persamaan estimasi banjir/hujan rencana periode T tahun :

X T  X  KG * S ………………………………………… …………….(9)

  1 
K G  0,45  0,7797 ln  ln1    …………..………………….(10)
  T 
dengan :

23 dari 43
SNI 03-2406-1991

KG : koefisien kekerapan Gumbel

T : periode ulang T tahun


d. Sebaran Peluang Pearson Tipe III
Persamaan estimasi banjir/hujan rencana periode T tahun :

X T  X  K P3 * S …………………………………………………….(11)
2 3 4 5

K P3  C  1
 
C 

C 
 
C  1C 
 K N  K  1  S   K N3  6K N  S   K N2  1  S   K N  S    S 
2
N
 6  3  6   6   6  3 6 
……………………………….(12)
dengan :
CS : koefisien kemencengan (Skewness coeficient)

e. Sebaran peluang Log Pearson Tipe III


Pada sebaran peluang ini hampir sama dengan sebaran peluang Log Normal dua parameter
yaitu seri data diubah kedalam bentuk ln dan dihitung rata-rata serta simpangan bakunya.
Koefisien kekerapan menggunakan koefisien Pearson III. Persamaan estimasi banjir/hujan
rencana periode T tahun :

XY  K P 3*SY
XT  e …………………………………………………….(13)
dengan :

XY : Debit/hujan maksimum tahunan rata rata dalam bentuk ln

SY : Simpangan baku dalam bentuk ln.

5.1.5. Perhitungan hujan wilayah


Metode yang digunakan dalam perhitungan curah hujan rata-rata wilayah daerah aliran
sungai (DAS) terdapat tiga macam cara :

1) Cara rata-rata aljabar


Tinggi rata-rata curah hujan yang didapatkan dengan mengambil nilai rata-rata hitung
(arithmetic mean) pengukuran hujan di pos penakar-penakar hujan didalam areal
tersebut. Jadi cara ini akan memberikan hasil yang dapat dipercaya jika pos-pos
penakarnya ditempatkan secara merata di areal tersebut, dan hasil penakaran masing-
masing pos penakar tidak menyimpang jauh dari nilai rata-rata seluruh pos di seluruh
areal (CD Soemarto, 1999).
d1  d2  ...  dn n
di
d
n
= n
i 1

di mana :

d = tinggi curah hujan rata-rata

24 dari 43
SNI 03-2406-1991

d1, d2, dn = tinggi curah hujan pada pos penakar 1, 2, ….n


n = banyaknya pos penakar

2) Cara Poligon Thiessen


Menurut Kiyotaka Mori dkk. (1977), metode ini sering digunakan pada analisis hidrologi
karena metode ini lebih teliti dan obyektif dibanding metode lainnya dan metode ini
dapat digunakan pada daerah yang memiliki titik pengamatan yang tidak merata. Cara
ini adalah dengan memasukkan faktor pengaruh daerah yang mewakili oleh stasiun
hujan yang disebut faktor pembobotan atau koefisien Thiessen. Untuk pemilihan stasiun
hujan yang dipilih harus meliputi daerah aliran sungai yang akan dibangun. Besarnya
koefisien Thiessen tergantung dari luas daerah pengaruh stasiun hujan yang dibatasi
oleh poligon-poligon yang memotong tegak lurus pada tengah-tengah garis penghubung
stasiun. Setelah luas pengaruh tiap-tiap stasiun didapat, maka koefisien Thiessen dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut (CD Soemarto, 1999) :
Ai
C
A total
A 1R 1  A 2R 2  ...  A nR n
R
A 1  A 2  ...  A n
di mana :
C = Koefisien Thiessen
Ai = Luas pengaruh dari stasiun pengamatan i
A = Luas total dari DAS

R = Curah hujan rata-rata
R1, R2,..,Rn = Curah hujan pada setiap titik pengukuran (stasiun)

Sta 2
Batas DAS

A2 Poligon Thiessen

Sta 1 A3
Sta 3
A1 A4

Sta 4
A5
A6 A7

Sta 5 Sta 6 Sta 7

Gambar 2 Metode Thiessen

25 dari 43
SNI 03-2406-1991

3) Cara Isohyet
Dengan cara ini, kita dapat menggambar dulu kontur tinggi hujan yang sama (isohyet),
seperti terlihat pada Gambar dibawah ini, Selanjutnya luas bagian diantara isohyet-
isohyet yang berdekatan diukur, dan nilai rata-rata dihitung sebagai nilai rata-rata
timbang nilai kontur sebagai berikut (CD Soemarto, 1999) :
d0  d1
A 1 d1 2d2 A 2  ...  dn 12 dn A n
d 2

A 1  A 2  ...  A n
n n


i 1
d i 1  d i
2
Ai 
i 1
d i 1  d i
2
Ai
= n
=
A
A
i 1
i

di mana :
A = A1+A2+…+An (luas total area)

d = tinggi curah hujan rata-rata area
d0, d1, dn= curah hujan pada isohyet 0, 1, 2,…, n

Batas DAS
Stasiun hujan
Kontur tinggi hujan

A1 A3 A4 A5 A6
A2

50 mm 60 mm 70 mm
10 mm 40 mm
20 mm 30 mm

Gambar 3 Metode Isohyet

5.1.6. Penentuan Intensitas hujan (Analisa IDF)


Estimasi banjir rencana dalam drainase perkotaan menggunakan pendekatan hubungan
hujan-limpasan, pada umumnya mempunyai waktu konsentrasi atau waktu sampai puncak
banjir yang pendek dalam orde puluhan menit. Dengan demikian waktu untuk mencapai
puncak banjir menjadi lebih pendek dari pada durasi hujannya. Untuk estimasi banjir rencana
baik hanya puncak maupun hidrografnya dibutuhkan hujan rencana dengan durasi sama
dengan waktu konsentrasinya. Besaran tersebut dapat diestimasi dari Intensitas Durasi
Frekuensi (IDF). Cara mendapatkan lengkung IDF dapat diperoleh dengan dua macam
pendekatan yaitu :
1. Analisa Frequency dan Korelasi Regresi menggunakan data hujan durasi pendek dari
pos hujan otomatik (Automatic Rainfall Recorder, ARR) yang cukup panjang.
2. Rumus Empiris dari Bell.

IDF dapat di estimasi dengan dua pendekatan, yang pertama jika tidak ada data hujan
durasi pendek maka dapat digunakan pendekatan Bell dengan menggunakan data hujan

26 dari 43
SNI 03-2406-1991

harian maksimum tahunan rata-rata di daerah tersebut dan jumlah hari hujan tahunan
rata-rata yang sekali hujan lebih besar dari 10 mm. Pendekatan kedua menggunakan
analisa frekuensi dan regresi dengan data hujan durasi pendek. Pendekatan ini dilakukan
dengan persaman Sherman dan Talbot.

5.1.6.1 IDF dengan Rumus Bell

R1060  0,92 * M 0, 67 * N 0,33 ………………..………..…..(14)



RTt  R1060 0,14 * ln T  0,68 0,54 * t 0, 25  0,5  ….…..(15)
Dengan :
R 1060 : Ketinggian hujan durasi 60 menit periode ulang 10 tahun
M : Hujan harian maksimum tahunan rata2
N : Jumlah hari hujan tahunan rata2 dengan tinggi hujan > 10 mm

1 < N < 80 dan 50 < M< 115


t : durasi hujan (menit)
T : periode ulang (tahun)
t
R T : Hujan badai durasi t menit dan periode ulang T tahun.

5.1.6.2 IDF dengan Analisa Frekuensi dan Korelasi Regresi

a. Rumus Sherman :
a
IT  mm/jam
tn
log a 
(log I )(log t ) 2   (log t * log I )(log t ) ..............................(16)
N (log t ) 2   (log t )(log t )

n
(log I )(log t )  N (log t * log I )
N log t    (log t )(log t )
2
…………..………………….(17)

dengan :
IT : intensitas hujan untuk periode ulang T tahun dengan durasi t menit (mm/jam)
a, n : konstanta
t : durasi hujan (menit)
N : jumlah jenis durasi.
T : Periode Ulang (Tahun)

Langkah Pengerjaan Persamaan Sherman.


1. Kumpulkan data hujan durasi pendek 5 menitan, 10 menitan dan seterusnya yang
maksimum dalam satu tahun untuk beberapa tahun (lebih dari 10 tahun).
2. Lakukan analisa Frekuensi mengikuti salah satu distribusi (Gumbel, Log Normal,
Pearson Type III atau Log Pearson Type III). Gunakan persamaan Chow menurut

Kite : X T  X  K * S
3. Dari langkah 2 diperoleh hujan rencana periode ulang T tahun untuk berbagai
durasi hujan yang digunakan.
4. Hitung Intensitas hujannya (I) dalam mm/jam untuk setiap durasi dengan cara:

27 dari 43
SNI 03-2406-1991

60
It  * RTt
t
dengan :
It : Intensitas hujan durasi t menit
t : durasi hujan (menit)
RTt : Hujan rencana periode ulang T tahun durasi t menit
5. Buat tabel perhitungan untuk setiap periode ulang (lihat Tabel 2)

Tabel 2. Perhitungan IDF periode ulang T tahun.

No. Durasi, Rt (mm) It (mm/jam) = Log I Log t (Log t)2 (log t *


t,mnt I log I)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1. 5 (60/(2))*(3) Log(4) Log(2) (6)2 (5)*(6)
2. 10
. .
. .
N
N ∑(logI) ∑(logt) ∑(logt)2 ∑(logt *
logI)

6. Masukkan ke dalam rumus dan hitung Intensitas hujan sesuai dengan periode
ulangnya dan durasinya.
7. Jika mau membuat lengkung IDF, hitung intensitas hujan untuk berbagai durasi.
Hubungkan sehingga dapat membuat lengkungnya
Ulangi untuk periode ulang yang lain

b. Rumus Talbot :
a
IT  mm/jam ……………………….……………………..(18)
t b
a
   
( I * t ) ( I 2 )  ( I 2 * t ) ( I )
 
N ( I 2 )  ( I )( I )
...............................................(19)

b
( I )( I * t )  N ( I 2 * t )
N ( I 2 )  ( I )( I )
...........................................................(20)

dengan :
IT : Intensitas hujan periode ulang T tahun dengan durasi t menit (mm/jam)
a, b : konstante
N : jumlah jenis durasi yang digunakan
I : intensitas hujan (mm/jam)
t : durasi hujan (menit)
T : periode ulang (Tahun)

Langkah Pengerjaan Persamaan Talbot.


Langkah sama dengan Sherman Tabel perhitungan dan rumus berbeda (Lihat Tabel 5).

Tabel 3. Perhitungan IDF periode ulang T tahun.


No. Durasi,t, menit Rt (mm) It (mm/jam) = I2 I*t I2*t
I
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. 5 (60/(2))*(3) (4)2 (4)*(2) (5)*(2)
2. 10

28 dari 43
SNI 03-2406-1991

. .
. .
N
N ∑(I2) ∑(I*t) ∑(I2*t)

5.1.7. Perhitungan Koefisien Runoff (C)


Koefisien runoff untuk drainase perkotaan sangat dipengaruhi oleh daerah kedap air dan
dirumuskan seperti berikut :
C  0,9 I m  (1  I m )C p
dengan :
Cp : koefisien runoff untuk daerah tidak kedap air.
Im : rasio kedap air
AKEDAPAIR
I m
ATOTAL
Koefisien runoff dan rasio kedap air dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini :
Tabel 4. Koefisien Runoff dan persentase kedap air
Tata guna lahan Karakteristik C Im (%) Keterangan
Pusat 0,90 100
perbelanjaan dan
perkantoran
Industri Bangunan penuh 0,80 80 Berkurang unt bangunan tidak penuh
Pemukiman 20 rmh/ha 0,48 30 Bandingkan daerah kedap air
(kepadatan 30 rmh/ha 0,55 40 dengan daearah lain
menengah – 40 rmh/ha 0,65 60
tinggi) 60 rmh/ha 0,75 75
Pemukiman 10 rmh/ha 0,40 < 20 CN =85
(kepadatan (Curve Number dari SCS)
rendah)
Taman Daerah datar 0,30 0
Pedesaan Tanah berpasir 0 C = 0,2; CN = 60
Tanah berat 0 C = 0,35; CN = 75
(heavy soil)
Daerah irigasi 0 C = 0,50; CN = 85
Sumber : ............................

Untuk C komposit dapat dihitung dengan perumusan seperti berikut :


C1 * A1  C 2 * A2  ...  C n * An
Ck  …………………………………….(23)
ATOTAL

5.1.8. Perhitungan waktu konsentrasi


Waktu konsentrasi diartikan sebagai waktu yang dibutuhkan perjalanan aliran dari titik
terjauh sampai titik tinjau (outlet). Waktu konsentrasi untuk aliran air ini dibedakan menjadi 3
jenis yaitu untuk aliran permukaan di lahan (overland flow), aliran di pipa (pipe flow) dan
aliran di saluran (channel flow). Masing-masing mempunyai pendekatan perumusan untuk
waktu konsentrasi. Perumusan tersebut disusun seperti berikut :

1) Waktu Konsentrasi di lahan


Beberapa pendekatan estimasi waktu konsentrasi untuk aliran di lahan dapat digunakan
seperti persamaan berikut :

29 dari 43
SNI 03-2406-1991

a) Persamaan Izzard (1994)


tC  526 , 4 * K * L
i2 / 3
menit  untuk i * L < 3871 ...................................(24)
Dengan :
L : panjang aliran di lahan (m)
i : intensitas hujan (mm/jam)
2,756 * 10 4 * i  C r
K .......................................................................(25)
S 2/3
S : slope (m/m)
Cr : Koefisien penghalang seperti berikut :
Aspal sangat halus 0,0070
Permukaan tir dan perkerasan pasir. 0,0075
Atap 0,0082
Beton 0,0120
Permukaan tir dan perkerasan krikil 0,0170
Rumput rapat 0,0460
Alang-alang rapat 0,0600

b) Persamaan Kerby (1959)



t C  1,44 * L * n * S 0,5 0 , 467
menit  untuk L < 365 m .......................(26)
dengan :
L : panjang aliran (m)
S : slope (m/m)
n : koefisien kekasaran
Perkerasan dengan permukaan halus 0,02
Rumput yang gersang 0,30
Rumput yang sedang 0,40
Rumput yang rapat 0,80

c) Persamaan Kirpich (1940)


Persamaan ini dapat digunakan di daerah pedesaan dengan persamaan :
 L0,77 
t C  0,0195 *  0,385  menit .......................................................................(27)
S 

dengan :
L : panjang aliran (m)
S : slope (m/m)

d) FAA (Federal Aviation Administration)


Daerah perkotaan dengan panjang aliran antara 60 – 100 m dirumuskan seperti berikut :

tC 

0,552 * 1,8 * (1,1  C ) * L0,5  menit ...............................................(28)
S 1/ 3
dengan :
C : koefisien runoff
L : panjang aliran di lahan (m)
S : kemiringan lahan (%)

2) Waktu Konsentrasi di saluran:


Untuk estimasi waktu konsentrasi di saluran di gunakan pendekatan seperti berikut :
L
td  menit ...................................................................................(29)
60 * V
30 dari 43
SNI 03-2406-1991

dengan
L : panjang saluran (m)
V : kecepatan aliran rata-rata (m/dt).

5.1.9. Perhitungan debit banjir rencana


Debit banjir rencana pada setiap profil sungai merupakan data yang paling penting untuk
perencanaan perbaikan dan pengaturan sungai (Sosrodarsono dan Tominaga, 1985).
Besarnya debit banjir rencana yang dipakai biasanya bervariasi tergantung pada orde
saluran, yaitu sebagai berikut:
 Saluran primer (sungai orde 1) : debit dengan periode ulang 25-tahunan
 Saluran sekunder : debit dengan periode ulang 10-tahunan
 Saluran tersier : debit dengan periode ulang 2-tahunan
Ada beberapa metode untuk memperkirakan debit banjir (laju aliran puncak). Metode yang
dipakai pada suatu lokasi lebih banyak ditentukan oleh ketersediaan data. Secara umum,
metode yang umum dipakai adalah Rasional.

1) Metode Rasional

Metode untuk memperkirakan laju aliran permukaan puncak yang umum dipakai adalah
metode Rasional USSCS (1973). Metode ini sangat sederhana dan mudah penggunaanya
namun tidak dapat menerangkan hubungan curah hujan dan aliran permukaan dalam bentuk
hidrograf, penggunaannya terbatas untuk DAS-DAS dengan ukuran kecil, lihat tabel dibawah
ini.
Tabel 5. Luasan Maksimum menggunakan metode Rasional di berbagai negara.
Negara Tahun Sumber Luas maks (ha)
Amerika Serikat 1993 ASCE, WEF Manual of Practice 40 - 80
Inggris 1987 UNESCO Manual on Drainage in 10 - 50
Urbanized Areas
Perancis 1987 UNESCO Manual on Drainage in 200
Urbanized Areas
Canada 1987 Ontario Urban Drainage Guidelines 20
Sumber : .................................
Metode rasional dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa hujan yang terjadi mempunyai
intensitas seragam dan merata di seluruh DAS selama paling sedikit sama dengan waktu
konsentrasi (tc) DAS seperti digambarkan pada Gambar 4-5. Jika hujan yang terjadi lamanya
kurang dari tc maka debit puncak yang terjadi lebih kecil dari Qq, karena seluruh DAS tidak
dapat memberikan konstribusi aliran secara bersama pada titik kontrol (outlet). Sebaliknya
jika hujan yang terjadi lebih lama dari tc, maka debit puncak aliran permukaan akan tetap
sama dengan Qp.

