Вы находитесь на странице: 1из 22

BAB II

LANDASAN TEORITIS

II.1 Pengertian Prestasi Belajar

Sebelum membicarakan pengertian prestasi belajar, terlebih dahulu kita harus

mengetahui apa yang dimaksud dengan belajar. Para pakar pendidikan mengemukakan

pengertian yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Menurut Slameto (2003:2)

“Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu

perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya

sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. Selanjutnya Gagne (dalam Slameto,

2003:13) mengemukakan: “belajar ialah suatu proses untuk memperoleh motivasi

dalam pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, dan tingkah laku”.

Dalam kegiatan belajar, siswa juga dituntut memiliki perubahan-perubahan

pada dirinya sebagai hasil pengalaman, latihan atau instruksinya, baik perubahan

kuantitatif maupun perubahan kualitatif. Sejauh mana pada diri individu terdapat

perubahan, hal inilah yang dimaksud dengan prestasi.

Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek yakni:

kognitif, affektif dan psikomotor, sebaliknya dikatakan prestasi kurang memuaskan

jika seseorang belum mampu memenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut. Winkel

(dalam Sunartombs, 2009) mengemukakan: “Prestasi belajar siswa adalah suatu

bukti keberhasilan atau kemampuan seseorang siswa dalam usaha melakukan

kegiatan belajarnya sesuai bobot yang dicapainya”

Dari kutipan tersebut di atas dapat dirumuskan bahwa prestasi belajar siswa adalah

hasil yang dicapai seorang siswa dalam menguasai materi ataupun tujuan pengajaran yang

telah dipelajarinya dan dinyatakan dengan skor (nilai). Pengukuran akan pencapaian

10
11

prestasi hasil belajar siswa dalam lembaga pendidikan formal telah ditetapkan untuk

jangka waktu tertentu yang bersifat periodik misalnya per semester.

Para pendidik diwajibkan untuk mengukur prestasi belajar dari setiap

siswanya melalui evaluasi dengan berbagai bentuk, teknik ataupun cara yang

dipergunakan oleh guru. Hasil yang dicapai oleh seseorang siswa tersebut selanjutnya

akan menentukan kedudukan dan keberhasilannya, baik itu memperoleh prestasi yang

tinggi atau rendah.

II.2 Karakteristik dan Hakikat Matematika

II.2.1. Karakteristik Matematika

Matematika sebagai salah satu ilmu dasar, dewasa ini telah berkembang pesat

baik meteri maupun kegunaannya. Russel (dalam Hamzah dan Kuadrat, 2009:108)

mendefinisikan bahwa matematika sebagai suatu studi yang pengkajiannya dimulai

dari bagian-bagian yang sangat dikenal menuju arah yang tidak dikenal. Arah yang

dikenal itu tersusun baik (konstruktif) secara bertahap manuju arak yang rumit

(kompleks) dari bilangan bulat ke bilangan pecah, bilangan riil ke bilangan

kompleks, dari penjumlahan dan perkalian ke diferensial dan integral, dan menuju

matematika yang lebih tinggi.

Istilah Mathematics (Inggris), Mathematik (Jerman), Mathematique

(Perancis), Matematico (Italia), Matematiceski (Rusia), atau Mathematick/Wiskunde

(Belanda), mulanya diambil dari bahasa Yunani, Mathematike yang berarti relating

atau learning. Perkataan ini mempunyai akar kata Mathema yang berarti pengetahuan

atau ilmu (knowledge, science). Kata Mathematike berhubungan erat dengan sebuah

kata lainnya yang serupa, yaitu Mathanein yang mengandung arti belajar/berpikir

(Suherman, dkk., dalam wahyuni, 2012:9).


12

Dalam hal belajar mengajar matematika, maka kita perlu mengetahui

karakteristik matematika. Hudoyo (dalam Dewiratih, 2010:11) berpendapat bahwa

matematika berkenaan dengan ide-ide (gagasan-gagasan), struktur dan berhubungan

dengan konsep abstrak. Abstrak dapat diartikan sebgai suatu yang tak berwujud atau

hanya gambaran pikiran. Oleh sebab itu, maka didalam menjelaskan materi pelajaran

matematika perlu menggunakan benda-benda yang bersifat konkret.

