Вы находитесь на странице: 1из 49

BUKTI EVOLUSI, ANALISIS FOSIL DAN KERAGAMAN HAYATI, DAN

PETUNJUK EVOLUSI

MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Evolusi
Yang dibina oleh Prof. Dr. agr. Mohamad Amin, S.Pd., M.Si. dan
Bagus Priambodo, S.Si., M.Si., M.Sc.

Oleh :
Kelompok 6 / Offering GHP
Ika Yana Novi Saputri 160342606210
Indah Khoirun Nisa 160342606268
Nur Roudhotul Jannah 160342606205

The Learning University

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI BIOLOGI
Februari 2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Evolusi merupakan proses perubahan struktur tubuh makhluk hidup
yang berlangsung sangat lambat dan dalam kurun waktu yang sangat lama.
Evolusi berjalan terus sepanjang masa. Evolusi menyebabkan adanya
keanekaragaman makhluk hidup. Evolusi yang terjadi di bumi ini telah
berlangsung sejak berates-ratus juta tahun yang lalu. Di dalam evolusi terdapat
namanya evolusi biologi. Evolusi biologis adalah perubahan genetik dalam
suatu populasi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kecepatan dan arah
perubahannya adalah variabel dengan garis-garis spesies yang berbeda dan
pada waktu yang berbeda. Bukti-bukti mengenai adanya evolusi sudah mulai
bermunculan dan memunculkan polemic tersendiri di dalam masyarakat.
Teori-teori ilmiah terbaru sering mendorong banyak kontroversi.
Kontroversi ini mempunyai pengaruh bermanfaat pada kemajuan ilmiah,
karenanya para ilmuan dengan pandangan-pandangan yang berbeda bekerja
secara intensif untuk menemukan bukti-bukti yang dapat mendukung ide-ide
mereka. Teori evolusi organik dan teori seleksi alam (natural selection)
Darwin melandasi setiap aktivitas mereka. Sebagai ilmuan, mereka berusaha
mencari data-data yang dapat mendukung ataupun dapat membuktikan bahwa
teori-teori terdahulu itu mungkin saja tidak benar. Bukti-bukti ilmiah tertentu
yang lebih dari 100 tahun terakhir mendukung pemikiran Darwin, dan
merupakan bagian-bagian khusus dari ilmu biologi antara lain: (1) bukti
biogeografi, (2) bukti paleontologi, (3) bukti anatomi perbandingan, (4) bukti
perbandingan embriologi, dan (5) bukti molekuler. Beberapa prinsip yang
digunakan Darwin yang dianggap dapat memberikan petunjuk adanya evolusi
antara lain adanya variasi di antara individu-individu dalam satu keturunan,
adanya pengaruh penyebaran geografi, ditemukannya fosil-fosil diberbagai
lapisan batuan bumi yang menunjukkan adanya perubahan secara berangsur-
angsur, adanya homology antara organ system pada makhluk hidup, adanya
data sebagai hasil studi mengenai komparatif perkembangan embrio.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1.2.1 Bagaimana dan apa saja bukti evolusi?
1.2.2 Bagaimana cara analisis fosil dan keragaman hayati?
1.2.3 Bagaimana penjelasan mengenai petunjuk evolusi?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut penulisan makalah ini mempunyai
tujuan sebagai berikut:
1.3.1 Untuk menjelaskan apa saja bukti evolusi.
1.3.2 Untuk menjelaskan bagaimana cara analisis fosil dan keragaman hayati.
1.3.3 Untuk menjelaskan mengenai petunjuk evolusi.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Bukti-Bukti Evolusi


Evolusi biologi meninggalkan tanda-tanda yang dapat diamati, yang
merupakan bukti pengaruh pada kehidupan di masa lalu dan sekarang.
Menurut Henuhili, dkk (2012), bukti-bukti evolusi yaitu:
a. Bukti dari Paleontologi
Paleontologi adalah ilmu yang mempelajari fosil. Fosil adalah
replika atau peningkatan bersejarah organisme dari masa lalu, yang
mengalami mineralisasi di dalam batuan (Campbell, 2003). Suksesi bentuk
fosil sesuai dengan apa yang diketahui dari bukti lain. Sebagai contoh,
bukti dari cabang biokimia, biologi molekuler, dan biologi sel
menempatkan prokariota sebagai nenek moyang semua kehidupan dan
memperkirakan bahwa bakteri mendahului semua kehidupan eukariota
dalam catatan fosil. Memang, fosil tertua yang diketahui adalah prokariota.
Contoh lain penampakan kronologis dari kelas-kelas hewan vertebrata
yang berbedabeda dalam catatan fosil. Fosil ikan adalah yang paling tua
dari semua vertebrata lain, disusul kemudian oleh amfibia, diikuti oleh
reptilia, kemudian burung dan mamalia. Urutan ini sesuai dengan sejarah
keturunan vertebrata sebagaimana diungkapkan oleh banyak jenis bukti
yang lain. Sebaliknya, ide bahwa semua spesies diciptakan satu demi satu
pada waktu yang hampir sama seharusnya kelas vertebrata muncul pada
catatan fosil dalam bebatuan dengan umur yang sama, ternyata berlawanan
dengan apa yang sesungguhnya diamati oleh para ahli paleontologi
(Henuhili, dkk (2012).
Para ahli anatomi perbandingan mencoba menemukan persamaan-
persamaan dan perbedaan-perbedaan antara struktur dasar (fundamental
structure) organisme hidup. Mereka mempelajari bentuk-bentuk struktur
dasar setiap kelompok organisme. Sebagai contoh, semua hewan
vertebrata memiliki struktur dasar yang sama, yakni: suatu kerangka utama
penyanggah tengkorak dan tulang belakang; tulang rusuk yang melindungi
jantung dan paru-paru, tertancap pada tulang belakang; sepasang organ
tambahan; dan sistem peredaran darah, pernafasan atau respirasi,
pencernaan, pengeluaran yang sama. Menurut Widodo, Lestari, U., Amin,
M., (2003), semua kesamaan tersebut menunjukkan bahwa organ tersebut
berasal dari struktur yang sama yang dikenal dengan istilah homolog.
Sedangkan apabila suatu organ memiliki Kesamaan fungsi namun berbeda
asalnya disebut dengan analog.
Homologi adalah struktur dasar sama yang diturunkan secara genetik
dari nenek moyang yang umum tetapi kemudian memiliki fungsi yang
berbeda. Suatu contoh homologi yang baik adalah tulang lengan depan
vertebrata (Gambar 2.5). Semua vertebrata seperti burung, ikan paus, dan
manusia mempunyai struktur dasar tulang lengan depan yang sama
kemudian melewati proses perubahan (evolusi) dari nenek moyang yang
umum, kemudian menampilkan fungsi yang berbeda (Frida, 2006).

Gambar 1. Struktur Homologi pada beberapa vertebrata. Semua tetrapod moderen


mempunyai pentadactyl dasar (lima digit) struktur lengannya. Misalnya, forelimb
pada burung, manusia, ikan paus, dan kelelawar, semuanya mempunyai struktur
dasar yang sama, tetapi mempunyai fungsi yang berbeda (Ridley, 1996).

Analogi adalah menunjukkan fungsi yang sama, tetapi mempunyai


struktur dasar yang berbeda. Misalnya sayap burung dengan sayap
serangga mempunyai fungsi yang sama tetapi struktur dasarnya berbeda.
Burung mempunyai kerangka tulang sayap sedangkan serangga
mempunyai sayap yang tersusun dari lapisan kitin yang keras, tetapi
keduanya berfungsi untuk terbang (Frida, 2006). Anatomi perbandingan
yang juga diidentifikasi yakni struktur vestigial. Struktur vestigial adalah
struktur-struktur tertentu yang tidak berkembang terus pada beberapa
organsime, tetapi dalam perkembangan selanjutnya berfungsi lain.

Gagasan organ vestigial kali pertama dikemukakan sekitar seabad


yang lalu. Menurut para evolusionis, di dalam tubuh sebagian makhluk
hidup, terdapat sejumlah organ yang tak berfungsi. Organ-organ ini telah
diwarisi dari moyang dan secara bertahap menjadi vestigial (kehilangan
manfaat) karena jarang dipakai. Ketika adaptasi terjadi melalui modifikasi
perlahan pada stuktur yang telah ada, struktur dengan organisasi internal
dapat memiliki fungsi yang sangat berbeda pada organisme terkait. Ini
merupakan akibat dari stuktur leluhur yang diadaptasikan untuk berfungsi
dengan cara yang berbeda. Ciri-ciri anatomi idiosinkratik lainnya adalah
tulang pada pergelangan panda yang terbentuk menjadi "ibu jari" palsu,
mengindikasikan bahwa garis keturunan evolusi suatu organisme dapat
membatasi adaptasi apa yang memungkinkan (Gonzaga, 2009).

Gambar 2. Organ vestigial pada manusia yang berupa umbai cacing (apendiks
vermiformis) (Anonim, 2010)

Selama adaptasi, beberapa struktur dapat kehilangan fungsi awalnya


dan menjadi struktur vestigial. Struktur tersebut dapat memiliki fungsi
yang kecil atau sama sekali tidak berfungsi pada spesies sekarang, namun
memiliki fungsi yang jelas pada spesies leluhur atau spesies lainnya yang
berkerabat dekat. Struktur vestigial termasuk rudimentasi, sayap pada
mutan vestigial (Drosophila melanogaster) kekurangan penglihatan pada
hewan-hewan penghuni gua, gigi geraham manusia, tulang ekor pada
manusia (pada mamalia yang lain ekornya tumbuh memanjang) (Anonim,
2009).

b. Bukti Biogeografi
Biogeografi adalah mempelajari distribusi geografi dari tanaman dan
hewan. Kesimpulan mendasar dari studi biogeografis memperlihatkan
bahwa suatu spesies baru muncul pada satu tempat dan kemudian
menyebar menuju keluar dari titik atau tempat asal. Beberapa spesies
kemudian menjadi lebih luas distribusinya, tetapi mereka tidak dapat
melewati barier-barier alami yang terpisah daerah biogeografis yang besar.
Oleh karena itu, meskipun lingkungan hidup sesungguhnya identik pada
daerah biogeografis berbeda, jarang ditempati oleh spesies yang sama
(Frida, 2006). Contoh bukti biogeografi nyata yang telah diteliti oleh para
ilmuwan adalah burung finch. Burung finch (satu genus dengan burung
pipit) di Kepulauan Galapagos yang dulu dipakai Charles Darwin untuk
mengembangkan teori evolusi, kini terbukti cocok dengan teori itu mereka
memang berevolusi (Schmid, 2006).
Beragam burung Finch yang ditemukan di Kepulauan Galapagos ini
diduga berasal dari nenek moyang yang sama. Burung Finch diduga
mengalami isolasi geografis sehingga sekarang ini ditemukan burung finch
dengan berbagai macam bentuk paruh. Bentuk paruh disesuaikan dengan
cara memperoleh makanannya. Perbedaan bentuk paruh ini diduga sebagai
salah satu reaksi adaptasi terhadap habitat yang berbeda-beda. Burung
Finch yang berukuran sedang yang diteliti Darwin, ternyata perlahan-lahan
memperkecil paruhnya untuk mendapatkan aneka jenis biji-bijian.
Perubahan ini mulai terjadi sekitar duapuluh tahun setelah kedatangan
burung pesaing mereka yang berukuran lebih besar, dan memperebutkan
sumber makanan yang sama. Perubahan ukuran paruh menunjukkan
bahwa spesies yang berkompetisi untuk mendapatkan makanan dapat
mengalami evolusi. Berikut ini gambar sketsa dari burung beberapa finch
yang mempunyai perbedaan bentuk morfologi dan anatomi pada paruh.
Gambar. 3 Perbandingan bentuk paruh burung Finch secara anatomi (a) dan (b) morfologi
(Anonim, 2009).