31 dari 43
SNI 03-2406-1991

Intensitas hujan I

Laju aliran dan Intensitas


Aliran akibat hujan dengan durasi, D < tc
D = tc Aliran akibat hujan dengan durasi, D = tc

hujan
Aliran akibat hujan dengan durasi, D > tc

tc waktu

Gambar 4 Hubungan curah hujan dengan aliran permukaan untuk durasi hujan
yang berbeda.

Menurut Williams (1950), Pagan (1972), Mitchi (1974) dan yang lain menyatakan bahwa
debit puncak, Qp,, diestimasi dengan metoda rasional Qp,,= CiA sebenarnya adalah puncak
dari hidrograf segitiga. Asumsi yang digunakan intensitas hujan, I, konstant dan terdistribusi
secara merata di daerah tangkapan hujan dengan durasi hujan D seperti terlihat dalam
Gambar 5.

Infiltrasi (1-C)iDA
Hujan Lebih, V1 = CiDA

D = tc
Runoff ft3/dt
V2 = Qp* tc
Qp

tc tc
Gambar 5 Hidrograf Rasional dengan Durasi Hujan (D) = Waktu Konsentrasi

Karena V1 = V2 ; Ci DA = Qp* tc; tc = D –maka  Qp = Ci A


Dengan : Qp = debit puncak (ft3/dt);
i = intensitas hujan (inch/jam);
A = Luas daerah pengaliran ( acre)
C = koefisien pengaliran,
D = durasi hujan (jam)
tc = waktu konsentrasi (jam).

32 dari 43
SNI 03-2406-1991

Infiltrasi (1-C)iDA
Hujan lebih, V1 = CiDA

V2 = Qp*D

Qp
penting

tc D-tc tc
D

Gambar 6. Hidrograf Rasional dgn Durasi Hujan (D) > Waktu konsentrasi (tc)

Karena V1 = V2 ; Ci DA = Qp* D; maka  Qp = Ci A


Dengan : Qp = debit puncak (ft3/dt);
i = intensitas hujan (inch/jam);
A = Luas daerah pengaliran ( acre)
C = koefisien pengaliran,
D = durasi hujan (jam)
tc = waktu konsentrasi (jam).

Dengan adanya keterbatasan luasan maka rumus rasional yang ada harus dikalikan faktor
koreksi K sehingga perumusan menjadi :
Q T  0 , 00278 * K * C * I * A m3/dt …………………….(22)
dengan
I : mm/jam
A : ha
Harga K sebagai berikut :
 A < 20 ha K=1
 20 ha < A ≤ 50 ha K = 1,05
 50 ha < A ≤ 100 ha K = 1,10
 A > 100 ha K = 1,15

Dalam penentuan besarnya Intensitas Durasi Frekuensi, waktu konsentrasi


memegang peranan penting. Waktu konsentrasi didefinisikan seperti berikut: “ waktu
yang dibutuhkan air mengalir dari titik terjauh di DPS sampai mencapai outlet. “
Metode estimasi waktu konsentrasi (tc) dikembangkan oleh Izzard,s, Kerby, Kirpich,
Giandoti, SCS dan yang lain. Prosedur penggunanaan meyode rasional dapat dilihat
pada skema di gambar 8.
Keterbatasan dari metode ini adalah seperti berikut :
1. koefisien runoff diasumsikan untuk semua faktor kehilangan termasuk
infiltrasi, cegatan, evapotranspirasi dan kehilangan yang lain. Untuk itu
kehati- hatian dalam evaluasi jenis tanah dan tataguna lahan sangat
diperlukan.
2. waktu konsentrasi sulit untuk diestimasikan dengan akurasi yang masuk
akal, berbeda kondisi hujan dan runoff akan memberikan waktu konsentrasi
yang berbeda. Sebaiknya ada
3. Aliran diasumsikan steady, hujannya sragam untuk seluruh area,

33 dari 43
SNI 03-2406-1991

4. Frekuensi hujan dianggap sama dengan frekuensi banjir.


5. Batasan luasan untuk rasional dari beberapa negara seperti pada Tabel 11

34 dari 43
SNI 03-2406-1991

Gambar 7. Prosedur Penggunaan Metode Rasional

Keterbatasan dari metode ini adalah:


6. koefisien runoff diasumsikan untuk semua faktor kehilangan termasuk infiltrasi, cegatan,
evapotranspirasi dan kehilangan yang lain. Untuk itu kehati- hatian dalam evaluasi jenis
tanah dan tataguna lahan sangat diperlukan.
7. waktu konsentrasi sulit untuk diestimasikan dengan akurasi yang masuk akal, berbeda
kondisi hujan dan runoff akan memberikan waktu konsentrasi yang berbeda.
8. Aliran diasumsikan steady, hujannya seragam untuk seluruh area,
9. Frekuensi hujan dianggap sama dengan frekuensi banjir.

2) Metoda lainnya
Metode lainnya untuk menghitung banjir rencana telah dijelaskan dalam SNI terbaru
Perhitungan Debit Banjir Rencana No....... yang dapat digunakan dalam perencanaan waduk
dan pompa. Cek substansi SNI terbaru tersebut terhadap isi Pedoman ini.

5.1.10. Penelusuran Banjir


Sistem hidrologi dengan masukan I(t), keluaran Q(t) dihubungkan dengan persamaan
kesinambungan.

ds / dt = I(t) - Q(t)…………………………………………………………(1)

Bilamana hidrograf aliran masuk, I(t) diketahui persamaan (21) di atas dapat dipecahkan
untuk mendapatkan hidrograf aliran keluar, Q(t), karena Q dan S keduanya tidak diketahui.
Hubungan yang kedua, atau fungsi tampungan, diperlukan untuk menghubungkan S, I dan
35 dari 43
SNI 03-2406-1991

Q. fungsi tampungan dan persamaan kesinambungan merupakan kombinasi pemecahan


kedua persamaan yang mengandung dua anu. Bentuk spesifik dari fungsi tampungan yang
digunakan dalam prosedur ini tergantung dari sistem yang dianalisa. Pada bagian ini, dua
jenis sistem akan dianalisa yang pertama adalah penelusuran waduk oleh metode
penelusuran tampungan dimana tampungan merupakan fungsi non-linier dari Q saja, yaitu
S=f(Q). Fungsi f(Q) ditentukan dengan menghubungkan tampungan waduk dan aliran ke luar
terhadap muka air waduk. Yang kedua, adalah tampungan dihubungkan secara linier
terhadap I dan Q, dalam metode Muskingum. Untuk penelusuran aliran disaluran. Jadi
S=f(Q) untuk metode Muskingum merupakan persamaan linier dalam kondisi ‘’steady’’.
Perbedaan linier dan non-linier dalam kondisi ‘’steady’’ dan ‘’unsteady’’ dapat dilihat pada
gambar 7.3

Gambar 7.3 Perbedaan S = f (Q) yang linier dan non-linier dalam kondisi “Steady
dan unsteady

36 dari 43
SNI 03-2406-1991

Hubungan antara aliran ke luar dan tampungan dalam sistem hidrologi mempunyai pengaruh
penting dalam penelusuran aliran. Hubungan ini dapat bervariasi atau tidak bervariasi.
Fungsi tampungan yang tidak bervariasi S=f(Q), berlaku pada waduk dengan permukaan
airnya horizontal. Waduk tersebut mempunyai tampungan yang lebar dan dalam
dibandingkan dengan panjangnya terhadap aliran. Kecepatan aliran waduk sangat lamban.
Hubungan tampungan akan tidak bervariasi jika aliran keluar waduk pada elevasi muka air
tertentu adalah tertentu adalah tetap dan pasti. Ini berarti sistem kerja pelepasan waduk baik
yang tidak terkontrol oleh pintu harus selalu dipertahankan pada posisi tertentu.

Bila waduk mempunyai air horizontal, tampungannya merupakan fungsi dari elevasi
permukaan airnya. Demikian pula halnya, debit aliran ke luar merupakan fungsi dari elevasi
muka airnya atau ketinggian air diatas mercu bendung. Dengan mengkombinasikan kedua
fungsi tersebut, tampungan waduk dan debit dapat dihubungkan untuk menghasilkan fungsi
tampungan bernilai tunggal atau tidak bervariasi, seperti terlihat pada gambar 3. Untuk
waduk yang demikian puncak aliran ke luar terjadi ketika hidrograf aliran ke luar memotong
hidrograf aliran masuk, lihat Gambar 4, karena tampungan maksimum terjadi pada saat ds/dt
= I - Q = 0 dan hubungan tampungan dan aliran ke luar S = f (Q). Hal ini dijelaskan pada
Gambar 7.4 (a), dimana titik yang menunjukkan tampungan maksimum, R dan aliran ke luar
maksimum, P, berimpit.

Gambar 7.4 Hubungan antara tampungan dan debit

 Penelusuran Banjir di Waduk

Metode ini digunakan untuk menghitung hidrograf aliran ke luar dari waduk dengan muka air
datar, jika diketahui hidrograf aliran masuk dan karakteristik tampungan aliran keluar.
Tampungan di sini mempunyai pengertian isi atau volume air dalam waduk. Dengan

37 dari 43
SNI 03-2406-1991

berubahnya bentuk hidrograf aliran masuk maka adanya isi tampungan akan berubah pula.
Dari persamaan dasar kesinambungan, didapat :

Volume aliran masuk - Volume aliran keluar = Perubahan volume tampungan.

2(In + In+1) t - 2(On +On+1) t = Sn+1 - Sn……………………………(2)

Dimana : In = aliran masuk pada langkah waktu n.

On = aliran keluar pada langkah waktu n.

t = interval waktu.

Sn = volume tampungan di waduk pada langkah waktu n.

Jadi selisih masuk dan keluar merupakan pertambahan jika bernilai positif dan pengurangan
tampungan bila bernilai negatif, seperti terlihat pada Gambar 4.

Selanjutnya persamaan (2) dapat ditulis dengan cara sebagai berikut :

2 S n 1 2S
 On 1  ( n  On )   I n  I n 1  …………………………………….. (3)
t t

Gambar 7.5 Tampungan dalam waduk

Supaya On + 1 dapat dihitung dari persamaan 3, maka fungsi tampungan - aliran keluar
yang berhubungan dengan (2S/t)+O dan O merupakan kebutuhan. Cara untuk
mendapatkan hubungan tersebut adalah melalui hubungan elevasi - tampungan (volume
waduk) dan elevasi-aliran keluar seperti terlihat pada Gambar 7.6 hubungan antara elevasi
muka air dan tampungan atau isi waduk dapat dicari dengan cara mengukur luas
genangannya dari peta topografi atau hasil survai lapangan. Hubungan elevasi-debit aliran

38 dari 43
SNI 03-2406-1991

ditentukan dari rumus hidrolis yang menyangkut air di atas mercu bendung dan debit aliran
yang melalui bendung pelimpah tersebut yang jenisnya berragam.

Pada mulanya Sn dan On perlu diketahui sehingga semua besaran di ruas kanan diketahui
sehingga besaran 2 Sn+1/t + On+1 dapat dihitung.

Nilai besaran On+1 dapat dicari melalui kurva hubungan O dan (2S/t)+O pada gambar 5
atau melalui interpolasi nilai-nilai yang ada dalam tabel. Untuk mencari nilai Sn dan On pada
langkah waktu berikutnya, nilai besaran (2Sn+1/t)-On+1 dihitung melalui persamaan berikut
ini :

2S n 1 2S n
 On  1  (  On  1 )  2On 1 …………………………………………(4)
t t

ruas kanan pada persamaan 4 terdiri dari dua anu yang telah di ketahui besarnya
sebelumnya, (2Sn+1/t+On+1) dan On+1, sehingga ruas kiri dapat dihitung. Prosedur
perhitungan ini diulangi untuk urutan penelusuran.

Gambar 7.6 Prosedur mendapatkan fungsi tampungan – aliran keluar

 Metode Muskingum

Metode ini pada umumnya digunakan sebgai metode penelusuran hidrologi dalam
menangani hubungan antara peubah tampungan dan debit. Model dari metode ini
menggambarkan volume banjir di saluran sebagai kombinasi antara tampungan berbentuk
prisma dan pasak, seperti terlihat pada Gambar 7.7. Pada waktu gelombang banjir datang
dimana aliran masuk melebihi aliran keluar, maka akan terbentuk tampungan berbentuk
pasak. Selama penyusutan atau penurunan muka air, aliran keluar akan melebihi aliran
masuk sehingga menghasilkan tampungan pasak yang negatif. Selain itu ada tampungan

39 dari 43
SNI 03-2406-1991

berbentuk prisma yang selalu terbentuk dengan volume tetap berada di sepanjang
penampang melintang saluran berbentuk prisma.

Bertambahnya air pada suatu bagian saluran sungai akan mengakibatkan naiknya muka air
pada penampang alurnya. Jika kenaikan ini terjadi pada sungai bagian hulu, kenaikan muka
air ini akan merambat ke hilir sebagai gelombang transversal.

Gejala ini dapat dilihat dari terjadinya rambatan gelombang banjir (flood wave) yang
bergerak ke hilir yang mula-mula naik mencapai puncaknya kemudian turun kembali.

Perambatan Banjir digunakan di dalam flood forecasting (peramalan banjir) dan flood control
(pengendalian banjir), untuk menentukan pengaruh dari tampungan saluran dan pengaruh
karakteristik saluran terhadap bentuk dan gerak suatu flood wave (gelombang banjir) yang
bergerak ke hilir.

Flood routing terdiri atas dua type:

a. Penelusuran di saluran terbuka (open channel routing)


b. Penelusuran di waduk (reservoir routing)

Penelusuran disaluran dapat memberikan gambaran dari bentuk, waktu, besaran dan gerak
gelombang banjir (flood wave), sehingga hasilnya dapat digunakan untuk menentukan tinggi
bangunan pengaman banjir, atau untuk keamanan bangunan air lainnya.

Penelusuran di waduk (Reservoir routing) adalah metoda yang dipakai untuk mengevaluasi
dan memodifikasi pengaruh yang terjadi pada gelombang banjir (flood wave) yang melalui
reservoir.

Di dalam perencanaan bangunan air, Penelusuran di waduk dapat juga digunakan untuk
menentukan lokasi dan kapasitas reservoir serta ukuran/dimensi dari konstruksi spill way
dan outlet.

Berdasarkan persamaan yang digunakan dalam proses perhitungan flood routing


digolongkan dalam 2 golongan :

1. Hydrologic river routing, ini menggunakan persamaan kontinuitas

2. Hydraulic river routing,

Hydrologic river routing:

Teknik penelusuran banjir untuk menghitung hidrograp banjir berdasarkan data hidrograp
banjir di pos hidrologi di hulunya, pertama kali dilakukan oleh GRAEFF (1833).

Metoda-metoda yang termasuk dalam golongan hydrologic river routing diantaranya adalah:

40 dari 43
SNI 03-2406-1991

- Metoda Muskingum

- Metoda Graphical Integration

Di dalam seminar ini dipakai metoda Muskingum.

Metoda ini dikembangkan oleh G.T. CARTHY.

Misalnya aliran masuk pada sebuah bagian sungai I m3/detik dan aliran Q m3/detik sebagai
outflow.

Air yang ditampung selama t detik dalam bagian itu adalah S m3.

Dengan demikian persamaan kontinuitas di dalam hydrologic river routing ditulis sebagai
berikut :

S
I Q  .........................................................................................................................(5) Jika
t
diambil sesuatu jangka waktu yang singkat, maka persamaan akan menjadi :

I1  I 2 Q  Q2
t 1 t  S ...................................................................................................(6)
2 2

dimana :

I1 = aliran masuk pada permulaan waktu t

I2 = aliran masuk pada akhir waktu t

Q1 = aliran keluar pada permulaan waktu t

Q2 = aliran keluar pada akhir waktu t

Pada Muskingum Controversy District Flood Control Project dari U.S. Army Corp. of
Engineers pada tahun 1934 – 1935.

Metoda ini didasarkan pada konsep prisma storage dan wedge storage.

41 dari 43
SNI 03-2406-1991

Gambar 7.7 Bagan dari sebagian sungai dan Volume Banjir

Mengingat debit dan besarnya penampungan dapat dinyatakan sebagai fungsi dari
dalamnya air, maka hubungan antara besarnya penampungan (S) dan debit (Q) dapat
dinyatakan sebagai berikut:

S = K . D ………………………………………………………………………………… (7)

K : adalah suatu harga dalam satuan waktu dan disebut koefisien penampungan yang kira-
kira sama dengan waktu perpindahan banjir dalam bagian sungai tersebut.

