Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
KONSEP EKOSISTE M
Kelentingan Lingkungan
Pengelolaan Lingkungan
Sumber: akcayanews.com/%3Fp%3D73
Kerusakan hutan di daerah hulu Sedau, Singkawang Selatan semakin parah, Minggu
(18/10). Kerusakan hutan bisa mengakibatkan banjir di daerah hilir sungai yakni di
kelurahan Sedau, Singkawang Selatan. [Foto kiriman Agus Sutomo]
7
RISIKO EKOLOGIS
Banyak cara yang dapat dipakai untuk membuat estimasi debit banjir, dan
ini tergantung pada data yang tersedia. Bilamana tidak tersedia debit banjir,
debit banjir dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus-rumus
empiris. Metode perkiraan debit banjir dapat dikelompokkan atas dasar
kelompok data hidrologi sbb.:
8
Sumber: mayong.staff.ugm.ac.id/site/%3Fp...id%3D109
Risiko Sosial
Risiko Mental
HUTAN INDONESIA
Risiko dan dampak dari eksploitasi ini adalah terjadinya banjir pada
musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Dengan demikian
jelas terlihat bahwa fungsi hutan sebagai pengatur tata air telah terganggu
dan telah mengakibatkan berkurangnya keanekaragaman hayati yang ada
didalamnya.
17
Sumber: bantenkuring.blogspot.com/2009/01/selamatkan-...
Propinsi Banten memiliki hutan tropis yang luas, namun bersamaan dengan
peningkatan jumlah penduduk kualitas dan kuantitas hutan terus mengalami
penurunan. Dari sekitar 250 ribu hektar hutan yang ada di Banten, 90 ribu hektar
atau 36 persen di antaranya dalam kondisi rusak parah. Tekanan terhadap
ekosistem hutan di bagian utara Banten jauh lebih besar dibandingkan bagian
selatan. Bagian utara Banten yang meliputi Kota dan kabupaten Tangerang,
Kabupaten Serang dan Kota Cilegon memiliki tingkat kepadatan penduduk yang
sangat tinggi, sehingga eksploitasi sumberdaya alam termasuk hutan, berlangsung
cepat dan boros.
Tak dapat dipungkiri, keberadaan kawasan industri dan pemukiman yang
terkonsentrasi di bagian utara menyebabkan degradasi kualitas lingkungan sulit
dihindari. Idealnya setiap industri harus berwawasan lingkungan, bahkan perlu
memenuhi standar manajemen lingkungan seperti ISO 14000. Namun kenyataan
di lapangan kepentingan ekonomi selalu mengalahkan kepentingan ekologi, makin
pesat pembangunan berlangsung makin banyak komponen lingkungan yang
dikorbankan, termasuk hutan.
18
Keruskan hutan juga terjadi di kawasan cagar alam Rawa Dano, Kecamatan
Mancak Kabupaten Serang. Sebagai akibat tekanan penduduk, perambahan dan
pengelolaan lahan ilegal di cagar alam seluas 2.500 hektar tersebut sangat
berpengaruh terhadap penurunan kualitas lingkungan, antara lain dengan
melorotnya debit air dari 2.000 liter per detik menjadi hanya 200 liter per detik.
Dampaknya berbagai kawasan industri di Kota Cilegon mengalami krisis air.
Secara umum eksplotasi hutan menimbulkan terganggunya berbagai fungsi hutan
yang sangat sulit untuk dipulihkan kembali.
asap kendaraan bermotor, rumah tangga dan pabrik. Sedangkan di sisi lainnya,
kawasan hijau di kota-kota tersebut sangat terbatas, bahkan pohon-pohonan di
pinggir jalan makin banyak yang ditebangi.
Fungsi hidrologis hutan berhubungan dengan siklus air. Ekosistem hutan memiliki
tajuk yang berlapis, mulai dari pohon-pohon berukuran raksasa sampai perdu dan
rumput yang menutupi tanah, selain itu daun-daun yang berguguran menjadi
serasah dan humus yang juga menutupi tanah. Sistem tajuk berlapis tersebut
dapat mengurangi energi kinetik yang berasal dari tetesan atau jatuhan air hujan,
sehingga tidak merusak tanah dan tidak menimbulkan erosi.