Grant telah mempelajari burung-burung Finch di Kepulauan


Galapagos selama beberapa puluh tahun dan pada mulanya bermaksud
meneliti perubahan-perubahan yang terjadi ketika beradaptasi dengan
kekeringan yang turut pula mengubah jenis makanan yang tersedia di
sana. Menurut Robert C. Fleischer, pakar genetika di Smithsonian
National Museum of Natural History and National Zoo dalam Schmid
(2006), jarang ilmuwan bisa mendokumentasikan perubahan-perubahan
yang muncul dari hewan menanggapi kompetisi di alam. Lebih banyak
mereka mengamati ketika satwa masuk ke habitat yang baru atau
perubahan iklim dan perilaku untuk menemukan sumber makanan baru.

Dalam teori evolusi Darwin, perubahan itu dikenal dengan istilah


character displacement, yang terjadi ketika seleksi alam yang
menghasilkan perubahan pada generasi berikutnya. Adaptasi dari burung
Finch ini merupakan struktur atau perilaku yang bertujuan meningkatkan
fungsi organ tertentu, yang menyebabkan organisme menjadi lebih baik
dalam bertahan hidup dan bereproduksi. Variasi burung Finch yang ada
saat ini mempunyai beragam bentuk paruh yang disesuaikan dengan cara
hidupnya. Hal ini jelas diakibatkan oleh kombinasi perubahan acak dalam
skala kecil pada sifat organisme secara terus menerus yang diikuti oleh
seleksi alam varian yang paling cocok terhadap lingkungannya. Dengan
demikian homologi paruh pada beragam variasi burung finch dapat
dijadikan sebagai salah satu bukti adanya evolusi, dan burung Finch
merupakan contoh fosil hidup adanya evolusi (Schmid, 2006).

c. Bukti dari Taksonomi


Taksonomi adalah cabang dari biologi yang berhubungan dengan
penamaan dan klasifikasi spesies yang didasarkan pada skema yang lebih
formal. Skema tersebut terdiri dari tingkatan klasifikasi yang
bermacammacam, setiap tingkatan lebih luas cakupannya dibandingkan
dengan tingkatan yang di bawahnya. Sistem taksonomi ini dipelopori oleh
Carolus Linnaeus seorang ahli botani Swedia. Beliau bekerja dengan
mencari keseragaman di antara keanekaragaman. Tujuan utama dari
Linnaeus adalah "untuk kemuliaan dan keagungan Tuhan". Tetapi
ironisnya, seabad kemudian sistem taksonominya ternyata menjadi titik
fokus pendapat Darwin mengenai evolusi (Henuhili, dkk. 2012).
Linnaeus memakai suatu sistem untuk pengelompokan spesies yang
mirip ke dalam jenjang suatu kategori yang semakin umum. Sebagai
contoh, spesies yang mirip dikelompokkan ke dalam genus yang sama,
genus yang mirip dikelompokkan ke dalam famili yang sama dan
selanjutnya. Kingdom > filum > kelas > ordo > famili > genus > spesies
(Henuhili, dkk. 2012). Bagi para ahli evolusi, skema Linnaeus tersebut
merefleksikan geneologi bercabang dari pohon kehidupan, dengan
organisme pada level taksonomik yang berbeda dihubungkan melalui
turunan dari nenek moyang yang sama. Spesies yang memiliki sifat dan
ciri yang sama, misalnya singa dan harimau ternyata memiliki hubungan
yang erat dan ternyata garis turunan nenek moyangnya sama. Jika kita bisa
mengakui singa dan harimau lebih erat hubungan kekerabatannya
dibandingkan antara singa dan kambing, maka kita telah mengakui bahwa
evolusi telah meninggalkan tanda dalam bentuk derajat kekerabatan yang
berbeda di antara spesies modern (Henuhili, dkk. 2012).
Taksonomi merupakan penemuan manusia dengan sendirinya
taksonomi tidak dapat mengukuhkan keturunan yang sama. Akan tetapi,
bersama dengan bukti-bukti yang lain, implikasi taksonomi pada evolusi
tidak mungkin keliru. Analisis genetik misalnya, membeberkan bahwa
spesies singa dan harimau merupakan kerabat yang sangat dekat dengan
latar belakang hereditas yang mirip kekerabatan dari genus yang sama
untuk suatu ordo/ lebih dekat jika dibandingkan dengan ordo yang berbeda
(Henuhili, dkk. 2012).
d. Bukti dari Anatomi Perbandingan
Pewarisan dengan modifikasi sangat jelas terlihat pada kemiripan
anatomi antara spesies yang dikelompokkan ke dalam kategori taksonomi
yang sama. Sebagai contoh elemen kerangka yang sama menyusun tungkai
depan manusia, kadal, kucing, paus, kelelawar, katak dan burung.
Meskipun tungkai tersebut memiliki fungsi yang sangat berbeda (Henuhili,
dkk. 2012).

Gambar 4: Struktur homolog, tanda-tanda anatomis proses evolusi.


Tungkai depan semua vertebrata dibangun dari unsur kerangka yang
sama, dan terlihat adanya hubungan arsitektur seperti yang kita harapkan
jika tungkai depan leluhur yang sama dimodifikasi menjadi beberapa
struktur untuk mengemban berbagai jenis fungsi yang berbeda
(Strickberger, 2000).
Tentunya, cara terbaik untuk membangun infrastruktur sayap
kelelawar bukan merupakan cara terbaik untuk membangun sirip paus.
Perbedaan anatomi seperti itu tidak masuk akal jika struktur tersebut
secara unik direkayasa dan tidak saling berhubungan. Suatu penjelasan
yang lebih mungkin adalah kemiripan tungkai depan ini akibat
diturunkannya semua vertebrata dari suatu leluhur yang sama. Tungkai
depan, sirip, dan lengan dari vertebrata yang berbeda adalah variasi dari
pokok struktur dasar yang sama. Akibat fungsi yang berbeda pada setiap
spesies, maka struktur dasarnya dimodifikasi (Henuhili, dkk. 2012).
Kemiripan dalam ciri khusus yang dihasilkan dari leluhur yang sama
disebut homologi, dan tanda-tanda anatomis seperti itu disebut dengan
struktur homolog. Anatomi perbandingan konsisten dengan bukti-bukti
lain dalam memberikan bukti bahwa evolusi adalah suatu proses
pemodelan ulang di mana struktur leluhur yang berfungsi dalam suatu
kapasitas dimodifikasi ketika mereka mengemban fungsi baru (Henuhili,
dkk. 2012).
Beberapa struktur homolog yang lebih menarik adalah organ
vestigial (organ sisa yang tidak berguna lagi), yaitu struktur dengan arti
penting yang kecil, jika ada, bagi organisme tersebut. Organ vestigial
merupakan sisa-sisa historis dari struktur yang memiliki fungsi penting
pada leluhurnya. Sebagai contoh, paus masa kini tidak memiliki tungkai
belakang tetapi memiliki sisa tulang pelvis dari kaki leluhur daratnya yang
berkaki empat (Henuhili, dkk. 2012). Pada tingkat dasar, organ vestigial
tampaknya bisa mendukung konsep "use dan disuse" yang dikemukakan
oleh Lamarck, tetapi sebagaimana telah kita bahas, pengaruh penggunaan
struktur tubuh oleh suatu individu tidak diwariskan ke keturunan individu
tersebut. Sebaliknya, organ vestigial merupakan bukti evolusi melalui
seleksi alam (Henuhili, dkk. 2012).
Tubuh akan merugi harus terus menyediakan darah, zat-zat makanan,
dan ruang bagi organ yang tidak lagi memiliki fungsi penting, maka
seleksi alam cenderung menguntungkan individu yang memiliki organ
tersebut dalam bentuk tereduksi, dengan demikian cenderung akan
menghilangkan struktur yang tidak berfungsi lagi. Akhirnya perubahan
struktur (seperti adaptasi ekor sebagai suatu struktur pendorong utama dan
reduksi tungkai belakang pada paus) melibatkan pola ekspresi gen selama
perkembangan embrio. Karena berbagai proses yang terjadi pada
perkembangan embrio mempengaruhi fungsi organisme dewasa, maka
organisme itu sendiri merupakan pokok dari proses seleksi alam. Organ
vestigial mewakili perubahan dalam perkembangan embrio organisme
yang ditempa atau dibentuk oleh seleksi alam (Henuhili, dkk. 2012).
e. Bukti dari Embriologi Perbandingan
Kalau ditinjau dari perkembangan embrio pada hewan multiseluler,
akan dijumpai kenyataan bahwa perkembangan mulai dari zigot
menunjukan bentuk yang hampir sama. Misalnya perkembangan pada
blastula, grastrula, namun dalam perkembangan selanjut-nya berbeda satu
dengan yang lain sehingga bentuk dewasanya menjadi sangat berbeda.
Contohnya perbedaan antara ikan, salamander, kura-kura, ayam, babi, sapi,
kelinci dan mansuia sungguh sangat berbeda, namun semua dimulai dari
blastula dan grastrula serta embrio yang hampir sama (Frida, 2006).
Mengenai perkembangan embrio Karl von Baer, menyatakan bahwa:
(a) sifat-sifat umum muncul paling awal kemudian diikuti sifat-sifat
khusus; (b) perkembangan dimulai dari yang umum sekali, kemudian
kurang umum, dan akhirnya ke sifat-sifat yang khusus; (c) hewan yang
satu memisah secara progresif dari hewan yang lain; (d) dalam perkem-
bangannya hewan-hewan multiseluler bentuk embrionya sama, tetapi
kemudian pada saat dewasa bentuknya menjadi berbeda-beda. Informasi
dari perbandingan pertumbuhan dapat dicontohkan dari adanya celah
insang pada embrio vertebrata. Celah-celah insang pada ikan dewasa akan
tumbuh menjadi insang, sedangkan pada reptilia, aves, dan mamalia
dewasa tidak tumbuh insang kecuali pada beberapa amphibia (Widodo,
Lestari, U., Amin, M., 2003). Hal ini dapat dijelaskan dengan gambar
sketsa perbandingan embrio yang menunjukkan adanya homolog.
Gambar 5. Perkembangan embrio vertebrata. Semua vertebrata memiliki celah-celah
insang pada stadium embrional (Widodo, Lestari, U., Amin, M., 2003).

