1

EDLCs: Faktor penting dalam desain dan

karakterisasi
Sutarsis1)
1) Department of material & metallurgy Engineering, Faculty of Industrial Technology
ITS Surabaya Indonesia 60111, email: sutarsis@mat-eng.its.ac.id

Abstract—Pada makalah ini dipaparkan faktor teknis yang
sangat penting dalam penelitian, desain, dan pengukuran EDLCs.
Diharapkan dengan memahami secara fundamental faktor-faktor
yang mempengarahui kinerja elektroda, elektrolit, dan interaksi
elektroda-elektrolit, maka peneliti atau insinyur akan dengan
akurat dan cepat untuk mendesain EDLCs dengan kualitas tinggi.
Dengan mempertimbangkan hal-hal teknis yang telah menjadi
kaidah dasar yang sudah diuji dan diformulasikan oleh para
ilmuwan dibidang ini sebelumnya maka peneliti atau insinyur
tidak akan mengulangi hal yang ama atau mengalami kesalahan
pada hal-hal yang sudah diketahui pengaruhnya. Dalam hal
pengukuran atau karakterisasi, konsistensi dalam normalisasi
kapasitansi dan Ragone plot akan memudahkan para peneliti dan
insiyur dalam mengevaluasi produk-produk baru EDLCs.
Keywords—Energy storage, Electrochemical double layer
Capacitor/EDLCs, Karbon aktif, Kapasitansi, Densitas Energi
A. Material aktif (ukuran partikel, ukuran poros dan
functional group)
Karbon aktif (activated carbon) menjadi material aktif yang
digunakan secara luas untuk aplikasi EDLCs karena memiliki
luas permukaan (SSA) yang sangat tinggi, dan harga yang
relative rendah. Namun untuk mendapatkan unjuk kerja EDLCs
yang tinggi maka beberapa hal terkait sifat fisik dan kimia poros
harus diperhatikan, seperti luas permukaan poros (SSA), ukuran
dan distribusi partikel, ukuran dan distribusi poros, dan
functional-group permukaan poros.3,4,5
Secara teoritis, besar kapasitansi superkapasitor sangat
dipengaruhi oleh luas area (A) material aktif dan dan ketebalan
double layer (d), sebagai berikut:6
= (1)

I. PENDAHULUAN Dimana, d adalah ketebalan double layer yang tergantung

Penelitian dan pengembangan Superkapasitor selama lebih pada konsentrasi dan ukuran ion elektrolit, nilainya berkisar 5-
dari 17 tahun terakhir telah menunjukkan hasil dan kemajuan 10A°.
yang sangat pesat. Dibandingkan dengan perangkat penyimpan
energi lainnya, seperti Baterai dan Fuel Cell, Superkapasitor
masih memiliki tantangan utama yang besar yaitu
meningkatkan kerapatan energi (energy density) sehingga
memenuhi kebutuhan aplikasinya. Secara umum, EDLCs
memiliki energy density kurang lebih 10Wh/kg dan sekitar
50Wh/kg untuk superkapasitor-pseudo dan superkapasitor-
hybrid.1
EDLCs (electrical double layer supercapacitor) menjadi
salah satu jenis superkapasitor yang banyak diterapkan karena
beberapa keunggulan diantaranya power density yang tinggi
mencapai 105W/kg dan ketahanan pakai (cycle life) dalam order
jutaan.2 Untuk itu dalam bahasan sub-topik ini akan diuraikan
faktor-faktor penting yang perlu diperhatikan dan dikalkulasi
dalam mendesain EDLCs.

II. FAKTOR-FAKTOR PENTING DALAM DESAIN

Elektroda Double layer superkapasitor telah difabrikasi
menggunakan karbon aktif, aerogel partikulat, dan karbon
jarutan (carbon cloth) dengan elektrolit berbasis organik dan
aqueous. Ditengah kemajuan pesat EDLCs dalam berbagai
aplikasi, tantangan besar, yaitu meningkatkan densitas energi,
memotivasi ilmuwan dunia dalam bidang superkapasitor untuk
mencari solusinya.
Karena kinerja teknis EDLCs sangat dipengaruhi oleh
banyak faktor, maka perlu diketahui lebih detail faktor-faktor
penting yang harus diperhitungkan, dioptimalkan dan dihindari Gambar 1. Penomena absorpsi/desorpsi ion-electrolit pada poros dan
sehingga dihasilkan produk EDLCs berkualitas tinggi. pengaruhi ukuran poros pada ketebalan double layer “d”.
 2

Utilisasi secara maksimal microporos akan sangat

berpengaruh pada nilai kapasitansi. Semakin tinggi poros yang
dapat diakses, semakin besar luas area aktif yang dapat
membentuk Double-Layer maka akan meningkatkan nilai
kapasitansi mengikuti formula pada persamaan-(1).5,7 selain itu
phenomena desolvated-ion menghasilkan ketebalan Double
Layer yang lebih kecil karena luruhnya pelarut yang
menyelimuti ion elektrolit.7
Rennei, dkk, 2016 melaporkan bahwa distribusi partikel
size pada material aktif karbon sangat mempengaruhi
kapasitansi, life cycle dan efisiensi.8 Dominasi ukuran partikel
yang relative kecil pada campuran beberapa ukuran partikel
membuat kerapatan tumpukan partikel menjadi lebih padat
Gambar 2. Struktur ikatan binder : karbon=karbon (kohesi), karbon=logam
sehingga mempengaruhi difusi elekrolit antar partikel yang konduktif (adhesi).
mengakibatkan meningkatnya tahanan ekuivalen pada
elektroda (ESR). Namun pada pengunaan partikel yang Material binder harus memiliki daya ikat yang kuat, tahan
seragam ditemukan bahwa untuk ukuran partikel lebih kecil panas, tidak merusak poros dan tidak mengurangi kecepatan
akan meningkatkan kinetika difusi ion-elektrolit. Semakin kecil difusi elektrolit, serta mampu berinteraksi dengan material no-
ukuran partikel (s/d 20nm) nilai koefisiensi difusi semakin aktif (separator, konduktor arus) dengan baik. Karena mayoritas
besar dan nilai kapasitansi meningkat.9 Namun binder adalah bahan polimer maka menekan penggunaan binder
direkomendasikan ukuran partikel (D50) pada kisaran 4-9µm
karena mampu menghasilkan kombinasi film density (gr/cm3)
dan volumetric kapasitif (F/cm3) yang optimum.10
Secara natural, karbon aktif memiliki gugus carboxyl dan
oxygen pada permukaannya. Gugus oksigen akan
meningkatkan resistansi material karbon dan pada elektrolit
berbasis air akan menimbulkan phenomena evoluasi gas.
Sedangkan pada media elektrolit organic, gugus karboxil dan
oksigen cenderung meningkatkan dekomposisi elektrolit yang seminimal mungkin akan mengurangi tahanan ekuivalen (ESR)
akan mendegradasi unjuk kerja supercapacitor.10 .10
Studi yang mengunakan tiga jenis binder: Nafion,
B. Pemilihan binder (komposisi, daya ikat, thermal stability) polytetrafluoroethylene (PTFE) dan polyvinyldenediflouride
Secara struktur material, supercapacitor terdiri dari (PVDF) menyatakan bahwa PTFE dengan komposisi material
(1)material utama karbon aktif, (2)karbon konduktif, dan (3) 10% memiliki unjuk kerja superkapasitor yang tinggi pada
logam konduksi arus. Ketiga material ini akan diikat oleh aspek nilai kapasitansi, dan ketahanan setelah 2000 siklus.11
binder (perekat) yang harus memiliki sifat adhesi dan kohesi Pada studi lain yang lebih detail dengan binder yang sama,
karena dalam satu kondisi binder harus mengikat material PVDF dan PTFE, menyatakan bahwa PVDF cenderung
sejenis dan berbeda jenis. Struktur ikatan binder dengan mereduksi volume poros sehingga menngurangi Electric
material supercakapasitor ditunjukan pada gambar 2. Double Layer yang terbentuk diantar muka antara permukaan
poros karbon dan elektrolit.12
C. Berat material aktif dan ketebalan eletroda
Dalam aplikasi, ukuran/dimensi penyimpan energi, seperti
baterai dan superkapasitor sudah ditetapkan secara standard.
Artinya peneliti dan insinyur harus sangat memperhatikan nilai
specific kapasitansi per-satuan volume atau disebut dengan
volumetric capacitance (F/cm3).

Tabel 1. Pengaruh film density terhadap volumetric capacitance EDLCs

Dari penelitian yang dilakukan oleh author pada tabel 1

menunjukkan bahwa nilai film density sangat berpengaruh pada
nilai kapasitansi baik yang dihitung persatuan massa dan
volume. Berdasarkan data yang ditunjukan tabel 1, kapasitansi
volumetrik optimum akan dicapai pada nilai optimum FD, yaitu
pada kombinasi antara nilai berat karbon aktif dan ketebalan
material aktif tertentu. Dalam penelitiaanya, Rennei,dkk
menyatakan bahwa elektroda dengan jumlah partikel relative

kecil lebih banyak (D90) atau memiliki kerapatan
tumpukan/kerapatan tinggi akan meningkatkan nilai Rct.8
Gambar 3. Skematik pengaruh film density terhadap kapasitansi gravimetrik
dan kapasitansi volumetric
D. Pemilihan dan optimalisasi elektrolit
Elektrolit sangat mempengaruhi unjuk kerja dari
superkapasitor elektrokimia (SCs). Oleh karena itu merancang
dan optimalisasi elektrolit sangat diperlukan untuk
mendapatkan kualitas superkapasitor yang optimal.
Secara skematik, pengaruh sifat-sifat elektrolit terhadap
karakteristik superkapasitor ditunjukkan pada gambar 4. Sifat-
sifat dasar kapasitor elektrokimia, seperti; (1) jenis dan ukuran
ion, (2) konsentrasi ion dan pelarut, (3) interaksi antara ion dan
pelarut, (4) interaksi elektrolit dan material elektroda, (5)
Potential window, semua mempengaruhi kapasitansi EDLCs
dan pseudo-kapasitor, Densitas Energi dan daya, dan juga umur
pakai (cycle life).13
Pada makalah ini pembahasan elektrolit akan difokuskan
pada elektrolit organik untuk EDLCs. Dipasar komersial,
superkapasitor mulai didominasi oleh EDLCs yang memiliki
rentang tegangan window 2.5 s/d 2.8V. Peningkatan tegangan
window sangat berpengaruh pada perbaikan densitas energi dan
daya.
Gambar 4. Pengaruh sifat-sifat dasar elektrolit pada unjuk kerja
superkapasitor
3
Secara umum elektrolit organik memiliki ukuran ion terlarut
yang sangat besar dan konstanta dielektrik rendah, dimana
menghasilkan kapasitansi EDLCs yang relatif rendah.
Sebagaimana dijelaskan pada sub-bahasan pengaruh ukuran
poros material aktif diatas, kapasitansi SCs tidak hanya
dipengaruhi oleh luas permukaan material aktif tetapi juga
ukuran poros dan distribusi ukurannya. Kemampuan akses
poros sangat ditentukan oleh sifat-sifat elektrolit, seperti;
ukuran anion (n-) dan kation (n+) , dan interkasi antara ion dan
pelarutnya.14 Oleh karena itu sangat penting untuk memilih
ukuran ion elektrolit yang sesuai dengan ukuran poros material
aktif.
Kerusakan dan kegagalan elektrolit juga menjadi isu yang
sangat penting bagi elektrolit organik. Degradasi elektrolit
organik disebabkan oleh beberapa hal berikut; (1)Rentan
tegangan window terlalu tinggi dapat mengoksidasi elektrolit
organik. Penggunaan tegangan di atas 3V dapat menginisiasi
reaksi oksidasi yang menghasilkan evoluasi gas karena
dekomposisi elektrolit dan oksidasi elektrokimia karbon, (2)
reaksi elektrokimia pada elektrolit, (3)lingkungan kerja SCs
pada temperatur dan tegangan kerja yang terlalu tinggi.13
Hal penting lainnya dari elektrolit adalah interaksinya
dengan material non-aktif lain dari struktur sel-eletroda. Dalam
kontek superkapasitor berbasis elektrolit organik, mayoritas
menggunakan Al sebagai konduktor arus. Penggunaan jenis
garam konduktif pada elektrolit dapat berpengaruh besar pada
sifat elektrokimia konduktor arus Al dalam elektrolit organik.15
Interaksi elektrolit dengan binder dapat mempengaruhi
kemampuan serap elektrolit pada material aktif. Penggunaan
binder yang kurang tepat akan menurukan wettability elektroda.
Dilaporkan bahwa penggunaan PVDF menunjukkan wettability
[DIPEA][TFSI] IL yang lebih baik daripada CMC-SBR, namun
pada [Pyrr][TFSI] kedua binder menunjukkan wettability yang
sama.16
Separator selulosa banyak digunakan pada EDLCs dengan
elektrolit organik (TEABF4/ACN), namun kandungan air pada
elektrolit dapat mempercepat kerusakan EDLCs ketika
separator selulosa digunakan.17 Jadi sangat diperlukan
memastikan kompatibilitas separator dengan elektrolit yang
digunakan.
E. Faktor mempengaruhi degradasi elektroda
Superkapasitor (SCs) memiliki karakteristik ketahanan
pakai yang tinggi sampai jutaan siklus kerja. Akan tetapi,
dibanyak hal, unjuk kerja SCs dipengaruhi oleh
degradasi/kerusakan secara gradual yang diakibatkan oleh
reaksi pada elektroda dan elektrolit.
Kandungan air dalam elektroda sangat berpengaruh pada
mekanisme degradasi EDLCs. Kerusakan elektrolit diawali dari
elektrolisis air. Mengambil Hidrogen dan Oksigen untuk
direaksikan dengan komponen elektrolit sehingga memicu
kerusakan elektrolit. Pada studi yang lebih jauh, elektrolit
organik dengan pelarut Poly Carbonate (PC), garam konduktif
tidak ikut bereaksi sebab Hidrogen bereaksi dengan PC. Namun
untuk pelarut Acetonitril (AN), pelarut dan garam konduktif
keduanya ikut bereaksi dengan air dan membentuk produk
elektrolisis.22
Elektrolisis air dan elektrolit akan membentuk gas dan
padatan. Produk samping ini akan menurunkan kinerja EDLCs
karena mempengaruhi dimensi, meningkatkan ESR, mereduksi

luas permukaan, dan menurunkan kinetika difusi ion dalam
poros. Sehingga sangat direkomendasikan untuk mereduksi
serendah mungkin kandungan air pada elektroda dan elektrolit.
III. FAKTOR-FAKTOR PENTING DALAM KARAKTERISASI
Zion market research, USA, memprediksi pasar
superkapasitor akan naik mencapai lebih dari 200% pada tahun
2022 dari pendapatan penjualan lebih dari 700.000$US pada
tahun 2017.18 Superkapasitor Electrochemical Double-Layer
(EDLCs) semakin banyak dikembangkan karena memiliki
unjuk kerja yang mendekati kebutuhan komersial dengan harga
yang kompetitif. Sehingga penelitian EDLCs pun menjadi
sangat menarik dan berkembang pesat.
Ditengah perkembangan penelitian dan pengembangan
EDLCs yang terus meningkat dari tahun ke tahun, ada
kebutuhan teknis yang sangat mendesak yaitu menetapkan
standard pengujian, dan evaluasi karakteristiknya sehingga
memudahkan dalam membandingkan berbagai jenis bahan
elektroda dan elektrolit yang digunakan. Dua hal yang harus
menjadi perhatian dalam pengukuran EDLCs adalah (1)
konsistensi dan parameter normalisasi yang baku dalam
membandingkan EDLCs ,(2) konsistensi dalam penggunaan
metoda/prosedur pengukuran atau karakterisasi. Sebagai
contoh, densitas energy dan daya dapat di normalisasi dalam
tiga versi yaitu 1) volume material aktif, 2) masa material aktif,
dan 3) luas permukaan yang dimiliki material aktif.19
A. Konsistensi parameter normalisasi
Komparasi kapasitansi, energi dan daya berbagai jenis
material elektroda dari pengukuran devais SCs hanya dapat
dilakukan dengan menormalisasi terhadap berat, volum, dan
luas permukaan yang kemudian masing-masing disebut
kapasitansi gravimetrik, kapasitansi volumetrik, dan
kapasitansi normal.
Berdasarkan gambar 1, sel kapasitor terdiri dari 2 elektroda
yang membentuk 2 Electrochemical Double Layer. Sehingga
satu sel penuh superkapasitor adalah 2 kapasitor yang
ditrangkai secara seri, dengan nilai kapasitansi totalnya
adalah;20
= = 2 (2)
Dimana Csel adalah kapasitansi sel penuh, dan Cel adalah
kapasitansi masing-masing elektroda. Jika N adalah faktor
normalisasi, maka Nel adalah faktor normalisasi elektroda, dan
Nsel untuk faktor normalisasi sel penuh adalah Nsel=2Nel.
Normalisasi kapasitansi masing-masing elektroda dapat
direprentasikan oleh formula berikut;
= (3)
Sehingga normalisasi kapasitansi untuk masing-masing
elektroda adalah
, =4 , (4)
Dimana Cel,N adalah kapasitansi elektroda yang
dinormalisasi dan Csel,N adalah kapasitansi sel yang
dinormalisasi. N dalam hal ini adalah berat, volume, dan luas
4
permukaan. Penting untuk diperhatikan bahwa normalisasi
kapasitansi ini adalah cara yang logis dalam membandingkan
dan evaluasi berbagai macam material aktif EDLCs.
B. Komparasi divais penyimpan energ listrik
Dalam hal perbandingan produk EDLCs maka yang
digunakan adalah kapasitansi divais, bukan kapasitansi
elektroda. Sehingga faktor normalisasi yang digunakan adalah
berat dan volum seluruh divais, seperti; logam konduktor arus,
separator, elektrolit, dan packaging.19
Untuk membandingkan divais EDLCs dengan penyimpan
energy listrik lainnya sering digunakan Ragone plot, dimana
densitas energi divais (Wh) dibandingkan terhadap densitas
daya divais (W). Penemuan baru EDLCs biasanya
dibandingkan densitas energi dan dayanya dengan baterai
komersial. Sebagaimana diuraikan diatas, agar komparasi yang
dilakukan rasional maka normalisasi terhadap berat dan volum
divais juga harus dilakukan pada perbandingan menggunakan
Ragone plot.21
IV. KESIMPULAN
Untuk menghasikan produk EDLCs dengan kualitas tinggi
sesuai dengan standar yang diperlukan untuk kendaraan listrik
dan berbagai keperluan elektronik, perlukan diperhatikan
faktor-faktor utama, seperti karakteristik karbon aktif dan
elektrolit. Karena secara fundamental densitas energi dan daya
EDLCs sangat dipengaruhi oleh interaksi material aktif dan
elektrolit, maka kompalibilitas antara kedua harus menjadi
faktor utama, dan optimalisasi interaksi pada daerah antar muka
menjadi kunci kualitas.
Selain itu, faktor-faktor degradasi juga harus menjadi
perhatian terutama upaya mereduksi kandungan air pada semua
material yang digunakan pada EDLCs, dan pemilihan elektrolit
yang sesuai.
Standarisasi dan konsistensi penggunaan standard
pengukuran menjadi kebutuhan kedepan sehingga komparasi
produk EDLCs mudah untuk dilakukan dan pada produk baru
bisa secara menyakinkan dievaluasi dengan media penyimpan
energi listrik yang komersial.
Daftar Pustaka:
[1] A.Burke, Electrochim. Acta, 2007, 53, 1083–1091
[2] Yuanfu Deng, J. Mater. Chem. A, 2016, 4, 1144
[3] A.Burke, Journal of Power Sources 91 (2000) 37–50
[4] Denisa H.J, et.al, Adv. Funct. Mater. 2009, 19, 1800–1809
[5] D.Lozano-Castello´ et al, Carbon 41 (2003) 1765–1775
[6] R.Ko¨tz, Electrochimica Acta 45 (2000) 2483–2498
[7] Ting-Hao Chen, Jeng-Kuei Chang, ChemSusChem 2017, 10,
3534 – 3539
[8] Rennie, A.J, Scientific reports, 2016. 6: p. 22062
[9] Y. Gogots, Journal of the Electrochemical Society, 2008. 155(7):
p. A531-A536.
[10] F.Beguin, Elzbieta, Supercapacitor: material, characaterization,
Wiley-VCH Verlag Gmbh & Co.KGaA,2013
[11] Geir Martin Haarberg, Int. J. Electrochem. Sci.,11 (2016) 8270–
8279
[12] Franc¸ ois Béguin, Electrochimica Acta 140 (2014) 132–138
[13] Jiujun Zhang, Chem. Soc. Rev., 2015, 44, 7484-7539
[14] P. Simon andP. L. Taberna, Science, 2006, 313, 1760–1763
[15] A. Janes and E. Lust, Electrochim. Acta, 2014, 121, 294–300
 5

[16] E. Frackowiak and M. Anouti, J. Electrochem. Soc., 2014, 161,

A228–A238
[17] R. S. Ku¨hnel and A. Balducci, J. Power Sources, 2014, 249, 163–
171
[18] Zion Market Research,
http://www.zionmarketresearch.com/report/super-capacitor-
market
[19] J.E. Zuliani et al., Journal of Power Sources 290 (2015) 136e143
[20] B.E. Conway, Electrochemical Supercapacitors, Scientific
Fundamentals and Technological Applications, Kluwer
Academic, Ottawa, 1999
[21] Y. Gogotsi, P. Simon, Science 334 (2011) 917e918.
[22] M.V.Astakhov, Rev.Adv. Mater.Sci.50(2017) 62-68
 Understanding House Wife Spirituality
and Stigma Related People Living with
HIV/AIDS: A Correlational Study
Widiyatus sholehah1, Ahmad rifai1, Muhammad zulfatul a’la1
1
Faculty of Nursing, Universitas Jember, Jember, Indonesia
Corresponding author: Ahmad Rifai
Email address: ahmadrifai@unej.ac.id
Abstract—Stigma is one of the social forms that occur in
labeling, withdrawal, loss status and discrimina-tion. The
stigma about people living with HIV/AIDS (PLWHA) is
manifested by social rejection, lack of acknowledgment
and discrimi-nation that will cause shame and fear for
PLWHA to be invited to others. Spirituality can reduce
the stigma that exists in peoples’ lives. There are still
limited studies explored the house wife stigma regarding
PLWHA. This study purposed to ana-lyze the relationship
between spirituality with the stigma of house wife about
PLWHA in Jember, the east part of Java Island,
Indonesia. This re-search applied descriptive correlation
design with cross sectional approach. The sampling was
counted 84 of house wife who were reached by using
proportionate random sampling. The results showed that
the median value of spirituality was 37.00 and stigma was
17.00. Bivariate analysis using Spearman Rank Test
showed that there was no correlation between spirituality
and stigma of house wife about PLWHA (p value 0.213).
Alt-hough there was no correlation between spirituali-ty
and stigma, it does not mean the two variables are not
important. Health workers are expected to improve
spirituality among house wife in order to reduce stigma
about PLWH in society, especially among house wife.
Index Terms—HIV AIDS, house wife, religious,
spirituality, stigma
I. INTRODUCTION
HIV/AIDS infection causes an impact on the
community, including on the social and economic aspects,
where on the social aspect stigma is found in the
community [1] [2]. One of the biggest obstacles to
preventing and overcoming HIV/ AIDS is the high stigma
and discrimination against people living with HIV/AIDS
(PLWHA), stigma and discrimination undermine the
ability of individuals and communities to protect
themselves from HIV infection and stay healthy even
though they live with HIV/AIDS [3]. According to
UNAIDS, reports in 35 countries with available data of
more than 50% of people have a stigma and
discriminatory attitude towards PLWHA [4].
The results of research in Indonesia reported that
among women still stigmatized against ODHA [5]. The
stigma of housewives against HIV/AIDS in Jember
coffee plantation area was 33.3% [6]. The impact of
stigma on people with HIV/AIDS (PLWHA) includes
social, economic and health aspects [7].
Stigma comes from the thought of an individual or
community who believes that AIDS is a result of
immoral behavior and cannot be accepted by society
[8]. Stigma in community is formed due to lackof
knowledge, perception, access to information about
HIV/AIDS, attitudes (family, neighbors and community
leaders) and religion [5] [9]. Religious activities can
reduce the stigma of HIV/AIDS. Observations through
qualitative interviews recognize that there is a religious
impact on the stigma of HIV/AIDS, where religion is
part of spirituality [9][10]. The function of spirituality
has similarities with religiosity in the sense of helping
individuals understand various things or problems in
their lives, but the framework used to understand these
problems may have differences [11].
Spirituality affects the health and well-being of life
and acts as a source of support or strength for
individuals [12][13]. Healthy spirituality should be able
to benefit others, whatever their beliefs can live mutual
respect, side by side, fighting for spiritual life according
to their beliefs [14]. There are limited studies that
explore attitudes and responses of housewives related to
PLWHA. This study This study aims to analyze the
relationship between spirituality and the stigma of
housewives about people with HIV/AIDS in Jember,
Indonesia.
 II. METHODS Table 4. Stigma of Housewives in Jember (n: 84)
Variables Median Min-Maks
The study used a descriptive correlative research Stigma 17.00 10-26
design using cross sectional approach. The population in a. Stereotypes 6.00 3-12
this study was housewives in Jember Regency, b. Self-acceptance 4.00 2-7
amounting to 24,205 people and the sample in this study c. Problems Disclosures 2.00 1-4
were 84 housewives collected by using proportionate d. Social relations 4.00 2-7
random sampling. Sampling in each village was done by
randomization. This study was conducted in 12 villages Table 5. the Relationship between Spirituality
and Stigma of Housewives
in the Puger sub-district of Jember Regency during May
Variable Stigma
2018.
Spirituality r 0.137
Collecting data on spirituality and stigma using the p value 0.213
Facit-Sp12 questionnaire and stigma questionnaire. The
Facit-Sp 12 questionnaire consists of 12 questions and a III. DISCUSSION
stigma questionnaire consisting of 9 questions. Analysis
of univariate data, carried out by first testing normality The results of the study showed that the median age
for numerical data. Test for normality using the test of of the respondents was 32.00 years old, where age
Kolmogorov-Smirnov. The analysis of bivariate used the 32.00 years including adult age. The more mature a
Spearman Rank test. This test was used to determine the person, it leads to the better spirituality. Adulthood is a
relationship between the two determined variables. period of self-confidence that begins with the process of
declaring a rational belief or value [15].
Table 1. Characteristics of Respondents of The results of the study for “the meaning of life”
Housewives in Puger District, Jember District, 2018 indicator shows a median of 12.00, meaning that the
(n = 84) respondent chooses answers in the Likert scale 3
Variables (f) (%) (which mean very often). For example on the
Education Levels
questionnaire "I have a reason for my life and life has
a. SD 48 57.1
b. SMP 22 26.2 been meaningful", it proofs that respondent has a reason
c. SMA 14 16.7 to live and indicate of having good spiritual condition.
84 100 A person has a reason to live and has meaning in life
Religion can represent the cognitive aspects of the individual's
Islam 84 100 welfare [12]. Spirituality can help a person find the
84 100 meaning of his/her life, encourage him to always think
and do good and establish harmony with God, nature
Table 2. Age of Housewives in the district of Jember
and society [16].
(n: 84)
The results of “the peace” indicator research show a
variable Median Min-Max
median of 12.00, meaning that the respondent chooses 3
Age (Year) 32.00 23-46 in the Likert Scale answers (very often). Peace is a state
that makes harmonious and enduring relationships in
life. This peace is the achievement of great spirituality.
Table 3. Spirituality of Housewives in Jember Peace and its formation for some people who cannot be
(n:84)
separated from justice inherent in a person, where a
Variable Median Min-Maks
person can live and be in a natural and healing
Spirituality 37.00 25-48
a. Meaning of life 12.00 9-16 environment [14]. For example in questionnaire number
b. Confidence 12.00 8-16 1 "I feel satisfied and peaceful with life" the respondent
c. Peace 12.00 8-16 chose answer 3 (very often), it becomes evidence that
someone has quite often peace in their daily lives that
makes a person can live comfortably and peacefully.
The results of the confidence indicator research
show a median of 12.00, meaning that the respondent
chooses 3 answers (very often) in the Likert Scale
answers. In questionnaire number 9 "I find comfort in
the spiritual life that I believe in". Spiritual belief
consists of the stages of faith, thought and discovery.
 The spirituality stage should arrive at the stage of
discovery, where every human being can benefit
others, whatever their beliefs can live mutual respect,
side by side, fighting for spiritual life according to
their beliefs. This is the life that benefits for the
whole universe and creates peace for all [14].
The median score for spirituality of respondents is
37.00, it shows that the respondent chooses 3
answers (very often), meaning that the respondent
has a good spiritual.
Stigma of Housewives
The results of the study showed that the last
education of respondents was: Primary School
(Elementary school) with a total of 48 (57.1%). This
study is in line with the research conducted by Rifai
(2016) that the level of education of housewives who
have the most stigma is at the elementary level as
many as 7 people (46.7%). Elementary school is
included in the low education level which is one of
the factors influencing the stigma about PLWHA
where the community has an inappropriate
conclusion regarding actual HIV/AIDS [17].
The stigma against PLWHA is caused by
assuming that PLWHA are dirty people, doing
immoral things such as drug users, and dating
commercial sex workers. This behavior makes one
tends to be afraid and have excessive negative views
if living with an HIV person [18]. Stigma is
manifested by social rejection, lack of recognition
and discrimination that will cause shame and fear for
PLWHA to interact with other people [6].
Based on the results of the study the median value
of the highest stigma indicator was found in the
stereotype indicator which was 6.00. Stereotypes
causes stigma and discrimination, the emergence of
stereotypes due to the beliefs that individuals have
toward individual or group characteristics [19].
Stigma occurs when the general public agrees with a
person's bad stereotype [20]. Stereotype is a
cognitive aspect or frame of mind which consists of
belief and knowledge about a particular social group
[19]. Based on this theory, it can be concluded that
stereotypes are prejudices or beliefs about PLWHA
in the community. It can be assumed that the stigma
of housewives in Puger District, Jember Regency still
has stigma, one of which is by giving stereotypes
about PLWHA.
Analysis of Spirituality Relations with the Stigma of
Housewives Regarding People with HIV/AIDS in
Jember District
The results of this study indicate that there is no
significant relationship between spirituality and stigma
among housewife about people with HIV/AIDS in
Jember District where the p value is 0.213 (ɑ ≥ 0.05)
which means that H0 failed to be rejected. Other studies
also conducted that there was no relationship between
spiritual and stigma [21].
Factors that influence stigma are knowledge,
perception, access to information, attitudes and religion
[5]. Knowledge about HIV/AIDS affects a person's
attitude towards PLWHA. Knowledge is formed because
of the lack of ignorance about HIV/AIDS, especially in the
mechanism of HIV transmission in groups of people at
risk and how to prevent it, including the use of condoms.
Giving knowledge and information about HIV/AIDS is an
effective way to prevent and reduce stigma about PLWHA
[5].
Another factor that influences stigma is perception.
Perceptions of PLWHA influence how people behave
and behave towards PLWHA such as blaming, shame,
giving negative values and judging related to the
disease [5]. Perception of negative treatment in the
form of avoidance, humiliation and rejection in social
interaction [22]. Negative treatment arises from fear of
contracting, where a person is uncomfortable at direct
contact with PLWHA [23]. Perceptions about
HIV/AIDS relate significantly to the stigma of PLWHA
[24]. Researchers argue that perception affects a
person's stigma about PLWHA, if someone has a
negative perception of PLWHA, it will have an impact
on the treatment and prevention of people infected with
HIV/AIDS.
Another factor that influences stigma is access to
information. Information media such as television,
newspapers, radio and magazines are access to
information chosen by the community to get
information about HIV/AIDS. Information access is
used to provide knowledge, attitudes and behaviors to
prevent HIV/AIDS transmission and reduce stigma [5].
Another factor that influences stigma is attitude. A
person's attitude is very important in giving stigma
because it can affect the stigma of PLWHA, for
example a family that is the closest environment to
PLWHA, where the family feels ashamed of one of the
family members who are infected with HIV/AIDS [5].
Another factor influencing stigma is religion.
Religion has similarities with spirituality in the sense
that it helps individuals understand various problems
in their lives, but the framework used to understand
these problems may have differences, where in
religion there are foundations of theology, guidelines,
and guidelines from religion [11]. Other research
states that religiosity and spirituality can be separated
conceptually because religiosity has a structure of
theology and formality that is not possessed by
spirituality, but in the reality of individual life both
tend to be interrelated [25]. Religious knowledge has
a strong role in the way of thinking and patterns of
human behavior. Religion can be used as a tool of
justification and legitimacy for someone to give
attitudes and actions where religion teaches mutual
love without any difference [17]. Compliance with
religious values has an important role in HIV
prevention, for example religious activities can
influence a person's attitude and behavior. Religious
activities can reduce stigma about HIV/AIDS [9] -
[10]. The religious attribution categorizes PLWHA
as a sinner and in stigmatizing causes distance and
separation from others so that there is a lack of
sympathy for PLWHA [9].
Based on several studies, researchers assume that
there is no relationship between spirituality and
stigma because there are still other spirituality factors
that influence stigma such as religion, where religion
has an important role in individual life, thus forming
concepts of religiosity and spirituality. In addition,
other research states that there is no relationship
between spiritual and stigma, in spiritual research
consisting of three indicators, one of which is
religion, existential and spiritual [21].
IV. CONCLUSIONS
There is no significant relationship between
spirituality and the stigma of housewives regarding
people with HIV/AIDS (PLWHA) in Jember District.
This research can be an input for further research
to find out other factors that can influence stigma and
for spirituality variables to conduct for further
research related to other spirituality factors such as
religion, where religion has an important role in
individual life, thus forming the concepts of
religiosity and spirituality.
Acknowledgments
Author would like to thank "Puger Sub-District of
Jember Regency"
V. REFERENCES
[1] World Health Organization. 2017. 10 Facts on
HIV/AIDS. 2017. Available from:
http://www.who.int/features/factfiles/hiv/en/
[2] Olalekan AW, AR Akintude., And MV
Olatunji Perception of societal stigma and
discrimination towards people living with
HIV/AIDS in lagos, nigeria: a qualitative
study. Mater Sociomed. 2014 Jun; 26 (3):
191-194
[3] Joint United Nations Program on HIV and
AIDS. 2014. Reduction of HIV-Related
stigma and discrimination. 2014
[4] Joint United Nations Program on HIV and
AIDS 2015. On the fast-track to end AIDS
by 2030: Focus on Location and Population.
2015
[5] Syaluhiyah, et al. Community stigma against
HIV/AIDS. National Public Health Journal.
2015. 9 (4): 333-338
[6] Rifai, A. 2016. Application of brief
psychoeducation on HIV/AIDS stigma and
utilization of VCT in housewives in
plantation areas
[7] Avert. 2017. HIV stigma and discrimination.
UK: Avert
[8] Philip J, Chadee D, Yearwood RP Health care
students reactions towards HIV patients:
examining prejudice, emotions, attribution
of blame and willingness to interact with
HIV/AIDS patients. AIDS CARE. 2014
March; 26 (10): 1236-41
[9] Muturi N, Soontae A. HIV/AIDS stigma and
religiosity among african american women.
Journal of Health Communication. 2010 Jun;
15 (4): 388-401 Master's Degree Program in
Social and Welfare Development UGM;
2016
[10] Diaz NT, TB Neilands, SM Rivera, E.
Betancourt. Religion and HIV/AIDS stigma:
for health professionals in puerto rico.
Global Public Health. May 2010; 5 (3): 295-
312
[11] Amir Y, Lesmawati DR Religiosity and
spirituality: the same or different concepts?
Scientific Journal of Psychological
Research. 2016 Nov; 2 (2): 67-73
[12] Taylor L, Le M. Fundamentals of nursing:
the art and Ssience of nursing care.
Philadelphia: Lipincot; 1997
[13] Potter PA, Perry, AG Fundamental nursing
textbooks: concepts, processes and practices.
ed 4 language change. Jakarta: EGC; 2005
[14] Yusuf A, Nihayati HE, Iswari MF,
Okviasanti F. Spiritual needs: concepts and
applications in nursing care. Jakarta: Mitra
Wacana Media; 2016
[15] Hamid AY Potpourri of mental nursing care.
Jakarta: EGC; 2008
[16] Nelson JM Psychology, religion and
spirituality. New York: Springer Science
Business Media; 2009
[17] Kharis A. Stigma and the causes of
community stigma against HIV/AIDS
housewives. [Thesis] Yogyakarta; 2016
[18] Hermawati P. Relation of the perception of
PLWHA to the HIV/AIDS stigma of the
community with social interaction with
PLWHA. [Thesis]. Jakarta: Faculty of
Piskology, Syarif Hidayatullah State Islamic
University; 2011
[19] Scheid TL, TN Brown. A handbook for the
study of mental health: social contexts,
theoresis, and systems. American:
Cambridge University Press; 2010
[20] Ardani I, Handayani S. Stigma against
people with HIV/AIDS (PLWHA) as an
obstacle to seeking treatment: a case study of
injecting drug addicts in Jakarta. Health
Research Bulletin. 2017 Jun; 45 (2): 81-88
[21] HutsonS P, Darling C,Hall JM,Heidel RE,S
Gaskins. Stigma and spiritual well-being
among people living with HIV/AIDS in
southern appalachia. Issues Ment Health
Nurs.2018 Jun; 39 (6): 482-489
[22] X Li, Wang, H, Feenni K, William AB
Shadow on my heart: a culturally grounded
concept of HIV stigma among Chinese
injection drug users. JAN AIDS CARE.
2012 Jan / Feb; 23 (1): 52-62
[23] Bogart LM, Burton O, Cowgill, David K,
Gery R, Debra A, Murphy, Jacinta E, US
Mark HIV-related stigma among people
with HIV and their families: a qualitative
analysis . AIDS Behav. 2008 Apr; 12 (2):
244-54
[24] Febrianti. Factors related to stigma against
people with HIV/AIDS (PLWHA).
Endurance Journal. 2017 Jun; 2 (2): 158-167
[25] Davis TL, Barbara AK, Sharon ERK
Meaning, purpose, and religiosity in at-risk
youth: the relationship between anxiety and
spirituality. Journal of Psychologhy and
Theology. 2003 Dec; 10 (31): 356-365
 1

Does Being Religious Make Your Happier?

Case Study of Indonesian Muslim
Muhammad Azizurrohman1
1)
Global Master Tourism and Management, National Chiayi University, Taiwan R.O.C,
email: m.azizur96@gmail.com

as a rise in income. This result contradicts utility which

Abstract—Over the last two decades, happiness research has
extended its popularity from pyschology to economics area.
‘What makes people happy in life’ becomes one question in
current economic research to address. One factor that may
explain the happiness is religious attitude. As a country with
the largest muslim population, Indonesia becomes an
interesting object of research since it is ranked at 81st
position out of 155 countries according to World Happiness
Report in 2017. This position is still left behind from secular
countries in western world. Hence, the positive link between
religiosity and happiness as suggested by previous research
seems dubious and needs to investigate further. Using fifth
wave of Indonesia Family Life Survey data set, the current
paper seeks to examine empirically the link between religious
attitude of 12,759 muslim individuals and their perception on
happiness. Based on the results from logistic regression and
probit model, religiosity as measured by religious perception,
prayer frequency, and attending to religious meetings have
positive impact on the likelihood of being happy. Meanwhile,
involvement in islamic affiliation and schooling experience in
islamic institution do not seem to have any impact on
happiness.
Index— Terms Happiness, Indonesia, muslim, religiosity
I. INTRODUCTION
It has been more than two decades since happiness
became one intriguing topic economics area. ‘What makes
people happy in life’ becomes one question in current
economic research to investigate since happy people tend
to have higher productivity and longer life span. Hence, it
is not surprising that pursuit of happiness becomes
something that people strive for centuries. As one
economic indicator, income is associated with material
satisfactions and security, which results in a whole sense of
happiness. However, it was not until Easterlin (1995)
observed the happiness level of American which was about
as happy in 1990s as in the 1960s despite the subtantial
rise in national income. He argued that people tend to
adjust the conditions quickly by raising their expectations
always increases monotonously along with income.
Heterogeneity also matters which make it difficult to
draw the inference since some people have unobservable
attributes. Religion has been identified as a factor that may
explain heterogeneity. Through religious rituals, moral
codes, and communities, religion is expected to help
people pursuing happiness. Steiner et al (2010) divides
religion into internal and external religiosity. Internal
religiosity refers to having faith in God and accepting His
existence. External religiosity is defined to all activities in
religious context, such as attending services in worship
place. Some people may have faith in the existence of God
and participate in religious practices while some others
only believe the Lord without embracing particular
religion or participating in religious services. Hence, it is
necessary to distinguish between internal and external
religiosity since happiness can be affected by either of
them or might be working in both ways.
So far, some researchers have concluded positive
association between internal religiosity and happiness.
Pollner (1989) found that having faith in God has positive
effect on global happiness as well as life satisfaction and
excitement. Myers (2008) argued that religious people
suffered less from traumatic life events. Even, religious
belief is predominant factor that influences life satisfaction
(Ellison, 1991). Some arguments have been proposed to
connect the positive link between belief and happiness.
Pollner (1989) argued that happiness can be derived from
having interaction with supernatural imaginary being.
Having faith in God allows individuals to find the meaning
and purpose in life (Silbermann, 2005) since they will find
inner peace by prostrating and submitting entirely to their
God. Being a member of religion will protect them from
negative shocks, such as fall in income due to
unemployment (Clark and Lelkes, 2009), as well as social
contacts, support in times of need, conflict resolution, and

the prospect of eternal life in heaven (Fidrmuc and Tunali,
2015). Internal religiosity also causes spillover effects to
non-religious people since people tend to be more satisfied
living in more religious regions (Steiner et al, 2010),
whereas living in religious diversity will decrease the
happiness level (Mookerjee and Beron, 2005).
External religiosity is also shown to have positive
impact on happiness. Hayo (2007) found that church
attendance increases the probability of greater happiness,
and the impact is stronger than internal religiosity (Clark
and Lelkes, 2009), particularly for Afro-Americans
(Ellison and Gay, 1990). In this case, some people may
find peace through religious sermons in which various
verses in holy book are recited. In line with this result,
Greene and Yoon (2004) found that happiness increases
with religious attachement as measured by willingness to
attend religious services regularly. On the other hand,
Putnam (2009) argued that it is not church going that has
an impact on happiness but the number of friends in
congregation. Hence, it is not proximity to God that
derives happiness but the network of friendships that
matters. Furthermore, Margetic (2005) revealed that
people in religion which motivate the internalization of
values are less depressed than those who attend religious
meetings due to obligation. Even, costly religious
immolation, such as fasting during Ramadhan month for
muslim, can increase the happiness (Campante and
Yanagizawa-Drott, 2013).
Hout and Greeley (2012) conjectures that religious
people are happier through stronger belief and more
frequent religious practices. Through his literature review,
Zuckerman (2009) draw conclusion that religious
individuals performed better than nonreligious ones in
terms of life satisfaction and well-being. In this case,
nonreligious individuals are generally less happier than
religious ones. However, the tangible aspects of belonging
to religion tend to reduce happiness through restrictions on
behavior and consumption, whereas the spiritual aspects
increase it (Fidrmuc and Tunali, 2015). On the other hand,
a study from Opfinger (2010) found that happiness and
religiosity are linked through a U-shaped pattern in which
high happiness levels are to those with lower religiosity
and higher religiosity. He concludes that atheists are
happier if they live in a society where religion does not
matter, and so are the religious people living in a religious
society.
Based on World Happiness Report published by
United Nations in 2017, international comparisons asserted
that secular countries with higher level of nonreligious
society reported the highest rank of happiness as compared
2
to any countries which are attributed to specific religion.
In this report, happiness is measured by weighted score on
a scale ranging from 0 to 10 which consists of real GDP
per capita, social support, life expectancy, freedom of life
choices, generosity, and trust or absence of corruption in
government and business. Norway is the happiest country
in the world as followed by Denmark, Iceland, and
Switzerland in a tight score, and six other secular countries
are dominating in the top ten. On the other hand, the
highest rank of religious country which refers to muslim
country is United Arab Emirates on 21st position.
Meanwhile, Indonesia, as a predominantly muslim country
in the world with higher levels of religious diversity, are
far left behind on 81st position out of 155 countries.
Hence, the positive link between religiosity and happiness
as suggested by previous research seems questionable and
needs to investigate further.
In this study, we use the fifth wave of Indonesian
Family Life Survey, which is fielded between fall 2014
and spring 2015, to address this issue. This data set is
collected from a longitudinal household survey which
contains 83% of Indonesian population living in 13 of 34
provinces in the country. Differ from most studies which
compares happiness between religious and non-religious
group, this research will be among the first which
concentrates on muslim individuals only in developing
countries. Even though a similar study has been
undertaken in Pakistan by Ismail and Desmukh (2012)
with 65 men and 85 women as the sample with an age
range from 18 to 60 years, this study is different based on
more diversified and larger sample as many as 12,759
muslim individuals ranging from 14 to 91 years old. This
study is not limited to specific group, such as muslim
students in Algeria (Tilouine and Belgoumidi, 2009) and
muslim adolescents in Kuwait (Abdel-Khalek, 2007). This
research is also different from Migheli (2009) in the
context of muslim as a minority group in India, whereas it
is a majority group in Indonesia.
The objective of this study is to make further
contribution to knowledge by examining religious factors
that boost happiness through the use of micro-level data as
most of previous studies used aggregate data to trace the
relationship between religiosity and happiness. Since most
literature in this matter has been dominated by western
world subject to specific religion, such as christianity and
jewish, then it is important to extend this topic area to
muslim in a nation with different cultures and societies.
Furthermore, the benefit of this study is expected to help
the people who suffer from depression, through the role of

