Вы находитесь на странице: 1из 13

MAKALAH USHUL FIQIH

CARA MENGAMBIL PETUNJUK NASH

(DALIL AL-QUR’AN & AL-HADITS)

Dosen Pengampu :

Dr. Nor Cahyono , S.Th.I., M.H

Nama : Satrya Karunia Tri Haryanto

NIM : 17.42.119101

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA

TAHUN AJARAN

2017/2018
BAB I

LATAR BELAKANG

A. Pendahuluan

Sumber hukum Islam sesungguhnya bagaikan mata air yang tak pernah kering
bahkan memiliki deposit yang mampu menyirami setiap perkembangan hukum Islam
yang memenuhi tuntutan keadilan dan kepentingan / mashlahat ummat sepanjang masa.

Para ulama Islam sepakat bahwa setiap peristiwa / kejadian, terkait didalamnya
ketentuan hukum syari’at. Hukum tersebut sebagan bersumber dari nash Al Qur’an dan
As Sunnah, dan sebagian lagi diketahui melalui dalil-dalil lain yang diakui syara’. Dalil
syara’ diluar Al Qur’an dan As Sunnah itu yang amat jelas petunjukknya adalah ijma’
dan qiyas. Sedangkan metode lain adalah dalalah, nash, dan lan sebagainya.

Dalam melakukan istinbat hukum dan upaya yang dilakukan oleh para Mujtahid
untuk memahami nass tidak saja memperhatikan apa yang tersurat yaitu bentuk lafal nash
dan susunan kalimatnya, tetapi juga memperhatikan yang tersirat, seperti isyarat yang
terkandung dibalik lafal nash serta begitu pula dengan dalalahnya.

B, Rumusan Materi

1. Mencermati ungkapan Nash

2. Mencermati Isyarat Nash

3. Mencermati Petunjuk Nash

4. Mencermati Kehendak Nash


BAB II

PEMBAHASAN

A. Mencermati Nash (Al-Ibarat An-Nash)

Yang dimaksud dengan nash ialah dalalah lafal terhadap makna bedasarkan susunan lafal
itu sendiri,baik lafal itu zhahir (lafal yang menunjukan pengertian yang jelas), atau nash (lafal
yang menunjukkan makna yang jelas dan lafal itu dimaksudkan untuk menjelaskan makna
tersebut), atau mufassar (lafal yang kejelasan pengertiannya disebabkan ada kejelasan nash lain),
ataupun muhkam (lafal yang jelas pengertiannya dan dimaksudkan untuk menjelaskannya, tidak
dapat ditakhwilkan, tidak dapat di takhsiskan dan tidak menerima penasakhan). Sedangkat yang
dimaksud dengan ibarat ialah shighat atau bentuk susunan kalimatnya. Dengan demikian dalalah
ibarat al-nash ialah pengertian yang ditunjukki oleh lafal secara langsung dari susunan
kalimatnya dari makna tersebut merupakan maksud dari lafal itu. Selanjutnya makna tersebut
adakalanya merupakan makna pokok dan adakalanya merupakan makna yang tidak pokok, tapi
ikut terkandung di dalamnya (taba’i).

Misalnya firman Allah SWT.:

ِّ ‫ّٰللاُ ْال َب ْي َع َو َح َّر َم‬


‫الر ٰبوا‬ ‫َواَ َح َّل ه‬
...padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..

(QS Al-Baqarah [2]:275)

Dari segi lafal dan ibaratnya firman Allah tersebut menunjukkan dua makna, yaitu:
Pertama pembedaan antara jual beli dan riba. Kedua pembolehan jual beli dan pengharaman riba.
Kedua makan tersebut dikehendaki oleh susunan kalimat ayat tersebut, hanya saja makna yang
pertama merupakan maksud asli, karena ia diturunkan untuk menangkis dan membantah
pernyataan orang-orang yang mengatakan bahwa jual neli itu sama dengan riba. Sedangkan
makna yang kedua bukanlah makna pokok (taba’i) yang dikehendaki untuk menjelaskna makna
pokok.

Contoh lain, firman Allah SWT.:


َ ‫سا ٓ ِّء َمثْ ٰنى َوث ُ ٰل‬
‫ث َو ُر ٰب َع‬ َ ِّ‫اب لَـ ُك ْم ِّمنَ الن‬
َ ‫ط‬َ ‫فَا ْن ِّك ُح ْوا َما‬
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.