Karena matematika memiliki objek kajian yang abstrak maka penguasaan

konsep dasar harus benar-benar diketahui. Hal ini disebabkan karena materi

matematika disusun secara hierarkis. Menurut pendapat Uno (2008:125) bahwa:

Matematika bersifat hierarkis yaitu suatu materi merupakan prasyarat untuk

mempelajari materi berikutnya. Untuk mempelajari materi hendaknya berprinsip

pada:

(1) Materi matematika disusun menurut urutan tertentu atau tiap topik

matematika berdasarkan subtopik tertentu;

(2) Seseorang dapat memahami suatu topik matematika jika ia telah memahami

subtopik pendukung atau prasyaratnya;

(3) Perbedaan kemampuan antar siswa dalam mempelajari atau memahami suatu

topik matematika dan dalam menyelesaikan masalahnya ditentukan oleh

perbedaan penguasaan subtopik prasyarat;

(4) penguasaan topik baru oleh seseorang siswa tergantung pada penguasaan

topik sebelumnya.

Pendapat Uno di atas, menekankan bahwa materi matematika merupakan satu

kesatuan. Sehingga untuk mempelajari materi berikutnya maka kita harus memahami

terlebih dahulu materi sebelumnya. Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan
13

bahwa karakteristik matematika yang dimaksud adalah memiliki objek kajiannya

besifat abstrak, materi disusun secara hierarkis, dengan cara penalaran yang bersifat

deduktif.

Sehingga yang perlu diperhatikan ketika mengajarkan matematika kepada

siswa khususnya di tingkat menengah pertama adalah kemampuan berpikir dan

bernalar siswa. Kemampuan berpikir dan bernalar siswa akan lebih cepat jika siswa

belajar melalui temannya dalam kelompok-kelompok kecil serta pemahaman konsep

yang baik, agar nantinya dapat mengerjakan soal-soal yang diminta dengan baik

sesuai dengan model pembelajaran yang digunakan.

II.2.2. Hakikat Matematika

Menurut pendapat Muslim (2011:3) bahwa matematika dikenal sebagai ilmu

deduktif, karena proses mencari kebenaran (generalisasi) dalam matematika berbeda

dengan ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan yang lain. Metode pencarian

kebenaran yang digunakan adalah metode deduktif, tidak dapat dengan cara induktif.

Pola pikir deduktif merupakan pola pemikiran yang berpangkal dari hal yang bersifat

umum kemudian diterapkan atau diarahkan menuju hal yang bersifat khusus.

Selain penalaran deduktif-induktif matematika juga memiliki penalaran

deduktif-aksiomatik (Edward M.Anthony dalam Supriyatno, 2009: 1-2). Pola pikir

deduktif-aksiomatik didasarkan pada prinsip deduktif yang dimulai dari sesuatu yang

umum menuju ke hal-hal khusus dan aksiomatik yang menekankan pada sistem

hierarkhis, urutan konsep matematika, yaitu dimulai dari pengetahuan pangkal,

konsep, aksioma (pernyataan yang diterima tanpa dibuktikan), dan teorema-teorema,

lemma atau corrolary (pernyataan yang harus dibuktikan).


14

Matematika yang bersifat deduktif aksiomatik dan berangkat dari hal-hal

yang abstrak, cenderung sulit diterima dan dipahami oleh siswa sehingga

mengakibatkan daya tarik siswa terhadap pelajaran matematika cukup rendah. Oleh

karena itu, penyajian materi perlu mendapat perhatian guru, dan hendaknya dalam

pembelajaran di sekolah guru memilih dan menggunakan strategi pendekatan,

metode dan teknik yang banyak melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik mental,

fisik, maupun sosial.