f. Bukti dari Biokimia dan Serologi Perbandingan


Studi anatomi perbandingan memperlihatkan adanya homologi
anatomi, demikian pula studi biokimia dari macam-macam organisme
telah mengungkapkan homologi biokimia. Persamaan biokimia organisme
hidup adalah satu ciri yang mencolok dari kehidupan (Henuhili, dkk.
2012). Hubungan evolusi di antara spesies dicerminkan dalam DNA dan
proteinnya (gen dan produk gen). Jika dua spesies memiliki pustaka gen
dan protein dengan urutan monomer yang sangat bersesuaian, urutan itu
disalin pasti dari nenek moyang yang sama. Jika ada dua paragraph
panjang yang sama hanya beda satu atau dua huruf di beberapa tempat,
tentunya kita akan mengatakan bahwa paragraph itu berasal dari sumber
yang sama (Henuhili, dkk. 2012).
Biologi molekular merupakan pendukung Darwin yang paling
berani, bahwa semua bentuk kehidupan saling berhubungan sampai tingkat
tertentu melalui cabang-cabang keturunan dari organisme yang paling
awal. Bahkan organisme yang secara taksonomi berbeda jauh, seperti
manusia dan bakteri, memiliki beberapa protein yang sama (Henuhili, dkk.
2012).
Enzim-enzim sitokrom terdapat pada hampir setiap organisme hidup.
Salah satu dari enzim ini, yaitu sitokrom c, adalah rantai polipeptida yang
terdiri atas 104 sampai 112 asam amino (bergantung pada organisme yang
menyandangnya). Pada tahun-tahun belakangan ini telah diketahui urutan
asam amino yang pasti dalam rantai sitokrom c dan beragam organisme
seperti manusia, kelinci, pinguin raja, ular gerincing, ikan tuna, ngengat,
kapang oncom merah (Neurospora) dan yang lainnya (Henuhili, dkk.
2012). Meskipun terdapat variasi dalam urutan, terutama antar organisme
yang berkerabat jauh, ternyata ada juga sejumlah besar persamaannya.
Urutan asam amino pada manusia berbeda dengan urutan monyet rhesus
hanya pada satu tempat dalam rantai. Dengan gandum berbeda 35 asam
amino, tetapi 35 asam amino lainnya terbukti sama. Hal ini termasuk satu
bagian yang terdiri atas 11 asam amino yang beruntun (No. 70 - 80) yang
terdapat pada semua organisme yang kita kenal. Kita mengetahui
bagaimana urutan nukleotida dalam molekul DNA menyandi urutan asam
amino dalam protein. Terdapatnya gen untuk sitokrom c pada begitu
banyak jenis organisme, tidak akan dapat dijelaskan tanpa menggunakan
teori evolusi. Dan fenomena ini jelaslah, kita semua mewarisi gen ini dari
nenek moyang yang sama, sekalipun dengan akumulasi mutasi (Henuhili,
dkk. 2012).
Alasan yang sama dapat diterapkan pada persamaan biokimia lain di
antara organisme-organisme. Studi mengenai urutan asam amino pada
hemoglobin mamalia memperlihatkan persamaan yang dekat, terutama
pada spesies-spesies yang diduga berkerabat dekat.

Jumlah Perbedaan Asam Amino antara


Rantai Beta Hemoglobin Manusia dengan
yang terdapat pada macam-macam spesies
Rantai beta manusia 0
Gorila 1
Gibbon 2
Monyet Rhesus 8
Anjing 15
Kuda, sapi 25
Tikus 27
Kangguru kelabu 38
Ayam 45
Kodok 67
Lamprey 125
Siput lautan (moluska) 127
Kedelai 124
Gambar 6: Homologi biokimia
Derajat persamaan struktur sebanding dengan dekatnya hubungan
kekerabatan. Semua nilai yang terdaftar untuk rantai beta kecuali tiga
terakhir: di dalamnya tidak terdapat perbedaan antara rantai beta dan
alpha. Rantai beta manusia mengandung 146 asam amino sisa, seperti
yang lainnya (Kimbal, 1999). Jadi dalam biokimia ada juga hal-hal yang
paralel seperti halnya homologi organ tubuh yang telah kita bahas
sebelumnya; ini berarti hormon juga diwariskan dari moyang yang sama
tetapi dengan fungsi yang berubah sesuai dengan cara kehidupan setiap
hewan (Henuhili, dkk. 2012).
Contoh perbandingan lainnya adalah reaksi antibodi manusia. Kalau
kita menyuntikkan protein serum manusia pada kelinci (kelinci contoh
hewan yang mudah digunakan, tetapi pakai hewan lain pun bisa), kelinci
akan membuat berbagai molekul antibodi yang sangat bervariasi terhadap
semua determinan antigen yang asing baginya. Bila serum darah kelinci
yang mengandung antigen manusia ini dicampur dengan serum manusia
dalam tabung reaksi, terbentuklah kompleks antigen antibodi yang tak
larut yang terdapat sebagai endapan. Jumlah endapan yang terbentuk dapat
diukur dengan mudah.
Manusia 100%
Simpanse 97%
Gorilla 92%
Gibbon 79%
Babon 75%
Monyet laba-laba 58%
Lemur 37%
Landak kecil (insektivora) 17%
Babi 8%

Gambar 7: Reaksi antara antibodi manusia (berasal dari kelinci) dan serum dari berbagai
mamalia (Kimbal, 1999).

Metode ini (disebut serologi perbandingan) tidak saja membenarkan


hubungan evolusi yang telah disetujui, tetapi juga memastikan hubungan,
karena bukti anatomi tidak dapat memberikan jawaban yang jelas.
Misalnya, kelinci memperlihatkan beberapa persamaan struktur dengan
hewan pengerat, tetapi walaupun demikian mereka diletakkan dalam ordo
tersendiri (ordo Lagomorpha). Satu alasan penting untuk ini ialah bahwa
uji serologi memperlihatkan sedikit afinitas antara kelinci dengan hewan
pengerat; kelinci tampaknya berkerabat lebih dekat dengan ungulata
berkuku genap seperti babi. Demikian pula paus, secara serologi
memperlihatkan hubungan yang lebih dekat dengan ungulata berkuku
genap dari pada dengan ordo mamalia lainnya. Sekarang protein tumbuhan
pun telah digunakan sebagai antigen dan beberapa teka-teki evolusi
dengan teknik ini telah menjadi jelas (Henuhili, dkk. 2012).

g. Bukti dari Fisiologi Perbandingan


Fisiologi adalah ilmu dari cabang biologi yang mempelajari fungsi
dari alat-alat tubuh. Ada faktor tak terkendali dalam membuat hubungan
evolusioner dengan cara mengevaluasi tingkat kemiripan. Ternyata tidak
semua tingkat kemiripan diwariskan dari nenek moyang yang sama.
Spesies dari cabang evolusi yang berbeda bisa saja pada kenyataannya
mirip satu sama lainnya jika mereka memiliki peranan lingkungan yang
mirip dan seleksi alam telah membentuk adaptasi yang analog. Hal seperti
ini disebut sebagai evolusi konvergensi, dan kemiripan akibat konvergensi
disebut dengan analogi (Henuhili, dkk. 2012).
Sirip depan dan ekor ikan hiu dengan sirip depan dan ekor paus
misalnya, adalah organ renang analog yang berevolusi secara independen
dan dibangun dari struktur yang berbeda secara keseluruhan. Evolusi
konvergen juga menghasilkan kemiripan analog antara marsupial Australia
tertentu dengan hewan berplasenta yang mirip dan telah berevolusi secara
independen pada benua lain (Henuhili, dkk. 2012).

Gambar 8: Perbandingan mamalia marsupial (berkantung) dan mamalia eutheria


(berplasenta)

Radiasi adaptif di Australia telah menyebabkan hewan marsupial


memiliki banyak peranan ekologi yang diisi oleh mamalia eutheria di
benua lain. Evolusi konvergen telah menghasilkan sejumlah kemiripan
yang luar biasa, tetapi marsupial dan eutaria berkembang pada garis
keturunan mamalia yang terpisah. Salah satu perbedaannya adalah, bahwa
seekor marsupial yang sedang berkembang menghabiskan sebagian besar
waktunya di luar uterus dan menghisap puting, sementara seekor hewan
eutheria menyelesaikan perkembangan embrioniknya di dalam uterus dan
diberi nutrisi oleh plasenta (Campbell, 2003).

Gambar 9: Evolusi Konvergen dan Struktur Analogi

Tumbuhan ocotillo dari daerah barat daya Amerika Utara (gambar


kiri) terlihat sangat mirip dengan tumbuhan allauidia (gambar kanan) yang
ditemukan di Madagaskar. Kedua tumbuhan itu tidak berkerabat dekat dan
kemiripan tersebut disebabkan oleh adaptasi analog yang berevolusi secara
independen sebagai tanggapan terhadap tekanan lingkungan yang serupa
(Campbell, 2003). Dan kedua contoh di atas cukup memberi gambaran
kepada kita, peranan lingkungan yang mirip telah menyebabkan dua
spesies yang berasal dari nenek moyang yang berbeda memiliki organ
yang analog (memiliki fungsi yang sama sebagai tanggapan terhadap
tekanan lingkungan yang sama). Seperti telah kita bahas di muka, untuk
mengembangkan pohon filogenetik dan mengelompokkan organisme
menurut sejarah evolusi, kita seharusnya menggunakan kemiripan
homolog. Sebagai aturan umum, semakin banyak organ homolog antara
dua species, maka semakin dekat hubungan kekerabatan spesies tersebut,
dan hal ini seharusnya tercerminkan dalam klasifikasinya. Panduan ini
lebih sederhana dibandingkan dengan praktiknya. Tetapi kenyataan
adaptasi dapat mengaburkan homologi, dan konvergensi dapat
menciptakan analogi yang menyesatkan seperti yang telah kita bahas di
muka, membandingkan perkembangan embrionik, ciri tertentu sering kali
dapat memaparkan homologi yang tidak jelas terlihat pada struktur dewasa
(Henuhili, dkk. 2012).
Terdapat petunjuk lain untuk mengidentifikasi homologi dan
memisahkannya dari analogi: semakin kompleks dua struktur yang mirip,
maka semakin kecil kemungkinan bahwa mereka berkembang secara
terpisah. Pikirkanlah tengkorak manusia dengan simpanse, misalnya
tengkorak tidak terdiri dari satu tulang saja, tetapi merupakan penyatuan
dari beberapa tulang, tengkorak manusia dan simpanse sangat serupa satu
sama lain, pada setiap tulang yang ada. Kecil kemungkinan bahwa struktur
kompleks yang sangat sesuai dalam berbagai rincian memiliki asal-usul
yang berbeda. Kemungkinan besar, gen yang diperlukan untuk
membangun tengkorak ini diwariskan oleh leluhur yang sama (Henuhili,
dkk. 2012).