Umpama angka perbandingan aliran masuk dan aliran keluar yang mempengaruhi besarnya
penampungan itu berturut-turut X dan (1-X), maka:

D = X I + (1 – X) Q …………………………………………………………………...... (8)

Persamaan (7) S = K [ X I + (1 – X) Q] ………………………………….... (9)

Harga-harga K dan X dapat diperoleh dari harga debit I dan Q yang diukur.

Umpamanya permulaan dan akhir waktu itu adalah t dan besarnya penampungan itu adalah
S1 dan S2.

Maka : S1 = K [ X I1 + (1 – X) Q1]…………………………..…………………… (10)

S2 = K [ X I2 + (1 – X) Q2]

Eliminasi S1 dan S2 dengan men-substitusikan kedua persamaan ini dalam persamaan (5),
didapat :

 KX  0.St   KX  0.St   K  KX  0.St 


Q 2   I 2   I1   Q1
 K  KX  0.St   K  KX  0.St   K  Kt  0.St 

Q2 = C0 I2 + C1 I1 + C2 Q1…………………………………………………………….. (11)

Dimana :

KX  0.St
C0  ...................................................................................................(12)
K  KX  0.St
KX  0.5t
C1  ...................................................................................................(13)
K  KX  0.5t
K  KX  0.5t
C2  ...................................................................................................(14)
K  KX  0.5t

angka-angka C0, C1, C2 merupakan angka conventional Muskingum sebagai parameter


dalam persamaan (11).

Jadi Q2 dapat dihitung dengan persamaan (11) jika I1, I2 dan Q1 diketahui.

Interval waktu t yang dipergunakan harus kurang dari 1/5 lamanya banjir.
42 dari 43
SNI 03-2406-1991

Untuk mendapatkan harga K, buat grafik-grafik S.v.s.D dengan menggunakan persamaan


(7) dan (8) untuk beberapa harga X, kemudian tarik garis lurus melalui “pusat sumbu” yang
merupakan “best fit”.

Harga X dicari dengan cara trial & error, dengan mencoba harga-harga X dalam persamaan
(12), (13) dan (14) sehingga C0 + C1 + C2 = 1.

Pada umumnya angka X pada persamaan Muskingum untuk sungai-sungai alam terletak
antara 0 < X < 0,50.

Untuk X = 0,5 keadaan puncak Inflow = puncak outflow.

waktu

Untuk kejadian X = 0 merupakan keadaan reservoir routing.

waktu

Untuk X = 0, maka persamaan (8) menjadi : D = 0.I + (1-0) Q

D=Q

Jadi persamaan (7) menjadi : S = + K . Q …………………………………….. (15)

K dalam satuan waktu merupakan persamaan dari storage function (storage routing) yang
dipakai untuk Routing pada SSARR Model dan APIC Model.

43 dari 43
SNI 03-2406-1991

5.2. Aspek Hidraulika


Hidrolika adalah ilmu yang mempelajari tentang sifat-sifat zat cair. Analisis hidrolika
dimaksud untuk mengetahui kapasitas alur sungai dan saluran pada kondisi sekarang
terhadap banjir rencana, yang selanjutnya digunakan untuk mendesain alur sungai dan
saluran.

5.2.1. Kelayakan Teknis


Perhitungan hidrologi untuk mendapatkan debit rencana dan perhitungan hidraulika untuk
mendapat dimensi saluran harus memperhatikan ketentuan sbb:
1) Tinggi jagaan
2) Debit maksimum bangunan perlintasan/gorong-gorong yang dihitung sebesar 1,1
sampai 1.5 kali debit maksimum saluran
3) Kecepatan maksimum ditentukan kekerasan dinding, dasar saluran dan kemiringan
saluran. Untuk saluran tanah V=0.7 m/det, pasangan batu kali V=2 m/det dan
pasangan beton V=3 m/det.
4) Kecepatan minimum yang diizinkan adalah kecepatan yang paling rendah yang
mencegah pengendapan dan tidak menyebabkan berkembangnya tanaman air.
5) Kecepatan saluran rata-rata dihitung dengan rumus Manning, Strickler atau Chezy.
6) Apabila di dalam saluran eksisting terdapat nilai kekasaran dinding atau koefisien
Manning yang berbeda satu dan lainnya, maka dicari nilai kekasaran dinding
equievalen (neq).
7) Saluran drainase khususnya saluran drainase primer dan sekunder yang terpengaruh
aliran balik harus dihitung pasang surutnya dengan standar step method atau direct
step method.
8) Debit rencana drainase perkotaan dihitung dengan metode rasional atau typical
hydrogram for urban areas
9) Debit rencana saluran primer dalam kota atau melintasi kota dihitung dengan flood
hydrograf.

5.2.2. Saluran Terbuka


1) Penampang tunggal
Untuk desain saluran untuk aliran optimum, semakin besar penampang basah semakin
besar gesekan yang terjadi. Dengan demikian semakin kecil penampang melintang semakin
ekonomis dan tetap memperhitungkan tinggi jagaan. Berbagai jenis penampang melintang
dengan luas dan penampang basah dapat dilihat pada Tabel 6 berikut :
Tabel 6 Jenis Penampang Melintang
Penampang Melintang Luas Basah (A) Keliling Basah (P)

b*y b + 2y
y
b

1:m y y2/tgθ 2y/sinθ


 

44 dari 43
SNI 03-2406-1991

y 1:m
A  b  m * y  * y 
P  b  2 1 m2 
1/ 2
*y

D2 2y
arc. cos(1  )  2y
D 4 D D.arc.cos(1 )
D
y ( D  2 y) yD  y 2

b y2
[ 1  16 2 
2 b
b b 4y
2/3 b*y ( ) * ln( 
y 4y b
16 y 2
1 )]
b2
Sumber : ...........................

Untuk menghitung debit rata-rata aliran uniform dapat didekati dengan rumus :
Q  A * V m3/dt ……………………………………......…….………(30)
dengan :
A : luas penampang basah (m2)
V : kecepatan aliran rata-rata (m/dt)

Estimasi kecepatan rata-rata mengunakan pendekatan manning seperti berikut :


1 2 / 3 1/ 2
V  R S m/dt ...................................................................................(31)
n
dengan :
R : = A/P
S : kemirngan saluran (m/m)
A : luas penampang basah (m2)
P : keliling basah (m)
N : koefisien kekasaran manning.

2) Penampang Komposit.
Penampang melintang komposit merupakan campuran dari berbagai bahan misal beton,
batu, permukaan tanah yang mempunyai koefisien kekasaran berbeda-beda. Untuk estimasi
debit dihitung untuk setiap bagian yang berbeda koefisien kekasarannya seperti gambar 12
berikut :

45 dari 43
SNI 03-2406-1991

I III II
h1 h1
1:m1 n1 n2 1:m2

1:m3 h2 1:m3
b1 b2
n3

b3

Gambar 8 Penampang lintang Komposit

 m *h 
A1   b1  1 1  * h1 …………………………………………….(32a)
 2 
 m *h 
A2   b2  2 1  * h1 …………………………………………….(32b)
 2 
A3  b3  m3 * h2  * h2  b3  2m3 * h2  * h1 …………………………….(32c)

P1  b1  1  m12  *h
1/ 2
1 …………………………………………….(32d)
P2  b2  1  m  * h
2 1/ 2
2 1 …………………………………………….(32e)
P3  b3  21  m  * h
3
2 1/ 2
2 …………………………………………….(32f)

Debit yang lewat saluran Komposit :


Q   Q  Q1  Q2  Q3 ………………...………………………...….(33)
Kecepatan aliran rata rata
Q
V  ………………………………………..…………………….(34)
A

5.2.3. Saluran Tertutup


Analisis Aliran pada Gorong-gorong
1) Kontrol Pemasukan (Inlet control)
Untuk kondisi kontrol pemasukan, kapasitas gorong-gorong dibatasi oleh luas
penampang daripada kondisi di hilir. Perhitungan kontrol pemasukan terdiri pemasukan
tidak tengggelam (unsubmerged inlet) dan pemasukan tenggelam (submerged inlet).
a) Pemasukan tidak tenggelam
M
HW i H c  Q 
  K 0.5 
 0.5S
D D  AD 

M
HW i  Q 
 K 0.5 
D  AD 
46 dari 43
SNI 03-2406-1991

b) Pemasukan tenggelam
2
HW i  Q 
 c 0.5 
 Y  0.5S
D  AD 
Dimana :
HWi = kedalaman energi air puncak diatas dasar gorong-gorong pada
pemasukan (m)
D = diameter gorong-gorong (m)
Hc = puncak spesifik pada kedalaman kritis (dc + Vc2/2g) (m)
Q = debit yang melewati gorong-gorong (m3/dt)
A = luas penampang melintang gorong-gorong (m2)
S = kemiringan gorong-gorong (m/m)
K,M,c,Y = konstanta, tergantung bentuk gorong-gorong dan kondisi
pemasukan
2) Kontrol Pengeluaran (Outlet control)
Untuk kontrol pengeluaran dapat menggunakan rumus Bernoulli’s untuk menghitung
perubahan energi melalui gorong-gorong dibawah kondisi kontrol pengeluaran. Rumus
yang digunakan adalah :
α 3 V32 α 2 V22
Z 3  Y3   Z 2  Y2  HL
2g 2g
Dimana :
Z3 = elevasi dasar upstream pada gorong-gorong
Y3 = kedalaman air diatas elevasi dasar upstream
V3 = kecepatan rata-rata upstream pada gorong-gorong

Kehilangan Energi Pada Gorong-Gorong


3) Kehilangan energi pada pemasukan (entrance):

V2
h e  0,5
2g
4) Kehilangan energi sepanjang gorong-gorong
L V 2
hf 
D 2g
5) Kehilangan energi pada pengeluaran (exit):
V2
ho 
2g
Dimana:
V = kecepatan aliran dalam gorong-gorong

47 dari 43
SNI 03-2406-1991

 = koefisiengesekan pada dinding gorong-gorong


L = panjang gorong-gorong
D = diameter gorong-gorong

48 dari 43
SNI 03-2406-1991

5.2.4 Pemodelan dan Metode Perhitungan Saluran dan Daerah Layanan (Step
Method)

Pemodelan ini menggunakan metode rasional yang dilakukan langkah demi langkah yang
menggabungkan antara overland flow dan channel flow. Langkah pertama yang harus
dilakukan adalah membuat skematisasi dari suatu saluran untuk pemodelan serta
penomoran saluran maupun daerah layanan. Pembagian daerah layanan dan arah aliran
harus ditentukan terlebih dahulu. Sebagai contoh dapat dilihat pada Gambar 9 berikut :

A1
A2
2
1 3

A4
A3
5 6 Sungai
4

A5 A6

8
7
Gambar 9 . Daerah layanan Drainase 1

Data Saluran :
L, n, kemiringan, desain awal : dimensi saluran
Data lahan:
A, C, kemiringan, beda tinggi
Data hujan : Intensitas hujan.

5.2.4.1 Proses pemodelan

1. Saluran 1-2 menerima aliran dari A1


2. Saluran 3-2 menerima aliran dari A2
3. Saluran 2-5 menerima aliran dari saluran 1-2 dan 2-3 dengan luasan
A1+A2
4. Saluran 4-5 menerima aliran dari A3
5. Saluran 6-5 menerima aliran dari A4
6. Saluran 5-7 menerima aliran dari saluran 4-5; 6-5; 2-5 dan lateral inflow dari
luasan A5 dan A6 dengan luasan total A1+A2+A3+A4+A5+A6.
7. Saluran 5-7 menerima aliran dari saluran 5-7 dengan luasan total
A1+A2+A3+A4+A5+A6
8. Gambar dalam bentuk skema (lihat Gambar 10)

49 dari 43
SNI 03-2406-1991

2 3
A1 1 A2
C1 C2

5 A4
4 6
A3 C4
C3
A5 7 A6
C5 C6

Gambar 10 Skematisasi dan Penomoran

5.2.4.2 Prinsip Perhitungan

a. Waktu konsentrasi merupakan penjumlahan dari waktu konsentrasi di lahan dan waktu
perjalanan aliran di saluran yang dirumuskan seperti berikut :
TC  t o  t d menit
dengan :
TC : waktu konsentrasi lahan dan saluran
to : waktu konsentrasi di lahan dapat diestimasikan dengan
berbagai rumus seperti Kirpich, SCS , FAA dsb
td : waktu perjalanan aliran di saluran dirumuskan sebagai
panjang aliran dibagi dengan kecepatan atau :
L m
td    dt  dijadikan menit (dibagi dengan 60)
V m / dt
dengan
L : panjang saluran (m)
V : kecepatan aliran (m/dt), dirumuskan seperti berikut :
1
V  * R 2 / 3 * i 1 / 2 m/dt
n
dengan :
n : koefisien kekasaran manning
A
R , A : luas penampang basah (m2)
p
dan p : keliling basah (m)
i : kemiringan saluran (m/m)
b. Waktu konsentrasi dipilih yang terpanjang dari seluruh lahan yang masuk ke saluran yang
didesain.
c. Luas lahan merupakan luas total dari lahan yang masuk kesaluran yang didesain.

50 dari 43
SNI 03-2406-1991

d. Koefisien runoff merupakan koefisien runoff komposit (gabungan) dari seluruh lahan yang
masuk ke saluran yang di desain.

5.2.4.3 Prosedur Desain

Sesudah layout dibuat, maka ditentukan daerah layanan dan batas layanan serta
skema pemodelan. Setelah itu langkah yang dapat ditempuh seperti berikut :
Sebagai contoh satu lahan dengan satu saluran lihat gambar

S, A,C
LAHAN
D

Saluran
i, n,L, dimensi

Gambar 11 Lahan tunggal

LAHAN
1. Panjang aliran = D m; kemiringan lahan S %
2. Hitung Koefisien runoff C dengan memperhitungkan daerah kedap air.
3. Hitung waktu konsentrasi
0,552 * (1,8 * (1,1  C ) * D 0,5
t0  menit
S 1/ 3

SALURAN
1. Tentukan dimensi saluran (Desain). :

1:m H

Gambar 12. Penampang tunggal

Hitung penampang basah = A (m2) dan keliling basah = p (m)


2. Tentukan koefisien kekasaran manning = n
3. Hitung panjang aliran = L (m) dan kemiringan saluran = i (m/m)
4. Hitung kecepatan aliran = V (m/dt).
5. Hitung waktu aliran = td (menit).
6. Hitung Kapasitas saluran
QS  A * V (m3/dt)

51 dari 43
SNI 03-2406-1991

GABUNGAN
1. Hitung Tc = to +td (menit)
2. Buat lengkung IDF untuk periode ulang yang ditentukan dengan Rumus empiric
Bell atau analisa frekuensi dan korelasi regressi baik Sherman maupun Talbot.
3. Hitung Intensitas hujan IT dengan periode ulang yang ditentukan untuk durasi
sama dengan waktu konsentrasinya (Tc).
4. Hitung debit banjir rencana menggunakan Rumus Rasional ( Koefisien runoff C
sudah dihitung di lahan). Dengan rumus :
Q  k * C * I * A m3/dt.
5. Jika Q < QS  Okey
Q > QS  Desain Ulang (Saluran No.1).

Contoh Dua Lahan masuk ke satu saluran (lihat gambar 16 c)

S1, A1,C1
LAHAN
D1

Saluran
L i, n,L, dimensi

S2,
A2,C2
D2

Gambar 13 Dua lahan masuk ke satu saluran

LAHAN
1. Hitung parameter Lahan 1 : D1 dan S1 dan C1
2. Hitung waktu konsentrasi to1
3. Hitung parameter Lahan 2 : D2 dan S2 dan C2
4. Hitung waktu konsentrasi to2

SALURAN
Sama dengan diatas

GABUNGAN
1. Hitung Tc1 dari lahan 1 dan saluran.
2. Hitung Tc2 dari lahan 2 dan saluran.
3. Pilih Tc terpanjang.
4. Hitung IT
5. Hitung C komposit antara C1 dan C2.
6. Hitung luas Total = A1 + A2
7. Hitung Q
8. Jika Q < QS  Okey
Q > QS  Desain Ulang (Saluran No.1).