Menurut Slameto (dalam Suyanti, 2011:13) bahwa belajar adalah suatu

proses perubahan tingkah laku yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu

perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengamalan

individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Jadi belajar matematika

merupakan suatu perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai hasil dari

latihan atau pengalaman karena dalam belajar matematika penalarannya deduktif

yang berkenaan dengan ide-ide, konsep-konsep, simbol-simbol yang abstrak dan

tersusun secara hirarkis serta bersifat aksiomatis, sehingga matematika merupakan

kegiatan mental yang tinggi.

Mempelajari materi matematika tidak cukup hanya dipelajari dengan

membaca saja. Suatu fenomena, dalil, aksioma ataupun definisi untuk dapat

memahaminya memerlukan waktu dan ketekunan serta bimbingan.

II.3. Model Problem Based Learning (PBL) dalam Pembelajaran Matematika

1. Pengertian PBL

Banyak kritik yang ditunjukkan pada cara guru mengajar yang terlalu

menekankan penguasaan sejumlah informasi atau konsep belaka. Penumpukan

informasi atau konsep pada siswa dapat saja kurang bermanfaat bahkan tidak
15

bermanfaat sama sekali kalau hal itu hanya dikomunikasikan oleh guru kepada siswa

melalui satu arah seperti menuang air kedalam gelas (Rampengan dalam Trianto,

2010:89).

Kenyataan dilapangan siswa hanya menghafal konsep dan kurang mampu

menggunakan konsep tersebut jika menemui masalah dalam kehidupan nyata. Lebih

jauh lagi siswa bahkan kurang mampu menentukan masalah dan merumuskannya.

Bebicara mengenai PBM yang sering membuat kita kecewa, apalagi dikaitkan

dengan pemahaman siswa terhadap materi ajar. Walaupun demikian kita menyadari

bahwa ada siswa yang mampu memiliki tingkat hafalan yang baik terhadap materi

yang diterimanya, namun kenyataan dilapangan mereka kurang memahami dan

mengerti secara mendalam pengetahuan yang bersifat hafalan tersebut (Depdiknas

2005:11).

Depdiknas (2005:11), menyebutkan bahwa filosofi ekstensialisme pendidikan

harus menyebutkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin

melalui fasilitas proses pendidikan yang bermartabat, pro-peubah (kreatif, inivatif

dan eksperimentatif). Guru juga harus bersikap akomodatif terhadap perubahan

sebagai wujud kreatifitas, inovasi dan hasil eksperimen peserta didik, mungkin saja

dilakukan atas inisiatifnya sendiri.

Suatu disebut masalah jika seseorang menginginkan sesuatu dari padanya

tetapi belum tahu bagaiman cara mendapatkannya. Dengan demikian masalah

berkaitan dengan usaha mendapatkan sesuatu. Menurut Menurut Fogarty (1997:243)

adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada siswa

dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured atau open ended melalui

stimulus dalam belajar. Selain itu siswa juga dituntut untuk berpikir kritis dengan
16

memanfaatkan alam sekitar sebagai panduan atau contoh nyata dalam memecahkan

masalah yang telah diberikan. Hal ini sesuai dengan pengertian PBL yang

dikemukakan oleh Nurhadi (dalam Pranata, 2009:15) bahwa PBL adalah suatu model

pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi

siswa untuk belajar tentang cara berpikir dan keterampilan memecahkan masalah

serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari mata pelajaran.

2. Ciri-ciri PBL

Menurut Arends (2001:349) model pembelajaran PBL memiliki ciri-ciri

sebagai berikut: a) Pengajuan pertanyaan atau masalah; b) berfokus pada keterkaitan

antar disiplin; c) penyelidikan autentik; d) menghasilkan produk dan

memamerkannya; dan e) kolaborasi.

Boud dan Fellti (dalam Rusman, 2010:230) mengemukakan bahwa

pembelajaran PBL adalah inovasi yang paling signifikan dalam pendidikan.