2.2 Analisis Fosil


Umur fosil merupakan salah satu bagian penting dalam arkeologi
antara lain untuk mengetahui sejarah batuan sedimen bumi, menentukan
kaitan antar jenis batuan pada satu tempat/lapisan dengan tempat/lapisan lain,
dan mengajukan atau membuktikan sebuah teori. Oleh karena itu penentuan
umur fosil secara akurat sangat diperlukan. Dalam bidang arkheologi,
menentukan usia benda purba merupakan salah satu kegiatan yang sangat
penting, namun seringkali sangat sulit untuk dilakukan, terutama bila tidak
cukup atau bahkan tidak ada sama sekali bukti-bukti sejarah yang mendukung.
Di lain fihak, temuan benda purba akan memiliki arti penting apabila usia atau
tahun pembuatan benda itu diketahui. Bendabenda inilah yang saat ini diburu
dan dikoleksi, baik oleh pemburu atau kolektor barang antik untuk keperluan
memenuhi hobi dan motif ekonomi, maupun oleh para arkheolog untuk
keperluan ilmiah, terutama untuk dianalisa mengenai usia pembuatannya dan
dipelajari karakteristik budayanya.
Telah banyak metode konvensional diperkenalkan dan dicoba untuk
mempelajari zaman prasejarah yaitu :
1. Metode Kronometri
Metode kronometri mendasarkan pada perhitungan susunan lapisan-
lapisan sedimen tahunan di dalam danau-danau yang dikenal sebagai Verne
Chronologis. Metode ini dapat membantu melengkapi data geologi selama
10.000 tahun silam di Skandinavia. Zaman prasejarah umumnya diteliti
dengan datadata skematik yang sulit untuk disetarakan dengan skala
kronometri. Metode konvensional itu memiliki beberapa kelemahan, misal
hanya cocok untuk digunakan pada daerah-daerah geologi tertentu dan hanya
dapat digunakan untuk rentang umur benda yang sangat terbatas.
2. Metode Penanggalan Radioaktif
Penemuan unsur radioaktif alam ternyata dapat merubah cara
pandang dalam penanggalan arkheologi. Sampai saat ini, metode ini masih
terus dipakai dan dikembangkan. Para arkheolog dan paleoantropolog sejak
beberapa dekade lalu telah melakukan kerjasama dengan para saintis teknik
nuklir dalam rangka mengembangkan metode penanggalan benda-benda
purbakala dengan teknik nuklir. Salah satu cara untuk menentukan umur fosil
adalah dengan mendeteksi keberadaan unsur radioaktif. Salah satu contoh
adalah keberadaan radioaktif karbon–14 (C14), yang sering disebut carbon
dating (Yuliati et al, 2005)
Ketika organisme mati, maka konsumsi karbon berhenti. Karbon
memiliki dua isotop yaitu karbon–12 (C12) yang bersifat stabil dan karbon–14
(C14). . Untuk menyingkat penulisan karbon-12 dan karbon-14 berturut-turut
ditulis dengan C12 dan C14 (Suyarso, 2010) (Yusuf et al, 2015). C12 dan C14
merupakan radioisotop yang bersifat tak stabil dan meluruh dalam fungsi
waktu. Perbandingan C14 dengan C12 pada saat organisme mati sama dan
tetap untuk setiap organisme. Tetapi karena C14 meluruh, perbandingannya
akan berkurang seiring dengan pertambahan waktu . Kuantitas C14 pada suatu
fosil dapat dihitung berdasarkan pengukuran laju peluruhannya yang dapat
dihitung dengan alat pencacah. Berdasarkan hasil pengukuran maka akan
diperoleh rasio C12 dan C14 dan selanjutnya membandingkannya dengan
rasio dalam organisme sesaat setelah mati maka umur fosil dapat ditentukan
(Suci et al, 2013).
Umur fosil dapat diperoleh dari grafik yang menghubungkan
persentase kuantitas C14 dengan waktu paro. Persamaan yang mengatur
hubungan kedua variabel ini dapat diperoleh dengan perhitungan analitik
atau numerik dengan pola interpolasi. Metode numerik jauh lebih mudah
dan sederhana dibandingkan dengan penyelesaian analitik dengan akurasi
yang cukup tinggi. Banyak interpolasi yang dapat diterapkan antara lain
interpolasi linier, kuadratik, polinom, dan Lagrange. Interpolasi linier
menggunakan dua titik untuk menentukan persamaan garis lurus
sedangkan interpolasi kuadratik menggunakan tiga titik untuk persamaan
kuadrat. Interpolasi polinom menggunakan polinom sedangkan interpolasi
Lagrange menggunakan pendekatan deret untuk penentuan persamaan
garis. Para ahli arkeologi ingin mengetahui dan menggambarkan
peradaban dan kurun waktu zaman purba, untuk membandingkan dengan
peradaban saat ini, serta mempelajari proses evolusi yang terjadi di bumi
ini.
Unsur C12 yang stabil dan C14 yang bersifat radioaktif dalam
perbandingan yang selalu konstan sebesar 1,3.10-12 , setara dengan
7,826.1011 atom/mol akan terbentuk pada tulang organisme yang masih
hidup (Cromer et al, 1974). Sedangkan ketika organisme mati proses
pembentukan kedua unsur karbon tersebut terhenti. Jumlah C12 tetap,
sedangkan jumlah C14 berkurang karena mengalami peluruhan, yang
sering disebut dengan carbon dating.
Avogadro telah menemukan bahwa dalam 1 mol zat mengandung
6,03.1023 atom. Berdasarkan perhitungan penelitian sifat radioaktivitas
diperoleh waktu-paro C14 (Tparo) sebesar 5730 tahun.
Laju peluruhan R ditulis dengan dN/dt sebanding dengan
banyaknya partikel/inti. Jika N(t) adalah jumlah atom pada saat t, maka
laju peluruhan zat radioaktif dapat ditulis :
� = 𝒅� /𝒅� = − � � , (1) dimana � konstanta peluruhan.
Integrasi dengan variabel terpisah diperoleh persamaan analitis N(t)=
N(0)� −�/� , (2) dengan N(0) adalah jumlah inti pada saat t = 0. Persamaan
ini dapat dikembangkan dengan mengambil kondisi paro, yaitu saat inti
meluruh hingga sisa separo, dimana t dinamakan waktu paro (𝑇𝑝𝑎𝑟�).
Dengan menggunakan persamaan (2) diperoleh hubungan 𝑇𝑝𝑎𝑟� = τ. ln2 ,
atau =Tparo /ln2. Sehingga persamaan (1) dapat ditulis menjadi 𝒅�/𝒅� =
�𝒍�� /�𝒑𝒂𝒓� (3) Atau R = 0,693 N/Tparo peluruhan/s. (4)
Sehingga laju peluruhan C14 maksimum, yaitu sesaat setelah
organisme mati menjadi Rmak=0,693*7,826*1011/(5.730*365*24*60)
=180,079/mol.menit. Laju peluruhan ini dapat ditentukan dengan pemindai
cacah seperti Geiger Counter atau sejenisnya.
Laju peluruhan C14 berkurang seiring pertambahan waktu
sebanding dengan waktu paronya. Setelah 5.730 tahun jumlah atom C14
akan bersisa separonya atau 3,913. 1011 atom/mol dan setelah 11.460 tahun
akan bersisa 1,9565.1011 atom/mol. Begitu seterusnya setiap pertambahan
waktu kelipatan 5.730 tahun, sisa C14 menjadi satu per dua dipangkatkan
banyaknya kelipatan 5.730 dikalikan jumlah atom awal. Dalam pernyataan
matematis dapat ditulis jika waktu bertambah sebanyak 5.730 x n tahun
maka sisa atom C14 menjadi 1/2n x 7,826.1011 atom/mol.
Data dari pemindai cacah (R) dipakai untuk menghitung
banyaknya atom C14 yang tersisa. Dari persamaan (1) diperoleh N(C14)
tersisa = R .Tparo /0,693. (5)
Normalnya 1 mol zat mengandung 6,03. 1023 atom. Rasio C14/C12
tersisa = R .Tparo /0,693/ 6,03.1023 (6)
Sehingga rasio C14 tulang mati dengan C14 tulang hidup: Rasio C14
sisa/C14 awal = R .Tparo /0,693/ 6,03.1023 / 1,3.10-12
Interpolasi dalam metode numerik dipergunakan untuk
menentukan nilai antara dari sejumlah titik acuan. Salah satu metode
interpolasi yang mudah dan sederhana adalah Interpolasi Lagrange, yang
mereduksi deferensiasi terbagi dari Newton (Sauer et al, 1995)
Rasio C14 sisa/C14 awal umumnya tidak merupakan kelipatan
waktu paro, sehingga diperlukan metode interpolasi untuk menentukan
nilai rasio tersebut. Metode interpolasi yang digunakan adalah interpolasi
Lagrange dengan rumus :
fn(x) = Ʃnt=0 Li(x)f(x)t, dimana Li(x) =Ƞnj=0 x-xj (8)

xi-xj
Orde pertama dirumuskan dengan :
F1 (x) = x-x1 f(x0) + x-x0 f(x1) (9)
X0-x1 X1-x0
Sedangkan orde kedua rumusnya :
F2 (x) = (x-x1)((x-x2) f (x0) + (x-x0)((x-x2) f (x1) + (x-x0)((x-x1) f (x2) (10)
(x0-x1)(x0-x2) (x1-x0)(x1-x2) (x2-x0)(x2-x1)
Dan seterusnya, sampai orde ke-n.
Proses peluruhan dapat disimulasikan dengan gambar grafik fn(x)
versus x. Dimana fn(x) menyatakan Rasio C14 sisa/C14 awal, x menyatakan
umur fosil yang akan dicari dan x0, x1, x2,… merupakan titik-titik acuan
perhitungan pada koordinat waktu paro.
Kepresisian dan keakurasian pemilihan titik-titik acuan inilah yang
merupakan kunci dari ketelitian perhitungan. Semakin presisi titik-titik acuan
mempunyai nilai yang sangat berdekatan (closed) akan semakin teliti
perhitungannya.
3. Metode Stratigrafi

Metode relatif yang paling sederhana dan paling tua


a d a l a h s t r a t i g r a f i a t a u penanggalan stratigrafi. Metode ini didasarkan
pada prinsip superposisi yang menyatakan bahwa jika ada lapisan endapan,
maka yang lebih tua berada di bawah dan yang lebih muda berada di
atas. Prinsip ini sangat logis dan tidak berbelit-belit (straightforward ).
Namundemikian, lapiran geologis tidak selalu ditemukan dalam
susunan kronologis yang rapi (ideal). Angin dan air melapukkan lapisan
dan beberapa area terangkat atau bahkan tumpang tindih (tilted ). Proses ini
berakibat pada terjadinya geological conformities atau terputusnya sekuen
stratigrafi original. Selain itu, banyak lubang yang digali oleh manusia
maupun hewan yang berakibat pada tercampur aduknya material
dari berbagai lapisan.
Stratigrafi adalah cabang ilmu Geologi yang mempelajari lapisan
bumi, khususnya lapisan batuan terluar bumi, atau kerak, dan bagaimana
lapisan-lapisan itu terbentuk. Dengan metode ini, ilmuwan dapat
memperkirakan usia fosil berdasarkan letaknya di lapisan tanah. Stratigrafi ini
cabang dalam geologi yang meneliti lapisan bumi, tepatnya lapisan batuan di
lapisan terluar bumi alias kerak, dan terbentuknya lapisan-lapisan itu. Bidang
ini pertama diteliti mendalam sama Nicolas Steno tahun 1669, yang bikin teori
dasar agar para ilmuwan bisa menganalisa umur fosil berdasarkan letaknya di
lapisan tanah yang berbeda. Nah, masing-masing lapisan itu disebut stratum,
kalo banyak disebut strata.

Gambar 10. Strata Tanah

Setiap lapisan atau stratum ini terbentuk secara natural dan


tebelnya bisa beberapa mili doang sampe setebel satu kilometer. Setiap
lapisan ini represents satu pembentukan endapan tertentu yang kita bisa
cari tau dari isi lapisan itu. Lapisan bisa terbentuk dari endapan sungai,
lava letusan gunung berapi, rawa, pasir pantai, dan lain-lain
Stratigrafi memiliki 5 prinsip dasar yang membantu ilmuwan
memperkirakan usia fosil, yaitu:
1. Semakin rendah lapisan tanah, semakin tua umur fosil yang ditemukan di
lapisan tersebut (Law of Superposition).
Prinsip pertama dari metode stratigrafi adalah semakin rendah
lapisan tanah tempat lokasi fosil ditemukan, berarti makin tua umurnya.
Bangkai hewan atau sisa tanaman mati kemungkinan besar diam di
permukaan tanah, dan seiring dengan waktu lapisan tanah semakin
tertutupi oleh debu, tanah, air hujan, lapisan tanah yang terbawa angin
karena letusan gunung berapi. Pengecualian juga terjadi kalau ada aktivitas
manusia atau manusia purba yang membuat struktur atau bangunan
tertentu yang perlu menggali tanah.
2. Semua endapan yang menjadi lapisan akan membentuk lapisan yang
secara umum horizontal atau rata, karena erosi (Principle of Original
Horizontality).
Prinsip dasar kedua metode ini yaitu semua endapan yang
membuat lapisan itu semua akan dibuat lapisan yang secara umum
horizontal alias rata. Walaupun awalnya tanah tidak rata, karena ada
gravitasi, erosi akan selalu menyebabkan tanah supaya jadi rata. Jika ada
tanah yang naik turun kaya bukit dan jurang tanpa buatan manusia, hal
tersebut disebabkan oleh gaya yang lebih besar yang ada di lapisan yang
lebih rendah, serta pergerakan di kerak bumi atau teori plate tectonics.
Pergerakan inilah yang membuat adanya lapisan yang tidak horizontal
karena adanya force yang membuat tanah di daerah tertentu naik atau
turun. Pengecualian ada di lapisan tertentu seperti pasir, yang bisa
membentuk lapisan yang miring-miring.
3. Semua endapan menyebar ke semua arah (Principle of Lateral Continuity).
Prinsip dasar ketiga metode ini yaitu semua endapan menyebar ke
semua arah. Jika ada lapisan tanah yang mirip tetapi terpisah, bisa
diasumsi bahwa dulunya mereka menyatu. Berikut adalah gambaran dari
Principle of Lateral Continuity :