Pada lahan yang tidak bervegetasi seperti hutan yang gundul, maka ketika hujan
datang tetesannya langsung mengenai butiran tanah sehingga dapat menimbulkan
erosi. Aliran permukaan yang membawa butiran tanah tersebut akhirnya masuk ke
badan sungai dan menimbulkan pendangkalan. Jika curah hujan tinggi maka
badan sungai tidak dapat menampungnya, terjadilah luapan air atau banjir, baik di
bagian hulu maupun bagian hilir DAS. Kawasan bervegetasi sebenarnya
merupakan daerah resapan air, sehingga air yang dialirkan ke sungai sesuai
dengan kapasitas sungai dan tidak menimbulkan banjir. Pada musim kemarau di
kawasan ini cadangan air masih tersedia, meskipun debit air yang masuk sungai
menurun. Sebaliknya pada kawasan yang tidak bervegetasi, seperti hutan gundul,
ketika musim kemarau tiba tidak ada lagi cadangan air, sungaipun menjadi kering
kerontang.
Kawasan hutan di sekitar Gunung Karang menjadi hulu beberapa sungai yang
mengalir ke bagian barat, utara, timur dan selatan Banten, seperti Ci Lamer, Ci
Ujung, Ci Asem, Ci Bogor dan Ci Banten. Setiap penebangan pohon di Gunung
Karang berdampak langsung terhadap penyusutan debit air di musim kemarau
untuk DAS tersebut, sebaliknya pada musim hujan berdampak langsung terhadap
kejadian banjir di sekitar DAS tersebut. Posisi kota Serang dan Pandeglang
dengan Gunung Karang identik dengan posisi kota Jakarta dengan kawasan
Puncak. Dengan kata lain, jika penebangan pohon dan kerusakan hutan di sekitar
Gunung Karang tidak terkendali, maka kota Serang dan Pandeglang siap-siap
terkena banjir bandang, sebagaimana Kota Jakarta selalu menerima banjir kiriman
dari Bogor, sebagai akibat penggundulan kawasan Puncak. Kondisi saat ini, areal
bervegetasi di kawasan Gunung Karang hanya tersisa 40 persen.
Fungsi sosiologis hutan berkaitan dengan kehidupan masyarakat sekitar hutan.
Masyarakat sekitar hutan harus meningkat kesejahteraannya, namun jika cara
yang ditempuh melalui eksploitasi hutan secara habis-habisan, seperti penebangan
kayu, penjarahan hasil hutan dan lahan, maka yang terjadi hanyalah pemiskinan
masyarakat sekitar hutan. Dalam hal ini perlu dikembangkan pengelolaan sekitar
kawasan hutan yang berkelanjutan, bagaimana agar sumberdaya hutan tersebut
bisa awet. Konsep agroforestry merupakan langkah yang tepat jika diterapkan
dengan penuh tanggungjawab. Dalam hal ini petani di sekitar hutan diwajibkan
untuk menanam pohon yang disela-selanya dibudidayakan tanaman pangan dan
hortikultura.
Pengembangan konsep hulu-hilir di setiap DAS juga merupakan langkah yang
baik, yaitu supaya masyarakat di sekitar hulu tidak menebang pohon, maka
masyarakat pengguna air dan hasil sumberdaya alam di hilir harus memberikan
kompensasi kepada pemilik lahan yang ada di hulu. Bagaimanapun sangat tidak
efektif jika masyarakat di hulu dilarang menebang pohon, sementara kebutuhan
ekonominya dibiarkan tidak tercukupi.
Fungsi biologis hutan kaitannya dengan hutan sebagai bank plasma nuftah atau
sebagai cadangan genetik. Hutan menyimpan beragam flora dan fauna yang
sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, seperti plasma nuftah untuk tanaman
obat, buah-buahan, sayuran, pangan, hias, industri dan energi. Di hutan tersimpan
20
plasma nuftah tanaman energi seperti jarak, yang dapat digunakan untuk substitusi
BBM melalui aplikasi biodiesel. Berbagai plasma nuftah tanaman industri seperti
industri kayu, kertas, getah (karet), residu (mentol, terpentin), minyak (cengkeh,
kayu putih), farmasi dan kosmetik ada di hutan. Selain itu, hutan pun menyimpan
plasma nuftah hewan ternak dan peliharaan, seperti berbagai jenis burung, reptil,
mamalia dan sebagainya.