52 dari 43
SNI 03-2406-1991

Contoh Dua saluran atau lebih (Gambar 16 d)


1. Saluran 1-2
 menerima aliran dari lahan 1
 desain saluran 1-2
 hitung to1 dan td1-2  Tc1-2
 Hitung debit rencana : Tc1-2, A1, C1
 dan seterusnya sesuai prosedur diatas
2. Saluran 3-2
 menerima aliran dari lahan 2
 desain saluran 3-2
 hitung to2 dan td3-2 Tc3-2
 Hitung debit rencana : Tc3-2, A2, C2
 dan seterusnya sesuai prosedur diatas

Lahan1 Lahan 2

2
1 3
Lahan 3
Lahan 4

Gambar 14 Dua saluran atau lebih

3. Saluran 2-4
 menerima aliran dari lahan 1; 2; 3 dan 4 dan saluran 1-2 serta saluran 3-2
 desain saluran 2 - 4
 hitung to3 dan td2-4  Tc(3)2-4
 hitung to4 dan td2-4  Tc(4)2-4
 Hitung Tc(1-2)2-4 = Tc1-2 + td 2-4
 Hitung Tc(3-2)2-4) = Tc3-2 + td 2-4
 Bandingkan ke empat Tc yang terpanjang yang diambil untuk menghitung
intensitas hujan = Tc 2-4.
 Hitung debit rencana : Tc2-4, Atotal (A1+A2+A3+A4), C komposit (C1;C2;C3 dan
C4) dan seterusnya sesuai prosedur diatas

53 dari 43
SNI 03-2406-1991

5.3 Aspek Struktur


Tujuan kriteria perencaanaan struktur ini hanya untuk saluran induk dengan dimensi yang
cukup besar.

5.3.1 Kriteria Perencanaan Struktur


Perlu diperhatikan bahwa dinding penahan tanah pasangan batu hanya dapat digunakan
untuk ketinggian yang tidak terlalu besar (<5 m). Untuk dinding penahan tanah dari beton
bertulang tidak ada batasnya.
Tiap-tiap potongan dinding horizontal akan menerima gaya-gaya antara lain sebagai berikut :
• Gaya vertikal akibat berat sendiri dinding penahan tanah.
• Gaya luar yang bekerja pada dinding penahan tanah.
• Gaya akibat tekanan tanah aktif.
• Gaya akibat tekanan tanah pasif.

5.3.2 Analisis Yang Diperlukan


1. Kestabilan Terhadap Guling
Kesetabilan struktur terhadap kemungkinan terguling dihitung dengan persamaan berikut :

jumlah dari momen-momen yang menyebabkan struktur terguling dengan titik pusat
putaran di titik O. merupakan momen-momen yang disebabkan oleh gaya vertikal
dari struktur dan berat tanah diatas struktur

jumlah dari momen-momen yang mencegah struktur terguling dengan titik pusat
putaran di titik O.

2. Ketahanan Terhadap Geser


Ketahanan struktur terhadap kemungkinan struktur bergeser dihitung berdasarkan
persamaan berikut:

jumlah dari gaya-gaya horizontal yang menyebabkan struktur bergeser.


disebabkan oleh tekanan tanah aktif yang bekerja pada struktur
jumlah gaya-gaya horizontal yang mencegah struktur bergeser

3. Ketahanan Terhadap Geser


Tekanan yang disebabkan oleh gaya-gaya yang terjadi pada dinding penahan tanah harus
dipastikan lebih kecil dari daya dukung ijin tanah. Penentuan daya dukung ijin pada dasar
dinding penahan /abutmendilakukan seperti dalam perencanaan pondisi dangkal.
Hal pertama yang perlu diperiksa adalah eksentrisitas dari gaya-gaya ke pondasi yang
dihitung dengan rumus berikut :

54 dari 43
SNI 03-2406-1991

Tekanan ke tanah dihitung dengan rumus :

Jika nilai eks > B/6 maka nilai qmin akan lebih kecil dari 0. Hal tersebut adalahsesuatu yang
tidak diharapkan. Jika hal ini terjadi maka lebar dinding penahan B perlu diperbesar.

5.3. Aspek Ekonomi


Investasi yang digunakan untuk pembangunan jaringan drainase dan bangunan
pelengkapnya dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, termasuk
meningkatkan kesehatan masyarakat. Manfaat investasi pada sektor ini tidak secara
langsung dapat diukur dengan uang, tapi dapat dirasakan langsung oleh masyarakat, antara
lain kesehatan, tidak mengganggu arus lalu lintas dan kegiatan masyarakat tidak terganggu.
Kriteria ekonomi meliputi antara lain hal-hal sebagai berikut:
1. Macam-macam kriteria investasi (Investment criteria) yang ada kaitannya dengan
dokumen ini adalah :
• Net Present Value dari arus benefit dan biaya (NPV).
• Internal Rate of Return (IRR).
• Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C).
2. Benefit dan biaya proyek:
• Analisa privat/analisa finansial, untuk menghitung benefit dan biaya dipergunakan
harga pasar.
• Analisa sosial/analisa ekonomi untuk menghitung benefit dan biaya dipergunakan
shadow prices.
• Sebagai patokan dalam analisa sosial/analisa ekonomi ialah apa saja yang menambah
barang konsumsi atau yang secara langsung atau tidak langsung menambah barang-
barang konsumsi sehubungan dengan proyek, digolongkan sebagai benefit.
Sebaliknya apa saja yang mengurangi persediaan barang-barang konsumsi baik
secara langsung maupun tidak langsung sehubungan dengan proyek digolongkan
sebagai biaya proyek.3. Harga Berlaku (current prices):• Biaya yang meliputi dampak
inflasi.• Harga yang benar-benar dikeluarkan untuk proyek pada masa lalu atau
mendatang.• Untuk dasar perhitungan analisa finansial.4. Harga konstan (constant
prices):• Tidak memperhitungkan dampak inflasi.• Untuk dasar perhitungan analisis
ekonomi.5. Benefit tangible dapat diukur dengan uang: kenaikan produksi, penurunan
biaya transport dan sebagainya.6. Benefit intangible tidak dapat dinilai dengan uang:
kenaikan gizi, perasaan aman terhadap banjir, ada jaminan pendapatan dan
sebagainya.

55 dari 43
SNI 03-2406-1991

Parameter ekonomi, dihitung perkiraan kerugian atas fasilitas ekonomi yang ada, seperti:
kawasan industri, fasum, fasos, perkantoran, perumahan, daerah pertanian dan pertamanan.
Kriteria kerugian/kerusakan ekonomi seperti dalam Tabel 3

5.4. Aspek Lingkungan


Kelayakan lingkungan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Upaya Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup dan Surat Pernyataan
Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup.

5.5. Aspek Khusus Jalan

5.6. Aspek Keutamaan pada perencanaan drainase perkotaan berwawasan


Lingkungan di Permukiman

a. Memungkinkan kelebihan air hujan dapat ditampung dan disimpan dengan


berbagai macam cara di beberapa lokasi dalam wilayah yang bersangkutan (zero
runoff), sehingga dapat mengurangi terjadinya genangan dan banjir;

b. Selanjutnya air yang ditampung dapat langsung dimanfaatkan kembali pada saat
yang sama atau pada musim berikutnya, untuk keperluan menyiram, membilas
toilet, kegiatan rumah tangga, resapan air ke dalam tanah untuk
mengisi/konservasi air tanah, meningkatkan kualitas ekosistem dan lingkungan,
serta keperluan air baku setelah melalui tahapan pengolahan.

c. Mereduksi kemungkinan terjadinya banjir di bagian hilir dan kekeringan di bagian


hulu, mengingat sebagian besar kelebihan air hujan dapat ditahan di bagian hulu,
tengah maupun hilir, sehingga proses resapan air ke dalam tanah dapat
dioptimalkan;

d. Erosi tanah di bagian hulu akan berkurang karena fluktuasi lengas tanah tidak
terlalu tinggi, dan perubahan iklim tidak akan terjadi di daerah tengah, hulu dan
beberapa daerah hilir. Kondisi ini muncul karena dengan ketersediaan air yang

56 dari 43
SNI 03-2406-1991

cukup akan meningkatkan kelengasan tumbuh-tumbuhan di daerah tersebut dapat


berkembang lebih baik dan berfungsi sebagai penahan laju erosi;

e. Penanganan sampah yang masuk dan terbawa oleh aliran permukaan ke saluran
dapat dilakukan secara terpadu dengan penempatan saringan sampah dan
pembersihan atau pengerukan saluran drainase, sehingga sarana dan prasarana
drainase seperti gorong-gorong, pintu air, dan pompa air, dapat berfungsi secara
optimal;

f. Peningkatan terhadap kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat, terkait


dengan upaya pemisahan antara pembuangan air permukaan akibat hujan dan air
limbah.

6. Perencanaan

Dalam perencanaan sistem drainase perkotaan perlu dijelaskan hal sebagai berikut:
a) Ditinjau dari segi fisik, sistem drainase perkotaan terdiri atas saluran primer,
sekunder, tersier, kuarter dan seterusnya.
b) Ditinjau dari segi fungsi pelayanan, sistem drainase perkotaan terdiri atas sistem
drainase utama dan local.
c) Drainase perkotaan agar direncanakan sebagai sistem drainase terpisah; pada
keadaan tertentu dan mendesak, sistem drainase gabungan boleh direncanakan
dengan melalui koordinasi instansi yang berwenang.
d) Saluran drainase perkotaan dapat direncanakan sebagai saluran terbuka atau
saluran tertutup dengan mempertimbangkan terhadap faktor-faktor tersedianya tanah
dan keadaan alam setempat, pembiayaan, operasi dan pemeliharaan.

6.1. Analisis dan perencanaan

6.1.1. Data dan Informasi

Data dan informasi yang diperlukan untuk perencanaan drainase adalah sbb:
1) Data hidroklimatologi yang terdiri dari data hujan dan klimatologi (suhu, kelembaban
relatif, kecepatan angin dan penyinaran matahari) dari stasiun hujan atau klimatologi
terdekat.
2) Data kondisi aliran terdiri dari data tinggi muka air, debit sungai, sedimentasi, pengaruh
air balik dan peil banjir.
3) Data kondisi wilayah pekerjaan meliputi karakteristik DAS, kondisi pasang surut dan
data genangan.
4) Data sistem drainase yang ada berupa hasil rencana induk maupun studi kelayakan,
data kondisi saluran dan data kuantitatif kejadian banjir.
5) Data peta yang terdiri dari peta dasar sistem drainase dan sistem jaringan yang ada,
peta tata guna lahan dan peta topografi yang disesuaikan dengan tipologi kota dengan
skala 1 : 5000 sampai dengan 1:10.000.
6) Data kependudukan yang terdiri dari jumlah, kepadatan, laju pertumbuhan, penyebaran
dan data kepadatan bangunan.

57 dari 43
SNI 03-2406-1991

6.1.2. Inventarisasi kondisi sistem drainase eksisting


Inventarisasi kondisi sistem drainase dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
1) Buat peta pembagian sistem dan subsistem drainase berdasarkan peta topografi dan
kondisi aktual dilapangan.
2) Susun besaran daerah aliran sungai menjadi sub-sub sistem daerah pengaliran.
3) Hitung panjang saluran dalam meter dan beri nama badan air penerimanya dari setiap
saluran yang ada.
4) Inventarisir semua komponen sistem drainase baik saluran maupun sistem
pendukungnya, jika data tidak tersedia, ukur dimensi saluran dan segmen saluran
serta bangunan lainnya.
5) Lakukan cek lapangan untuk memastikan kondisi yang ada sesuai dengan data.
6) Catat permasalahan utama yang terjadi pada masing-masing saluran, segmen saluran
dan bangunan lainnya beserta foto kondisinya.

6.1.3. Analisis
Analisis yang dilakukan meliputi:
1) Pengumpulan Data:
a. Pengumpulan peta spasial antara lain: topografi, tata guna lahan, jenis tanah,
geologi, hidrogeologi, jaringan drainase eksisting, peta arah aliran, peta genangan
banjir, peta jaringan infrastruktur bawah tanah, kepadatan penduduk.
b. Pengumpulan data hidrologi antara lain karakteristik DAS atau saluran, data hujan
dan klimatologi, data debit sungai atau saluran, data genangan banjir (tinggi,
kedalaman, lama dan frekuensi), data sumber air, data sedimentasi, data pasang
surut dan data bangunan air lainnya (kolam, embung, sumur resapan, dll).
c. Data Hidraulika dan bangunan pelengkap lainnya antara lain data dimensi saluran
(panjang, lebar, kedalaman, bahan, tahun dibangun, kapasitas), data bangunan
pintu air, gorong-gorong, box culvert, pompa (jenis bangunan, letak, tahun
dibangun, dimensi, kapasitas, fungsi dan saringan sampah), kondisi badan air
penerima (elevasi permukaan air tertinggi, sedimentasi dan penyempitan).

2) Analisis Kondisi Eksisting:


a. Analisa kapasitas sistem drainase eksisting meliputi kapasitas saluran, segmen
saluran dan bangunan pendukungnya.
b. Bandingkan analisis poin a) dengan kapasitas rencana awal, jika kapasitas
eksisting lebih besar atau sama dengan kapasitas awal maka sistem drainase
bersangkutan masih aman, namun jika sebaliknya maka perlu penanganan.

3) Analisis kebutuhan
a. Tentukan rencana saluran sesuai topografi dan rencana tata guna lahan. Dalam
penataan jaringan saluran drainase saluran diusahakan sebanyak mungkin
mengikuti pola eksisting dan alur alam dengan mengikuti sistem gravitasi, sistem
pompa dipakai jika tidak ada alternatif lain.
b. Dengan data hujan yang tersedia yang telah lolos pengujian statistik lakukan
perhitungan periode ulang hujan untuk masing-masing saluran atau segmen
saluran sesuai klasifikasi kota dan orde saluran.
c. Hitung hujan wilayah dan intensitas hujan sesuai dengan periode ulang yang
diperlukan.
d. Hitung debit rencana masing-masing salaura atau segmen saluran dengan metode
yang sesuai, dimana untuk sistem pompa dan polder perlu dihitung hidrograf
banjir.
e. Analisis perbedaan antara debit eksisting dan debit rencana hasil perhitungan, jika
kapasitas saluran eksisting lebih besar atau sama dengan debit rencana maka

58 dari 43
SNI 03-2406-1991

saluran yang ada dapat digunakan, apabila saluran eksisting lebih kecil dari
rencana maka perlu perubahan dimensi sesuai debit rencana yang dihasilkan.
f. Perlu beberapa alternatif solusi untuk menentukan dimensi saluran yang paling
efisien dan efektif untuk dijadikan dasar perencanaan drainase tersebut.

Contoh langkah-langkah pengerjaan dalam perhitungan ini dapat dilihat pada


Lampiran.

6.2. Perencanaan Drainase Jalan dan Jembatan

6.3. Perencanaan drainase perkotaan berwawasan lingkungan di Permukiman


a. Umum
Perencanaan drainase perkotaan berwawasan lingkungan di permukiman harus
memenuhi ketentuan umum sebagai berikut:
1).Kebijakan dalam Perda tentang RTRW kota, seperti ruang terbuka hijau (RTH),
rencana pengembangan kawasan dan/atau kota, tata guna lahan, tapak bagunan,
sarana dan prsarana kota yang lain;
2).Rencana induk sistem drainase perkotaan yang berwawasan lingkungan, yang
disahkan oleh instansi atau lembaga yang berwenang;
3). Ketentuan pengelolaan sumber daya air, drainase eksisting, pengolahan air limbah,
jaringan jalan, penyediaan air minum, sistem sungai dan sebagainya.
4). Lembaga pengelola, pengoperasian dan perawatan sistem drainase dilaksanakan
oleh institusi pemerintah kota dan melibatkan peran serta masyarakat.
5). Pelaksanaan fisik sistem drainase terintegrasi dengan prasarana dan sarana kota
lainnya.
6). Ketersediaan air baku, kebutuhan air minum, kekeringan dan genangan air yang
mungkin terjadi.
7). Partisipasi masyarakat dan kearifan lokal.
8). Perbedaan elevasi muka tanah (daratan) terhadap elevasi muka air sungai atau
laut. Untuk elevasi muka tanah kawasan selalu lebih rendah daripada elevasi muka
air sungai atau laut dapat dibangun sistem polder
9).Kebutuhan kapasitas bangunan pelengkap ≤ 10% dari kapasitas rencana sarana
dan saluran drainase
10).Ruang (space) untuk penempatan saluran drainase dan sarana drainase serta
bangunan pelengkapnya sudah dialokasikan Pemerintah Daerah.

b. Teknis.
1). Topografi.
Data topografi dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut:
a). Mengidentifikasi daerah perencanaan aliran, seperti ruang terbuka hijau,
perkiraan lokasi untuk (subreservoir air hujan, kolam retensi, kolam detensi,
polder dan saluran) dengan menggunakan/ memanfaatkan Peta Topografi
skala 1 : 5000 s/d 1 : 25000, Dit. Geologi Tata Lingkungan;

59 dari 43
SNI 03-2406-1991

b). Melakukan pengukuran topografi di lokasi untuk membuat peta situasi rencana
sistem drainase, dengan interval garis kontur ketinggian lahan 0,25 m s/d 2,50
m atau skala 1:200 s/d 1:500;
c). Menggunakan benchmark (BM) resmi (Bakosurtanal, SDA dan Pelabuhan)
ketika pengukuran dilaksanakan. Bila tidak ada, maka dapat dilakukan dengan
menggunakan BM daerah setempat.