Margetson (dalam Rusman, 2010:231) mengemukakan bahwa kurikulum PBL

membantu untuk meningkatkan perkembangan keterampilan belajar sepanjang hayat

dalam pola pikir yang terbuka, reflektif, kritis dan belajar aktif. PBL memfasilitasi

keberhasilan memecahkan masalah, komunikasi, kerja kelompok dan keterampilan

interpersonal dengan lebih baik dibanding pendekatan yang lain. Dengan kata lain,

masalah dapat mendorong keseriusan, inquiry, dan berpikir dengan cara yang

bermakna dan sangat kuat (powerful).

3. Tujuan Pengajaran PBL

Menurut Trianto (2010:94) Model Pembelajaran PBL memiliki tujuan:

(a) Membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir dan keterampilan;

(b) Pemecahan masalah;


17

(c) Belajar peranan dewasa yang autentik yang dapat diimplementasikan dengan

mendorong kerjasama dalam menyelesaikan tugas dan melibatkan siswa

dalam penyelidikan pilihan sendiri, sehingga memungkinkan mereka

menginterpretasikan dan menjelaskan fenomena dunia nyata dan membangun

pemahaman terhadap fenomena tersebut secara mandiri;

(d) Menjadi pembelajar yang mandiri.

4. Manfaat Pengajaran PBL

PBL tidak dirancang untuk membAntu guru memberikan informasi

sebanyak-banyaknya kepada siswa. Pengajran PBL dikembangkan untuk membantu

siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan

intelektual; belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam

pengalaman nyata atau simulasi; dan menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri

(Ibrahim dan Nur, 2000:7).

5. Tahapan Pemecahan Masalah PBL

Jika dihubungkan dengan belajar pemecahan masalah maka pada waktu

seseorang ingin menyelesaikan suatu masalah ia tidak mempunyai gambaran atau

tahapan tentang penyelesaiannya. Tokoh dari metode pemecahan masalah Polya

(dalam Suherman dan Winataputra, 1992/1993:253) menyatakan bahwa suatu

persoalan atau soal matematika akan menjadi masalah bagi seorang anak jika:

a) Mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan ditinjau dari segi kematangan

mental dan ilmunya;

b) Belum mempunyai alogaritma atau prosedur untuk menyelesaikannya dan

berlainan yang sebarang letaknya; dan

c) Berkeinginan untuk menyelesaikannya.


18

Menurut Reif dan Heller (dalam Pranata, 2009:20) terdapat 5 tahapan

pemecahan masalah untuk membantu siswa memahami yaitu:

(1) Visualisasi masalah, yaitu tahapan translasi pernyataan masalah ke dalam

sebuah bentuk pemahaman visual (gambar) dan perihal dari situasi masalah;

(2) Deskripsi konsep, yaitu pemahaman kualitatif dari konsep dan prinsip-prinsip

untuk menganalisis masalah dalam istilah matematika;

(3) Rencana penyelesaian, yaitu tahapan ini mengajak siswa untuk memikirkan

sebuah penyelesaian yang telah didapatkannya dari materi dan konsep yang

dipelajari;

(4) Melaksanakan perencanaan dan evaluasi, yaitu tahapan ini siswa mulai

membuat apa yang mereka rancang sesuai dengan penyelesaian masalah yang

mereka kaji dan pemberian nilai hasil pemahaman;

(5) Meneliti dan mengulang kembali, tahapan ini dilakukan apabila siswa

tersebut belum mengerti atau belum mencapai standar.

Langkah-langkah yang akan dilalui oleh siswa dalam proses PBL adalah:

(1) Menemukan masalah, yaitu siswa dapat menentukan atau menangkap

kesenjangan yang terjadi dari berbagai fenomena yang ada;

(2) Mendefinisikan masalah, yaitu siswa dapat menentukan prioritas masalah

dengan memanfaatkan pengetahuannya unuk mengkaji dan menganalisis

masalah sehingga pada akhirnya muncul rumusan masalah yang jelas dan

dapat dipecahkan;

(3) Merumuskan hipotesis, yaitu langkah siswa merumuskan berbagai

kemungkinan pemecahan masalah sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki;


19

(4) Mengumpulkan data, yaitu kecakapan siswa untuk mengumpulkan dan

memilah data yang relevan kemudian memetakan dan mengkajinya dalam

berbagai tampilan sehingga mudah dipahami;

(5) Menguji hipotesis, yaitu kecakapan menelaah data dan sekaligus

membahasnya untuk melihat hubungan dengan masalah yang dikaji serta

diharapkan siswa dapat mengambil keputusan dan kesimpulan;

(6) Menyuguhkan alternatif penyelesaian, yaitu kecakapan memilih alternatif

yang dipilihnya, termasuk memperhitungkan akibat yang akan terjadi pada

setiap pilihan.