Fungsi ekonomis hutan berhubungan dengan pemanfaatan hutan untuk
memperoleh nilai tambah ekonomi, seperti pemanfaatan kayu. Berdasarkan data
dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Propinsi Banten, dalam
setahun jumlah pohon yang ditebang di areal hutan dan non-hutan di Banten
mencapai 5-6 juta pohon. Hal itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kayu yang
mencapai 750 ribu 1 juta kubik. Reboisasi dan penghijauan yang dilakukan
hanya mencapai 4 juta pohon per tahun, maka terjadi penyusutan jumlah pohon
antara 1-2 juta pohon per tahun. Hal tersebut sangat tidak kondusif bagi kondisi
lingkungan Propinsi Banten, bahkan bagi Planet Bumi secara keseluruhan. Setiap
penyusutan vegetasi hutan tropis, termasuk yang ada di Banten, akan berpengaruh
terhadap kondisi iklim di seluruh Planet Bumi, antara lain memberikan kotribusi
terhadap pemanasan global.
Revitalisasi
Sumberdaya hutan di Propinsi Banten harus direvitalisasi, begitu juga kebijakan
dan strategi pengelolaan hutan. Upaya yang harus ditempuh Pemerintah Daerah
(Pemda) dan masyarakat, adalah penerapan teknik silvikultur (perbaikan kualitas
tegakan), pengelolaan aspek ekologi (biodiversity), konservasi tanah dan air,
pencegahan bahaya kebakaran hutan, serta penelitian dan pengembangan
(Litbang) kehutanan. Litbang kehutanan di Propinsi Banten, beberapa perguruan
tinggi yang ada di Tangerang, Serang, Cilegon, Pandeglang, dan Lebak perlu
diikutsertakan. Perguruan tinggi tersebut diharapkan dapat menyelenggarakan
kajian kehutanan yang spesifik untuk kawasan masing-masing. Selain itu, melalui
program pengabdian masyarakat atau kuliah kerja nyata (KKN) berupaya
melakukan pendampingan terhadap masyarakat di sekitar hutan.
Untuk menyelamatkan hutan yang tersisa di Propinsi Banten, bukan hanya menjadi
tanggung jawab Pemda semata, tetapi juga seluruh komponen masyarakat, seperti
lembaga pendidikan (dasar-menengah-tinggi), LSM, Ormas, Orsospol, pengusaha,
media massa, dan sebagainya. Pada tahun 1970-an di Propinsi Jawa Barat pernah
ada Gerakan Gandrung Tatangkalan (Rakgantang), alangkah baiknya jika di
Propinsi Banten dilaksanakan langkah serupa.
Setelah Kota Serang menjadi kota otonom, rencana induk pengembangan (RIP)
harus memperhatikan pengembangan hutan kota. Kota Serang perlu memiliki
ruang terbuka dan hijau (RTH) minimal 20 persen dari luas kota, kalau bisa dibuat
Kebun Raya Serang, sebagaimana Kebun Raya Bogor. Reboisasi dan penghijauan
harus dilakukan di seluruh wilayah Propinsi Banten, jika tidak maka Banten akan
mengalami desertikasi atau penggurunan. Seluruh masyarakat Banten tidak ada
yang mau kalau nanti harus tinggal di sebuah gurun yang bernama 'Gurun Banten'.
Salah satu hal yang sangat penting dan tidak pernah menjadi
perhitungan dalam Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah
hilangnya oksigen yang diproduksi oleh bebagai macam jenis flora di dalam
hutan melalui proses fotosintesis.
21
Photosynthesis
Photosynthesis produces all of the oxygen in the atmosphere. The
fundamental task of photosynthesis is to make it possible for cells to
convert carbon dioxide and water into carbohydrates with energy absorbed
from the sun. In green plants, chlorophyll molecules collect light energy
and funnel it to a reaction center.
A chemical can be part of a living thing at one moment and part of the non-living
environment a moment later. Chemicals move in and out of living organisms and are
used again and again. Some of the carbon atoms forming a protein molecule in your
arm may have once been a part of a chicken liver, the hide of a dinosaur, or even a
limestone formation. The kinds and amounts of chemicals in an ecosystem regulate
the activities of the plants and thus the animals in that system. Maybe you have some
atoms from Einstein or a redwood tree.