(QS. An-Nisa [4]:3)

Dari segi lafal dan susunan kalimat, firman Allah tersebut menunjukkan dua makna, yaitu
pertama, pembolehan kawin, dan kedua pembatasan jumlah istri sebanyak empat orang. Kedua
makna tersebut dikehendaki oleh ayat diatas bedasarkan susunan kalimatnya. Hanya saja makna
yang pertama bukan makna pokok (tabi’i), dan makna kedua merupakan makna yang pokok
(asli), karena ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang merasa berat
meneriman wasiat mengurus anak yatim, karena khawatir bersikap zhalim terhadapnya dengan
cara memakan sebagian hartanya, padahal orang-orang itu tidak merasa berat meninggalkan
sikap adil diantara beberapa istrinya yang jumlahnya tak terhitung lagi. Oleh karena itu, maka
Allah SWT, berfirman: jika orang-orang itu takut menzhalimi istri-istri. Untuk itu, Allah
memerintahkan untuk mempersedikit jumlah istri dan membatasi empat orang saja, bahkan
cukup seorang saja, jika beristri lebih dari satu membuatnya tidak mampu bersikap adil.
Selanjutnya makna kedua, pembolehan kawin. dimaksudkan oleh Allah dari susunan kalimat
untuk dapat menyampaikan tujuan pokok di atas. Oleh karena itu, ia merupakan makna yang
tidak pokok.1

B. Mencermati Isyarat Nash (Isyarah An-Nash)

Yang dimaksud dengan Isyarat al-Nash ialah ;

Isyarat dari al-nash ialah penunjukkan lafal atas suatu ketentuan hukum yang tidak
disebutkan langsung oleh lafal nash tetapi merupakan kelaziman bagi arti yang diucapkan
diungkapkan untuk itu2

Isyârah secara etimologi berarti menunjukkan sesuatu dengan isyarat tangan atau yang
lainnya. Dan yang dimaksud dengan Isyâratu al-nash adalah petunjuk lafazh terhadap makna
yang tidak dimaksudkan secara langsung oleh lafazh.[1] Atau, isyâratu al-nash adalah makna

1
https://matakuliyah.blogspot.com/2017/04/ibarah-nash-dan-isyarah-nash.html
2
https://duniacemoro.wordpress.com/2012/09/27/ibarah-nas-isyarah-nash-dalalah-nash-dan-iqtida-nash/
yang ditunjukkan lafazh bukan dari ungkapan dalam lafazh, namun makna tersebut muncul
karena bias dari ungkapan lafazh. Dengan demikian, makna isyâratu al-nash dapat dipahami dari
konteks pembicaraan, bukan dari makna lafazh.

Petunjuk makna dari lafazh dalam ungkapan kalimat terkadang nampak jelas (zhâhir)
sehingga dapat dipahami dengan mudah, namun terkadang tersembunyi sehingga untuk
mengetahui maksud nash membutuhkan analisa lebih mendalam. Antara satu mujtahid dengan
lainnya memiliki tingkatan daya analisa yang berbeda. Dari sini berimplikasi pada variasi ijtihad
baik dari pakar tafsir, atau ahli fiqih.

Contoh firman Allah:

ِّ ‫َوعلَى ْال َم ْولُو ِّد لَهُ ِّر ْزقُ ُه َّن َو ِّك ْس َوت ُ ُه َّن ِّب ْال َم ْع ُر‬
‫وف‬
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
yang ma’ruf”.

(QS: Al-Baqarah: 233).

Ayat ini dapat dipahami bahwa kewajiban seorang ayah adalah memberi nafkah kepada
istri. Dari ayat tersebut juga dapat dipahami bahwa garis keturunan dinisbatkan kepada ayah,
bukan ibu. Hal ini dapat diketahui dari huruf al (‫ )ال‬dari firman Allah ( ُ‫) َوعلَى ْال َم ْولُو ِّد لَه‬di mana
dalam bahasa Arab ditetapkan sebagai huruf yang menunjukkan makna tertentu (li’l ikhtishâsh).
Sementara jalur nasab secara otomatis dinisbatkan kepada ayah dengan melihat makna
sebagaimana yang dimaksud dari huruf al (‫ )ال‬tadi. Mengambil ketetapan hukum dari ungkapan
kalimat terhadap makna yang melekat pada ungkapan lafazh disebut isyârah.

