Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PETUNJUK EVOLUSI
MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Evolusi
Yang dibina oleh Prof. Dr. agr. Mohamad Amin, S.Pd., M.Si. dan
Bagus Priambodo, S.Si., M.Si., M.Sc.
Oleh :
Kelompok 6 / Offering GHP
Ika Yana Novi Saputri 160342606210
Indah Khoirun Nisa 160342606268
Nur Roudhotul Jannah 160342606205
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut penulisan makalah ini mempunyai
tujuan sebagai berikut:
1.3.1 Untuk menjelaskan apa saja bukti evolusi.
1.3.2 Untuk menjelaskan bagaimana cara analisis fosil dan keragaman hayati.
1.3.3 Untuk menjelaskan mengenai petunjuk evolusi.
BAB II
PEMBAHASAN
Gambar 2. Organ vestigial pada manusia yang berupa umbai cacing (apendiks
vermiformis) (Anonim, 2010)
b. Bukti Biogeografi
Biogeografi adalah mempelajari distribusi geografi dari tanaman dan
hewan. Kesimpulan mendasar dari studi biogeografis memperlihatkan
bahwa suatu spesies baru muncul pada satu tempat dan kemudian
menyebar menuju keluar dari titik atau tempat asal. Beberapa spesies
kemudian menjadi lebih luas distribusinya, tetapi mereka tidak dapat
melewati barier-barier alami yang terpisah daerah biogeografis yang besar.
Oleh karena itu, meskipun lingkungan hidup sesungguhnya identik pada
daerah biogeografis berbeda, jarang ditempati oleh spesies yang sama
(Frida, 2006). Contoh bukti biogeografi nyata yang telah diteliti oleh para
ilmuwan adalah burung finch. Burung finch (satu genus dengan burung
pipit) di Kepulauan Galapagos yang dulu dipakai Charles Darwin untuk
mengembangkan teori evolusi, kini terbukti cocok dengan teori itu mereka
memang berevolusi (Schmid, 2006).
Beragam burung Finch yang ditemukan di Kepulauan Galapagos ini
diduga berasal dari nenek moyang yang sama. Burung Finch diduga
mengalami isolasi geografis sehingga sekarang ini ditemukan burung finch
dengan berbagai macam bentuk paruh. Bentuk paruh disesuaikan dengan
cara memperoleh makanannya. Perbedaan bentuk paruh ini diduga sebagai
salah satu reaksi adaptasi terhadap habitat yang berbeda-beda. Burung
Finch yang berukuran sedang yang diteliti Darwin, ternyata perlahan-lahan
memperkecil paruhnya untuk mendapatkan aneka jenis biji-bijian.
Perubahan ini mulai terjadi sekitar duapuluh tahun setelah kedatangan
burung pesaing mereka yang berukuran lebih besar, dan memperebutkan
sumber makanan yang sama. Perubahan ukuran paruh menunjukkan
bahwa spesies yang berkompetisi untuk mendapatkan makanan dapat
mengalami evolusi. Berikut ini gambar sketsa dari burung beberapa finch
yang mempunyai perbedaan bentuk morfologi dan anatomi pada paruh.
Gambar. 3 Perbandingan bentuk paruh burung Finch secara anatomi (a) dan (b) morfologi
(Anonim, 2009).
Gambar 7: Reaksi antara antibodi manusia (berasal dari kelinci) dan serum dari berbagai
mamalia (Kimbal, 1999).
xi-xj
Orde pertama dirumuskan dengan :
F1 (x) = x-x1 f(x0) + x-x0 f(x1) (9)
X0-x1 X1-x0
Sedangkan orde kedua rumusnya :
F2 (x) = (x-x1)((x-x2) f (x0) + (x-x0)((x-x2) f (x1) + (x-x0)((x-x1) f (x2) (10)
(x0-x1)(x0-x2) (x1-x0)(x1-x2) (x2-x0)(x2-x1)
Dan seterusnya, sampai orde ke-n.
Proses peluruhan dapat disimulasikan dengan gambar grafik fn(x)
versus x. Dimana fn(x) menyatakan Rasio C14 sisa/C14 awal, x menyatakan
umur fosil yang akan dicari dan x0, x1, x2,… merupakan titik-titik acuan
perhitungan pada koordinat waktu paro.
Kepresisian dan keakurasian pemilihan titik-titik acuan inilah yang
merupakan kunci dari ketelitian perhitungan. Semakin presisi titik-titik acuan
mempunyai nilai yang sangat berdekatan (closed) akan semakin teliti
perhitungannya.
3. Metode Stratigrafi
4. Jika ada potongan yang menembus lapisan tertentu, maka potongan itu
terjadi setelah lapisan itu ada, alias berusia lebih muda (Principle of
Cross-cutting relationship).
Inti prinsip ini adalah jika ada sesuatu yang membuat potongan di
satu lapisan atau lebih, potongan itu lebih muda atau terjadi belakangan
ketimbang lapisan yang terpotong.
5. Secara natural sisa-sisa mahluk hidup akan ikut masuk ke lapisan tanah
yang sedang terbentuk ketika mahluk itu mati (Principle of Faunal
Succession).
Prinsip ini berhubungan dengan makhluk hidup yang berkeliaran
saat lapisan tanah sedang terbentuk. Karena secara natural bangkai
tanaman atau hewan itu hanya tergeletak saja di tanah, dia ikut masuk ke
lapisan tanah yang sedang terbentuk saat dia mati. Dan karena umur fosil
dari makhluk hidup A dan B yang hidup di jaman yang berbeda pasti
ditemukan di lapisan yang beda juga.
4. Dendrokronologi
Kondisi iklim disimpan dan direkam secara permanen dalam
struktur biomasa, sehingga pohon dapat memantau keadaan lingkungan
dalam struktur lingkaran pohon (Gonzaga.2009). Hal ini dapat dikaji
dalam studi dendrokronologi yang mengaitkan hubungan antara pohon
dengan iklim maupun kondisi ekologi setempat. Pohon beradaptasi agar
mampu bertahan hidup, tetapi dengan pola iklim dan kondisi lingkungan
yang abnormal dapat menyebabkan stres pada pohon. Proses regenerasi
dan terjadinya perubahan secara mendadak ataupun bertahap akan
mempengaruhi pertumbuhan anakan pohon. Kegagalan dalam memahami
interaksi perubahan iklim dan fisiologi pohon dapat menyebabkan
kepunahan pada beberapa spesies pohon (Strickberger, M. W. 2000).