Gambar 11. Gambaran dari Principle of Lateral Continuity

4. Jika ada potongan yang menembus lapisan tertentu, maka potongan itu
terjadi setelah lapisan itu ada, alias berusia lebih muda (Principle of
Cross-cutting relationship).
Inti prinsip ini adalah jika ada sesuatu yang membuat potongan di
satu lapisan atau lebih, potongan itu lebih muda atau terjadi belakangan
ketimbang lapisan yang terpotong.
5. Secara natural sisa-sisa mahluk hidup akan ikut masuk ke lapisan tanah
yang sedang terbentuk ketika mahluk itu mati (Principle of Faunal
Succession).
Prinsip ini berhubungan dengan makhluk hidup yang berkeliaran
saat lapisan tanah sedang terbentuk. Karena secara natural bangkai
tanaman atau hewan itu hanya tergeletak saja di tanah, dia ikut masuk ke
lapisan tanah yang sedang terbentuk saat dia mati. Dan karena umur fosil
dari makhluk hidup A dan B yang hidup di jaman yang berbeda pasti
ditemukan di lapisan yang beda juga.
4. Dendrokronologi
Kondisi iklim disimpan dan direkam secara permanen dalam
struktur biomasa, sehingga pohon dapat memantau keadaan lingkungan
dalam struktur lingkaran pohon (Gonzaga.2009). Hal ini dapat dikaji
dalam studi dendrokronologi yang mengaitkan hubungan antara pohon
dengan iklim maupun kondisi ekologi setempat. Pohon beradaptasi agar
mampu bertahan hidup, tetapi dengan pola iklim dan kondisi lingkungan
yang abnormal dapat menyebabkan stres pada pohon. Proses regenerasi
dan terjadinya perubahan secara mendadak ataupun bertahap akan
mempengaruhi pertumbuhan anakan pohon. Kegagalan dalam memahami
interaksi perubahan iklim dan fisiologi pohon dapat menyebabkan
kepunahan pada beberapa spesies pohon (Strickberger, M. W. 2000).
Menurut Strickberger, M. W (2000, dendrokronologi dengan
menggunakan lingkar tumbuh untuk menentukan umur pohon telah
memberi kontribusi besar terhadap pemahaman dinamika hutan dan
potensi hasil suatu daerah di berbagai negara. Kajian dendrokronologi
cukup jarang dilakukan di daerah tropis karena informasi pada dinamika
populasi pohon tropis kurang bernilai terhadap industri kehutanan, pelaku
konservasi, dan pemilik lahan. Gonzaga (2009) menambahkan bahwa
prasyarat dalam memperoleh informasi dinamika populasi harus
mengetahui periodisitas lingkar tumbuh pohon sehingga dapat dinyatakan
sebagai lingkaran tahun.
Dendrokronologi telah digunakan secara luas untuk memahami
hubungan antara pertumbuhan radial dan lingkungan masa lalu, iklim di
masa lalu, serta bidang hidrologi (Strickberger, M. W. 2000), dapat
digunakan untuk menentukan umur, rekonstruksi paleoenvironment,
pemodelan pengaruh iklim, memahami perubahan komunitas hutan,
mengestimasi sequestrasi karbon (Gonzaga.2009)
Bagaimanapun, iklim bukan merupakan faktor satu-satunya yang
mempengaruhi variasi lingkaran pohon. Gonzaga (2009) mengungkapkan
bahwa lebar lingkaran pohon Abies lasiocarpa menunjukkan korelasi yang
lemah terhadap iklim setempat, namun menunjukkan tingkat sensitifitas
yang tinggi terhadap iklim mikro. Selain itu Strickberger, M. W (2000),
juga menyatakan bahwa variasi antara individu pohon P. merkusii dan P.
kesiya lebih dipengaruhi oleh kelembaban tanah dibandingkan curah hujan
dan suhu. Namun demikian, informasi tentang respon pertumbuhan pohon
terhadap iklim sangatlah penting untuk memperoleh pemahaman yang
lebih baik tentang peran iklim di masa lampau dan yang akan datang
terhadap ekosistem (Gonzaga.2009).
Kata dendrokronologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dendron
yang berarti kayu atau pohon, dan chronology yang merupakan salah satu
cabang ilmu sains yang berhubungan dengan waktu dan penanggalan dari
suatu kejadian (Gonzaga.2009), sehingga didefenisikan sebagai ilmu yang
mempelajari karakteristik lingkar tumbuh pohon untuk mengetahui
kronologi atau kejadian yang terjadi di suatu daerah.
Pohon merupakan salah satu organisme yang terpengaruh oleh
iklim. Lingkar tumbuh yang merupakan komponen pohon dapat merekan
perubahan iklim sehingga dapat dijadikan sebagai sumber informasi
paleoclimatic atau yang disebut proxi iklim yang dapat digunakan untuk
merekonstruksi iklim. Proxi iklim merupakan indikator iklim yang dapat
terekam oleh sediment danau, lapisan es, lingkar tumbuh/lingkar tahun
pohon, dan lain-lain (Kimball, J. W. 1999).
Analisa lingkar pohon merupakan salah satu metode penting dalam
menentukan umur dan mendokumentasikan (merekam) tren pertumbuhan
pohon jangka panjang (Gonzager.2009). Pada awalnya dendrochronology
digunakan untuk menentukan umur pohon (Kimball, J. W. 1999).
Gonzager (2009) menambahkan bahwa hingga saat ini aplikasi
dendrochronology semakin banyak digunakan, contohnya saja untuk
menganalisis kejadian di masa lalu (rekonstruksi iklim, hidrologi,
kebakaran hutan, serangan serangga, arkeologi, dan lain-lain).
Rekonstruksi iklim di masa lampau dapat diselesaikan melalui
beberapa tahap: (1) membandingkan data dari badan meteorologi dengan
lebar lingkar tumbuh yang dihasilkan selama periode waktu yang sama;
(2) membuat sebuah persamaan statistik untuk hubungan antara keduanya;
(3) mengganti lebar lingkar pohon pada persamaan untuk memperoleh
perkiraan statistik dari iklim pada tahun sebelumnya. Dengan demikian,
perkiraan iklim dari lingkar pohon bisa menggantikan data meteorologi
dan menyediakan informasi berharga tentang periode dan area dimana
infromasi meteorologi tidak tersedia (Kimball, J. W. 1999).
Adapun prinsip dasar dalam kajian dendrokronologi adalah
pemilihan area yang cenderung memiliki iklim yang sensitif (Kimball, J.
W. 1999). Menurut Gonzager (2009), terdapat beberapa prinsip penting
dalam kajian dendrokronologi, yaitu :
1. Prinsip uniformitarian
Dalam prinsip ini dinyatakan bahwa proses fisika dan biologi yang
berhubungan dengan lingkungan di masa sekarang beserta variasinya
dalam pertumbuhan pohon, telah menjalankan fungsinya di masa lampau.
Begitu juga dengan variasi cuaca dan pola iklim yang ada sekarang, juga
telah terjadi di masa lalu. Oleh karena itu, sangatlah penting bahwa
seluruh rentang variabilitas iklim yang terjadi di masa lalu harus
dimasukkan ke dalam pengambilan sampel di masa sekarang. Dengan
demikian, banyak ahli dendrokronologi yang memprediksi iklim di masa
depan berdasarkan laporan di masa lampau. Pemeriksaan kondisi iklim di
masa lalu menggunakan data dan bukti independen dari suatu lingkaran
tumbuh sangat mendukung dalam validitas prinsip uniformitarian dalam
studi dendrokronologi.
2. Prinsip Faktor-Faktor Pembatas
Faktor yang sama yang membatasi pertumbuhan pohon akan
memberikan tingkat dan durasi yang bervariasi dari tahun ke tahun. Jika
salah satu faktor berubah sehingga tidak lagi membatasi pertumbuhan,
maka laju pertumbuhan pohon akan meningkat hingga faktor lainnya
membatasi pertumbuhan.
Adapun faktor pembatas yang mempengaruhi pertumbuhan pohon
diantaranya adalah faktor lingkungan berupa curah hujan dan temperatur,
karena lebar cincin merupak fungsi dari dua variabel tersebut. Prinsip
seperti ini sangat penting dalam kajian dendrokronologi karena lebar
lingkaran tumbuh bisa di cross-date jika terdapat satu atau lebih faktor
pembatas yang berlangsung lama. Prinsip ini menyiratkan bahwa lingkar
tumbuh yang sempit akan memberikan informasi yang lebih penting pada
kondisi iklim yang terbatas dibandingkan lingkaran tumbuh yang lebar.
Selama periode ketika tampak lingkaran tumbuh yang lebar, faktor
pembatas menjadi terbatas terhadap derajat yang berbeda dari pohon,
tergantung kondisi lokal, posisi ekologi di suatu lokasi dan berbagai faktor
non-iklim lainnya.
3. Prinsip besaran aspek ekologi
Setiap spesies bergantung pada faktor hereditas yang merupakan
faktor penentu fenotip, yang tumbuh dan bereproduksi pada rentang
habitat tertentu. Faktor inilah yang disebut besaran aspek ekologi
(ecological amplitude). Beberapa spesies tumbuh pada habitat yang luas
karena hereditasnya membutuhkan amplitudo ekologi yang besar. Di sisi
lain ada beberapa spesies yang terbatas pada lokasi tertentu karena
memiliki besaran aspek ekologi yang sempit. Sebagai contoh pada spesies
Pinus radiata dan Sequoiadendron giganteum yang hanya dapat ditemukan
pada besaran aspek ekologi yang lebar dan menjadi terbatas pada faktor
alam setempat disebabkan adanya isolasi faktor geografis.
Faktor pembatas pertumbuhan pohon dekat hutan gersang adalah
kekeringan, sementara pohon yang tumbuh di daerah ketinggian ataupun
pada garis lintang yang tinggi dipengaruhi oleh temperatur yang rendah.
Spesies yang berbeda besaran aspek ekologinya akan dipengaruhi oleh
faktor iklim yang sama jika individu pohon tumbuh pada habitat yang
sebanding dalam hal amplitudo ekologinya. Contohnya, spesies yang
hidup di bagian utara atau pada elevasi yang tinggi dengan spesies yang
hidup di bagian selatan atau pada elevasi yang rendah, dimana jika
keduanya mendekati batas gersangnya akan menunjukkan respon yang
sama pada kekeringan meskipun akan memberikan respon yang berbeda
pada jumlah kelembaban yang berbeda.
4. Prinsip pertumbuhan pohon agregat
Pada prinsip ini dijelaskan bahwa sederetan pertumbuhan
pepohonan dapat didekomposisi menjadi kumpulan faktor-faktor aspek
lingkungan, baik manusia dan alam yang mempengaruhi pola-pola
pertumbuhan di sepanjang waktu.
5. Prinsip pemilihan lokasi
Para ahli dendrokronologi harus memperkirakan faktor pembatas
dan prinsip amplitudo ekologi ketika melakukan penelitian dalam rangka
memastikan lokasi tempat pengambilan sampel. Dengan demikian, dalam
mempelajari lingkarantumbuh dan kekeringan, sangatlah penting untuk
mengoleksi pohon yang hidup di lokasi yang paling kering.
Terjadinya kekeringan memberi pengaruh terhadap aktivitas
kambium secara tidak langsung, karena metabolisme di daun menjadi
berkurang, sehingga berpengaruh terhadap pengurangan tajuk dan aktivitas
transportasi. Di sisi lain, beberapa ahli juga mengatakan bahwa kekeringan
ini memberikan dampak langsung terhadap aktivitas kambium,
dikarenakan berkurangnya potensi air dalam jaringan meristem kambium
(Larson, 1964 ; Zahner, 1968).
Di sisi lain, dalam mempelajari temperatur sampel sebaiknya
dikoleksi pada daerah dengan elevasi atau derajat lintang yan tinggi. Pada
daerah subtropis dan daerah dengan iklim lembab, hanya pohon yang
berada dilokasi lingkungan ekstrim yang mudah di crossdate dan
dilakukan analisis dendroklimatologi pada lingkaran tumbuh pohon.
Dengan demikian, sampel harus dipilih berdasarkan aspek lingkungan
yang sensitif sehingga diperoleh lingkaran tumbuh yang dapat dianalisis,
dimana spesies yang bersifat sensitif terhadap kondisi kering akan
ditemukan pada pada daerah dengan kondisi curah hujan terbatas.
6. Prinsip penentuan umur (crossdating)
Crossdating adalah prinsip yang paling penting dalam studi
dendrokronologi yang merupakan kontrol pengukuran dalam proses
analisis dendrokronologi, sehingga berperan dalam memastikan dan
mencocokkan umur yang tepat bagi setiap lapisan lingkaran tumbuh.
Prinsip dari crossdating ini meliputi proses pencocokan pola lingkar
tumbuh pada beberapa spesimenm memeriksa sikronisasi, mengenali jika
terdapat kemiripan, menduga adanya lingkaran tumbuh yang hilang
ataupun lingkaran tumbuh palsu, menguji inferensi dengan memeriksa
struktur lingkaran pohon pada spesimen lainnya dengan hati-hati, dan
akhirnya membentuk kronologi di suatu daerah.
Lingkaran tumbuh tahunan dapat diidentifikasi dan dilakukan
crossdate melalui jari-jari batang. Variasi karakteristik lingkaran tumbuh,