FOTOSINTESIS
dioksida dan air untuk menghasilkan gula dan oksigen yang diperlukan
sebagai makanannya. Energi untuk menjalankan proses ini berasal dari
fotosintesis. Perhatikan persamaan reaksi yang menghasilkan glukosa
berikut ini:
The framework for ERA is described in the Framework for Ecological Risk
Assessment. The framework consists of three phases (problem
formulation, analysis, and risk characterization) with analysis consisting of
the following two parts: characterization of exposure and characterization
of effects.
25
ECOSYSTEM CHARACTERISTICS
27
There are two major sets of challenges to the adoption and implementation of
EAF (The ecosystem approach to fisheries). The first set is rather familiar to all
fisheries managers as it is at the origin of the conventional management
failure. It relates to the adjustment of fishing capacity to the resources'
productivity and its implications in terms of use rights and resource allocation.
The problems and the potential solutions are well known and thoroughly dealt
with elsewhere in the literature. We shall not dwell on them here. The second
set is "new", at least to the fisheries arena, or has recently got a new and
higher level of priority in policy, the media and with a growing fraction of
society at large. It relates to ecosystem issues of key relevance to EAF such as:
(1) the characteristics of ecosystems, their complexity, structure, functioning,
natural variability and boundaries, and (2) their modification and degradation
by fisheries and other land- and sea-based economic activities. Both are further
elaborated below.
The systematic steps for performing Ecological Risk Assessment are applied to
an identified stressor. Here it is important to emphasise the iterative nature of
risk assessment in that results are updated periodically based on inclusion of
new data and/or monitoring information. Further, risk-reduction strategies are
developed from improved understanding of both the risks posed by specific
stressors and of the processes contributing to them. In this context Ecological
Risk Assessment plays an important role in best-practice natural resource
management based on adaptive management principles.
METHODOLOGICAL APPROACH
The trust of the study is the evaluation of ecological impacts of the proposed
DHPU as part of the augmentation of the existing refinery of BRPL. The expected
outcome of such an evaluation is the identification of ecological resources within
the area that could be at risk, prediction and evaluation of impacts that may occur
and the mitigation of ecological impacts through the incorporation of the
appropriate measures to avoid, ameliorate and compensate the associated
impacts of the project. Ecological assessment is thus aimed to provide a
scientifically defensible rational for decision-making and better environmental
management. The methodological approach adopted for this study conforms to
standard practices being adopted worldwide for ecological impact assessment. A
broad framework of procedures followed for this study is presented below.
31
Sumber: oldwww.wii.gov.in/eianew/eia/cas...atus.htm
Risk Calculation
The Curve Model
The curve model is used to describe the risk to wildlife that forage over the contaminated
site. The model is based off of grids or areas of sampling in the site map. If the organisms
are sessile, then the model reduces to the spatially distinct risk quotient calculation.
Freshman and Menzie (1996) present the entire derivation and an adapted step by step
progression is presented below. It is recommended that the calculations be conducted using
a computer spreadsheet and a linked graph.
a) Plot the first data point as the highest environmental concentration for a site (c1)
by its associated area (a1).
b) Plot the next data point as the average concentration for the two highest
contaminated areas (c1 + c2)/2 versus the associated area (a1 + a2).
c) Plot additional data points by progressively including lesser contaminated areas
until the entire site is included.
d) Add to the graph horizontal lines that represent the ECx values appropriate for
the particular land use and the species involved.
e) Plot the foraging area of the organism as a vertical line.
f) Compare the intersection of the area line to the line representing the average
environmental concentration. If this intersection is below the horizontal line
representing the ECx , then the risk is low. If the intersection is above the ECx
line, then the risk is above the cut-off limit for effects.
Curve Exposure Model. Site 1 exceeds the EC20. Site 2, with a slightly
different average concentration curve is now below the EC20 when it
crosses the size of the foraging area.
Sumber: www.env.gov.bc.ca/epd/remediatio...ter8.htm
An additional use of this approach is that it can be used to estimate clean up goals. A
clean up would ensure that the intersection of the concentration curve is below the
ECx value for the proposed land use. As sites or concentrations are proposed for
33
clean-up, the model can be computed to examine the intersection of the foraging area
with the ECx value. Decisions can then be made to clean up sites with a few very
contaminated areas versus sites that are not as contaminated by are of a larger
surface area.