Menurut Strickberger, M. W (2000, dendrokronologi dengan
menggunakan lingkar tumbuh untuk menentukan umur pohon telah
memberi kontribusi besar terhadap pemahaman dinamika hutan dan
potensi hasil suatu daerah di berbagai negara. Kajian dendrokronologi
cukup jarang dilakukan di daerah tropis karena informasi pada dinamika
populasi pohon tropis kurang bernilai terhadap industri kehutanan, pelaku
konservasi, dan pemilik lahan. Gonzaga (2009) menambahkan bahwa
prasyarat dalam memperoleh informasi dinamika populasi harus
mengetahui periodisitas lingkar tumbuh pohon sehingga dapat dinyatakan
sebagai lingkaran tahun.
Dendrokronologi telah digunakan secara luas untuk memahami
hubungan antara pertumbuhan radial dan lingkungan masa lalu, iklim di
masa lalu, serta bidang hidrologi (Strickberger, M. W. 2000), dapat
digunakan untuk menentukan umur, rekonstruksi paleoenvironment,
pemodelan pengaruh iklim, memahami perubahan komunitas hutan,
mengestimasi sequestrasi karbon (Gonzaga.2009)
Bagaimanapun, iklim bukan merupakan faktor satu-satunya yang
mempengaruhi variasi lingkaran pohon. Gonzaga (2009) mengungkapkan
bahwa lebar lingkaran pohon Abies lasiocarpa menunjukkan korelasi yang
lemah terhadap iklim setempat, namun menunjukkan tingkat sensitifitas
yang tinggi terhadap iklim mikro. Selain itu Strickberger, M. W (2000),
juga menyatakan bahwa variasi antara individu pohon P. merkusii dan P.
kesiya lebih dipengaruhi oleh kelembaban tanah dibandingkan curah hujan
dan suhu. Namun demikian, informasi tentang respon pertumbuhan pohon
terhadap iklim sangatlah penting untuk memperoleh pemahaman yang
lebih baik tentang peran iklim di masa lampau dan yang akan datang
terhadap ekosistem (Gonzaga.2009).
Kata dendrokronologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dendron
yang berarti kayu atau pohon, dan chronology yang merupakan salah satu
cabang ilmu sains yang berhubungan dengan waktu dan penanggalan dari
suatu kejadian (Gonzaga.2009), sehingga didefenisikan sebagai ilmu yang
mempelajari karakteristik lingkar tumbuh pohon untuk mengetahui
kronologi atau kejadian yang terjadi di suatu daerah.
Pohon merupakan salah satu organisme yang terpengaruh oleh
iklim. Lingkar tumbuh yang merupakan komponen pohon dapat merekan
perubahan iklim sehingga dapat dijadikan sebagai sumber informasi
paleoclimatic atau yang disebut proxi iklim yang dapat digunakan untuk
merekonstruksi iklim. Proxi iklim merupakan indikator iklim yang dapat
terekam oleh sediment danau, lapisan es, lingkar tumbuh/lingkar tahun
pohon, dan lain-lain (Kimball, J. W. 1999).
Analisa lingkar pohon merupakan salah satu metode penting dalam
menentukan umur dan mendokumentasikan (merekam) tren pertumbuhan
pohon jangka panjang (Gonzager.2009). Pada awalnya dendrochronology
digunakan untuk menentukan umur pohon (Kimball, J. W. 1999).
Gonzager (2009) menambahkan bahwa hingga saat ini aplikasi
dendrochronology semakin banyak digunakan, contohnya saja untuk
menganalisis kejadian di masa lalu (rekonstruksi iklim, hidrologi,
kebakaran hutan, serangan serangga, arkeologi, dan lain-lain).
Rekonstruksi iklim di masa lampau dapat diselesaikan melalui
beberapa tahap: (1) membandingkan data dari badan meteorologi dengan
lebar lingkar tumbuh yang dihasilkan selama periode waktu yang sama;
(2) membuat sebuah persamaan statistik untuk hubungan antara keduanya;
(3) mengganti lebar lingkar pohon pada persamaan untuk memperoleh
perkiraan statistik dari iklim pada tahun sebelumnya. Dengan demikian,
perkiraan iklim dari lingkar pohon bisa menggantikan data meteorologi
dan menyediakan informasi berharga tentang periode dan area dimana
infromasi meteorologi tidak tersedia (Kimball, J. W. 1999).
Adapun prinsip dasar dalam kajian dendrokronologi adalah
pemilihan area yang cenderung memiliki iklim yang sensitif (Kimball, J.
W. 1999). Menurut Gonzager (2009), terdapat beberapa prinsip penting
dalam kajian dendrokronologi, yaitu :
1. Prinsip uniformitarian
Dalam prinsip ini dinyatakan bahwa proses fisika dan biologi yang
berhubungan dengan lingkungan di masa sekarang beserta variasinya
dalam pertumbuhan pohon, telah menjalankan fungsinya di masa lampau.
Begitu juga dengan variasi cuaca dan pola iklim yang ada sekarang, juga
telah terjadi di masa lalu. Oleh karena itu, sangatlah penting bahwa
seluruh rentang variabilitas iklim yang terjadi di masa lalu harus
dimasukkan ke dalam pengambilan sampel di masa sekarang. Dengan
demikian, banyak ahli dendrokronologi yang memprediksi iklim di masa
depan berdasarkan laporan di masa lampau. Pemeriksaan kondisi iklim di
masa lalu menggunakan data dan bukti independen dari suatu lingkaran
tumbuh sangat mendukung dalam validitas prinsip uniformitarian dalam
studi dendrokronologi.
2. Prinsip Faktor-Faktor Pembatas
Faktor yang sama yang membatasi pertumbuhan pohon akan
memberikan tingkat dan durasi yang bervariasi dari tahun ke tahun. Jika
salah satu faktor berubah sehingga tidak lagi membatasi pertumbuhan,
maka laju pertumbuhan pohon akan meningkat hingga faktor lainnya
membatasi pertumbuhan.