khususnya lebar lingkaran tumbuh diperiksa dan disinkronkan pada semua
sampel di wilayah tertentu. Jika ditemukan covariasi yang cukup diantara
lingkaran tumbuh pada pohon yang berbeda, dan ukuran sampel tersebut
cukup besar, tahun dimana lingkaran tumbuh terbentuk dapat dipastikan
dengan benar.
Selama satu tahun saat terjadi iklim yang ekstrim, pohon tekadang
tidak memberntuk lingkaran tumbuh di semua bagian batang, yang
kemudian terbentuk hanya sebagian atau bahkan tidak ada di sepanjang
jari-jari batang. Pada waktu yang bersamaan juga terjadi perubahan
struktur sel pada pertumbuhan tahunan yang bentuknya menyerupai batas
lingkaran tahun yang asli. Struktur tersebut kemudian dinamakan pita
pertumbuhan antar tahun atau yang dikenal lingkaran tumbuh palsu (false
rings).
Setelah dilihat proporsi lingkaran tumbuh dari posisi yang berbeda
dari batang pohon, dan ditemukan lingkaran tumbuh hilang atau palsu
pada jari-jari pohon yang mirip dengan lingkaran tumbuh tahunan, variasi
lebar lingkaran tumbuh pada spesimen tersebut tidak bisa di crossdate
dengan tepat. Pada intinya, jika ditemukan banyak lingkaran tumbuh
hilang dan palsu, tingkat sensitivitas dan korelasi lingkaran tumbuh antar
pohon menjadi rendah, penanggalan menjadi kurang tepat dan sampel
menjadi kurang berpotensi dalam menjadi rujukan studi dendrokronologi.
Adapun prinsip crossdating dapat dilakukan dengan cara mecocokkan pola
kayu yang digunakan dalam industri furniture dengan pola lingkaran
tumbuh pada pohon fosil ataupun pohon besar yang masih hidup.
7. Prinsip sensitivitas
Pemeriksaan lingkaran tumbuh di bawah mikroskop dapat
memberikan petunjuk seberapa sering iklim membatasi pertumbuhan
pohon. Semakin banyak pertumbuhan pohon dibatasi oleh faktor
lingkungan, semakin banyak pohon menunjukkan variasi lebar lingkaran
tumbuh. Ahli dendrokronologi menyebutkan variabilitas ini sebagai
sensitivity dan tidak adanya atau kurangnya variabilitas ini disebut
complacency.
Fluktuasi yang terjadi pada lebar lingkaran tumbuh dapat
diperkirakan secara kualitatif dengan pemeriksaan secara langsung atau
juga bisa dihitung dari suatu pengukuran lebar yang diekspresikan dalam
bentuk statisktik yang disebut ‘sensitivitas rata-rata’, yang merupakan
sebuah pengukuran perbedaan relatif pada lebar diantara lingkaran tumbuh
yang berdekatan.
8. Prinsip repetisi/replikasi
Sejumlah spesimen harus diperiksa dan dilakukan crossdate pada
wilayah tertentu untuk menghindari adanya kemungkinan lingkaran
tumbuh yang hilang pada satu individu tertentu dalam tahun yang sama
atau adanya lingkaran tumbuh palsu yang mirip dengan lingkaran tahun.
Verifikasi lebih lanjut dapat diperoleh ketika beberapa sampel diteliti
secara independen dan dibandingkan, kemudian tidak ditemukan
perbedaan antara sampel-sampel tersebut.
Sebagai tambahan, rata-rata pengulangan pengukuran dari banyak
pohon menunjukkan estimasi terbaik dari sinyal iklim, dikarenakan variasi
pertumbuhan yang berhubungan dengan variasi iklim sehingga diperlukan
data rata-rata dari beberapa pengukuran sampel. Selain itu, sejumlah efek
faktor non-iklim yang menyebabkan adanya perbedaan antar individu dan
satu lokasi dengan lokasi lain dapat diminimalisasi dengan proses merata-
ratakan data pengukuran.
Baik repetisi ataupun replikasi dalam proses sampling beberapa
core dalam satu pohon, dapat menggunakan perbandingan statistik dari
variabilitas yang terjadi pada pohon yang sama. Pengukuran variabilitas
ini menunjukkan informasi yang sangat penting yaitu bagaimana faktor
lokasi dan iklim mengontrol perkembangan pohon.
Jika faktor iklim berperan besar dalam membatasi pertumbuhan,
semua sampel replikasi dalam satu pohon akan menunjukkan variasi lebar
lingkaran tumbuh yang hampir sama dan sampel akan lebih muda di
crossdate. Sedangkan jika faktor iklim tidak membatasi pertumbuhan
pohon, sampel replikasi pada pohon yang sama akan menghasilkan ukuran
lingkaran tumbuh yang berbeda. Selain itu, adanya perbedaan
pertumbuhan di sisi yang berlawan pada pohon yang sama dapat
disebabkan oleh variasi dari struktur tegakan hutan, batang yang ramping
dan kompetisi antar pohon yang berdekatan. Sejumlah besar replikasi
sampel sangatlah penting untuk menghasilkan kronologi yang bagus dari
suatu lokasi.
9. Prinsip standardisasi
Standardisasi adalah prosedur dasar dalam analisis
dendrokronologi. Lebar lingkaran tumbuh bervariasi tidak hnaya dengan
fluktuasi kondisi lingkungan, tetapi juga karena perubahan sistematik pada
umur pohon, tinggi batang dan produktivitas suatu lokasi. Pada studi
variasi lebar lingkaran tumbuh yang berkorelasi dengan iklim, sangatlah
mudah untuk mengestimasi perubahan sistematik pada lebar lingkaran
tumbuh yang berhubungan dengan umur, yang kemudian akan
disingkirkan dari data pengukuran. Koreksi lebar lingkaran tumbuh untuk
merubah umur dan geometri pohon ini dikenal sebagai proses
standardisasi, dan nilai transformasi nya disebut indeks lebar lingkar
tumbuh.
Indeks tersebut secara umum tidak menghasilkan trend yang linier,
nilai rata-ratanya adalah 1. Indeks standardisasi suatu individu pohon
adalah rata-rata yang akan digunakan untuk memperoleh nilai kronologi
rata-rata (indeks standardisasi rata-rata) tempat sampel dikoleksi.
10. Prinsip model pertumbuhan dan hubungannya dengan lingkungan
Dugaan tentang lingkungan dan iklim di masa lampau didasarkan
pada model bagaimana lingkungan mempengaruhi pertumbuhan. Model
tersebut bisa dalam bentuk pernyataan, persamaan, atau diagram yang
mempresentasikan fakta dan hubungan dasar antara keduanya yang dapat
berfungsi untuk mengilustrasikan suatu fenomena. Prinsip model
pertumbuhan tersebut dapat bervarasi antara gagasan yang paling mudah
hingga turunan persamaan yang benar-benar kompleks yang berasal dari
literatur, observasi lapangan, dan eksperimen sehingga dapat digunakan
dalam berbagai cara.
Suatu model pertumbuhan dapat direvisi berulang kali ketika
ditemukan fakta yang tidak konsisten atau yang bertentangan dengan data.
Model yang berbentuk persamaan matematik ataupun statistik dapat
berfungsi sebagai deskripsi yang objektif dan tepat dari hubungan antara
input dan output suatu sistem.
Beberapa ahli dendrokronolgi berfikir bahwa lingkaran tumbuh
pohon didaerah kering dapat disebabkan oleh kelembaban tanah selama
periode tumbuh. Sedangkan ahli yang lain menyatakan bahwa pohon yang
tumbuh didaerah ketinggian akan membentuk model pertumbuhan yang
sederhana dan merujuk langsung pada faktor temperatur selama periode
tumbuh. Kedua model tersebut, khususnya kasus daerah kering, sangatlah
sederhana. Keduanya memberikan perkiraan yang bagus pada saat itu,
namun seiring berkembangnya pengetahuan dan teknik statistik semakin
baik, maka model pertumbuhan ini pun semakin kompleks.
11. Prinsip kalibrasi dan verifikasi
Unit lingkaran tumbuh dapat dikalibrasi menggunakan variabel
lingkungan. Hal ini dapat diselesaikan dengan membuat model statistik
atau koefisien model yang menyerupai hubungan sebenarnya, kemudian
digunakan dalam indeks lingkaran tumbuh untuk merekonstruksi iklim
periode awal, dimana lebar lingkaran tumbuh tersedia, namun tidak ada
catatan iklim di masa lalu. Hubungan statistik tersebut akan menghasilkan
kalibrasi yang berasal dari hubungan sebab-akibat antara pertumbuhan dan
iklim atau bahkan menghasilkan efek korelasi. Korelasi tersebut sangat
berguna dalam merekonstruksi iklim di masa lampau.
Rekonstruksi berasal dari lingkaran tumbuh yang dibandingkan
dengan kondisi lingkungan aktual untuk memverifikasi keakuratan suatu
perkiraan. Verifikasi adalah proses yang sangat penting untuk
membuktikan bahwa variasi rekonstruksi adalah benar adanya. Catatan di
masa lalu, informasi paleoclimatic secara kualitatif, dan data-data lain
tentang masa lampau juga dapat berfungsi sebagai pemeriksaan tambahan.
5. Epigrafi
Sebenarnya tidak ada perbedaan yang mencolok antara paleografi
dan epigrafi,kecuali pada materi yang dipakai untuk menulis. Epigraf
adalah pengetahuanmengenai cara membaca, menentukan tanggal atau
waktu, dan menganalisis tulisanatau inkripsi kuno pada benda-benda yang
dapat bertahan lama seperti batu, logamatau gading. Inkripsi atau prasasti
tersebut dimaksudkan untukmemberikan informasi,atau catatan mengenai
kejadian-kejadian penting. Kajian atas inkripsi atau prasasti iniacapkali
merupakan satu-satunya sumber informasi pertama atau pengetahuan
kitatentang masa-masa awal sejarah.
2.3 Petunjuk Evolusi
Evolusi biologi meninggalkan tanda-tanda yang dapat diamati, yang
merupakan bukti pengaruh pada kehidupan di masa lalu dan sekarang. Menurut
Campbell (2008) menjelaskan bahwa seratus lima puluh tahun sejak saat itu,
temuan-temuan baru telah mengisi banyak celah yang diidentifikasi oleh
Darwin. Asal-usul tumbuhan berbunga dan banyak fosil yang telah ditemukan
menjadi bukti asal-usul kelompok baru organisme. Terdapat jenis data yang
mendokumentasikan pola evolusi dan menerangkan proses terjadinya evolusi
yaitu :
1. Pengamatan Langsung Perubahan Evolusioner
Predasi dan Warna pada Gupi: Penyelidikan Saintifik
Predator (organisme yang memakan spesies lain atau mangsa) merupakan
kekuatan besar dalam pembentukan adaptasi sumber makanannya. Predator
kemungkinan besar memakan individu mangsa yang kurang mampu
menghindari deteksi, melarikan diri, atau mempertahankan diri. Akibatnya,
individu mangsa semacam itu kemungkinan kurang mampu bereproduksi dan
meneruskan sifat-sifat mereka kepada keturunanya daripada individu dengan
sifat yang membantunya meloloskan diri dari predator (Campbell, 2008).
Selama bertahun-tahun, John Endler dari University of California, Santa
Barbara, mempelajari dampak predator pada gupi (Poecili reticulata), ikan air
tawar kecil sebagai ikan piaraan di akuarium. Endler mengamati bahwa di
antara populasi gpi liar di Trinidad, pola warna gupi jantan sedemikian
bervariasi hingga tidak adda dua ekor jantar dewasa yang mirip. Warna yang
amat bervariasi ini dikontrol oleh sejumlah gen yang secara alamiah hanya
diekspresikan pada jantan dewasa. Gupi betina tertarik pada jantan dengan
warna cerah. Betina lebih sering memilih kawin dengan jantan semacam itu
daripada yang berwarna suram. Namun,warna cerah yang menarik betina juga
mungkin membuat jantan mudah dilihat oleh predator. Oleh karena itu, jika
suatu populasi gupi terdiri atas jantan berwarna cerah dan jantan berwarna
suram, dapat disimpulkan bahwa predator cenderung memakan ikan yang
berwarna cerah (Campbell, 2008)
Endler mengamati bahwa pola warna gupi jantan tampaknya
berkesesuaian dengan intensitas predasi. Di kolam yang memiliki sedikit
spesies predator, gupi jantan cenderung berwarna cerah. Sementara di kolam
dengan banyak predator, warna gupi jantan lebih suram. Berdasarkan
pengamatan ini, Endler membuat hipotesis bahwa predasi intensif
menyebabkan seleksi alam pada gupi jantan, membuat warna suram lebih
mengutungakan. Endler menguji hipoteisi tersebut dengan banyak predator.
Seperti yang diperkirakan, seiring waktu populasi gupi hasil pemindahan
menjadi kurang berwarna terang(Campbell, 2008).
Salah satu predator gupi, ikan killifish, memangsa anak gupi yang belum
menampilkan warna dewasa. Endler memperkirakan bahwa jika gupi yang
berwarna suram dipindahkan ke kolam yang hanya berisi killifish, keturunan
gupi tersebut pada akhirnya akan berwarna lebih cerah (karena betina memilih
jantan yang berwarna cerah)(Campbell, 2008).