Namun dari segi isyâratu al-nash, ayat di atas dapat dipahami beberapa makna:

Pertama: bahwa yang wajib memberikan nafkah terhadap anak adalah ayah. Karena jalur
keturunan tidak dapat dinisbatkan pada selain ayah, maka kewajiban nafkah juga tidak dapat
ditanggung orang lain selain ayah.

Kedua: seorang ayah boleh mengambil harta milik anaknya secukupnya sesuai dengan
kebutuhan.
Contoh lain:

َ ِّ‫ث إِّلَى ن‬
‫سآ ِّئ ُك ْم‬ ُ َ‫الرف‬ ِّ َ‫أ ُ ِّح َّل لَ ُك ْم لَ ْيلَة‬
َّ ‫الص َي ِّام‬
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri
kamu”.

(QS. Al-Baqarah: 187)

Dari ungkapan ayat tersebut (‘ibâratu al-nash) dapat dipahami bahwa bercampur dengan
istri dibolehkan sampai bagian akhir malam (menjelang imsak). Jika demikian, maka secara
otomatis seorang yang berpuasa jadi junub, maka di satu sisi ia berpuasa, namun di sisi lain ia
junub. Karena bercampur dengan istri hukumnya boleh, meski sampai akhir waktu, berarti junub
tidak membatalkan puasa seseorang. Secara ringkas, dari segi ‘ibâratu al-nash ayat tersebut
menunjukkan bahwa bercampur dengan istri sampai akhir malam hukumnya mubah Dan dari
segi ‘isyâratu al-nash menunjukkan bahwa junub tidak membatalkan puasa.3

3. Mencermati Petunjuk Nash (Dilalah An-Nash)

Yang dimaksud dengan sesuatu yang dipahami dari dalalah nash adalah makna yang
tidak segera dapat dipahami dari jiwa dan penalaran nash. Jika ibarat nash menunjukkan hukum
suatu kasus karena suatu illat yang menjadi dasar hukum ini, dan kasus lain ditemukan yang
menyamai kasus tersebut dalam segi illat hukumnya, atau bahkan ia lebih-lebih lagi, dan
persamaan atau kelebihan itu segera dapat dipahami dengan semata-mata memahami bahasa
tanpa membutuhkan ijtihad atau qiyas, maka secara bahasa dapat dipahami bahwa nash tersebut
menyangkut dua kasus itu, dan bahwa hukum yang tetap bagi yang manthuq (yang dikatan) juga
tetap bagi mafhum yang sesuai dengannya dengan illat, baik sejajar persamaannya atau lebih-
lebih lagi. Terdapat perbedaan dilalah nash dan qiyas. Pada dilalatun nash, illat-nya dapat
dipahami langsung dari arti bahasa yang ada dalam nash itu. Sedangkan qiyas bukan dari arti
bahasa yang terkandung dalam nash, tetapi melalui ijtihad. Dilalatun nash juga dinamakan qiyas

3
http://almuflihun.com/ibarah-nash/
jalli, sebab yang ada kasus baru itu lebih kuat daripada yang ada pada kasus lama, atau sekurang-
kurangnya sama.

Misalnya dalalah nash ialah firman Allah SWT mengenai urusan dua orang tua, yaitu :

‫فَالَ تَقُ ْل لَّ ُه َما اُف‬


Artinya : “Maka janganlah kamu mengatakan ‘uff’ kepada mereka”.

(QS.Al-Isra:23)

Ibarat nash ini menunjukkan larangan terhadap ucapan “uff” / ”ah” kepada orang tuanya.
Illat pada larangan ini ialah adanya penyakit hati dan menyakiti mereka yang terdapat pada kata
“uff” terhadap mereka. Kemudian ada bentuk lain yang lebih menyakitkan daripada mengatakan
“uff”, seperti memukul dan mencaci maki, sehingga segera dapat dipahami bahwa hal tersebut
juga termasuk dalam larangan. Ia juga diharamkan berdasarkan nash yang mengharamkan
mengucapkan “uff!”, karena menurut bahasa, yang segera dapat dipahami dari larangan terhadap
sesuatu yang lebih menyakiti terhadap kedua orang tua. Jadi pengertian yang dipahami yang
sesuai dan didiamkan itu adalah lebih-lebih lagi hukumnya dibandingkan pengertian yang
diucapkan.