Adapun faktor pembatas yang mempengaruhi pertumbuhan pohon
diantaranya adalah faktor lingkungan berupa curah hujan dan temperatur,
karena lebar cincin merupak fungsi dari dua variabel tersebut. Prinsip
seperti ini sangat penting dalam kajian dendrokronologi karena lebar
lingkaran tumbuh bisa di cross-date jika terdapat satu atau lebih faktor
pembatas yang berlangsung lama. Prinsip ini menyiratkan bahwa lingkar
tumbuh yang sempit akan memberikan informasi yang lebih penting pada
kondisi iklim yang terbatas dibandingkan lingkaran tumbuh yang lebar.
Selama periode ketika tampak lingkaran tumbuh yang lebar, faktor
pembatas menjadi terbatas terhadap derajat yang berbeda dari pohon,
tergantung kondisi lokal, posisi ekologi di suatu lokasi dan berbagai faktor
non-iklim lainnya.
3. Prinsip besaran aspek ekologi
Setiap spesies bergantung pada faktor hereditas yang merupakan
faktor penentu fenotip, yang tumbuh dan bereproduksi pada rentang
habitat tertentu. Faktor inilah yang disebut besaran aspek ekologi
(ecological amplitude). Beberapa spesies tumbuh pada habitat yang luas
karena hereditasnya membutuhkan amplitudo ekologi yang besar. Di sisi
lain ada beberapa spesies yang terbatas pada lokasi tertentu karena
memiliki besaran aspek ekologi yang sempit. Sebagai contoh pada spesies
Pinus radiata dan Sequoiadendron giganteum yang hanya dapat ditemukan
pada besaran aspek ekologi yang lebar dan menjadi terbatas pada faktor
alam setempat disebabkan adanya isolasi faktor geografis.
Faktor pembatas pertumbuhan pohon dekat hutan gersang adalah
kekeringan, sementara pohon yang tumbuh di daerah ketinggian ataupun
pada garis lintang yang tinggi dipengaruhi oleh temperatur yang rendah.
Spesies yang berbeda besaran aspek ekologinya akan dipengaruhi oleh
faktor iklim yang sama jika individu pohon tumbuh pada habitat yang
sebanding dalam hal amplitudo ekologinya. Contohnya, spesies yang
hidup di bagian utara atau pada elevasi yang tinggi dengan spesies yang
hidup di bagian selatan atau pada elevasi yang rendah, dimana jika
keduanya mendekati batas gersangnya akan menunjukkan respon yang
sama pada kekeringan meskipun akan memberikan respon yang berbeda
pada jumlah kelembaban yang berbeda.
4. Prinsip pertumbuhan pohon agregat
Pada prinsip ini dijelaskan bahwa sederetan pertumbuhan
pepohonan dapat didekomposisi menjadi kumpulan faktor-faktor aspek
lingkungan, baik manusia dan alam yang mempengaruhi pola-pola
pertumbuhan di sepanjang waktu.
5. Prinsip pemilihan lokasi
Para ahli dendrokronologi harus memperkirakan faktor pembatas
dan prinsip amplitudo ekologi ketika melakukan penelitian dalam rangka
memastikan lokasi tempat pengambilan sampel. Dengan demikian, dalam
mempelajari lingkarantumbuh dan kekeringan, sangatlah penting untuk
mengoleksi pohon yang hidup di lokasi yang paling kering.
Terjadinya kekeringan memberi pengaruh terhadap aktivitas
kambium secara tidak langsung, karena metabolisme di daun menjadi
berkurang, sehingga berpengaruh terhadap pengurangan tajuk dan aktivitas
transportasi. Di sisi lain, beberapa ahli juga mengatakan bahwa kekeringan
ini memberikan dampak langsung terhadap aktivitas kambium,
dikarenakan berkurangnya potensi air dalam jaringan meristem kambium
(Larson, 1964 ; Zahner, 1968).
Di sisi lain, dalam mempelajari temperatur sampel sebaiknya
dikoleksi pada daerah dengan elevasi atau derajat lintang yan tinggi. Pada
daerah subtropis dan daerah dengan iklim lembab, hanya pohon yang
berada dilokasi lingkungan ekstrim yang mudah di crossdate dan
dilakukan analisis dendroklimatologi pada lingkaran tumbuh pohon.
Dengan demikian, sampel harus dipilih berdasarkan aspek lingkungan
yang sensitif sehingga diperoleh lingkaran tumbuh yang dapat dianalisis,
dimana spesies yang bersifat sensitif terhadap kondisi kering akan
ditemukan pada pada daerah dengan kondisi curah hujan terbatas.
6. Prinsip penentuan umur (crossdating)
Crossdating adalah prinsip yang paling penting dalam studi
dendrokronologi yang merupakan kontrol pengukuran dalam proses
analisis dendrokronologi, sehingga berperan dalam memastikan dan
mencocokkan umur yang tepat bagi setiap lapisan lingkaran tumbuh.
Prinsip dari crossdating ini meliputi proses pencocokan pola lingkar
tumbuh pada beberapa spesimenm memeriksa sikronisasi, mengenali jika
terdapat kemiripan, menduga adanya lingkaran tumbuh yang hilang
ataupun lingkaran tumbuh palsu, menguji inferensi dengan memeriksa
struktur lingkaran pohon pada spesimen lainnya dengan hati-hati, dan
akhirnya membentuk kronologi di suatu daerah.
Lingkaran tumbuh tahunan dapat diidentifikasi dan dilakukan
crossdate melalui jari-jari batang. Variasi karakteristik lingkaran tumbuh,
khususnya lebar lingkaran tumbuh diperiksa dan disinkronkan pada semua
sampel di wilayah tertentu. Jika ditemukan covariasi yang cukup diantara
lingkaran tumbuh pada pohon yang berbeda, dan ukuran sampel tersebut
cukup besar, tahun dimana lingkaran tumbuh terbentuk dapat dipastikan
dengan benar.