Gambar 12: Percobaan John Endler, dari University of California, Santa Barbara,
mempelajari gpi liar di Sungai Aripo di Trinidad. Ia memindahka 200 gupi dari kolam-
kolam tempat hidup ikan pike-cichlid, predator gupi yang aktif, ke kolam-kolam tempat
hidup ikan killifish, predator gupi yang tifak begitu aktif. Endler mencatat jumlah bintik
berwarna terang dan total area dari bintik-bintik tersebut pada gupi jantan di setiap
generasi. (Sumber: J.A. Endler Natural selection on color patterns in Poecilia reticulata,
Evolution 34. 76-91 (1980))

2. Bukti dari Paleontologi


Paleontologi adalah ilmu yang mempelajari fosil. Fosil adalah replika atau
peningkatan bersejarah organisme dari masa lalu, yang mengalami mineralisasi
di dalam batuan (Campbell, 2003). Catatan fosil menunjukkan bahwa
organisme masa lalu berbeda dari organisme masa kini dan bahwa banyak
spesies yang sudah punah. Fosil juga menunjukkan perubahan evolusioner
yang terjadi seiring waktu pada berbagai kelompok organisme (Campbell,
2008).

Gambar 13: Bukti fosil dari evolusi pada sekelompok trilobita. Fosil-Fosil ini hanyalah
beberapa dari serangkaian fosil yang ditemukan di hamparan Latham Shale, yang
terendapkan antara 513 dan 512 juta tahun silam. Urutan gambar menunjukkan perubahan
seiring pada tempat dan sudut duri di perisai kepala (daerah yang ditandai oleh titik merah)
Dalam skala waktu lebih lama, fosil mendokumentasikan asal usul
kelompok-kelompok utama organisme. Salah satu contohnya adalah catetan
fosil setasea awal, ordo mamalia yang mencakup paus, lumba-lumba dan
porpoise. Setasea paling awal hidup 50-60 juta tahun. Catatan fosil
mengindidikasikan bahwa sebelum masa itu, kebanyakan mamalia bersifat
terestrial (hidup di darat). Walaupun saintis telah lama menyadari bahwa paus
dan setasea lain berasal dari mamalia darat, dahulu baru sedikit temuan fosil
yang mengungkapkan bagaimana struktur tungkai setasea berubah seiring
waktu, sehingga pada akhirnya tungkai belakang hilang dan sirip terbentuk.
Akan tetapi, dalam beberapa dasawarsa terakhir, serangkaian fosil yang
menakjubkan telah ditemukan di Pakistan, Mesir, dan Amerika Utara. Fosil-
fosil tersebut mendokumentasikan transisi dari kehidupan di darat menjadi
kehidupan di laut. Setiap organisme berbeda dari mamalia yang ada saat ini,
termasuk paus masa kini dan semua organisme itu sekarang sudah pnah. Secara
kolektif, fosil-fosil tersebut dan juga fosil yang ditemukan terlebih dahulu
mendokumentasikan pembentukan spesies-spesies baru dan awal-mula satu
kelompok mamalia utama baru, setasea (Campbell, 2008).

Gambar 14: Transisi menuju kehidupan di laut.

Hipotesis bahwa paus dan setasea lain berevolusi dari organisme terestrial
memperkirakan bahwa nenek moyang setasea bertungkai empat. Ternyata,
para ahli paleontologi telah berasil menggali fosil-fosil setasea yang telah
punah dan memiliki tungkai belakang, termasuk empat spesies yang
kerangkanya ditampilkan diatas. Fosil-fosil tambahan menunjukkan bahwa
Pakicetus dan Rodhocetus memiliki tipe tulang pergelangan yang juga dimiliki
oleh kelompok mamalia darat yang mencakup babi, kuda nil, sapi, onta dan
rusa. Kesamaan ini memperkuat kemungkinan bahwa setasea berkerabat dekat
dengan kelompok mamalia darat.
3. Homologi
Bukti evolusi berasal dari analisis kesamaan antara organisme yang
berbeda. Evolusi adalah proses penurunan dengan modifikasi: Karakteristik
yang ada pada organisme nenek moyang berubah (melalui seleksi alam) pada
keturunanya seiring waktu ketika organisme berhadapan dengan kondisi
lingkungan yang berbeda-beda. Akibatnya spesies yang berkerabat bisa
memiliki karakteristik dengan kesamaan yang mendasar walaupun mungkin
memiliki fungsi yang sangat berbeda. Kesamaan yang berasal dari nenek
moyang bersama dikenal sebagai homologi (homology) (Campbell, 2008).
Homologi Anatomi dan Molekular
Pandangan mengenai evolusi sebagai proses permodelan ulang
menghasilkan perkiraan bahwa spesies yang berkerabat dekat seharusnya
memiliki ciri yang sama. Spesies yang berkerabat dekat memiliki kesamaan
ciri yang digunakan untuk menentukan kekerabatan mereka, namun mereka
juga memiliki banyak kesamaan ciri lain. Sejumlah kesamaan ciri itu nyaris tak
bermakna kecuali dalam konteks evolusi. Misalnya, tungkai depan semua
mamalia, termasuk manusia, kucing, paus, dan kelelawar, menunjukkan
susunan tulang yang sama dari bahu sampai ujung jari, walaupun tungkai-
tungkai tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda yaitu mengangkat,
berjalan, berenang dan terbang. Kemiripan anatomi yanng luar biasa tersebut
sangat tidak mungkin terjadi apabila strukur-struktur ini muncul secara terpisah
pada setiap spesies. Kerangka yang mendasari lengan, kaki depan, sirip dan
sayap mamalia yang berbeda merupakan struktur holomog yang mencerminkan
berbagai variasi pada sebuah tema struktural yang dimiliki berbagai variasi
pada sebuah tema struktural yang dimiliki oleh nenek moyang bersama mereka
(Campbell, 2008).
Gambar 15: Tungkai depan manusia: struktur homolog. Walaupun telah teradaptasi
untuk fungsi yang berbeda-beda, tungkai depan semua mamalia dibangun dari unsur
rangka dasar yang sama, satu tulang besar (ungu) yang melekat ke dua tulang yang lebih
kecil (jingga dan coklat), yan melekat ke beberapa tulang ksecil (emas), yang melekat ke
beberapa metakarpal (hijau), yang melekat pada kira-kira lima jari atau falang (biru)

Membandingkan tahapan awal perkembanan spesies hewan yang berbeda


mengungkapkan homolog anatomi tambahan yang tidak terlihat pada
organisme dewasa. Misalnya, pada suatu titik dalam perkembangannya, semua
embrio vertebrata memiliki ekor yang terletak posterior terhadap (di belakang)
anus, juga struktur yang disebut kantong faringeal. Kantong tekak yang
homolog ini pada akhirnya berkembang menjadi berbagai struktur dengan
fungsi yang sangat berbeda, misalnya insang pada ikan serta bagian dari telinga
dan tekak pada manusia dan mamalia lain (Campbell, 2008).