Risk Characterization
Describe the interpretation of the data and analysis. If a risk quotient suggests
that there might be risk to a receptor of concern (RQ>1), but that receptor is
observed on-site without obvious signs of toxicant-induced stress (or the
bioassay data suggest that it can survive in 100% site soil or water), give
preference to the observed effects over the RQ estimation in your conclusion of
risk. Include, at a minimum, a discussion of the following questions:
a) Which species are most likely to be at risk?
b) For which portion of a year is risk likely to occur?
c) Is the risk even over the entire area or are there "hot spots" of high risk?
d) How do the pollutants move from the site of release to the plants or
animals of concern (surface water run-off, groundwater movement,
foodchain uptake from soil, etc.)?
e) What is known about the ecology or biology of a species that appears to be
at risk that may mitigate this risk?
f) What is known about the ecology, biology or behavior of the species that
appears to be at risk that may enhance this risk?
g) Are some of the life stages of the organism put at more risk than others?
h) Should some of the species be of more concern because they create
habitat or are a food source for a critical species of concern?
i) Where are data lacking for making an adequate risk estimation?
Uncertainty Estimate
Uncertainty exits in every risk estimation, due to natural variability in
environmental processes, sampling methods, and analytical techniques. The
following items must be included in the risk assessment report:
2. analytical precision
intends to help Superfund risk managers from all regions make consistent
ecological risk management decisions based on sound science, and to
communicate site risks to the public. It provides risk managers with six
principles to consider when making ecological risk management decisions.
The guidance specifically declares that all ERAs should be performed
according to the eight-step process described in Ecological Risk
Assessment Guidance for Superfund: Process for Designing and
Conducting Ecological Risk Assessments and summarized above.
The Risk Management Principles supplement the ERA guidance
and will help remedial project managers and on-scene coordinators in
planning ERAs of appropriate scope and complexity and in identifying
response alternatives that are protective of the environment. By adhering to
these principles, risk managers will be able to present a clear rationale for
their ecological risk management actions as presented to the public in the
proposed plan and the Record of Decision steps of the Superfund response
process. In addition, the guidance provides a question and answer section
to help guide risk managers and assessors through the eight-step ERA
process.
The guidance asks risk mangers to adhere to the six principles
summarized below when scoping ecological risk assessments and when
making ecological risk management decisions.
Risk Communication
The information generated during this risk assessment should be compiled
into a report. Include all the worksheets from this guide and all maps,
photos, and other attachments that were requested. The final section of the
report should summarize the risk assessment by clearly stating the current
and proposed use of the site, the ecological setting, the plant and animal
species of concern, and the probable risk from all current or potential
contaminants. Discussion of potential management or remediation
alternatives is optional.
An action plan for implementing the framework, calls for a more accurate inventory of
EC's sites, a funding protocol and a thorough comprehension of the roles and
responsibilities of the people involved in the process. This TAB outlines the main
components of the CSRF.
The basic components of CSRF are similar to the following six phases of the National
Guideline for Decommissioning Industrial Sites (CCME/WM-TRE013E, March 1991) which
is applicable to contaminated sites in general.
Phase I Site Information Assessment.
Phase II Reconnaissance Testing Program.
Phase III Detailed Testing Program.
Phase IV Development of Remediation Plan.
Phase V Implementation of the Site Remediation Plan.
Phase VI Confirmatory Sampling and Completion of Report.
1. Phase I. Site Information Assessment
The purpose of Phase I is to gather available information about a site, and then
conduct a historical review of activities in order to evaluate the site for
contamination. The following sources of historical information (not exhaustive) can
be consulted:
a. Published reports (e.g. geological reports, ground water reports, soil surveys).
b. Topographical, soil and flood plain maps.
c. Discussions with informed people.
d. Aerial photos and historical maps to locate landfills, waste sites, dumps, fuel
storage tanks, etc.
e. Past/present operations on the site, and/or on the adjacent property, etc.
f. Archived Information.
Note: To ensure regulatory agreement and determine the need for public participation, the
appropriate regulatory agency should be consulted at this stage, on proposed future actions.
After the site is restored, there is need for long term monitoring to determine the
effectiveness of the remediation/risk management plan. A completion report is prepared
for submission to the appropriate regulatory agency.