Selama satu tahun saat terjadi iklim yang ekstrim, pohon tekadang
tidak memberntuk lingkaran tumbuh di semua bagian batang, yang
kemudian terbentuk hanya sebagian atau bahkan tidak ada di sepanjang
jari-jari batang. Pada waktu yang bersamaan juga terjadi perubahan
struktur sel pada pertumbuhan tahunan yang bentuknya menyerupai batas
lingkaran tahun yang asli. Struktur tersebut kemudian dinamakan pita
pertumbuhan antar tahun atau yang dikenal lingkaran tumbuh palsu (false
rings).
Setelah dilihat proporsi lingkaran tumbuh dari posisi yang berbeda
dari batang pohon, dan ditemukan lingkaran tumbuh hilang atau palsu
pada jari-jari pohon yang mirip dengan lingkaran tumbuh tahunan, variasi
lebar lingkaran tumbuh pada spesimen tersebut tidak bisa di crossdate
dengan tepat. Pada intinya, jika ditemukan banyak lingkaran tumbuh
hilang dan palsu, tingkat sensitivitas dan korelasi lingkaran tumbuh antar
pohon menjadi rendah, penanggalan menjadi kurang tepat dan sampel
menjadi kurang berpotensi dalam menjadi rujukan studi dendrokronologi.
Adapun prinsip crossdating dapat dilakukan dengan cara mecocokkan pola
kayu yang digunakan dalam industri furniture dengan pola lingkaran
tumbuh pada pohon fosil ataupun pohon besar yang masih hidup.
7. Prinsip sensitivitas
Pemeriksaan lingkaran tumbuh di bawah mikroskop dapat
memberikan petunjuk seberapa sering iklim membatasi pertumbuhan
pohon. Semakin banyak pertumbuhan pohon dibatasi oleh faktor
lingkungan, semakin banyak pohon menunjukkan variasi lebar lingkaran
tumbuh. Ahli dendrokronologi menyebutkan variabilitas ini sebagai
sensitivity dan tidak adanya atau kurangnya variabilitas ini disebut
complacency.
Fluktuasi yang terjadi pada lebar lingkaran tumbuh dapat
diperkirakan secara kualitatif dengan pemeriksaan secara langsung atau
juga bisa dihitung dari suatu pengukuran lebar yang diekspresikan dalam
bentuk statisktik yang disebut ‘sensitivitas rata-rata’, yang merupakan
sebuah pengukuran perbedaan relatif pada lebar diantara lingkaran tumbuh
yang berdekatan.
8. Prinsip repetisi/replikasi
Sejumlah spesimen harus diperiksa dan dilakukan crossdate pada
wilayah tertentu untuk menghindari adanya kemungkinan lingkaran
tumbuh yang hilang pada satu individu tertentu dalam tahun yang sama
atau adanya lingkaran tumbuh palsu yang mirip dengan lingkaran tahun.
Verifikasi lebih lanjut dapat diperoleh ketika beberapa sampel diteliti
secara independen dan dibandingkan, kemudian tidak ditemukan
perbedaan antara sampel-sampel tersebut.
Sebagai tambahan, rata-rata pengulangan pengukuran dari banyak
pohon menunjukkan estimasi terbaik dari sinyal iklim, dikarenakan variasi
pertumbuhan yang berhubungan dengan variasi iklim sehingga diperlukan
data rata-rata dari beberapa pengukuran sampel. Selain itu, sejumlah efek
faktor non-iklim yang menyebabkan adanya perbedaan antar individu dan
satu lokasi dengan lokasi lain dapat diminimalisasi dengan proses merata-
ratakan data pengukuran.
Baik repetisi ataupun replikasi dalam proses sampling beberapa
core dalam satu pohon, dapat menggunakan perbandingan statistik dari
variabilitas yang terjadi pada pohon yang sama. Pengukuran variabilitas
ini menunjukkan informasi yang sangat penting yaitu bagaimana faktor
lokasi dan iklim mengontrol perkembangan pohon.
Jika faktor iklim berperan besar dalam membatasi pertumbuhan,
semua sampel replikasi dalam satu pohon akan menunjukkan variasi lebar
lingkaran tumbuh yang hampir sama dan sampel akan lebih muda di
crossdate. Sedangkan jika faktor iklim tidak membatasi pertumbuhan
pohon, sampel replikasi pada pohon yang sama akan menghasilkan ukuran
lingkaran tumbuh yang berbeda. Selain itu, adanya perbedaan
pertumbuhan di sisi yang berlawan pada pohon yang sama dapat
disebabkan oleh variasi dari struktur tegakan hutan, batang yang ramping
dan kompetisi antar pohon yang berdekatan. Sejumlah besar replikasi
sampel sangatlah penting untuk menghasilkan kronologi yang bagus dari
suatu lokasi.
9. Prinsip standardisasi
Standardisasi adalah prosedur dasar dalam analisis
dendrokronologi. Lebar lingkaran tumbuh bervariasi tidak hnaya dengan
fluktuasi kondisi lingkungan, tetapi juga karena perubahan sistematik pada
umur pohon, tinggi batang dan produktivitas suatu lokasi. Pada studi
variasi lebar lingkaran tumbuh yang berkorelasi dengan iklim, sangatlah
mudah untuk mengestimasi perubahan sistematik pada lebar lingkaran
tumbuh yang berhubungan dengan umur, yang kemudian akan
disingkirkan dari data pengukuran. Koreksi lebar lingkaran tumbuh untuk
merubah umur dan geometri pohon ini dikenal sebagai proses
standardisasi, dan nilai transformasi nya disebut indeks lebar lingkar
tumbuh.
Indeks tersebut secara umum tidak menghasilkan trend yang linier,
nilai rata-ratanya adalah 1. Indeks standardisasi suatu individu pohon
adalah rata-rata yang akan digunakan untuk memperoleh nilai kronologi
rata-rata (indeks standardisasi rata-rata) tempat sampel dikoleksi.
10. Prinsip model pertumbuhan dan hubungannya dengan lingkungan
Dugaan tentang lingkungan dan iklim di masa lampau didasarkan
pada model bagaimana lingkungan mempengaruhi pertumbuhan. Model
tersebut bisa dalam bentuk pernyataan, persamaan, atau diagram yang
mempresentasikan fakta dan hubungan dasar antara keduanya yang dapat
berfungsi untuk mengilustrasikan suatu fenomena. Prinsip model
pertumbuhan tersebut dapat bervarasi antara gagasan yang paling mudah
hingga turunan persamaan yang benar-benar kompleks yang berasal dari
literatur, observasi lapangan, dan eksperimen sehingga dapat digunakan
dalam berbagai cara.