religion, in order to make them feel satisfied with their
own lives.
The structure of this paper is organized as follows: In
section 2, we introduce our data set and all the variables
we employ in our model for empirical analysis. In section
3, we discuss our results and in the last section, we
conclude and discuss our findings as well as suggestion for
further research.
II. DATA AND METHODS
The analysis is based on questionnaire from the fifth
wave of Indonesian Family Life Survey (IFLS-5) as
executed during 2014 to 2015. As dependent variable, our
measure of happiness is based on subjective well-being
and obtained from this standard question:
“Taken all things together, how would you say things
are these days?”
Based on the respondents’ response, the answers are
coded by 0 (unhappy) and 1 (happy). As independent
variable, religiosity is measured by self reported of how
religious they are as coded by 0 (not religious) and 1
(religious). We also consider participation in religious
activities as measured by how many times respondents
pray each day and how often they participate in religious
meeting in the past 12 months, ranging between 1 (never)
and 5 (very often). As for involvement in major religious
affiliation, we have information whether the respondents
are Muhammadiyah, as coded by 1, or Nahdlatul Ulama
and others, as coded by 0. We also record whether the
respondents have attended islamic school to distinguish
them with those who have not acquired extensive islamic
teaching in general school.
In our model, we control for a wide range of socio-
economic characteristics: gender, age, marital status, and
income, in addition to religiosity. Gender is coded by 0 for
female and 1 for male to distinguish the physical
characteristic of respondents. Age measures how old the
respondent during the data collection. Marital status is
coded by 1 for formal marriage and 0 for others, consisting
of not married, separated, divorced, widow(er), and
cohabitate. Income refers to total earnings of respondent in
the last 12 months. The basic statistics for each variable is
portrayed in Table 1. We also display inference statistics
covering bi-variate analysis through correlation matrix for
all variables in Table 2, and multivariate analysis through
logistic regression (logit) and probit model. These models
are more suitable than linear regression when attempting
to model a dichotomous dependent variable. First, using
linear regression will lead to predictions outside the range
of zero. Second, the functional form has the same marginal
3
effect on dependent variable for any value of independent
variables. Third, a residual plot would demonstrate
heteroskedasticty problem.
Logit and probit models solve the problems of linear
regression by fitting a nonlinear function to the data which
considers the boundaries of dependent variable, enables
for different marginal effect, and solves heteroskedasticity
problem. Unlike probit model which uses cumulative
distribution function of the standard normal distribution,
logit model uses cumulative distribution function of the
logistic distribution. Hence, both functions will produce
any number to fall between 0 and 1 and can be
transformed to produce a predicted probability with similar
(but not identical) inferences.
III. RESULTS
Since the dependent variable, happiness, ranges from
0 to 1 (binary), then we use probit and logit model to study
the determinants of happiness based on religiosity and
socio-economic factors. The comparation of our probit and
logit regression is shown in Table 3.
Basically, there is no significant difference between
our probit and logit estimation, and the results from both
estimations seem to produce similar conclusion. Our
regression reproduce a number of findings. Using the 1%
level of significance, we can confirm that being religious
is more likely to be happy in both estimation. Its marginal
effect is 0.034 which means that religious individual has
higher probability of being happy than those who are not
by 0.034 (holding other explanatory variables constant at
their average values). There is also strong evidence that
attending to religious meetings more frequently is
associated with higher probability of being happy. Its
marginal effect suggests that the probability of being
happy rises by 0.007 as the attendance increases by one
unit level. Even though there is different level of
significance in probit and logit estimation, we still can
conclude that more frequent prayer leads to higher
likelihood of being happy. Its marginal effect in both
models assert that the probability of being happy increases
by 0.002 if the number of prayer increases by one. Hence,
our results suggest that the more religious the people, the
happier they are.
Nonetheless, having affiliated with islamic tradition
and education experience in islamic school do not seem to
have any impact on happiness. It implies that intensity of
religious attachment can increase happiness with no need
to have experience in formal islamic teaching or
participating in religious affiliation. Happiness of religious
people comes from the intensity of their faiths, not from
formal doctrine associated with religious institution.
Hence, religious education through islamic institution
needs to be directed at positive psychology and preventive
counselling to deal with various life stressors so that it
may result in greater wellbeing and happiness.
Our regression also contains a broad range of socio-
economic characteristics. For example, gender difference
does not seem to affect the respondent’ happiness, but it is
only statistically significant at 10% level on logit model
that male has lower probability of being happy than
female. Meanwhile, age matters in determining happiness
since the older respondents, the less likely they are of
being happy than those who are younger. Its marginal
effect implies that each increase in age will lower the
probability of being happy by 0.003. The respondents with
formal marriage statistically tend to be happier than those
who are not since it provides them legal and social
protection as well as division of burden in life. Even, its
marginal effect is the greatest among any other variables in
our model. We also conclude that respondents with higher
income are more likely to be happy. It means that income
is positively related to happiness, even in the context of
muslim as our respondents.
IV. DISCUSSION
Our findings confirm the previous studies that
religiousity increases happiness. It implies that religiosity
comes from belief and the deeper it is, the stronger the
practice. When people feel the connection with God whom
they believe is merciful and almighty, this will help them
to relax and more optimistic. Otherwise, the failure to
surrender to God will result in misery. They will see that
distressing events will not continue forever and have a
purpose. Having faith of God in Islam is considered a gift
that will help them to be patient and understanding.
Muslim individuals believe that God will help people and
this belief create motivation to tackle the obstacles and
survive during the bad times. Through regular prayer every
day, the communication with God is strengthened and men
are required to say their prayer together at the mosque on
Friday. Saying the prayers in a group helps people to meet
and talk and build social relationships. This will encourage
individuals to avoid feelings of emptiness. Our findings
also suggest that socio-economic factors, such as age,
marital status, and income, matter in determining
happiness of muslim individuals in Indonesia.
For further research, we need to extend the study to
other religions and estimate the separate regression for
each religion in order to compare the relationship between
4
religious attitude and happiness across religions in
Indonesia.
V. REFERENCES
[1] Abdel-Khalek, A. M. (2007). Religiosity, happiness,
health, and psychopathology in a probability
sample of Muslim adolescents. Mental Health,
Religion, and Culture, 10, 571-583.
[2] Clark, A. & Lelkes, O. (2009): Let Us Pray: Religious
Interactions in Life Satisfaction, PSE Working
Papers 2009-01, PSE (Ecole normale supérieure).
[3] Campante, F., Yanagizawa-Drott, D., (2013), “Does
Religion Effect Economic Growth and
Happiness? Evidence from Ramadan”, Harvard
Kennedy School Faculty Research Working
Paper Series RWP13-052.
[4] Ellison, C. & Gay, D. (1990): Region, Religious
Commitment, and Life Satisfaction Among Black
Americans, in: The Sociological Quarterly, Vol.
31/No. 1, 123-147.
[5] Easterlin, R. A., (1995), “Will Raising the Incomes of
All Increase the Happiness of All?”, Journal of
Economic Behavior and Organization 27(1), 35-
47.
[6] Gundlach, Opfinger. (2011). GIGA Research
Programme: Socio-Economic Challenges in the
Context of Globalisation. religiosity as a
Determinant of Happiness.
[7] Greene, K. & Yoon, B. J. (2004): Religiosity,
Economics and Life satisfaction, in: Review of
Social Economy, Vol. 70/No. 2, 245-262.
[8] Hayo, B. (2007): Happiness in Transition: An
Empirical Study on Eastern Europe, in: Economic
Systems, Vol. 31/No. 2, 204-221.
[9] Hout, Michael, and Andrew M. Greeley. 2012.
“Religion and Happiness.” Pp. 288-314 in Social
Trends in American Life edited by Peter V.
Marsden. Princeton: Princeton University Press.
[10] Ismail, Desmukh, (2012). Religiosity and
Psychological Well-Being. Vol.3 No. 11.
[11] Jan Fidrmuc, C. B. (2015). Happiness and Religion.
Economics and Finance Working Paper Series,
15-20.
[12] Mookerjee, R., Beron, K., (2005), “Gender, Religion
and Happiness”, Journal of Socio Economics
34(5), 674-685.
[13] Migheli, Matteo. (2009). Religiosity and happiness:
an ever-winning couple? An answer from India.
Department of Public Policy and Public Choice.
[14] Margetic, B. (2005), Religiosity and health outcomes:
review of literature: Coll.Antropol., v. 29, no. 1,
p. 365-371.
[15] Myers, D. G. (2008): Religion and Human
Flourishing, in: Eid, M./ Larsen, R. J. (Eds.): The
Science of Subjective Well-Being, New York:
Guilford Press, 323-346.
 5

[16] Putnam, R. & Lim, C. (2009): Praying Alone Is No
Fun: Religion, Social Networks, and Subjective
Well-being. Mimeo.
[17] Pollner, M. (1989): Divine Relations, Social
Relations, and Well-being, in: Journal of Health
and Social Behavior, Vol. 30/No. 1, 92-104.
[18] Steiner, Lasse ; Leinert, Lisa ; Frey, Bruno S.:
Economics, religion and happiness. In: Zeitschrift
für Wirtschafts- und Unternehmensethik 11
(2010), 1, pp. 9-24. URN: http://nbn-
resolving.de/urn:nbn:de:0168-ssoar-348987.
[19] Silberman, I. (2005): Religion as a Meaning System:
Implications for the New Millennium, in: Journal
of Social Issues, Vol. 61/No. 4, 641-663.
[20] Tiliouine, H., & Belgoumidi, A. (2009). An
exploratory study of religiosity, meaning in life
and subjective wellbeing in Muslim students from
Algeria. Applied Research in Quality of Life, 4,
109-127.
[21] Zuckerman, P. (2009). Atheism, secularity, and well-
being: How the findings of social science counter
negative stereotypes and assumptions. Sociology
Compass, 3(6), 49-971.

Appendices
Table 1
Descriptive Statistics

Variable Min Max Mean

Happiness 0 1 -
Religious 0 1 -
Prayer frequency 0 88 4.719
Religious meeting 1 5 2.634
Islamic education 0 1 -
Age 14 91 38.726
Gender 0 1 -
Marital status 0 1 -
Income (million IDR) 0.01 1,000 19.396

Table 2
Correlation

Happiness gender Age prayer religious affiliation married islamedu Income meetings
Happiness 1
Gender 0.0105 1
Age -0.1442 0.0209 1
-
Prayer 0.0146 0.1032 0.2277 1
-
Religious 0.0328 0.1116 0.2144 0.2821 1
- -
Affiliation -0.0007 0.0199 0.0004 0.0192 0.0033 1
Married 0.0999 0.1069 0.1856 0.0486 0.081 -0.0205 1
- -
Islamedu 0.0051 0.0153 0.0651 0.0575 0.0261 -0.0619 -0.0154 1
-
Income 0.0737 0.0999 0.0035 0.0237 -0.013 0.0356 0.0648 -0.0458 1
-
Meetings 0.0125 0.0122 0.2165 0.2173 0.1527 -0.0085 0.0634 0.0398 0.0104 1
 6

Table 3
Probit and Logit Model with robust standard error

Probit Logit
Coef Marginal effects Coef Marginal effects
Cons 1.482*** 2.454***
(0.0732) (0.1417)
Gender -0.050 -0.006 -0.126* -0.009
(0.0370) (0.0050) (0.0735) (0.0051)
Age -0.023*** -0.003 -0.042*** -0.003
(0.0013) (0.0002) (0.0024) (0.0002)
Prayer 0.016*** 0.002 0.034* 0.002
(0.0091) (0.0009) (0.0199) (0.0010)
Religious 0.247*** 0.034 0.489*** 0.034
(0.0411) (0.0057) (0.0840) (0.0058)
Affiliation -0.013 -0.002 -0.032 -0.002
(0.0481) (0.0066) (0.0948) (0.0067)
Married 0.454*** 0.063 0.831*** 0.058
(0.0398) (0.0053) (0.0763) (0.0053)
Islamedu -0.035 -0.005 -0.079 -0.006
0.0640 (0.0089) (0.1278) (0.0090)
Income 0.012*** 0.002 0.031*** 0.002
(0.0023) (0.0002) (0.0047) (0.0002)
Meetings 0.051*** 0.007 0.096*** 0.007
(0.0135) (0.0019) (0.0267) (0.0019)
log likelihood -3287.231 -3284.901
LR chi2 642.46
Wald chi2 549.3
Pseudo R Square 0.088 0.089
Prob>Chi2 0.000 0.000
Standard errors in parentheses. Significance: ***p<0.01; **p<0.05; p<0.10.
 Identification of Phosphatidylinositol-5-phosphate-
specific Binding Proteins Using Yeast Proteome
Microarrays and Non-quenched Fluorescent
Liposome
Samuel Herianto and Chien-Sheng Chen1)
1)
Department of Food Safety/Hygiene and Risk Management, College of Medicine, National Cheng Kung University, Tainan City 701,
Taiwan (R.O.C), e-mail: samuelhgmunthe@gmail.com.
Abstract ___All the biological functions are raised due to the joint
action of several biomolecules so-called interactions. Interaction of
two biomolecules can provide functions that would not be possible
individually. These interactions also can be helpful to grasp many
molecular mechanisms behind the cellular process. There has long
been highly interests to fulfill the need for systematic biochemical
screens of these interactions. While protein-protein, protein-DNA,
and protein-RNA have been widely studied, protein-lipid
interactions are poorly understood and still require systematic
investigation. Protein microarrays and liposomes are one of the
most powerful flat forms and tools to identify lipid-protein
interactions. Non-quenched fluorescent (NQF) liposomes are
developed liposomes (spherical vesicles) that are surrounded by
phospholipid bilayers in which the lipid of interest can be
incorporated and can enhance the signal amplification instead of
common liposome. Thus, NQF liposomes can be used to detect and
to analyze interactions between thousands of proteins and a small
number of lipids with a single experiment simultaneously.
Phosphatidylinositol-5-phosphate (PI(5)P) is recognized as well-
established membrane-anchored regulatory molecules which is one
of the phosphorylated derivatives of phosphatidylinositol with less
understood functions. Using this method, 23 PI (5) P-specific
binding proteins were identified and found to be involved in
biochemical processes such as: transferase, transporter, DNA/RNA-
binding, GTPase, oxidoreductase, cytoskeleton, lyase, vacuolar
sorting, activator, helicase and hydrolase and chaperon.
Index terms___Yeast proteome microarrays, protein-lipid
interactions, liposomes, phosphatidylinositol-5-phosphate
I. INTRODUCTION
Lipid and proteins are very essential in their individual role in a
living organism. Proteins have great diversity of functions ranging from
catalyzing vital biological reactions to transporting nutrients [1], and
lipids have integral roles such as very essential in their individual role
in a living organism. Proteins have great diversity of functions
ranging from catalyzing vital biological reactions to transporting
nutrients [1], and lipids have integral roles such asstoring energy or
being a major component of a membrane [2]. Despite their
individual importance, interaction of these two molecules can
provide functions that would not be possible individually. This may
be related to cell adhesion and communication, regulation of
signaling, transport and metabolism, immune response, and other
biochemical complex processes [3].
For instance, 20-30% of genome of any organism codes
membrane protein [3, 4]. Lipids binding to membrane proteins
not only protect cells but also flexibly modulate environmental
changing. The function of membrane proteins are belonged to the
number of lipid bilayer surrounding its surface [5].
While protein-protein, protein-DNA, and protein-RNA have
been widely studied, protein-lipid interaction are poorly
understood and still require systematic investigation. Currently,
about 60% of drug targets are cell surface compartments [6].
Each protein realizes individual lipid based on their specific
bindings. In addition, lipid signaling contributes major role in
inflammation, cancer and metabolic disease [7]. Therefore,
investigation in protein-lipid interaction will support finding new
efficient therapeutic strategies and help to explain another
biochemical process.
There have been 9 protein-lipid interactions methods
occurred in these 2 decades, ranging from classical methods to
high throughput flat forms, such as: lipid pull-down [8], lipid-
overlay assay [9], protein microarrays [10, 11], liposome
microarray-based assay (LiMA) [12], living-cell imaging [13,
14], ras rescue assay [15], caged lipids [16], affinity purification
lipodomics [17, 18] and chemical engineering of lipids [19-21].
However, protein microarrays came as the most powerful and
high throughput tool to study protein-lipid interactions among
another methods [22].
Proteome microarrays (protein chip) is a high-throughput
and efficient technique to study protein interactions, activities,
and functions [22]. Protein microarray is a miniaturized,
unbiased, and parallel platform, which contains thousands of
purified proteins in high-density format for analyzing a large
number of proteins simultaneously in a single experiment [10,
22]. A protein chip assay is usually prepared by immobilizing
proteins onto a glass slide using a standard contact spotter or non-
contact microarrayer . Thousands of purified proteins are
immobilized in a high-density format on a slide surface [10].
Protein microarrays for studying protein-lipid interaction
were initiated by Zhu (2001). Zhu et al. used five types of
biotinylated liposomes from phosphoinositides group (PIs),
including phosphatidylinositol-3-phosphate (PI3P),
phosphatidylinositol-4-phosphate (PI4P), phosphatidylinositol
3,4-bisphosphate (PI(3,4)P2), phosphatidylinositol-4,5
bisphosphate (PI(4,5)P2) and phosphatidylinositol-3,4,5
trisphosphate (PI(3,45)P3). 500 phosphoinositides-specific
proteins were identified on the yeast protein array that bound one
or another or the labeled liposomes.
 Lu et al. (2012) [11] developed the liposomes to non-
quenched fluorescent (NQF) liposomes and succeeded in
designing more direct and simpler methods without using biotin
and streptavidin to detect the binding. Sulfhorodamine B (SRB)
and LRB-DPPE are used as the fluorescent dyes to encapsulate
the liposomes. As the result, 158 PI(3,5)P2-specific binding
proteins were identified. This demonstrated that proteome
microarrays and NQF liposome can be used as effective tool to
generate good result in studying protein-lipid interactions. Totally,
Zhu and Lu have succeeded to study protein-lipid interactions
using 6 PIs group derivative. However, based on phosphorylation
by a variety of kinases, PIs have 7 derivative compounds
including PI(3)P, PI(4)P, PI(5)P, PI(3,4)P2, PI(3,5)P2, PI(4,5)P2
and PI(3,4,5)P3 [23]. Among them, PI(5)P has not been observed
and explored yet. Moreover, it is also one of the eight known
cellular phosphoinositide with less understood functions.
Observation of PI(5)P-protein interactions can finish the story of
PIs and yield more information about the functions of this lipid
than can complete our data base.
II. BASIC THEORIES
Proteome microarray is an array of entire proteins of a
particular organism (contain thousands of purified proteins from
a particular organism). Zhu et al. [10] demonstrated the
construction and application of the proteome microarrays for the
first time. Yeast proteome microarrays that contained 85%
(>5,800) individually purified proteins were used for several
studies, including a lipid-proteome interaction study involving
liposomes [10]. Liposomes are spherical vesicles surrounded by
phospholipid bilayers in which the lipid of interest can be
incorporated [24]. Liposomes allow lipids to suspend in a buffer
solution for proteome chip assays.
The first history of protein microarrays for studying protein-
lipid interaction came from Zhu (2001). Zhu et al. made five
types of biotinylated liposomes with five kinds of lipids,
including PI3P, PI4P, PI(3,4)P2, PI(4,5)P2 and PI(3,45)P3. Each
biotinylated liposome was constructed by containing
phosphatidylcholine (PC) with 1% (w/w) Biotin DHPE (N-
(Biotinoyl)-1,2-Dihexadecanoyl-sn-Glycero-3-Phosphoethanol-
amine, and Triethyl- ammonium Salt) [10]. When probing with
the yeast proteome chip, Cy3-streptavidin was used to detect the
biotinylated liposomes. As a result, through the liposomes, 500
different proteins were identified on the yeast protein array that
bound one or another or the labeled liposomes.
However, in 2012, Lu et al. [11] modified the liposomes to
non-quenched fluorescent (NQF) liposomes and succeeded in
designing more direct and simpler methods. First, NQF liposomes
were constructed with cholesterol, dipalmitoyl phosphatidylglycerol
(DPPG), dipalmitoyl phosphatidylcholine (DPPC), lissamine
rhodamine B-dipalmitoyl phosphatidylethanol (LRB-DPPE), and
PI(3,5)P2 as the lipid of interest [11, 25]. Sulfhorodamine B (SRB)
served as the fluorescent dye to encapsulate the liposome. Another
fluorescent dye, LRB-DPPE, was used to label liposomes with
fluorescence in the lipid bilayers.
Interestingly, adding LRB-DPPE as a second fluorescent dye
can produce stronger signal than having only SRB; in fact, LRB-
DPPE contributed the most to the fluorescent signals on the
membrane surface of liposome [11]. Therefore, this liposome
contained two kinds of important fluorescent dyes (SRB as an
encapsulant and LRB-DPPE as labels) within the liposomal
bilayer, to provide signals directly. As the result, NQF liposomes
have allowed a simple method to detect lipid-protein interactions
in a one-step experiment without the need for adding Cy3-
streptavidin when probing the yeast proteome chip. These both
reports demonstrated that liposome can be used as effective tool
to generate good result when studying lipid-protein interactions.
Basically, both Zhu and Lu have succeeded to apply protein
microarrays and NQF liposome successfully as the most powerful
and promising tools to study lipid-protein interactions [10, 11].
Due to its high throughput technology, protein microarrays is the
only flat form to study all kind of lipids faster than another
method. Based on LIPID MAPS, there are 8 lipid categories
including fatty acyls, glycerolipids, glycerophospholipids,
sphingolipids, sterol lipids, prenol lipids, saccharolipids and
polyketides. Each category contains subgroups. Among these,
glycerophospholipids, spingolipids and sterol lipids are the main
component of cell membrane that are considered to interact with
proteins to accomplish their roles [26, 27]. Furthermore,
according to our review, saccharolipids and polyketides are the
lipid category that have been observed at all by any methods.
However, both Zhu and Lu have studied lipid-protein
interactions using phosphoinositide group (PIs) [10, 11]. PIs are
an important group of membrane phospholipids and include in
glycerophospholipids category that are very abundant in cell
membrane [27]. They have been implicated in a wide variety of
cell functions as second-messengers that regulate diverse cellular
processes, including growth, differentiation, cytoskeletal
rearrangements, and membrane trafficking [28]. Based on
phosphorylation by a variety of kinases, PIs have 7 derivative
compounds [23]. While PI(3)P, PI(4)P, PI(3,4)P2, PI(3,5)P2,
PI(4,5)P2 and PI(3,4,5)P3 have been known to involved in many
biological processes, PI(5)P has not been observed and explored
yet.
III. METHODS
A. Fabrication of NQF Liposome
All the chemicals including LRB-DPPE (Avanti Polar Lipids),
DPPC (Avanti Polar), DPPG (Avanti Polar Lipids), cholesterol
(Avanti Polar Lipids), PI5P (Avanti Polar Lipids) are placed into an
electronic desiccator for 15 minutes to remove moisture. All the
lipids were added into a 25 mL round-bottom flask as this amount:
LRB-DPPE 0.3% (0.004 µmole), DPPC 49.3% (0.657333 µmole),
DPPG 5% (0.066667 µmole), cholesterol 45% (0.6 µmole), PI5P
0.4% (0.005333333 µmole). Vortex was used to make sure that they
are mixed completely. 700 µL of 200 µM SRB was pre-warmed to
60 °C in water bath. Organic solvents were evaporated by using N2
gas to form lipid films. The pre-warmed 700 µL of
200 µM SRB 60oC was added into the ground flask that containing
lipid films. The flask was vortexed until the lipid film is completely
detached from the wall of the flask. Incubation was performed at
60°C in a water bath for 45 min. The 1 mL zeba desalt spin columns
(Thermo Scientific) then was prepared by washing it with 1 mL of
TBS-sucrose for 3 times as company direction. A 50-nm-diameter
polycarbonate membrane (Whatman) and four membrane supports
(Whatman) were pre-washed in TBS-Sucrose.
The mini-extruder was set up and tested by using TBS-
sucrose. The NQF liposomes were extruded through a 50 nm
polycarbonate membrane for 30 times at 60°C. Separation of
liposome was conducted by adding the liposomes suspension to
obtain the center of a prewashed desalting spin column and
centrifuging the column at 1,000 rpm for 2 minutes to obtain the
purified liposomes. The purified liposomes were collected in an
Eppendorf tube and store it at 4°C.
2
.
B. Proteome Chip Assays
4 mL of blocking buffer was prepared and placed into a 4-well A B
box. 200 mL of TBST solution was also prepared in a
polypropylene box. Yeast proteome chips were taken from −80 ̊C
freezer quickly and immersed (face down) in the TBST solution
for 3 minutes (immersing the chip for 2 minutes without shaking,
then immersing it while shaking for 1 minute). Furthermore, the
chips were shaken gently (face up) for 2 minutes using orbital
shaker. The chips then were removed from the TBST solution
carefully and put in a 4-well containing blocking buffer and
incubated for 1 hour at RT with gentle shaking. NQF liposomes
were prepared by diluting it to 110 µL in TBS-sucrose in
Eppendorf tube. Flow cytometer was used to control the liposome
concentration. Then the chips were removed from the blocking
buffer by carefully grabbing the barcode end and probed with 110
µL of NQF liposomes containing PI5P and structural lipid only
(negative control). Both chips (PI5P and negative control) were
incubated simultaneously in a modified incubator for 80 minutes Fig. 1. Purification of NQF liposome using zeba spin column. Zeba spin
column separated liposomes from free fluorescent dyes by using size exclusion
at room temperature with very gentle shaking using a 3D shaker.
chromatography principle. Extruded liposomes were added into the column and
To remove the unbound liposomes, chips were washed using 1X- using centrifuge to fasten the separation. NQF liposomes were collected and while
TBS (pH=7.5) for 6 times. The chips were naturally dried in a the free fluorescent dye kept staying in the upper side of the column. (A) SRB
chemical drug shelf. The slides were then scanned with a Lux placed in column and (B) Liposomes placed in column.
Scanner (CapitalBio) to generate the tiff file. Zeba spin column works on principle of size exclusion
C. Hits and Databases Analysis chromatography. Liposomes which have bigger size than fluorescent
Binding signals (hits) were analyzed with the GenePix Pro 6.0 dye can fall down faster, while the fluorescent dyes such as SRB and
software. Tiff files were opened using GenePix and analyzed by LRB-DPPE which have smaller size will be trapped in the pore of
doing the alignment. Protein functions are retrieved from UniProt resin within the column. This could be one of the strong evident that
Knowledgebase (http://www.uniprot.org/uniprot/), and the liposomes have been separated from free fluorescent dyes
Saccharomyces Genome Database (http://www.yeastgenome.org). successfully. To fidelity of this separation process, we also
Protein family and domain architecture were obtained from the Pfam performed separation for SRB alone in the column (Fig.1A). As the
database (https://pfam.xfam.org/). result, the eluates collected did not contain any fluorescent dye
(fluorescent intensity is 0). By this, we convinced that liposomes
IV. RESULTS
separation can be conducted successfully.
A. Fabrication of NQF Liposome
(1) Purification of liposome: Fabrication of liposome was
initiated by phospholipids mixing, including: LRB-DPPE 0.3% NQF Liposome Free Fluorescent Dye
20000
(0.004 µmole), DPPC 49.3% (0.657333 µmole), DPPG 5%
(AU)

(0.066667 µmole), cholesterol 45% (0.6 µmole), PI5P 0.4%

15000
(0.005333333 µmole). Vortexing and sonicating are conducted to
Intensity

make sure if the lipids have mixed completely. Evaporation by

using N2 gas is needed to remove the organic solvent (methanol 10000
Fluorescen

and chloroform) and lipid films were generated. Furthermore,

SRB was added to hydrate the lipids. In the presence of water in 5000
t

hydration, the hydrophilic heads of phospholipids are attracted to

water and line up to form a surface facing the water. In contrast,
the hydrophobic tails are repelled by water, and line up to
generate a surface away from the water and the combined
structure forms a bilayer (liposome). Hydration is not only to
form the liposomes, but also it is as the important step to
encapsulate and to label the liposomes. Final product of hydration
is a large multi lamellar vesicle (LMV). The following step is
extrusion to downsize and homogenize the liposome, so-called
large unilamellar vesicle (LUV).
To ensure whether we have obtained the pure liposome, we
use the zeba spin column to separate between the free
fluorescent dyes and liposomes. We used the centrifuge in 1000
rpm for 2 minutes to fasten the separation process. Fig. 1B
show that NQF liposomes can drop from the column faster than
free fluorescent dyes.
0
0 5 Eluate (mL) 10 15 20
Fig. 2. Fluorescent intensity of NQF liposomes and fluorescent dyes. Since the
separation of NQF liposomes and fluorescent dyes have done successfully,
washing the spin column using 1X TBS was continued and each eluate is also
collected in Eppendorf tube. The fluorescent intensity of each eluate will be
measured using ELISA reader.
The eluates in each spinning of column were collected.
Fluorescent intensity of each eluate then were measured using ELISA
reader. Fig. 2 demonstrated obviously that first eluate column (orange
line) is NQF liposomes with the its highest intensity is 3,660 AU and

3
while free fluorescent dyes will be followed then. Both Fig. 1 and
Fig. 2 explained that liposomes and free fluorescent dyes have
been separated successfully.
(2) Size of liposome: Dynamic Light Scattering (DLS) was
used to measure the size of liposome. We provided the 2 types of
liposomes: liposome using 50 nm and 200nm polycarbonate filter
membrane. Liposome using 50 nm filter membrane can generate
the smaller size of liposome than liposome using 200 nm filter
membrane (Fig. 3).
400
350
300
size (nm)
cleaner and has better possibility to analyze the hits for studying
lipid-protein interactions. Furthermore, we used 50 nm
polycarbonate filter membrane to fabricate the liposome.
(3) Liposome concentration: Liposome fabrication will yield
the different liposome concentration, meanwhile we need to
control the liposome concentration before probing it on the yeast
chip. We tried to test the instrument reproducibility for our
sample (liposomes). We measured the concentration of some
serial dilutions of liposome and found that they both have the
high correlation with R2 = 0.9997 (Fig. 5). We then chose 1,000
particles/µL as the standard concentration of liposome to probe
into yeast proteome chips.

on(particle
Liposomec
oncentrati
1200

s/µL)
250 291
y = 1118.2x + 0.3084
200 1000
R² = 0.9997
m
o

e
s

150
160 800
100
50 600
0
400
Liposome using 50 nm filter Liposome using 200 nm
membrane filter membrane
200
Sample
0
Fig. 3. The size of liposome using Dynamic Light Scattering (DLS). There are 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
2 liposomes. (a) Liposome using 50 nm filter membrane and (b) Liposome using
200 nm filter membrane. Serial dilutions of liposome
A Fig. 5. Dose response curve of liposome concentration for NQF liposome. The
fluorescent intensity of serial dilution of liposome was measure using ELISA reader to
see the correlation between liposome concentration and fluorescent intensity.

B. PI5P-protein Interactions Using NQF Liposomes

B slide and incubated simultaneously for 80 minutes within the
Fig. 4. Chip images of two different size of liposomes. The both liposomes were
probed on the yeast proteome chip to see the image quality. (A) Image of
liposome using 50 nm filter membrane and (B) Image of liposome using 200 nm
filter membrane.
To see the productivity of the both kind of liposomes, we
probed these liposomes into yeast proteome chip. Liposome
using 50 nm filter membrane can generate better image (Fig. 4).
Chip image is
After we are able to generate the good liposomes by
considering the size and concentration, we probed the liposomes on
the yeast proteome chip. Two types of NQF liposomes were
constructed as PI5P-NQF liposome and negative control-liposome.
These liposomes were simultaneously incubated on the yeast
proteome chip slides. The chip assay was initiated by washing the
yeast chip in the TBST and blocking by BSA (3% in 1X TBS) for 1
hour. The both liposomes were probed on the different yeast chip
modified incubator. Washing the probed yeast chip is necessary to
remove the unbound liposome. Naturally drying can be performed to
dry the chip. Proteome Lux Scanner was used to scan the chip and
produce the high resolution chip image to see the binding signal (Fig.
6). Furthermore, GenePix 6.0 software was used to do the alignment
and identified PI5P-specific binding proteins. To conduct the
quantitative analysis of the binding signals, we used the GenePix
software and we can produce the signal intensity of each spotted
protein on the scanned chip as the value of median foreground minus
the median background signals. As statistical data, a histogram of
signal intensity generated from GenePix also can be used to identify
the real hits of protein to determine the standard deviation (S.D.)
value. Then we used a cut-off of ≥ mean +1 S.D. to identify the real
hits. To convince our ability to identify the real hits, we also make
additional criteria, such as (1) both duplicate spotted protein on the
chip should show the significant signal intensity and (2) the
considered hits are required to reproducible in repeated experiment
chip assay. By these strict criteria, a total of 23 proteins were found
to be bound with PI5P specifically.

4
 A

B
Negative Control PI5P

Fig. 6. A schematic representative of PI5P binding proteins using yeast proteome chips. (A) Yeast proteome chips containing of thousands of purified proteins
were probed with NQF liposomes and incubated for 80 minutes. Unbound liposomes were removed by using 1X TBS. After naturally drying, the chips were scanned
using Lux Scanner. (B) Image of yeast chip for negative control liposomes (left panel) and PI5P liposomes (right panel) for duplicate experiment.

C. PI5P-protein Interactions Using NQF Liposomes
By using the same methods, we first reported the previous result
from another reports. Five types of biotinylated liposomes with five
kinds of lipids, including PI(3)P, PI(4)P, PI(3,4)P2, PI(4,5)P2, and
PI(3,4,5)P3 were probed with yeast proteome chips
[10]. Cy3-streptavidin was used to detect the biotinylated liposomes
binding proteins [10]. As a result, through the liposomes, 150
phosphoinositide-binding proteins were identified on the yeast protein
array that classified into kinase (14.1%), transcription
factor (6.7%), transferase (4.7%), oxidoreductase (4.0%),
vacuolar transport (4.0%), cytoskeleton (2.7%), GTPase (2.0%),
phosphatase (2.0%) and ribosome (2.0%) [10]. In 2012, the
developed liposomes (NQF liposomes) containing PI(3,5)P2 lipid
were used to probe on yeast proteome chips [11]. 158 PI(3,5)P2-
specific binding proteins were identified. These proteins were
predicted to be ribosome (6.8%), oxidoreductase (6.8%),
transferase (5.6%), transcription factor (3.7%), phosphatase
(3.7%), kinase (3.7%), cytoskeleton (3.7%), and GTPase (2.5%)

5
[11]. However, these previous reports did not include PI5P that
we tried to observed and complete the phosphoinositiodes. Here
we identified 23 PI5P-specific binding proteins that have been
predicted to be involved in several biochemical processes
including: transferase (15%), transport (15%), DNA/RNA-
binding (8%), GTPase (7%), oxidoreductase (4%), cytoskeleton
(4%), lyase (4%), vacuolar sorting (4%), chaperone (4%),
activator (4%), helicase (4%) and hydrolase (4%) (Fig. 7).
To get a deeper understanding into the role of PI5P in cell
regulation, 23 PI5P-specific binding proteins will be discussed.
Rsp5 is an essential peripheral membrane protein that regulates the
internalization step of endocytosis and sorting from the secretory
pathway to the lysosome-like vacuole [29, 30]. Rsp5 also regulates
other processes including: MVB sorting, the heat shock response,
transcription, endocytosis and ribosome stability[30]. Another report
mentioned that it has main role in ubiquitination process. Rsp5 can
ubiquitinate Sec23p, Sna3p, Ste4p, Nfi1p, Rpo21p and Sem1p,
autoubiquitinate and deubiquitinated by Ubp2p [31]. PI5P maybe is
involved in these regulation. Rsp5 has C2 domain that be recognized
by PI5P to bind (Fig. 8 and TABLE 1). C2 domains bind to the
phosphoinositides through electrostatic interactions between basic
amino acids and negatively charged lipids [32]. C2 domain has 88
amino acids and 11 of them are lysine amino
acids[32]. Lysine is basic amino acid that has main role to bind
with negatively charged PI5P. These results demonstrated that C2
domain specifies Rsp5-dependent ubiquitination and suggest that
Rsp5 function is regulated by PI5P (Fig. 8).
Dus1 has role as oxidoreductase (Dihydrouridine synthase)
and member of a widespread family of conserved proteins
including Smm1p, Dus3p, and Dus4p and can modifies pre-
tRNA(Phe) at U17 [33].
We found 4 important transporter proteins including
YKL091C, Erc1, Sec2 and Gdi1. For instance, YKL091C can
transfer a putative phosphatidylinositol/phosphatidylcholine and
also possibly involved in lipid metabolism [34]. YKL091C maybe
recruits PI5P in these processes. While, Erc1 has pivotal role as
drug transmembrane transporter. This protein has multi-drug and
toxin extrusion (MATE) family that contains 581 amino acid
residues (TABLE 1) [35]. MATE family is part of the
multidrug/oligosaccharidyl-lipid/polysaccharide (MOP) exporter
superfamily [36]. The yeast Erc1 protein mediates resistance to
the methionine analogue, ethionine [37]. Ethionine is highly toxic
and is a potent carcinogen. To do this role, possibly this protein
need the PI5P to do this job. By this role, Erc1 is also called
protein detoxification 14.

TABLE I.
IDENTIFIED PROTEINS THAT INTERACTED SPECIFICALLY WITH PI5P
Phosphoinositide
Systematic
No. Protein name recognition Another domain/family
name Function Annotation
domain/family
1 YER125W Rsp5 C2 domain WW domain Transferase
HECT-domain (ubiquitin-transferase)
2 YML080W Dus1 Dus Oxidoreductase (DihydroUridine Synthase)
3 YKL091C YKL091C CRAL/TRIO domain Phospholipid transport (transport)
4 YHR032W Erc1 MatE Drug transmembrane transporter (transport)
5 YLR150W Stm1 Stm1 DNA-binding
6 YER122C Glo3 Putative GTPase activating protein for Arf GTPase activator activity
7 YGL207W Spt16 Peptidase M24 Activator, Repressor
Histone chaperone Rttp106-like
FACT complex subunit (SPT16/CDC68)
8 YDL031W Dbp10 , DEAD/DEAH box helicase Helicase, Hydrolase, RNA-binding
Helicase conserved C-terminal domain
DBP10CT (NUC160) domain
9 YDR419W Rad30 ImpB/mucB/samB family Nucleotidytransferase (Transferase) and DNA-
binding
10 YNL272C Sec2 GDP/GTP exchange factor Sec2p, Essential for post-Golgi vesicle transport

11 YER136W Gdi1 GDP dissociation inhibitor GTPase activator activity and transport
12 YFR055W Irc7 Cys/Met metabolism PLP-dependent enzyme Lyase
13 YER128W Vfa1 AAA-ATPase Vps4-associated protein 1 Vacuolar sorting
14 YIR038C Gtt1 Glutathione S-transferase Trasnsferase
YNL116W Dma2 FHA Transferase
15 RING finger
16 YER048C Caj1 Dnaj domain Chaperone
X-domain of DnaJ-containing
17 YER071C Tda2 Tetex-1 family Associates with actin filaments (Cytoskeleton)
18 YER158C YER158C Unknown function
19 YBL012C YBL012C Unknown function
20 YCR020W-C YCR020W-C Unknown function
21 YBR060W YBR060W Unknown function
22 YDR010C YDR010C Unknown function
23 YGR126W YGR126W Unknown function

6
 Activator Helicase Hydrolase Unknown function
Chaperon 4% 4% 4% 23%
4%

Transport
Vacuolar sorting
15%
4%
GTPase
7%
DNA/RNA-binding
8%
Lyase
Transferase
4% Cytoskeleton
15%
4%
Oxidoreductase
4%

Unknown function Vacuolar sorting GTPase Transferase Oxidoreductase

Cytoskeleton Lyase DNA/RNA-binding Transport Chaperon
Activator Helicase Hydrolase

Fig. 7. Functional Classification of PI5P-BDs. 23 specific bindings PI5P-BPs were retrieved from UniProt Knowledgebase (http://www.uniprot.org/uniprot/) and the
Saccharomyces Genome Database (http://www.yeastgenome.org) and classified into 13 functional classifications.

C2 domain of Rsp5
MPSSISVKLVAAESLYKRDVF
RSPDPFAVLTIDGYQTKSTSA
AKKTLNPYWNETFKFDDINE
NSILTIQVFDQKKFKKKDQGF
LGVVN
Sequence of C2 domain

Fig. 8. Structure of Rsp5. Rsp5 is essential peripheral membrane protein that has role in ubiquitination process. To do its function, Rsp5 is regulated by PI5P through
electrostatic interaction. C2 domain in Rsp5 has 11 lysine basic amino acids (positively charged, red color with abbreviation K) that bind with negatively charged PI5P
(head). Negatively charged PI5P comes from phosphate group that substituted with an inositol polar head group.