RBCA is an alternative method for determining the extent and urgency of problems at
contaminated sites and for identifying necessary and appropriate corrective action. RBCA is
efficient and less expensive for the following reasons:
a. It minimizes and/or eliminates the expense of adopting site specific plans and
applying similar inspection and reporting standards to all sites. This is achieved on
the one hand by limiting site specific plans to high-risk sites and on the other hand
by establishing generic goals, criteria and initial response that are applicable to low
risk sites. Most sites are considered as low-risk, thus the need for constant
supervision by regulators and the frequency and content of reporting by owners
and operators are reduced or eliminated.
b. The five stages of RBCA are not arbitrarily applied to every site. Two initial stages
are used at the onset and the others are applied only when necessary.
It has been demonstrated that RBCA is a scientifically sound and effective way of restoring a
large number of sites which require immediate action.
Sumber: www.on.ec.gc.ca/pollution/ecnpd/...4-e.html.
Contaminated Sites Remediation Framework
Phased Approach to Contaminated Site Management
41
PHASED APPROACH
Sumber: contamsites.landcareresearch.co.nz/risk_asses...
42
the air and the oceans to retain additional radiation and release it over time as
heat (The Challenges for Tomorrow, J. V. Siry, Nov 14, 2005 ).
Pemanasan global telah terjadi semenjak abad 20, mulai dari awal
revolosi industri di negara-negara eropa, pemanasan global memberikan
dampak terhadap perubahan iklim global sebagai akibat dari efek rumah
kaca dan pemenuhan emisi gas CO2 di udara yang dapat mengakibatkan
perubahan kondisi suhu golobal dan mempengaruhi kondisi siklus
metereologi dan geologi, yang mengakibatakan bencana alam dimana
kondisi terjadinya bencana memiliki hubungan dengan pemanasan global
dan kenaikan muka air laut oleh karena adanya penambahan masa air laut
akibat pencairan es di kutub yang ditimbulkan setiap tahunnya, terjadinya
El Nino, banjir akibat faktor cuaca yang tidak menentu dan sering juga
berbarengan dengan bencana longsor, badai tropis, dan badai siklon.
Risiko bencana yang dapat ditimbulkan berupa hilangnya keberfungsiaan
masyarakat, korban, kerugian material, kerusakan fisik dan kerusakan
lingkungan. Dalam dua dekade ini telah terjadi pertumbuhan penduduk di
dunia yang sangat pesat, kebutuhan akan pemenuhan hidupnya
mengakibatkan bertambahnya pasokan emisi gas dan efek rumah kaca di
bumi yang tidak seimbang dengan daya tampung wilayahnya, kondisi ini
akan terjadi dari tahun ke tahun yang menjadi permasalahan serius bagi
dunia sebagai dampak perubahan iklim. Bencana ekologis akan terjadi
apabila keseimbangan antara makluk hidup dan tempat tinggalnya tidak
terpenuhi, sehingga menjadi suatu ancaman (hazard) yang dapat
mengakibatkan risiko bencana apabila ada kerentanan (vulnerability) di
dalam suatu lingkungan masyarakat dalam menerima ancaman. Selain itu
juga pemanasan global terjadi akibat dari kegiatan ekploitasi secara besar-
besaran terhadap sumberdaya alam yang menjadi bagian dari siklus
keseimbangan alam.
jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca,
sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan
tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih
banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar,
di mana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air).
Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata,
sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di
seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir
ini). Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap
dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari
sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang
berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari
penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang
terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca
menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.
banjir, longsor, erupsi gunungapi, kekeringan dan lainnya, hal ini harus
menjadi suatu pemikiran bersama dalam mengatasinya dan menyelesaikan
permasalahan ini. Bencana yang selalu terjadi silih berganti tanpa
mengenal waktu dan wilayah, kondisi alam yang tidak seimbang dan
perubahan siklus iklim yang tedak sesuai mengakibatkan bencana tidak
dapat diprediksi secara pasti, hilangnya keseimbangan lingkungan akibat
kerusakan alam yang tidak stabil menjadi sesuatu yang harus diatasi oleh
semua pihak yang ada. Bencana menjadi semakin meluas di mana-mana
sehingga pentingnya tindakan yang dilakukan secara konprehensif untuk
mengurangi risiko bencana dan risiko perubahan iklim. Manajemen
bencana dan rencana aksi pengurangan risiko bencana antara lain
(1) mitigasi;
(2) manajemen kesiapsiagaan dan manajemen krisis;
(3) kedaruratan (emergency response); dan
(4) pemulihan dan rencana aksi.
RI = Hazard x Vulnerability/Capacity
DAFTAR PUSTAKA