Suatu model pertumbuhan dapat direvisi berulang kali ketika
ditemukan fakta yang tidak konsisten atau yang bertentangan dengan data.
Model yang berbentuk persamaan matematik ataupun statistik dapat
berfungsi sebagai deskripsi yang objektif dan tepat dari hubungan antara
input dan output suatu sistem.
Beberapa ahli dendrokronolgi berfikir bahwa lingkaran tumbuh
pohon didaerah kering dapat disebabkan oleh kelembaban tanah selama
periode tumbuh. Sedangkan ahli yang lain menyatakan bahwa pohon yang
tumbuh didaerah ketinggian akan membentuk model pertumbuhan yang
sederhana dan merujuk langsung pada faktor temperatur selama periode
tumbuh. Kedua model tersebut, khususnya kasus daerah kering, sangatlah
sederhana. Keduanya memberikan perkiraan yang bagus pada saat itu,
namun seiring berkembangnya pengetahuan dan teknik statistik semakin
baik, maka model pertumbuhan ini pun semakin kompleks.
11. Prinsip kalibrasi dan verifikasi
Unit lingkaran tumbuh dapat dikalibrasi menggunakan variabel
lingkungan. Hal ini dapat diselesaikan dengan membuat model statistik
atau koefisien model yang menyerupai hubungan sebenarnya, kemudian
digunakan dalam indeks lingkaran tumbuh untuk merekonstruksi iklim
periode awal, dimana lebar lingkaran tumbuh tersedia, namun tidak ada
catatan iklim di masa lalu. Hubungan statistik tersebut akan menghasilkan
kalibrasi yang berasal dari hubungan sebab-akibat antara pertumbuhan dan
iklim atau bahkan menghasilkan efek korelasi. Korelasi tersebut sangat
berguna dalam merekonstruksi iklim di masa lampau.
Rekonstruksi berasal dari lingkaran tumbuh yang dibandingkan
dengan kondisi lingkungan aktual untuk memverifikasi keakuratan suatu
perkiraan. Verifikasi adalah proses yang sangat penting untuk
membuktikan bahwa variasi rekonstruksi adalah benar adanya. Catatan di
masa lalu, informasi paleoclimatic secara kualitatif, dan data-data lain
tentang masa lampau juga dapat berfungsi sebagai pemeriksaan tambahan.
5. Epigrafi
Sebenarnya tidak ada perbedaan yang mencolok antara paleografi
dan epigrafi,kecuali pada materi yang dipakai untuk menulis. Epigraf
adalah pengetahuanmengenai cara membaca, menentukan tanggal atau
waktu, dan menganalisis tulisanatau inkripsi kuno pada benda-benda yang
dapat bertahan lama seperti batu, logamatau gading. Inkripsi atau prasasti
tersebut dimaksudkan untukmemberikan informasi,atau catatan mengenai
kejadian-kejadian penting. Kajian atas inkripsi atau prasasti iniacapkali
merupakan satu-satunya sumber informasi pertama atau pengetahuan
kitatentang masa-masa awal sejarah.
2.3 Petunjuk Evolusi
Evolusi biologi meninggalkan tanda-tanda yang dapat diamati, yang
merupakan bukti pengaruh pada kehidupan di masa lalu dan sekarang. Menurut
Campbell (2008) menjelaskan bahwa seratus lima puluh tahun sejak saat itu,
temuan-temuan baru telah mengisi banyak celah yang diidentifikasi oleh
Darwin. Asal-usul tumbuhan berbunga dan banyak fosil yang telah ditemukan
menjadi bukti asal-usul kelompok baru organisme. Terdapat jenis data yang
mendokumentasikan pola evolusi dan menerangkan proses terjadinya evolusi
yaitu :
1. Pengamatan Langsung Perubahan Evolusioner
Predasi dan Warna pada Gupi: Penyelidikan Saintifik
Predator (organisme yang memakan spesies lain atau mangsa) merupakan
kekuatan besar dalam pembentukan adaptasi sumber makanannya. Predator
kemungkinan besar memakan individu mangsa yang kurang mampu
menghindari deteksi, melarikan diri, atau mempertahankan diri. Akibatnya,
individu mangsa semacam itu kemungkinan kurang mampu bereproduksi dan
meneruskan sifat-sifat mereka kepada keturunanya daripada individu dengan
sifat yang membantunya meloloskan diri dari predator (Campbell, 2008).
Selama bertahun-tahun, John Endler dari University of California, Santa
Barbara, mempelajari dampak predator pada gupi (Poecili reticulata), ikan air
tawar kecil sebagai ikan piaraan di akuarium. Endler mengamati bahwa di
antara populasi gpi liar di Trinidad, pola warna gupi jantan sedemikian
bervariasi hingga tidak adda dua ekor jantar dewasa yang mirip. Warna yang
amat bervariasi ini dikontrol oleh sejumlah gen yang secara alamiah hanya
diekspresikan pada jantan dewasa. Gupi betina tertarik pada jantan dengan
warna cerah. Betina lebih sering memilih kawin dengan jantan semacam itu
daripada yang berwarna suram. Namun,warna cerah yang menarik betina juga
mungkin membuat jantan mudah dilihat oleh predator. Oleh karena itu, jika
suatu populasi gupi terdiri atas jantan berwarna cerah dan jantan berwarna
suram, dapat disimpulkan bahwa predator cenderung memakan ikan yang
berwarna cerah (Campbell, 2008)
Endler mengamati bahwa pola warna gupi jantan tampaknya
berkesesuaian dengan intensitas predasi. Di kolam yang memiliki sedikit
spesies predator, gupi jantan cenderung berwarna cerah. Sementara di kolam
dengan banyak predator, warna gupi jantan lebih suram. Berdasarkan
pengamatan ini, Endler membuat hipotesis bahwa predasi intensif
menyebabkan seleksi alam pada gupi jantan, membuat warna suram lebih
mengutungakan. Endler menguji hipoteisi tersebut dengan banyak predator.
Seperti yang diperkirakan, seiring waktu populasi gupi hasil pemindahan
menjadi kurang berwarna terang(Campbell, 2008).