2). Geologi dan geohidrologi.


Data geologi dan hidrogelogi dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut:
a) Mengidentifikasi daerah perencanaan aliran, seperti ruang terbuka hijau,
perkiraan lokasi untuk (subreservoir air hujan, kolam retensi, kolam detensi,
polder dan saluran) dengan menggunakan/memanfaatkan Peta Geologi skala 1 :
5000 s/d 1 : 25000, Dit. Geologi Tata Lingkungan;
b) Melakukan penyelidikan tanah dengan sampling dipilih pada tempat-tempat yang
akan memikul konstruksi bangunan seperti: saluran, jembatan pipa, rumah
pompa, gorong-gorong yang relatif besar, dinding penahan tanah, kolam retensi,
kolam detensi, polder, subreservoir air hujan, dsb;
c) Untuk lokasi yang labil diambil minimal dua sampel.
d) Jenis penyelidikan tergantung dari jenis konstruksi;
e) Data geologi diperlukan untuk menentukan daya dukung tanah, daya rembes
tanah dan koefisien permeabilitas tanah;
f) Data daya dukung tanah diperlukan untuk desain struktur dan konstruksi sarana
dan prasarana drainase, sedangkan data permeabilitas tanah diperlukan untuk
desain sistem presapan air hujan ke dalam tanah;
g) Data geohidrologi diperlukan untuk mengetahui kondisi muka air tanah dangkal
pada musim hujan dan musim kemarau.

3). Sarana dan prasarana eksisting


Data sarana dan prasarana eksisting pendukung perencanaan sebagai berikut:
a). Wilayah dan garis batas hidrologis daerah layanan drainase
 Datas garis hidrologis masing-masing DTA/daerah tangkapan air (DPSal)
ditentukan dengan Peta Tata Guna Lagan wilayah layanan.
 Peta sistem drainase, jaringan jalandan tata guna lahan dibuat dengan peta
skala 1 : 5.000 sampai 1 : 10.000.
 Gambar potongan memanjang, melintang saluran dan detil bangunan
drainase dan/atau sarana drainase lainnya lain dibuat dengan 1 : 100;
b). Sistem dan OP drainase yang sudah ada di lokasi, yaitu:
 Data kuantitatif banjir atau genangan yang meliputi: luas, lama, kedalaman
rata-rata dan frekuensi genangan serta permasalahannya dan data-data hasil
rencana induk pengendalian banjir wilayah sungai di daerah tersebut.
 Data saluran dan bangunan pelengkap.
 Data sarana drainase lainnya seperti kolam detensi, kolam retensi, polder,
sumur-sumur resapan, sub-reservoir dan lain-lain;
c). Data teknik lainnya
Data prasarana dan fasilitas kawasan/kota yang telah ada dan yang
direncanakan antara lain: jaringan jalan kota, jaringan air limbah, Tempat
Sampah Sementara (TPS), Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), jaringan telepon,
jaringan listrik, jaringan pipa air minum, jaringan gas (jika ada) dan jaringan
utilitas lainnya serta kepadatan bangunan;

60 dari 43
SNI 03-2406-1991

d). Data harga bahan dan upah setempat


Harga bahan bangunan, harga upah kerja, harga lahan, inflasi, sewa alat berat,
transportasi barang dan manusia dan sebagainya.
4). Perencanaan hidrologi
Perencanaan hidrologi memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a). Kriteria data hujan
 Data hujan rata-rata dan maksimum runtut waktu (time series), untuk 10
(sepuluh) tahun terakhir, minimal dari 1 (satu) stasiun pengamatan.
 Durasi hujan: 5, 10, 15, 30, 45, 60, 120, 240, 360, 720, 1440 menit
 Data dapat diperoleh dari Stasiun BMKG terdekat, dalam bentuk data jangka
pendek menitan atau jaman dan/atau data hujan harian.
 Apabila dalam suatu wilayah administrasi kawasan/kota terdapat lebih dari
1(satu) stasiun pengamatan, maka perhitungan rata-rata tinggi curah hujan
harian maksimum tahunan dapat ditentukan dengan tiga metode yang umum
digunakan, yaitu:
(1) Metode Aritmatik,
(2) Metode Polygon Thiessen, dan
(3) Metode Ihsohyet.
(4) Pemilihan metode tersebut tergantung pada jumlah, sebaran stasiun
dan karateristik DAS.
 Untuk pengecekan data hujan, lazimnya digunakan metode kurva masa
ganda atau analisis statistik untuk pengujian nilai rata-rata.
b). Perioda ulang hujan (PUH)
Periode ulang hujan (PUH) dapat ditetapkan sebagai berikut:
 Diambil nilai: 2, 3, 5, 10, 25 dan 50 tahun.
 Ditetapkan berdasarkan luas daerah tangkapan air dan tipologi kota, seperti
diperlihatkan dalam Tabel 4.1.
 PUH bangunan pelengkap dipakai sama dengan PUH sistem saluran

Tabel 1. Periode ulang hujan (PUH) berdasarkan tipologi kota


Luas daerah Daerah tangkapan air (Ha)
< 10 10 – 100 101 – 500 > 500
Tipologi kota Periode ulang hujan (tahun)
Metropolitan 2 2–5 5 – 10 10 – 25
Kota Besar 2 2–5 2–5 5 – 20
Kota Sedang 2 2–5 2–5 5 – 10
Kota Kecil 2 2 2
Sumber: SNI 03 – 3424 – 1994

c). Analisis frekuensi hujan


Metode analisis frekuensi hujan dapat dilakukan sebagai berikut:
 Metode
 Gumbel;
 Metode Log Pearson Tipe III
d). Analisis intensitas hujan rencana (I)
Metode analisis intensitas hujan rencana dapat dilakukan sebagai berikut:
 Jika tersedia data hujan berdurasi pendek, seperti data hujan: 5, 10, 15, 30,
45, 60, 120, 240, 360, 720, 1440 menit, maka intensitas hujan dihitung
dengan rumus-rumus sebagai berikut:
(1) Rumus Talbot (1881);
(2) Rumus Sherman (1905).
(3) Rumsu Ishiguro (1953).

61 dari 43
SNI 03-2406-1991

(4) Berdasarkan hasil perhitungan ketiga rumus di atas, maka intensitas


hujan rencana ditetapkan dari rumus yang menghasilkan standar deviasi
terkecil.
(5) Intensitas hujan rencana dapat pula ditentukan dengan lengkung (kurva)
Intensity Duration Frequency (IDF). Kurva ini dibentuk setelah dilakukan
analisis intensitas pada butir 1) di atas. Sumbu datar kurva adalah
durasi hujan dan sumbu tegak adalah intensitas hujan
(6) Intensitas hujan dapat pula diperkirakan dengan model hietrograf hujan
rencana segitiga. Dalam model ini, tinggi hujan diawali dengan nol,
maksimum pada puncak setiga dan diahiri dengan nol kembali.
Intensitas hujan adalah fungsi dari tinggi hujan maksimum terhadap
durasi hujan
 Jika data hujan yang tersedia adalah data hujan harian, maka intensitas
hujan dapat dihitung dengan rumus-rumus sebagai berikut:
(1) Rumus Mononobe;
(2) Rumus Van Breen.
e). Penentuan koefisien pengaliran (C).
Koefisien pengaliran ditetapkan dengan memperhatikan hal-hal berikut:
 Koefisien pengaliran dinyatakan dengan nilai C antara (0 – 1).
 Dihitung dengan rumus koefisien pengaliran komposit (Ck),
 Apabila kondisi muka tanah daerah tadah tidak ditentukan secara khusus di
lapangan, maka besarnya koefisien pengaliran (C) dapat ditentukan dari
data empiris pada Tabel 2.
Tabel 2. Koefisien pengaliran bidang tadah.
Jenis Permukaan Tanah / Tata Guna Koefisien
Tanah (C)
A. Rerumputan
• Tanah pasir, slope 2% 0.05 – 0.10
• Tanah pasir, slope 2 – 7% 0.10 – 0.15
• Tanah pasir, slope 7 % 0.15 – 0.20
• Tanah gemuk, slope 2 % 0.13 – 0.17
• Tanah gemuk, slope 2 – 7% 0.18 – 0.22
• Tanah gemuk, slope 7% 0.25 – 0.35
B. Perkantoran
• Pusat kota 0.75 – 0.95
• Daerah pinggiran 0.50 – 0.70
C. Perumahan
• Kepadatan 20 rumah/ha 0.50 – 0.60
• Kepadatan 20-60 rumah/ha 0.60 – 0.80
• Kepadatan 60-160 rumah/ha 0.70 – 0.90
D. Perindustrian
• Industri ringan 0.50 – 0.60
• Industri berat 0.60 – 0.90
E. Pertanian 0.45 – 0.55
F. Perkebunan 0.20 – 0.30
G. Pertamanan dan kuburan 0.10 – 0.25
H. Tempat bermain 0.20 – 0.35
I. Jalan
• Beraspal 0.70 – 0.95
• Beton 0.80 – 0.95
• Batu 0.70 – 0.85
J.Daerah yang tidak dikerjakan 0.10 – 0.30
Sumber: Imam Subarkah, 1980 [19]

62 dari 43
SNI 03-2406-1991

f). Penentuan luas bidang tadah (A).


Bidang tadah ditetapkan dengan memperhatikan hal-hal berikut:
 Tata guna lahan pada bidang tadah (catchment area) dan dapat diukur
dari peta tata guna lahan, skala 1 : 10000 atau skala 1 : 5000.
 Untuk bidang tadah, berupa atap rumah dan bangunan atau permukaan
kedap air, seperti aspal atau beton, koefisien pengaliran (C ) antara = 0,75 –
0,9
g). Waktu konsentrasi (tc)
Kapasitas penampungan sarana drainase dipengaruhi oleh lamanya hujan dan
lama waktu konsentrasi (tc). Waktu konsentrasi dapat dihitung dengan salah
satu rumus-rumus seperti diatas.
h). Perhitungan debit rencana
Debit rencana dapat dihitung dengan rumus rasional, seperti diatas.

i). Volume hujan rata-rata pada atap bangunan.


Volume air hujan rata-rata pada atap bangunan ditetntukan sebagai
berikut:
 Hitung luas atas bangunan (A) sebagai bidang tadah, (m2).
 Gunakan data hujan rata-rata (mm), runtut waktu, minimal 10 (sepuluh)
tahun terakhir, minimal dari 1 (satu) stasiun pengamatan.
 Hitung jumlah hujan untuk setiap bulan, selama satu tahun, (mm)
 Hitung jumlah hujan rata-rata (ir): jumlah hujan butir 2 dibagi 12, (mm);
 Volume hujan rata-rata pada bangunan adalah

Vir = A x (ir) x 10-3

Keterangan:
Vir = volume hujan rata-rata pada atap bangunan (m3)
A = luas atap bangunan (m2)
(ir) = hujan rata-rata setiap bulan (mm).

5). Perencanaan hidrolika


a). Faktor-faktor penentu desain saluran.
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan untuk desain saluran adalah:
 Jenis dan bahan saluran serta koefisien kekasaran (n).
 Geometri dan penampang hidrolis terbaik (ekonomis).
 Kecepatan aliran minimum yang dizinkan (Vmin).
 Kemiringan dasar saluran (So).
 Kemiringan dinding saluran.
 Tinggi jagaan (freeboard)
 Kedalaman air dalam saluran.
 Keadaan aliran diukur dengan Bilangan Reynold untuk mengantisipasi aliran
laminar, transisi dan turbulen dan Bilangan Froude untuk mengantisipasi
aliran subkritis, kritis dan super kritis.
b). Jenis dan bahan saluran
Jenis saluran yang digunakan untuk drainase kawasan menuju zero run off
sebagai berikut:
 Saluran tertutup PVC sesuai SNI 06-0084-2002, HDPE sesuai SNI
7593:2008 dan/atau beton pracetak sesuai spesifikasi pabrik

63 dari 43
SNI 03-2406-1991

 Saluran terbuka pasangan bata sesuai SNI 03-2113-2000, pasangan batu


pecah sesuai SNI 03-6882-2002 dan SNI 03-2915-1992, Spesifikasi beton
bertulang kedap air.
c). Geometri profil saluran
Profil saluran yang digunakan untuk drainase kawasan menuju zero run off
terdiri atas:
 Saluran drainase dengan penampang trapesium, segi empat, segi tiga dan
lingkaran.
 Unsur-unsur geometri saluran adalah luas penampang melintang (A), keliling
basah (P), jari-jari hidrolis (R), lebar puncak (T), Kedalaman hidrolis (D),
faktor luas penampang (Z) aliran kritis atau seragam.
 Geometri profil saluran pada butir 1), seperti ditampilkan pada Tabel 9.
d). Penampang hidrolis saluran terbaik (ekonomis)
Penampang saluran ekonomis, khususnya penampang saluran persegi empat,
segi tiga, trapezium dan lingkaran dapat ditentukan dengan menerapkan
rumus-rumus, seperti yang ditampilkan pada Tabel 10.
e). Perhitungan dimensi saluran
Dimensi saluran diperhitungkan dengan mengacu pada rumus kuntinyuitas,
persamaan yaitu kaitan dengan debit aliran, kecepatan aliran dan luas
penampang saluran sebagai berikut:
 Debit aliaran (Q).
Debit air yang mengalir di dalam saluran diperhitungkan dengan rumus
kontinuitas pada persamaan, tersebut diatas;
 Luas penampang basah (A)
Luas penampang basah dihitung dengan rumus pada persamaan tersebut
diatas;
 Kecepatan aliran (V)
Kecepatan aliran dapat ditentukan dengan rumus Chezy, rumus Darcy
Weisbach serta rumus Manning;

6). Perencanaan Subreservoir air hujan


Subreservoir air hujan ditampilkan pada hidrograf segitiga genangan maksimum
dan direncanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a). Satuan operasi terdiri atas:
 Saluran drainase di sekeliling kantor,
 Sistem penyadapan air hujan saluran drainase kantor
 Saringan kasar horizontal media batu kapur atau batu marmer,
 Subreservoir air hujan air hujan
 Pompa eksplorasi pada subreservoir air hujan
 Sistem over flow dari subreservoir menuju ke dalam sumur resapan
 Sumur resapan air hujan.
 Kolam retensi dan/atau kolam detensi.
 Saluran pelimpah sumur resapan air hujan ke luar kawasan.

b). Volume subreservoir air hujan.


 Volume subreservoir dihitung dengan rumus (6) sebagai berikut:

S
 Vi  Vo .................................................................................... (6)
t

64 dari 43
SNI 03-2406-1991

Keterangan:
S
: volume tampungan maksimum selama waktu Δt , dalam m3.
t
Vi : volume aliran masuk (inflow) rata-rata selama Δt, dalam m3.
Vo : volume aliran keluar (outflow) rata-rata selama Δt dalam m3.

Catatan:
- Volume tampungan maksimum subreservoir merupakan akumulasi
hujan rata-rata pada atap bangunan dikurangi jumlah akumulasi
konsumsi air minum penghuni atau pegawai dalam satu tahun.
- Jumlah subreservoir tergantung pada jumlah volume tampungan
dibagi dengan volume subreservoir berdasarkan pada butir (1).

 Jumlah subreservoir disesuaikan dengan volume air hujan yang akan


ditampung pada kawasa atau bangunan.
 Subreservoir dapat dipasang secara paralel, serial atau kombinasi tergantung
ketersediaan lahan setempat.

c). Konstruksi.
Konstruksi Subreservoir memenuhi ketentuan berikut:
 Subreservoir air hujan bahan FRP dipasang sesuai ketentuan teknis
spesifikasi teknis subreservoir.
 Subreservoir air hujan dari bahan beton bertulang harus memenuhi teknis
spesifikasi teknis subreservoir.
 Konstruksi untuk perlengkapan dan peralatan pendukung subreservoir sesuai
ketentuan dan spesifikasi yang berlaku.

Gambar 4.1 Konsep desain sistem drainase berwawasan lingkungan untuk


zero run off (Puslitbang Permukiman, 2012)

65 dari 43
SNI 03-2406-1991

d). Cakupan perencanaan.


Cakupan perencanaan memenuhi lima parameter pada diagram Gambar 4.2,
dengan rincian sebagai berikut:
 Perencanaan hidrologi (intensitas, potensi volume hujan dan debit rencana),
tata air ZRO pada bangunan, persil dan kawasan.
 Perencanaan hidrolika saluran dan perlengkapan untuk pengaliran air hujan.
 Perencanaan tampungan, resapan air, konsumsi air minum dan pengaliran air
kelebihan serta analisis neraca air (water balance).
 Perencanaan pompa dan peralatan listrik.
 Penyusunan detail design engineering (DED) dan operasai-pemeliharaan.