Setiap langkah PBL yang benar akan diberikan skor dengan deskripsi seperti

yang tersaji pada Tabel 02.

Tabel 01. Skor Setiap Indikator Kemampuan Pemecahan Masalah

(Dimodifikasi dari Radiani, 2012:24)


20

Contoh penerapan PBL yaitu:

Soal 1:

Keliling suatu persegi panjang = 48 cm dan lebarnya = 10 cm.

Hitunglah Panjang dan Luas persegi panjang tersebut.

Pemecahan Masalah

1. Visualisasi Masalah

Tabel 02. Visualisasi Masalah Soal 1

Indikator Rentang Skor

Diketahui: 0 sampai 5
21

Tabel 03. Deskripsi Konsep Soal 1

3. Rencana Penyelesaian

Tabel 04. Rencana Penyelesaian Soal 1

Indikator Rentang Skor

a. Konsep: 0 sampai 5

 Mengetahui rumus mencari keliling suatu persegi

panjang yaitu K = 2p + 2l
22

 Mengetahui rumus mencari luas persegi panjang

yaitu L = pxl

b. Langkah yang akan ditempuh:

 Menghitung keliling persegi panjang ABCD

 Menghitung luas persegi panjang ABCD

4. Pelaksanaan Penyelesaian Masalah

Tabel 06. Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Soal 1

Indikator Rentang Skor

Panjang persegi panjang ABCD adalah 0 sampai 10

Jika keliling = K=48 cm dan lebar = l = 10 cm, maka:

K= 2p + 2l

48 cm = 2p + 2 x 10 cm

48 cm = 2p + 20 cm

2p= 28 cm

p= 14 cm

Jadi panjang persegi panjang ABCD adalah 14 cm

 Berapa luas persegi panjang ABCD adalah

Luas =pxl

= 14 cm x 10 cm

= 140 cm2

Jadi luas persegi panjang ABCD adalah 140 cm2


23

5. Meneliti dan Pemeriksaan Kembali Soal 1

Tabel 06. Meneliti dan Pemeriksaan Kembali

Indikator Rentang Skor

Memeriksa kembali setiap langkah atau perhitungan yaitu: 0 sampai 5

- keliling = K=48 cm dan lebar = l = 10 cm, maka:

K= 2p + 2l

48 cm = 2p + 2 x 10 cm

48 cm = 2p + 20 cm

2p= 28 cm

p= 14 cm

Jadi panjang persegi panjang ABCD adalah 14 cm (benar)

- Berapa luas persegi panjang ABCD adalah

Luas = p x l

= 14 cm x 10 cm

= 140 cm2

Jadi luas persegi panjang ABCD adalah 140 cm2 (benar)

Soal 2:

Keliling suatu persegi panjang adalah 72 cm dan lebarnya 8 cm kurang

dari panjangnya. Hitunglah panjang dan lebarnya!

Pemecahan Masalah

1. Visualisasi Masalah

Tabel 07. Visualisasi Masalah Soal 2

Indikator Rentang Skor

a. Diketahui: 0 sampai 5
24

Keliling persegi panjang = 72 cm

Lebar persegi panjang = p - 8 cm

b. Ditanya:

Panjang dan lebarnya?