Salah satu predator gupi, ikan killifish, memangsa anak gupi yang belum
menampilkan warna dewasa. Endler memperkirakan bahwa jika gupi yang
berwarna suram dipindahkan ke kolam yang hanya berisi killifish, keturunan
gupi tersebut pada akhirnya akan berwarna lebih cerah (karena betina memilih
jantan yang berwarna cerah)(Campbell, 2008).
Gambar 12: Percobaan John Endler, dari University of California, Santa Barbara,
mempelajari gpi liar di Sungai Aripo di Trinidad. Ia memindahka 200 gupi dari kolam-
kolam tempat hidup ikan pike-cichlid, predator gupi yang aktif, ke kolam-kolam tempat
hidup ikan killifish, predator gupi yang tifak begitu aktif. Endler mencatat jumlah bintik
berwarna terang dan total area dari bintik-bintik tersebut pada gupi jantan di setiap
generasi. (Sumber: J.A. Endler Natural selection on color patterns in Poecilia reticulata,
Evolution 34. 76-91 (1980))
Gambar 13: Bukti fosil dari evolusi pada sekelompok trilobita. Fosil-Fosil ini hanyalah
beberapa dari serangkaian fosil yang ditemukan di hamparan Latham Shale, yang
terendapkan antara 513 dan 512 juta tahun silam. Urutan gambar menunjukkan perubahan
seiring pada tempat dan sudut duri di perisai kepala (daerah yang ditandai oleh titik merah)
Dalam skala waktu lebih lama, fosil mendokumentasikan asal usul
kelompok-kelompok utama organisme. Salah satu contohnya adalah catetan
fosil setasea awal, ordo mamalia yang mencakup paus, lumba-lumba dan
porpoise. Setasea paling awal hidup 50-60 juta tahun. Catatan fosil
mengindidikasikan bahwa sebelum masa itu, kebanyakan mamalia bersifat
terestrial (hidup di darat). Walaupun saintis telah lama menyadari bahwa paus
dan setasea lain berasal dari mamalia darat, dahulu baru sedikit temuan fosil
yang mengungkapkan bagaimana struktur tungkai setasea berubah seiring
waktu, sehingga pada akhirnya tungkai belakang hilang dan sirip terbentuk.
Akan tetapi, dalam beberapa dasawarsa terakhir, serangkaian fosil yang
menakjubkan telah ditemukan di Pakistan, Mesir, dan Amerika Utara. Fosil-
fosil tersebut mendokumentasikan transisi dari kehidupan di darat menjadi
kehidupan di laut. Setiap organisme berbeda dari mamalia yang ada saat ini,
termasuk paus masa kini dan semua organisme itu sekarang sudah pnah. Secara
kolektif, fosil-fosil tersebut dan juga fosil yang ditemukan terlebih dahulu
mendokumentasikan pembentukan spesies-spesies baru dan awal-mula satu
kelompok mamalia utama baru, setasea (Campbell, 2008).
Hipotesis bahwa paus dan setasea lain berevolusi dari organisme terestrial
memperkirakan bahwa nenek moyang setasea bertungkai empat. Ternyata,
para ahli paleontologi telah berasil menggali fosil-fosil setasea yang telah
punah dan memiliki tungkai belakang, termasuk empat spesies yang
kerangkanya ditampilkan diatas. Fosil-fosil tambahan menunjukkan bahwa
Pakicetus dan Rodhocetus memiliki tipe tulang pergelangan yang juga dimiliki
oleh kelompok mamalia darat yang mencakup babi, kuda nil, sapi, onta dan
rusa. Kesamaan ini memperkuat kemungkinan bahwa setasea berkerabat dekat
dengan kelompok mamalia darat.
3. Homologi
Bukti evolusi berasal dari analisis kesamaan antara organisme yang
berbeda. Evolusi adalah proses penurunan dengan modifikasi: Karakteristik
yang ada pada organisme nenek moyang berubah (melalui seleksi alam) pada
keturunanya seiring waktu ketika organisme berhadapan dengan kondisi
lingkungan yang berbeda-beda. Akibatnya spesies yang berkerabat bisa
memiliki karakteristik dengan kesamaan yang mendasar walaupun mungkin
memiliki fungsi yang sangat berbeda. Kesamaan yang berasal dari nenek
moyang bersama dikenal sebagai homologi (homology) (Campbell, 2008).
Homologi Anatomi dan Molekular
Pandangan mengenai evolusi sebagai proses permodelan ulang
menghasilkan perkiraan bahwa spesies yang berkerabat dekat seharusnya
memiliki ciri yang sama. Spesies yang berkerabat dekat memiliki kesamaan
ciri yang digunakan untuk menentukan kekerabatan mereka, namun mereka
juga memiliki banyak kesamaan ciri lain. Sejumlah kesamaan ciri itu nyaris tak
bermakna kecuali dalam konteks evolusi. Misalnya, tungkai depan semua
mamalia, termasuk manusia, kucing, paus, dan kelelawar, menunjukkan
susunan tulang yang sama dari bahu sampai ujung jari, walaupun tungkai-
tungkai tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda yaitu mengangkat,
berjalan, berenang dan terbang. Kemiripan anatomi yanng luar biasa tersebut
sangat tidak mungkin terjadi apabila strukur-struktur ini muncul secara terpisah
pada setiap spesies. Kerangka yang mendasari lengan, kaki depan, sirip dan
sayap mamalia yang berbeda merupakan struktur holomog yang mencerminkan
berbagai variasi pada sebuah tema struktural yang dimiliki berbagai variasi
pada sebuah tema struktural yang dimiliki oleh nenek moyang bersama mereka
(Campbell, 2008).
Gambar 15: Tungkai depan manusia: struktur homolog. Walaupun telah teradaptasi
untuk fungsi yang berbeda-beda, tungkai depan semua mamalia dibangun dari unsur
rangka dasar yang sama, satu tulang besar (ungu) yang melekat ke dua tulang yang lebih
kecil (jingga dan coklat), yan melekat ke beberapa tulang ksecil (emas), yang melekat ke
beberapa metakarpal (hijau), yang melekat pada kira-kira lima jari atau falang (biru)
Gambar 16: Kemiripan anatomis pada embrio vertebrata. Pada beberapa tahap dalam
perkembangan embrioniknya, semua vertebrata memiliki ekor yang terletak posterior atau
di belakang anus dan kantong faringeal (tekak).