7). Perencanaan Sumur resapan air hujan


a. Umum
1). Sumur resapan air hujan ditempatkan pada lahan yang relative datar;
2). Air yang masuk kedalam sumur resapan adalah air hujan yang tidak tercemar;
3). Penempatan sumur resapan air hujan harus mempertimbangkan keamanan
bangunan sekitarnya;
4). Harus memperhatikan peraturan daerah setempat;
5). Hal-hal yang tidak memenuhi ketentuan ini harus disetujui oleh instansi yang
berwenang.

b. Teknis
Persyaratan teknis yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :
1). Kedalaman air tanah
Kedalaman air tanah minimum 1,50 m pada musim hujan;
2) Permeabilitas tanah
Struktur tanah yang dapat digunakan harus mempunyai nilai permeabilitas
tanah > 2.0 cm/jam, dengan klasifikasi sebagai berikut :
a) nilai permeabilitas tanah sedang (jenis tanah geluh kelanauan, 2,0 - 3,6
cm/jam atau 0,48 - 0,864 m3/m2/hari); .
b) nilai permeabilitas tanah agak cepat (jenis tanah pasir halus, 3,6 - 36 cm/jam
atau 0,864 - 8,64 m3/m2/hari);
c) nilai permeabilitas tanah cepat (jenis tanah pasir kasar, lebih besar 36
cm/jam atau 8,64 m3/m2/hari).
3) Jarak penempatan sumur resapan air hujan terhadap bangunan, dapat dilihat
Tabel 1;
4). Penampang sumur resapan air hujan berbentuk segi empat atau lingkaran;
5). Ukuran minimum sisi penampang diameter 80 cm dan maksimum 120 cm;
6). Ukuran pipa masuk dan pipa pelimpah diameter 4 inchi atau 110 mm;
7). Bahan konstrksi sumur resapan air hujan dapat dilihat seperti tabel 2

Tabel 1
Jarak minimum sumur resapan air hujan terhadap bangunan
No. Jenis bangunan Jarak minimum dari sumur resapan
air hujan (m)
1. Sumur resapan air hujan/sumur air bersih 3
2. Pondasi bangunan 1
3. Bidang resapan/sumur resapan tangki septik 5
Catatan : jarak diukur dari tepi ke tepi
Tabel 2

66 dari 43
SNI 03-2406-1991

Alternatif pemakaian bahan konstruksi sumur resapan air hujan

No. Bahan konstruksi Komponen


1. Pelat beton bertulang campuran 1 : 2 : 3 tebal 10 cm tutup sumur
2. Pelat beton tidak bertulang campuran 1 : 2 : 3 tebal 10 cm, Tutup sumur
berbentuk cubung dan tidak diberi beban diatasnya
3. Ferrocement tebal 10 cm Tutup sumur, dinding sumur
bagian atas
4. Pasangan ½ bata merah, ½ batako campuran 1 : 5 dipelester dan dinding sumur bagian atas
diaci semen
5. Pasangan ½ batako campuran 1 : 5 tanpa dipelester diaci semen. dinding sumur bagian bawah
Jarak kosong antar batako 10 cm
6. Beton bertulang pracetak masinal (buis beton) Ø 80 cm – 100 cm dinding sumur bagian atas
dan bawah
7. Beton bertulang pracetak masinal dinding porous (buis beton) Ø 80 dinding sumur bagian atas
cm – 100 cm dan bawah
8. Beton pracetak manual (buis beton) Ø 80 cm – 100 cm dinding sumur bagian atas
dan bawah
9. Batu pecah ukuran 10 cm – 20 cm pengisi sumur
10. Pecahan bata merah ukuran 5 cm – 10 cm pengisi sumur
11. Ijuk pengisi sumur
12. Pipa PVC dan asesories minimal Ø 3 inci (90 mm) saluran air hujan
13. Pipa beton ½ lingkaran minimal Ø 20 cm saluran air hujan
14. Pipa beton beton Ø 20 cm saluran air hujan

8). Tipe konstruksi


Tipe konstruksi sumur resapan air hujan dapat dilihat pada gambar 1, 2, 3, 4
dan 5 dengan dimensi dan jenis tanah sebagai berikut :
a). tipe I : dengan dinding sumur tanah asli untuk jenis tanah geluh kelanauan
dan dapat diterapkan pada kedalaman minimal 1,5 m;
b). tipe II : dengan dinding sumur dari pasangan batako atau bata merah tanpa
diplester dan diantara pasangan diberi celah/lubang 10 cm. Sangat cocok
diterapkan untuk jenis tanah pasir halus dan pasir kasar, dengan kedalaman
sumur 3 m;
c). tipe III : dengan dinding beton bertulang porous atau tanpa tulangan. Pada
ujung sambungan deberi celah/lubang (diganjal dengan batu) ukuran
lubang/celah ± 2 cm. Dapat ditrapkan untuk semua jenis tanah dengan
kedalaman maksimum sampai dengan muka air tanah;
d). tipe IV : dengan dinding beton bertulang atau tanpa tulangan, dimana pada
dinding diberi lubang Ø 2 cm. Pada ujung pertemuan sambungan deberi
celah/lubang. Dapat ditrapkan untuk semua jenis tanah dengan kedalaman
maksimum sampai dengan muka air tanah;

9). Perhitungan sumur resapan air hujan


Perhitungan sumur resapan air hujan terbagi atas :
a). Volume andil banjir dapat digunakan rumus sebagai berikut :

Vab = 0,855. Ctadah . Atadah. R

Keterangan :
Vab adalah Volume andil banjir yang akan ditampung sumur resapan (m3)
Ctadah adalah koefisien limpasan dari bidang tadah (tanpa satuan)
Atadah. adalah Luas bidang tadah (m2)
67 dari 43
SNI 03-2406-1991

R adalah Tinggi hujan harian rata-rata (L/m2/hari)

b) Volume air hujan yang meresap digunakan rumus sebagai berikut:

Vrsp = te . Atotal . K
Keterangan :
Vrsp adalah volume air hujan yang meresap (m3)
te adalah durasi hujan efektif (jam) = 0,9. R 0,92 /60 (jam)
R adalah tinggi hujan harian rata-rata (L/ m2/hari)
Atotal adalah luas dinding sumur + luas alas sumur (m2)
K adalah koefisien permeabilitas tanah ( m/hari) (untuk dinding sumur
yang kedap,

nilai Kv = Kh , untuk dinding tidak kedap diambil nilai K rata-rata )

K rata-rata =

Keterangan :
K rata-rata adalah koefisien permeabilitas tanah rata-rata (m/hari)
Kv adalah koefisien permeabilitas tanah pada dinding sumur (m/hari) = 2
Kh
Kh adalah koefisien permeabilitas tanah pada alas sumur (m/hari)
Ah adalah luas alas sumur dengan penampang lingkaran = ¼.π. D2. (m2)
adalah luas alas sumur dengan penampang segi empat =. P.L. (m2)
Av adalah luas dinding sumur dengan penampang lingkaran = π. D. H
(m2) = luas dinding sumur dengan penampang segi empat = 2. P. L
(m2)
c) Volume penampungan (storasi) air hujan digunakan rumus sebagai berikut:

Vstorasi = Vab - Vrsp


10) Penentuan jumlah sumur resapan air hujan, terlebih dahuiu menghitung Htotal
sebagai berikut :

Htotal =

n =

Keterangan
n adalah jumlah sumur resapan air hujan (buah);
H total adalah kedalaman total sumur resapan air hujan (m);
H rencana adalah kedalaman yang direncanakan < kedalaman air tanah (m).

68 dari 43
SNI 03-2406-1991

8). Saluran resapan air hujan


a. Umum
1). Saluran resapan air hujan harus ditempatkan pada lahan yang relatif datar;
2). Air yang masuk kedalam saluran resapan air hujan adalah air hujan yang tidak
tercemar (bukan air limbah rumah tangga);
3). Penempatan saluran resapan air hujan disekitar jalan lingkungan dan harus
mempertimbangkan keamanan bangunan sekitarnya;
4). Saluran resapan air hujan harus dilakukan pemeriharaan secara berkala,
sehingga bebas dari segala kotoran dan sampah;
5). Hal-hal yang tidak memenuhi ketentuan ini harus disetujui oleh perencana dan
atau pemilik pekerjaan..

b. Teknis
Persyaratan teknis yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :
1).Pada perencanaan saluran harus memperhatikan aspek hidrolis sehingga
saluran dapat berfungsi dengan baik (menampung, mersapkan air hujan, serta
mampu mengalirkan kelebihan air hujan);
2). Kedalaman air tanah
Kedalaman air tanah minimum 1,50 m pada musim hujan;
3) Permeabilitas tanah
Untuk mengetahui besaran air hujan yang meresap kedalam tanah, maka perlu
dilakukan penyelidikan tanah, sehingga nilai permeabilitas tanah dan jenis
tanah dapat diketahui. Pada perencanaan saluran resapan air hujan, struktur
tanah yang dapat digunakan harus mempunyai nilai permeabilitas tanah > 2.0
cm/jam, dengan klasifikasi sebagai berikut :
a) nilai permeabilitas tanah sedang (jenis tanah geluh kelanauan, 2,0 - 3,6
cm/jam atau 0,48 - 0,864 m3/m2/hari); .
b) nilai permeabilitas tanah agak cepat (jenis tanah pasir halus, 3,6 - 36 cm/jam
atau 0,864 - 8,64 m3/m2/hari);
c) nilai permeabilitas tanah cepat (jenis tanah pasir kasar, lebih besar 36
cm/jam atau 8,64 m3/m2/hari).
4) Penampang saluran resapan air hujan berbentuk saluran terbuka (U);
5). Ukuran minimum lebar penampang saluran 40 cm;
6). Bahan dan konstrksi saluran resapan air hujan harus mampu menahan beban
kendaraan yang melewati jalan lingkungan, untuk itu dapat dibuat dari bahan
pracetak dengan bagian dasar berlubang;
7). Perhitungan saluran resapan air hujan
a). Menentukan intensitas hujan
Untuk mementukan besaran intensitas hujan dapat digunakan rumus Van
breen seperti tersebut diatas (pada point 5.1.6);
b). Menentukan koefisien limpasan (c)
Untuk mementukan besaran koefisien limpasan (c) dapat digunakan rumus
dari mtoda der Weduwen seperti tersebut diatas (pada point 5.1.7);
c). Penentuan daerah tangkapan (catchment area)
Untuk mementukan daerah tangkapan (catchment area) dapat diukur
sesuai dengan area yang direncanakan dalam satuan Ha atau m2;
d). Perhitungan debit rencana (Q)
Untuk perhitungan debit air hujan yang direncanakan dapat digunakan
rumus rasional seperti tersebut diatas (pada point (5.1.9);

69 dari 43
SNI 03-2406-1991

e). Perhitungan dimensi saluran


Pada renecnacaan dimensi saluran dapat digunakan perhitungan hidrolis
dengan persamaan kontinuitas berikut :

Q = A. V

Keterangan :
Q = debit saluran dalam satuan (m3/detik);
A = luas penampang basah dalam satuan (m2);
V = kecepatan aliran dalam satuan (m/detik).

Dimensi saluran yang memenuhi persyaratan, apabila debit rencana (Qrencana) lebih
besar dari pada debit air hujan yang terjadi (Q yang terjadi)

9). Tampungan air hujan


a. Kolam retensi/kolam detensi/kolam tandon
Kolam retensi/kolam detensi direncanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Menentukan lokasi dan kebutuhan lahan
2) Membagi bidang tadah ke dalam beberapa wilayah Sub-DPSal
3) Menghitung volume atau debit maksimum (Qmaks) kolam retensi atau kolam
detensi (menampung overflow subreservoir atau sumur resapan:
a). Menggunakan hidrograp sentetik genangan (banjir), bentuk segi tiga, seperti
ilustrasi pada Gambar 2.
Q (m3/det)

Q1 maks setelah alih fungsi lahan


/pembangunan (Ck besar) dan tc1 kecil
ΔQ /

Q2 maks setelah sarana TRMA berfungi


ZRO

(Ck kecil dan tc2 besar

t (detik)
tp1 tb1
tc1

tp2 tb2

tc2

Gambar 2. Hidrograf segitiga genangan


maksimum

b). Kapasitas kolam dihitung dengan rumus seperti berikut :


2I
Ip 
tc
t p  0,3  0,5 tc
t c  t p  tb
VK  Qmax x t c

70 dari 43
SNI 03-2406-1991

Keterangan:
Ip : puncak intensitas hujan (maksimum), dalam mm/jam.
tp : waktu puncak hujan maksimum, dalam jam atau menit.
tb : waktu turun, dalam jam atau menit.
tc : waktu konsentrasi, rumus seperti diatas.
Qmax : debit kolam maksimum, dalam m3/detik
VK : volume kolam maksimum, dalam m3.

Qmaks dihitung dengan rumus rasional, seperti rumus diatas

c). Menghitung debit outlet (pelimpah) dengan rumus sebagai berikut:


 Untuk pelimpah dengan saluran tertutup (terowongan), seperti
ditampilkan pada diagram Gambar 3, jika direncanakan kedalam
tampungan, H ≤ 1,5D dan jika H > 1,5D digunakan rumus digunakan
rumus dibawah ini

H
D

Gambar 3 - Ilustrasi pelimpah dengan saluran tertutup


atau terowongan.
2 1
1
Untuk H ≤ 1,5D; maka Q  AxR3 S 2
n
Keterangan:
Q : jumlah air yang melimpas, dalam m3/detik.
R : A/P
A : luas penampang basah terowongan, dalam m2.
P : keliling penampang basah terowongan, dalam m.
S : kemiringan memanjang dasar terowongan.
n : koefisien kekasaran Manning.

Untuk H > 1,5D; Q  A 2g H   f 


Keterangan:
Q : jumlah air yang melimpas, dalam m3/detik.
A : luas penampang terowongan, dalam m2
g : gaya percepatan gravitasi = 9,81 m2/detik.
H : kedalaman air kolam
Σf : total kehilangan energi, dalam m.

 Untuk pelimpah dengan ambang terbuka digunakan rumus :

Q  C d LH 3 / 2

Keterangan:
Q : jumlah air yang melimpas, dalam m3/detik.
L : panjang ambang peluap, dalam m.
H : tinggi air di atas ambang peluap di sebelah hilir, dalam m.
Cd : nilai koefisien debit, antara: 2 – 2,1.
71 dari 43
SNI 03-2406-1991

 Menghitung lebar pintu, adapun debit air yang melalui pintu adalah
debit saluran + 10%.

Q  C d ba 2 gH

Keterangan:
Q : jumlah air melalui pintu, dalam m3/detik.
b : lebar pintu, dalam m.
a : tinggi lubang pintu, dalam m.
H : selisih tinggi air di hulu dan hilir pintu, dalam m.
Cd : nilai koefisien debit: 0,62.

 Menghitung dimensi kolam retensi/kolam detensi


 Menetapkan muka air maksimum kolam selalu berada di bawa muka
air over flow subreservoir.
 Merencanakan pintu air inlet dan outlet.
 Merencanakan jalan akses menuju kolam
 Merencanakan saringan sampah pada pintu inlet
 Merenecanakan sistem pompa air mancur untuk taman (opsional).
 Merencanakan bak penangkap sedimen.
 Merencanakan konstuksi penutup kolam, dengan tanaman (opsional).
 Merencanakan rumah jaga dan lampu penerangan.

10). Pengaliran air hujan kelebihan


Kelebihan air hujan yang akan dialirkan, terutama berasal dari overflow kolam retensi
atau unit lainnya. Perencanaan pengaliran memenuhi ketentuan berikut:
a. Jenis dan bahan serta koefisien kekasaran saluran, sesuai standar berlaku.
b. Debit air dalam saluran dianalisis dengan rumus Manning :

Penampang saluran tebaik ditetapkan dengan rumus berikut:


a. Saluran persegi empat dengan rumus [Ven Te Chow, 1959]:
b. Penampang trapesium dengan rumus ( [Ven Te Chow, 1959]:
c. Tinggi jagaan ( freeboard).
Freeboard dianalisis dengan rumus [CIDA, 1994]:

f  Cf y .……...…….……….….…............................................................

Keterangan:
f: Tinggi jagaan (freeboard), (m).
y: Kedalaman air, (m).
Cf: Koefisien, tergantung debit (Q).
Untuk Q < 60 m3/detik, maka nilai Cf = 1,5.
Untuk Q = 85 m3/detik, maka nilai Cf = 2,5

d. Saluran tertutup
Penampang saluran tertutup dihitungkan dengan rumus gorong-gorong (untuk air
tidak bertekanan).
Apabila menggunakan pompa (aliran bertekanan) dapat dihitung dengan rumus
tinggi jagaan (free board)

72 dari 43
SNI 03-2406-1991

Peralatan mekanikal-elektrikal dan asesories.


Tenaga pompa dihitung dengan rumus seperti dibawah ini :

 x Q H
P
o ...................................................................