Adapun pendapat para ulama :

Menurut Abu Zahrah :

ِّ ‫ع ْنهُ ِّلفَ ْه ِّم ْال َمن‬


‫َاط بِّ ُم َج َّر ِّدفَ ْه ِّم‬ َ ‫ت‬
َ ‫س ِّك‬ َ ‫دَللَةُ اللَّ ْفظ‬
ِّ ‫علَى ثُبُ ْو‬
ُ ‫ت ُح ْك ِّم َماذُ ِّك َر ِّل َما‬ َ
‫اللُّغَ ِّة‬
“dilalah lafaz yang disebutkan dalam penetapan hukum adalah untuk yang tidak
disebutkan karena ada hubungannya yang dapat dipahami berdasarkan pemahaman dari segi
bahasa.

Definisi yang agak beda dikemukakan oleh al-sarkhisi :


“apa yang ditetapkan dengan makna menurut aturan bahasa dan bukan melalui cara
istimbath dengan menggunakan daya nalar”.

4. Mencermati Kehendak Nash (Iqtidho An-Nash)

Yang dimaksud dengan iqtidhaun nash ialah pengertian yang diambil dari suatu lafal
yang tidak akan jelas arti kalimatnya kalau lafal itu tidak dita’wilkan, maka dengan ta’wil
barulah pengertian sesuai dengan kenyataanya.

Sebagai contoh dapat dilihat dalam firman Allah pada surat al-Ma’idah, ayat 3 berikut ini:

‫ْـر‬
ِّ ‫ـزي‬ ِّ ‫ـم ْال‬
ُ ‫ـخـ ْن‬ َ ‫عـلَيْـ ُك ُم ْالـ َمـيْـتَــةَ َوالد ََّم َولَ ْح‬ ْ ‫… ُح ِّـر َم‬
َ ‫ت‬

“Diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging babi”

(QS. Al-Maidah:3)

Untuk kasus dalam ayat ini maksudnya “diharamkan memakan atau memanfaatkan darah
dan daging babi.Sebab keharaman tanpa hubungan dengan perbuatan manusia tidak ada
manfaatnya.

Adapun sebagian pendapat para ulama :

“penunjukan lafaz kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang kebenarannya tergantung kepada
yang tidak tersebut itu”.

Secara sederhana Abu Zahrah memberi definisi :

“penunjukan lafaz kepada setiap sesuatu yang tidak selaras maknanya tetapi memunculkannya”.

Sedangkan pengarang al-Tahrir mendefinisikan :

ِّ ‫علَ ْي ِّه اَ ْو‬


ُ‫ص َّحتَه‬ َ ُ‫ص ْدقَه‬ ُ َّ‫علَى َم ْس ُك ْوت يَتَ َوق‬
ِّ ‫ف‬ ُ ‫ا ِّْن دَ َّل اللَّ ْف‬
َ ‫ظ‬
“lafaz yang menunjukan kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang mungkin kebenaran dan
keshahihannya tergantung kepada yang tidak disebutkan”.4

Iqtidho’ al- Nash adalah penunjukan lafazh terhadap segala perkara makna yang tidak
dapat berdiri sendiri kecuali dengan mentakdirkan lafadz yang lain.

Dalalah iqtidha’ terbagi kepada tiga macam:

1. Sesuatu yang wajib di takdirkan ( dimunculkan ) kebenaran suatu ucapan.

Contoh adalah sabda Rasulullah SAW :

َ ‫ان َو َما ا ْست َ ْك َر ُه ْوا‬


‫علَ ْي ِّه‬ َ ‫ع ْن ا ُ َّمتِّى ْال َخ‬
ُ َ‫طا ُء َوالنِّ ْسي‬ َ ‫ُرفِّ َع‬
Artinya : ”Telah diangkat dari umatku ketersalahan, lupa dan sesuatu yang mereka
dipaksakan atasn ya”.