Sejumlah homolog yang paling manarik terkait dengan sturktur ‘sisa’ yang
kurang penting, bahkan mungkin tidak ada, bagi suatu organisme. Struktur
vestigial merupakan sisa ciri yang berperan penting pada nenek moyang
organisme tersebut.Misalnya, pada kerangka sejumlah ular terdapat sisa-sisa
panggul dan tulang kaki dari nenek moyang yang berjalan dengan kaki. Contoh
yang lain adalah mengecilnya ukuran dan hilangnya fungsi tungkai belakang
setasea sewaktu organisme-organisme tersebut menghadapi tantangan
kehidupan di dalam air. Kita tidak akan melihat struktur vestigial semacam ni
jika ular dan paus memiliki asal-usul yang terpisah dari hewan vertebrata lain
(Campbell, 2008).
Ahli biologi juga mengamati kemiripan organisme pada tingkat molekular.
Semua bentuk kehidupan menggunakan bahasa genetika yang sama, yakni
DNA dan RNA, dan kode genetik tersebut pada dasarnya bersifat universal.
Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa semua spesies merupakan
keturunan dari nenek moyang bersama yang menggunakan kode ini. Namun
homologi molekular lebih dari sekadar kode yang sama. Misalnya, organisme
yang sedemikian berbeda, misalnya manusia dan bakteria, sama-sama memiliki
gen yang diwariskan dari nenek moyang bersama yang sangat jauh. Seperti
tungkai depan manusia dan paus, gen-gen ini seringkali telah memperoleh
fungsi yang berbeda (Campbell, 2008).
Homolog dan ‘Tree Thinking’
Sejumlah karakteristik homolog, misalnya kode genetik, dimiliki oleh
semua spesies, karena karakteristik semacam itu berasal dari nenek moyang
yang sangat tua. Sebaliknya, karakteristika homolog yang belum begitu lama
dievolusikan hanya dimiliki oleh kelompok organisme yang lebih kecil. Contoh
pada tetrapoda (dari bahasa Yunani tetra, empat, dan pod, kaki), kelompok
vertebrata yang mencakup amfibia, mamalia, dan reptilia (termasuk burung).
Semua tetrapoda memiliki struktur dasar tulang tungkai yang sama. Dengan
demikian, karakteristik homolog membentuk pola bersangkar. Semua makhluk
hidup memiliki lapisan terdalam yang sama, dan setiap kelompok kecil yang
mengikuti akan menambahkan homologinya sendiri pada berbagai homologi
yang mereka miliki bersama dengan kelompok yang lebih besar. Pola
bersangkar inilah yang kita duga terbentuk dari hasil penurunan dengan
modifikasi dari nenek moyang bersama(Campbell, 2008).
Ahli biologi seringkali menggambarkan pola keturunan dari nenek
moyang bersama dan homologi yang dihasilkan dengan sebuah pohon evolus,
diagram yang mencerminkan kekerabatan evolusioner di antara kelompok-
kelompok organisme.
Gambar 17: Gagasan ‘Tree Thinking’: informasi yang tersedia di dalam sebuah pohon
evolusi. Pohon evolusi tetrapoda dan kerabat dekat mereka, ikan paru-paru, didsaekan pada
data anatomis dan sekuens DNA.
Sebuah pohon evolusi tetrapoda dan kerabat terdekat mereka yang masih
hidup, ikan paru-paru. Dalam diagram tersebut, setiap titik percabangan
mewakili nenek moyang bersama dari semua spesies yang merupakan
keturunannya. Misalnya, ikan paru-paru dan semua tetrapoda merupakan
keturunan dari nenek moyang 1, sedangkan mamalia, kadal dan ular, buaya,
serta burung merupakan keturuan dari nenek moyang 3. Seperti yang diduga,
ketiga homologi yang ditunjukkan pada ‘tree thinking’ tungkai tetrapoda,
amnion (membran pelindung embrio), dan bulu membentuk pola bersangkar.
Tungkai tetrapoda ditemukan pada nenek moyang 2 dan oleh karena itu
ditemukan pada semua keturunan dari nenek moyang tersebut (tetrapoda).
Amnion hanya ditemukan pada nenek moyang 3, sehingga hanya dimiliki oleh
sebagian tetrapoda (mamalia sehingga hanya dimiliki oleh sebagian tetrapoda
(mamalia dan reptilia). Bulu hanya ada pada nenek moyang bersama 6
sehingga hanya dimiliki oleh burung (Campbell, 2008).
Mamalia ditempatkan lebih dekat dengan amfibia daripada burung. Oleh
karena itu, mungkin dapat disimpulkan bahwa mamalia berkerabat lebih dekat
dengan amfibia daripada dengan burung. Akan tetapi, mamalia sebenarnya
berkerabat lebih dekat daripada burung daripada dengan amfibia karena
mamalia dan burung memiliki nenek moyang bersama yang lebih muda (nenek
moyang 3) daripada mamalia dan amfibia (nenek moyang 2)(Campbell, 2008).
Evolusi Konvergen
Walaupun organisme yang berkerabat dekat memiliki kesamaan
karakteristik akibat garis keturunan bersama, organisme yang berkerabat jauh
juga bisa mirip satu sama lain karena alasan yang berbeda: evolusi konvergen,
evolusi mandiri dari ciri-ciri yang serupa pada garis keturunan yang berbeda.
Mamalia marsupialia yang banyak diantaranya hidup di Australia. Marsupialia
berbeda dari kelompok mamalia yang lain eutheria yang hidup di tempat-
tempat lain di Bumi. Beberapa marsupialia Australia mirip mamalia eutralia
penghuni hutan yang disebut sugar glider sekilas mirip dengan bajing terbang,
eutheria peluncur yang hidup di hutan-hutan Amerika Utara. Namun sugar
glider memiliki banyak karakteristik lain yang membuatnya digolongkan
sebagai marsupialia, dan berkerabat lebih dekat dengan kanguru dan
marsupialia Australia lainnya daripada dengan bajing terbang dan eutheria lain.