2. Deskripsi Konsep

Tabel 08. Deskripsi Konsep Soal 2

Indikator Rentang Skor

a. Untuk menghitung panjang dan lebar dari persegi 0 sampai 5

panjang diperlukan konsep menghitung keliling persegi

panjang dan menghitung lebar persegi panjang

b. Dengan menggunakan dalil/rumus:

K = 2 (p + l)

l = p – 8 cm

3. Rencana Penyelesaian

Tabel 10. Rencana Penyelesaian Soal 2

Indikator Rentang Skor

a. Konsep: 0 sampai 10

Menghitung keliling persegi panjang dan lebarnya

a. Langkah yang akan ditempuh:

 Menghitung keliling persegi panjang

 Menghitung lebar persegi panjang


25

4. Pelaksanaan Penyelesaian Masalah

Tabel 10. Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Soal 2

Indikator Rentang Skor

a. K = 2 (p + l)l= p – 8 cm 0 sampai 15

72 cm = 2 (p + p – 8 cm)= 22 cm – 8 cm

72 cm = 2 (2p – 8 cm)l = 14 cm

72 cm = 4p – 16 cm

-4p = -16 cm – 72 cm

−88
p=
−4

p = 22 cm

b. Jadi, panjang persegi panjang tersebut adalah

22 cm Dan lebarnya adalah 14 cm

5. Meneliti dan Memeriksa Kembali

Tabel 11. Meneliti dan Memeriksa Kembali Soal 2

Indikator Rentang Skor

a. Memeriksa kembali setiap langkah atau perhitungan 0 sampai 5

yaitu:

K = 2 (p + l)

72 cm = 2(22 cm + 14 cm)

72 cm = 236 cm

72 cm = 72 cm (benar)
26

II.4 Bangun Datar Segiempat

Sabandar (2009:111) menyebutkan beberapa jenis bangun yang

tergolong sebagai bagun datar segiempat, antara lain persegi panjang, persegi,

jajar genjang, belah ketupat, layang-layang, dantrapesium.

1. Persegi Panjang

Persegi panjang adalah bangun datar yang sisi-sisi berhadapan sama

panjang dan keempat sudutnya siku-siku (Nuharini, dkk., 2008:250). Dengan

memperhatikan Gambar 01 dibawah ini, maka dapat diketahui sifat-sifat dari

persegi panjang adalah sebagai berikut: (1) mempunyai empat sisi, terdiri atas

dua pasang sisi yang berhadapan sama dan sejajar., yaitu AB sama dan sejajar

serta AD sama dan sejajar BC ; (2) keempat sudutnya sama besar yaitu 900;

(3) mempunyai dua diagonal sama panjang, yaitu AC dan BD .

Gambar 01. Persegi Panjang ABCD

2. Persegi

Persegi adalah bangun datar yang dibatasi oleh empat ruas garis yang

sama panjang dan keempat sudutnya sama besar dan siku-siku (Nuharini,

dkk.,2008:256). Dengan memperhatikan Gambar 02 dibawah ini, maka dapat

diketahui sifat-sifat dari persegi yaitu: (1) mempunyai empat sisi sisi yang

sama panjang; (2) keempat sudutnya sama besar yaitu 900; (3) mempunyai

dua diagonal sama panjang, yaitu AC dan BD .


27

(1) memiliki 4 sisi sama panjang; (2) memiliki 4 sudut, dua sudut yang

berhadapan sama besar, yaituDAB =DCB danABC =ADC ; (3)

diagonal-diagonalnya saling membagi dua sama panjang dan tegak

lurus, yaitu AC tegak lurus DB .

3. Jajargenjang

Jajargenjang adalah bangun datar segiempat dengan sisi-sisinya yang

berhadapan sejajar dan sama panjang (Nuharini, dkk., 2008:260). Dengan

memperhatikan Gambar 03 dibawah ini, maka dapat diketahui sifat-sifat

dari jajargenjang adalah sebagai berikut: (1) sisi yang berhadapan sejajar

dan sama panjang, yaitu KL sejajar NM dan KN sejajar LM ; (2) sudut

yang berhadapan sama besar, yaituKLM =KNM danNKL =LMN ; (3)

keempat sudutnya tidak siku-siku; (4) jumlah sudut-sudut yang

berdekatan adalah 1800, yaitu

KLM + LMN = 1800 danMNK + NKL = 1800

5. Layang-layang

Layang-layang merupakan bangun datar yang dibentuk dari gabungan dua

segitiga sama kaki yang panjang alasnya sama (Nuharini, dkk., 2008:269).