Gambar 16: Kemiripan anatomis pada embrio vertebrata. Pada beberapa tahap dalam
perkembangan embrioniknya, semua vertebrata memiliki ekor yang terletak posterior atau
di belakang anus dan kantong faringeal (tekak).
Sejumlah homolog yang paling manarik terkait dengan sturktur ‘sisa’ yang
kurang penting, bahkan mungkin tidak ada, bagi suatu organisme. Struktur
vestigial merupakan sisa ciri yang berperan penting pada nenek moyang
organisme tersebut.Misalnya, pada kerangka sejumlah ular terdapat sisa-sisa
panggul dan tulang kaki dari nenek moyang yang berjalan dengan kaki. Contoh
yang lain adalah mengecilnya ukuran dan hilangnya fungsi tungkai belakang
setasea sewaktu organisme-organisme tersebut menghadapi tantangan
kehidupan di dalam air. Kita tidak akan melihat struktur vestigial semacam ni
jika ular dan paus memiliki asal-usul yang terpisah dari hewan vertebrata lain
(Campbell, 2008).
Ahli biologi juga mengamati kemiripan organisme pada tingkat molekular.
Semua bentuk kehidupan menggunakan bahasa genetika yang sama, yakni
DNA dan RNA, dan kode genetik tersebut pada dasarnya bersifat universal.
Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa semua spesies merupakan
keturunan dari nenek moyang bersama yang menggunakan kode ini. Namun
homologi molekular lebih dari sekadar kode yang sama. Misalnya, organisme
yang sedemikian berbeda, misalnya manusia dan bakteria, sama-sama memiliki
gen yang diwariskan dari nenek moyang bersama yang sangat jauh. Seperti
tungkai depan manusia dan paus, gen-gen ini seringkali telah memperoleh
fungsi yang berbeda (Campbell, 2008).
Homolog dan ‘Tree Thinking’
Sejumlah karakteristik homolog, misalnya kode genetik, dimiliki oleh
semua spesies, karena karakteristik semacam itu berasal dari nenek moyang
yang sangat tua. Sebaliknya, karakteristika homolog yang belum begitu lama
dievolusikan hanya dimiliki oleh kelompok organisme yang lebih kecil. Contoh
pada tetrapoda (dari bahasa Yunani tetra, empat, dan pod, kaki), kelompok
vertebrata yang mencakup amfibia, mamalia, dan reptilia (termasuk burung).
Semua tetrapoda memiliki struktur dasar tulang tungkai yang sama. Dengan
demikian, karakteristik homolog membentuk pola bersangkar. Semua makhluk
hidup memiliki lapisan terdalam yang sama, dan setiap kelompok kecil yang
mengikuti akan menambahkan homologinya sendiri pada berbagai homologi
yang mereka miliki bersama dengan kelompok yang lebih besar. Pola
bersangkar inilah yang kita duga terbentuk dari hasil penurunan dengan
modifikasi dari nenek moyang bersama(Campbell, 2008).
Ahli biologi seringkali menggambarkan pola keturunan dari nenek
moyang bersama dan homologi yang dihasilkan dengan sebuah pohon evolus,
diagram yang mencerminkan kekerabatan evolusioner di antara kelompok-
kelompok organisme.
Gambar 17: Gagasan ‘Tree Thinking’: informasi yang tersedia di dalam sebuah pohon
evolusi. Pohon evolusi tetrapoda dan kerabat dekat mereka, ikan paru-paru, didsaekan pada
data anatomis dan sekuens DNA.

Sebuah pohon evolusi tetrapoda dan kerabat terdekat mereka yang masih
hidup, ikan paru-paru. Dalam diagram tersebut, setiap titik percabangan
mewakili nenek moyang bersama dari semua spesies yang merupakan
keturunannya. Misalnya, ikan paru-paru dan semua tetrapoda merupakan
keturunan dari nenek moyang 1, sedangkan mamalia, kadal dan ular, buaya,
serta burung merupakan keturuan dari nenek moyang 3. Seperti yang diduga,
ketiga homologi yang ditunjukkan pada ‘tree thinking’ tungkai tetrapoda,
amnion (membran pelindung embrio), dan bulu membentuk pola bersangkar.
Tungkai tetrapoda ditemukan pada nenek moyang 2 dan oleh karena itu
ditemukan pada semua keturunan dari nenek moyang tersebut (tetrapoda).
Amnion hanya ditemukan pada nenek moyang 3, sehingga hanya dimiliki oleh
sebagian tetrapoda (mamalia sehingga hanya dimiliki oleh sebagian tetrapoda
(mamalia dan reptilia). Bulu hanya ada pada nenek moyang bersama 6
sehingga hanya dimiliki oleh burung (Campbell, 2008).
Mamalia ditempatkan lebih dekat dengan amfibia daripada burung. Oleh
karena itu, mungkin dapat disimpulkan bahwa mamalia berkerabat lebih dekat
dengan amfibia daripada dengan burung. Akan tetapi, mamalia sebenarnya
berkerabat lebih dekat daripada burung daripada dengan amfibia karena
mamalia dan burung memiliki nenek moyang bersama yang lebih muda (nenek
moyang 3) daripada mamalia dan amfibia (nenek moyang 2)(Campbell, 2008).
Evolusi Konvergen
Walaupun organisme yang berkerabat dekat memiliki kesamaan
karakteristik akibat garis keturunan bersama, organisme yang berkerabat jauh
juga bisa mirip satu sama lain karena alasan yang berbeda: evolusi konvergen,
evolusi mandiri dari ciri-ciri yang serupa pada garis keturunan yang berbeda.
Mamalia marsupialia yang banyak diantaranya hidup di Australia. Marsupialia
berbeda dari kelompok mamalia yang lain eutheria yang hidup di tempat-
tempat lain di Bumi. Beberapa marsupialia Australia mirip mamalia eutralia
penghuni hutan yang disebut sugar glider sekilas mirip dengan bajing terbang,
eutheria peluncur yang hidup di hutan-hutan Amerika Utara. Namun sugar
glider memiliki banyak karakteristik lain yang membuatnya digolongkan
sebagai marsupialia, dan berkerabat lebih dekat dengan kanguru dan
marsupialia Australia lainnya daripada dengan bajing terbang dan eutheria lain.
Dapat disimpulkan bahwa walaupun berevolusi secara mandiri dari nenek
moyang yang berbeda, kedua mamalia ini telah beradaptasi terhadap
lingkungan yang serupa dengan cara yang serupa. Pada contoh tersebut
menunjukkan spesies-spesies memiliki ciri-ciri yang sama akibat evolusi
konvergen, kemiripan tersebut disebut analog, bukan homolog(Campbell,
2008).

Gambar 18: Evolusi konvergen. Sugar glider adalah mamalia marsupialia yang berevolusi
dalam kondisi terisolasi di benua Australia. Walaupun sugar glider sekilas mirip bajing
terbang yang merupakan eutheria dari Amerika Utara, kemampuan meluncur di udara
dievolusikan secara terpisah pada kedua kelompok mamalia yang berkerabat jauh tersebut.

4. Biogeografi
Tipe bukti keempat yang mendukung evolusi adalah biogeografi, distribusi
geografis dari spesies. Distribusi geografis dari organisme dipengaruhi oleh
banyak faktor, termasuk hanyutan benua, pergerakan lambat benua di Bumi
seiring waktu. Sekitar 250 juta tahun silam gerakan-gerakan ini menyatukan
semua massa daratan Bumi menjadi satu benua besar, disebut Pangea. Sekitar
200 juta tahun lalu, benua-benua yang kita kenal sekarang berada beberapa
ratus kilometer jauhnya dari posisi saat ini. (Campbell, 2008).
Ahli biologi evolusi telah membangunpohon evolusi kuda berdasarkan
data anatomis. Berdasarkan pohon-pohon semacam itu dan umuer fosil nenek
moyang kuda, para peneliti memperkirakan bahwa spesies kuda kini bermula 5
juta tahun lalu di Amerika Selatan berada dekat dengan posisinya saat ini,
namun kedua benua itu belum terhubung satu sama lain, sehingga kuda sulit
berpindah dari Amerika Utara ke Amerika Selatan. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa fosil kuda tertua hanya akan ditemukan di benua tempat
kuda bermula Amerika Utara. Perkiraan ini dan banyak perkiraan lain yang
serupa untuk kelompok organisme yang berbeda, telah terbukti, sehingga
meyediakan lebih banyak bukti untuk evolusi.(Campbell, 2008).
Pemahan tentang evolusi untuk menjelaskan data biogeografis. Misalnya,
pulau-pulau biasanya memiliki banyak spesies hewan dan tumbuhan yang
endemik, yang artinya tidak ditemukan di tempat lain di dunia. Namun, seperti
yang dijabarkan oleh Darwin dalam The Origin of Species, kebanyakan spesies
penghuni pulau berkerabat dekat dengan spesies yang hidup di daratan utama
terdekat atau pulau yang terdekat. Dan dijelaskan mengenai pengamatan
dengan menyatakn bahwa pulau dikolonisasi oleh spesies dari daratan terdekat.
Para penghuni ini pada akhirnya memunculkan spesies baru sewaktu
beradaptasi dengan lingkungan baru. Proses semacam ini juga menjelaskan
mengapa dua pulau dengan lingkungan serupa di belahan bumi yang berbeda
dihuni bukan oleh spesies yang berkerabat dekat, namun oleh spesies yang
mirip dengan yang hidup di daratan utama terdekat, yang lingkungannya
seringkali cukup berbeda (Campbell, 2008).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan studi literature yang digunakan pada makalah ini, maka bisa
diperoleh kesimpulan seperti berikut :
3.1.1 Evolusi biologi meninggalkan tanda-tanda yang dapat diamati, yang
merupakan bukti pengaruh pada kehidupan di masa lalu dan sekarang.
Menurut Henuhili, dkk (2012), bukti-bukti evolusi yaitu : bukti dari
peleontologi, biogeografi, taksonomi, anatomi perbandingan, embriologi
perbandingan, biokimia dan seriologi perbandingan serta fisiologi
perbandingan.
3.1.2 Analisis fosil dan keragaman hayati meliputi : metode kronometri,
penanggalan radioaktif, stratigrafi, dendrokronologi dan epigrafi.
3.1.3 Terdapat jenis data yang mendokumentasikan pola evolusi dan
menerangkan proses terjadinya evolusi yaitu : pengamatan langsung
perubahan evolusionee, bukti dari paleontologi, homologi dan biogeografi.
3.2 Saran
Berdasarkan studi literature yang digunakan pada makalah ini, maka
penulis menyarankan pembaca untuk :
3.2.1 Membaca sumber literature lain untuk melengkapi informasi mengenai
evolusi
3.2.2 Menerapkan ilmu yang telah diperoleh pada kehidupan sehari-hari.

Daftar Rujukan

Campbell, N.A., Reece, J.B., & Mitchell, L.G. 2008. Biologi. Jilid 2. Edisi
Kedelapan. Alih Bahasa: Damaring Tyas Wulandari. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Campbell, N.A., Jane B.R., Lawrence G.M. 2003. Biologi. Edisi Kelima, Jakarta:
Erlangga.
Darwin, C. 1959. The Origin of Species by Means of Natural Selection. London:
John Murray.
Frida, Maryati. 2006. Bahan Ajar Evolusi. Gorontalo: Univ. Gorontalo.
Gonzaga. 2009. Bukti Evolusi. (Online), (http://biologigonz.blogspot.com/2009/12
/bukti-evolusi.html, diakses tanggal 12 Februari 2019).
Henuhili, Victoria, Siti Mariyam, Sudjoko, Tutiek Rahayu. 2012. Evolusi. Diktat
Kuliah. Yogyakarta. Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas Pendidikan
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta.
Kimball, J. W. (1999). Biologi. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga Mahameru.
Schmid, Randolph E. 2006. Burung Finch di Galapagos Ber-evolusi. (Online),
(http://greenpena.blogspot.com/2006/07/burung-finch-di-galapagos-ber-
evolusi.html, diakses tanggal 11 Februari 2019.
Strickberger, M. W. 2000. Evolution. Third Edition, London: Jones and Barlel
Publishers.
Widodo, Lestari, U., Amin, M. 2003. Bahan Ajar Evolusi. Malang: Dirjen Dikti

Вам также может понравиться