Sec2 is guanyl-nucleotide exchange factor for the small G-
protein Sec4p. It is also essential for post-Golgi vesicle transport
and for autophagy and associates with the exocyst, via exocyst
subunit Sec15p, on secretory vesicles [38]. Gdi1 has another role
as GTPase activator and GDP dissociation inhibitor [39]. It also
regulates vesicle traffic in secretory pathways by regulating the
dissociation of GDP from the Sec4/Ypt/rab family of GTP
binding proteins [39].
Stm1 is activator and repressor protein that is required for
optimal translation under nutrient stress [40]. It also perturbs

7
association of Yef3p with ribosomes, involved in TOR signaling,
binds G4 quadruplex and purine motif triplex nucleic acid [41],
helps maintain telomere structure, protein abundance increases in
response to DNA replication stress and serves as a ribosome
preservation factor both during quiescence and recovery[42].
Glo3 is ADP-ribosylation factor GTPase activating protein
(ARF GAP) that involved in ER-Golgi transport [43]. While
Spt16 is subunit of the heterodimeric FACT complex (Spt16p-
Pob3p) protein than has role as activator and repressor. Spt16
associates with chromatin via interaction with Nhp6Ap and
Nhp6Bp [44], and reorganizes nucleosomes to facilitate access to
DNA by RNA and DNA polymerases (specifically required for
diauxic shift-induced H2B deposition onto rDNA genes) [45] and
co-regulates transcription with Mot1p through preinitiation
complex assembly and nucleosome organization [46].
Dbp10 is important protein as helicase, hydrolase and
involves in RNA-binding. It is putative ATP-dependent RNA
helicase of the DEAD-box protein family, constituent of 66S pre-
ribosomal particle, essential protein involved in ribosome
biogenesis [47]. ATP-binding RNA helicase involved in the
biogenesis of 60S ribosomal subunits and is required for the
normal formation of 25S and 5.8S rRNAs [48].
Rad30 is DNA polymerase and nucleotidytransferase that
involved in translesion synthesis during post-replication repair. It
also catalyzes the synthesis of DNA opposite cyclobutane
pyrimidine dimers and other lesions and involved in formation of
post-replicative damage-induced genome-wide cohesion [49].
Another report mentioned that this protein may also have a role
in protection against mitochondrial mutagenesis [50].
Gtt1 and Dma2 are transferase protein. Gtt1 is another
tranferase protein that interact with PI5P. This ER associated
glutathione S-transferase is capable of homodimerization,
glutathione transferase for Yvc1p vacuolar cation channel [51].
We also found that this protein has functional overlap with Gtt2p,
Grx1p, and Grx2p [51]. Meanwhile, Dma2 is ubiquitin-protein
ligase (E3) that controls septin dynamics and spindle position
checkpoint (SPOC) with ligase Dma1p by regulating recruitment
of Elm1p to bud neck [52], regulates levels of eIF2 subunit
Gcd11p, as well as abundance, localization, and ubiquitination of
Cdk inhibitory kinase Swe1p [53]. This protein is ortholog of
human RNF8 and similar to human Chfr [54].
Irc7 is beta-lyase involved in the production of thiols [55].
Vfa1 [56] is protein that interacts with Vps4p and has a role in
vacuolar sorting and stimulates the ATPase activity of Vps4 and
localizes to endosomes in a Vps4-dependent manner [57].
Caj1 is nuclear type II J heat shock protein of the E. coli
dnaJ family [58], contains a leucine zipper-like motif, binds to
non-native substrates for presentation to Ssa3p, may function
during protein translocation, assembly and disassembly [59].
Tda2 is protein that associates with actin filaments
(cytoskeleton) [60], forms a complex with Aim21p that inhibits
barbed end F-actin assembly [60], elevates actin monomer pools
to increase endocytotic efficiency and to regulate the distribution
of actin between cables and patches [61]. Aim21p/Tda2p forms a
larger complex with actin capping proteins Cap1p and Cap2p
[61]. It is likely that PI5P regulated yeast cytoskeleton
organization in these all process.
V. CONCLUSIONS AND DISCUSSIONS
Proteome microarray has showed and provided an excellent
membrane model for studying lipid-protein interactions that can
be profiled by any lipids including PI5P. Of 23 PI5P-specific
binding proteins, mostly proteins are transferase and transporter.
Another role is DNA/RNA-binding, GTPase, chaperone,
oxidoreductase, cytoskeleton, lyase, vacuolar sorting, transporter,
activator, helicase and hydrolase. Rsp5 is transferase protein that
play vital role in ubiquitination process. To do its job, Rsp5
function is regulated by PI5P. Rsp5 is recognized to have C2
domain that be bound to PI5P through electrostatic interactions
between basic amino acids of Rsp5 (lysine) and negatively
charged PI5P [32].
A total of 6 PI5P-specific binding proteins were annotated to
be “unknown function”. Similarly, the unknown function
proteins were also found in previous report. Zhu et al., found
57.7% uncharacterized proteins [10] and meanwhile Lu et al.,
had 59.9% uncharacterized proteins [11]. Yeast proteome that
has not been systematically screened for binding property to PI5P
were recognized as the reason for that functionally
uncharacterized proteins.
VI. REFERENCES
1. Berg, J.M., Biochemistry, revised edition. Chemical &
Engineering News, 2001. 79(13): p. 130-130.
2. Lehninger, A., Principles of biochemistry. 1982. 11(1).
3. Krogh, A., et al., Predicting transmembrane protein
topology with a hidden Markov model: application to
complete genomes. J Mol Biol, 2001. 305(3): p. 567-80.
4. Babu, M., et al., Interaction landscape of membrane-protein
complexes in Saccharomyces cerevisiae. Nature, 2012.
489(7417): p. 585-9.
5. Lee, A.G., Lipid-protein interactions in biological
membranes: a structural perspective. Biochim Biophys
Acta, 2003. 1612(1): p. 1-40.
6. Overington, J.P., B. Al-Lazikani, and A.L. Hopkins, How
many drug targets are there? Nat Rev Drug Discov, 2006.
5(12): p. 993-6.
7. Wymann, M.P. and R. Schneiter, Lipid signalling in
disease. Nat Rev Mol Cell Biol, 2008. 9(2): p. 162-76.
8. Zhang, P.B., et al., Proteomic identification of
phosphatidylinositol (3,4,5) triphosphate-binding proteins
in Dictyostelium discoideum. Proceedings of the National
Academy of Sciences of the United States of America,
2010. 107(26): p. 11829-11834.
9. Gallego, O., et al., A systematic screen for protein-lipid
interactions in Saccharomyces cerevisiae. Molecular
Systems Biology, 2010. 6.
10. Zhu, H., et al., Global analysis of protein activities using
proteome chips. Science, 2001. 293(5537): p. 2101-2105.
11. Lu, K.Y., et al., Profiling Lipid-protein Interactions Using
Nonquenched Fluorescent Liposomal Nanovesicles and
Proteome Microarrays. Molecular & Cellular Proteomics,
2012. 11(11): p. 1177-1190.
12. Vonkova, I., et al., Lipid Cooperativity as a General
Membrane-Recruitment Principle for PH Domains. Cell
Reports, 2015. 12(9): p. 1519-1530.
13. Surma, M.A., et al., A Lipid E-MAP Identifies Ubx2 as a
Critical Regulator of Lipid Saturation and Lipid Bilayer
Stress. Molecular Cell, 2013. 51(4): p. 519-530.
14. Aguilar, P.S., et al., A plasma-membrane E-MAP reveals
links of the eisosome with sphingolipid metabolism and
endosomal trafficking. Nature Structural & Molecular
Biology, 2010. 17(7): p. 901-U175.
8
15. Isakoff, S.J., et al., Identification and analysis of PH
domain-containing targets of phosphatidylinositol 3-kinase
using a novel in vivo assay in yeast. Embo Journal, 1998.
17(18): p. 5374-5387.
16. Subramanian, D., et al., Activation of membrane-permeant
caged PtdIns(3)P induces endosomal fusion in cells. Nature
Chemical Biology, 2010. 6(5): p. 324-326.
17. Li, X.Y., et al., Extensive In Vivo Metabolite-Protein
Interactions Revealed by Large-Scale Systematic Analyses.
Cell, 2010. 143(4): p. 639-650.
18. Maeda, K., et al., Interactome map uncovers
phosphatidylserine transport by oxysterol-binding proteins.
Nature, 2013. 501(7466): p. 257-+.
19. Thiele, C., et al., Cholesterol binds to synaptophysin and is
required for biogenesis of synaptic vesicles. Nature Cell
Biology, 2000. 2(1): p. 42-49.
20. Contreras, F.X., et al., Molecular recognition of a single
sphingolipid species by a protein's transmembrane domain.
Nature, 2012. 481(7382): p. 525-529.
21. Hulce, J.J., et al., Proteome-wide mapping of cholesterol-
interacting proteins in mammalian cells. Nature Methods,
2013. 10(3): p. 259-264.
22. Chen, C.S. and H. Zhu, Protein microarrays. Biotechniques,
2006. 40(4): p. 423, 425, 427 passim.
23. Thomas, L.M. and B.J. Holub, Regulation and Role of
Phosphoinositide Phosphorylation in Human Platelets.
Progress in Lipid Research, 1992. 31(4): p. 399-416.
24. Chen, C.S., A.J. Baeumner, and R.A. Durst, Protein G-
liposomal nanovesicles as universal reagents for
immunoassays. Talanta, 2005. 67(1): p. 205-211.
25. Lu, K.Y., et al., Characterization of Lipid-Protein
Interactions Using Nonquenched Fluorescent Liposomal
Nanovesicles and Yeast Proteome Microarrays. Cold Spring
Harb Protoc, 2016. 2016(10): p. pdb.prot087981.
26. Zhao, H.X. and P. Lappalainen, A simple guide to
biochemical approaches for analyzing protein-lipid
interactions. Molecular Biology of the Cell, 2012. 23(15): p.
2823-2830.
27. van Meer, G., D.R. Voelker, and G.W. Feigenson, Membrane
lipids: where they are and how they behave. Nature Reviews
Molecular Cell Biology, 2008. 9(2): p. 112-124.
28. Emr, S.D., et al., Phosphoinositide lipid signaling in the
regulation of membrane trafficking and organelle identity.
Faseb Journal, 2007. 21(5): p. A37-A37.
29. Galan, J.M. and R. Haguenauer‐Tsapis, Ubiquitin lys63 is
involved in ubiquitination of a yeast plasma membrane
protein. The EMBO journal, 1997. 16(19): p. 5847-5854.
30. Soetens, O., J.-O. De Craene, and B. André, Ubiquitin is
required for sorting to the vacuole of the yeast Gap1
permease. Journal of Biological Chemistry, 2001.
31. Huibregtse, J.M., et al., A family of proteins structurally and
functionally related to the E6-AP ubiquitin-protein ligase.
Proceedings of the National Academy of Sciences, 1995.
92(7): p. 2563-2567.
32. Cho, W., Membrane targeting by C1 and C2 domains.
Journal of Biological Chemistry, 2001.
33. Xing, F., et al., The specificities of four yeast dihydrouridine
synthases for cytoplasmic tRNAs. Journal of Biological
Chemistry, 2004.
34. Schaaf, G., et al., Functional anatomy of phospholipid
binding and regulation of phosphoinositide homeostasis by
proteins of the sec14 superfamily. Molecular cell, 2008.
29(2): p. 191-206.
35. Shiomi, N., et al., Improvement of S-adenosylmethionine
production by integration of the ethionine-resistance gene
into chromosomes of the yeast Saccharomyces cerevisiae.
Applied microbiology and biotechnology, 1995. 42(5): p.
730-733.
36. Shiomi, N., et al., Production of S‐adenosyl‐L‐methionine by
Saccharomyces cerevisiae cells carrying a gene for ethionine
resistance. Biotechnology and bioengineering, 1990. 35(11):
p. 1120-1124.
37. Hvorup, R.N., et al., The multidrug/oligosaccharidyl‐
lipid/polysaccharide (MOP) exporter superfamily. European
Journal of Biochemistry, 2003. 270(5): p. 799-813.
38. Walch-Solimena, C., R.N. Collins, and P.J. Novick, Sec2p
mediates nucleotide exchange on Sec4p and is involved in
polarized delivery of post-Golgi vesicles. The Journal of cell
biology, 1997. 137(7): p. 1495-1509.
39. Garrett, M., et al., GDI1 encodes a GDP dissociation
inhibitor that plays an essential role in the yeast secretory
pathway. The EMBO journal, 1994. 13(7): p. 1718-1728.
40. Van Dyke, N., J. Baby, and M.W. Van Dyke, Stm1p, a
ribosome-associated protein, is important for protein synthesis
in Saccharomyces cerevisiae under nutritional stress
conditions. Journal of molecular biology, 2006. 358(4):
p. 1023-1031.
41. Van Dyke, M.W., et al., Stm1p, a G4 quadruplex and
purine-motif triplex nucleic acid-binding protein, interacts
with ribosomes and subtelomeric Y'DNA in Saccharomyces
cerevisiae. Journal of Biological Chemistry, 2004.
42. Frantz, J.D. and W. Gilbert, A yeast gene product, G4p2, with
a specific affinity for quadruplex nucleic acids. Journal of
Biological Chemistry, 1995. 270(16): p. 9413-9419.
43. Poon, P.P., et al., Retrograde transport from the yeast Golgi
is mediated by two ARF GAP proteins with overlapping
function. The EMBO Journal, 1999. 18(3): p. 555-564.
44. Wittmeyer, J., L. Joss, and T. Formosa, Spt16 and Pob3 of
Saccharomyces cerevisiae form an essential, abundant
heterodimer that is nuclear, chromatin-associated, and
copurifies with DNA polymerase α. Biochemistry, 1999.
38(28): p. 8961-8971.
45. Mason, P.B. and K. Struhl, The FACT complex travels with
elongating RNA polymerase II and is important for the
fidelity of transcriptional initiation in vivo. Molecular and
cellular biology, 2003. 23(22): p. 8323-8333.
46. Biswas, D., et al., The yeast FACT complex has a role in
transcriptional initiation. Molecular and cellular biology,
2005. 25(14): p. 5812-5822.
47. HORSEY, E.W., et al., Role of the yeast Rrp1 protein in the
dynamics of pre-ribosome maturation. Rna, 2004. 10(5): p.
813-827.
48. Burger, F., M.-C. Daugeron, and P. Linder, Dbp10p, a
putative RNA helicase from Saccharomyces cerevisiae, is
required for ribosome biogenesis. Nucleic acids research,
2000. 28(12): p. 2315-2323.
49. Vu, B., et al., DNA synthesis past a 5-methylC-containing cis-
syn-cyclobutane pyrimidine dimer by yeast pol η is highly
nonmutagenic. Biochemistry, 2006. 45(30): p. 9327-9335.
50. Xie, Z., et al., The p-benzoquinone DNA adducts derived
from benzene are highly mutagenic. DNA repair, 2005.
4(12): p. 1399-1409.
9
51. Choi, J.H., W. Lou, and A. Vancura, A novel membrane-
bound glutathione S-transferase functions in the stationary
phase of the yeast Saccharomyces cerevisiae. Journal of
Biological Chemistry, 1998. 273(45): p. 29915-29922.
52. Merlini, L., et al., Budding yeast dma proteins control septin
dynamics and the spindle position checkpoint by promoting
the recruitment of the Elm1 kinase to the bud neck. PLoS
genetics, 2012. 8(4): p. e1002670.
53. Bieganowski, P., et al., Cdc123 and checkpoint forkhead
associated with RING proteins control the cell cycle by
controlling eIF2γ abundance. Journal of Biological
Chemistry, 2004. 279(43): p. 44656-44666.
54. Fraschini, R., et al., Functional characterization of Dma1
and Dma2, the budding yeast homologues of
Schizosaccharomyces pombe Dma1 and human Chfr.
Molecular biology of the cell, 2004. 15(8): p. 3796-3810.
55. Roncoroni, M., et al., The yeast IRC7 gene encodes a β-
lyase responsible for production of the varietal thiol 4-
mercapto-4-methylpentan-2-one in wine. Food
microbiology, 2011. 28(5): p. 926-935.
56. Vild, C.J. and Z. Xu, Vfa1 binds to the N-terminal
microtubule interacting and trafficking (MIT) domain of
Vps4 and stimulates its ATPase activity. Journal of
Biological Chemistry, 2014: p. jbc. M113. 532960.
57. Arlt, H., A. Perz, and C. Ungermann, An overexpression screen
in Saccharomyces cerevisiae identifies novel genes that affect
endocytic protein trafficking. Traffic, 2011. 12(11):
p. 1592-1603.
58. Hideyuki, M., et al., Isolation and characterization of CAJ1,
a novel yeast homolog of dnaJ. Gene, 1994. 145(1): p. 125-
127.
59. Walsh, P., et al., The J‐protein family: modulating protein
assembly, disassembly and translocation. EMBO reports,
2004. 5(6): p. 567-571.
60. Farrell, K.B., et al., Novel function of a dynein light chain in
actin assembly during clathrin-mediated endocytosis. J Cell
Biol, 2017: p. jcb. 201604123.
61. Shin, M., et al., Yeast Aim21/Tda2 both regulates free actin
by reducing barbed end assembly and forms a complex with
Cap1/Cap2 to balance actin assembly between patches and
cables. Molecular biology of the cell, 2018. 29(8): p. 923-
936.
10

3D Rekonstruksi Bangunan Menggunakan Gambar
Panorama Sebagai Upaya Untuk Mitigasi Bencana
Muhammad Irsyadi Firdaus1)Jiann -Yeou Rau2)
1,2)
Department of Geomatics, National Cheng Kung University 701, Tainan, Taiwan
email: irsyadifirdaus@gmail.com
Abstract—Rekonstruksi model tiga dimensi (3D) dapat
digunakan untuk tujuan navigasi, dan aplikasi virtual reality.
Namun, saat ini model 3D juga digunakan sebagai upaya untuk
mitigasi bencana seperti perencanaan evakuasi kebakaran dan
gempa bumi. Penelitian ini bertujuan untuk membentuk 3D
model bangunan menggunakan gambar panorama 720 derajat.
Penilaian akurasi menggunakan akurasi aerial triangulasi,
akurasi digitasi sudut dan juga mengambil data terrestrial laser
scanning (TLS) untuk membandingkan dan mengukur ground
control points (GCPs) menggunakan total station untuk analisa
akurasi. Kamera Spherical Garmin VIRB 360 digunakan untuk
mengambil video pada 30 fps dengan ukuran gambar 3840 x
2178. Video yang sudah didapatkan akan di ekstrak ke dalam
bentuk gambar statis yang berurutan dengan interval 1.23 detik.
Gambar panorama yang sudah terbentuk diolah menggunakan
Agisoft Photoscan Pro untuk pemodelan 3D. Penilaian akurasi
posisi menggunakan GCPs didalam Photoscan Pro. Hasil dense
point cloud akan di bandingkan dengan data TLS didalam
software CloudCompare. Hasil penelitian yang pertama adalah
akurasi posisi 3D (RMSE) setelah SfM adalah 18.9 cm, selain itu
perbedaan jarak 3D antara dense point cloud yang dihasilkan
dengan data TLS adalah 3.47 cm. Model rekonstruksi bangunan
didapatkan menggunakan point cloud dengan memproses
didalam Autodesk Revit sehingga dapat digunakan sebagai upaya
untuk perencanaan mitigasi bencana.
Kata Kunci—3D Model Rekonstruksi, Gambar Panorama,
Fotogrammetri Jarak Dekat.
I. PENDAHULUAN
Rekonstruksi dan konservasi merupakan langkah penting
yang dapat dilakukan untuk upaya mitigasi bencana dari
banjir, gempa atau bencana yang lain yang sifatnya dapat
merusak sebuah bangunan. Apalagi bangunan bersejarah atau
bangunan umum seperti kesehatan, pendidikan atau militer.
Oleh sebab itu perlu dilakukan rekontruksi, guna menjaga
bangunan- bangunan tersebut agar tidak rusak dan hilang.
Rekonstruksi tersebut biasanya mengacu pada dokumentasi
bangunan tersebut. Pendokumentasian tersebut tidak hanya
terbatas untuk mengetahui dimensi geometri bangunan, namun
juga terkait dengan seberapa besar perubahan dimensi
geometri bangunan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu
Salah satu metode untuk melakukan rekonstruksi
bangunan adalah dengan menggunakan metode
fotogrammetri. Metode ini mampu untuk merekonstruksi
sebuah bangunan dengan pemodelan bangunan secara 3
dimensi selain itu dapat dianalisa dimensi geometri dan
akurasinya sehingga metode ini sangat sesuai untuk digunakan
dalam upaya mitigasi bencana.
1
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun 3D
rekonstruksi sebuah bangunan dengan menggunakan gambar
panorama. Gambar panorama adalah gambar yang dihasilkan
dari beberapa foto yang overlap atau pertampalan sehingga
dapat dilakukan proses jahitan antar foto membentuk
pandangan 3600 secara horizontal dan 1800 secara vertikal.
Penggunaan gambar panorama sangat efektif dan efisien
karena lebih cepat dan memiliki cakupan area yang lebih luas
dibanding menggunakan gambar normal.
II. DASAR TEORI
A. Fotogrammetri Jarak Dekat
Fotogrammetri terrestrial [4] merupakan cabang ilmu
fotogrammetri dengan meletakkan kamera pada permukaan
bumi. Kamera dapat dipegang dengan tangan, dipasang pada
kaki kamera atau dipasang pada menara ataupun dengan alat
penyangga lain yang dirancang secara khusus. Istilah
fotogrammetri rentang dekat pada umumnya digunakan untuk
fotogrammetri terrestrial yang mempunyai rentang objek
sampai dengan 100 meter [1].
Teknik ini memiliki kelebihan yaitu jika objek yang akan
diukur sulit untuk dijangkau dan memiliki dimensi yang
sangat kecil, selaian itu metode ini juga memerlukan biaya
yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan metode
fotogrammetri rentang jauh, karena jenis kamera yang
digunakan adalah dengan menggunakan kamera non metrik.
Dalam bidang geodesi, metode fotogrammetri rentang dekat
ini banyak dimanfaatkan karena dapat memberikan informasi
jarak, luas, volume.
Fotogrammetri rentang dekat banyak diaplikasikan dalam
berbagai bidang non topografi karena memiliki banyak
keunggulan. Aplikasi yang berkembang antara laindalam
bidang arsitektur, arkeologi, forensik, medis, deformasi,
industri dan lainnya.
B. 3D Rekonstruksi
Pemodelan adalah membentuk suatu bendabenda atau
obyek. Membuat dan mendesain obyek tersebut sehingga
terlihat seperti hidup. Sesuai dengan obyek dan basisnya,
proses ini secara keseluruhan dikerjakan di komputer. Melalui
konsep dan proses desain, keseluruhan obyek bisa
diperlihatkan secara 3 dimensi, sehingga banyak yang
menyebut hasil ini sebagai pemodelan 3 dimensi (3D
modelling) [2]. Ada beberapa aspek yang harus
dipertimbangkan bila membangun model obyek, kesemuanya
memberi kontribusi pada kualitas hasil akhir.
 2

C. Mitigasi Bencana bangunan. Tempat bangunan tersebut di kampus National

Menurut pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 [3] Tentang Cheng Kung University, kota Tainan, Taiwan.
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana bahwa mitigasi Data untuk membuat rekonstruksi 3 dimensi terdiri dari
bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko dua jenis gambar yaitu gambar panorama luar bangunan
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran seperti yang terlihat pada gambar 3 dan gambar panorama
dalam bangunan seperti pada gambar 4. Masing-masing
dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Mitigasi bencana merupakan suatu aktivitas yang gambar panorama memiliki field of view (FOV), 3600 untuk
berperan sebagai tindakan pengurangan dampak bencana, atau horizontal FOV dan 1800 untuk vertikal FOV. Jumlah foto
usaha-usaha yang dilakukan untuk megurangi korban ketika yang digunakan dalam penelitian ini adalah 134 pada model
bencana terjadi, baik korban jiwa maupun harta. Dalam dalam bangunan sedangkan 243 pada model luar bangunan.
melakukan tindakan mitigasi bencana, langkah awal yang
harus lakukan ialah melakukan kajian resiko bencana terhadap
daerah tersebut. Dalam menghitung resiko bencana sebuah
daerah maka harus mengetahui Bahaya (hazard), Kerentanan
(vulnerability) dan kapasitas (capacity) suatu wilayah yang
berdasarkan pada karakteristik kondisi fisik dan wilayahnya.

III. METHODE
A. Alat dan Material
Pada penelitian ini menggunakan dua macam perangkat
lunak yaitu Agisoft Photoscan Pro yang digunakan untuk
membuat modeling 3 dimensi dan mapping dan perangkat
lunak yang kedua adalah menggunakan Revit yang digunakan
untuk membuat model CAD. Kedua perangkat lunak tersebut
adalah berbayar (not open source). Sedangkan, alat yang Gambar 2. Lokasi penelitian
digunaakan untuk mendapatkan gambar panorama adalah
GARMIN VIRB 360 dengan spesifikasi seperti pada table 1. Pada gambar 3 dan 4 terdapat proses jahitan antara dua
foto karena kamera GARMIN memiliki dua sisi kamera yaitu
kamera depan dan kamera belakang sehingga proses jahitan
foto perlu dilakukan untuk mendapatkan foto panorama dari
dua foto tersebut. Perlu untuk menjadi pertimbangan dalam
pengambilan foto adalah kondisi cuaca. Cuaca yang paling
bagus untuk pengambilan foto adalah ketika cuaca cerah
dengan awan berwarna biru.

Gambar 1. Kamera GARMIN VIRB 360

Tabel 1
Spesifikasi Kamera GARMIN VIRB 360
Gambar 3. Foto Panorama di Luar Bangunan
Spesifikasi Kamera GARMIN VIRB 360

Tipe Sensor CMOS

Jumlah Kamera 2
Resolusi Video 3840 x 2178
FPS (frame per second) 30
Format Video MP4

B. Studi Kasus dan Data

Lokasi yang digunakan adalah bangunan departemen
geomatika di sisi luar bangunan maupun di sisi dalam Gambar 4. Foto Panorama di Dalam Bangunan
 3

C. Alur Penelitian
Adapun tahapan penelitian ini terbagi menjadi tiga bagian
utama. Pertama adalah melakukan pengumpulan data foto di
luar bangunan maupun di dalam bangunan gedung geomatika
serta melakukan pengumpulan referensi titik dan referensi
garis. Referensi ini digunakan untuk mengetahui akurasi dari
pemodelan yang akan dibuat. Untuk model luar bangunan
menggunakan referensi garis sedangkan model dalam
bangunan menggunakan referensi titik yang didapatkan dari
pengukuran total station (TS).
Setelah tahapan pertama dilakukan selanjutnya adalah Gambar 6. Point cloud kasar dengan lokasi kamera pada
tahapan kedua. Pada tahapan kedua ini, foto yang sudah model luar bangunan
didapatkan akan di proses menggunakan perangkat lunak
Photoscan Pro sesuai dengan gambar 5. Kemudian di dapatkan
dense point cloud. Sebelum mendapatkan dense point cloud,
proses yang dilakukan adalah membuat tanda referensi pada
setiap foto dan melakukan proses aerial triangulation untuk
menganalisa akurasi aerial triangulation, selanjutnya
melakukan dense image matching sehingga mendapatkan
dense point cloud atau data point cloud. Pada proses ini
terdapat banyak kumpulan titik-titik yang kurang berguna atau
banyak noise sehingga perlu dilakukan perbaikan point cloud.
Setelah point cloud sudah di perbaiki maka dapat di eksport ke
format file *.las. Hal ini untuk mempermudah proses konversi
format file di perangkat lunak Revit.
Ketiga, data point cloud yang sudah di konversi ke format
*.pcg dari format *.las maka dapat digunakan untuk membuat
model 3D CAD. Sebelum melakukan itu, pertama yang harus
dilakukan adalah digitasi 2D point cloud digunakan untuk
analisa akurasi digitasi sudut. Ketika sudah mendapatkan
akurasi sudut setiap corner maka 2D point cloud dapat
Gambar 7. Point cloud kasar dengan lokasi kamera pada
dilakukan perbaikan sesuai dengan sudut yang sebenarnya.
model dalam bangunan
Selanjutnya adalah melakukan digitasi dan labeling pada 3D
point cloud seperti pintu, jendela, lantai, platfon dan dinding.
Hasil tersebut didapatkan setelah melakukan proses aerial
triangulation. Untuk mendapatkan point cloud yang padat atau
dense point cloud maka dapat dilakukan dengan menggunakan
proses dense image matching sehingga mendapatkan point
cloud yang padat tetapi juga perlu melakukan perbaikan
dengan cara melakukan proses remove karena masih terdapat
noise pada point cloud tersebut.
Point cloud yang sudah diperbaiki terlihat seperti pada
gambar 8, 9 dan 10, dimana noise dari point cloud sudah
hilang dan point cloud terlihat padat. Setelah mendapat hasil
tersebut maka dapat melakukan analisa digitasi sudut setiap
cornernya.

Gambar 5. Alur Penelitian

IV. HASIL PENELITIAN

A. Point cloud di Dalam dan di Luar Bangunan
Pada gambar 6 dan gambar 7menunjukan bahwa point
cloud sangat kasar dan warna biru merupakan posisi kamera
selain itu pada gambar tersebut banyak terdapat noise atau ada
sebagian titik yang sebenarnya tidak digunakan sehingga perlu
untuk dihilangkan. Gambar 8. Point cloud padat luar bangunan dilihat dari atas
setelah perbaikan

Gambar 9. Point cloud padat luar bangunan dilihat
dari depan setelah perbaikan
Untuk point cloud padat dalam bangunan memiliki bentuk
bangunan yang sangat kompleks (lihat gambar 10) dengan sisi
luar yang berwarna hitam atau gelap hal ini karena posisi
kamera berada di dalam bangunan sehingga sisi luar bangunan
akan terlihat gelap jika dibandingkan dengan point cloud luar
bangunan pada gambar 8 dan 9.
Gambar 10. Point cloud padat dalam bangunan dilihat dari
depan setelah perbaikan
B. Penilaian Akurasi Pada Aerial Triangulation
Aerial triangulation adalah proses penentuan koordinat X,
Y, dan Z objek setiap poin berdasarkan pengukuran dari foto.
Aerial triangulation digunakan secara luas untuk berbagai
tujuan. Salah satu aplikasi utama adalah densifying objek
melalui strip atau rangkaian foto yang akan digunakan dalam
operasi yang berlaku pada photogrammetri. Saat ini digunakan
untuk tujuan ini sering disebut bridging, karena
memungkinkan untuk perhitungan maka diperlukan kontrol
poin antara foto yang diukur di lapangan.
Tabel 1
Referensi Skala Garis pada Gambar Dalam Bangunan
Referensi Skala Garis pada Gambar (unit: cm)
Referensi Skala Garis Errors
Jumlah garis control = 4 0.5
Jumlah garis cek = 7 6.5
4
Tabel 2
Referensi Titik pada Gambar Luar Bangunan
Referensi Titik pada Gambar (unit: pixel)
Referensi Kesalahan Kesalahan Kesalahan
Titik horizontal vertikal reprojeksi
Jumlah titik
3.031 3.824 6.606
control = 7
Jumlah titik
6.822 6.742 21.436
cek = 15
Pada tabel 2 menunjukan bahwa kesalahan reprojeksi
pada titik cek sebesar 21.4 pixels. Nilai ini sangat besar untuk
kesalahan reprojeksi. Hal ini karena dipengaruhi oleh proses
algoritma penjahitan antar foto yang kurang sempurna dan
juga resolusi dari camera yang digunakan juga mempengaruhi
reprojeksi.
Jika dibandingkan antara akurasi di dalam bangunan dan
luar bangunan maka didapatkan bahwa akurasi pada point
cloud dalam bangunan lebih tinggi dari pada point cloud luar
bangunan karena referensi yang digunakan juga berbeda
maksudnya pada point cloud dalam bangunan menggunakan
skala garis sedangkan point cloud luar bangunan
menggunakan referensi titik. Referensi titik diperoleh dari
pengukuran menggunakan TS dengan koordinat lokal.
C. Penilaian Akurasi Pada Digitasi Sudut
Akurasi digitasi sudut diperoleh setelah proses konversi
yang ada di perangkat lunak Revit. Pada gambar 11
menunjukan bahwa bentuk 2 dimensi pada luar bangunan
terlihat tidak simetri sehingga diperlukan perbaikan sebelum
melakukan digitasi 3 dimensi dan labeling.
Gambar 11. Digitasi sudut pada 2D luar bangunan
Digitasi sudut pada 2 dimensi luar bangunan setelah
perbaikan pada ditunjukan pada gambar 12, dimana pada
gambar tersebut menunjukan sudut yang simetri dan memiliki
sudut yang sebenarnya. Adapun analisa yang diperoleh dari
digitasi sudut di luar bangunan ditunjukan pada tabel 3yang
memiliki standar deviasi sebesar 9.23 derajat. Nilai ini cukup
besar jika dibandingkan dengan akurasi digitasi sudut di dalam
bangunan seperti pada tabel 4 yang memiliki standar deviasi
sebesar 0.8 derajat
Setelah mengetahui akurasi maka langkah selanjutnya
adalah melakukan perbaikan sudut disetiap corner seperti pada
gambar 12 dimana setiap sudut pada setiap corner adalah 90
derajat. Gambar 13 memperlihatkan digitasi sudut pada 2
dimensi dalam bangunan yang belum diperbaiki.
 5

16 87 90 -3
17 86 90 -4
18 98 90 8
Average 93.33 90 3.33
Min 79 -11
Max 105 15

Std.
9.23
Deviation

Gambar 12. Digitasi sudut pada 2D luar bangunan setelah Tabel 4

perbaikan Akurasi Digitasi Sudut di Dalam Bangunan
Sudut yang Sudut
No. Selisih
diukur Sebenarnya
1 90 90 0

2 91.58 90 1.58

3 90.64 90 0.64

4 90 90 0

5 91.94 90 1.94

6 91 90 1

Total 545.16 540 5.16

Average 90.86 90 0.86

Min 90 0

Max 91.94 1.94

Gambar 13. Digitasi sudut pada 2D dalam bangunan Std.

0.8 0.8
Deviation

Tabel 3
Akurasi Digitasi Sudut di Luar Bangunan D. Model Rekonstruksi 3 Dimensi
Model rekonstruksi yang diperoleh seperti pada gambar
Sudut yang Sudut
No.
diukur Sebenarnya
Selisih 14 dan 15 dibuat dari point cloud padat atau dense point
cloud didalam perangkat lunak Revit 2016. Adapun model
1 98 90 8
tersebut dibuat setelah proses perbaikan sudut di setiap
2 86 90 -4 corner sehingga model akan terlihat simetris dan sesuai
3 85 90 -5 dengan bentuk di lapangan. Untuk gambar 15, model CAD
dalam bangunan tidak mengalami perbaikan sudut di setiap
4 104 90 14 corner sebelumnya hal ini dikarena untuk mengetahui
5 103 90 13 perbedaan model CAD yang menggunakan perbaikan sudut
6 82 90 -8
dengan tanpa perbaikan sudut.

7 79 90 -11
8 102 90 12
9 79 90 -11
10 99 90 9
11 99 90 9
12 104 90 14
13 105 90 15
14 97 90 7
15 87 90 -3
Gambar 14. Model CAD luar bangunan
 Hasil yang diperoleh dari perbandingan model tersebut
adalah lebih baik model CAD luar bangunan dari pada dalam
bangunan karena pada model CAD luar bangunan sudah
dilakukan perbaikan sudut. Kedua model CAD bangunan
tersebut memiliki beberapa label model seperti model pintu,
model tangga, model jendela, model lantai, model tangga,
model dinding dan model platfon atau rooftop.
Model ini yang akan dijadikan sebagai model tiga dimensi
dalam upaya mitigasi bencana. Maksudnya dengan adanya
model ini maka dapat melakukan simulasi jalur evakuasi serta
mengetahui kemampuan sebuah bangunan ketika terjadinya
bencana seperti gempa bumi maupun banjir.

Gambar 15. Model CAD dalam bangunan

V. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang di dapat dari hasil dan
pembahasan adalah akurasi kedetilan geometri pada point
cloud sangat rendah, akurasi digitasi sudut pada model
didalam ruangan mempunyai hasil yang lebih baik dari pada
model di luar ruangan, akurasi aerial triangulation pada model
di luar ruangan mempunya hasil yang lebih baik dari pada
model didalam ruangan, dan terakhir adalah 3 dimensi dari
gambar panorama masih bisa digunakan ke banyak aplikasi
seperti pada bidang industry, mitigasi bencana dan atau
kesehatan.

VI. DAFTAR PUSTAKA

[1] Atkinson, K.B. 1996. Close Range Photogrammetry and
Machine Vision. Whittles Publishing. Scotland, UK
[2] Nalwan, A. (1998). Pemrograman Animasi dan Game
Profesional. Jakarta: Elex Media Komputindo
[3] PP No 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana
[4] Wolf, Paul R. 1993. Elemen Fotogrametri.
Diterjemahkan oleh Gunadi, Totok Gunawan, dan
Zuharnen. Gajah Mada University Press.
 1

Perancangan Alat Pemotong

Flash Atas, Flash Luar, Flash yang Menutupi
Ring, dan Pembuatan Lubang Baut pada
Cushion Rear Right Seat
Kiki Andrean1, Undiana Bambang1
1
Mechanical Engineering Design and Construction, Bandung State of Polytechnic, Indonesia
Corresponding author: Kiki Andrean
Email address: andrean.kiki@gmail.com

Abstract—Cushion rear right seat merupakan komponen yang memiliki diameter lubang 6,8 mm dengan toleransi
berbahan dasar karet sintetis berjenis EPDM (Ethylene Propylene khusus lubang +0,2 mm. Terdapat dua tipe cushion RR seat
Diene Methylene) yang dipasang pada bagian bawah jok mobil yang digunakan yaitu tipe GB-6 dan tipe GB-7.Dasar Teori
TOYOTA varian terbaru. Permasalahan yang terjadi yaitu jumlah
Berikut Gbr.1 dari cushion RR seat tipe GB-6 dan GB-7.
hasil produksi yang seharusnya 1000 – 1200 buah per hari pada
kenyataannya hanya 600 buah per hari. Hal ini dikarena pada
proses finishing yang masih dikerjakan secara manual. Kegiatan
yang dilakukan pada proses finishing yaitu pemotongan flash hasil
sisa moulding dan pembuatan lubang baut pada cushion RR seat.
Dari permasalahan tersebut diperlukan suatu alat pemotong flash
bagian atas, flash bagian luar, flash yang menutupi ring, dan
pembuatan lubang baut pada cushion RR seat. Metode yang
dilakukan dalam penyelesaian masalah tersebut diantaranya
merencana, mengkonsep, merancang detail, dan mendokumentasi.
Dari kegiatan perancangan yang dilakukan dihasilkanlah
rancangan alat pemotong flash bagian atas, flash bagian luar,
flash yang menutupi ring, dan pembuatan lubang baut pada
cushion RR seat, dengan panjang alat yaitu 1540 mm, lebar 876
mm, dan tinggi 922 mm. Cara kerja alat ini yaitu secara otomatis
untuk pemotongan flash bagian atas, flash yang menutupi ring,
dan pembuatan lubang baut. Sedangkan pada pemotongan flash
bagian luar cara kerja alat yaitu secara semi otomatis. (a) (b)
Gbr. 1 (a) Cushion RR seat GB-6. (b) Cushion RR seat GB-7.
Index Terms— Perancangan, EPDM, pemotong, Cushion RR
seat, flash

I. PENDAHULUAN
Gesekan merupakan salah suatu fenomena yang
dipertimbangkan untuk mempertahankan suatu posisi tertentu
dari suatu benda atau objek terhadap penumpunya. Komponen
yang berfungsi untuk memberikan gesekan tersebut yaitu
bantalan. (a) (b)
Cushion rear right seat merupakan bantalan yang dipasang
pada bagian bawah jok mobil TOYOTA varian terbaru Gbr. 2 (a) Dimensi Cushion RR seat GB-6. (b) Dimensi ring
berbentuk kerucut terpancung berbahan dasar karet sintetis Cushion RR seat GB-6.
dengan jenis EPDM (Ethylene Propylene Diene Methylene)
Shore A 80 ±5 yang dihasilkan melalui proses moulding. Berikut Gbr. 2 dari ukuran cushion RR seat GB-6 dan ring
Sedangkan ring yang digunakan merupakan plat baja yang digunakan.
SPC270C TOYOTA cold rolled JIS steel dari hasil punch

(a) (b)
Gbr. 3 (a) Dimensi Cushion RR seat GB-7. (b) Dimensi ring
Cushion RR seat GB-7.
Dalam pembuatannya terdapat masalah yang dihadapi yaitu
pada proses finishing dari cushion RR seat. Proses finishing
yang dilakukan diantaranya pemotongan flash bagian atas,
flash bagian luar, flash yang menutupi ring, dan pembuatan
lubang baut. Kegiatan tersebut dilakukan secara manual
dengan menggunakan alat potong seperti gunting dan pisau
yang dibentuk sedemikian rupa, sehingga waktu yang
diperlukan untuk memotong flash dari cushion cukup banyak
yaitu 19,56 detik untuk GB-6 dan 21,57 detik untuk GB-7.
Selain itu dikarenakan proses pemotongan dilakukan secara
manual, terjadi produk cushion yang reject yaitu mencapai 5%
pada setiap tipenya karena terpotong oleh alat potong yang
digunakan. Selama proses pemotongan flash terdapat faktor
yang menyebabkan diperlukannya banyak waktu untuk
pemotongan, yaitu adanya proses pengasahan alat potong
mencapai 26,8 detik setiap 48 cushion untuk GB-6 dan 31,4
detik setiap 48 cushion untuk GB-7. Penyebab lainnya adalah
proses finishing harus ditinggalkan selama 70,39 menit untuk
GB-
dan 70,22 menit untuk GB-7, dikarenakan operator harus
membantu dalam pembuatan ring yang akan digunakan pada
cushion. Sehingga dampak secara keseluruhan target dari
jumlah cushion yang harus dikirim kepada konsumen tidak
terpenuhi, yaitu hanya berkisar 600 buah per hari dari target
yang telah direncanakan yaitu 1000 - 1200 buah per hari.
II. DASAR TEORI
A. Karet EPDM (Ethylene Propylene Diene Methylene)
Karet EPDM (Ethylene Propylene Diene Methylene)
merupakan salah satu jenis karet sintetik. Karet ini bersifat
tahan terhadap lingkungan berozon dan memiliki ketahan
terhadap minyak yang lebih baik dibandingkan karet sintetis
lain seperti jenis NBR. Karet EPDM biasanya digunakan
untuk pembuatan seal atau O-ring, suku cadang otomotif,
sebagai bantalan dudukan pada mesin, dan lain-lain [1].
Berikut tabel II-1 yang menunjukkan kelas-kelas dari karet
EPDM dan pemanfaatannya.
2
TABEL 1
SHORE Durometer
B. Proses gurdi (Drilling)
Prinsip kerja dari proses gurdi adalah twist drill berputar
kemudian ujung dari pahat mengenai benda kerja sehingga
terjadilah proses pemotongan. Sedangkan beram (chips) akan
keluar melalui alur helix dari pahat gurdi. Mata bor yang
digunakan pada pembuatan lubang tergantung jenis benda
kerja yang akan dilakukan proses pemesinan. Untuk benda
kerja yang memiliki material berbahan dasar karet yang keras
menggunakan mata bor pilin dengan spiral besar, sudut
penyayat 30° [2]. Berikut Gbr. 4 dari jenis mata bor yang
digunakan untuk pembuatan lubang pada metarial yang
berbahan dasar karet yang keras.
Gbr. 4 Bor pilin kisar besar sudut lancip
Kecepatan potong untuk proses penggurdian yaitu,
(1)
Di mana n adalah kecepatan putaran (rpm), Vc adalah
kecepatan potong (m/det) dengan nilai Vc karet = 60,96 m/det,
dan d adalah diameter mata bor twist drill (mm).
C. Proses gerinda (Grinding)
Proses gerinda merupakan proses pengasahan atau
pemotongan benda kerja dengan mengggunakan batu gerida.
Prinsip kerja dari mesin gerinda adalah batu gerinda berputar
kemudian bersentuhan dengan benda kerja. Sehingga
terjadilah pengikisan, penajaman, pengasahan, atau
pemotongan. Untuk menggerinda benda kerja yang lunak
seperti karet, maka batu gerinda yang digunakan yaitu batu
gerinda yang keras dengan kode huruf batu gerinda P, Q, R,
atau S. Untuk menghasilkan benda kerja dengan kualitas
permukaan hasil penggerindaan yang halus maka angka
abrasive yang dipilih adalah angka yang besar, yaitu 70, 80,
90, 100, 120, bahakan mencapai 1000 ke atas atau disebut juga

ultra halus (ultra fine) [2].
Secara teoritik rumus untuk menghitung kecepatan putar
batu gerinda yaitu :
(2)
Di mana n adalah kecepatan putaran (rpm), Vc adalah
kecepatan potong (m/det), d adalah diameter batu gerinda
(mm).
D. Sistem otomasi
Otomasi (bahasa Greek berarti belajar sendiri), robotisasi
atau otomasi industri atau kontrol numerik merupakan
pemanfaatan sistem kontrol seperti halnya komputer yang
digunakan untuk mengendalikan mesin- mesin industri dan
kontrol proses untuk menggantikan operator tenaga manusia.
Ditinjau dari aplikasinya otomasi dapat dibedakan berdasarkan
obyek yang harus diselesaikan, salah satunya yaitu tipe tetap.
Tipe tetap yaitu mesin otomatis dibuat khusus untuk
menyelesaikan pekerjaan produksi tertentu saja, dan tidak
dirancang untuk meyelesaikam produk lainnya. Pada
umumnya mesin otomasi digunakan untuk produksi dalam
jumlah banyak dan dibutuhkan waktu produksi yang cepat
tetapi sangat ekonomis biaya produksinya dengan efisiensi
yang cukup tinggi [3].
E. Tegangan normal
Tegangan normal terjadi apabila gaya yang bekerja tegak
lurus terhadap penampang benda. Tegangan normal juga
terjadi akibat gaya aksial dan bending. Persamaan untuk
tegangan normal yaitu :
(3)
Di mana σ adalah tegangan normal (N/mm2), F adalah gaya
tegak lurus yang terjadi pada penampang (N), dan A adalah
luas penampang (mm2).
F. Tegangan bending
Tegangan bending merupakan tegangan yang cenderung
membengkokkan benda lain yang diakibatkan gaya dari luar
yang ditahan oleh ketahanan bengkoknya. Berikut persamaan
untuk mencari tegangan bending yang terjadi pada suatu
benda [4].
(4)
Di mana σb merupakan tegangan bending (N/mm2), Mb
adalah momen bending, dan Wb adalah axial section
modulus . Persamaan momen bending berbeda-beda,
tergantung dari pembebanan yang terjadi.
3
G. Tegangan geser
Tegangan geser terjadi apabila gaya yang bekerja sejajar
dengan penampang benda. Persamaan untuk tegangan geser
yaitu [4]:
(5)
Di mana τ adalah tegangan geser (N/mm2), F adalah gaya
terjadi yang sejajar penampang (N), dan A adalah luas
Penampang (mm2).
H. Equivalent Chip thickness (ECT)
ECT merupakan parameter yang digunakan untuk alat
potong berkecepatan tinggi. Berikut merupakan persamaan
dari ECT [5].
(6)
Di mana CEL adalah cutting edge length. Sehingga untuk
mencari gaya pemotongan (Fc) yang terjadi pada proses
gerinda menggunakan persamaan di bawah ini:
Fc (N)= A . Kc (7)
A adalah area (mm²), Kc adalah specific cutting force
(N/mm2)
I. Lead Screw
Lead screw merupakan salah satu sistem transmisi dengan
memanfaatkan ulir yang terdapat pada suatu batang atau
struktur untuk memindahkan gaya. Pada lead screw
diperlukan torsi untuk mengangkat maupun menurunkan
beban yang ditumpu. Perhitungan torsi yang terjadi pada lead
screw dibagi menjadi dua macam [6].
1. Torsi mengangkat beban (TA)
Berikut Gbr . 5 diagram benda bebas ketika mengangkat
beban.
Gbr. 5 Diagram Benda Bebas (DBB) mengangkat
beban
 4

T1=µ.W.R (8) TABEL 2

Faktor-faktor koreksi daya yang akan ditransmisikan

Daya yang akan ditransmisikan fc

(9) Daya rata-rata yang diperlukan 1,2 – 2,0
Daya maksimum yang diperlukan 0,8 – 1,2
Daya normal 1,0 – 1,5
T = T1 + T2 (10)
2. Mencari torsi atau momen puntir yang terjadi (T)

2. Torsi menurunkan beban (TB)

Berikut Gbr. 6 diagram benda bebas ketika menurunkan
beban. (15)

3. Mencari tegangan geser ijin dari material yang akan

digunakan (τa)

(16)

Gbr. 6 Diagram Benda Bebas (DBB) menurunkan beban. 4. Diameter minimal poros pejal (ds)

T1=µ.W.R (11)

(17)

(12) TABEL 3
Faktor koreksi momen puntir (Kt)
T = T1 + T2 (13)
Beban yang didistribusikan Kt
Di mana RN adalah gaya normal, T1 adalahtorsi untuk
melawan gesekan, T2 adalah torsi untuk mengangkat beban T2’ Beban dikenakan secara halus 1
Beban dikenakan sedikit kejutan 1 – 1,5
adalah torsi untuk menurunkan beban, W adalah beban yang
Beban dikenakan dengan kejutan 1,5 – 3
diangkat, adalah sudut kemiringan ulir, adalah sudut gesek,
( = tan-1 ), d adalah diameter rata-rata dari power screw, dan R
TABEL 4
adalah rata-rata antara jari-jari luar dan dalam.
Faktor koreksi beban lentur (Cb)

J. Poros Pembebanan yang terjadi Cb

Poros merupakan salah satu bagian yang berfungsi untuk Tidak ada beban lentur 1
meneruskan gaya. Setiap poros yang menerima beban puntir Ada beban lentur 1,2 – 2,3
dari daya yang ditransmisikan, memiliki dimensi minimal
yang diijinkan dari jenis poros yang akan digunakan (poros 5. Diameter minimal poros berongga
pejal atau poros berongga). Berikut tahapan-tahapan yang
digunakan untuk mencari diameter poros yang diijinkan [6].
(18)
1. Menentukan daya rencana (Pd)
Di mana P adalah daya (KW), Fc adalah faktor koreksi,
Pd (Watt) = P . fc (14) adalah omega, adalah tegangan ultimate (N/mm2).