Keterangan:
P: Daya listrik yang dibutuhkan (Watt).
Q: Debit air yang dipompakan (m3/detik).
H: Kehilangan tekanan (m).
o: Efisiensi pompa (75-85%)

6.1. Perencanaan Drainase Pasang Surut


Standard Step atau Direct Step Method.
 Tampungan, pompa, pintu
Untuk pintu air, lihat Tata Cara Perencanaan, Pelaksanaan, Operasi Pemeliharaan
Pintu Air – Ditjen CK

7. Lain-lain

7.1 Laporan
Laporan mengenai perencanaan drainase perkotaan dijelaskan sebagai berikut:
1) setiap aspek perencanaan baik yang menyangkut bangunan baru maupun
bangunan lama agar dilaporkan dan dikonsultasikan kepada instansi yang
berwenang dan bertanggung jawab atas drainase perkotaan;
2) laporan perlu dibuat secara berkala oleh perencana dan dilaporkan kepada instansi
yang berwenang dan bertanggung jawab atas drainase perkotaan.

7.2 Koordinasi dan tanggung jawab perencanaan


Koordinasi dan tanggung jawab perencanaan drainase perkotaan dijelaskan sebagai
berikut:
a) Seluruh penyelenggaraan teknis pekerjaan perencanaan drainase perkotaan agar
dilaksanakan di bawah koordinasi dan tanggung jawab seorang ahli yang kompeten,
dibantu tim terpadu yang karena pelatihan dan pengalamannya berpengetahuan luas
dan ahli dalam pekerjaan yang berkaitan dengan drainase perkotaan.
b) Apabila dalam tahapan perencanaan drainase perkotaan timbul masalah yang tidak
dapat diselesaikan oleh instansi yang berwenang, maka masalah tersebut harus
diajukan kepada pihak berwenang yang lebih tinggi.

73 dari 43
SNI 03-2406-1991

Lampiran A
(informatif)

Daftar istilah

air limbah : waste water


aliran permukaan : surface runoff
bak pengontrol . inspection hole
bak penampung : storage tank
bangunan pelengkap : complementary structure
bangunan resapan buatan : artificial recharge
bangunan terjun : drop structure
cekungan tunda . retarding basin
curah hujan : Precipitation/rainfall
daerah pengaliran sungai : catchment area
debit banjir rencana : design flood
debit desain : design discharge
debit aliran : flow discharge
desain : design, perencanaan teknik
deras curah hujan : rainfall intensity
drainase perkotaan : urban drainage
garis sempadan : boundary line
gorong-gorong : culvert
hidrologi bawah permukaan : sub surface hydrology
hidrologi permukaan : surface hydrology
jalan inspeksi : inspection road
periode ulang : return period
lansekap : landscape
lengkung kekerapan durasi : rainfall intensity duration
deras hujan : frequency curve
bibang masukan : inlet
lubang pemeriksaan : manhole
pemantauan : monitoring
pipa pelepas tekanan : pressure relief valve
pintu katup : valve
pengempangan : ponding, backwater
perencanaan : planning
rencana induk : master plan
rencana kerangka : outline plan
saluran lokal : minor channel
saluran utama : major channel
saluran majemuk : compound channel
sengkedan : terrace
sifon : syphon
studi kelayakan : feasibility study

74 dari 43
SNI 03-2406-1991

Lampiran B
(informatif)
Contoh perhitungan

1. Contoh Perhitungan Hujan Rencana dengan Metode Log Normal 2

Data hujan durasi pendek di peroleh dari pos Bandung Cemara seperti dalam Tabel

Tabel B.1 Data hujan durasi pendek di pos Bandung


Tahun 5mnt 30mnt 60mnt 120mnt 180mnt 360 mnt 720 mnt
1970 16,8 48,6 65,3 92,3 81,4 83,1 108,3
1971 11,8 45,4 49,6 78,4 86 100 84,4
1972 11,3 50,9 58,2 71,4 55,4 55,6 118,3
1973 11,7 41,5 70,2 71,4 50,8 57,4 101,9
1974 15,8 40,5 54,9 55,4 57,2 63,5 63,5
1975 11,5 32,2 45 50 50,7 50,7 61,8
1976 10 30 40,3 49 59 63 65,2
1977 10,2 40 50,5 50,7 57,8 72,1 65,9
1978 10 43 52 58 66,3 66,5 63,1
1979 15,7 36,4 42,9 55,3 52,6 57,5 73,1
1980 18,5 40,4 47,4 60,3 56,9 64,2 68,2
1981 16 30 50 52,6 59,4 75,5 80,2
1982 20 46 55 56,8 46,8 73 65,7
1983 20 38 51,9 59,4 78,4
1984 10 32,2 42,5 46,2 78,1

Hitung hujan rencana periode ulang 5 tahunan durasi 5 menit mengikuti distribusi log Normal
2.

Penyelesaian :
Data hujan durasi 5 menit di ubah dalam bentuk ln dan dihitung rata-rata serta standard
deviasinya
Tabel B.2 Perhitungan hujan durasi 5 menit dg distribusi Log Normal 2 di Pos
Bandung
Tahun X ln (X)
1970 16,8 2,821
1971 11,8 2,468
1972 11,3 2,425
1973 11,7 2,460
1974 15,8 2,760
1975 11,5 2,442
1976 10 2,303
1977 10,2 2,322
1978 10 2,303
1979 15,7 2,754
1980 18,5 2,918
1981 16 2,773
1982 20 2,996
1983 20 2,996
1984 10 2,303

75 dari 43
SNI 03-2406-1991

Rata 13,95 2,60


S.D 3,74 0,26
Periode ulang 5 tahunan mempunyai probabilitas P = 1/T = 1/5 = 0,2.
 1 
W  ln 2 
p 
 1 
W  ln  = 1,794
2 
 0,2 
C 0  C1W  C 2W 2
KN  W 
1  d1W  d 2W 2  d 3W 3
2,515517  0,802853 *1,794  0,010328 *1,794 2
K N  1,794 
1  1,432780 *1,794  0,189269 *1,794 2  0,001308 * 1,794 3
K N  0,841

XY  K N *SY
XT  e
X 5  e2,60,841*0,26
X 5  16,863

76 dari 43
SNI 03-2406-1991

2. Contoh Memperoleh Lengkung Intensitas Durasi Frekuensi (IDF)

a. Metode Bell
Suatu pemukiman dilewati garis isohit hujan harian maksimum tahunan rata-rata dan jumlah
hari hujan seperti pada Gambar

80 90

60

70

80

Legenda :
: Hujan harian maksimum tahunan rata-rata (M)
: Jumlah hari hujan rata-rata (N)
: Batas daerah pemukiman

Gambar B.1 Isohit Hujan Harian Maksimum Tahunan rata-rata dan


jumlah hari hujan tahunan rata-rata.

Pertanyaan :
1. Buat Lengkung Intensitas Durasi Frekuensi (IDF) untuk periode ulang 5 tahunan!
2. Jika diketahui waktu konsentrasi aliran di lahan sebesar 46,30 menit berapa
Intensitas hujan rencana 5 tahunan untuk daerah pemukiman diatas?

Penyelesaian:
1. Besarnya hujan harian maksimum tahunan rata-rata (M) dari gambar diatas sebesar
90 mm dan jumlah hari hujan rata-rata tahunan (N) sebesar 70 hari. Dengan menggunakan
rumus 1 & 2 :
R1060  0 ,92 * M 0 , 67
* N 0 , 33
R1060  0 ,92 * 90 0 , 67 * 70 0 , 33
R1060  76 , 21 mm


RTt  R1060 0,14 * ln T  0,68 0,54 * t 0, 25  0,5 
t
T 
R  76,210,14 * ln 5  0,68 0,54 * t  0,5 0, 25

t = 5 mnt
t
T 
R  76,210,14 * ln 5  0,68 0,54 * 5 0, 25  0,5 
77 dari 43
SNI 03-2406-1991

RTt  21,21 mm
t = 10 mnt RTt  31,76 mm
t = 30 mnt RTt  52,70 mm
t = 60 mnt RTt  69,19 mm
t = 120 mnt RTt  88,81 mm

Intensitas hujan rencana 5 tahunan


RTt
I 
t
T mm/jam
t / 60
21,21
I 55   254,52 mm/jam
5 / 60
31,76
I 510   190,56 mm/jam
10 / 60
52,70
I 530   105,4 mm/jam
30 / 60
69,19
I 560   69,19 mm/jam
60 / 60
88,81
I 5120   44,41 mm/jam
120 / 60

Lengkung IDF untuk periode ulang 5 tahunan di plot kan dengan absis durasi dan ordinat
Intensitas hujan seperti pada Gambar B.2.

Intensitas hujan rencana untuk durasi hujan 46,30 menit di plotkan pada gambar dng
interpolasi diperoleh sebesar 85,7 mm/jam.
Jika digunakan rumus :
 
RTt  76,210,14 * ln 5  0,68 0,54 * 46,300,25  0,5
RTt  66,02 mm
66,02
I 546,30   85,56 mm/jam
46,30 / 60

78 dari 43
SNI 03-2406-1991

300

250

200
Intensitas (mm/jam)

5 tahun

150

100
85,7

50

0
0 20 40 60 80 100 120
Durasi (menit)

Gambar B.2 Lengkung IDF T= 5 tahunan dengan Rumus Bell

7.1.1.1.1. Metode Sherman dan Talbot

Data hujan durasi pendek di Jakarta Halim Perdana Kusumah tertera pada Tabel B.3 berikut:
Tabel B.3 . Data hujan durasi pendek (mm) pos Jakarta
Tahun 5mnt 30mnt 60mnt 120 mnt 180 mnt 240 mnt 360 mnt 720 mnt 1440 mnt
1979 9,9 50,5 50 51,3 77,2 81,9 87,2 93,5 72,4
1980 17,2 41 51,9 79 79,5 79,6 79,6 93,4 200,9
1981 11,3 39,2 59,5 107 109,8 122 137,8 85,7 111,9
1982 10 40,4 39,4 50 53,2 54,5 55,9 84,6 83,8
1983 10 54,2 60 69,5 69,7 70,1 73,5 72,3 90,4
1984 8,2 36,2 60,4 66,1 68,7 70,9 72 86 72,4
1985 19,8 45,8 79,6 97,3 107,6 109,5 111,9 81,6 98,5
1986 12,3 39 88,9 96,3 100,4 108,7 83,8 68,5 72,3
1987 10,5 63 66,3 83 83,6 83,8 90,2 111,9 84,6
1988 10,4 53,5 58,3 70,4 84,8 87 72,4 200,9 81,5
1989 14,6 47 42,1 58,7 65,2 67,8 95,1 72,4 62,6
1990 12,6 41,5 76,5 84,4 91,2 92,8 72,3 73 93,4
1991 4,2 21 66,1 69 71,3 72,1 74,2 85 98,8
1992 10,1 45,5 52,2 58 61,3 61,3 81,5 61 94
1993 10 32 59 79 81 81,5 61,6 66,5 148,3
1994 14 55 48 49,5 52,9 55,6 59,7 118,1 68,4
1995 11 33 42,5 51,7 57,7 58,2 90 86
Rata2 11,54 43,40 58,86 71,78 77,36 79,84 81,79 90,85 95,31
S.D 3,51 10,18 13,63 17,83 17,58 19,61 20,49 32,12 33,71

79 dari 43
SNI 03-2406-1991

Seri data hujan durasi pendek tersebut mengikuti distribusi Gumbel dengan pendekatan
KITE dengan harga koefisien kekerapan sdan persamaan hujan rencana seperti berikut :
Persamaan estimasi banjir/hujan rencana periode T tahun :

X T  X  KG * S

  1 
K G  0,45  0,7797 ln  ln1   
  T 
dengan :

X : Debit/hujan maximum rata-rata tahunan.
S : Simpangan baku.
KG : koefisien kekerapan Gumbel
T : periode ulang T tahun
Pertanyaan :
1) Buat lengkung IDF untuk periode ulang 10 tahunan dengan pendekatan Sherman
dan Talbot.
2) Hitung IDF di suatu daerah dengan waktu konsentrasi 46,30 menit.

Penyelesaian :
1.a. IDF dengan Persamaan Sherman

Koefisien kekerapan Gumbel dengan T = 10 Tahunan


  1 
K G  0,45  0,7797 ln  ln1   
  10 
K G  1,305
Hujan rencana periode ulang 10 tahun durasi 5 menit

X 105  X  K G * S
X 105  11,54  1,305 * 3,51
X 105  16,121 mm
Dengan cara yang sama dapat dicari untuk durasi yang lain
X 1030  56,684 mm
X 1060  76,652 mm
X 10120  95,038 mm
X 10180  100,3 mm
X 10240  105,43 mm
X 10360  108,53 mm
X 10720  132,7628 mm
1440
X 10  139,2978 mm

80 dari 43
SNI 03-2406-1991

Tabel B.4 . Perhitungan menggunakan Rumus Sherman


Durasi (menit) R (mm) I (mm)/jam Log(I) Log(t) (log(t))2 (log(t))*(log(I))
5 16,12 193,5 2,28657 0,699 0,4886 1,5982
30 56,68 113,4 2,05449 1,4771 2,1819 3,0347
60 76,65 76,65 1,88452 1,7782 3,1618 3,351
120 95,04 47,52 1,67687 2,0792 4,323 3,4865
180 100,3 33,43 1,52419 2,2553 5,0863 3,4375
240 105,4 26,36 1,42092 2,3802 5,6654 3,3821
360 108,5 18,09 1,2574 2,5563 6,5347 3,2143
720 132,8 11,06 1,0439 2,8573 8,1643 2,9828
1440 139,3 5,804 0,76373 3,1584 9,9753 2,4121
Jumlah N= 9 13,9126 19,241 45,581 26,899

a
IT 
tn
(log I )(log t ) 2   (log t * log I )(log t )
log a 
N (log t ) 2   (log t )(log t )

log a 
13,912645,581  26,89919,241
945,581  19,24119,241

log a  2,914
a  10 2,914 = 819,828

n
(log I )(log t )  N (log t * log I )
N log t    (log t )(log t )
2

n
13,912619,241  926,899
945,581  19,24119,241

n  0,64
819,828
I T  0, 64 mm/jam
t
Intensitas hujan periode ulang 10 tahun untuk setiap Durasi dapat dihitung seperti Tabel B.5
berikut:
Tabel B.5 . IDF setiap durasi
D
(mnt) 5 10 20 30 60 120 150 180 240 270 300 360 720 1440
I
(mm/jam) 292,7 187,8 120,5 93,0 59,7 38,3 33,2 29,5 24,6 22,8 21,3 19,0 12,2 7,8

81 dari 43
SNI 03-2406-1991

IDF untuk 10 tahunan dapat dilihat pada Gambar B.3 di bawah ini :

350

300
Intensitas (mm/jam)

250

200

150

100
70
50
46,30
0
0 60 120 180 240 300 360
Durasi (menit)

Gambar B.3 Lengkung IDF untuk T = 10 tahun dg metode Sherman.

1.b. IDF dengan Persamaan Talbot


untuk periode ulang 10 tahun.
a
IT  mm/jam
t b

Tabel B.6 . Perhitungan Talbot


No. Durasi,t, Rt (mm) It (mm/jam) = I I2 I*t I2*t
menit

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)


1 5 16,121 193,452 37423,6763 967,260 187118,382
2 30 56,684 113,369 12852,49646 3401,066 385574,894
3 60 76,652 76,652 5875,483353 4599,102 352529,001
4 120 95,038 47,519 2258,075188 5702,305 270969,023
5 180 100,303 33,434 1117,862782 6018,202 201215,301
6 240 105,433 26,358 694,7632523 6326,007 166743,181
7 360 108,530 18,088 327,187996 6511,802 117787,679
8 720 132,763 11,064 122,4024333 7965,766 88129,752
9 1440 139,298 5,804 33,68727485 8357,867 48509,676
Jumlah 525,741 60705,635 49849,376 1818576,887

a
( I * t )( I 2 )  ( I 2 * t )( I )
N ( I 2 )  ( I )( I )

a
49849,37660705,635  1818576,887525,741
960705,635  525,741525,741

a  7668,297459

82 dari 43
SNI 03-2406-1991

b
( I )( I * t )  N ( I 2 * t )
N ( I 2 )  ( I )( I )

b
525,74149849,376  91818576,887
960705,635  525,741525,741

b  36,454
Intensitas Durasi 5 menit
7668,297
I 105  = 185 mm/jam
5  36,454
Tabel B.7 Intensitas hujan T = 10 tahun untuk berbagai durasi
D
(mnt) 5 10 20 30 60 120 150 180 240 270 300 360 720 1440
I (mm/
jam) 185 165 136 115 80 49 41 35 28 25 23 19 10 5

Dari tabel 10 tersebut dapat dibuat lengkung IDF periode ulang 10 tahunan seperti pada
Gambar 4

200

180

160
Intensitas hujan (mm/jam)

140

120

100

80 92

60

40

20
46,30
0
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Durasi Hujan (menit)

Gambar B.4. Lengkung IDF T = 10 tahun dg Metode Talbot.

