Вы находитесь на странице: 1из 5

Konsep Mutu dalam Pelayanan Kesehatan

KEPUASAN pasien merupakan hal yang sangat penting dalam menilai mutu
pelayanan kesehatan. Ada dua faktor utama yang mempengaruhi mutu
pelayanan kesehatan, yaitu pelayanan yang diharapkan (expected services),
dan pelayanan yang dirasakan (perceived services). Jika harapannya
terlampaui maka pelayanan tersebut dirasakan sebagai mutu pelayanan yang
ideal dan sangat memuaskan. Jika harapan sesuai dengan pelayanan yang
diterima maka mutu pelayanannya memuaskan, dan jika harapannya tidak
terpenuhi pada pelayanan yang diterima maka mutu pelayanan tersebut
dianggap kurang memuaskan.
Penilaian mutu pelayanan kesehatan dapat ditinjau dari beberapa sisi, yaitu
sisi pemakai jasa pelayanan kesehatan dan penyelenggara pelayanan
kesehatan. Dari sisi pemakai, pelayanan kesehatan yang bermutu adalah
suatu pelayanan kesehatan yang dapat memenuhi kebutuhan,
diselenggarakan dengan cara yang sopan dan santun, tepat waktu, tanggap
dan mampu menyembuhkan keluhannya serta mencegah berkembang atau
meluasnya penyakit. Masyarakat menganggap kemudahan mengakses
pelayanan, baik itu akses jarak maupun akses bahasa, serta hubungan
interpersonal dengan petugas sebagai suatu dimensi mutu yang sangat
penting.
Beberapa pertanyaan penting terkait indikator mutu pelayanan adalah:
Berapa pasien yang akan diperiksa dalam beberapa waktu tertentu?
Tersediakah pemeriksaan laboratorium yang akurat, efisien dan hasilnya
dapat dipercaya? Tersediakah sistem rujukan jika diperlukan? Apakah
lingkungan kerja memadai dan bersih, privasi pasien terjamin? Apakah
tersedia obat yang diperlukan? Apakah pelayanan dilakukan oleh petugas
yang tepat, profesional dan kompeten? Apakah pelayanannya aman bebas
dari tindakan-tindakan yang membahayakan (unsafe action)?
Kompetensi teknis
Dari sisi penyelenggara, mutu pelayanan lebih terkait pada dimensi
kesesuaian pelayanan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi mutakhir. Otonomi profesi dalam menyelenggarakan pelayanan
sesuai dengan kebutuhan pasien. Penyelenggara pelayanan kesehatan
perhatiannya lebih terfokus terhadap kompetensi teknis, efektifitas dan
keamanan pelayanan.
Persepsi pelayanan kesehatan yang bermutu menurut perusahaan asuransi
adalah pelayanan yang dilakukan secara efektif dan efisien. Pasien
diharapkan dapat sembuh dalam waktu yang sesingkat mungkin sehingga
biaya layanan menjadi efisien. Sedangkan pemilik sarana pelayanan
kesehatan berpandangan bahwa layanan kesehatan yang bermutu adalah
layanan kesehatan yang menghasilkan pendapatan yang mampu menutupi
biaya operasional dan pemeliharaan, plus margin tentunya.
Kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan juga meliputi aspek
ketelitian, kecermatan, keahlian dokter, kepercayaan terhadap dokter,
selektifitas dokter dalam memberi obat, keterbukaan dokter dalam menjawab
pertanyaan pasien dan memberi penjelasan tentang penyakit pasien,
keselektifan dokter dalam merujuk pasien, waktu tunggu dan keramahan
dokter serta petugas kesehatan lainnya. Mutu pelayanan kesehatan akan
selalu menyangkut aspek teknis dan aspek kemanusiaan, yang timbul
sebagai akibat hubungan yang terjadi antara pemberi dan penerima
pelayanan kesehatan.
Interaksi pribadi tersebut akan mempengaruhi penilaian terhadap mutu
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan. Prinsip utama perbaikan mutu
dan kinerja pelayanannya adalah kepedulian terhadap pasien selaku
pelanggan. Pelanggan menjadi fokus utama pelayanan. Namun pada
kenyataannya, kepuasan tidak menjamin seseorang untuk selalu setia.
Demikian pula bagi pasien yang menggunakan jasa pelayanan kesehatan.
Pasien yang puas belum tentu juga akan setia. Manusia mempunyai
kecenderungan untuk mengikuti trend terbaru hampir dalam segala hal
apabila status ekonominya memungkinkan untuk itu.
Termasuk juga trend dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang saat ini
dianggap bagian dari cerminan status sosial dan status ekonomi seseorang.
Berobat ke luar negeri diyakini lebih berkelas dan tentunya dianggap lebih
bermutu. Jenis penyakit yang diderita dan fasilitas pelayanan kesehatan yang
mampu diakses sudah menjadi bagian dari gaya hidup (life style) dan
melambangkan status sosial penderitanya.
Seperti ada kesepakatan tidak tertulis antara Indonesia dengan Malaysia
dalam hal ini. Setiap tahun Indonesia mendidik ratusan mahasiswa dari
Malaysia dan Negara tetangga lainnya di berbagai Fakultas Kedokteran di
tanah air, seperti di UGM, UI, USU, dan berbagai universitas terkemuka di
Indonesia. Dan, kita pun seperti ingin balas budi, setiap saat terus saja
mengirim pasien ke sana untuk sekadar check up atau berobat, dan tentunya
sambil jalan-jalan bagi sebagian orang. Sungguh suatu fenomena yang luar
biasa. Orang Indonesia berbondong-bondong berobat ke Malaysia yang
dokternya kebanyakan lulusan Fakultas Kedokteran di Indonesia.