K. Buckling
Buckling merupakan suatu fenomena di mana sebuah
struktur terjadi tekukan karena tidak dapat mempertahankan

bentuk aslinya yang disebabkan oleh beban aksial berlebih
yang diterima. Fenomena buckling terjadi pada struktur yang
tegak atau vertikal atau disebut juga dengan kolom. Dalam
perhitungannnya dibagi menjadi tiga jenis struktur kolom [4].
1. Kolom pendek : λ < 30, dengan menggunakan
persamaan Tetmayer
2. Kolom menengah (sedang) disebut juga kolom Tetmayer
: 30 < λ < 100
3. Kolom panjang (kolom EULER) : λ > 100
Untuk mengetahui jenis kolom yang digunakan, perlu
dilakukan perhitungan dengan menggunakan persamaan angka
kerampingan (λ) di bawah ini.
(19)
Apabila jenis kolomnya Tetmayer maka persamaannya
sebagai berikut.
σ (N/mm2)= 330 – (1,45 . λ) (20)
Dan apabila kolomnya EULER maka persamaannya sebagai
berikut:
(21)
Le adalah panjang efektif, r adalah jari-jari girasi, E adalah
modulus elastisitas, dan I adalah inersia (mm4).
L. Kekuatan Las
Kekuatan sambungan las sangat diperhitungkan terutama
dalam mendesain rangka. Perhitungan pengelasan bergantung
pada material kampuh las, throat, panjang las dan jenis las.
Syarat suatu sambungan las dinyatakan kuat apabila tegangan
yang terjadi pada suatu konstruksi lebih kecil dari tegangan
ijin dari kampuh las [7].
σt < σt, elektroda (22)
σt adalah tegangan tarik yang terjadi. Kekuatan tarik setiap
elektroda berbeda-beda tergantung dari jenis klasifikasi
elektroda itu sendiri. Dan pada setiap perhitungan kekuatan
las diberi nilai faktor keamaan tergantung dari jenis
sambungannya. Pada Tabel 5 ditunjukkan jenis sambungan
beserta persamaannya.
5
TABEL 5
Jenis sambungan dan perhitungannya
III. METODE
Metode yang dilakukan dalam penyelesaian masalah
tersebut menggunakan metode perancangan Gerhard Pahl and
Wolfgang Beitz, metode tersebut diantaranya merencana
(planning), mengkonsep (Concepual design), merancang
detail (embodiment design), dan mendokumentasi
(Documentation).
Pada tahap merencana dilakukan pengumpulan data seperti
keinginan konsumen, analisa pasar, analisa existing product,
analisa patent, dan dampak lingkungan. Keluaran dari tahap
merencana yaitu daftar tuntutan yang akan menjadi acuan
dalam mengkonsep dan merancang alat pemotong flash dan
pembuat lubang baut pada cushion RR seat. Pada tahap
mengkonsep akan didefinisikan fungsi utama dan fungsi
bagian dari alat yang akan dirancang. Setiap fungsi bagian
akan dicarikan alternatif solusi. Alternatif solusi dari setiap
fungsi bagian kemudian digabung membentuk variasi konsep
rancangan. Selanjutnya adalah melakukan penilaian terhadap
variasi konsep untuk mendapatkan konsep rancangan yang
terbaik berdasarkan kriteria yang ditentukan. Pada tahap
merancang detail akan dilakukan pemodelan dan perhitungan
terhadap konsep yang terpilih terkait analisis gaya atau
pembebanan yang terjadi dan melakukan penentuan
komponen standar. Pada tahapan ini pun akan diperhitungkan
pemilihan material yang memenuhi kriteria sesuai rancangan
alat yang akan dibuat. Pada tahap dokumentasi, rancangan
yang telah didetailkan akan diterjemahkan menjadi gambar
kerja dan bill of material.
IV. HASIL PENELITIAN
Hasil dari kegiatan merancang ini berupa gambar susunan,
diagram kelistrikan dan kontrol, bill of material, spesifikasi
akhir alat, cara pengoprasian dan perawatan, dan prinsip kerja
alat.
A. Gambar susunan
Gambar susunan merupakan gambar secara keseluruhan
dari rancangan alat pemotongan flash bagian atas, flash bagian
luar, flash yang menutupi ring, dan pembuatan lubang baut
 6

pada cushion RR seat. Gambar susunan ini merupakan

penggabungan dari beberapa gambar sub assembly yang
memiliki fungsi tersendiri dan kemudian digabungkan menjadi
satu sistem yang saling berkaitan. Untuk mendapatkan gambar
susunan, dilakukan terlebih dahulu konsep alat yang akan
dikembangkan dengan mempertimbangkan data-data yang
telah didapat pada tahap merencana (planning). Berikut Gbr 7
konsep yang kemudian dikembangkan.
Gbr. 9 Letak limit switch 1 dan limit switch 2

Gbr. 7 Konsep alat yang akan dikembangkan

Gbr. 10 Letak limit switch 3
Setelah didapat konsep dari alat yang akan dirancang, Berikut Gbr. 11 dari rangkaian kontrol kelistrikan
dilakukan gambar detail melalui perhitungan beban dan gaya yang diterapan.
yang akan terjadi pada alat yang dirancang. Berikut Gbr. 8
yang merupakan gambar hasil pengembangan konsep dari
rancangan alat pemotongan flash bagian atas, flash bagian
luar, flash yang menutupi ring, dan pembuatan lubang baut
pada cushion RR seat.

Gambar Gbr. 11 Diagram kelistrikan rangkaian control

Pada diagram kelistrikan di atas, terdapat beberapa
inisial yang menggambarkan komponen elektrik yang
dipakai pada rancangan alat. Berikut tabel 6 yang
merupakan keterangan dari inisial pada diagram
kelistrikan.

Gbr. 8 Hasil pengembangan konsep TABEL 6

Keterangan inisial pada diagram kelistrikan
B. Diagram kelistrikan dan control Simbol Keterangan
Setiap pergerakkan dari alat pemotongan flash bagian atas,
flash bagian luar, flash yang menutupi ring, dan pembuatan M1 Motor pemotong flash bagian atas
lubang baut pada cushion RR seat, dikendalikan melalui M3 Motor pemotong flash bagian yang menutupi ring
rangkaian kontrol elektrik dengan menggunakan sensor limit M4 Motor pemotong flash bagian luar
switch, saklar ON/OFF, tobol emergency, relay, counter relay,
CW = CCW Motor penggerak lead screw
dan motor DC. Berikut Gbr. 9 dan Gbr. 10 dari posisi setiap
sensor limit switch. S1 Sensor limit gerakan ke atas alat potong
S2 Sensor limit gerakan ke bawah alat potong
S3 Sensor pergerakkan penopang cushion

C. Bill of material
Pada bill of material atau daftar material yaitu berupa
nama komponen standar atau bahan yang akan dilakukan
proses pemesinan, spesifikasi, kode, merek, jumlah, harga
per satuan, sub total, dan total harga keseluruhan.
Komponen standar tersebut diantaranya motor DC, gear
box, bearing, lead screw, linear guide, mata bor, baut, mur,
clamp, engsel, roda, dan komponen standar kelistrikan.
Sedangkan bahan yaitu berupa rangka hollow persegi,
elektroda, rail aluminium, mika bening, plat baja, poros
baja, dan selang
D. Spesifikasi alat
Berikut spesifikasi akhir dari alat pemotongan flash
bagian atas, flash bagian luar, flash yang menutupi ring,
dan pembuatan lubang baut pada cushion RR seat.
1. Alat yang memotong flash bagian atas, flash yang
menutupi ring dan pembuat lubang baut pada cushion
RR seat bekreja secara otomatis. Sedangkan
pemotongan flash bagian luar dilakukan secara manual
dalam mendekatkan cushion terhadap alat potong
namun tetap menggunakan alat bantu pemotongan
yaitu motor DC.
2. Dimensi alat yang dirancang yaitu :
a. Panjang = 1444 mm
b. Lebar = 840 mm
c. Tinggi = 817mm
3. Menggunakan lima buah motor DC dengan spesifikasi
sebagai berikut :
Motor DC power screw
P = 30 Watt
V = 12 Volt
n = 300 RPM
a. Motor DC pemutar piringan
P = 15 Watt
V = 12 Volt
n = 1800 RPM
Ratio gearbox = 150:1
n = 10 RPM
b. Motor DC pemotong flash yang Menutupi ring
P = 85 Watt
V = 12 Volt
n = 3500 RPM
c. Motor DC pemotong flash bagian atas
P = 10 Watt
V = 24 Volt
n = 3500 RPM
d. Motor DC pemotong flash bagian luar
P = 10 Watt
V = 24 Volt
n = 3500 RPM
2. Tersedianya jalur cairan pendingin yang berguna untuk
membuang flash pada alat potong dan pendingin ketika
proses pemotongan dilakukan.
7
E. Cara pengoprasian alat
Cara pengoprasian alat yang memotong flash bagian
atas, flash yang menutupi ring dan pembuat lubang baut
pada cushion RR seat yaitu :
1. Tentukan tipe cushion yang akan dilakukan proses
pemotongan.
2. Lakukan pengaturan terhadap sensor limit switch atas
maupun bawah.
Gbr. 12 Sensor limit switch
3. Buka plunger dengan cara memutar handle berlawanan
dengan arah jarum jam kemudian letakkan cushion pada
penempat dan putar kembali handle searah dengan arah
jarum jam.
4. Tekan tombol ON pada sisi kiri alat, kemudian alat akan
bekerja dengan sendirinya.
5. Selama proses berlangsung, sangat memungkinkan
untuk membuka cushion yang telah dilakukan proses
pemotongan kemudian meletakkan cuhion baru yang
akan dilakukan pemotongan.
6. Tekan tombol OFF pada sisi kiri dari alat setelah
seluruh cushion dilakukan proses pemotongan.
7. Apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, dapat
langsung menekan tombol emergency yang sudah
disediakan di sisi kiri alat.
Sedangkan cara pengoprasian alat yang memotong flash
bagian luar yaitu :
1. Angkat handle lalu tempatkan cushion pada poros.
Sistem ini akan berfungsi untuk memberikan gaya tekan
pada cushion.
Gbr. 13 Penempatan cushion
2. Nyalakan motor DC pemotong flash bagian luar
dengan menekan tombol ON pada sisi kanan alat.
3. Pasang salah satu tipe cushion pada poros komponen
penekan cushion.
4. Turunkan komponen bagian penekan cushion dan
putar bagian knop.
 8

Gbr. 14 Pemotong flash bagian luar

5. Angkat komponen penekan cushion, lepas cushion

yang telah dilakukan pemotongan dan pasang kembali
cushion lain yang akan dilakukan pemotongan.

III. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil diantaranya
:
1. Perlunya mempertimbangkan kebutuhan dari alat yang
akan dibuat melalui pengumpulan data-data pada tahap
merencana. Sehingga konsep alat yang akan dibuat
mendekati kebutuhan atau fungsi alat tersebut ketika
dikembangkan menjadi rancang detail
2. Untuk mengembangkan konsep menjadi gambar detail,
perlu diperhitungkan terlebih dahulu gaya dan beban
yang akan terjadi ketika alat dibuat dan digunakan
nantinya. Agar tidak terjadi kegagalan desain.
3. Dalam merancang detail, sangat penting
mempertimbangkan komponen standar yang tersedia
dipasaran untuk meminimalisir biaya termasuk biaya
manufaktur dan waktu yang diperlukan untuk merakit
alat hasil rancangan. Selain itu pertimbangan-
pertimbangan tersebut pula akan berpengaruh pada
hasil akhir berupa gambar kerja atau dokumentasi alat.

IV. DAFTAR PUSTAKA

1. T. P. Victor, Karakteristik sifat fisik elastomer
NBR dan EPDM untuk pembuatan seal/o-ring
untuk suku cadang otomotif. Jakarta : Balai besar
pendidikan dan pelatihan ekspor Indonesia, 2014.
2. Widarto, Teknik pemesinan jilid 2 untuk SMK.
Jakarta : Direktorat pembinaan sekolah
menengah kejuruan , 2008.
3. Putranto, Agus, M. Abdul, S. Djoko, K. Syaiful, R.
E. Arie, S. sodikin, dan Sugiono, Teknik otomasi
industri untuk SMK. Jakarta : Direktorat
pembinaan sekolah menengah kejuruan, 2008.
4. Suyitno, Mekanika teknik 2. Bandung : Pusat
pengembangan pendidikan politeknik, 1995.
5. Woxen, Machinery’s handbook. 1931.
6. Sularso, Dasar perencanaan dan pemilihan elemen
mesin. Jakarta : Pradnya paramita, 1997.
7. American welding society. 2006.
8. P. Gerhard and B. Wolfgang, Engineering design.
Darmstadt and Berlin : Springer, 1997
 1

Kinerja Seismik Gedung Rawat Inap RSUD

Goeteng, Purbalingga, Indonesia
Yanuar Haryanto1, 2) Banu Ardi Hidayat3, 4), Nor Intang Setyo Hermanto5)
1) Department of Civil Engineering, College of Engineering, National Cheng Kung University,
Tainan, Taiwan R.O.C, email: n68077071@mail.ncku.edu.tw
2) Department of Civil Engineering, Faculty of Engineering, Jenderal Soedirman University,
Purwokerto, Indonesia, email: yanuar.haryanto@unsoed.ac.id
3) Department of Civil Engineering, College of Engineering, National Cheng Kung University,
Tainan, Taiwan R.O.C, email: n68077039@mail.ncku.edu.tw
4) Department of Civil Engineering, Faculty of Engineering, Diponegoro University,
Semarang, Indonesia, email: banuardihidayat@gmail.com
5) Department of Civil Engineering, Faculty of Engineering, Jenderal Soedirman University,
Purwokerto, Indonesia, email: nor.hermanto@unsoed.ac.id

Abstract—Gedung Rawat Inap RSUD Goeteng, Purbalingga,
Indonesia yang dibangun pada tahun 2012 merupakan bangunan
dengan kategori risiko IV. Akibat konfigurasi struktur yang
tidak beraturan, gedung ini memiliki kerentanan terhadap
gempa yang cukup besar. Kajian ini bertujuan untuk
mengevaluasi kinerja sesimik Gedung Rawat Inap RSUD
Goeteng yang dilakukan dengan analisis beban dorong
(pushover). Hasil kajian menunjukkan gaya geser dasar yang
diterima Gedung Rawat Inap RSUD Goeteng adalah sebesar
10064,421 kN dan 5655,626 kN masing-masing untuk arah X dan
arah Y. Daktilitas stuktur untuk arah X dan arah Y masing-
masing adalah 2,74 dan 4,46. Rasio simpangan struktur yang
terjadi di bawah 1%, masing-masing adalah 0,17% untuk arah X
dan 0,24% untuk arah Y. Dengan demikian kinerja seismik
Gedung Rawat Inap RSUD Goeteng dikategorikan pada taraf
Immediate Occupancy dimana diprediksi tidak terdapat
kerusakan yang berarti pada struktur, kekuatan dan
kekakuannya kira-kira hampir sama dengan kondisi sebelum
gempa. Komponen nonstruktur masih berada ditempatnya dan
sebagian besar masih berfungsi jika utilitasnya tersedia. Gedung
dapat tetap berfungsi dan tidak terganggu dengan masalah
perbaikan.
Index Terms—Daktiltas, gaya geser dasar, gempa bumi,
kinerja seismik, pushover
I. PENDAHULUAN
tanah di seluruh Indonesia [4]. Perubahan peraturan ini
memicu banyak dilakukan studi mengenai pengaruh
perubahan peraturan terhadap besarnya gaya gempa yang
terjadi dan dampaknya terhadap kinerja struktur bangunan.
Salah satu kajian yang telah dilakukan oleh Arfiadi dan
Satyarno [5] yang membahas tentang perbandingan spektrum
desain beberapa kota besar di Indonesia dalam SNI 03-1726-
2012 [6] dan SNI 1726: 2002 [7], menyebutkan bahwa untuk
kota-kota yang mengalami kenaikan spektrum desain, baik pada
periode pendek (yang mempengaruhi gedung sekitar 2 sampai 8
lantai) maupun perioda 1 detik (yang mempengaruhi gedung 10
lantai atau lebih), maka gedung-gedung di kota-kota tersebut
perlu dievaluasi ketahanannya terhadap gempa, terutama
seperti rumah sakit dan bangunan penting lainnya.
Berdasarkan peta hazard gempa Indonesia [8], untuk jenis
situs tanah berupa batuan, Purbalingga memiliki percepatan
respon spektrum pada periode pendek, 0,2 detik, (Ss) sebesar
0,760g dan percepatan respon spektrum pada peirode 1 detik,
(S1) sebesar 0,311g seperti dapat dilihat pada Gambar 1.
Dengan demikian Purbalingga merupakan wilayah dengan
potensi kegempaan cukup tinggi karena memiliki percepatan
respon spektrum pada periode pendek, 0,2 detik, (Ss) lebih
tinggi atau setara 0,5g tetapi lebih rendah dari 1,0g dan
percepatan respon spektrum pada peirode 1 detik, (S1) lebih

G empa merupakan salah satu bencana yang perlu

diwaspadai oleh manusia. Kasus gempa bumi seringkali
menimbulkan banyak kerugian antara lain jatuhnya korban
tinggi atau setara 0,2g tetapi lebih rendah dari 0,4g [9].

jiwa, kerusakan rumah tinggal dan gedung-gedung fasilitas

umum, serta infrastruktur fisik lainnya [1]. Tingkat risiko
gempa ditentukan oleh dua faktor utama yaitu besarnya
tingkat ancaman (hazard) dan besarnya tingkat kerentanan
(vulnerability). Besarnya tingkat ancaman tidak dapat
dikurangi karena merupakan fenomena alam. Dengan
demikian tingkat risiko gempa hanya dapat dikurangi dengan
memperkecil tingkat kerentanan [2, 3]. Indonesia adalah salah
satu wilayah yang dilalui oleh pertemuan lempeng aktif dunia
sehingga intensitas terjadinya gempa cukup tinggi. Perubahan
intensitas gempa menuntut perubahan peraturan dalam
perencanaan gempa untuk bangunan akibat adanya
Gbr. 1. Percepatan respon spektrum pada periode pendek 0,2 detik (Ss) dan
peningkatan respon spektrum desain untuk semua kelas situs pada periode 1 detik (S1) untuk Purbalingga
 2

Gedung Rawat Inap RSUD Goeteng, Purbalingga yang disajikan pada Gambar 3. Model tiga dimensi dapat
dibangun pada tahun 2012 merupakan bangunan dengan dilihat pada Gambar 4.
kategori risiko IV dan memiliki konfigurasi struktur yang
tidak beraturaan. Perilaku bangunan selama terjadinya gempa
tergantung pada beberapa faktor, termasuk apakah bentuknya
sederhana dan simetris. Bangunan yang memiliki
ketidakberaturan baik vertikal maupun horizontal lebih rentan
terhadap gempa [2]. Beberapa bangunan bahkan dapat
berperilaku sangat jelek saat dilanda gempa bumi disebabkan
oleh bentuk bangunan yang tidak beraturan [10]. Kajian ini
bertujuan untuk mengevaluasi kinerja seismik Gedung Rawat
Inap RSUD Goeteng, Purbalingga yang dilakukan dengan
analisis beban dorong (pushover).
Kharwar dan Lhonde [11] berpendapat bahwa terdapat
tingkatan analisis struktur yang sesuai untuk analisis struktur
berbasis kinerja. Setiap prosedur tingkat yang lebih tinggi
merupakan metode yang lebih akurat dalam menentukan
kinerja sebenarnya dari bangunan akibat beban gempa, tetapi
membutuhkan upaya yang lebih besar dalam hal persiapan
data, waktu dan komputasi. Analisis pushover merupakan
metode yang populer direkomendasikan untuk mengevaluasi
kinerja struktur baik yang telah lama berdiri maupun yang
baru [12] karena kesederhanaannya [13]. Analisis pushover
dapat menyediakan informasi yang memadai tentang seismic
demand yang dikenakan oleh design ground motion pada
sistem struktur dan komponen-komponennya. Bangunan yang
telah ada dapat dikategorikan tidak memadai secara
kegempaan dikarenakan persyaratan peraturan kegempaan
yang terus ditingkatkan di samping adanya kemajuan dalam
pengetahuan di bidang engineering.

II. METODE
A. Pemodelan Struktur
Data spesifikasi gedung:
Gbr. 2. Denah struktur Gedung Rawat Inap RSUD Goeteng, Purbalingga
Fungsi Bangunan : Rumah Sakit
Material : Baja ST37, Beton K-275
Atap : Baja ringan dengan penutup genteng
Tebal Plat : 120 mm
Kolom Lantai 1 : 0,45 m x 0,45 m
Kolom Lantai 2 : 0,30 m x 0,30 m
Balok : (dimensi balok disajikan pada Tabel 1)

TABEL I
DIMENSI BALOK

Jenis Dimensi (m2)

G1 0,35 × 0,70
G2 0,30 × 0,60
G3 0,30 × 0,40
B1 0,25 × 0,50
B2 0,25 × 0,40
B3 0,20 × 0,40
B4 0,15 × 0,30
BP 0,15 × 0,20

Denah struktur Gedung Rawat Inap RSUD Goeteng dapat

dilihat pada Gambar 2, sedangkan model dua dimensi Gbr. 2. Model dua dimensi Gedung Rawat Inap RSUD Goeteng, Purbalingga
 3

struktur dan demand. Demand merupakan representasi dari

pergerakan tanah akibat gempa sehingga parameter yang
digunakan adalah perpindahan struktur, sedangkan kapasitas
struktur merupakan representasi dari kemampuan struktur
untuk memikul seismic demand. Matriks taraf kinerja struktur
ditunjukkan pada Gambar 5.

Gbr. 3. Model tiga dimensi Gedung Rawat Inap RSUD Goeteng, Purbalingga

B. Analisis Pushover
Analisis pushover merupakan suatu performance based
evaluation yang bertujuan untuk menentukan kapasitas suatu
struktur. Pada dasarnya, analisis pushover dilakukan dengan
memberikan beban lateral yang nilainya ditingkatkan
berangsur-angsur (incremental) secara proposional pada
struktur hingga mencapai target displacement atau mencapai
mekanisme di ambang keruntuhan karena terjadinya sendi
plastis pada elemen balok maupun kolom. Prosedur
analisisnya menjelaskan bagaimana mengidentifikasi elemen-
elemen struktur yang akan mengalami kegagalan terlebih Gbr. 5. Matriks taraf kinerja struktur [15]
dahulu. Seiring dengan peningkatan beban terda[at elemen-
elemen yang mengalami leleh dan deformasi inelastic yang
Berdasarkan FEMA 451 [14] dan ATC 40 [16], kinerja
mengakibatkan berkurangnya kekakuan struktur. Dengan
seismik struktur dikategorikan menjadi taraf Operational,
analisis pushover, karakteristik hubungan gaya-perpindahan
Immediate Occupancy, Life Safety, dan Collapse Prevention.
non linier dapat ditentukan yang secara tipikal ditunjukkan
Pada taraf Operational tidak terjadi kerusakan berarti baik
pada Gambar 4.
pada struktur maupun non struktur bangunan, atau bangunan
masih dapat tetap berfungsi. Taraf Immediate Ocupancy
mengindikasikan bahwa setelah terjadi gempa struktur tidak
mengalami kerusakan yang berarti, kekuatan dan kekakuannya
kira-kira hampir sama dengan kondisi sebelum gempa.
Komponen nonstruktur masih berada ditempatnya dan
sebagian besar masih berfungsi jika utilitasnya tersedia.
Bangunan dapat tetap berfungsi dan tidak terganggu dengan
masalah perbaikan. Pada taraf Life Safety terjadi keruntuhan
struktur saat gempa terjadi tetapi bangunan tidak sampai
runtuh, komponen non struktural sudah tidak berfungsi tetapi
masih bisa digunakan kembali setelah adanya perbaikan. Taraf
collapse prevention bermakna terdapat kerusakan yang berarti
Gbr. 4. Karakteristik hubungan gaya-perpindahan [14] baik pada komponen struktur maupun non struktur, dimana
kondisi bangunan sudah hampir runtuh akibat berkurangnya
Gambar 4 di atas memperlihatkan bahwa respon linier kekuatan dan kekakuan struktur. Ilustrasi kinerja seismik
dimulai dari titik A (unloaded component) dan kelelehan bangunan dapat dilihat pada Gambar 6.
mulai terjadi pada titik B. Respon dari titik B ke titik C
merupakan respon elastis plastis. Titik C merupakan titik yang
menunjukkan kekuatan nominal, dan nilai absisnya yang
merupakan deformasi menunjukkan dimulainya degradasi
kekuatan elemen struktur (garis C-D). Pada titik D, respon
struktur secara substansial mengalami pengurangan kekuatan
menuju titik E. Untuk deformasi yang lebih besar dari titik E,
kekuatan elemen struktur menjadi nol.
C. Kinerja Struktur
Struktur yang dievaluasi pada kajian ini merupakan
bangunan Rumah Sakit maka kinerja yang disyaratkan adalah
pada taraf Immediate Occupancy. Kinerja seismik suatu
struktur dapat dilakukan dengan membandingkan kapasitas Gbr. 6. Ilustrasi kinerja seismik bangunan [14]
 4

III. HASIL DAN PEMBAHASAN TABEL 3

DAKTILITAS STRUKTUR
Titik kinerja yang merupakan perpotongan kurva spektrum
kapasitas dengan kurva spektrum demand sebagai hasil Arah y (m) u (m) Daktilitas
analisis pushover untuk Gedung Rawat Inap RSUD Goeteng X 0,015399 0,042216 2,74
diperlihatkan pada Gambar 7. Dari hasil analisis pushover Y 0,014159 0,063234 4,46
ini dapat diketahui nilai gaya geser dasar (V) dan nilai
displacement (D) yang terjadi. Nilai Sa, Sd, waktu getar alami Kinerja struktur ditentukan berdasarkan rasio simpangan
efektif (Teff) dan redaman viscous efektif (βeff) juga dapat yaitu perbandingan simpangan titik kontrol (atap) dengan
diketahui. Hasil-hasil tersebut disajikan pada Tabel 2 yang ketinggiannya. Hasil analisis pushover untuk Gedung Rawat
menunjukkan bahwa gaya geser dasar yang diterima Gedung Inap RSUD Goeteng menunjukkan bahwa rasio simpangan
sebesar 10064,421 kN dan 5655,626 kN masing-masing untuk yang terjadi sebesar 0,17% untuk arah X dan 0,24% untuk
arah X dan arah Y. Displacement (D) yang terjadi masing- arah Y seperti disajikan pada Tabel 4. sedangkan kurva rasio
masing 0,00712 m untuk arah X dan 0,01000 m untuk arah Y. simpangan dapat dilihat pada Gambar 8.
Daktilitas struktur yang terjadi, yang merupakan rasio ultimate
TABEL 4
displacement (u) dan yield displacement (y), untuk arah X KINERJA STRUKTUR
dan arah Y masing-masing adalah 2,74 dan 4,46 seperti dapat
dilihat pada Tabel 3. Arah Dt (m) H (m) Rasio Simpangan (%) Kinerja
X 0,00712 8,4 0,17 IO
Y 0,01000 8,4 0,24 IO

IV. KESIMPULAN
Dari kajian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
gaya geser dasar yang diterima Gedung Rawat Inap RSUD
Goeteng adalah sebesar 10064,421 kN dan 5655,626 kN
masing-masing untuk arah X dan arah Y. Daktilitas stuktur
untuk arah X dan arah Y masing-masing adalah 2,74 dan 4,46.
Gbr. 7. Titik kinerja Gedung Rawat Inap RSUD Goeteng arah X dan arah Y Rasio simpangan struktur yang terjadi di bawah 1%, masing-
TABEL 2
masing adalah 0,17% untuk arah X dan 0,24% untuk arah Y.
HASIL ANALISIS PUSHOVER Dengan demikian kinerja seismik Gedung Rawat Inap RSUD
Goeteng dikategorikan pada taraf Immediate Occupancy
Parameter Arah X Arah Y
dimana diprediksi tidak terdapat kerusakan yang berarti pada
V (kN) 10064,421 5655,626 struktur, kekuatan dan kekakuannya kira-kira hampir sama
D (m) 0,00712 0,01000 dengan kondisi sebelum gempa. Komponen nonstruktur masih
Sa 0,352 0,275
berada ditempatnya dan sebagian besar masih berfungsi jika
Sd 0,00383 0,00485
utilitasnya tersedia. Gedung dapat tetap berfungsi dan tidak
Teff 0,204 0,258
terganggu dengan masalah perbaikan.
βeff 0,061 0,112
 5

V. UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Lembaga
Penelitan dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas
Jenderal Soedirman yang telah mendanai kajian ini yang
merupakan bagian dari Riset Peningkatan Kompetensi. Penulis
juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada reviewer
yang telah membantu menelaah naskah ini sehingga naskah ini
menjadi lebih baik.

VI. DAFTAR PUSTAKA

[1] Y. Haryanto, G. H. Sudibyo, F. C. A. Effendi, “Preliminary Seismic
Hazard Assessment of the Oral and Dental of Jenderal Soedirman
University Indonesia,” Procedia Engineering, 171, pp. 1025-1034, 2017.
[2] Y. Haryanto, B. S. Gan, N. G. Wariyatno, and E. W. Indriyari, “The
Performance of A Ten-Story Irregular Apartment Building Model under
Seismic Load in Purbalingga Regency Indonesia,” ARPN Journal of
Engineering and Applied Sciences, 12(17), pp. 4858-4866, 2017.
[3] Y. Haryanto, B. S. Gan, N. G. Wariyatno, and E. W. Indriyari, “Seismic
Performance of A High-Rise Residential Building Model in Purwokerto,
Indonesia,” Matec Web of Conferences, 192, pp. 1-4, 2018.
[4] A. Widyaningrum, Y. Haryanto, and N. I. S. Hermanto, “A Structural
Performance Evaluation of Vertical Housing Model due to the Increased
Seismic Loads in Semarang, Indonesia using A Pushover Analysis,”
Matec Web of Conferences, 195, pp. 1-8, 2018.
[5] Y. Arfiadi, dan I. Satyarno, “Perbandingan Spektra Desain Beberapa
Kota Besar di Indonesia Dalam SNI Gempa 2012 dan SNI Gempa
2002,” Prosidin Konferensi Nasional Teknik Sipil 7, pp. 299-306, 2013.
[6] Badan Standar Nasional Indonesia, “SNI 03-1726-2002 Tata Cara
Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung,” 2002.
[7] Badan Standar Nasional Indonesia, “SNI 1726: 2012 Tata Cara
Perencanaan ketahanan Gempa untuk Struktur bangunan Gedung dan
Non Gedung,” 2012.
[8] Kementerian Pekerjaaan Umum Indonesia, “Peta Hazard Gempa
Indonesia 2010,“ 2010.
[9] Federal Emergency Management Agency USA, “FEMA P-154 Rapid
Visual Screening of Buildings for Potential Seismic Hazards: A
Handbook,” 2015.
[10] C. V. R. Murty, S. Brzev, H. Faison, C.D. Comartin, and A. Irfanoglu,
“Perilaku Bangunan Struktur Rangka Beton Bertulang dengan Dinding
Pengisi Dari Bata Terhadap Gempa,” 2009.
[11] D. B. Karwar, and R. S. Londhe, “Performance of RC Framed Structure
by Using Pushover Analysis,” International Journal of Emerging
Technology and Advanced Engineering, 4(6), pp. 488-491, 2014.
[12] N. Bodige, and P. K. Ramancharla, “Pushover Analysis of RC Bare
Frame: Performance Comparison between Ductile and Non-ductile
Detailing,” Proceedings of the 15th World Conference on Earthquake
Engineering (15WCEE), 2012.
[13] A. Q. Bhatti, and H. Varum, “Application of Performance Based
Nonlinear Seismic Design and Simulation Static Pushover Analysis for
Seismic Design of RC Buildings,” Proceedings of the 15th World
Conference on Earthquake Engineering (15WCEE), 2012.
[14] Federal Emergency Management Agency USA, “FEMA 451 NEHRP
Recommended Provisions: Design Examples; Companion To FEMA
450,” 2006.
[15] Federal Emergency Management Agency USA, “FEMA 303 NEHRP
Recommended Provisions for Seismic Regulations for New Buildings
and Other Structures,” 1997.
[16] Applied Technology Council USA, “ATC 40 Seismic Evaluation and
Retrofit of Concrete Buildings, Vol. 1,” 1996.
 Kombinasi Data Terrestrial Laser
Scanner (TLS) dan Unmanned Aerial
Vehicle (UAV) untuk Pemodelan 3D
Masjid Agung Kotagede, Yogyakarta
Ruli Andaru a,*, Gondang Riyadi a,*, Istarno a,*, Djurdjani a,*, Bambang Kun Cahyono a,*,
Untung Rahardjo a,*, M.Iqbal Taftazani b,*, Wahyu Martha M b,*.
a,*
Staff Pengajar Departemen Teknik Geodesi FT-UGM (Email : ruliandaru@ugm.ac.id)
b,* Staff Pengajar Departemen Teknologi Kebumian, Sekolah Vokasi UGM
Abstract - Masjid Agung Kotagede adalah salah satu
Masjid tertua di Yogyakarta dan termasuk salah
satu bangunan herritage yang senantiasa harus
terjaga keaslian dan kelestariannya. Penggunaan
teknologi yang tepat guna dan tepat sasaran akan
membuat usaha menjaga kelestarian bangunan
herritage menjadi lebih mudah dan lebih efisien.
Dari berbagai pilihan yang tersedia, teknologi
geospasial merupakan salah satu pilihan yang
terbaik. Teknologi geospasial terkait dengan
dokumentasi keruangan, dimana salah satu bentuk
dokumentasinya dapat dilakukan dengan pemetaan
secara 3D. Hasil dari pemetaan ini adalah sebuah
dokumen 3D bangunan herritage secara detail,
akurat dan teliti. Salah satu metode pemetaan
tersebut adalah dengan menggunakan Laser
Scanning dan UAV (unmanned aerial vehicle).
Dengan kombinasi dua data ini, obyek herritage
dapat dipetakan secara utuh dengan tingkat
kedetailan dan akurasi yang tinggi. Model 3D ini
sebagai data dokumentasi digital yang realistik dan
akurat sehingga bisa digunakan oleh pihak
pengambil keputusan dan pembuat kebijakan untuk
merencanakan dan melestarikan bangunan
herritage dengan lebih cepat dan komprehensif.
Index Terms - Masjid Kotagede, TLS, UAV, 3D
model.
I. PENDAHULUAN
Pemodelan 3D dapat dilakukan dengan
berbagai metode, seperti metode fotogrametri
maupun dengan metode laser scanning.
Pengambilan data menggunakan metode
fotogrametri dapat menggunakan kamera digital
yang terpasang pada wahana UAV atau pesawat
komersil, sedangkan pengambilan data
menggunakan metode laser scanning dapat
dilakukan menggunakan Terrestrial Laser
Scanner.
Akuisisi data menggunakan metode laser
scanning akan lebih efisien dan efektif karena
mampu menghasilkan data ukuran dengan tingkat
kerapatan yang tinggi, namun terdapat kesulitan
dalam akuisisi data bagian atap bangunan karena
TLS harus berdiri diatas permukaan atap dimana
kondisi tersebut sulit untuk dilakukan. Hal ini
menyebabkan data ukuran menjadi tidak utuh dan
sempurna.
Akuisisi data menggunakan UAV based
photogrametry mampu memodelkan obyek dari
sisi atas dengan tingkat kerapatan yang tinggi
tergantung spesifikasi kamera dan tinggi terbang.
Dengan melakukan pemotretan dari udara, maka
obyek bangunan dapat terpetakan dengan baik
khususnya pada bagian atas atau atap bangunan.
Kombinasi antara kedua metode ini mampu untuk
memodelkan obyek bangunan dengan utuh, mulai
dari dasar bangunan hingga bagian atap dengan
detail, lengkap dan realistik.
Penelitian ini dilakukan pada objek cagar
budaya berupa bangunan yaitu Komplek Masjid
Agung Kotagede. Masjid tersebut berada di
selatan kawasan Pasar Kotagede, Banguntapan,
Bantul, Yogyakarta. Masjid Agung Kotagede
merupakan masjid tertua di Yogyakarta dan
menjadi objek cagar budaya yang terbentuk dari
adaptasi budaya agama islam dengan agama hindu
dan budha. Kombinasi data TLS-UAV yang
dilakukan adalah dengan mengambil data
bangunan sisi bawah menggunakan TLS dan
pengambilan data atap bangunan masjid
menggunakan UAV jenis multicopter DJI
Phantom 4. Dari kombinasi data point cloud
TLS-UAV tersebut dapat dibentuk Model 3D
Komplek Masjid Agung Mataram Kotagede
1
secara utuh dan dengan tingkat kedetailan yang
tinggi.
II. DASAR TEORI
A. Bangunan Bersejarah/Cagar Budaya
Warisan budaya dibagi dalam beberapa
kategori cagar budaya yaitu warisan budaya
berupa benda (nyata) dan warisan budaya tak
benda [12]. Warisan budaya benda meliputi
warisan budaya bergerak (contoh: lukisan, naskah,
koin, patung), warisan budaya tidak bergerak
(contoh:monumen, situs arkeologi,bangunan
bersejarah lainnya), dan warisan budaya bawah
air (contoh:bangkai kapal, reruntuhan dan kota
bawah air). Sedangkan warisan budaya tak benda
antara lain tradisi, seni pertunjukan, dan ritual.
Menurut Undang-Undang No 10 tahun 2010
cagar budaya merupakan warisan budaya baik
berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan
kawasan di darat dan atau di air yang perlu
dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai
penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
pendidikan, agama, dan atau kebudayaan melalui
proses penetapan. Bangunan cagar budaya
merupakan salah satu warisan budaya yang
terbuat dari benda alam dan atau benda buatan
manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang
berdinding dan atau tidak berdinding serta beratap.
Sesuai undang-undang tersebut, bangunan dapat
diusulkan sebagai bangunan cagar budaya jika
memenuhi beberapa kriteria antara lain berusia
50 tahun atau lebih, memiliki arti khusus bagi
sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
dan atau kebudayaaan, serta memiliki nilai budaya
bagi penguatan kepribadian bangsa.
Berdasarkan pengertian tersebut, Masjid
Kotagede memenuhi kriteria sebagai bangunan
cagar budaya. Masjid Kotagede mewakili salah
satu sejarah, agama, dan budaya daerah pada masa
lampau sehingga perlu mendapatkan perhatian
khusus.
B. Pemodelan 3D
Pemodelan yaitu mendesain dan membuat objek
atau suatu benda terlihat seperti nyata sesuai objek
dunia nyata [7]. Objek tersebut terlihat nyata di
computer yaitu terlihat 3 dimensi sehingga proses
tersebut disebut pemodelan 3D. 3D modelling
adalah proses merepresentasikan suatu objek pada
dunia nyata kedalam bentuk digital. Proses 3D
modelling menghasilkan produk berupa model 3D.
Model 3D secara keseluruhan merupakan inovasi
dari teknologi komputer grafik. Model 3D yang
baik adalah model 3D yang mampu
merepresentasikan bentuk suatu objek menyerupai
objek sebenarnya secara detil dan memiliki
ukuran yang akurat. Model 3D dibagi menjadi 3
kategori, antara lain:
a. Solid
Model solid 3D merupakan bentuk
visualisasi 3D dengan menggabungkan
bentuk objek primitif seperti kubus, bola,
silinder. Pembuatan model solid dalam
bentuk yang lain dapat dilakukan melalui
operasi gabungan (union), irisan
(intersect), dan selisih (different). Model
solid dapat digunakan untuk menghitung
volume, massa, ukuran objek, dan
momen inersia objek. Pembentukan
model 3D suatu objek dengan
menggunakan model solid memerlukan
operasi yang rumit.
b. Surface model
Surface model adalah tipe model 3D
yang tidak memiliki ketebalan.
Perbedaan antara Surface model dan
solid model adalah solid model mampu
memberikan informasi tentang massa,
sedangkan surface model tidak bisa.
Surface model mampu mewakili bentuk
dari permukaan objek. Pada beberapa
kasus, pemodelan objek yang memiliki
bentuk yang rumit dapat lebih mudah
dilakukan dengan menggunakan surface
model dibandingkan menggunakan solid
model.
c. Mesh
Mesh merupakan sebuah model jaring
segitiga yang dibentuk dari kumpulan
titik. Kualitas bentuk model 3D yang
dibentuk oleh mesh dipengaruhi oleh
kerapatan dan banyaknya data titik yang
tersedia. Model mesh dibentuk dengan
cara menghubungkan titik-titik yang
saling berdekatan sehingga membentuk
suatu jaring segitiga. Mesh mampu
merepresentasikan bentuk permukaan 3D
secara baik. Mesh memiliki kemampuan
untuk mengatur kehalusan ataupun
kondisi sebenarnya dari objek yang
dimodelkan. Kualitas mesh
merepresentasikan objek dengan baik
tergantung pada kerapatan titik yang
menyusunnya.
Selain bentuk diatas, model 3D dapat
direpresentasikan dalam bentuk primitif 3D.
Objek primitif tersebut yaitu kubus, balok, bola,
silinder, limas, prismma, dan kerucut.
Obyek-obyek bangunan herritage dapat didekati
dan dimodelkan dalam bentuk primitif 3D.
C. Terrestrial Laser Scanner
2
 Quintero, dkk [14] menyebutkan bahwa
laser scanning mendeskripsikan suatu permukaan
objek menggunakan teknologi laser. Metode ini
menganalisa lingkungan objek atau real world
melalui akuisisi data dari bentuk dan
kemungkinan kenampakan yang ada pada suatu
objek di permukaan bumi yaitu warna. Namun
warna hasil akuisisi data tidak sesuai dengan
warna aslinya karena warna yang didapatkan
merupakan intensitas pantulan dari objek. Data
akuisisi kemudian digunakan untuk
merekonstruksi objek secara digital baik berupa
model 2D atau 3D yang dapat digunakan untuk
berbagai macam aplikasi. Laser scanning
memiliki keunggulan yaitu TLS dapat merekam
data point dalam jumlah yang banyak dengan
akurasi tinggi dalam waktu yang singkat. Namun
untuk mendapatkan cakupan lengkap struktur
diperlukan beberapa kali scanning karena TLS
termasuk dalam line of sight instrument.
Teknologi laser scanner dikategorikan
menjadi dua yaitu statis dan dinamis. Saat posisi
scanner berada pada posisi tetap saat akuisisi,
maka termasuk dalam kategori statis. Keuntungan
kategori ini adalah data hasil akuisisi memiliki
tingkat presisi dan kerapatan titik yang tinggi.
Sedangkan pada kategori dinamis scanner
melekat pada wahana bergerak. Pada kasus ini
dibutuhkan sistem tambahan untuk mengetahui
posisi wahana seperti menambahkan INS dan
GPS sehingga lebih kompleks dan mahal. Contoh
penerapan laser scanner dinamis yaitu airborne
laser scanning dan scanning menggunakan UAV.
D. Prinsip Kerja Terrestrial Laser Scanner
Prinsip kerja TLS tidak terlepas dari time of
flight dan phase based. Time of flight yaitu
rentang waktu sinar laser untuk mencapai objek.
Pada dasarnya time of flight menghitung jarak
dengan menembakkan sinar laser dan dipantulkan
kembali ke sistem penerima alat dan mengukur
berapa lama sinar laser itu memantul kembali
seperti gambar II.1. Dengan mengetahui
kecepatan rambat sinar laser konstan dan waktu
tempuh sinar laser pergi dan kembali, maka jarak
akan didapatkan. Jarak, bearing (sudut horizontal
dari garis yang diketahui), dan sudut vertikal
(sudut dari gravitasi) pada objek kemudian
digunakan untuk mengetahui posisi x,y,z dari
suatu objek [1].
Gbr. II.1. Prinsip kerja Terrestrial Laser Scanner
(Quintero et al., 2008)
d = ½(c x t)
Keterangan:
d= jarak scanner ke objek
c= kecepatan rambat sinar laser (3 x 108 m/s)
t= waktu tempuh sinar laser pergi dan kembali
Pemindaian berbasis fase (phase based)
menggunakan sinar energi laser konstan yang
dipancarkan dari pemindai. Pemindai kemudian
mengukur pergeseran fasa energi laser kembali
untuk menghitung jarak. Pemindai berbasis fase
dapat memperoleh data dengan laju lebih dari satu
juta poin per detik. Namun jangkauan phase based
terbatas hingga sekitar 80 meter. Pemindai berbasis
fase sebagian besar cocok untuk pekerjaan pabrik
industri dan bangunan interior.
E. Registrasi Data Terrestrial Laser Scanner
Pada umumnya objek yang dilakukan
scanning terlalu besar untuk dapat dicakup hanya
dengan satu kali berdiri alat. Oleh karena itu,
biasanya untuk mencakup seluruh objek dilakukan
scanning dari beberapa posisi berdiri alat.
Masing-masing posisi scan dideinisikan dari
sistem koordinat scanner. Untuk menyelaraskan
posisi scanner yang berbeda-beda, diperlukan
posisi dan orientasi yang tetap dari sistem
koordinat scanner sesuai koordinat sistem
lokal/global [14].
Gbr. II.2. Registrasi antara dua posisi scan (dua scene world).
(Sumber : Quintero et al., 2008)
Teknik registrasi dibagi menjadi dua kategori
yaitu langsung dan tidak langsung seperti gambar
II.3. Teknik registrasi tidak langsung dibedakan
menjadi dua yaitu target to target dan cloud to
cloud.
3
Gbr. II.3. Teknik Registrasi Terestrial Laser Scanner (Sumber :
Quintero et al., 2008)
Registrasi target to target menggunakan
target buatan dengan permukaan geometris
misalnya printed paper target, silinder dan sphere
yang diletakkan pada bagian overlap dari kedua
data yang akan diregistrasi. Distribusi target
buatan tersebut diletakkan saat akuisisi data di
lapangan sehingga terlihat pada data hasil point
cloud pada masing-masing posisi scan (scene
world). Pada area yang sulit dijangkau untuk
meletakkan target buatan, dapat digunakan target
alami seperti pojok jendela, atau hiasan tembok
jika yang discan adalah suatu bangunan [14].
Metode target to target dilakukan dengan
terlebih dahulu menentukan 6 parameter diantara
kedua koordinat sistem [10] seperti gambar II.4.
Gbr. II.4. Teknik registrasi target to target (Sumber : Reshetyuk,
2009)
Parameter seperti gambar di atas disebut juga
parameter rigid-body transformation tanpa scale
factor. Untuk menentukan 6 parameter
transformasi antara scene world 1 dan scene world
2 diperlukan pemilihan distribusi titik yang
diletakkan secara tidak linier seperti gambar II.5.
Gbr. II.5. Pemilihan distribusi tie points pada registrasi target
to target (Sumber : Reshetyuk, 2009)
Teknik registrasi tidak langsung selanjutnya
yaitu cloud to cloud. Teknik registrasi ini
memanfaatkan hasil overlap (30%-40%) dari
point clouds yang juga disebut teknik pemrosesan
Iterative Closed Point (ICP). Teknik ini
membutuhkan tiga titik yang diambil dari
masing-masing point clouds dan titik tersebut
tidak akan pernah sama untuk masing masing
scene world seperti gambar II.6 [14].
Gbr. II.6. Registrasi cloud to cloud antara dua scene world
(Sumber : Reshetyuk, 2009)
Penyatuan pointcloud dilakukan dengan
terlebih dahulu menjadikan salah satu pointcloud
menjadi acuan kemudian membawa pointcloud
yang lain ke acuan tersebut dengan proses iterasi
sehingga menyerupai bentuk dan geometri objek
[8]. Penggabungan data TLS dan UAV dilakukan
dengan menggunakan prinsip registrasi cloud to
cloud. Dengan menggunakan metode ini, data
pointclouds hasil perekaman TLS dan hasil
ekstraksi UAV dapat digabungkan menjadi satu
sistem untuk kemudian dilakukan proses
pemodelan 3D.
F. Unmanned Aerial Vehicle (UAV)
Menurut UVS international, Unmanned
Aerial Vehicle merupakan pesawat terbang yang
didesain tanpa awak. Istilah UAV sudah umum
digunakan pada komunitas geomatika, namun
juga sudah biasa digunakan untuk drone, remotely
piloted vehicle (RPV), remotey operated aircraft
(ROA), dan berbagai macam wahana terbang
tanpa awak yang dijalankan secara otomatis [9].
UAV merupakan wahana tanpa awak yang
memiliki system terbang secara otomatis,
semi-otomatis, atau secara manual dikendalikan
oleh pilot dari permukaan tanah menggunakan
remote control [17]. UAV dapat digunakan
sebagai wahana dalam keperluan pemetaan. Hasil
foo yang didapatkan dari hasil pemtretan dengan
wahana UAV merupakan foto udara format kecil
non-metrik. Wahana UAV untuk keperluan
pemeaan dibangun dengan system pengukuran
fotogrametris dan terintegrasi dengan system
GNSS/INS. Kelebihan penggunaan UAV
dibandingkan pemetaan fotogrametris klasik salah
satunya dari segi biaya lebih murah dibandingkan
menggunakan wahana pesawat. Selain itu, UAV
dapat terbang ke tempat-tempat yang sulit
dijangkau seperti gunung, vulcanik, area gurun,
area terdampak gempa bumi, dll.
UAV yang digunakan pada penelitian ini
adalah jenis DJI Phantom 3 Professional yang
4
dilengkapi dengan sensor kamera 1/2.3” CMOS
(total pixel 12.76 M), lensa FOV 94 ̊ 20 mm
(f/2.8), serta dilengkapi system positioning
GPS/GLONASS [4] seperti gambar II.7.
Gbr. II.7. DJI Phantom 3 Professional (DJI, 2018)
Sensor Complementary Metal Oxide
Semiconductor (CMOS) dapat meredam noise,
lebih efisien, serta menggunakan daya yang lebih
rendah dibanding sensor Charge-Coupled Devices
(CCD). Selain itu, pada sensor CMOS, sinyal
muatan gambar dibaca satu baris pada satu waktu
seperti mngakses memori secara acak dengan
menggunakan baris dan kolom terpilih sehingga
memungkinkan pembacaan berkecepatan tinggi
dengan konsumsi daya rendah [5].
II.1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah
mengkombinasikan data point cloud TLS dan data
point cloud UAV menjadi satu sistem yang
digunakan untuk pemodelan 3D secara utuh mulai
dari dasar bangunan hingga bagian atas/atap pada
obyek bangunan herritage.
II.2. Tinjauan Pustaka
Integrasi data point cloud TLS dan point
cloud UAV pernah dilakukan oleh Zhihua Xu, dkk
[15] dengan hasil akhir berupa model 3D
bangunan bersejarah. Penelitian tersebut
menggunakan point cloud TLS pada bagian fasad
bangunan dan point cloud UAV pada bagian atap
bangunan. Penelitian ini menyebutkan bahwa
kedua data point cloud (TLS dan UAV) dapat
diregistrasi dengan baik dengan metode iteratif,
sehingga model 3D yang dihasilkan memiliki
cakupan yang lengkap dan detail yang mendalam.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa data dari
metode scanning dan rekonstruksi foto dapat
saling melengkapi dalam hal cakupan, resolusi
penginderaan, dan akurasi model untuk
membentuk rekaman dan model 3D berkualitas
tinggi.
Penelitian yang mengkombinasikan point
cloud dari dari TLS dan UAV juga dilakukan oleh
G.J. Grenzdorffer [6]. Penelitian ini menunjukkan
bahwa pada struktur yang lebih kecil (detail)
direpresentasikan lebih baik oleh data point cloud
TLS dibandingkan dengan point cloud UAV yang
tampak lebih halus. Perbedaan antara point cloud
TLS dengan point cloud UAV termasuk rendah
dan berada di jangkauan sentimeter pada area
yang permukaannya homogen, seperti dinding.
Perbedaan yang besar antara kedua data point
cloud dapat disebabkan karena kurangnya data
point cloud atau dalam beberapa kasus adanya
penskalaan atau pengukuran yang salah.
Xu, Z, dkk [16] melakukan penelitian
mengenai pembuatan model 3D dari objek
bangunan bersejarah berdasarkan video UAV dan
data TLS. Data UAV yang berupa video akan
diubah terlebih dahulu menjadi data frame foto
yang selanjutnya diolah menjadi data point cloud.
Penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi data
point cloud UAV dan point cloud TLS terintegrasi
dan dapat dilakukan proses digitalisasi, namun
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu
mengenai perbedaan kepadatan point cloud TLS
dan UAV. Point cloud yang dihasilkan dari data
UAV mempunyai kepadatan yang lebih jarang
daripada point cloud TLS. Hal tersebut dapat
diantisipasi dengan meningkatkan kepadatan point
cloud saat mengolah data foto UAV.
III. METODOLOGI
A. Bahan Penelitian
Bahan yang dipakai dalam penelitian ini
yaitu:
1. Data scan world menggunakan TLS Faro
Focus3D X330 dilakukan pada tanggal 21
Juli 2018 yang menghasilkan 13 scan world.
2. Data foto udara menggunakan UAV
Multicopter DJI Phantom 3 Pro dilakukan
pada tanggal 21 Juli 2018 yang menghasilkan
375 foto.
B. Peralatan Penelitian
1. Perangkat keras
Perangkat keras yang digunakan dalam
penelitian ini adalah: TLS Faro Focus3D
X330 (1 unit), UAV DJI Phantom 3 Pro (1
unit), Statif (1 buah) dan perangkat komputer.
2. Perangkat lunak
Perangkat lunak yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
a. Maptek i-Site Studio 6.1 untuk registrasi
data TLS dan menggabungkan data
TLS-UAV.
b. Agisoft Photoscan Professional 1.2.5
untuk mengolah data foto udara UAV.
c. Leica Cyclone 6.0 untuk filterisasi data
dan pemodelan 3D.
5
C. Tahapan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari dua tahap yang
meliputi tahap persiapan dan tahap pelaksanaan
yang digambarkan seperti diagram alir pada
Gambar III.1 berikut.
Gbr. III.2. Akusisi data menggunakan TLS Faro Focus X330
2. Pengolahan data
Gbr. III.1. Diagram alir penelitian
D. Tahap Persiapan
Tahap persiapan meliputi survei
pendahuluan. Survei pendahuluan adalah tahapan
untuk menentukan langkah akuisisi data
menggunakan TLS dan UAV. Survei pendahuluan
dilakukan dengan melihat struktur dan desain
objek sehingga dapat ditentukan lokasi
pengambilan data menggunakan TLS. Pada tahap
ini juga dilakukan pembuatan jalur terbang UAV
dengan mempertimbangkan situasi, kondisi, dan
bentuk keseluruhan objek dari atas sehingga data
yang dihasilkan dapat maksimal.
E. Tahap Pelaksanaan
Tahap kedua adalah tahap pelaksanaan
yang meliputi pengumpulan data dan proses
pengolahan data.
1. Pengumpulan data
Pengumpulan data meliputi akuisisi data
menggunakan TLS dan UAV TLS akan
melakukan pemindaian / scanning dengan
laser yang bergantung dari berdiri alat. Posisi
berdiri alat ini akan menjadi jumlah dari scan
world yang dihasilkan saat pengambilan data
di lapangan. Posisi berdiri alat harus
mempertimbangkan area overlap antar scan
world untuk mempermudah registrasi data.
Proses pengambilan data menggunakan UAV
dilakukan dengan menerbangkan wahana UAV
dan melakukan pemotretan foto dari udara
sesuai dengan jalur penerbangan yang sudah
dibuat pada saat survei pendahuluan.
Pengolahan data pada penelitian ini terdiri
dari:
1. Registrasi Data TLS
Registrasi data TLS dilakukan
menggunakan perangkat lunak Maptek
i-Site Studio 6.1 dengan metode cloud to
cloud. Metode ini menjadikan salah satu
scan world menjadi scan world acuan dari
seluruh scan world yang ada. Pada
penelitian ini, scan 3 dijadikan sebagai
scan world acuan atau dijadikan sebagai
“fixed reference” dan scan world lainnya
dijadikan sebagai “data to register”.
Registrasi pertama menggunakan metode
Automated Initial Positioning yakni
registrasi otomatis antar scan world tanpa
menggunakan informasi sensor hanya
translasi dan rotasi. Hasil dari tahap
registrasi awal terkadang masih terdapat
“gap” atau selisih antar scan world
sehingga perlu dilakukan registrasi kedua
menggunakan metode Global Registration.
Metode Global Registration adalah metode
registrasi yang dapat meregistrasi banyak
scan world secara langsung sehingga nilai
RMS registrasi yang dihasilkan kecil.
2. Pengolahan Data Foto Udara UAV
Pengolahan data UAV dilakukan
6
 menggunakan perangkat lunak Agisoft
Photoscan Professional 1.2.5. Pengolahan
data foto udara akan melalui beberapa
proses hingga dapat menghasilkan data
point cloud.
a. Align Photo
Align Photo bertujuan untuk
menentukan posisi kamera dan
orientasi pada setiap foto yang Gbr. III.4. Data point cloud hasil pengolahan data foto
digunakan serta membentuk model udara UAV
point cloud awal.
b. Build Dense Cloud
Setelah proses align photo, dilakukan
proses pembuatan dense cloud yaitu
proses pembentukan dan visualisasi
point cloud berdasarkan perhitungan
perkiraan posisi kamera secara
mendalam.
c. Build Mesh
Proses selanjutnya adalah pembentukan
mesh dengan memilih build mesh
dalam menu workflow. Pembuatan
Gbr. III.5. Hasil kombinasi data point cloud TLS-UAV
mesh tergantung pada parameter
surface type, source data, face count,
4. Pemodelan 3D
interpolation, dan point classes.
Pemodelan 3D dari data point could yang
d. Export Point cloud
sudah bergabung dilakukan pada perangkat lunak
Setelah proses pembentukan mesh
Leica Cyclone 6.0. Pemodelan dilakukan pada
sudah selesai, point cloud dapat di
struktur bagian fasad bangunan hingga pembuatan
export agar dapat dilakukan proses
atap dengan metode pemodelan primitif.
selanjutnya.
Pembuatan model 3D menggunakan fitur insert
3. Penggabungan Data Point Cloud TLS dan object pada perangkat lunak Leica Cyclone. Objek
UAV yang dominan digunakan adalah objek box dalam
Proses penggabungan data point cloud TLS pembuatan struktur Masjid Agung Kotagede.
dan point cloud UAV dilakukan di Pemberian warna juga dilakukan untuk
perangkat lunak Maptek i-Site Studio. Pada membedakan setiap bagian dari bagunan tersebut.
proses ini, dilakukan penggabungan point Pemberian warna dilakukan dengan
cloud bagian fasad bangunan yang berasal menggunakan fitur edit color/material. Detil
dari point cloud TLS, sedangkan bagian obyek pada bangunan masjid dapat didekati
atap bangunan menggunakan point cloud dengan bentuk-bentuk geometri sederhana seperti
hasil pengolahan foto udara UAV. kubus, balok, silinder, dsb.