2. Dengan waktu konsentrasi 46,30 menit maka dapat diperoleh besarnya intensitas
hujan rencananya. Asumsi waktu konsentrasi sama dengan durasinya maka intensitas hujan
dengan metode Sherman dan Talbot besarnya seperti berikut:
a
2a. Sherman  I T 
tn
819,828
I 1046,30  = 70,429 mm/jam
46,30 0,64

a
2b. Talbot  I T 
t b
7668,297
I 1046,30  = 92,664 mm/jam.
46,30  36,454

83 dari 43
SNI 03-2406-1991

7.2. Contoh Perhitungan Koefisien Runoff (C)

Suatu daerah dengan tata guna lahan serta luasan seperti dalam Gambar B.5. Hitung
koefisien runoff setiap sub daerah dan koefesien runoff komposit untuk seluruh daerah
tersebut.

Penyelesaian :
Hutan Lindung
C1  0,9 I m  (1  I m )C p
C1  0,9 * 0  (1  0) * 0,3
C1  0,3

Pemukiman Hutan
C = 0,65 lindung
A2 = 8 km2 C=0,3
Im = 60% A1 = 10km2
Industri Im = 0 %
C= 0,8
A4 = 3 km2 Pemukiman
Im =80% C= 0,48
A3 = 7 km2
Pertokoan Im = 30%
C = 0,9
A5 = 2 km2
Im = 100%

Gambar B.5 Tata guna lahan dan koefisien runoff

Pemukiman 1
C 2  0,9 I m  (1  I m )C p
C 2  0,9 * 0,6  (1  0,6) * 0,65
C 2  0,8

Pemukiman 2
C 3  0,9 I m  (1  I m )C p
C 3  0,9 * 0,3  (1  0,3) * 0,48
C 3  0,606

Industri
C 4  0,9 I m  (1  I m )C p
C 4  0,9 * 0,8  (1  0,8) * 0,8
C 4  0,88
84 dari 43
SNI 03-2406-1991

Pertokoan
C 5  0,9 I m  (1  I m )C p
C 5  0,9 * 1,0  (1  1,0) * 0,9
C 5  0,90
Koefisien runoff komposit
C1 * A1  C 2 * A2  C 3 * A3  C 4 * A4  C 5 * A5
Ck 
ATOTAL

0,3 * 10  0,8 * 8  0,606 * 7  0,88 * 3  0,9 * 2


Ck 
10  8  7  3  2

18,082
Ck 
30
C k  0,603

4. Contoh Perhitungan Waktu Konsentrasi

Hitung waktu konsentrasi menggunakan rumus Kirpich dan FAA jika koefisien runoff = 0,7.
dari gambar B.6.

El. + 350 m

L = 1000 m
EL. + 344 m

Gambar B.6 Daerah aliran permukaan

Penyelesaian :
Kemiringan lahan = (350-344)/1000 = 0,006 m/m
Waktu konsentrasi dengan Rumus Kirpich :
 L0,77 
t C  0,0195 *  0,385 
S 
 1000 0 , 77

t C  0,0195 *  
0 , 385 
 0,006 
t C  28,54 menit.

Dengan rumus FAA :


S = 0,006 m/m = 0,6%

85 dari 43
SNI 03-2406-1991

tC 
 
0,552 * 1,8 * (1,1  C ) * L0,5
S 1/ 3
tC 

0,552 * 1,8 * (1,1  0,7) *1000 0,5 
0,61 / 3
t C  14,90 menit.

5. Contoh Perhitungan Debit Saluran

Diketahui :
n1 = 0.025, n2 = 0.022 dan n3 = 0.02
h1 = 0,5 m dan h2 = 2m
b1 = 4 m, b2 = 3,5 m dan b3 = 6 m
dengan kemiringan saluran rata-rata =0,0005 m/m
Hitung debit yang lewat saluran dan berapa kecepatan rata-ratanya.;

Penyelesaian
Menggunakan rumus diatas dapat dihitung dan dibuat Tabel B.8 seperti berikut :

Tabel B.8 Perhitungan debit di saluran komposit.


Bagian b h m n A P R V Q
1 4 0,5 0,5 0,025 2,063 4,559 0,452 0,061 0,126
2 3,5 0,5 0,5 0,022 1,813 4,059 0,447 0,068 0,122
3 6 2 1 0,02 21,000 11,657 1,802 1,210 25,400
Jumlah 24,875 25,648

Debit total = 25,648 m3/dt


Luas penampang basah total = 24,875 m2
Maka kecepatan rata-rata dapat dihitung :
Q
V 
A
25,648
V = 1,031 m/dt
24,875

86 dari 43
SNI 03-2406-1991

Lampiran C
(informatif)
Contoh perhitungan debit puncak untuk sistem jaringan drainase
(saluran terbuka)

200 250

A2
A1
300 C=0,6
C=0,7
2
1 3

A4
C=0,4
250 A3
C=0,5 5

4
300

Gambar C.1 Layout Saluran

A1 1 2 3 A2
A=6ha A=7,5ha
C=0,7 C=0,6

A3
A=5ha A4
C=0,5 A=3,125
4 ha
C=0,4

Gambar C.2 Skematisasi

87 dari 43
SNI 03-2406-1991

Tabel C.1 Contoh Tabel Perhitungan


No. Nama Daerah
Lahan
Saluran Layanan Luas
Koef. Luas Total Faktor Panjang Kemiring- Waktu
Daerah
Runoff Efektif Koreksi Aliran an Aliran Konstr
Layanan

A1 A C CA ΣCA K D SL to
(ha) (ha) (ha) (ha) (m) (%) (menit)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

1 1-2 A1 6 0.7 4.2 4.2 1 300 0.02 25.36

2 3-2 A2 7.5 0.6 4.5 4.5 1 300 0.02 31.7

3 2-4 A1 6 0.7 4.2 4.2 1 300 0.02 25.36


A2 7.5 0.6 4.5 4.5 1 300 0.02 31.7
A3 5 0.5 2.5 2.5 1 200 0.02 31.06
A4 3.125 0.4 1.25 1.25 1 250 0.02 40.514
12.5
2-4 Atotal 21.625 0.576 12.45 12.5 1.05

4 4-5 21.625 0.576 12.45 12.5 1.05

Tabel C.2 Contoh Tabel Perhitungan (lanjutan)

Saluran
Slope
Panj Lebar Kedalam Slope Dasar Koef. Luas Kell Kecpt Kapasitas Waktu
Sal an tanggul Sal manning p. bsh bsh aliran Saluran Aliran
td =
L B H v(1:m) SS n A P V Q =A*V
(m) (m) (m) (m) (m/m) (m2) (m) (m/dt) (m3/dt)
L/V
(menit)
(12) (13)* (14)* (15)* (16) (17) (18) (19) (20) (21) (22)

200 2 1.6 1 0.04 0.22 3.2 5.2 0.658 2.10 5.07

250 2 1.6 1 0.04 0.22 3.2 5.2 0.658 2.10 6.34

250 2.8 2.4 1 0.04 0.22 6.72 7.6 0.837 5.63 4.98

300 2.8 2.4 1 0.04 0.22 6.72 7.6 0.837 5.63 5.97
Catatan: Untuk saluran tertutup, perbedaan terdapat pada kolom (13), (14), (15)

88 dari 43
SNI 03-2406-1991

Tabel C.3 Contoh Tabel Perhitungan (lanjutan)


Desain
Waktu Intensitas Debit
Konsentr Hujan Puncak

Tc +to+td I q
(menit) (mm/jam) (m3/dt)

(23) (24) (25)

30.43 175.12 2.04

38.04 160.74 2.01

35.40
43.01
36.04
45.49

45.49 150.06 5.45

51.46 143.12 5.20

89 dari 43
SNI 03-2406-1991

Lampiran D
(normatif/informatif)

Perhitungan Sumur Resapan Air Hujan

Penelusuran Banjir dengan Muskingum

Permaslahan yang dihadapi adalah :

 Pengamatan duga air sangat terbatas pada lokasi A, sedangkan banjir pada Lokasi B

 Untuk mengetahui bagaimana karakteristik dan banjir yang akan terjadi di B akibat banjir
di A.

 Diperlukan pengukuran hydrograph banjir di A dan di B, serta dicari hubungannya


dengan metoda penelusuran banjir Muskingum

 Berikut ini diketahui Data pada lokasi A dan B setelah dilakukannya pengukuran.

 Setelah diketahui nilai parameter hubungan antara lokasi A dan B, Pertanyaannya


adalah bagaimana hidrograp banjir di B jika terjadi banjir diwaktu yang lain di A.

Diketahui pengukuran hydrograph selama banjir sebagai berikut:

BESARNYA DEBIT ALIRAN PADA BESARNYA DEBIT ALIRAN PADA


WAKTU (jam)
A (m3/det) B (m3/det)
0 10 10
6 60 16
12 210 80
18 357 140
24 280 150
30 165 185
36 130 188
42 80 140
48 48 85
54 25 50
60 15 30
66 12 20
72 10 15
80 9 12

Dengan memperkirakan parameter X dan K, carilah besar hydrograph disebelah hilir (di B).
Kemudian pergunakan harga K dan X tadi untuk routing flood hydrograph keadaan lain dari
A ke B.

Waktu (jam) : 0 6 12 18 24 30 36 42 48

90 dari 43
SNI 03-2406-1991

Debit (m3/det) : 15 32 68 190 150 130 260 390 460

Waktu (jam) : 54 60 66 72 78 84 90 96 102

Debit (m3/det) : 400 260 180 140 85 50 30 18 15

Penyelesaian:

Langkah pertama perbandingkan hydrograph pada A dan B, apakah jumlah volumenya


sama. Jika perlu hydrograph pada B dikalikan dengan ration dari volume.

S dihitung secara kumulatif dari perubahan storage D

D = X I + (1 – X) Q

Tabel 7.1 : PERHITUNGAN MUSKINGUM ROUTING

Q
(OUTFLOW
S= S
I O DISESUAI- S D (m3/det)
WAKTU (CUMULATIVE
(INFLOW) (OUTFLOW) KAN) (106m3)
(jam) STORAGE)
m3/det m3/det (Outflow X (*)
(106m3)
1.26) X=0.2 X=0.3 X=0.4
m3/det
0 10 10 13 - 0.9 12 12 12
0.40
6 60 16 20 0.31 28 32 36
12 210 80 101 1.61 1.98 123 134 145
18 357 140 176 3.13 5.05 212 205 248
24 280 150 189 2.94 7.99 207 216 225
30 165 185 233 8.24 219 213 206
0.25
36 130 188 237 6.35 216 205 194
-1.89
42 80 140 176 4.18 157 147 138
48 48 85 107 -2.17 2.50 95 89 83
54 25 50 63 -1.68 1.45 55 52 48
60 15 30 38 -1.05 0.80 33 31 29
66 12 20 25 0.41 22 21 20
-0.65
72 10 15 19 0.17 17 16 15
-0.39
78 9 12 15 0.01 14 13 13
-0.24
-0.16

1411 1211

1411
Ratio :  1.26
1211

Kemudian harga storage kumulatif (S) di plot terhadap D untuk mendapatkan garis K, hasil
yang terbaik didapat X = 0,25.

91 dari 43
SNI 03-2406-1991

Gambar Grafik untuk mendapatkan K

Dengan persamaan parameter, dengan time-interval T = 6 jam,

S 5.2  10 6
K   7,22 jam
D 200

dan X = 0.25

KX  0.5T
C0   0,143
K  KX  0.5T
KX  0.5T
C1   0,571
K  KX  0.5T
K  KX  0.5T
C2   0,286
K  KX  0.5T

Periksa : 0,143 + 0,57 + 0,286 = 1

92 dari 43
SNI 03-2406-1991

Tabel 7.2 : PERHITUNGAN PENELUSURAN BANJIR

TIME INFLOW OUTFLOW DIHITUNG DENGAN MUSKINGUM


(jam) (m3/det) COEFICIENT’S
0,143 It + 0,571 It-Ct + 0,286 Qt-Ct
0 15 15
6 32 17
12 68 33
18 190 75
24 150 151
30 130 148
36 260 154
42 390 248
48 460 359
54 400 423
60 260 386
66 180 285
72 140 204
78 85 151
84 50 99
90 30 61
96 18 37
102 15 23
Ct = 6 jam

93 dari 43
SNI 03-2406-1991

Lampiran E
(normatif/informatif)

Perhitungan Sumur Resapan Air Hujan

1. Gambar sumur resapan air hujan

Suplai air sumur resapan melalui pipa Talang

Pipa PVC, Talang Vertikal


Pagar batas bangunan

Pipa PVC, Pipa peluap


Pipa PVC, Talang Horisontal
Lantai Rumah Bidang resapan

Buis Beton
Ø 80 - 120 cm
H

Pasangan batu belah kosong


t = 20 - 40 cm

Keterangan :
H = kedalaman sumur D
D = diameter sumur

Suplai air sumur resapan melalui saluran drainase

Saluran drainase
air hujan
Pagar batas bangunan

Pipa PVC,
Talang Horisontal
Pipa PVC, Pipa peluap
Lantai Rumah Bidang resapan

Buis Beton
Ø 80 - 120 cm
H

Pasangan batu belah kosong


t = 20 - 40 cm

Keterangan :
H = kedalaman sumur D
D = diameter sumur

94 dari 43
SNI 03-2406-1991

2. Gambar Saluran air hujan pracetak berlubang

95 dari 43
SNI 03-2406-1991

3. Gambar Sub Reservoar air hujan

A
Tebal dinding tangki
FRP = 10 mm

D = 2 m
L = 10 m D = 2,00

POTONGAN MEMANJANG POTONGAN A - A

96 dari 43
SNI 03-2406-1991

Lampiran D
(informatif)

Daftar nama dan lembaga

1) Pemrakarsa
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, Badan Penelitian dan
Pengembangan, Departemen Pekerjaan Umum.

2) Penyusun awal

Nama Lembaga

Ir. Joesron Loebis, M.Eng. Pusat Litbang Sumber Daya Air

Ir. Carlina Soetjiono, Dipl.HE. Pusat Litbang Sumber Daya Air

Ir. Moh. Djihad, Dipl.HE. Pusat Litbang Sumber Daya Air

3) Penyusun baru

Nama Lembaga

Oky Subrata, ST, MPSDA Pusat Litbang Sumber Daya Air


Pusat Litbang Sumber Daya Air
Ir. F. Mulyantari, M.Eng

97 dari 43
SNI 03-2406-1991

Bibliografi

1. SNI 03-2406-1991, Tata cara perencanaan umum drainase perkotaan.


2. Bedient P.B., and Wayne C.Huber, Hydrology and Flood Plain Analysis, Addison
Wesley Publishing Company, Canada, 1989.
3. Chow Ven Te, Hand Book of Applied Hydrology. Mc Graw – Hill Book Company, New
York, 1964.
4. Chow Ven Te, David R.M dan Larry W.M. Applied Hydrology. Mc Graw – Hill Book
Company, New York, 1988.
5. Hall, M.J., 1986. Urban Hydrology . Elsevier Applied Science Publisher Ltd. England.
6. Kite, G.W., Frequency and Risk Analysis in Hydrology. Water Resources Publication,
Colorado, 1988.
7. Lye, L.M., An Introduction to Design Flood Estimation, Course Note. NewFoundland
Canada,1991.
8. Mulyantari,F, Analisis Banjir dengan Metode Rasional. Modul Ajar. Bandung, 2007.
9. Mulyantari,F., Wanny A,dan Lanny, M., Analisis Hujan Rencana yang Handal di Jawa
Barat. Prosiding PIT.XVI HATHI , Bengkulu, 1999.
10. Stephenson, D., 1981. Storm Water Hydrology and Drainage. Elsevier Scientific
Publishing Company. Amsterdam, the netherlands.
11. Viessman Warren,Jr., John W.Knapp, Garry, L.L., dan Terence, E.H., Introduction to
Hydrology.Harper & Row, Publisher, New York 1977.
12. Wisner Hydrology Consulting, 1994. Urban Drainage Guidelines and Technical Design
Standards WSTCF 092/020. Vol.II-Part III. Urban Hydrology Manual.
13. Word Meteorological Organization (WMO)-560. Selection of Distribution Types for
Extremes of Precipitation. WMO, Geneva, 1981.
14. Word Meteorological Organization (WMO)-718. Statistical Distributions for Flood
Frequency Analysis. WMO, Geneva, 1989.
15. Wanielista Martin, Hydrology and Water Quantity Control. John Wiley & Sons, Inc,
Canada, 1990.

16. Yen Ben Chie, Catchment Runoff and Rational Formula, Water Resources
Publications, Colorado, 1992
17. Cipta Karya, Kementerian PU, Tata Cara Penyusunan Rencana Induk Sistem Drainase
Perkotaan, Jakarta, 2012;
18. Cipta Karya, Kementerian PU, Pengelolaan drainase secara terpadu berwawasan
lingkungan (ecodrain) Jakarta, 2013;

19. Cipta Karya, Kementerian PU, Panduan Clean Construction Pada Pelaksanaan
Pembangunan Sistem Drainase, Jakarta, 2014.

98 dari 43

Вам также может понравиться