Janji politik pasangan Zaini-Muzakir ketika masa kampanye pemilihan


gubernur yang lalu akan mendatangkan dokter-dokter dari Singapura untuk
praktik di RSUZA, agar masyarakat Aceh tidak perlu lagi berobat ke luar
negeri. Namun yang paling penting di balik semua itu adalah bukan tentang
bagaimana mendatangkan dokter-dokter impor, melainkan bagaimana
memberdayakan dokter-dokter yang sudah ada dengan memberikan
kesempatan dan biaya yang seluas-luasnya untuk mengembangkan diri dan
meningkatkan kapasitas keilmuan, kompetensi dan skill, serta dibarengi
dengan penyediaan alat-alat kesehatan canggih dan mutakhir yang
diperlukan ketika mereka sudah selesai mengikuti pendidikan untuk
mendukung kelancaran kerja dalam rangka menegakkan diagnostik dan
segala macamnya.
Bukan cerita baru lagi kalau setiap pengadaan alat kesehatan dibumbui
dengan aroma korupsi, kolusi dan nepotisme. Selalu saja ada alat-alat
kesehatan yang dipasok oleh pemenang tender tidak sesuai spesifikasi, ada
komponen dalam kondisi rusak, yang ujung-ujungnya alat yang dibeli dengan
harga miliaran rupiah dari uang rakyat tidak dapat dimanfaatkan secara
maksimal, dan para pelakunya bebas dari jeratan hukum. Proses peradilan
dengan perkara-perkasa bermotif uang dalam jumlah besar memang sering
‘masuk angin’. Yang lebih memiriskan lagi adalah ketika alat-alat kesehatan
canggih dan mahal sudah terbeli, ternyata tidak ada tenaga yang kompeten
untuk mengoperasikannya. Sehingga hanya jadi barang pajangan.
Rapor merah
Kejadian-kejadian seperti ini membuka mata kita, bahwa proses
pembangunan berkelanjutan termasuk pembangunan kesehatan ternyata
dilakukan tidak melalui proses perencanaan yang matang dan terkesan hanya
untuk mempercepat penyerapan anggaran saja. Mengapa tidak berdasarkan
analisis yang mendalam sesuai dengan skala prioritas kebutuhan? Maka tidak
heran kalau rapor derajat kesehatan masyarakat kita selalu saja ada yang
merah.
Pasien terlantar, anak-anak gizi buruk dari keluarga miskin, selalu saja
menjadi berita di media massa, dan itu tidak membuat kita sadar bahwa di
negeri yang menjunjung tinggi syariat, di negeri yang kaya raya dengan
sumber daya alamnya yang melimpah masih ada anak-anak yang tidak
sanggup diberi makan oleh orang tuanya yang fakir. Seperti menulis dengan
arang di atas batu hitam berjelaga. Seperti itulah nasib anak-anak miskin
yang kekurangan gizi.
Keberhasilan pembangunan kesehatan berperan penting dalam
meningkatkan mutu dan daya saing sumber daya manusia. Untuk mencapai
keberhasilan dalam pembangunan bidang kesehatan tersebut
diselenggarakan berbagai upaya kesehatan secara menyeluruh, berjenjang
dan terpadu. Dalam hal ini Puskesmas bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan upaya kesehatan dasar untuk jenjang pertama di wilayah
kerjanya masing-masing. Puskesmas sesuai dengan fungsinya berkewajiban
mengupayakan, menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan yang
bermutu dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan
yang berkualitas.
Membangun kesadaran mutu merupakan upaya penggeseran cara pandang
peran dan fungsi organisasi pelayanan kesehatan dari memberi obat ke
melayani pasien, dari pemeriksaan cepat ke pemeriksaan sesuai standar, dari
pekerjaan saya ke pekerjaan kita dan dari pelayanan yang tidak ramah
menjadi pelayanan yang ramah dan penuh senyum.
Pelayanan yang baik dan memuaskan bisa diwujudkan secara bersama
antara pengguna jasa pelayanan dan petugas kesehatan. Artinya, kritik,
komplain maupun keluhan pasien semestinya tidak diartikan sebagai
serangan, tetapi diterima sebagai koreksi terhadap cara berpikir dan cara
melayani. Dari keluhan pasien, petugas kesehatan dapat mengetahui
keinginan konsumen dan kekurangan yang dimilikinya.

Вам также может понравиться