IV. HASIL PENELITIAN

Gbr. III.3. Data point cloud TLS
Penelitian ini menghasilkan produk berupa
model 3D obyek kajian yaitu Masjid Agung
Mataram Kotagede. Pemodelan 3D ini dilakukan
dari kombinasi data point cloud TLS dan UAV.
Pemodelan 3D bangunan masjid ini memperlukan
data yang menyeluruh meliputi struktur bangunan
dari dasar hingga bagian atap. Kombinasi data
pengukuran antara point cloud TLS dan point
cloud UAV dapat menghasilkan bentuk utuh dari
bangunan masjid yang diperlukan dalam
pemodelan 3D. Gbr III.6 adalah hasil pemodelan
3D dari data kombinasi pointclouds TLS dan UAV.

7

Gbr. III.6. Hasil pemodelan 3D primitif
V. KESIMPULAN
1. Data point cloud yang dihasilkan dari alat
TLS dapat dikombinasikan dengan point
cloud yang dihasilkan dari pengolahan data
UAV. Kombinasi dari kedua point cloud ini
dapat saling melengkapi dalam pemenuhan
data dari suatu objek, terutama objek yang
berbentuk bangunan sehingga pemodelan 3D
objek dapat dilakukan dengan utuh mulai
bagian bawah hingga atas/atap.
2. Bentuk-bentuk detil bangunan Masjid Agung
Kotagede dapat didekati dan dimodelkan
dengan sangat baik menggunakan jenis
model primitif dan mampu menghasilkan
model 3D yang akurat, realistik dan detail,
serta mendekati bentuk kondisi nyata/real.
VI. DAFTAR PUSTAKA
[1] Anonim, How does Laser Scanning Work.
http://floridalaserscanning.com/3d-laser-scan
ning/how-does-laser-scanning-work/ akses
pada tanggal 27 September 2018, 13.45
[2] Anonim, Quality Basics How Does 3D laser
Scanning Work.
https://www.engineering.com/AdvancedMan
ufacturing/ArticleID/12390/Quality-Basics-H
ow-Does-3D-Laser-Scanning-Work.aspx
akses pada tanggal 27 September 2018, 14.16
[3] Anonim, 2018. Productive workflow and
effective result from 3D laser scan data,
https://www.maptek.com/products/i-site/i-site
_studio.html, diakses pada tanggal 28
September 2018, 16.23.
[4] DJI, 2018. Phantom 3 Professional. Specs.
https://www.dji.com/phantom-3-pro diakses
tanggal 28 September 2018, 14.05.
[5] Gamal, A. El and Eltoukhy, H., “CMOS Image
Sensors,” IEEE Circuits & Devices Magazine
May/June 2005, 2005.
[6] Grenzdorffer, G.J., Naumann, M., Niemeyer, F.,
Frank, A., “Symbiosis of UAS
Photogrammetry and TLS for Surveying and
3D Modeling of Cultural Heritage
Monoments – A Case Study About The
Cathedral of ST. Nicholas in the City of
Greifswald, The International Archives of the
Photogrammetry,” in Remote Sensing and
Spatial Information Sciences volume
XL-1/W4, International Conference on
Unmanned Aerial Vehicles in Geomatics,
Canada, 2015.
[7] Nalwan, A. 1998. Pemrograman Animasi dan
Game Profesional. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
[8] Pfeifer, N., “Theory and Application of Laser
Scanning,” ISPRS Summer School 2007,
Solvina, 2007.
[9] Remondino, F dan Campana, 3D Recording
and Modelling in Archaeology and Cultural
Heritage. Theory and Best Practice. England,
2014.
[10] Reshetyuk, Y., “Self-calibration and Direct
Georeferencing in Terrestrial Laser
Scanning,” Thesis, Department of Transport
and Economic Division of Geodesy, Royal
Institute of Technology (KTH), Stockholm,
2009.
8
[11] Sarinurrohman, “Pemodelan Tiga Dimensi
Objek dengan Bentuk Geometris Sederhana
Menggunakan Teknik Fotogrametri Jarak
Dekat,” Skripsi, Jurusan Teknik Geodesi
Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 2005.
[12] UNESCO, Ilicit Trafficking of Cultural
Property.
http://www.unesco.org/new/en/culture/theme
s/illicit-trafficking-of-cultural-property/unesc
o-database-of-national-cultural-heritage-laws/
frequently-asked-questions/definition-of-the-
cultural-heritage/ diakses pada tanggal 25
September 2018, 12.15.
[13] UNESCO, Undang-Undang Republik
Indonesia nomor 11 Tahun 2010 tentang
Cagar Budaya
http://www.unesco.org/culture/natlaws/media
/pdf/indonesie/ind_act11_10_clther_indorof
diakses pada tanggal 25 September 2018,
13.19.
[14] Quintero, M.S., Genechten, B.V., Bruyne,
Biography Penulis
Ruli Andaru, Dosen dan Peneliti di Departemen Teknik Geodesi FT UGM. Menekuni bidang Laser Scanning dan UAV untuk
keperluan 3D Building dan disaster sejak 2010. Sekarang sedang melanjutkan Studi Doktoral di NCKU Taiwan bidang Geomatics
Engineering.
M.D., Poelman, R., Hankar, M., Barnes, S.,
Caner, H., Budei, L., Heine, E., Reiner, H.,
Garcia, J.L.L., Taronger, J.M.B, 3D Risk
Mapping. Theory and practice on Terrestrial
Laser Scanning, 2008.
[15] Xu, Z., Wu, L., Shen, Y., Li, F., Wang, Q.,
Wang, R., “Tridimensional Recontruction
Applied to Cultural Heritage with the Use of
Camera-Equipped and Terrestrial Laser
Scanner,” Remote Sensing ISSN 2072-4292,
China, 2014.
[16] Xu, Z., Wu, T.H., Shen, Y., Wu, L., “Three
Dimensional Reconstruction of Large
Cultural Heritage Object Based on UAV
Video and TLS Data,” The International
Archives of the Photogrammetry, Remote
Sensing and Spatial Information Sciences
volume XLI-B5, XXIII ISPRS Congress,
Czech Republic, 2016.
[17] Eisenbei, H., "UAV Photogrammetry,"
Disertasi, ETH Zurich, Zurich, 2009.
9
 Derivative Compound of 2,6-Dimethyl-1,4-
Benzoquinone as Potential Anticancer Drugs:
Synthesis, Molecular Studies, and Octanol –
Water Solubility Test
Rizki Rachmad Saputra1，Siti Mariyah Ulfa1*，Hideki Okamoto2
1
Department of Chemistry, Faculty of Mathematic and Natural Sciences, University of Brawijaya, Malang,
INDONESIA
2
Division of Chemistry and Biochemistry, Graduate School of Natural Science and Technology, Okayama
University, Tsushima-Naka 3-1-1, Kitaku Okayama, 700-8530, JAPAN
*Corresponding authors: ulfa.ms@ub.ac.id
Abstract—Thymoquinone is the largest constituent in the
essential oil of black cumin seeds (Nigella sativa). The main
structure in thymoquinone is quinoid ring that can be modified
to increase the bioavailability as a drug candidate. In this
research, the modifications were carried out by the addition of
alkyl chains as many as four, seven, and ten carbons (C4, C7 and
C10) by bromoalkylation reaction. The FTIR spectra of alkylation
product has a C-Br bond at ~687 cm-1. 1H-NMR and 13C-NMR
spectra showed that the alkylation product formed were 2-(4-
bromobutyl)-3.5-dimethyl-1,4-benzoquinone, 2-(7-bromoheptyl)-
3,5-dimethyl-1,4-benzoquinone, and 2-(10-bromodecyl)-3.5-
dimethyl-1,4-benzoquinone, were successfully synthesized in
74.72 %, 11.97 %, and 26.67 % yield. LCMS spectra showed
molecular weight of products C4, C7, and C10 in 271.05 g/mol,
313.69 g/mol, dan 355.84 g/mol. We evaluated its potency as
drugs by molecular docking using CYP3A4 as receptor.
Derivatives of thymoquinone (C4, C7, C10) showed Ki of 20.15;
4.92; 2.79 µM, and IC50 of 10.92; 3.08; 1.98 ppm, respectively.
Free energy Gibbs (ΔG˚) derivative compound is -5.44; -6.41; -
7.58 kcal/mol. Then, we have investigated its properties by
solubility test in octanol – water. Solubility test results showed
that the products C4, C7, and C10 had greater solubility in
octanol phase than in the water phase. Based on the data
obtained from HPLC, thymoquinone partition coefficient was
2.58. Furthermore, C4, C7, and C10 had partition coefficients of
1.6; 4.95; 1.74. Our results suggest that derivative of
thymoquinone (C4, C7, C10) could as potential drugs for
anticancer therapy to induce CYP3A4 and be needed more
clinical investigation to know activity in body system)
Index Terms— thymoquinone, benzoquinone, alkylation, in
silico, inhibition constant, IC50, in vitro, partition coefficient, free
energy Gibbs
I. INTRODUCTION
The utilizing of natural medicines in Indonesia from year to
year was increasing, both to maintain and improve health as
well as for the treatment of a disease1. Black cumin (Nigella
sativa) is one of the natural medicines that was used for
alternative treatment of a disease2. This plant also called Black
cumin, a plant that has long been used as seasoning, including
in Indonesia and in the countries of the Middle East region3,4.
Black cumin seeds contain 0.4-0.45% w/w of essential oil,
more than 30% oil to 85% total saturated fatty acids a few
triglicoside, and glucoside5,6. Analysis of essential oil of black
cumin showed the compound of α-pinene, limonene, p-cimen,
carvakrole, carvone, trans-anetol, and thymoquinone7,8.
Thymoquinone is bioactive constituent of black cumin seeds
essential oil of 54%9.
Thymoquinone showed significant activity as an anti-
neoplastic against human pancreatic adenocarcinoma, uterine
sarcoma, leukemia cells, and minimize toxic to normal
cells10. Thymoquinone anti-oxidant effect inhibited
inflammation in animal models and cell culture systems11.
Thymoquinone has been shown to provide an anti-
inflammatory, anti-oxidant and anti-neoplastic properties, both
in vitro and in vivo, 9.
Most of the research on thymoquinone has demonstrated its
potential as anticancer, however its application hindered by
several factors. First, thymoquinone has low solubility in
aqueous media (high hydrophobicity); this caused
bioavailability problems. Second, its high lipophilicity caused
its lower activity to be a drug. Finally, thymoquinone is
sensitive to temperature and light, that limits the increase in its
bioavailability12. A potent drug candidate should have high
lipophilicity properties; that helps a drug entering organs and
reaching drug receptors in order to provide biological effects.
Modification of the chemical structure can be a strategy to
increase lipophilicity of a ligand or a drug candidate13. In a
previous study, Antonenko, et al. (2008), thymoquinone has
been modified its chemical structure by lengthening the alkyl
chains, and resulted in its effect as anti-oxidants in the
mitochondria14.
The basic material used is 2,6-dimethyl-1,4-benzokuinon
modified by extending the alkyl chains (C4, C7, and C10).
The nature of the bioavailability of the compounds
synthesized are tested in vitro by testing the solubility in
octanol-water that describes the distribution of a compound
between the organic phase and the water phase. Octanol-water
system has a ratio of hydrophilic and lipophilic nearing
biological systems in the membrane15.
The process of molecular docking aims to determine the
interactions of the TQ and TQ derived compounds (C4, C7,
and C10) as ligands that occur between ligands with specific
macromolecules in the human body. Molecular docking uses
score functional to predict binding energetic from complex
ligand-receptor prediction. The end result of the process of
molecular docking is observed ligand value of free energy
Gibbs (ΔG˚) showing the interaction between the
macromolecule and ligand, the value also can explain in an
inhibition constants (Ki). The greater value Ki then refusal
activity also increases16.
According with potency of thymoquinone as anti-cancer, in
this research we predict activity of derived thymoquinone as
ligand with Cytochromes P450 3A4 (CYP3A4) as molecule
target as anticancer. CYP3A4 is a member of cytochrome
P450 family of oxidizing enzymes. This enzyme is involved in
the metabolism of half drugs that are used today, including
acetaminophen, codeine, and diazepam. The enzyme also
metabolizes some steroids and carcinogens. Most drugs
undergo deactivation by CYP3A4, either directly or by
facilitated excretion from body. CYP3A4 promotes growth of
various types of human cancer cell lines in culture17.
II. EXPERIMENTAL
A. Materials
The materials used in this study is 2,6-dimethyl-1,4-
benzoquinone Sigma Aldrich pro analysis, Na2SO4 anhydrous
Merck pro analysis, H2O, diethyl ether, chloroform, n-hexane,
AgNO3, (NH4)2S2O8 Sigma Aldrich pro analysis, Sigma
Aldrich bromopentanoic acid pro analysis, Sigma Aldrich
bromooctanoic acid pro analysis, Sigma Aldrich
bromoundecanoic acid pro analysis, acetonitrile, buffer
phosphate pH 7.4, and n-octanol.
B. Software and Hardware
The molecular docking tools used in this study were:
Autodock Vina 4, PyMOl, Discovery Studio Visualizer 3.5 ,
OpenBabel 2.3.2 ACD/ChemSketch (freeware version 10.00)
installed on a desktop equipped with AMD A8-7410 APU (4
CPUs, 2.2 GHz, 4 GB RAM) running the Windows 10 pro
operating system.
C. Procedures
 Synthesis Bromoalkylquinone
The basic ingredients 2,6-dimethyl-1,4-benzoquinone 0.272
g (2 mmol) was treated with 5-bromopentanoic acid 0.362 g
(C4) or 8-bromooctanoic acid 0.446 g (C7) or 11-
bromoundecanoic acid 0.530 g (C10) (2 mmol), silver (I)
nitrate 0.169 (1 mmol) was dissolved in 7 mL acetonitrile and
water mixture (2:1), mixed in 80 °C temperature while
stirring. Ammonium persulfate solution of 0.456 g (2 mmol)
in 3 mL of water was added dropwise to the mixture with
stirring and heated at a temperature of 70-89 °C for 1.5 hours.
The mixture was extracted with diethyl ether. Diethyl ether
layer was taken, washed with water, and dried with sodium
sulfate. The solvent was evaporated with a rotary vacuum
evaporator. The residue was separated using column
chromatography with chloroform : n-hexane (3:7) as eluent.
The result compounds was tested using thin layer
chromatography (TLC), and analyzed its structure by IR
spectrophotometer Shimadzu FT-IR 8400S, Varian 400 NMR
spectrometers, Shimadzu HPLC and LCMS Hitachi L 6200.
 Molecular docking
Ligand preparation: 2D ligand structure created on
Chemsketch and saved in format .hin by OpenBabel 2.3.2
software but the geometry optimized before with Hyperchem.
That optimization result saved in format .pdb that will be able
read with Autodock Vina 4.
Macromolecule preparation: macromolecule that will be
used as receptor downloaded from Protein Data Bank
(www.pdb.org) in 3D structure and saved in format .pdb. The
macromolecule was varied to monomer macromolecule and
was allayed a ligand that bonded in macromolecule from side
active. In addition, water content was allayed from
macromolecule too and save in format .pdb.
Docking Analysis: The ligand (TQ, C4, C7, and C10) was
docked to the active site of the target (CYP) using Auto Dock
program, version 4.0. Polar hydrogen bonds (H-bonds) were
added to the receptor. The internal degree of freedom and
torsions were defined using the “Ligand torsions” menu option
of autodock. The grid maps representing the protein were
calculated using “autogrid” option. The best ligand-receptor
structure from the docked structures was chosen based on the
lowest energy. The results were visualized using visualization
tool Discovery Studio Visualizer.
 Procedures of octanol-water solubility test
 Preparation Buffer Phosphate pH 7.4
Prepared solution of NaH2PO4 1.38 g (0.01 mol) and a
solution of Na2HPO4 2.68 g (0.01 mol). Solution of NaH2PO4
taken 39 mL and mixed with 61 mL. Mixed solution is
adjusted to achieve a pH of 7.4.
 Aqueous phase saturation (Phosphate Buffer 7.4)
with n-octanol and n-octanol phase saturation with water.
Buffer phosphate solution pH 7.4 was prepared and
saturated with n-octanol. Likewise, a solution of n-octanol
saturated with pH 7.4 buffer solutions were prepared. Octanol
solubility in water at room temperature is very low but the
water solubility in octanol quite high18, so that the second
phase should be saturated before partitioned.
Phosphate buffer solution 20 mL was taken and put into a
separating funnel. The solution was added dropwise n-octanol
to saturation, where the water phase and n-octanol separated.
N-octanol phase discarded. In the n-octanol phase saturation
with water, a solution of n-octanol taken 20 mL and put into a
separating funnel. The solution is added dropwise to a
saturated solution of phosphate buffer, wherein the aqueous
phase and n-octanol separated, the aqueous phase discarded.
The second phase has been saturated put into separating
funnel, stirred and allowed to stand for 24 hours to ensure both
of octanol and water phase are completely separate.
 (NH4)2S2O8 was added dropwise. The reaction was continued
 Determination of Partition Coefficient at a temperature of 70-89 °C (120 minutes for C4, 90 minutes
Based on the nature properties of thymoquinone, low for C7 and C10). At this stage lasts alkylation process,
nucleophile species entered the aromatic ring by way of a
solubility in water and extremely high lipophilicity, it will be
proposed procedures for hydrophobic compounds. nucleophilic aromatic substitution.
Thymoquinone compound and its compounds are dissolved in Crude product was extracted with diethyl ether. Diethyl
n-octanol saturated with buffer solution, and then partition ether layer was taken and dried with Na2SO4 anhydrous. The
octanol/water different conducted in accordance with the solvent was evaporated with a rotary vacuum evaporator then
estimated value log P7.4 medications. Standard solution analyzed TLC. TLC showed that the product generates two
prepared by diluting the solution with water saturated n- spots with different Rf. The mixture of compounds separated
octanol. Comparison of the volume of octanol and water used using column chromatography with the eluent n-hexane:
in Table 1. chloroform (7: 3). Results of the column in the form of
fractions unknown when tested TLC. The fraction that has a
TABLE 1 COMPOSITION OF PARTITION COEFFICIENT TEST stain with same Rf collected in same place and then the
solvent evaporated. Compounds were characterized using
Mass of FTIR spectrophotometer and spectrometer 1H-NMR and 13C-
Va Vo
Mass Product (mg) Thymoquinone NMR and LCMS. Compounds tested solubility in octanol-
(mL) (mL) water using HPLC.
(mg)
C12H15 C15H21 C18H27 Product synthesis was produced in each compounds both of
O2Br O2Br O2Br physically and chemically. Based on the test results of TLC,
7 3 8.127 9.387 10.647 4,926 product of C4 still contains the starting material (DBQ) that
have not reacted. It is shown the come up of two stains that
one stain with Rf value of 0.4 is the same as the DBQ. Stain
Partitions shaken for one hour at room temperature with a that the product has Rf greater than Rf DBQ. Product of C4
speed of 200 rpm. Both standard octanol phase and water has lower polarity than DBQ. Meanwhile, product of C7 and
phase, after the equilibrium of each partition, then measuring C10 have been formed. There are shown from the stains that
the concentration using HPLC for analysis. have different Rf with Rf DBQ. Based on Rf value, C7 and
C10 have lower polarity than DBQ. The nature of polarity is
decreased due to the addition of alkyl chains as substituents on
III. RESULTS AND DISCUSSION
the structure of DBQ. Alkylation products was extended in
wavelength by Bathochromic shift with alkyl inserts resulting
1. Synthesis and Characterization from excessive conjugation with alkyl groups easily move to
interact with chromophore groups. Spectra comparison
The method used in this synthesis was reflux. The starting between DBQ and products shown in fig. 2. Characterization
material, 2,6-dimethyl-1,4-benzoquinone, underwent
by TLC and spectrophotometer UV-Visible shown in Table 2.
alkylation reaction by reacting with the acid 5-bromopentanoat
(C4) or 8-bromooktanoic acid (C7) or 11-bromoundecanoic
acid (C10), AgNO3 which has been dissolved in a mixture of
acetonitrile and water (2:1). This should be put in methods
alkylation reaction of 2,6-dimethyl-1,4-benzoquinone showed
in Fig 1.

n = 4, 7, and 10

Fig. 1. Bromoalkilation Reaction of 2,6-dimethyl-1,4- Fig. 2. Comparison of spectral UV-Visible DBQ and
benzokuinon (DBQ) alkylation products

At this stage there is decarboxylation reaction of acid

carboxylic acid by AgNO3. The reaction results in spite
carboxylate groups in compounds CO2 and produce
nucleophilic species that will be entered as the substituents on
the alkylation reaction. The reaction was stopped and the
addition of a solution of in H2O into the mix. Solution
 of proton H on structure compound, while the 13C-NMR to
Table 2 Characterization Product Bromoalkylquinone determine the amount of carbon in the structure of the
Mass λ maxb Yield compound alkylation products. Analysis using the
Product Shape Color Rfa (%)
(g) (nm) spectrometer 1H-NMR with a magnetic field strength of 600
MHz and 13C-NMR with a magnetic field strength of 125
DBQ 0,54 Solid
Yellow 0,4 253,4 - MHz. Solvents used in the analysis are CDCl3.
Crystalline Based on spectra 1H-NMR presented six kinds of protons H
Hygroscopic on the structure of compounds with different environments.
Yellow 0,4 74,72
C4 0,81 Solid 256 The chemical shift of each peak indicates the type of proton H
Orange 0,52
crystalline attached to a carbon atom that binds. The specific chemical
C7 257. 11,
0.15 Solid Tawny 0.62 shift can be seen in the chemical shift at around 6.5 ppm.
6 97
Peaks appear numbered one explain that the H atoms in the
C10 0.19 Liquid Tawny 0.69 257.6 26,67
aromatic region has been substituted. In the chemical shift at
around 3.4 ppm triplet shaped explained that the H atoms
a bound to the C atom that binds Br atom and atom C that bind
chloroform: n-hexane (3:7)
b two atoms of hydrogen. The integral value of each peak
octanol
describes the number of H atoms bonded. There vaseline peak
around 0.052 ppm chemical shift, and diethyl ether peak at a
In analysis using FTIR spectrophotometer, spectra of
chemical shift both of 1.24 ppm and 2.62 ppm19.
alkylation product showed significant changes when compared
In support of the data 1H-NMR, the product was
with spectra DBQ. In Fig. 3 spectra of alkylation product have
characterized by using a spectrometer 13C-NMR. Based on
some specific absorption in the region ~2900 cm-1 showed
spectral 13C-NMR is presented 12 types of C atoms (C4), 15
absorption sp CH3. Vibration bond CH2 appeared on the
types of C atoms (C7), and 18 types of C atoms (C10) that
uptake of ~800 cm-1 and increased intensity, showing the
have different chemical shifts. Number of peaks in the spectra
addition of long-chain alkyl group. New absorption appeared
of 13C-NMR indicates conformity with the number of C atoms
on the uptake ~687 cm-1 indicating the C-Br bond. Wave
in the compound structure alkylation products. Chemical shift
number spectra are presented in Table 3.
of atom C that binding atom Br appear around 33-34 ppm.
There is a peak of silicone grease on the area of the chemical
shift of 1.04 ppm, and peaks diethyl ether in chemical shift
both of 14.62 ppm and 60.21 ppm19. Based on data 1H-NMR
and 13C-NMR indicates the compound alkylation product (C4,
C7 and C10). While characterization using LC-MS was
conducted to determine the molecular weight alkylation
products and indirectly determine purity of the compound.
Results characterization using LC-MS, alkylation products
appears at a retention time of 3.6 minutes (C4), 4.6 minutes
(C7), and 9.5 minutes (C10). Due with chromatogram, mass
spectrum of alkylation products by LC-MS ESI positive ion
showed ion peak corresponding to molecular weight of
Fig. 3. Comparison of spectral FT-IR DBQ and alkylation alkylation products C4, C7, and C10 in 271,05 g/mol, 313,69
products g/mol, and 355,84 g/mol. LC-MS spectrum is shown in Fig. 4.

Table 3 Results of the interpretation of the spectra 13 C NMR

alkylation product
Functional DBQ C10
C4 (cm-1) C7(cm-1)
Group (cm-1) (cm-1)

C-H sp3 2968 2961 2928 2927

C=O ketone 1653 1648 1648 1648

CH2 1440 1436 1436 1438

C-Br - 685 687 687

The structure of alkylation product is ensured by using a

spectrometer 1H-NMR to determine the number and position
 the role in complexes interaction between ligand-receptor.

Fig. 4. Spectrum LC-MS alkylation products. a) 2-(4-bromobutil)-3.5-dimethyl-1,4-benzoquinone

(C4), b) 2-(7-bromoheptyl)-3.5-dimethyl-1,4-benzoquinone (C7), and c) 2-(10-bromodecil)-3.5-
dimethyl-1,4-benzoquinone
When the bond is formed, interaction that appeared can
make a response to the body. Response will be generated is
2. DOCKING STUDIES
different depend on ligand and receptor that is interacting.
Table 4 depicts difference result of each ligands on all sides
Molecular docking is one of the best techniques to discover
(Ki, ∆G˚, IC50,, Residues). Interaction ligand with
novel ligands for receptors of known structure and thus play a
macromolecule CYP3A4 showed in Fig. 5.
key role in structure-based drug design. As a result, novel
ligands for receptors of known structure are designed, and
their interaction energies are calculated using the scoring
functions20. Final results of molecular docking are Gibbs
energy (∆G˚), value of inhibition constant, and inhibition
constant 50% (IC50). Value of free energy Gibbs depend on Ki,
if free energy Gibbs are decreased, Ki are decreased too. Small
of free energy Gibbs energy that macromolecule and ligand
needed to bind is low. Value of Ki was found, IC50 can be
determined. IC50 is inhibition concentration in percentage
50%, because size of macromolecule is greater than ligand.
Ability of concentration ligand that inhibit some disease
substance in macromolecule16.
Result of molecular docking obtained value of Ki each
ligands with macromolecule depicted in Table 6. Ligand that
was synthesized (C4, C7, C10) has smaller Ki value than
thymoquinone. The smallest value is C10 that has Ki = 2.79
µM. Ki value is inhibition constant of a drug (ligand), the
smaller value of Ki, and the easier interact with
macromolecule (receptor). That was what causes the ligand
more potent and can against or heal some of the illness that is
suffered. If ligand has been inhibited, process of healing is not
working. Ligand will be interacting with active site of
macromolecule. Residues of macromolecule (amino acid) hold
 The values of Ki and IC50 can determine inhibition potential
Table 4 Data of In Silico Test between Ligand and of ligand-receptor complexes. Due to Ki, IC50 values depict
Macromolecule CYP3A4 better inhibition with smaller values which has been resulted
from the interaction. On the other hand, IC50 value is relative
Ki ∆G˚ IC50 value which is known at only one concentration of substrate
Ligand Residues over a range of inhibitor concentration. Docking of TQ and
(µM) (kcal/mol) (ppm)
synthesized compounds into the active site of CYP3A4 in
Ala305 Ile443
good fit. The best result was obtained by 2-(10-bromodecil)-
Gly306 Phe302
TQ 102.8 -5.44 33.76 3.5-dimethyl-1,4-benzoquinone that depicted the binding
Gly444 Phe447
energy -7.58 kcal/mol. The value showed receptor CYP3A4
Ile184 Thr310
will be more stable bind with C10 than the others. Due with
Ala305 Phe435 modification by added bromoalkyl chain, ligands does not
Ala448 Phe447 notice steric interference and further allows additional
C4 20.15 -6.41 10.92 Ile164 hydrogen bonding interactions.
Thr309
Met452 Observation of residues contact aims to know interaction
Phe302 Thr310
between ligand and receptor. Residues that made contact with
Ala305 Phe302 ligand have nonbonding interactions between ligand and
Ala448 Phe435 protein (receptor). Interaction ligand with macromolecule
Cys442 CYP3A4 showed in Fig. 5. Based on visualization of docking
C7 4.92 -7.24 3.08 Phe447
Gly444 result has identified the residues Ala 305, Phe 302, and Phe
Thr309
Leu364 447 to be more frequently involved in drug binding to
Met452 Thr310
CYP3A4. In other research, Cytochromes P450 3A4
Ala305 Leu364 (CYP3A4) have binding site residues used as input for
Ala448 Phe302 receptor during induced fit docking. The active or functional
Cys442 Phe435 site in CYP3A4 are Arg 105, Arg 106, Phe 108, Ser 119, Arg
C10 2.79 -7.58 1.98 212, Phe 215, Phe 303, Ala 304, Glu 307, Thr 308, Ala 369,
Gly444 Phe447
Met 370, Arg 371, Leu 372, Glu 373, Arg 37421,22.
Ile369 Pro434
Ile443 Thr309
 3. OCTANOL – WATER SOLUBILITY TEST
In Pathan, et al. (2011), thymoquinone tested solubility in
octanol-water at a wavelength at 294 nm and temperature at
40 °C showed that thymoquinone have a log P value of 2.523.
In this study, thymoquinone solubility test conducted with a
ratio of octanol:water (5:5), and (3:7) with a temperature of 37
°C at a wavelength of 294 nm. Based Fig. 6, peak of
thymoquinone very low in the water phase. This proves
thymoquinone compound are compound that have very low
solubility in water12. The chromatogram shows that
thymoquinone compound had a retention time of 6.4 minutes
in the octanol phase and water phase. Interpretation of
thymoquinone solubility of the compound is presented in
Table 5. The partition coefficient thymoquinone compound at
a ratio of octanol: water (3:7) has the result that most closely Alkylation product C4, C7, and C10 were tested using the
with research results Pathan, et al (2011) was 2.46. ratio of the volume of octanol:water (3:7) at 37 °C and the
Reviewing the results of the solubility test conducted with a wavelength of each compound obtained from the measurement
ratio thymoquinone octanol:water (3:7) at a wavelength of 254 results using UV-Vis spectrophotometer with a solvent
nm is obtained from measurements using UV-Vis octanol. In Fig. 8 shows C4 in octanol phase and water phase
spectrophotometer with a solvent octanol. In Fig. 7 shows has the same retention time at 7.4 minutes. C7 have little
thymoquinone compound in octanol phase and the aqueous differences retention time, within 19 minutes in octanol and
phase has a slightly different retention times. In octanol phase within 18 minutes in water phase. While, C10 also have little
thymoquinone had a retention time of 9.3 minutes. While in differences retention time, in octanol 25 minutes and within 22
the water phase thymoquinone had a retention time of 9.6 minutes in water phase. Results interpretation solubility test
minutes. Thymoquinone partition coefficients obtained at compound alkylation products are presented in Table 6.
2.58. The partition coefficient in addition to the result of
research Pathan, et al. (2011), also approached the partition Table 6 Solubility test of alkylation product in octanol / water
coefficient thymoquinone in silico using software
Compound λmax (nm) Log P7.4 Log P7.4 in silico
ChemSketch by 2.54. Based on this, the alkylation product
compound solubility test uses a ratio of octanol: water (3:7).
C4 256.00 1.65 3.54
Table 5 Results of solubility test thymoquinone in
octanol:water C7 257.60 4.95 5.09
Vo Va λmaks Log P
Log P (in vitro) C10 257.60 1.74 6.68
(mL) (mL) (nm) (literature)