Susunan kalimat ini menurut lahiriyah menunjukkan pengangkatan perbuatan apabila ia terjadi
secara salah, karena lupa atau dalam keadaan terpaksa. Ini adalah makna yang tidak sesuai
dengan kenyataan, karena sebenarnya apabila perbuatan telah terjadi maka ia tidak dapat
diangkat, maka kesahihan makna susunan kalimat ini menuntut perkiraan sesuatu yang sah
dengannya, kemudian disini ditakdirkan :

‫اء‬ َ ‫ع ْن ا ُ َّمتِّى اِّثْ ُم ْال َخ‬


ِّ ‫ط‬ َ ‫ُرفِّ َع‬
Artinya : “Diangkat dari umatku dosa ketersalahan”.

Kata “dosa” yang dibuang dituntut untuk ditakdirkan oleh kesahihan makna nash tersebut.
Kemudian yang ditunjuki oleh nash disebut dengan iqtida’.

Setiap makna dapat dipahami dari nash (teks) dengan jalan-jalan empat tersebut yang terdiri dari
pengertian (madlul) nash dan nash adalah hujjah (argumentasi) makna tersebut.

2. Sesuatu yang wajib ditaqdirkan (dimunculkan) untuk kebenaran suatu ungkapan atau kalimat
secara akal. Contohnya, firman Allah ta’ala:

4
https://muamalatku.com/pengertian-dilalah-atau-dalil/
َ‫َوا ْسأ َ ِّل ْالقَ ْر َية‬
Artinya: “Dan tanyalah (penduduk) negeri.”

(Qs. Yusuf: 82).

Menurut zahir lafadz ayat tersebut terasa ada yang kurang, karena tidak mungkin
bertanya kepada kampung yang bukan makhluk hidup. Karena itu perlu dimunculkan suatu kata
sehingga ungkapan itu menjadi benar dan selaras maknanya. Adapun kata yang layak
dimunculkan adalah “penduduk” sebelum kata “kampung”, karena penduduk kampunglah yang
ditanya dan dapat memberi jawaban.

3. Sesuatu yang wajib ditaqdirkan (dimunculkan)untuk sahnya suatu ungkapan secara hukum.

Contohnya, seperti perkataanmu bagi orang yang memilki hamba, “kamu merdekakanlah
hambamu dariku dengan seribu rupiah”, maka sesungguhnya ini menunjukkan atas
kepemilikannya terhadap hamba itu, seolah-olah engkau mengatakan “jadikanlah dia milikku
dengan seribu rupiah, kemudian kamu merdekakan dia dariku”, sebab tidak sah memerdekakan
hamba itu kecuali setelah memilikinya.5

5
http://makalah-ugi.blogspot.com/2014/05/dalalah-nash-dan-penggunaannya.html
BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN

Dalam melakukan pengambilan hukum dan upaya yang dilakukan oleh para
Mujtahid untuk memahami nash tidak hanya memperhatikan apa yang tersurat di dalam
hokum islam itu baik berupa bentuk lafal nash dan susunan kalimatnya, tetapi juga
memperhatikan yang tersirat, seperti isyarat yang terkandung dibalik lafal nash serta begitu
pula dengan dalalahnya.

Dalam pengambilan terbagi menjadi beberapa cara yaitu :

1. Ibarah An-Nash (Mencermati Ungkapan Nash)

2. Isyarah An- Nash (Mencermati Isyarat Nash)

3. Dalalah An-Nash (Mencermati Petunjuk Nash)

4. Iqtidla An-Nash (Mencermati Kehendak Nash)

b. SARAN

Penulis menyadari akan kekurangan makalah ini, maka sangat diharapkan kritik dan sarannya
guna evaluasi kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

https://matakuliyah.blogspot.com/2017/04/ibarah-nash-dan-isyarah-nash.html

https://duniacemoro.wordpress.com/2012/09/27/ibarah-nas-isyarah-nash-dalalah-nash-dan-
iqtida-nash/

http://almuflihun.com/ibarah-nash/

https://muamalatku.com/pengertian-dilalah-atau-dalil/

http://makalah-ugi.blogspot.com/2014/05/dalalah-nash-dan-penggunaannya.html

Вам также может понравиться