Dengan memperhatikan Gambar 05 dibawah ini, maka diketahui bahwa BDC

simetris dengan BDA sehingga BD = BD. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa layang-layang merupakan bangun datar yang dibentuk

dari gabungan dua segitiga sama kaki yang panjang alasnya sama. Adapun
28

sifat-sifat bangun layang-layang adalah sebagai berikut: (1) memiliki dua

pasang sisi yang sama panjang, yaitu AB dan AD . CB dan CD ; (2) memiliki

memiliki dua sudut berhadapan sama besar, yaitu ABC dan ADC ; (3)

memiliki dua diagonal yang saling berpotongan tegak lurus.

6. Trapesium

Trapesium adalah bangun datar segiempat dengan dua buah sisinya yang

berhadapan sejajar (Nuharini, dkk., 2008:273). Dengan memperhatikan

Gambar 06 di bawah ini, maka dapat diketahui sifat-sifat trapesium, yaitu:

(1) memiliki empat sisi; (2) memiliki empat sudut; (3) memiliki sepasang sisi

sejajar; dan (4) jumlah keempat sudutnya adalah 3600.

Terdapat beberapa jenis-jenis trapesium, diantaranya:

a. Trapesium Sebarang

Adapun sifat-sifat dari trapesium sebarang yaitu: (1) mempunyai sepasang


29

sisi sejajar yaitu AB // DC ; (2) keempat sisinya tidak sama panjang, yaitu AB

BC CDDA. Di bawah ini adalah contoh gambar trapesium sebarang.

b. Trapesium Sama kaki

Adapun sifat-sifat dari trapesium sama kaki yaitu: (1) mempunyai sepasang

sisi sejajar dan tidak sama panjang, yaitu AB // DC ; (2) memiliki sepasang

sisi yang sama panjang, yaitu AD = BC; (3) memiliki dua pasang sudut yang

sama besar, yaituDAB = ABD sertaADC = BCD . Di bawah ini adalah

contoh gambar trapesium sama kaki.

c. Trapesium Siku-siku

Adapun sifat-sifat trapesium siku-siku yaitu: (1) mempunyai sepasang sisi

sejajar dan tidak sama panjang, yaitu AB // DC ; (2) mempunyai dua buah

sudut siku-siku, yaituDAB = CDA = 900. Di bawah ini adalah contoh gambar

trapesium siku-siku.
30

Gambar 09. Trapesium Siku-siku ABCD

II.5 Penerapan Model PBL dalam Pembelajaran Bangun Datar Segiempat

Contoh penerapan model PBL dalam Pembelajaran Bangun Datar Segiempat

untuk kelas VII.3 MTsN Model Gandapura dapat dilihat sebagai berikut.

Standar Kompetensi:

Memahami konsep segiempat dan segitiga serta menentukan ukurannya

Kompetensi Dasar:

Menghitung keliling dan luas bangun segitiga dan segi empat serta

menggunakannya dalam pemecahan masalah

Indikator:

1. Menghitung keliling persegi panjang

2. Menghitung luas persegi panjang

Dari penerapan model pembelajaran PBL di atas suasana dalam proses

pembelajaran berpusat pada siswa yang dihadapkan pada suatu masalah yang

harus dipecahkan atau dicari pemecahannya oleh siswa sesuai dengan

langkah- langkah PBL yang diminta. Masalah yang diberikan tersebut

mengacu pada suatu implementasi pada kehidupan nyata dan diharapkan

dapat menimbulkan motivasi dari siswa yang bersifat inovatif sehingga


31

proses belajar mengajar dikelas menjadi kondusif yang nantinya akan

berpengaruh pada peningkatan aktivitas dan prestasi belajar siswa.

Вам также может понравиться