5 5 294 2,5 0,39

3 7 294 2,5 2,46

3 7 254 2,5 2,58


Fig. 5. Chromatogram of C4, C7, and C10 in octanol (orange) and
phosphate (blue)
Based on Table 6, C7 has a coefficient greater than
thyimoquinone and demonstrate better effectiveness of
thymoquinone. Partition coefficient values are considered
good according to the Lipinski rule is not more than 5 or
smaller than 518. However, the increase of alkyl chains in
DBQ not provide a significant increase in the partition
coefficient. Product C4 and C10 have Partition coefficient
under thymoquinone. In contrast to the partition coefficient in
silico using ChemSketch, the partition coefficient is directly
proportional increased by extending alkyl chain. This can be
explained that in silico compound condition in ideal
conditions without the influence of the environment. Whereas,
in vitro compound under the influence of environmental
conditions that are especially to the condition of the body.
Observing from the product structure C4, alkyl fairly short
accretion rigid structure that causes the nature of polarity is
still fairly high, so it does not provide enough good biological
effectiveness. Meanwhile, the product that gets added C10
alkyl chain is long enough, allowing the long chain to form a
conformation. Formation of conformation on product C10
causes the cohesive forces intramolecular bonds drop resulting
polarity properties is still high, so it does not provide enough
good biological effectiveness. According to Cruciani, et al.
(2000) explains that in certain circumstances the structure of
molecules in space could explain the physicochemical
properties of these compounds. Molecular lipophilicity
potential generated by intramolecular interactions. Thus, the
potential drug lipophilicity of a compound indicates the
relative affinity of the dissolved for two water and octanol
solvent. Conformation of the molecular structure of a
compound capable of giving effect to its lipophilicity24. Based
on the result of solubility test, structure of C7 has the highest
potential as drug compounds.
IV. CONCLUSIONS
From this research derivative compound of thymoquinone
was successfully synthesized. Based on the characterization
using UV-Vis spectrophotometer, alkylation products
undewent a bathochromic shift. FTIR spectra from alkylation
product has a C-Br bond. The spectra of 1H-NMR and 13C-
NMR products have environmental matched with the structure
that we predict. Spectrum of LCMS showed that the m/z
values indicate suitability molecular weight product.
Molecular docking depicted descent of QSAR value (Ki, ∆G˚,
IC50) on CYP3A4 as anticancer receptor. Solubility test
compound alkylation product C4, C7 and C10 in octanol-
water showed that the bromoalkylation product is more
soluble in octanol phase than the water phase. C7 showed that
the value of the partition coefficient greater than
thymoquinone that only 2.58. C7 product allows as effective
as the drug compound is better than thymoquinone. Overall,
derivatives of thymoquinone (C4, C7, C10) could be
considered as effective base materials for anticancer drugs. In
the future, their activities in cell culture will be investigated,
and their mechanism of actions will be explored as well.
V. ACKNOWLEDGEMENT
We thanks to Prof. Hideki Okamoto from Okayama
University, Japan for NMR measurement and analysis. This
research was supported financially by INSINAS RISTEK
research grant from Directorate General of Research,
Technology and Higher Education number:
21/Add/SEK/INSINAS/PPK/VII/2015.
VI. ADDITIONAL SECTION
 2-(4-bromobutil)-3.5-dimethyl-1,4-benzoquinone:
Yellow orange hygroscopic solid-crystalline; H NMR (600
MHz, CDCl3 δ 1.54 (2H, q, J=7.12 ; 7.48 Hz), 1.89 (2H,
q, J=7.12 ; 7.48 Hz), 2.03 ; 2.04 (6H, s), 2.47 (2H. t,
J=7.08 Hz), 3.41 (2H. t, J=7.08 Hz), 6.54 (1H, s). C NMR
δ 12.3 ; 16.4 ; 25.4 ; 27.2 ; 32.6 ; 33.3 ; 133.3 ; 141.1;
143.9 ; 145.7 ; 187.8 ; 188.3. IR (film) υ 2961; 1648; 1436;
685 cm-1. UV-Vis λmax (octanol) 256 nm. LCMS (etOH)
m/z 272.05, MW 271.05 g/mol.
 2-(7-bromoheptyl)-3.5-dimethyl-1,4-benzoquinone:
Tawny solid; H NMR (600 MHz, CDCl3 δ 1.34 (2H, q,
J=7.08 ; 7.26 Hz), 1.84 (2H, q, J=7.08 ; 7.26 Hz), 2.02 ;
2.03 (6H, s), 2.44 (2H. t, J=7.10 Hz), 3.98 (2H. t, J=7.08
Hz), 6.54 (1H, s). C NMR δ 12.2 ; 16.0 ; 26.1 ; 28.1 ; 28.6
; 28.7 ; 29.8 ; 32.8 ; 133.3 ; 140.7; 144.8 ; 145.4 ; 187.5 ;
 188.4. IR (film) υ 2928; 1648; 1436; 687 cm-1. UV-Vis
λmax (oktanol) 257.60 nm. LCMS (etOH) m/z 314.69, MW
313.69 g/mol.
 2-(10-bromodecil)-3.5-dimethyl-1,4-benzoquinone:
Tawny liquid; H NMR (600 MHz, CDCl3 δ 1.4 (2H, q,
J=6.85 ; 7.31 Hz), 1.84 (2H, q, J=6.85 ; 7.31 Hz), 2.02 ;
2.03 (6H, s), 2.44 (2H. t, J=6.85 Hz), 3.40 (2H. t, J=6.85
Hz), 6.53 (1H, s). C NMR δ 12.1 ; 15.9 ; 26.3 ; 26.4 ; 28.1
; 28.7; 28.7; 29.4; 29.8 ; 32.8, 34.1 ;133.2 ; 140.6; 144.9 ;
145.2 ; 187.4 ; 188.4. IR (film) υ 2927 ; 1648 ; 1436 ; 687
cm-1 . UV-Vis λmax (oktanol) 257.60 nm. LCMS (etOH)
m/z 356.84 MW 355.84 g/mol.
VII. REFERENCES
1. BPOM, Mari Minum Obat Bahan Alam dan Jamu
dengan Baik dan Benar, InfoPOM, 2011, Vol. 12
No. 3.
2. Yulianti, S., dan Junaedi, E., Sembuhkan Penyakit
dengan Habbatussauda (jinten hitam),
Agromedia, Jakarta, 2006.
3. Sultan, M. T., Butt, M. S., Anjum, F. M., Jamil, A.,
Akhtar, S., & Nasir, M., Nutritional Profile of
Indigenous Cultivar of Black Cumin Seeds and
Antioxidant Potential.Pak, J. Bot., 2009, 41(3),
1321-1330.
4. Wahyuni, S., Peluang Budidaya dan Manfaat
Jinten Hitam (Nigella sativa), Warta Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Industri,
2009,Volume 15 No 1, 23-25.
5. Zaoui, A., Cherrah, Y., Mahassini, N., Aloui, K.,
Amarouch, H., & Hassar, M., Effects of Nigella
sativa Fixed Oil on Blood Homeostasis In Rat,
Journal Of Ethnopharmacology, 2002b,79, 23-26.
6. Ramadan, M. F., Nutritional Value, Functional
Properties and Nutraceutical Applications of Black
Cumin (Nigella sativa L.): an Overview,
International Journal of Food Science and
Technology, 2007, 42, 1208-1218.
7. Toma, C., Simu, G.M., Hanganu, D., Olah, N., Vata,
F.M.G., Hammami, C., dan Hammami, M.,
Chemical Composition of the Tunisian Nigella
sativa. Note I. Profile on Essential Oil, Farmacia,
2010, vol.58, 4.
8. Nickavar, B., Mojaba,F., Javidniab, K., dan Amolia,
M.A.R., Chemical Composition of the Fixed and
Volatile Oils of Nigella sativa L. from Iran,
Naturforsch, 2003, 58c, 629-631.
9. Pagola, S., Benavente, A., Raschi, A., Romano, E.,
Molina, M. A., & Stephens, P. W., Crystal
structure determination of thymoquinone by
high-resolution X-ray powder diffraction, AAPS
PharmSciTech, 2004, 5, e28.
10. Worthen, D. R., Ghosheh, O. A., & Crooks, P. A.,
The in vitro anti-tumor activity of some crude and
purified components of blackseed Nigella sativa L,
Anticancer Research, 1998, 18, 1527–1532.
11. Mansour, M. A., Nagi, M. N., El-Khatib, A. S., & Al-
Bekairi, A. M., Effects of thymoquinone on
antioxidant enzyme activities, lipid peroxidation
and DT-diaphorase in different tissues of mice: a
possible mechanism of action, Cell Biochemistry
and Function, 2002, 20, 143–151.
12. Odeh, F., Ismail, S. I., Abu-Dahab, R., Mahmoud, I.
S., & Al Bawab, A., Thymoquinone in liposomes:
a study of loading efficiency and biological
activity towards breast cancer, Drug Delivery,
2012, 19(8), 371-377.
13. Thomas, G., Medicinal Chemistry 2nd edition,
John Wiley, Chichester, 2007.
14. Antonenko, Y.N., Avetisyan, A.V., Bakeeva, L.E.,
Chernyak, B.V., Chertkov, V.A., Domnina, L.V.,
Mitochondria Targeted Plastoquinone Derivatives
as Tools to Interrupt Execution of the Aging
Program-Cationic Plastoquinone Derivatives:
Synthesis and In Vitro Studies, Biochemistry,
2008, 73, 1273-87.
15. Rekker, R.F., The Hydrophobic Fragmental
Constant, I, Elsevier Scientific Publishing Co.,
Amsterdam, 1977, 64.
16. Ferreira, L. G., dos Santos, R. N., Oliva, G., &
Andricopulo, A. D., 2015, Molecular docking and
structure-based drug design strategies,
Molecules,20(7), 13384-13421.
17. Zanger, Ulrich M., and Mathias Schwab,
Cytochrome P450 enzymes in drug metabolism:
Regulation of gene expression, enzyme activities,
and impact of genetic variation, Pharmacology &
therapeutics, 138(1), pp. 103-141
18. Sangster, J., Octanol–Water Partition Coefficients:
Fundamentals and Physical Chemistry, Wiley,
Chichester, 1997.
19. Fulmer, G.R., Miller, A.J.M., Sherden, N.H.,
Gottlieb, H.E., Nudelman, A., Stoltz, B.M. et al.
2010. NMR Chemical Shifts of Trace Impurities:
Common Laboratory Solvents, Organics, and
Gases in Deuterated Solvents Relevant to the
Organometallic Chemist. Organometallics, 29,
2176–9
20. Ali, H. I. et al., 2007. Antitumor Studies. Part 3:
Design, Synthesis, Antitumor Activity, And
Molecular Docking Study Of Novel 2methylthio-2-
Amino And 2-(N-Substitutedamino)-10-Alkyl-2-
Deoxo-5-Deazaflavins. Bioorganic & Medicinal
Chemistry.
21. J. Mannu, P. Jenardhanan, P.P. Mathur, A
Computational Study of CYP3A4 Mediated Drug
Interaction Profiles for anti-HIV drugs, J. Mol.
Model. 17 (2011) 1847–1854.
22. D. Marechal, J. Yu, S. Brown, I. Kapelioukh, E.M.
 Rankin, C.R. Wolf, G.C. Roberts, M.J. Paine, M.J.
Sutcliffe, In Silico and In Vitro Screening for
Inhibition of Cytochrome P450 CYP3A4 by
Comedications Commonly Used by Patients with
Cancer, Drug Metab. Dispos. 34 (2006) 534–548.
23. Pathan, S. A., Jain, G. K., Zaidi, S., Akhter, S.,
Vohora, D., Chander, P., & Khar, R. K.,
Stability-Indicating Ultra-Performance Liquid
Chromatography Method for The Estimation of
Thymoquinone and Its Application In
Biopharmaceutical Studies, Biomedical
Chromatography, 2011, 25(5), 613-620.
24. Cruciani, G., Crivori, P., Carrupt, P. A., & Testa, B.,
Molecular Fields in Quantitative Structure–
Permeation Relationships: The Volsurf Approach,
Journal of Molecular Structure: THEOCHEM,
2000, 503(1), 17-30

CLASSIFYING ASIAN COUNTRIES BASED
ON WORLD HAPPINESS REPORT TO
REALIZE THE WELFARE OF THE WORLD
COMMUNITY USING K-MEANS
CLUSTERING ANALYSIS
Novialdi Ashari , Syifa Rabbi Radhiya2, Aziza L Mufida3
1
1
Department of Statistics, Padjadjaran University, Bandung, Indonesia
2
Department of Indonesia Literature, Padjadjaran University, Bandung, Indonesia
3
Departement Psychology, Padjadjaran University, Bandung, Indonesia
Corresponding author’s email: novialdi15001@mail.unpad.ac.id
Abstract— Welfare is a common goal of every country in the
world. Likewise, Asian Countries, which are the largest continent
in the world and become a benchmark for the welfare of the
world community. The welfare of the world community is created
one of them as the ladder of happiness of people in a country. We
will provide happiness mean with six variables, these are GDP,
social support, healthy life expectancy, freedom to make life
choices, generosity, and perception of corruption. With
classifying Asian Countries using K-means clustering analysis,
which is a non-hierarchical cluster that aims to classify objects
based on analysis by variable averages at 40 countries in Asian
based on the World Happiness Report 2018. The result is shown
that there are three groups of happiness (clusters). Not happy,
quite happy, and happy. The first cluster describes countries with
average happiness below the average general happiness that is
not happy with the number of 10 countries. The second cluster
describes countries with average happiness among the average
public happiness that is quite happy with the number of 17
countries. The third cluster describes countries with average
happiness above the average general happiness that is happy with
the number of 13 countries. Asian countries can be aware about
these clusters and build synergy to increase the ladder of
happiness in Asia to realize the welfare of the world community.
Index Terms— Happiness, K-means Clustering, Welfare,
World Happiness Report
I. INTRODUCTION
At present, the measurement of welfare is very important to
see about the quality and health of human beings in a country.
There are many welfare measures, such as economic growth,
gross domestic products, and per capital income. The
calculation is based on capital resources, production and
wealth of a country.
Al along with its development, this concept cannot reflect the
condition of society in a country widely because the measurement
only looks at the material, such as labor factor and economy,
which is based on material. The concept of GDP is considered to
fail to answer and describe the quality of human life as
individuals in development, prosperity and relations with
society so that the concept of national welfare does not always
measure everything financially, one of which is the concept of
the Happiness Index issued by the Wolrd Hapiness Report, a
1
survey conducted by Gallup World Poll from 2015-2017 about
happiness globally.[6] And measured by various indicators.
According to the Substainable Development Goals
(SDG's) document attended by representatives of the world
community. The main goal of the entire world community is
to achieve equitable prosperity. The problem that occurs is
that many countries only focus on their countries. Countries
that have the highest level of happiness continue to increase
while countries with low levels of happiness continue to
decline so that there is a large distance to these conditions.
Therefore, as an Asian community, which is a society with
the largest region in the world, it should be the pioneer of the
formation of collaboration and mutual understanding between
countries. The first step that must be made is by mapping and
clustering countries according to the same conditions of
happiness, it needs to be done so that fellow countries in Asia
understand the conditions of each country. And can
collaborate to overcome the welfare inequality of happiness
from certain countries that are low.
II. THEORY
Bagian ini berisi tentang teori atau pustaka yang
mendukung riset/penelitian.
A. Happiness
Happiness is actually a result of self-assessment and life. While
according to Carr (2004), Happiness is a reflection of various life
satisfaction on the condition of personal, social, and the resulting
impact of the environment. [2]
B. K-means Clustering
Cluster analysis is used to classify objects or cases into
relatively homogeneous groups called clusters, objects or cases
in each group tend to be similar to each other and far different
(not the same) from objects from other clusters. [3]
The process of forming clusters is divided into two, namely
hierarchy and non hierarchy. The formation of hierarchical
clusters has branching tree-like properties. While the non-
hierarchical seing method is called the K-mea method. The
cluster formation process is divided into two, namely
 2

hierarchy and non hierarchy. The formation of hierarchical KMO Measure 0.625
clusters has branching tree-like properties. While the non-
hierarchical seing method is called the K-means method.[1]
The KMO value is greater than 0.5 so the data represents
There are three steps to simple K-means method:
the existing population. Meanwhile, to see the multicollinity
1. Partitioning objects into the initial cluster K
of VIF values in the data there is no multicollinality. Because
2. Starting with recording objects, assigning objects to a
the VIF value is below 10, there is no multicollinality.
cluster that have the nearest centroid (mean).
3. Step 2 is repeated until there are no more object The number of K clusters is determined by the researcher.
transfers.. In this case. Researchers set 3 clusters, namely Not Happy,
Quite Happy, Happy.
C. Welfare By using SPSS 23.0 sortware it was found that
Bentham (1769) believes that something that can cause TABLE 2
extra happiness is a good thing. Conversely, something that CLUSTER GROUP
causes pain is bad. So that it can be concluded that Welfare is Number of Cases in each
a condition of fulfilling individual material and non-material
needs.[5] Cluster
Cluster 1 10,000

III. METHOD 2 13,000

3 17,000
The data used in this study is secondary data sourced from Valid 40,000
the 2018 World Happiness Report, namely the happiness data
of Asian countries in 2015-2017. Missing ,000

The variables used in this study include variables: TABLE 3

1. Country variables in Asia, COUNTRY GROUP PER CLUSTER
2. Variable Gross Domestic Product per Capital Cluste 1 Cluster 2 Cluster 3
3. Social Support variables (Not (Quite Happy) (Happy)
4. Healthy life expectancy variable Happy)
5. Freedom Variables to make life choices
6. Variable Generosity Afghanistan, Bhutan, Bahrain,
7. Perceptions of corruption variables Bangladesh, Cambodia, China,
India, Iran, Indonesia, Hongkong,
Steps: Iraq, Jordan, Japan,
Lebanon, kygztan, Laos, Kazakhtan,
1. Assumption Test
Pakistan, Malaysia, Kuwait,
In cluster analysis there are two assumptions that must
be met, namely: The sample reflects the population and Palestina, Mongolia, Qatar,
there is no multicollinearity [4]. Syria, Myanmar, Saudi
To find out whether the sample taken can truly Yemen Nepal, Arabia,
represent the existing population, the Kaiser-Meyer- Philippines, Singapore,
Olkin (KMO) value is needed, this KMO value is Sri Langka, South
obtained with the help of SPSS 23.0 for Windows Tajkistan, Korea,
software, the KMO value less than 0.5 indicates that the Thailand, United
sample taken cannot represent existing population. A Turkmenistan, Arab
large Variance Inflation Factor (VIF) value shows high Uzbekistan, Emirates
multicollinearity among variables. VIF values above 10 Vietnam
indicate multicollinity.
2. Analysis
Grouping data using K-means Clusters will be carried
out continuously until iterations are stable or converging.
V. CONCLUSION
IV. RESULT The conclusion of this study is that Cluster
1 (not happy) consists of 10 countries, namely: Afghanistan,
State data in Asia in 2018 were obtained from the world
Bangladesh, India, Iran, Iraq, Lebanon, Pakistan, Palestine,
Happines Report. Before being analyxed, the assumption is
Syria, Yemen. Cluster 2 (Happy Quite) consists of 17
tested first. With the help of SPSS 23.0 software. Kaiser –
countries: Bhutan, Cambodia, Indonesia, Jordan, Kygztan,
Meyer – Olkin (KMO) values are obtained as follows:
Laos, Malaysia, Mongolia, Myanmar, Nepal, Philippines, Sri
TABLE 1 KAISER-MAYER-OLKIN (KMO) SCORE Lanka, Tajkistan, Thailand, Turkmenistan, Uzbekistan,
 3

Vietnam. Cluster 3 (Happy) consists of 13 countries: Bahrain,

China, Hong Kong, Japan, Kazakhstan, Kuwait, Qatar, Saudi
Arabia, Singapore, South Korea, United Arab Emirates.
The suggestion of this research is to develop this research
into research that is more focused on the form of collaboration
ideas between countries.

VI. REFERENCE

[1] A. Indrasetianingsih, “Pengelompokan provinsi di

Indonesia berdasarkan Persentase Rumah Tangga Menurut
Kualitas Fisik Air Minum dengan Menggunakan K-means
Cluster.” J Statistika 2015 Vol. 7.
[2] Carr, A. “Possitive Psychology: The Science of
Happiness and Humas Strengths. Hove & New York: Brunner
– Routledge Taylor & Francis Group, 2014.
[3] D. Safitri, T. Widiharih, Y. Wilandari, and A. Hendra.
“Analisis Cluster Pada Kabupaten/Kota di Jawa Tengah
Berdasarkan Produksi Palawija.” In Media Statistika 2012 Vol.
5, No. 1, pp. 11-16.
[4] Hair, J. F., JR., Anderson, R. E., Tatham, R. L. and Black,
W. C., Multivariate Data Analysis, fifth editon, Prentice-Hall, Inc.,
USA, 1998.
[5] J. H. Borns, “Happiness and Utility: Jeremy Bentham’s
Equation.” United Kingdom:
[6] Cambridge University Press Vol. 12, No. 1, 2015.
[7] John F. Helliwell, R. Layard, and J. D. Sachs. “World
Happiness Report 2018.” New York: Substainable Development
Solutions Network
Rekonstruksi Virtual 3D CAD Model dan 3D Printing
dari Data Pencitraan Medik Computed Tomography
Irwansyah1,2
1)
Mechanical Engineering Department, Syiah Kuala University, Aceh, 23111, Indonesia
2)
Mechanical Engineering Department, National Central University, Taoyuan City 320, Taiwan
*irwansyah@unsyiah.ac.id
Abstract- Rekayasa virtual pada rekonstruksi model tiga-
dimensi (3D-model) hingga pesatnya perkembangan teknologi
manufaktur cetak objek fisik (3D-printing) telah menyita
perhatian berbagai kalangan dibidang teknik dan medik.
Penerapan kedua teknologi tersebut dapat menjadi solusi dalam
mengatasi keterbatasan menginterpretasi gambar citra medik
2D yang dihasilkan instrumen computer tomography (CT) dan
magnetic resonance imaging (MRI). Akan tetapi, umumnya 3D
model hasil rekayasa memberikan dampak meningkatnya
kapasitas penyimpanan data yang mengakibatkan menurunnya
kecepatan tampilan grafis dan meningkatkan waktu operasi
komputer. Pengembangan algoritma berbasis teknik reverse
engineering (RE) telah dilakukan pada penelitian ini untuk
mengoptimalkan proses rekonstruksi model tiga dimensi
berbasis computer-aided design (CAD). Teknologi cetak tiga
dimensi atau rapid prototyping (RP) digunakan untuk
mempabrikasi objek fisik dari hasil rekonstruksi virtual model
dalam skala penuh 1:1. Kasus biomedik tentang fraktur
ortopedi di demonstrasikan untuk menunjukkan fisibilitas dari
teknik rekayasa model virtual dan hasil fabrikasi menggunakan
teknologi printer tiga dimensi.
Index Terms- computed tomography, fraktur, model virtual,
CAD, 3D printing.
I. PENDAHULUAN
Pemanfaatan teknologi rekonstruksi digital dari model anatomi
3D (virtual model) dan cetak 3D objek (3D printing) sudah
menjadi kebutuhan yang tidak dapat dihindari untuk mendukung
keberhasilan, termasuk pada bidang kedokteran. Data hasil
pemindaian baik menggunakan instrumen computer tomography
(CT) maupun magnetic resonance imaging (MRI), merupakan
media utama yang digunakan untuk menelaah dan mendiagnosa
kasus medik pada struktur atau jaringan internal tubuh. Data ini
kerap disajikan dalam bentuk tampilan gambar dua-dimensi
(2D), yang memuat penampang dari area yang dipindai [1, 2].
Pada bidang ortopedi, tenaga medik menggunakan sekumpulan
gambar citra irisan anatomi secara bersamaan untuk mendukung
keberhasilan den ketepatan dalam menetapkan rencana pra-
operasi. Hal ini merupakan tugas yang sulit untuk dilakukan
secara manual, mengacu pada kompleksitas geometri dan
struktur anatomi serta sulitnya menginterpretasi gambar citra 2D
[3]. Pemutakhiran data hasil pencitraan medis CT yang
dikonversi kedalam bentuk model
virtual menyerupai kondisi nyata, membantu tenaga medik
dalam menganalisa secara visual dan melakukan simulasi
penanganan operasi.
Teknologi rekonstruksi model digital 3D saat ini masih
mengacu pada prinsip komputer desain yang berbasis
polygon-based dibandingkan computer-aided design (CAD)-
based, dimana permukaan dari objek dirangkai dari ribuan
ragam segitiga-segitiga (triangular mesh). Hal ini berdampak
pada peningkatan jumlah data yang dimiliki dan
mengakibatkan meningkatnya ruang penyimpanan data,
menurunnya kecepatan komputer untuk menampilkan bentuk
grafis dan meningkatnya waktu operasi pengolahan model
3D. Disamping itu, beberapa detil informasi yang berguna
dari kondisi aktual objek yang dipindai juga dapat hilang [4].
Sehingga membangun model 3D dari data gambar pencitraan
CT berdasarkan prinsip CAD-based menjadi pilihan yang
patut dipertimbangkan dan dikaji lebih lanjut.
Tahapan rekonstruksi model 3D, diawali dengan akusisi dan
filterisasi data rekam medis dari hasil penginderaan instrument
CT atau MRI. Disebabkan oleh kompleksitas struktur dan
jaringan anatomi, data rekam medis CT disegmentasi
berdasarkan struktur tulang, jaringan tissue dan sejumlah data
yang tidak diinginkan (noise). Untuk mengatasi hal tersebut,
teknik pengolahan gambar (image processing) yang tepat
diperlukan pada proses segmentasi dan deteksi batasan struktur
tulang. Akurasi data dipengaruhi oleh resolusi data gambar,
kualitas gambar, dan penyimpangan titik acuan dari setiap
lembaran gambar [5]. Selanjutnya, teknologi surface rendering
atau volume rendering dilibatkan untuk menyajikan model 3D
dari gambar citra medik secara keseluruhan dengan
mengikutsertakan informasi bagian internal dari model [6]. Pada
pendekatan rekonstruksi bangun iso-surface, permukaan segitiga
mesh ditampilkan dengan menerapkan algoritma Marching cubes
(MC). Bangun model dibentuk dengan merangkai kubus-kubus
kecil imajiner dalam pola tertentu mengikuti kontur permukaan
objek [7]. Tahapan akhir, data informasi yang memuat hasil
mesh dari bangun model disimpan dalam format 3D. Standar
format penyimpanan data 3D yang kerap digunakan untuk
keperluan industri atau manufaktur adalah Stereolithography
atau Standard Tessellation Language (STL).
Perwujudan fisik dari model digital yang dihasilkan dari
rekayasa komputer dibutuhkan untuk memperkuat diagnosa
dan menjadi bagian kelengkapan dalam kominikasi antara
tenaga medis dan pasien [8]. Teknologi cetak tiga dimensi
(3D printing) telah berkembang luas penggunaan di bidang
ortopedi [9,10]. Teknologi ini mengkombinasikan teknik
desain berbasis computer-aided design (CAD) dan teknik
computer-aided manufacturing (CAM) untuk menghasilkan
objek fisik anatomi yang berstruktur komplek. Diantara
beberapa teknologi cetak 3D yang populer, fused-deposition
modeling (FDM) merupakan teknologi yang banyak
digunakan untuk keperluan biomedik. Teknologi FDM
mampu menghasilkan objek fisik dengan sifat mekanik yang
baik, mudah dalam pengoperasian dan berbiaya produksi
rendah [11,12,13].
Kajian dalam tulisan ini memaparkan penggunaan teknologi
reverse engineering dalam rekonstruksi model 3D berbasis CAD
dari gambar citra medik dan teknologi rapid prototyping dalam
mencetak objek fisik. Detail tahapan proses visualisasi dan
rekonstruksi model 3D diurai dan didiskusikan serta dilanjutkan
dengan pembahasan fabrikasi cetak objek fisik 3D.
II. DASAR TEORI
A. Rekonstruksi Virtual Mode 3D
Rekonstuksi virtual mengacu pada pengertian suatu proses
rekayasa atau membangun sebuah model digital dengan
bantuan teknologi komputer. Proses rekonstruksi ini mengacu
pada teknologi reverse engineering (RE), yaitu menggali data
akusisi dari instrumen pemindai dan menampilkannya dalam
wujud model digital 3D. Untuk mendukung keberhasilan
membangun model 3D dari data gambar citra medik,
beberapa tahapan proses yang dilakukan adalah:
(1) Data akuisisi dan pra-proses:
Gambar citra medik atau data akuisisi yang memuat informasi
lengkap anatomi tubuh diperoleh dari instrumen pencitraan. Dua
sistem pencitraan gambar medik yang sering digunakan adalah
Computerized tomography (CT) dan Magnetic Resonance
Imaging (MRI). Adapun sistem lain yang dapat digunakan adalah
sistem ultrasonik, Mammography dan sinar-X [14]. Hal utama
dari pemilihan sistem ini adalah kemampuan dari sistem untuk
dapat menyediakan informasi akurat mengenai struktur anatomi
dan ketidaknormalan yang ditemukan pada tubuh. Perbandingan
kemampuan sistem pencitraan, CT dan MRI menghasilkan
gambar medik dengan resolusi yang sangat baik. Pada proses
pemindaian, pasien di pindai dalam rentang bidang pengukuran
2-3 mm persatuan waktu. Informasi yang diperoleh dari setiap
irisan pemindaian dirangkum untuk membangun struktur
anatomi. Model hasil pemindaian yang direkonstruksi dapat
merepresentasikan struktur anatomi menyerupai kondisi yang
sesungguhnya [15].
(2) Segmentasi 3D:
Segmentasi merupakan tahapan yang dilakukan untuk
menentukan dan memisahkan titik-titik pixel bagian anatomi
yang menjadi target dan jaringan organ disekitarnya. Pada
kasus tulang yang mengalami fraktur atau tidak, segmentasi
dari gambar CT merupakan pekerjaan yang sulit dikarenakan
kompleksitas bentuk yang acak dan singgungan dengan
jaringan organ terdekat. Umumnya, pada tulang dapat
dibedakan dua jaringan organ, jaringan cortical dan trabecular.
Jaringan cortical diketahui merupakan padatan dan berada pada
permukaan luar tulang, sedangkan jaringan trabecular berada
pada bagian inti tulang. Kedua jenis jaringan ini memiliki
intensitas berbeda. Tetapi pada beberapa daerah di tulang
memiliki kemungkinan intensitasnya sama dengan intensitas
jaringan yang ada disekelilingnya. Kejadian ini akan
mengakibatkan tidak sempurnanya segmentasi. Gambar citra dari
instrumen CT merupakan sumber informasi yang sangat baik
untuk digunakan dalam memisahkan antara fraktur tulang dan
jaringan organ lainnya. Secara literatur, terdapat beberapa kajian
yang telah dilakukan untuk mensegmentasi jaringan fraktur
tulang yang bersumber dari instrumen CT. Empat kategori dari
sistem segmentasi yang lazim digunakan adalah berbasis
intensitas (intensity-based), berbasis batas area (edge-based),
berbasis region (region-based) dan berbasis registrasi
(registration-based). Diantara sistem segmentasi tersebut,
segmentasi berbasis region digunakan untuk mengidentifikasi
jaringan tulang dari gambar CT [16].
(3) Rekonstruksi model permukaan (surface model):
Data citra medik CT merupakan serangkaian gambar 2D yang
dapat dinyatakan sebagai sekumpulan data volume dalam
formasi matrik 3D mengacu pada nilai elemen pixel pada tiap
irisan gambar. Metode yang digunakan untuk membangun model
berpermukaan segitiga (triangular model) adalah dengan
mengekstrak kontur gambar 2D dari setiap irisan yang dipindai
(contour-based) dan membangun susunan 3D elemen volume
atau voxel dari irisan gambar citra. Teknik volume rendering
dapat juga digunakan untuk menampilkan gambar permukaan
model dari informasi data volume tersebut [17]. Rekonstruksi
model secara langsung dari gambar CT merupakan proses yang
komplek dan menghendaki waktu operasi yang lama bagi
komputer. Untuk mengatasi hal ini, permukaan model diurai
dalam bentuk poligon sederhana yang berbentuk segitiga dalam
jumlah tertentu. Poligon sederhana yang berbentuk segitiga ini
dikenal sebagai mesh. Metode popular dan merupakan standar
yang digunakan untuk membangun model 3D (isosurface) dari
himpunan data 2D adalah Marching Cubes (MC). Prinsip kerja
dari metode ini adalah merekonstruksi model 3D mengacu pada
konstanta densitas permukaan dari titik-titik sekumpulan gambar
citra 2D. Sederhananya, metode ini menggunakan kubus yang
dibangun dari delapan titik-titik (pixels) yang berada di dua
lapisan pindai yang bersinggungan. Selanjutnya, kubus- kubus
kecil imajiner yang terpola tersebut dijadikan acuan untuk
membangun model 3D. Perangkat lunak yang tersedia secara
open-source atau komersial untuk melakukan segmentasi dan
rekonstruksi model 3D struktur anatomi dari data citra medik
diantaranya adalah OsiriX (Pixmeo SARL), Mimics (Materialise
NV), and Amira (Thermo Fisher).).
B. Cetak objek fisik 3D
Teknologi cetak 3D atau dikenal juga dengan teknologi
manufaktur lanjut (rapid prototyping) kerap digunakan untuk
mendukung keperluan biomedik [18]. Prinsip dasar teknologi
ini adalah mencetak objek 3D secara bertahap lapis per lapis
(layer by layer), dimana nosel bergerak dari lapisan bawah
objek hingga selesai mengikuti penampang irisan dari gambar
CAD yang dikendalikan dengan sistem berbasis komputer
numerik (Computer Numerical Control, CNC). Terdapat
beberapa metoda teknologi cetak 3D yang dapat digunakan
mengacu pada pilihan jenis material, kecepatan manufaktur,
akurasi dan biaya produksi. Diantara teknologi cetak 3D yang
berbasis pada jenis material adalah padatan (filamen solid-
based), cairan (liquid-based) dan serbuk (powder-based).
Mengacu pada biaya material, teknologi mesin cetak 3D yang
berbasis filament padatan (Fused Deposition Modeling, FDM)
berbiaya rendah dibandingkan lainnya. Hal ini menjadi
pertimbangan untuk cetak objek dalam jumlah besar, tetapi
teknologi ini kurang unggul dalam hal sifat mekanis material dan
kekasaran permukaan dari objek hasil cetak. Teknologi FDM
sangat popular dan terdepan dalam proses dan pengoperasian.
Teknologi berbasis cairan (Stereolithography, SLA) dan berbasis
serbuk (Selective Laser Sintering, SLS) mampu menghasilkan
kualitas cetak objek yang lebih baik, namun keduanya berbiaya
produksi tinggi.
III. METODE
:Pada kajian ini, proses rekonstruksi model 3D dibai dalam
dua tahapan utama yaitu reverse engineering (data akuisisi
iso surface, segmentasi 3D, model STL) dan rapid
prototyping (setak objek 3D. Uraian lengkap ditampilkan
pada diagram kerja berikut ini:
Gbr. 1. Tahapan utama proses rekonstruksi virtual model 3D
Pada tahapan data akusisi, sekumpulan data yang di ekstrak
dari instrument CT, disimpan dalam bentuk digital imaging and
communication in medicine (DICOM). Selanjutnya
dikonversi menjadi sekumpulan data volume dalam formasi
matrik 3D yang mengacu pada nilai elemen pixel (gray value)
pada tiap irisan gambar. Teknik volume rendering digunakan
untuk menampilkan gambar isosurface dari data volume.
Tahapan segmentasi, proses identifikasi dan pemisahan
struktur anatomi ini dapat dilakukan secara otomatis atau
manual. Idealnya, metode proses segmentasi dilakukan secara
simultan untuk multi bagian struktur anatomi, guna mengurangi
waktu proses yang terlalu lama bila dilakukan secara bagian per
bagian. Tetapi, metode ini tidak mudah untuk diterapkan pada
keseluruhan kasus fraktur medik. Untuk kasus yang tidak
dilakukan secara otomatis, dapat dilakukan secara manual,
melalui tahapan kombinasi region dan re-segmentasi region.
Pada segmentasi multi-region, sebuah algoritma dilibatkan untuk
menetukan titik umpan (seed point) secara otomatis, dilanjutkan
dengan penerapan algoritma pembiakan region (region growing)
untuk menjalarkannya ke semua region secara bersamaan.
Pendekatan ini berhasil mensegmentasi semua region dengan
baik, hanya sebagian kecil yang memerlukan perbaikan. Proses
rekombinasi region dan re-segmentasi digunakan untuk
mengatasi region yang belum tersegmentasi sempurna.
Algoritma rekombinasi region akan memperbaiki kesalahan
segmentasi, sedangkan algoritma re-segmentasi berfungsi untuk
memisahkan bagian yang tersegmentasi tidak sempurna [19].
Pada kajian ini untuk membangun model triangular suatu
struktur anatomi, dua prosedur yang diterapkan yaitu pengolahan
gambar citra (image processing) dan pembentukan dan
Perbaikan (triangular mesh). Kedua prosedur dikaji secara
bersamaan, karena hasil pengolahan gambar berpengaruh
terhadap triangulasi model. Selanjutnya algoritma marching
cubes digunakan untuk membentuk model triangular, diikuti
dengan proses interpolasi linear agar menghasilkan permukaan
yang halus. Untuk menghasilkan model 3D yang siap di
fabrikasi dan sesuai dengan persyaratan proses cetak 3D,
dilakukan pemeriksaan cacat (mesh error) dan ketidak akurasian
geometri pada model 3D. Kesalahan atau cacat mesh yang terjadi
mengakibatkan terbentuknya rongga, lubang, persilangan atau
saling berhimpitan antar mesh, menghasilkan
ketidaksempurnaan hasil akhir produk cetak 3D. Selanjutnya
data model 3D yang telah diperbaiki, disimpan dalam format
STL untuk dikirim ke mesin cetak 3D.
Peralatan yang digunakan untuk mendukung pemodelan dan
simulasi rekonstruksi model 3D pada kajian ini adalah sebuah
personal komputer (Intel® Core™ i5-4440 CPU, 3.1 GHz
processor, 4 GB RAM, Windows 7 operating system) dan satu
paket program komputer simulasi perencaanan pra-operasi bedah
ortopedi (PhysiGuide v2.72.) yang dikembangkan oleh
laboratorium Bio-Images and Assistive Device, Dept.
Mechanical Engineering, National Central University, Taiwan.
Untuk menguji performa dari prosedur rekonstruksi model 3D
yang diajukan, sebuah gambar citra medik (Siemens CT, X-ray
tube current 67 mA, KVP 110 kV, resolusi setiap irisan
512×512,ukuran spasi pixel 0.3 mm, dan tebal irisan 1
mm) dari kasus struktur tulang ankle digunakan, calcaneus
fraktur dengan klasifikasi tipe 2A. Pabrikasi objek fisik untuk
model 3D calcaneus menggunakan teknologi berbasis FDM.
Mesin cetak tiga dimensi berbiaya produksi rendah, Aurora F1
digunakan, material filamen Polylactic Acid (PLA), dan
akurasi produk akhir cetak 3D adalah 0.1 0.4 mm.
IV. HASIL PENELITIAN
Hasil rekayasa menggunakan perangkat lunak simulaisi pra-
operasi bedah berbantuan komputer telah memperlihatkan
unjukkerja yang baik dalam mewujudkan model 3D secara detail
mendekati keadaan aktual, sebagaimana terlihat pada gambar 2.
Tampilan pandangan isometrik model 3D yang menyuguhkan
keseluruhan struktur anatomi dan dibangun menggunakan
metode volume rendering diperlihatkan pada bagian kiri atas
gambar 2 (a). Model isosurface tersebut telah melewati tahapan
filterisasi terhadap noise yang timbul pada saat ekstraksi gambar
citra dan membangun model 3D. Hasil proses segmentasi 3D,
dimana nilai threshold yang ditetapkan adalah T=600 telah dapat
menampilkan dengan jelas region fraktur yang berukuran besar
secara terpisah. Namun, masih ditemukan sebagian kecil region
yang belum tersegmentasi sempurna. Pada kajian ini, bagian
fraktur yang berukuran besar menjadi pertimbangan, mengacu
pada penanganan medik lanjut yang dilakukan untuk
memposisikan dan memfiksasi fraktur tersebut sesuai dengan
keadaan anatomi semula. Bagian fraktur calcaneus yang
tersegmentasi menjadi lima region dapat ditandai pada tampilan
jendela graphical user interface (GUI) berdasarkan perbedaan
warna yang muncul pada setiap region. Terdapat tiga tampilan
pandangan bantu yang menampilkan penampang irisan dari
gambar CT, pandangan transversal (Gbr. 2(b)), pandangan
sagittal (Gbr. 2(d)) dan pandangan coronal (Gbr. 2(c)). Ketiga
pandangan dapat digunakan untuk melakukan analisa faktur
yang tidak
(a)
(c)
Gbr. 2. Rekonstruksi model 3D ankle kaki. (a) model 3D jaringan dan struktur anatomi, (b) segmentasi 3D tampak pada pandangan transversal, (c)
pandangan hasil segmentasi pada bidang sagittal, dan (d) pandangan hasil segmentasi pada bidang coronal.
tersegmentasi sempurna. Sehingga, koreksi dilakukan dengan
re-kombinasi atau re-segmentasi region fraktur tersebut.
Waktu operasi yang dibutuhkan komputer untuk membangun
isosurface hingga segmentasi kasus calcaneus ini adalah 122
detik. Untuk melakukan proses reposisi (fracture reduction)
kelima region segmentasi fraktur tersebut menghabiskan waktu
operasi 162 detik. Sehingga waktu operasi komputer keseluruhan
yang dibutuhkan adalah 284 detik. Region fraktur yang
tersegmentasi merupakan bagian dari satu kesatuan dari model
dalam format isosurface, untuk melakukan reposisi maka setiap
regin tersebut di proses menjadi model triangulasi. Hal ini
dilakukan untuk memudahkan tahapan reposisi setiap bagian
fraktur tersebut, untuk dirubah orientasinya baik secara translasi
maupun rotasi. Pada gambar 3 memperlihatkan hasil model tiga
dimensi yang telah dilakukan proses triangulasi mesh dan
dipadankan dengan model pelat fiksasi. Pada tahapan
pembentukan mesh, pengurangan jumlah mesh dan penghalusan
permukaan kontur geometri model 3D perlu diperhatikan.
Semakin banyak jumlah mesh akan menghasilkan model 3D
dengan detail kontur geometri yang tinggi, akan tetapi hal ini
dikuti dengan meningkatnya kapasitas penyimpanan data dan
waktu operasi computer. Sebaliknya dengan model dengan
jumlah mesh yang terlalu sedikit, mengakibatkan model 3D
terdeformasi bentuknya jauh menyimpang dari aktual dan
berpermukaan kontur geometri kasar. Pada kajian ini algoritma
MC yang telah dimodifikasi dipadu dengan melibatkan
interpolasi linear untuk memperoleh model 3D yang sesuai
untuk keperluan medik. Pada kasus medik yang tidak
menghendaki detail pada produk akhir dan hanya digunakan
sebagai media untuk berkomunikasi dengan pasien dapat
menggunakan model 3D
(b)
(d)
dengan jumlah mesh yang tidak terlalu besar. Pada gambar
3(a) model calcaneus di bangun dengan jumlah mesh polygon
24999, vertices 12201, panjang calcaneus 79.33 mm. lebar
52.88 mm dan tinggi 48.14 mm. Hasil model 3D yang telah
melewati koreksi mesh dan kehalusan permukaan kontur
geometri ditunjukkan pada gambar 3(b).
(a) (b)
(c) (d)
Model CAD pelat dan sekrup
fiksasi calcaneus
Gbr. 3. Pembentukan model triangulasi. (a) model triangulasi, (b) model
setelah koreksi, (c) sekrup dan pelat fiksasi, dan (d) model setelah dirakit
Sebuah pelat implant dan sekrup yang digunakan untuk
fiksasi fraktur dibangun dengan sistem CAD dari data point
cloud hasil pemindaian 3D pelat orisinal (Gbr. 3(c)). Pelat
fiksasi fakturdan sekrup tersebut dirangkai pada model 3D
yang telah melewati tahapan proses reposisi sesuai dengan
keadaan sebelum terjadi fraktur (Gbr. 3(d)). Ilustrasi tersebut
memberikan gambaran lebih jelas bagi tenaga medik dalam
penangan lanjut fraktur calcaneus.
(a)
(b)
Gbr. 4. Hasil pabrikasi cetak 3D. (a) bagian fraktur dirakit, dan (b) bagian
fraktur dipadu dengan pelat fiksasi.
Data model 3D yang telah disimpan dalam format STL,
selanjutnya digunakan sebagai mempabrikasi objek fisik. Pada
gambar 4 ditunjukkan hasil cetak 3D. Setiap bagian fraktur yang
tersegmentasi dipabrikasi secara terpisah, kemudian
dirakit kembali, seperti permainan menyusun balok (puzzle
cubes). Bagian fraktur dirakit sesuai dengan hasil manipulasi
virtual umtuk mereposisi fraktur yang dilakukan pada
tahapan sebelumnya mengacu pada posisi anatomi (Gbr.
4(a)). Hasil cetak 3D pelat fiksasi dan sekrup yang
dibubuhkan dapat dijadikan media evaluasi mengenai
penanganan fraktur (Gbr. 4(b)). Membutuhkan waktu satu
hari untuk menyelesaikan model 3D ini, dari ekstraksi
gambar citra CT hingga fabrikasi objek fisik 3D.
V. KESIMPULAN
Kontribusi dari dilakukan kajian ini adalah secara umum
memberikan gambaran tentang penerapan teknologi reverse
engineering dan rapid prototyping dalam bidang biomedik.
Pemanfaatan virtual model 3D dan objek fisik, merupakan
terobosan teknologi yang sangat bernilai dalam mengatasi
keterbasan memahami gambar citra medik 2D. Teknologi ini
menghadirkan informasi aktual sesuai dengan kondisi orisinil
struktur anatomi bagi tahapan perencanaan, diagnosa, analisa
dan evaluasi suatu kasus medik. Berdasarkan hasil
rekonstruksi model 3D, penerapan algoritma dalam
membangun model isosurface, segmentasi 3D dan model
triangulasi, efektif dalam mengurangi kapasitas penyimpanan
data model dan waktu operasi komputer. Pemanfaatan hasil
cetak model 3D memperkuat informasi yang diperoleh dari
model virtual dan juga dapat digunakan sebagi media
komunikasi dengan pasien mengenai keadaan fraktur yang
dialami. Diperlukan kolaborasi lebih lanjut antara teknisi dan
tenaga medik dalam menghasilkan produk cetak 3D yang
sesuai dengan persyaratan medik.
VI. UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pimpinan dan
kolega di Laboratorium Bio-Images and Assistive Device, Dept.
Mechanical Engineering, National Central University, Taiwan,
atas dukungan fasilitas dan bimbingan yang diberikan. Ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada pimpinan
Orthopedic Department, Show Chwan Memorial Hospital,
Changhua, Taiwan, atas dukungan data dan informasi.
VII. DAFTAR PUSTAKA
[1] B. Goswami dan S. K. Misra, “3D modeling of X-ray images:
A review,” Int. Journal of Computer Application, vol. 132, no.
7, pp. 40-46, Dec. 2015. Available at www.ijcaonline.org.
[2] S. Hosseinian dan H. Arefi, “3D reconstruction from multi-view
medical X-ray images, review and evaluation of existing methods,”
The Int. Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and
Spatial Information Sciences, vol. XL-1/W5, pp. 319-326, Nov.
2015. Available doi:10.5194/isprsarchives-XL-1-W5-319-2015
[3] P. Kamencay, M. Zachariasova, R. Hudec, M. Benco, dan R. Radil,
“3D image reconstruction from 2D CT slices,” 3DTV-Conference:
The True Vision - Capture, Transmission and Display of 3D Video
(3DTV-CON), July 2014. DOI: 10.1109/3DTV.2014.6874742
[4] J. Y. Lai, J. L. Doong, dan C. Y Yao, “Three-dimensional CAD
model reconstruction from image data of computer tomography,
 “Int. J. of Imaging Systems and Tech., vol. 10, no. 4, pp. 328-338, [18] P.Y. Lee, J.Y. Lai, Y.S. Hu, C.Y. Huang, Y.C. Tsai, dan W.
Jan. 1999. DOI: 10.1002/(SICI)1098-1098(1999)10:43.0.CO;2-A D. Ueng, “Virtual 3d planning of pelvic fracture reduction
[5] E. A. Lalone, R. T. Willing, H. L. Shannon, G. J.W. King, and implant placement,” Biomedical Engineering:
dan J.A. Johnson, “Accuracy assessment of 3D bone Applications, Basis and Communications, vol. 24, no. 03, pp.
reconstructions using CT: an intro comparison,“ Medical 245–262. 2012. DOI:10.4015/s101623721250007x
Engineering and Physics, vol. 37, pp. 1–10, Aug. 2015. [19] D. Hoang, D. Perrault, M. Stevanovic, and A. Ghiassi,
https://doi.org/10.1016/j.medengphy.2015.04.010 “Surgical applications of three-dimensional printing: a
review of the current literature & how to get started,” Annals
[6] M. S. M. Rahim, A. Norouzi, A. Rehman, dan T. Saba, “3D of Translational Medicine, vol. 4, no. 23, pp. : 456. Dec.
bones segmentation based on CT images visualization,” 2016. DOI: 10.21037/atm.2016.12.18.
[7] Biomedical Research, vol. 28, no. 8, pp. 3641-3644, 2017. [20] Irwansyah, J. Y. Lai, T. Essomba, P. Y. Lee, “Algorithm for
Available at http://www.alliedacademies.org/articles/3d- segmentation and reduction of fractured bones in computer-
bones-segmentation-based-on-ct-images-visualization.html aided preoperative surgery,” in Proc. 3rd International
[8] [7] D. Mun dan B. C. Kim, “Three-dimensional solid Conference on Biomedical and Bioinformatics Engineering,
reconstruction of a human bone from CT images using pp. 12-18, Nov. 2016. doi>10.1145/3022702.3022703
interpolation with triangular Bézier patches,” Journal of [21] Irwansyah, J. Y Lai,., and P. Y. Lee, “Development and
Mechanical Science and Technology, vol. 31, no. 8, pp. 3875- Clinic Study of an Integrated Preoperative Planning System
3886, Aug. 2017. DOI 10.1007/s12206-017-0732-x for Orthopedic Surgery,” In Proceeding of the XIV
[9] L. Yang, X. W. Shang, J. N. Fan, Z. X. He, J. J. Wang, M. International Symposium on 3D Analysis of Human
Liu, Y. Zhuang, dan C. Ye, “Application of 3D Printing in the Movement, Taiwan, pp. 141-44. July 2016.
Surgical Planning of Trimalleolar Fracture and Doctor-Patient
Communication,” BioMed Research International, vol. 2016,
Article ID 2482086, pp. 1-5.
http://dx.doi.org/10.1155/2016/2482086
[10] M. Javaid, dan A. Haleem, “Additive manufacturing
applications in orthopaedics: A review,” Journal of Clinical
Orthopaedics and Trauma, vol. 9, pp. 202–206, Apr. 2018.
https://doi.org/10.1016/j.jcot.2018.04.008
[11] W. You, L.J. Liu, H.X. Chen, J.Y. Xiong, D.M. Wang, J.H.
Huang, J.L. Ding, dan D.P. Wang, “Application of 3D
printing technology on the treatment of complex proximal
humeral fractures (Neer3-part and 4-part) in old people,”
Orthopaedics & Traumatology: Surgery & Research, vol. 102,
pp. 897–903, Nov. 2016. DOI: 10.1016/j.otsr.2016.06.009
[12] K. Szykiedansa, dan W. Credo, “Mechanical properties of
FDM and SLA low-cost 3-D prints,” 20th International
Conference: Machine Modeling and Simulations, vol. 136,
pp. 257 – 262, 2016. DOI: 10.1016/j.proeng.2016.01.207
[13] N. Martelli, C. Serrano, H. V. D. Brink, J. Pineau, P. Prognon,
I. Borget, dan S. E. Batti, “Advantages and disadvantages of
3-dimensional printing in surgery: A systematic review,“
Surgery, vol. 159, no. 6, pp. 1485-1500, June 2016.
https://doi.org/10.1016/j.surg.2015.12.017
[14] A. D. L. Peña, J. D. L. P. Brambila, J. P. D. L. Torre, M.
Ochoa dan G. J. Gallardo,” Low-cost customized cranioplasty
using a 3D digital printing model: a case report,” 3D Printing
in Medicine, vol. 4, no. 1, pp. 1-9. Apr. 2018. DOI:
10.1186/s41205-018-0026-7
[15] J. Beutel, H. L. Kundel, J. M. Fitzpatrick, R. L. V. Metter,
”Handbook of Medical Imaging: Medical image processing
and analysis,” 2nd ed., vol. 2, SPIE--The International Society
for Optical Engineering, 2000, pp. xxiii.
[16] J. R. Fredieu, J. Kerbo, M. Herron, R. Klatte. dan M. Cooke,
“Anatomical Models: a Digital Revolution,” Medical Science
Educator, vol. 25, No. 25, pp.183–194, June 2015. DOI
10.1007/s40670-015-0115-9
[17] C. Y. Huang, L.J. Luo, P. Y. Lee, J. Y. Lai1, W. T. Wang, S.
C. Lin, “Efficient segmentation algorithm for 3d bone models
construction on medical images,” Journal of Medical and
Biological Engineering, vol. 31, no. 6, pp. 375-386, 2011.
DOI: 10.5405/jmbe.734
 The Effect of Cogeneration Systems on Gas Stack
for Increasing Efficiency, Environmental Safety
and Advantages of Costs in the Thermal Industry
Fatma Cahyani1) Wahyu Triaji Rahadianto2) Fathona Saptara3)
Department of Chemical Engineering, State Polytechnic of Sriwijaya, Indonesia
Polsri Palembang Indonesia 30139, email: fatmacahyani5@gmail.com