Dapat disimpulkan bahwa walaupun berevolusi secara mandiri dari nenek
moyang yang berbeda, kedua mamalia ini telah beradaptasi terhadap
lingkungan yang serupa dengan cara yang serupa. Pada contoh tersebut
menunjukkan spesies-spesies memiliki ciri-ciri yang sama akibat evolusi
konvergen, kemiripan tersebut disebut analog, bukan homolog(Campbell,
2008).
Gambar 18: Evolusi konvergen. Sugar glider adalah mamalia marsupialia yang berevolusi
dalam kondisi terisolasi di benua Australia. Walaupun sugar glider sekilas mirip bajing
terbang yang merupakan eutheria dari Amerika Utara, kemampuan meluncur di udara
dievolusikan secara terpisah pada kedua kelompok mamalia yang berkerabat jauh tersebut.
4. Biogeografi
Tipe bukti keempat yang mendukung evolusi adalah biogeografi, distribusi
geografis dari spesies. Distribusi geografis dari organisme dipengaruhi oleh
banyak faktor, termasuk hanyutan benua, pergerakan lambat benua di Bumi
seiring waktu. Sekitar 250 juta tahun silam gerakan-gerakan ini menyatukan
semua massa daratan Bumi menjadi satu benua besar, disebut Pangea. Sekitar
200 juta tahun lalu, benua-benua yang kita kenal sekarang berada beberapa
ratus kilometer jauhnya dari posisi saat ini. (Campbell, 2008).
Ahli biologi evolusi telah membangunpohon evolusi kuda berdasarkan
data anatomis. Berdasarkan pohon-pohon semacam itu dan umuer fosil nenek
moyang kuda, para peneliti memperkirakan bahwa spesies kuda kini bermula 5
juta tahun lalu di Amerika Selatan berada dekat dengan posisinya saat ini,
namun kedua benua itu belum terhubung satu sama lain, sehingga kuda sulit
berpindah dari Amerika Utara ke Amerika Selatan. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa fosil kuda tertua hanya akan ditemukan di benua tempat
kuda bermula Amerika Utara. Perkiraan ini dan banyak perkiraan lain yang
serupa untuk kelompok organisme yang berbeda, telah terbukti, sehingga
meyediakan lebih banyak bukti untuk evolusi.(Campbell, 2008).
Pemahan tentang evolusi untuk menjelaskan data biogeografis. Misalnya,
pulau-pulau biasanya memiliki banyak spesies hewan dan tumbuhan yang
endemik, yang artinya tidak ditemukan di tempat lain di dunia. Namun, seperti
yang dijabarkan oleh Darwin dalam The Origin of Species, kebanyakan spesies
penghuni pulau berkerabat dekat dengan spesies yang hidup di daratan utama
terdekat atau pulau yang terdekat. Dan dijelaskan mengenai pengamatan
dengan menyatakn bahwa pulau dikolonisasi oleh spesies dari daratan terdekat.
Para penghuni ini pada akhirnya memunculkan spesies baru sewaktu
beradaptasi dengan lingkungan baru. Proses semacam ini juga menjelaskan
mengapa dua pulau dengan lingkungan serupa di belahan bumi yang berbeda
dihuni bukan oleh spesies yang berkerabat dekat, namun oleh spesies yang
mirip dengan yang hidup di daratan utama terdekat, yang lingkungannya
seringkali cukup berbeda (Campbell, 2008).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan studi literature yang digunakan pada makalah ini, maka bisa
diperoleh kesimpulan seperti berikut :
3.1.1 Evolusi biologi meninggalkan tanda-tanda yang dapat diamati, yang
merupakan bukti pengaruh pada kehidupan di masa lalu dan sekarang.
Menurut Henuhili, dkk (2012), bukti-bukti evolusi yaitu : bukti dari
peleontologi, biogeografi, taksonomi, anatomi perbandingan, embriologi
perbandingan, biokimia dan seriologi perbandingan serta fisiologi
perbandingan.
3.1.2 Analisis fosil dan keragaman hayati meliputi : metode kronometri,
penanggalan radioaktif, stratigrafi, dendrokronologi dan epigrafi.
3.1.3 Terdapat jenis data yang mendokumentasikan pola evolusi dan
menerangkan proses terjadinya evolusi yaitu : pengamatan langsung
perubahan evolusionee, bukti dari paleontologi, homologi dan biogeografi.
3.2 Saran
Berdasarkan studi literature yang digunakan pada makalah ini, maka
penulis menyarankan pembaca untuk :
3.2.1 Membaca sumber literature lain untuk melengkapi informasi mengenai
evolusi
3.2.2 Menerapkan ilmu yang telah diperoleh pada kehidupan sehari-hari.
Daftar Rujukan
Campbell, N.A., Reece, J.B., & Mitchell, L.G. 2008. Biologi. Jilid 2. Edisi
Kedelapan. Alih Bahasa: Damaring Tyas Wulandari. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Campbell, N.A., Jane B.R., Lawrence G.M. 2003. Biologi. Edisi Kelima, Jakarta:
Erlangga.
Darwin, C. 1959. The Origin of Species by Means of Natural Selection. London:
John Murray.
Frida, Maryati. 2006. Bahan Ajar Evolusi. Gorontalo: Univ. Gorontalo.
Gonzaga. 2009. Bukti Evolusi. (Online), (http://biologigonz.blogspot.com/2009/12
/bukti-evolusi.html, diakses tanggal 12 Februari 2019).
Henuhili, Victoria, Siti Mariyam, Sudjoko, Tutiek Rahayu. 2012. Evolusi. Diktat
Kuliah. Yogyakarta. Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas Pendidikan
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta.
Kimball, J. W. (1999). Biologi. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga Mahameru.
Schmid, Randolph E. 2006. Burung Finch di Galapagos Ber-evolusi. (Online),
(http://greenpena.blogspot.com/2006/07/burung-finch-di-galapagos-ber-
evolusi.html, diakses tanggal 11 Februari 2019.
Strickberger, M. W. 2000. Evolution. Third Edition, London: Jones and Barlel
Publishers.
Widodo, Lestari, U., Amin, M. 2003. Bahan Ajar Evolusi. Malang: Dirjen Dikti