Abstrak : Combustion is a process of producing heat in the

thermal industry. But the higher the energy losses in combustion
weigh the efficiency to be lower. Energy Losses resulting the fuel
demand in considerable amount to achieve the desired operating
conditions. The use of high fuels results in massive industrial
operating costs. The highest energy loss in the combustion process
is usually found in sensible flue gas heat. The high temperature of
flue gas is a bad risk for the environment. This observation aims to
determine the effect of the use of a cogeneration system on the
stack gas to increase combustion efficiency, environmental safety
and cost advantages in the thermal industry. The study was carried
out on the Box type furnace and using the Indirect method. The
fuel used is Fuel Gas and fuel oil. Based on observations for 5
days and calculations showed the highest combustion chamber
efficiency of 77,643% which describes the combustion chamber
still working passably, but still has the potential to be optimized
through reusing heat flue gas with a cogeneration system using a
Heat Exchanger as a Pre heater or as one of a source for heat in a
hot spring. The utilization of the cogeneration system increased
the furnace's biggest efficiency to 83.751% and the profit reached
Rp. 3,702,119,322 / Year.
Key Words : Cogeneration Systems, Efficiency, Environment,
Profit
the form of crude oil before entering the distillation column
using direct method obtained the furnace efficiency at
68.638%. (Yuliani.HR, 2011). However, this research is
still limited to calculating furnace performance. Therefore
the author will deepen the analysis by discussing
optimization efforts through the cogeneration system on the
stack gas to achieve opportunities for increasing efficiency,
cost and fuel savings, and improving environmental
security by using indirect methods and different operating
conditions for 5 days of work operations. The use of a
cogeneration system by utilizing sensible flue gas heat will
increase combustion efficiency due to reduced energy
losses. In addition, the flue gas temperature is lower but
still above the temperature dew point, flue gas will be safer
to discharged into the environment without causing
extremist temperatures to rise in industrial areas and reduce
the risk of global warming. Moreover, by using a
coogeneration system, it can be used to save fuel as well as
costs due to sensible heat flue gas utilization as a hot fluid
for heating combustion elements such as air so that the
combustion process will be more efficient.

I. INTRODUCTION
II. BASIC THEORY
Combustion is a process of producing heat in the
a. Furnace
thermal industry. Combustion occurs when the required
A fuel-fired furnace may be visualized as a gaseous
condition are met as known as the fire triangle, such as
heat source (the flame and furnace gases), a sink, and a
oxygen, heat and fuel. The Republic of Indonesia's Ministry
refractory enclosure. Heat is transferred to the sink surface
of Energy and Mineral Resources states that Indonesia only
by radiation and convection from the furnace gases and
has proven reserves, namely petroleum around 3.2 to 3.3
radiation from refractory surfaces. [Rhine, Tucker, and
billion barrels or 0.2% and gas around 1.5% of total world
Truelove, ]
reserves. Therefore, it is necessary to conserve fuel,
b. Combustion
especially in industries that require relatively large amounts
of heat. One of them is by using a cogeneration system on Combustion occurs when fossil fuels, such as
the gas stack to utilize the sensible flue gas heat as a hot natural gas, fuel oil, coal or gasoline, react with oxygen in
fluid on a heat exchanger. the air to produce heat. The heat from burning fossil fuels is
used for industrial processes, environ-mental heating or to
Analysis of combustion chamber performance is
expand gases in a cylinder and push a piston. Boilers,
usually done by direct or indirect methods. Direct method
furnaces and engines are important users of fossil fuels.
is a method of calculating the performance of a combustion
[TSI Incorporated, 2004]
chamber based on heat that is able to be absorbed by the
feed during the heating process. Whereas indirect method is
a method of calculating furnace performance based on
energy losses in the combustion process. Based on the
analysis of furnace performance that has been done
previously using box-type furnace for heating the feeds in
 Cogeneration systems are of several types and almost all
types primarily generate electricity along with making the
best practical use of the heat, which is an inevitable by-
product. [Devki Energy Consultancy Pvt. Ltd., 2006]

III. OBSERVATION METHODOLOGY

Observations were made at PT Pertamina RU III Plaju
for five days from July 23 to July 27, 2018 to analyze the
effect of flue gas temperature on furnace efficiency and
fuel costs.
a. Research Instrument
Set of manual controller and and computerized
Fig.1 Combustion Diagram
controller
Source : TSI Incorporated, 2004
b. Research Sample
1. Crude oil as the furnace feed
The combining of oxygen in the air and carbon in
the fuel to form carbon dioxide and generate heat is a 2. Fuel gas dan fuel oil
complex process, requiring the right mixing turbulence, 3. Flue gas on stack
sufficient activation temperature and enough time for the 4. Steam coil as fluid for turbulenting the feed
reactants to come into contact and combine. Unless c. Data Collection Techniques
combustion is properly controlled, high concentrations of 1. Measurement of Furnace Operating Conditions
undesirable products can form. Carbon monoxide (CO) and The furnace operating condition data is measured by
soot, for example, result from poor fuel and air mixing or computerized control device or manual control
too little air. Other undesirable products, such as nitrogen device if the operating conditions are not measured
oxides (NO, NO2), form in excessive amounts when the in the control room such as furnace wall temperature
burner flame temperature is too high. If a fuel contains data
sulfur, sulfur dioxide (SO2) gas is formed. For solid fuels 2. Fuel Composition Analysis
such as coal and wood, ash forms from in-combustible Fuel oil and gas fuel are analyzed in terms of %
materials in the fuel. [TSI Incorporated, 2004] volume in Pertamina RU III Plaju Laboratory.
d. Data Analysis Techniques
1. Analysis of Observation Results Data
Observation data were analyzed by calculating
furnace efficiency, optimization based on flue gas
temperature on design data, and the effect of using a
cogeneration system on production cost savings. The
furnace calculation is done by the indirect method of
reviewing based on energy losses in the combustion
process.
2. Analysis of Calculation Results Data
Data from the calculation are analyzed based on tool
design data and the influence of the cogeneration
system in terms of economy.
Fig 2. Boiler Heat Losses
Source : TSI Incorporated, 2004
IV. RESULTS AND ANALYSIS
The combustion process is a process to produce heat. The a. Observation Data
lower the heat losses in the combustion process, the
better the efficiency or performance of the furnace. Heat Table 1. Furnace Operating Conditions Data
Losses in the combustion process are usually in the form Temperature (oC)
% O2
of heat sensible flue gas, Latent heat losses, Radiation Tanggal Stack
Excess Air
and convection loss in the furnace wall, and Leaks. Gas
23/7/2018 2,131 239,504 124,301
c. Cogeneration 24/7/2018 2,372 239,618 138,242
25/7/2018 2,323 236,889 153,019
By definition, Cogeneration is on-site generation
26/7/2018 2,019 235,640 152,894
and utilisation of energy in different forms simultaneously
27/7/2018 2,189 236,587 154,132
by utilising fuel energy at optimum efficiency in a cost-
Source : PT Pertamina RU III, Plaju
effective and environmentally responsible way.
 Table 2. Fuel Data residue and fuel gas in the form of gas mix. The heat
Flowrate LHV obtained from the combustion reaction is used to
Date (Ton/Day) T (oC) (Btu/scf) increase the temperature of the feed to reach its boiling
Gas Oil Gas Oil Gas Oil point.
100 From the calculation, it can be seen that the
23/7/18 47,716 12 37 130 927 thermal furnace efficiency is fluctuating, the highest
12,4
100 efficiency occurs on July 26, 2018, which is 79.904%.
24/7/18 49,519 12 40 127 927 While the lowest efficiency occurred on July 24, 2018,
12,4
100 which was 71.778%. Compared to the design efficiency
25/7/18 49,496 12 48,9 134 927 value of 85%, Furnace F14-001 was still in good
12,4
100 condition so the process was still in good condition. But
26/7/18 49,186 12 37,5 111 927 the high flue gas temperature has the potential to
12,4
100 increase furnace efficiency by utilizing a coogeneration
27/7/18 52,107 12 37,4 121 927 system to reduce the flue gas temperature so that the
12,4
Source : PT Pertamina RU III, Plaju process becomes more optimum.
Tabel 3. Composition of Fuel Gas 2. Furnace Condition after Optimization
Komponen %Vol Effect of Decreasing Flue Gas Temperature on
Furnace Efficiency
CH4 84,23 100%
83.751%
79.608% 75.720% 78.007% 77.643% 77.696%
C2H6 6,48 80% 73.481%
69.628% 71.916% 71.480%

C3H8 1,45 60%

iC4H10 0,31 40%

nC4H10 0,26 20%

iC5H12 0,1 0%
23-Jul-18 24-Jul-18 25-Jul-18 26-Jul-18 27-Jul-18
nC5H12 0,04 Efisiensi
Optimasi
C6H14 0,01
Figure 4. Effect of Decreasing Flue Gas Temperature on
CO2 5,1 Furnace Efficiency
N2 2,02
Effect of Decreasing Flue Gas
Total 100 Temperature on Fuel Cost Thrift
Source : PT Pertamina RU III, Plaju
Rp3,750,000,000
Rp3,702,119,322
b. Calculation Data Rp3,700,000,000
Rp3.639.808.490
1. Actual Operation of Furnace
Cost /Year

Rp3,650,000,000

The results of the calculation of the actual Rp3,600,000,000

Rp3,538,954,552
Rp3,508,879,101
thermal efficiency on 23 July to 27 July 2018 can be Rp3,550,000,000
Rp3,470,471,875
seen in the figure 3. Rp3,500,000,000
Thrift

Rp3,450,000,000
Comparison of Thermal Efficiency Rp3,400,000,000
Furnace
Rp3,350,000,000
iency
Effic

77.643% 23-Jul-18 24-Jul-18 25-Jul-18 26-Jul-18 27-Jul-18

80%
70%

78% Date
76% 73.481%
74% 71.916% 71.480%
69.628% Fig 5. Effect of Flue Gas Temperature on Cost Savings
Thermal

72%

68% 23-Jul-18 24-Jul-18 25-Jul-18 26-Jul-18 27-Jul-18

66% Based on the results of the optimization simulation
64%
calculation in terms of the flue gas temperature shows that
Date
the lower the flue gas temperature, the energy (sensible
heat) produced by the flue gas is lower so that it can save
costs and improve the efficiency of the combustion process
Fig 3. Comparison of Furnace Efficiency
in Furnace.
Temperature drop in flue gas by observing the sulfur
Furnace is a combustion chamber that produces
point, such as by installing the Heat Exchanger for heating
combustion heat from fuel oil in the form of long
the fluid needed is one of the factors to improve furnace
efficiency and fuel conservation.

V. CONCLUSION
1. On the actual data calculation Furnace F14-001 for 5 working
days shows that the performance is still quite good, namely
the highest efficiency of 77.663% with 85% design efficiency.
2. The use of a cogeneration system to streamline flue gas heat
affects the efficiency of furnaces and cost savings
3. The development of a more effective cogeneration tool
business is very potential because it is an important
equipment to improve tool efficiency and reduce production
costs.
4. The heat savings from the biggest flue gas is 7023551,514
Btu with a cost savings of Rp. 3,702,119,322/year

Bibliography
Devki Energy Consultancy Pvt. Ltd., 2006. Cogeneration.
Vadodara: Devki Energy Consultancy Pvt. Ltd.,
Hougen, Olaf A., dkk. 1943.Chemical Process Principles.
Charles E. Tuttle CO., : Tokyo.
Kern, Donald Q. 1950. Process Heat Exchanger. Mc.
Graw-Hill Book Co :New York.
Rhine, J.M. 1977. Heat Transfer iin Furnace. London:
World Energy Conference.
Richardson & Coulson’s. 1983. Chemical Engineering
Design. Elsevier: United Kingdom.
TSI Incorporated. 2004. Combustion Analysis Basics.
United States America: TSI Incorporated
 The Impact of Financial Performance of
Biotechnology and Medical-related Companies
Listed on Taiwan Stock Market to Its Value of
Stock Owned by Government of Taiwan
Rifqi Jauhar Kamal
Department of International Management of Business Administration
Faculty of Management National Yunlin University of Science and Technology (Yuntech)
123 University Road, Section 3, Douliu, Yunlin 64002 Taiwan (Republic of China)
Abstract—The biotechnology and medical-related
companies is on the intersection between the commercial
businesses to obtain profit and nonprofit entity to invent
the public health. This research has purpose to measure
the Impact of financial performance of Biotechnology
and Medical-related Companies listed on Taiwan Stock
Market to Its value of stock owned by Government of
Taiwan. This research has 17 samples of company based
on the purposive sampling method that is took from TW
Incorporated with the period of time 2005-2014 for the
financial performance. Method of analysis in this
research is multi-linear regression with the classical
assumption test. The result of the F test shows that the
dependence variables (P/E,ROA and DER) have
simultaneous impact to the value of stock owned by the
government. Partially, the T test result shows that P/E
and ROA have no significance impact to the value of the
stock owned by Government, while DER has significance
impact to the value of the stock owned by Government.
the result is shown that the Taiwanese Government do
not fully consider the financial performance aspect as
their decision to own these companies' stocks.
Index Terms—Stock, Government, Biotechnology and
medical-related companies, Financial Performance
I. INTRODUCTION
The purpose of this research is measuring the
impact of financial performance of biotechnology and
medical-related companies listed on Taiwan Stock
Exchange market represented by Debt to Equity ratio
(DER), Price Earnings Ratio (P/E) and Return on
Asset Ratio (ROA) to its Value of Stock Owned by
Government of Taiwan which determined by the book
value from government ownership
percentage to the equity of the companies. The
biotechnology and medical-related companies have
been forecasting to be one of Taiwan economic
backbone in the future. In 2006, the total annual
revenue for these industries in Taiwan was nearly
NT$179.1 billion, of which NT$43.4 billion came
from biotechnology, with 434 companies. The scope
of businesses covered included genomics, drugs,
diagnostics, agricultural biotechnology,
environmental biotechnology, protein drugs, contract
research organizations, biochips and bioinformatics
[4].
In order to obtain the expected future growth,
Taiwanese Biotechnology and medical-related
companies keep going to public market stock to offer
the share and expected to grab $ 400 Million USD in
25 years from public investment [12]. Even if the
public offering becomes the main goal for the
industry, Taiwanese government still have the role as
the share holder of biotechnology and medical-
related companies [11]. The government ownership
in these companies may have designated purposes
about market establishment. In term of establishing
the new market, Government incentives and
involvement could help company to acquire the
suitable business environment. The government can
lead in providing risk capital when the venture
capital industry is not yet developed, and may serve
as a large monitoring shareholder when institutional
investors have not yet reached the critical threshold
of share ownership [8].
Biotechnology and Medical-related Companies in
Taiwan has strategic position as promising and
profitable industry. The importance and growth of
the biotechnology industry has, in recent years,
increased dramatically; it is now Taiwan’s second
most profitable industry, the high-
tech industry being the highest [7]. Up to 2007,
Taiwanese pharmaceutical industry returned
NT$66.0 billion with 368 companies active in this
sector. The medical devices industry returned
NT$69.7 billion coming from 397 companies [4].

Taiwanese government itself has strong
commitment on the Industry’s development in
facilities, education, investment and regulations. As
the result, more than 1.000 biotechnology and
medical-related companies have grown in Taiwan
while the stakeholders in this industry plan to grow up
to $100 billion in size by 2020 [12].
In nonprofit point of view, The biotechnology and
medical-related companies has several significant roles
for Taiwan. In 2007, the biotechnology workforce size
was 37,144, of which 8570 were in the biotechnology
industry and 12,224 in the pharmaceutical industry [7].
The government's stock analysis on Biotechnology
and Medical-related Companies is essential to measure
the rationality of their stock ownership. The
government ownership in these companies may
indicates the companies' ways of working . The
government backed companies are usually related to
the poor governance structure in the process of
running their business. The example of the governance
structure of government-linked companies (GLCs) is
Temasek Holdings Singapore, the government holding
entity, which typically owns substantial cash flow
rights but has disproportional control rights and
exercises no operational control
[8]. Furthermore, the research from Jui-Kuei
Chen and I-Shuo Chen in 2008 shows that Taiwanese
biotechnological product prestige and market share are
decreasing due to the poor quality of products and
technology from some of companies [7].
The promising forecast of the Taiwanese
Biotechnology and Medical-related is necessary to be
discussed. The economics rationality of Taiwanese
Government in stock ownership can be one indicator
of its investment appropriateness. Companies'
financial performance represented by asset, equity and
liability compared by value of stock owned by
Government can be a basic tools to delineate how
significance does the economics rationality influences
the Taiwanese government to own the stock.
Therefore, the hypothesis of this research are as
following : 1. H1 : Price-Earnings ratio (P/E) has
significant impact to the government ownership , H2 :
Return on Asset (ROA) Ratio has significant impact to
the government ownership, 3. H3 : Debt to Equity
ratio (DER) has significant impact to the government
ownership.
II. REFERENCES
A. Biotechnology and Medical-related Companies in
Taiwan
Biotechnology and Pharmaceutical Industries
Program Office’s report (2007) defines
Biotechnology as an integrated science of a multi-
research field. It can be seen as a basic tool in
researching life science, medical science, and
agronomy [4]. In Taiwan, the technology range of
biotechnology industry can be formally categorized
into three dimensions: first, the biotechnology
industry (i.e., unique biochemistry, biomedical,
agriculture, and environmental manufacturing and
service), also called the narrow biotechnology
industry, the pharmaceutical industry, and the
medical devices industry [7]. In 2006, the total
annual revenue for these industries in Taiwan was
nearly NT$179.1 billion, of which NT$43.4 billion
came from biotechnology, with 434 companies. The
government's emphasis on higher education and
research, Taiwan has trained a diverse pool of talents
in the scientific and technical fields, which is what is
required to drive innovations in multidisciplinary
biomedical research [17]. Biotechnology and
medical-related companies in Taiwan enjoy the
support from the government such as tax benefits,
Regulations for Providing Assistance in the
Development of New Leading Products , A+
Industrial Innovative R&D Program , Small Business
Innovation Research Program（SBIR） , Industrial
Technology Innovation Center Program (MNCD),
National Development Fund, Small and Medium
Enterprise Credit Guarantee Fund and loan for
promotion purposes [5].
B. Government Ownership On The Company’s Stock
The Literature mentions several reasons of state-
backed company establishment. The state-backed
company has purpose to create Employment
Opportunities, ensuring Economic Growth, provide
huge capital for emerging market, Protection of the
Country’s Sovereignty and To Prevent Exploitation
[16]. The Taiwanese Government ownership to
the stock of biotechnology and medical-related
companies itself has strong justification in
economics, social and politic point of view. In
economics point of view, Taiwanese government
would put Biotechnology and Medical industry as
their strategic industry that have comparative
advantage in Asian region. In 2016 Taiwanese
government reported that Total bio-related IPO market (TWSE) as the institution to regulate interior stock
value is 749.3 billion Taiwan Dollar (TWD) , market. The TWSE was established in 1961 and
Total revenue is 222.7 billion TWD and 9 new began operating as a stock exchange on 9 February
Mergers & Acquisitions events [5]. 1962. It is regulated by the Financial Supervisory
In social and political point of view, Taiwanese Commission (TWSE). Taiwan Capital market has
government use this industry as the main part of their 907 of Listed Companies for stock in 2017 [18].
national healthcare insurance for the citizen. Historically, the Taiwan Stock Market (TWSE)
Healthcare in Taiwan is administered by the Ministry reached an all time high of 11253.11 in January of
of Health and Welfare of the Executive Yuan. As 2018 and a record low of 3446.26 in October of 2001
with other developed economies, Taiwanese people [19].
are well-nourished but face such health problems as
chronic obesity and heart disease. In 2002 Taiwan
D. Financial Performance
had nearly 1.6 physicians and 5.9 hospital beds per
Financial performance is the depiction of the
1,000 population [10].
company’s operational activity to create the
The biotechnology and medical companies are
profitability. It is a subjective measure of how well a
also the a vital part of the national health sector.
firm can use assets from its primary mode of
Taiwan has the National health insurance program
business and generate revenues. This term is also
known as National Health Insurance Administration
used as a general measure of a firm's overall financial
(NHIA). It is defined as a financial and insurance
health over a given period of time, and can be used to
public enterprise and expanded into a comprehensive
compare similar firms across the same industry or to
social insurance system that offered universal
compare industries or sectors in aggregation [15]. It
coverage based on the principles of sustainability and
can be measured by analyzing the ratios of
caring for the disadvantaged [14].
company’s financial report and usually compare it
The health sector is also used by Taiwanese
with the average performance of Industry and
Government as the diplomatic tool to the
standard of Regulator.
International theatre. After Taiwan has been
Financial performance can be measured by
excluded since 1972 when the United Nations seated
Financial report analysis. It is the measurement or
the People’s Republic of China (PRC) as the
calculation of the financial performance. It refers to
government representing China. Taiwan known as
an assessment of the viability, stability and
Republic of China (ROC) faces international
profitability of a business, sub-business or project
isolation to the Taiwan authority over Chinese
[13]. Financial report analysis will translate the
territory. Beginning in 1997, the Foundation of
ratios from the financial report and give the depiction
Medical Professionals Alliance in Taiwan (FMPAT)
about the condition of the company. It is useful to
led efforts for admission as an observer in the World
analyze the company strength due to the stress
Health Assembly (WHA), the plenary body of the
factors in business and the bankruptcy prediction in
World Health Organization (WHO) [9].
the future. The ratios that are commonly used are :
Taiwan has some achievements toward its
The debt-to-equity ratio (D/E) to indicate the relative
involvement to the WHO effort on diseases outbreak
proportion of shareholders' equity and debt used to
over the nations. For example, In 2014, Taiwan
finance a company's assets. Return on Asset (ROA)
donated to the Pan American Development
that divide the return that company has earned in a
Foundation and Pan American Health Organization
period ( usually in one year) to its total asset and
for regional preparations for a possible Ebola
price to earnings ratio (P/E) to measure the price of
outbreak [6].
company’s stock to its earnings per share [15].

C. Taiwan Capital Market

E. Formula of Debt to Equity Ratio, Profitability
Capital Markets refers to activities that gather ratio and Return On Asset
funds from some entities and make them available to
other entities needing funds [15]. Capital markets
channel the wealth of savers to those who can put it to
(1)
long-term productive use, such as companies or
governments making long-term investments [2].
(2)
Taiwan has The Taiwan Stock Exchange Corporation
 (3)
[15]
III. RESEARCH METHODOLOGY
A. Population and Sample
Population and sampling technique in this research
is purposive sampling. It is taking the sample of
company during a research period according to the
particular criteria. Based on this technique, companies
chosen based on criteria as follow :
1. The Biotechnology and medical-related companies
that are listed on Taiwan Stock Exchange (TWSE)
period 2005-2014.
2. The Companies that have issued the
financial report audited.
3. Financial report ends on December 31th 2014.
B. Data, Sources and Method of Analysis
This research is using the Secondary data from TW
Incorporated [11]. This research uses SPSS as the tool
analysis and then uses Multi-linear regression with R
Square test, F test and T test method of data analysis to
measure the impact of the financial performance
variable represented by DER, ROA and PER to the
Value of stock owned by the government.
C. Research Framework
Pct. 1. The Research Framework
In this research Value of stock owned by
Government set as dependence variable (Y) while
Price to Earnings ratio (P/E) (X1), Return on Asset
(X2) and Debt to Equity Ratio (DER) (X3) set as
independence variables.
IV. DATA ANALYSIS AND EXPLANATION CLASSICAL
ASSUMPTION TEST
Data description based on the data analysis
conducted on Classical Assumption Test. Normality
test by using one-sample kolmogorov-smirnov test
shows that the data is normally distributed follow the
diagonal path with the value of significance is 0.071 >
0.05.
Heteroskedasticity test shows that the data have no
heteroskedasticity with E/P as X1 has value of
significance 0.293 > 0.05 and ROA as X2 has value of
significance 0.940 > 0.05 except DER as X3 has value
of significance 0.008 < 0.05.
Multicollinearity test show that the research data
have no multicollinearity with the E/P as X1 has
tolerance value 0.966 >0.1 and VIF value 1.035
<10.00. The ROA as X2 has tolerance value
0.979>0.1 and VIF value 1.021<10.00 and DER as
X3 has tolerance value 0.974>0.1 and VIF value
1.026<10.00.
Autocorrelation test by using Durbin-Watson
shows that the research data have no autocorrelation
with the value from Durbin-Watson table is
DL=0.873 and Du= 1.102 and the Durbin-watson
value of data is 2.245. Therefore these values fulfill
the standard of no autocorrelation since DU<Durbin
watson value<4-DU or 1.102 < 2.245 < 2.898.
A. Result of Multi-linear Regression Test
Table I
Result of Regression Analysis
The result of the Multi-linear regression test can be
explained as follow :
Y= 393.469 -3.441X1+1658.937X2+486.538X3
(2.950) (-1.294) (1.886) (-2.805)
a. Coefficient of regression X1 as much -3.441
shows that P/E has negative impact to the value
of stock owned by the Government. It means that
the increase of P/E value will decrease the value
of Stock owned by government as much as -
3.441.
b. Coefficient of regression X2 as much as
1658.937 shows that ROA has positive impact to
the value of stock owned by Government. It
means that the increase of ROA value will
increase the value of Stock owned by
Government as much as 1658.937.

c. Coefficient of regression X3 as much as
486.538 shows that DER has positive impact to
the value of stock owned by Government. It
means that the increase of DER value will
increase the value of stock owned by
Government as much as 486.538.
B. Coefficient Determination Test
The result of the regression table above shows that
the Rsquare is 0.461 or 46.1%. It means that 46.1% of
dependent variable can be explained by the
independent variables, while the rest of it (53.9%) can
be explained by the other variables that are not
entangled in the research.
C. F Test Model
The F test model based on the analysis of F test
found that the value of Fmeasured as much as 3.703
bigger than Ftable 3,34 (3,703>3,34) with the
significance smaller than 0.05 (0.04<0.05). It means
that the model used in the research is fit and variable
P/E,ROA and DER simultaneously have impact to the
value of stock owned by the government.
D. Test Model for the First Hypotheses
Fit test for the first hypotheses with the T test
found that it has -1.294 smaller than T table 2.160 (-
1,294<2.160) with the value of T significance test
bigger than 0.05 (0,218>0,05). It means that this
variable is in the H0 area and can be concluded that
partially there is no significance impact between P/E
to the value of stock owned by the Government. It
means that the P/E may be excluded as main
consideration by the Government to own the stock of
biotechnology and medical-related company. It can be
happened as the result of the broader strategic
management decided by the government. The
consideration may be the trade in between the P/E
value in present with the beneficial value either in
economics or non economics rationale in the future.
E. Test Model for The Second Hypothesis
Fit test for the second hypotheses with the T-test
found that it has smaller value with the Ttable
(1.886<2.160) altogether the value of T significance
bigger than 0,05 (0,082>0,05). It means that this
variable is in the Ho area, therefore it can be
concluded that partially there is no significant impact
from ROA to the value of stock owned by the
government. It can be occurred as the result of
government consideration in non economics
motivation due to own the company with the relatively
low ROA. It indicates the government have the other
interest for their stock ownership.
F. T Test Model for The Third Hypothesis
Fit test for the third Hypothesis with the T-test
found that it has smaller value with the Ttable (-
2,805<2.160) but the value of T significance smaller
than 0,05 (0,015<0,05). It means that this variable is
out of Ho area, therefore it can be concluded that
partially there are significant impact from DER to
value of stock owned by the government. This
founding shows that government may still have
strong consideration of the Debt to Equity ratio
(DER) in Its stock ownership of Biotechnology and
medical-related companies. DER seen by
government still has decisive role to measure the
company performance in fulfilling their
responsibility with the equity that they have.
V. CONCLUSION
The conclusion based on the result of data
analysis with SPSS program are as follow :
a. The result of the regression table above shows
that the Rsquare is 0.461 or 46.1%. It means that
46.1% of dependent variable can be explained by
the independent variables, while the rest of it
(53.9%) can be explained by the other variables
that are not involved in the research.
b. The F test model based on the analysis of F test
found that the value of Fmeasured as much as
3.703 bigger than Ftable 3,34 (3,703>3,34) with
the significance smaller than 0.05 (0.04<0.05). It
means that the model used in the research is fit
and variable EP,ROA and DER simultaneously
have impact to the value of stock owned by the
government.
c. Fit test for the first hypotheses with the T test
found that it has -1.294 smaller than T table 2.160
(-1,294<2.160) with the value of T significance
test bigger than 0,05 (0,218>0,05). It means that
this variable is in the H0 area and can be
concluded that partially there is no significance
impact between P/E to the value of stock owned
by the Government. It means that the P/E mat be
excluded as main consideration by the
Government to own the stock of biotechnology
and medical-related companies. It can be
happened as the result of the broader strategic
management decided by the government. The
consideration may be the trade in between the P/E
value in present with the beneficial value either in
economics or non economics factor in the future
 c. Fit test for the second hypotheses with the T-test
found that it has smaller value with the Ttable
(1.886<2.160) altogether the value of T
significance bigger than 0,05 (0,082>0,05). It
means that this variable is in the Ho area,
therefore it can be concluded that partially there
is no significant impact from ROA to value of
stock owned by the government. It can be
happened as the result of government
consideration to own the relative non-profitable
companies with the low ROA since they have
the other interests out of economics motive.
d. Fit test for the third Hypothesis with the T-test
found that it has smaller value with the Ttable (-
2,805<2.160) but the value of T significance
smaller than 0,05 (0,015<0,05). It means that
this variable is out of Ho area, therefore it can be
concluded that partially there are significant
impact from DER to value of stock owned by the
government. This founding shows that
government may still have the strong
consideration of the Debt to Equity ratio (DER)
in Its stock ownership of biotechnology and
medical-related companies. DER seen by
government still has important role to measure
the company performance in fulfilling their
responsibility with the equity that they have.
Limitations
a. The financial performance data took from 2014 so
that it may influence the accuracy to the current
situation.
b. The data of sample in this research took from the
3rd party (TW Incorporated), which means
strongly possible to exclude other companies
owned by government that are listed or not listed to
the Taiwan stock market.
\
VI. REFERENCES
[1] Brigham, Eugene F and Joel F.Houston, Basic of Financial
Management, 2006.
[2] O'Sullivan, Arthur; Sheffrin, Steven M, Economics:
Principles in Action. Upper Saddle River, NJ: Pearson
Prentice Hall, 2003. p. 283
[3] Pamela P. Peterson, Frank J. Fabozzi, CFA, Analysis of
Financial Statements. John Wiley & Sons.1999
[4] Biotechnology and Pharmaceutical Industries Program
Office. Development center for biotechnology, Taiwan
institute of economic research, biotechnology and
pharmaceutical industries program office. 2007
[5] Ching-Lung Hu, MOEA. Overview of
Biotechnology Industry in Taiwan. 2017
[6] Ministry of Foreign Affairs, Republic of China (Taiwan),
International Cooperation and Development Report 2014,
2015.
[7] Jui-Kuei Chen a,1, I-Shuo Chen, TQM measurement model
for the biotechnology industry in Taiwan. 2008. Expert
Systems with Applications 36 (2009) 8789–8798
[8] James S. Ang, David K. Ding b, Government ownership and
the performance of government-linked companies: The case of
Singapore.2004. Journal of Multinational Financial
Management.
[9] Jonathan Herington, Kelley Lee, The limits of global health
diplomacy: Taiwan's observer status at the world health
assembly. 2014.
[10] https://www.loc.gov/rr/frd/cs/profiles/Taiwan
[11] http://www.2330.tw
[12] https://www.moea.gov.tw
[13] http://www.netmba.com
[14] https://www.nhi.gov.tw
[15] http://www.investopedia.com
[16] http://www.selfhelparchive.com
[17] https://www.taiwan-healthcare.org
[18] https://www.twse.com.tw
[19] https://www.tradingeconomics.com

Magnesium Sebagai Bahan Dasar
Produk Futuristik untuk Memanfaatkan
Sistem Pengolahan Limbah Bittern di
Indonesia
Rahmandhika Firdauzha Hary Hernandha
Department of Materials Science and Engineering, College of Engineering, National Chiao Tung
University (國立交通大學), Hsinchu city (300), Taiwan (R.O.C.),
e-mail: hernandha.mse07g@nctu.edu.tw
Abstract—Riset tentang pengolahan kembali limbah bittern
telah banyak dilakukan oleh berbagai bidang keilmuan di
Indonesia. Salah satunya pemanfaatan kembali Magnesium hasil
recycle limbah bittern. Faktanya sekitar 60% Magnesium
dibutuhkan tulang sebagai unsur penguat. Berdasarkan riset-
riset yang dilakukan sebelumnya, terbukti tulang yang
terdefisiensi Magnesium berpotensi tinggi mengalami
osteoporosis[19]. Berbagai penelitian tentang Magnesium dalam
bidang ortopedi dalam satu dekade ke belakang membuktikan
bahwa Magnesium berpotensi untuk menciptakan industri dan
komoditas futuristik. Karena selain murah dan melimpah, juga
ramah lingkungan. Pemanfaatan lainnya yang tak kalah
fenomenal yaitu sebagai bahan alternatif post-LIBs energy
storage yang potensial. Magnesium memiliki theoretical
volumetric capacity sekitar 3.833 mAh/cm3, tentunya jauh lebih
besar dibandingkan Lithium (sekitar 2.046 mAh/cm3), meski
masih memiliki banyak tantangan hingga dapat diaplikasikan di
luar laboratorium. Dari hasil riset, terbukti Magnesium menjadi
salah satu solusi alternatif potensial dalam menciptakan produk-
produk futuristik. Apalagi bagi Indonesia, yang oleh Badan
Informasi Geospasial (BIG) disebut memiliki pesisir pantai
sepanjang 99.093 km. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai
negara yang potensial untuk mengolah pertambakan garam.
Jika tambak garam menjadi industri populer, bukan tidak
mungkin limbah bittern yang biasanya hanya dimanfaatkan
sebagai biang garam, akan menjelma menjadi bahan utama
pemurnian mineral-mineral berguna yang dapat diolah menjadi
produk-produk futuristik, contohnya produk berbahan dasar
Magnesium.
Index Terms—Bahan, baterai, bittern, energy storage, implan
tulang, Magnesium, tambak garam
I. PENDAHULUAN
Pada karya tulis ini akan terdapat tiga bagian penting yang
akan diulas. Yang pertama adalah gambaran umum tentang
penelitian-penelitian yang telah penulis lakukan untuk
memanfaatkan unsur Magnesium sebagai bahan utama dalam
pengembangan produk futuristik, baik yang berupa studi
pustaka, maupun eksperimental. Selanjutnya diikuti dengan
gambaran kondisi kekinian dari proses pengolahan limbah
bittern di Indonesia. Dan yang terakhir adalah solusi yang
penulis tawarkan untuk memberikan gambaran peluang
sinergi antara hasil eksperimen skala laboratorium yang telah
penulis lakukan, kondisi kekinian recycling Magnesium dari
limbah bittern, dan peran masyarakat–industri–pemerintah
sebagai pengambil kebijakan, yang dihubungkan oleh peran
serta perguruan tinggi (mengadopsi metode triple helix[12])
dalam pengembangan produk-produk futuristik demi
1
memajukan bidang riset teknologi aplikatif dari hulu ke hilir
di Indonesia.
II. DASAR TEORI
Berdasarkan penelitian terdahulu, ada beberapa hal yang
dapat menjadi tinjauan pustaka terkait mengapa Magnesium
adalah salah salah satu unsur penting dalam upaya
menghasilkan produk-produk futuristik yang berguna bagi
kehidupan manusia.
A. Magnesium sebagai Unsur Kaya Manfaat
Magnesium (Mg) menjadi elemen ke-8 paling banyak
ditemui di bumi. Menempati sekitar 2% dari keseluruhan
massa kerak bumi. Selain itu Mg juga merupakan unsur
terbanyak ketiga yang terlarut dalam air laut, dengan
konsentrasi sekitar 0.13%. Oleh karenanya Mg murni maupun
paduan senyawa Mg dapat disintesis melalui pemurnian air
laut, yang biasanya bersumber dari sumur/tambak garam, juga
limbah bittern. Manfaat dari unsur Mg ini sangat luas, baik
Mg murni maupun oksida-Mg, seluruhnya dapat berguna
sebagai produk-produk tepat guna. Contohnya oksida-Mg
sebagai bahan utama batu tahan api dalam tanur pelelehan besi
dan baja, logam non-ferrous, gelas, dll. Selain itu Mg juga
berguna sebagai bahan utama di industri agrikultur, kimia dan
obat-obatan, konstruksi, manufaktur dan permesinan, hingga
ortopedi[21]. Apalagi dalam beberapa puluh tahun terakhir,
Magnesium juga dimanfaatkan sebagai bahan alternative post-
LIBs energy storage[13][9].
Paduan Mg-Fe-Ca sebagai Implan Tulang Biodegradable
Bahan yang digunakan dalam studi tentang Magnesium
sebagai bahan utama paduan Mg-Fe-Ca yang telah dilakukan
sebelumnya adalah Magnesium murni (bubuk ≥99%, Sigma
Aldrich), Kalsium (granular ≥99%, Sigma Aldrich), Besi
(diambil dari pelat baja <0.06%C dan di-treatment hingga
mencapai kemurnian ±99.9%, diuji menggunakan Optical
Emission Spectroscopy). Bahan-bahan tersebut dicampur dan
dipadukan dengan menggunakan horizontal furnace pada
temperatur 850ºC dan di-holding selama satu jam dalam
atmosfer vakum. Eksperimen tersebut menghasilkan tiga jenis
komposisi paduan Mg-0.1Fe-Ca; Mg-0,2Fe-Ca; dan Mg-
0,3Fe-Ca, dalam ±40 gram sampel, yang penampakan
morfologinya ditunjukkan oleh Gbr. 1 diambil menggunakan
Electron Microscope dengan perbesaran 500X. Dalam gambar
tersebut nampak jelas bahwa paduan kedua memiliki butir
(grain) yang lebih banyak dibandingkan paduan pertama dan
kedua. Lalu, korelasi antara paduan pertama, kedua, dan
ketiga dengan compressive strength sebagai sifat mekanik

paduan Mg-Fe-Ca ditunjukkan pula dalam Tabel 1, beserta
perbandingan compressive strength dari cortical bone
manusia.
Gbr. 1. Penampakan struktur mikro paduan a) paduan Mg-
0.1Fe-Ca; c) Mg-0,2Fe-Ca; dan c) Mg-0,3Fe-Ca.
TABEL 1
AVERAGE COMPRESSIVE STRENGTH DARI PADUAN MAGNESIUM
DIBANDINGKAN CORTICAL BONE
Spesimen Average Compressive strength (GPa)
Mg-0,1Fe-Ca 143,4
Mg-0,2Fe-Ca 164,7
Mg-0,3Fe-Ca 145,9
Mg–2Ca 235.7[8]
Mg–4Ca 250.7[8]
Cortical Bone 130–180[20]
Dari Tabel 1 dan Gbr. 1 dapat diketahui hubungan antara
ukuran butir secara kualitatif dengan average compressive
strength dari paduan Mg-Fe-Ca. Semakin banyak butir yang
ada dalam paduan, memiliki kecenderungan compressive
strength yang lebih tinggi. Korelasi antara persentase unsur
besi (Fe) dengan struktur mikro yang dihasilkan nampak
dalam Gbr. 1, semakin tinggi jumlah Fe yang ada dalam
paduan akan berpengaruh terhadap peningkatan area dari batas
butir. Jadi, dapat diartikan bahwa unsur Fe dalam paduan akan
meningkatkan ukuran butir, meski tidak mempengaruhi secara
signifikan pada compressive strength. Dan berdasarkan hasil
yang didapatkan, maka dapat disimpulkan bahwa Mg-0,2Fe-
Ca memiliki compressive strength yang lebih tinggi
dibandingkan paduan lainnya[16].
Magnesium sebagai Sistem Post-LIBs Energy Storage
Lithium sebagai sumber utama dalam penggunaan
rechargeable Li-ion batteries (LIBs) telah berjaya hampir
seabad lamanya sejak dipasarkan oleh Sony pada akhir abad
ke-19. Akan tetapi, dengan berjalannya waktu, LIBs yang
telah dianalisis dan diekploitasi lebih jauh, kini ia harus
menghadapi tantangan baru yang menghantui. Tantangan
utamanya adalah keberadaan Lithium yang semakin menipis
di kerak bumi, yang secara nyata akan menjadi penyebab
utama langkanya Lithium di masa depan. Dan secara tak
langsung turut menjadi penyebab naiknya biaya operasional
dalam produksi rechargeable LIBs, padahal mayoritas
2
pengembangan teknologi baterai saat ini masih menyandarkan
diri pada LIBs. Belum lagi tantangan-tantangan lainnya yang
berkaitan dengan risiko keamanan LIBs yang menjadi isu
yang belum terselesaikan hingga kini[2].
Untuk menjawab tantangan tersebut teknologi Mg-based
energy storage atau biasa juga disebut Mg-ion based batteries
(MIBs) mendapatkan perhatian khusus dari para peneliti di
bidang baterai dan energy storage[4][15]. Dengan berbagai
keuntungan yang dimiliki, selain harganya yang murah, Mg
juga berlimpah, memiliki reaktivitas yang lebih rendah
(terhadap udara di atmosfer) daripada Lithium, serta besarnya
theoretical gravimetric capacity yang dimiliki (sekitar 2234
mAh/g, dengan kemampuan transfer dua elektron
sekaligus)[6][14]. Terlebih lagi, ketika dipasangkan dengan
elektrolit yang tepat, reversible reaction dari pergerakan ion
Mg2+ pada MIBs bisa mendekati angka efisiensi hingga 100%
tanpa mengalami pembentukan struktur dendritik seperti
reaksi yang ditimbulkan dari pergerakan dan penetrasi ion Li+
pada LIBs[3][11].
Magnesium dalam MIBs pada umumnya berperan sebagai
anoda (elektroda negatif) dalam bentuk Mg ribbon atau logam
Mg murni, karena sifatnya yang less reactive jika
dibandingkan dengan logam Li. Oleh karenanya, yang
biasanya menjadi topik hangat dalam pengembangan MIBs
adalah pada katoda (elektroda positif) atau elektrolitnya, yang
hingga saat ini masih menjadi topik hangat untuk terus digali
lebih jauh[7]. Di banyak penelitian selama lebih dari satu
dekade ke belakang, Molybdenum dan Mangan masih menjadi
dua unsur yang menempati posisi tertinggi sebagai supporting
system bagi MIBs pada posisi katoda, baik Molybdenum
dalam bentuk sulfida maupun Mangan dalam bentuk oksida
dalam berbagai state. Sebagai contohnya adalah Mo6S8,
Mo3S4(x-), MoS2,Mn3O4, MnO2, dll[2][4][10][22].
Pada Gbr. 2 dan Gbr. 3 ditunjukkan adalah hasil
eksperimen charge-discharge pada MIBs dengan
menggunakan MoS2 sebagai katoda dan dengan
menggunakan elektrolit standar MIBs (untuk saat ini), yaitu
all-phenyl-complex (APC) dengan ion Li+ sebagai aditif.
Hasilnya menunjukkan MoS2 dapat bekerja lebih baik dengan
kapasitas lebih tinggi (>160 mAh/g) dibandingkan dengan
Mo6S8 (±145 mAh/g[22]). Terlebih lagi, MoS2 memiliki
kapasitas yang lebih stabil dalam 200 cycle dengan capacity
retention di atas 85% dan coulombic efficiency >99%[2].

Gbr. 2. a) Cyclic Voltammetry curves dari katoda MoS2
dalam elektrolit APC dengan dan tanpa aditif ion Li+ pada
MIBs; Charge-discharge curve untuk b) 3 cycle pertama; dan
c)
Gbr. 3. Cyclic stability dari berbagai katoda yang di-charge-
discharge menggunakan current rate 100 mA/g.
Berdasarkan beberapa hasil riset di atas, telah jelas bahwa
Magnesium layak menjadi unsur andalan dalam upaya
pengembangan produk-produk futuristik yang nantinya bisa
menjadi warna baru dalam komoditas unggulan di Indonesia.
Apalagi jika didukung dengan ulasan-ulasan tentang
gambaran umum bagaimana Indonesia bisa jadi negara yang
potensial dalam menghasilkan unsur Magnesium berikut.
B. Gambaran umum Potensi Limbah Bittern di Indonesia
Bittern dikenal sebagai limbah yang dihasilkan selama
proses kristalisasi garam di tambak. Selama ini bittern dibuang
atau dicampurkan kembali dengan air laut untuk
mempercepat penuaan air dalam proses pembuatan garam. Di
dalam bittern terkandung sekitar 3.42% Magnesium[5].
Sebagai contoh, produksi garam di Jawa Timur (Jatim)
hingga mendekati akhir bulan Agustus 2017 mencapai
3
9.037 ton. Dengan kondisi kebutuhan konsumsi garam di
Jatim mencapai 100 ribu ton.
Sementara, produksi garam pada tahun 2015 bisa
mencapai angka lebih dari 1.5 juta ton, dan juga sekitar 120
ribu ton di 2016 (turun drastis)[1]. Mengapa terus turun?
Jawabannya mungkin ada pada tata kelola yang kurang tepat
pada produk hasil komoditas lokal tambak garam ini. Padahal
jika ditinjau dari sudut pandang yang lain, para peneliti
dari Puslitbang Sumberdaya Laut dan Pesisir telah berhasil
mengembangkan teknologi sederhana pemisahan Magnesium
dari limbah bittern. Teknologi ini dirancang untuk dapat
dioperasikan oleh kelompok masyarakat untuk menghasilkan
padatan Magnesium Hidroksida (Mg(OH)2). Paket
teknologi sederhana pemisah Magnesium tersebut terdiri
dari pencampur dan pengaduk mekanis untuk melarutkan
antara limbah bittern dengan soda api dalam air. Proses
selanjutnya dilakukan pemisahan padatan Magnesium dengan
menggunakan mesin pemutar cepat serta oven pengering.
Paket teknologi ini mampu mengolah 200 liter (L) limbah
bittern menjadi padatan Magnesium sebanyak 21 kg dalam
waktu 3 hari kerja. Sementara itu, harga Magnesium di
pasaran–tanpa mencantumkan komponen kandungannya–
adalah sekitar 40 ribu rupiah per kilogram (Kg)[5].
Bisa jadi, solusi untuk mengolah kembali limbah bittern
dari tambak garam adalah sebuah peluang solusi untuk
memberikan pendapatan tambahan bagi petambak garam serta
trigger untuk meningkatkan produksi garam di masa depan.
Tentunya pemerintah perlu memikirkan sejak awal tentang
tata niaga serta perlindungan terhadap harga dasar
Magnesium hasil olahan limbah garam ini, sehingga nilai
manfaat teknologi dari metode ini dapat dirasakan oleh para
pengolah garam secara adil dan rasional[17].
III. METODE
Dalam melakukan sinergi antara 1) hasil eksperimen skala
laboratorium yang telah penulis lakukan; 2) kondisi kekinian
recycling Magnesium dari limbah bittern; 3) dan upaya
maksimalisasi peran dari masyarakat–industri–pemerintah
sebagai pengambil kebijakan, yang dihubungkan oleh peran
serta perguruan tinggi dalam pengembangan produk-produk
futuristik berbahan dasar Magnesium, maka penulis
menawarkan pengadopsian nyata dari metode triple helix.
Pada awalnya pemerintah (komponen helix pertama) dapat
melakukan pemetaan terhadap perguruan-perguruan tinggi
(helix kedua) yang mampu memberikan sumbangsing nyata
dalam memperbesar kemungkinan penerapan aplikatif yang
lebih besar untuk pengolahan limbah bittern untuk
menghasilkan Magnesium. Setelah mengetahui pemetaan dari
komponen-komponen helix kedua maka helix pertama
bisa melanjutkan dengan melakukan listing daftar beserta
rincian jumlah industri-industri potensial (helix ketiga)
yang menempati area penghasil garam atau bahkan
yang diproyeksikan akan menempatinya di masa mendatang.
Untuk selanjutnya kita adakan pendalaman konsep lebih
lanjut, berupa perencanaan proyek yang akan dikerjakan
bersama-sama antara kolaborasi tiga helix yang telah
terpetakan[18]. Tentunya dengan melibatkan petani garam
(masyarakat) sebagai bagian dari daya dukung utama dari
helix kedua, yang secara skematikanya diperlihatkan
melalui Gbr. 4. Pada skema tersebut jelas sekali bahwa

masyarakat merupakan inti dari helix yang menjadi pelaku
kolaborasi ini (karena pada dasarnya masing-masing helix
merupakan bagian dari masyarakat).
Gbr. 4. Skema triple helix yang diadopsi dalam kolaborasi
pemerintah-perguruan tinggi-industri untuk menciptakan
atmosfer industrial technology berbasis masyarakat
IV. PEMBAHASAN
Kolaborasi dari fakta-fakta yang ada seperti 1) unsur
Magnesium yang kaya manfaat; 2) beberapa hasil riset potensial
untuk menciptakan produk futuristik seperti implan tulang
biodegradable dan baterai; 3) potensi Indonesia, yang menurut
Badan Informasi Geospasial (BIG) disebut memiliki pesisir
pantai sepanjang 99.093 km, dapat dimanfaatkan sebagai modal
awal untuk menjadikannya sumber utama limbah bittern; serta 4)
kemungkinan pengadopsian metode triple helix dalam
memberikan ruang sinergi antara pemerintah-perguruan
tinggi-industri untuk menciptakan atmosfer industrial
technology berbasis masyarakat, bisa jadi akan memunculkan
sebuah kesempatan bagi Indonesia untuk mewujudkan satu
sumber inspirasi industri baru yang menyandarkan pada
material unik bernama Magnesium.
Untuk menjadikan seluruh fakta tersesbut saling terkoneksi
secara nyata, maka semua pihak dalam helix dapat mulai
memikirkan tentang blueprint yang akan menjadi pondasi dari
masing-masing peran. Pemerintah seharusnya mulai
memikirkan regulasi tentang tata niaga serta perlindungan
terhadap harga dasar Magnesium hasil olahan limbah garam.
Lalu untuk perguruan tinggi, dapat lebih meningkatkan peran
serta dengan melakukan lebih banyak survei-survei terkait
pertambakan garam hingga kondisi lapangan kesejahteraan
petani garam (masyarakat), serta menggencarkan
pengembangan riset-riset potensial yang telah ada menjadi
teknologi yang lebih aplikatif untuk meningkatkan efisiensi
dari produksi Magnesium yang berasal dari limbah bittern.
Untuk industri, bisa jadi dimulai dengan merancang rumusan
mekanisme fund and share terkait teknologi recycling
Magnesium dari pengolahan limbah bittern ini.
Nah, ketika itu semua telah dilakukan dan pondasi dari
kolaborasi ini telah kuat, maka dapat dimulai pelaksanaan peran
masing-masing helix. Lebih jauh lagi ketika produk setengah jadi
berupa Magnesium telah tersedia, maka pengolahan advance
untuk menciptakan produk-produk semacam implan tulang
biodegradable dan baterai berbasis MIBs dapat dilakukan
dengan semakin masif. Selanjutnya setelah produk akhir mulai
dapat diproduksi secara berkala, tentunya dengan standardisasi
4
yang tinggi dan quality control yang baik, maka prosesnya
akan dapat diteruskan menuju ke arah pemasaran produk
(rencana jangka panjang).
Dalam melakukan prosedur pemasaran, nantinya (untuk
produk implan tulang) dapat dikoordinasikan dengan
Kementerian Kesehatan melalui sebuah kampanye mengenai
penggunaan implan tulang biodegradable berbahan dasar paduan
Magnesium. Tentu saja kampanye tersebut dilakukan dengan
lisensi penuh dari Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan
di berbagai kota. Selain itu juga perlu dilakukan sebuah
kerjasama yang baik dengan Rumah Sakit yang memiliki
wewenang untuk melaksanakan penanaman implan tulang pada
tubuh pasien. Lalu untuk produk baterai, yang merupakan industri
dengan jangka yang lebih panjang, dapat memanfaatkan
konsorsium baterai yang telah terbentuk di Indonesia (contoh:
Konsorsium Nasional Baterai yang digawangi oleh LIPI,
BATAN, BPPT, B4T, UI, ITB, ITS, UGM, UNS, Universitas
Lambung Mangkurat dan Kementerian Perindustrian) untuk
selanjutnya merancang riset aplikatif di masing-masing institusi.
Setelah risetnya berjalan, maka dapat dikontrol secara lebih
sistematis melalui focus group discussion (FGD) dan konferensi
tahunan. Sehingga produk baterai buatan Indonesia dengan
memanfaatkan bahan-bahan dan sumber daya alam Indonesia
dapat tercipta sesegera mungkin di masa depan, tentunya dengan
daya dukung penuh dan gelontoran dana utama dari pemerintah
Republik Indonesia melalui Kementerian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi.
Selain itu, kerjasama juga dapat dilakukan antara
Pemerintah Provinsi dari masing-masing daerah yang
memiliki tambak garam, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sumber Daya Laut dan Pesisir (P3SDLP), Kementerian
Kelautan dan Perikanan, serta lembaga lain yang terkait dalam
upaya menggencarkan pengolahan limbah bittern menjadi
Magnesium agar bahan baku dari pembuatan produk-produk
futuristik berbahan dasar Magnesium dapat selalu tersedia dari
hasil daur ulang limbah bittern. Sehingga akan timbul
kesinambungan antara peningkatan aktivitas pertambakan
garam yang secara otomatis berdampak positif bagi industri
garam rakyat nasional dan peningkatan nilai ekonomi dari
limbah bittern yang akan menciptakan pemasukan tambahan
bagi petani garam (masyarakat).
V. KESIMPULAN
Telah banyak fakta-fakta yang mendukung dan
memperkuat pengembangan produk berbahan dasar
Magnesium, terutama sebagai bahan dasar produk-produk
futuristik seperti implan tulang biodegradable dan Mg-ion
based batteries (MIBs). Apalagi dengan adanya bahan utama
untuk mendukung ketersediaan Magnesium di dalam negeri
berupa hasil recycling limbah bittern dari tambak garam yang
ada di seluruh pesisir Indonesia. Hal itu semakin
mengukuhkan bahwa industri pengolahan Magnesium sebagai
bahan utama produk-produk futuristik adalah sebuah
keniscayaan. Oleh karenanya, hanya dengan kolaborasi
menggunakan metode triple helix untuk menciptakan atmosfer
industrial technology berbasis masyarakat maka wujud nyata
dari sinergisitas ini akan segera nampak dan terlaksana di
masa depan sebagai jawaban dari cita-cita Indonesia yang
mandiri dan berdikari teknologi.
 5

VI. DAFTAR PUSTAKA [20] S. V. Dorozhkin, "Calcium orthophosphate coatings on magnesium and
[1] B. Sholikah, F. Yolanda. (2017). Sampai Agustus, produksi garam Jatim its biodegradable alloys," Acta Biomaterialia 2014, vol. 10, pp. 2919-
9.037 ton. Dipublikasikan dalam harian online Republika. [Online]. 2934, Mar. 2014.
https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/08/30/ovhw1g370- [21] U.S. Geological Survey. (2018). Magnesium Statistics and Information.
sampai-agustus-produksi-garam-jatim-9037-ton U.S. Department of the Interior, Reston, Virginia. [Online]. Available:
[2] C. J. Hsu, C. Y. Chou, C. H. Yang, T. C. Lee, J. K. Chang, https://minerals.usgs.gov/minerals/pubs/commodity/magnesium/
"MoS2/graphene cathodes for reversibly storing Mg2+ and Mg2+/Li+ in [22] X. Chen, F. L. Bleken, O. M. Løvvik, F. Vullum-Bruer, "Comparing
rechargeable magnesium-anode batteries," Chemical Communication electrochemical performance of transition metal silicate cathodes and
2016, vol. 52, 1701-1704, Dec. 2015. chevrel phase Mo6S8 in the analogous rechargeable Mg-ion battery
[3] D. Aurbach, Y. Cohen, M. Moshkovich, "The study of reversible system," Journal of Power Sources 2016, vol. 321, pp. 76–86, Jul. 2016.
magnesium deposition by in situ scanning tunneling microscopy,"
Electrochemical Solid-State Letters 2001, vol. 4, pp. A113-A116, Jun.
2001.
[4] D. Aurbach, Z. Lu, A. Schechter, Y. Gofer, H. Gizbar, R. Turgeman,
Y.Cohen, M. Moshkovich, E. Levi, "Prototype systems for rechargeable
magnesium batteries," Nature 2000, vol. 407, pp. 724–727, Oct. 2000.
[5] D. Saepuloh. (2013). Peluncuran Teknologi Pengolahan Limbah
“Bittern” menjadi padatan Magnesium dan Sistem Informasi Garam
Rakyat oleh Wakil Gubernur Jawa Timur. Dipresentasikan dalam
pembukaan dan peluncuran teknologi pengolahan limbah bittern Jawa
Timur. [Online]. http://p3sdlp.litbang.kkp.go.id/
[6] H. D. Yoo, I. Shterenberg, Y. Gofer, G. Gershinsky, N. Pour, D.
Aurbach, "Mg rechargeable batteries: an on-going challenge," Energy &
Environmental Science 2013, vol. 6, pp. 2265-2279, May 2013.
[7] H. Kuwata, M. Matsuia, N. Imanishi, "Passivation layer formation of
magnesium metal negative electrodes for rechargeable magnesium
batteries," Journal of The Electrochemical Society 2017, vol. 164, pp.
A3229-A3236, Oct. 2017.
[8] H. R. Bakhsheshi-Rad, M. H. Idris, M. R. Abdul-Kadir, A. Ourdjini, M.
Medraj, M. Daroonparvar, E. Hamzah, "Mechanical and bio-corrosion
properties of quaternary Mg–Ca–Mn–Zn alloys compared with binary Mg–
Ca alloys," Materials and Design 2014, vol. 53, pp. 283–292, Jul. 2013.
[9] I. Shterenberg, M. Salama, Y. Gofer, E. Levi, D. Aurbach, "The
challenge of developing rechargeable magnesium batteries," Materials
Research Society Bulletin 2014, vol. 39, pp. 453-460, May 2014.
[10] J. Richard, A. Benayad, J. F. Colin, and S. Martinet, "Charge transfer
mechanism into the chevrel phase Mo6S8 during Mg intercalation," The
Journal of Physical Chemistry C 2017, vol. 121, pp. 17096–17103, Jul.
2017.
[11] M. Matsui, "Study on electrochemically deposited Mg metal," Journal of
Power Sources 2011, vol. 196, pp. 7048-7055, Aug. 2011.
[12] M. Ranga. (2011). The Triple Helix Concept. Triple Helix Research Group,
Stanford, California. [Online]. Available:
https://triplehelix.stanford.edu/3helix_concept
[13] M. S. Park, J. G. Kim, Y. J. Kim, N. S Choi, J. S. Kim, "Recent advances
in rechargeable magnesium battery technology: a review of the field's
current status and prospects," Israel Journal of Chemistry 2015, vol. 55,
pp. 570 – 585, Mar. 2015.
[14] N. Yabuuchi, K. Kubota, M. Dahbi, S. Komaba, "Research Development
on Sodium-Ion Batteries," Chemical Reviews 2014, vol. 114, pp. 11636–
11682, Nov. 2014.
[15] P. Saha, M. K. Datta, O. I. Velikokhatnyi, A. Manivannan, D. Alman, P.
N. Kumta, "Rechargeable magnesium battery: current status and key
challenges for the future," Progress in Materials Science 2014, vol. 66,
pp. 1-86, Oct. 2014.
[16] R. F. H. Hernandha, A. Purniawan, Y. Setiyorini, "Micro-structure and
compressive strength correlation analysis of Mg-Fe-Ca alloy as
biodegradable material for orthopedic devices application," in Proc. 2016
the 2nd International Seminar on Science and Technology (ISST), pp.
245-246.
[17] R. F. H. Hernandha. (2015). Perbolant, implan tulang permanen
biodegradable berbahan dasar paduan Magnesium-Kalsium berpori
sebagai solusi alternatif penyalur hasil pengolahan limbah bittern pada
tambak garam di Jawa Timur. Dipresentasikan dalam kompetisi karya
tulis Writing Competition Beswan Djarum 2014/2015 regional. Surabaya,
Jawa Timur (Sep. 2015)
[18] R. F. H. Hernandha. (2018). Belajar dari Taiwan, Triple Helix yang
Mampu Dijalankan. Dipublikasikan dalam kompetisi blog opini pada
agenda tahunan Indonesia Development Forum 2018. [Online].
https://indonesiadevelopmentforum.com/2018/blog/4692-belajar-
dari-taiwan-triple-helix-yang-mampu-dijalankan
[19] S. Castiglioni, A. Cazzaniga, W. Albisetti, J. A. M. Maier, "Magnesium
and osteoporosis: current state of knowledge and future research
directions," Nutrients 2013, vol. 5, pp. 3022-3033, Jul. 2014.

Optimalisasi Strategi Pengembangan
Jaringan Spam (Sistem Penyediaan Air
Minum) Kota Kendari Sulawesi Tenggara
Melalui Pembangunan Intake Tabanggele
Menuju One Integrated Water Treatment Plan
Of Kendari City
Tryantini Sundi Putri, S.T., M.Eng 1), Andhy Romdani, S.T., M.Eng 2)
1) Universitas Halu Oleo, email: tryantinisputri@uho.ac.id
2) Universitas Siliwangi, email: andhyromdani@unsil.ac.id
Abstract—Petunjuk Permasalahan penyediaan air minum bagi
warga Kota Kendari saat ini sangat mendesak dicari solusinya
seiring dengan perkembangan kota dan pertambahan penduduk.
Distribusi air bersih di kota Kendari tidak merata dengan
jumlah cakupan daerah pelayanan air minum tiap tahun
menurun hingga mencapai 21,96 persen. Disisi lain perencanaan
yang dilakukan belum optimal. Ketidakmampuan PDAM Tirta
Anoa Kota Kendari untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi
pelanggan berdampak pada menurunnya jumlah pelanggan tiap
tahun, sementara ketersediaan sumber air baku cukup besar.
Ketidak mampuan PDAM Kendari diakibatkan karena
kurangnya kapasitas produksi air bersih yang saat ini hanya
mencapai 297 L/detik. Selain itu kondisi jaringan pipa yang
sudah tua mengakibatkan kebocoran yang cukup tinggi sehingga
kehilangan air mencapai 61,87 persen. Untuk mengatasi hal
tersebut dibutuhkan jaringan distribusi air bersih yang baik dan
mampu melayani kebutuhan air bersih bagi warga Kota
Kendari. Perencanaan pengembangan tersebut dibuat secara
utuh dan membentuk suatu sistem jaringan distribusi air bersih
yang terpadu.
Pembangunan Intake baru di Desa Tabanggele (Intake
Tabanggele) terusan DAS Konaweha merupakan salah satu
strategi pemerintah Kota Kendari untuk meningkatkan
kapasitas produksi air minum hingga 800 L/detik. Penelitian ini
bertujuan menganalisis perhitungan kebutuhan air bersih,
ketersediaan air meliputi kuantitas,kualitas dan kontuinitas
sumber air, serta analisis hidrolis jaringan distribusi
perpipaannya menggunakan program Epanet.
Hasil perhitungan proyeksi dan analisis jumlah kebutuhan air
minum Kota Kendari adalah 251,82 L/detik pada 2022 dan
379,59 L/detik pada 2027 dengan konsumsi air rata-rata sebesar
130 L/org/hari dengan jumlah pelanggan = 17,385 SR. Dengan
total kapasitas produksi PDAM Tirta Anoa sebesar 1097 L/detik
yang meliputi intake Tabanggale 800 L/detik dan intake (lama)
Sungai Pohara sebesar 297 L/detik. Ketersediaan air baku dari
pembangunan Intake Tabanggale pada 2022 sebesar 988.68
L/dtk dan 2027 sebesar 1008,43 l/dtk dinilai mampu mencukupi
seluruh kebutuhan air bersih masyarakat Kota Kendari. Kondisi
aliran pada sistem jaringan pipa distribusi air dapat mengalir
selama 8 jam/hari. Dari hasil simulasi juga menunjukkan nilai
pressure (tekanan) node warna biru di beberapa junction bernilai
negatif sehingga menyebabkan kecepatan aliran berkurang. Uji
1
analisis menunjukkan kualitas air Intake Tabanggale telah
memenuhi nilai mutu untuk air baku, air bersih, dan air minum.
Index Terms—PDAM Kendari, SPAM Kendari, Intake
Tabanggele
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Perkembangan Kota Kendari sebagai ibukota
Provinsi Sulawesi Tenggara dengan luas 267,37 km2 dan
jumlah populasi 359.371 jiwa (BPS Kota Kendari, 2018)
dengan kepadatan penduduknya yang mencapai 1.215
jiwa/km2 menimbulkan permasalahan dalam penyediaan air
2minum untuk keperluan pokok sehari-hari warganya.
Sistem penyediaan air minum (SPAM) Kota Kendari
mengandalkan pasokan air baku yang berasal dari Sungai
Pohara yang berada di daerah aliran sungai (DAS) Konaweha.
Kapasitas produksi air baku dari Sungai Pohara tersebut tidak
mencukupi kebutuhan air warga Kota Kendari yang semakin
meningkat.
Cakupan pelayanan SPAM PDAM Kota Kendari pada
2018 mencapai 21.96% dengan jumlah pelanggan yaitu 17.385
sambungan rumah tangga dari jumlah penduduk 359.371 jiwa.
Kinerja PDAM menurut data audit BPKP pada BPPSPAM
belum optimal khususnya IPA Punggolaka (PDAM Tirta Anoa
dengan intake di Sungai Pohara) yang memprioritaskan
melayani 6 kecamatan dari 10 kecamatan di Kota Kendari
(kecamatan Mandonga, Kendari, Kendari Barat, Wua-Wua,
Kadia dan Puuwatu) dengan kapasitas produksi air minum
hanya sebesar 297 l/detik dari kapasitas desain 400 liter/detik,
serta tingkat kehilangan air sebesar 61,87% yang melebihi
angka toleransi nasional kehilangan air sebesar 20 persen
sedangkan kecamatan lainnya dilayani oleh PDAM Wanggu,
PDAM Anggoeya, Matabondu dan PDAM Andounohu.
Hal tersebut berdampak terhadap menurunnya jumlah
pelanggan tiap tahun. Sedimentasi lumpur tambang dan

aktivitas eksplorasi perkebunan sawit juga menambah
permasalahan kualitas sumber air minum dari sungai-sungai
yang telah tercemar.
Analisis pengaruh penambahan debit kebutuhan dalam
Perencanaan Intake baru Kota Kendari difokuskan terhadap
optimalisasi strategi pengembangan jaringan SPAM (Sistem
Penyediaan Air Minum) Kota Kendari Sulawesi Tenggara
melalui pembangunan intake Tabanggele menuju one
integrated water treatment plan of Kendari City.
1.2 Tujuan Penelitian
1. Melakukan analisis pembangunan Intake Tabanggele
sebagai pengembangan Sistem Jaringan Distribusi Air
Minum di Kota Kendari.
2 Menganalisis sistem jaringan air bersih PDAM Tirta
Anoa dengan kondisi eksisting yang ada sekarang.
II. METODOLOGI PENELITIAN
2.1 Lokasi Penelitian
Penentuan wilayah pelayanan intake Tabanggele
didasarkan pada potensial pengembangan pelayanan SPAM
perpipaan Kota Kendari 2016-2025, yaitu pada pelayanan
PDAM Tirta Anoa di 6 kecamatan yang memiliki tingkat
kepadatan penduduk tinggi dan potensi populasi yang dapat
dilayani sangat signifikan, sehingga merupakan kecamatan
yang sangat potensial sebagai wilayah pengembangan
pelayanan PDAM.
Gbr. 1 Peta cakupan eksisting jaringan pipa distribusi PDAM Kota
Kendari
2.2 Data yang Digunakan
Data yang digunakan dalam pengembangan
SPAM dengan perencanaan intake baru ini adalah data primer
dan data sekunder.
1. Data primer adalah data yang diperoleh dari pengukuran
langsung di lapangan , yaitu kondisi morfologi daerah
perencanaan debit maksimum, debit minimum, debit rata-
rata, debit andalan, sedimen transport, kondisi topografi
karakteristik/struktur tanah, kualitas air baku dan
kontuinitas air baku serta kontuinitas layanan.
2
2. Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak
langsung atau data yang dikumpulkan dan disatukan oleh
studi-studi sebelumnya yang diterbitkan oleh berbagai
instansi terkait, yaitu data kependudukan, sosio ekonomi,
data cuaca dan iklim, peta dasar, topografi, hidrologi, tata
guna lahan, dan kondisi eksisting sistem air minum kota
kendari.
2.3 Metode Pengumpulan Data san Analisis
Metode pengumpulan data untuk penelitian ini dilakukan
dengan metode survei/observasi di lokasi penelitian,
wawancara, studi dokumentasi, studi kepustakaan yang
selanjutnya dilakukan proses pengolahan dan analisis data
untuk menjawab rumusan masalah dan menjawab hipotesa
yang telah diajukan. Analisis Data yang digunakan adalah :
1. Analisis Geomorfologi, untuk mengetahui kondisi
morfologi daerah perencanaan, kondisi pola aliran sungai,
elevasi, sudut lereng, pola kontur, bentuk bukit, kerapatan
sungai, luas DAS dll.
2. Analisis data topografi, untuk mengetahui beda tinggi dan
jarak antara sumber dengan pelayanan, jalur pipa
transmisi dan distribusi, rencana tapak bangunan (Intake,
WTP, Reservoir).
3. Analisis kuantitas sumber air baku di lokasi perencanaan,
dilakukan dengan perhitungan debit (Q) dari hasil
pengukuran luas penampang aliran (A) dan kecepatan
aliran (V). Rencana alokasi air baku lebih besar daripada
debit yang diperlukan, sekurang-kurangnya 130% dari
kebutuhan air. Karena kondisi iklim sangat
mempengaruhi fluktuasi air baku baik dari aspek
kualitatif maupun kuantitatif, level air banjir, dan level air
minimum. Bilamana kapasitas pengambilan air baku tidak
dapat tercapai karena keterbatasan sumbernya akibat
musim kemarau, maka dilakukan konversi debit surplus
pada musim hujan menjadi debit cadangan pada musim
kemarau. Debit cadangan ini harus melebihi kapasitas
kebutuhan air minum.
4. Analisis perhitungan ketersediaan air (kontinuitas), untuk
menentukan besarnya air yang tersedia atau debit andalan.
Debit andalan sendiri adalah debit sungai yang bisa
diandalkan dapat terjadi pada waktu-waktu tertentu. Debit
andalan dipakai sebagai debit rencana untuk memenuhi
kebutuhan air minum. Perhitungan ketersediaan air/neraca
air (water balance) berfungsi untuk mengetahui apakah
debit yang dibutuhkan untuk kebutuhan air dapat
mencukupi. Perhitungan neraca air dengan analisis data
hujan, data klimatologi dan analisis Mock yaitu dengan
mengurangkan debit yang tersedia dengan debit air yang
dibutuhkan. Parameter-parameter dalam model Mock
adalah sebagai berikut:
a) Koefisien infiltrasi untuk musim kemarau (Cds) dan
musim penghujan (Cws).

b) Initial soil moisture (ISM)
c) Soil moisture capacity (SMC)
d) Initial ground water resesion constant (K)
5. Analisis kualitas Air Baku, Analisis kualitas air ini
bertujuan untuk mengetahui kondisi fisik, kimiawi, dan
kondisi biologis air baku yang nantinya dipergunakan
untuk merencanakan sistem pengolahan air.
6. Analisis Perencanaan pengembangan
Sistem Penyediaan Air Minum :
a) Perhitungan jumlah penduduk dan kepadatan
penduduk untuk menentukan daerah layanan serta
analisis sosial ekonomi masyarakat di wilayah
pelayanan.
b) Analisis proyeksi kebutuhan total air minum, dan
kebutuhan rata-rata setiap pemakai setelah ditambahkan
25% sebagai faktor kehilangan air (kebocoran).
Kebutuhan total ini dipakai untuk mengecek apakah
sumber air yang dipilih dapat digunakan. Kebutuhan air
minum ini didasarkan atas pelayanan dengan
menggunakan Hidran Umum (HU).
c) Perencanaan sistem pengolahan air Minum :
perencanaan intake (penyadap), WTP dan jaringan
distribusi air minum.
Analisis jaringan pipa distribusi dilakukan melalui
simulasi kondisi hidrolis di jaringan perpipaan dengan
menggunakan software EPANET 2.0. Tahap pelaksanaan
penelitian dapat di lihat pada Gbr. 2 di bawah ini :
Gar..2. Diagram alir pekerjaan
3
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Proyeksi Jumlah Penduduk
Ada beberapa metode untuk menghitung proyeksi
jumlah penduduk tersebut, diantaranya adalah metode
Aritmatik, Geometrik dan metode Eksponensial. Kurun
waktu perencanaan sistem distribusi air minum Kota
Kendari adalah 10 tahun, dari tahun 2018 sampai dengan
tahun 2027. Pertambahan penduduk dapat dianalisis
dengan menggunakan tiga metode, yaitu:
a. Metode aritmatik
Pn = Po + (n.q) Po
b. Metode geometric
Pn = Po . (1 + q)n
c. Metode eksponensial
Pn = Po.e nq
Metode proyeksi penduduk yang dipilih adalah metode
yang memiliki nilai faktor korelasi paling besar
(mendekati 1) dan nilai standar deviasi paling kecil. Dari
hasil perhitungan perbandingan tiga metode tersebut,
metode yang terpilih yaitu metode aritmatika.
Gbr. 3. Proyeksi Jumlah Penduduk Kota Kendari Tahun 2017-2027
3.2 Proyeksi Kebutuhan Air
Kebutuhan air rata - rata harian diperoleh dari hasil
perhitungan kebutuhan air total (kebutuhan air domestik dan
kebutuhan air non domestik ( Qt ) ditambah dengan
kebocoran air ( Qk ) sebesar 25 % dari kebutuhan total (Qt).
Sedangkan angka kebocoran 25 % adalah angka rata-rata
kebocoran yang ideal menurut Ditjen Cipta Karya tahun 2000,
agar PDAM dapat berkembang menjadi PDAM yang
sehat. Perhitungan kebutuhan air bersih sebagai berikut :
a. Hitung kebutuhan air bersih dengan mengalikan
jumlah jiwa yang akan dilayani sesuai dengan tahun
perencanaan (P) dikali kebutuhan air perorang
 4

perhari (q) dikali faktor hari maksimum (fmd = 1,05-
1,15)
Q =Pxq
Qmd = Q x fmd
Kebutuhan harian max:
= 1,1 x kebutuhan air rata-rata
Kebutuhan jam puncak
= 1,5 x kebutuhan harian
b. Hitung kebutuhan total air bersih (Qt), dengan factor
kehilangan air
25% dengan persamaan : Qt = Qmd
x 100/80
c. Bandingkan dengan hasil pengukuran debit sumber
air baku apakah dapat mencukupi atau tidak, jika
tidak mencukupi cari alternatif sumber baku lain.
Dari hasil perhitungan kebutuhan air bersih di
Kecamatan Kendari, maka dapat dibuat tabel
rekapitulasi kebutuhan air bersih (Domestik dan Non
Domestik) seperti Tabel 1 berikut ini.
Tabel. 1. Rekapitulasi Kebutuhan Air Bersih di PDAM Tirta Anoa
3.4 Analisis Ketersediaan Air
Ketersediaan air di Daerah Aliran Sungai Konaweha
(Pohara) penting untuk diketahui agar dapat dimanfaatkan
secara optimal dan bijaksana. Ketersediaan air yang relatif
tetap namun kebutuhan air yang terus bertambah seiring
dengan pertambahan penduduk mendorong untuk
dilakukannya analisis mengenai ketersediaan air di
Daerah Aliran Sungai Konaweha (Pohara) di desa
Tabanggele, kec. Sampara.
Analisis ketersediaan air pada penelitian ini
menggunakan model hidrologi Mock. Analisis potensi
ketersediaan air baku dilakukan dengan menganalisis
kuantitas sumber air. Kuantitas sumber air di analisis
dengan melakukan pengukuran langsung diapangan
terhadap beberapa parameter sumber air baku, yaitu:
a) Data penampang sungai, dilakukan
survei lapangan untuk mengumpulkan data
penampang sungai yaitu L (lebar airan) dan h
(kedalaman aliran). Pengukuran dilakukan
menggunakan meteran.
b) Data kecepatan aliran rata-rata, Pengukuran
dilakukan pada ¼L, ½L, dan ¾L dengan
kedalaman 0,2h,
0,6h, dan 0,8h. Pengukuran dilakukan
menggunakan current meter.

Kebutuhan air Domestik

dan Non Domestik (Lt/det)
No Kecamatan
Tahap I Tahap I
(2022) (2027)
1 Mandonga 186.724 202.079

2 Kendari 145.604 159.061

Gbr. 4. Pengukuran Debit Sungai
Kendari
165.306 187.002
3 Barat
Perhitungan debit air sungai :
4 Wua-wua 161.734 174.866
Debir air (Q) = kecepatan aliran rata-rata (V) x
5 Kadia 172.649 193.774 Luas penampang aliran (A)
6 Puwatu 156.622 171.651
Dan hasil debit sungai terukur dilapangan di intake
Total 988.689 1,088.43 Tabanggele sebesar 124,26 m3/dtk atau 124.260
liter/detik, sedangkan pada debit sungai intake pohara
intake lama sebesar 254,57 m3/dtk atau 254.573
3.3 Analisis Kualitas Air Bersih
liter/detik.
Berdasarkan pemeriksaan terhadap beberapa kualitas Dari perhitungan neraca air diperoleh hasil bahwa
air di intake Tabanggele, diketahui bahwa kualitas Sungai terjadi penurunan ketersediaan air jangka pendek setelah
Pohara sebagai air kelas I yang diperuntukkan untuk air puncak maximum (pada bulan mei) yaitu pada musim
bersih dikategorikan baik, karena parameter kualitas kemarau (bulan juni – november). Pada bulan Mei
airnya berada dibawah standar. Dengan nilai PH 7.13, sebesar 261,500 l/detik, bulan juni sebesar 148,300
kesadahan 0.52 mg/l, tidak mengandung E-coli,
l/detik, dan bulan November 12,100 l/detik. Sedangkan
kekeruhan 32,5 NTU dan FE sebesar 0,05 mg/l.
 5

pada musim penghujan (bulan Desember – Mei) terjadi dari jam 16.00-00.00. Sisa tekanan disesuaikan dengan
kelebihan air yang cukup besar, yaitu pada bulan kondisi batas maksimal maka dikhawatirkan pada jam
Desember sebesar 69,800 l/detik dan bulan April sebesar puncak, sisa tekanan akan menurun melewati batas
135,500l/detik. minimal sehingga kebutuhan tidak dapat terpenuhi.
Pada Gambar 5 menunjukkan bahwa ketersediaan air
Hasil simulasi pada Gambar 3.4 terdapat beberapa
pada PDAM pusat (pohara) DAS Konaweha terjadi kelebihan
node yang tidak memenuhi standar tekanan. Semua node
air (surplus), sehingga masih dapat memenuhi kebutuhan air
sampai dengan akhir tahap I (2022) dan Tahap II (2027). yang letaknya berjarak dekat dengan pompa/booster/IPA
akan memiliki tekanan yang besar dikarenakan besarnya
head pada pompa distribusi yang terpasang. Besarnya
tekanan pada node dipengaruhi oleh head air yang
dikirim dari sumber utama. Dengan semakin menjauhi
sumber air maka tekanan akan semakin kecil karena
adanya energi friksi (pengurangan energi karena adanya
gesekan) antara fluida (air) dengan dinding pipa, tingkat
kekasaran (faktor umur pipa) dari dinding pipa,
turbulensi dalam fluida, perubahan diameter pipa,
pemasangan dari bend (belokan) maupun valve (katup)
Gbr. 5. Hubungan Ketesediaan Air Dengan Kebutuhan Air dan akibat dari kebocoran dapat menyebabkan
pengurangan nilai tekanan pada wilayah distribusi.
3.5 Analisis Hidrolika Dalam Sistem Jaringan Terdistribusi Gambar 6 berikut ini merupakan hasil simulasi tekanan
dan aliran pada PDAM Pohara.
Hasil running pada Epanet menunjukkan tanda/node
berwarna merah dan kuning yang berarti jaringan distribusi air
bersih berjalan lancar tanpa ada masalah (tabel lampiran hasil
running epanet). Dengan tekanan aliran yang cukup, seperti
pada junction 2 (tekanan sebesar 1046.04 m, head sebesar
1081.04 m, flow sebesar 105,76 LPS, dan velocity sebesar 3.4
m/s) sampai dengan junction 75 (tekanan sebesar 453.60 m,
head sebesar 781.94 m, flow sebesar 0.4 LPS, dan velocity
sebesar 0.2 m/s), dan junction 208 (tekanan sebesar 1025.99
m) sampai junction 264 sebesar (tekanan sebesar 483.04 m
head sebesar 490.04 m, flow sebesar 0.31 LPS, dan velocity
sebesar 0.07 m/s). Tekanan menurun disebabkan karena
adanya perbedaan elevasi pada lokasi tersebut. Pada model
jaringan memiliki peningkatan elevasi dari reservoir hingga
titik terjauh, hal ini dapat menyebabkan penurunan tekanan
secara signifikan. Tingginya tekanan juga dipengaruhi
oleh diameter pipa, semakin kecil diameter pipa maka
tekanan juga akan tinggi.
Dari hasil simulasi juga menunjukkan pressure
(tekanan) node warna biru dibeberapa junction bernilai
negatif, sehingga menyebabkan kecepatan aliran
berkurang yang berarti pipa kurang/tidak lancar atau
tidak dapat mengalirkan air secara baik ke seluruh untuk
wilayah pelayanan PDAM. Seperti pada junction 76
(dengan pressure sebesar -851.10 m head sebesar -
815.10 m, dan velocity sebesar 0.92 m/s) sampai dengan
junction 207 (tekanan sebesar - 2215.77 m). Pada hasil
simulasi program Epanet 2.0 dengan
operasional pompa ditargetkan 8 jam/hari yang dimulai
 6

Penambahan air baku dengan kapasitas

produksi 800 l/detik pada intake di
Tabanggele

Gbr. 6. Distribusi jaringan perpipaan terhadap tekanan dan aliran pada daerah pelayanan PDAM Pohara Tirta Anoa

Gbr. 7. Hasil Running distribusi jaringan perpipaan terhadap tekanan dan aliran
 7

WTP masih kurang mampu untuk bisa melayani beberapa

IV. KESIMPULAN DAN SARAN kecamatan secara keseluruhan.

4.1 Kesimpulan
V. DAFTAR PUSTAKA
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan pada bab Anonim. Departemen Pemukiman dan Prasarana
sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Wilayah.2002. Pedoman / Petunjuk Teknik dan Manual.
1. Analisis pengembangan jaringan SPAM kota kendari Jakarta : Balitbang Departemen KimpraswiL
melalui pembangunan Intake Tabanggele harus
memenuhi cakupan pelayanan kebutuhan air bersih yang Anonim. DPU Ditjen Cipta Karya. 1987. Buku Utama
memenuhi syarat kualitas, kuantitas, dan kontinuitas, Sistem Jaringan Pipa. Diktat Kursus Perpipaan
yaitu: Departemen Pekerjaan Umum Direktorat
a. Dari hasil uji analisis kualitas air untuk semua Jenderal Cipta Karya Direktorat Air Bersih.
parameter yang diuji terlihat bahwa kualitas sumber air Jakarta : Departemen Pekerjaan Umum, Direktoral Jenderal
Cipta Karya, Direktorat Air Bersih.
baku pada Intake Tabanggele memenuhi baku mutu
sebagai air baku, air bersih atau air minum, Dari hasil Anonim. Peraturan Menteri Pekerjaan
uji tersebut maka diperlukan pengolahan sebagian agar Umum Nomor : 18/PRT/M/2007.
air baku sesuai dengan baku mutu air minum, unit
pengolahan yang dilakukan yaitu terdiri dari koagulasi, Pedoman Penyusunan Perencanaan Teknis Pengembangan
flokulasi, sedimentasi, filtrasi, dan desinfeksi. Sistem Penyediaan Air Minum. Jakarta :
b. Hasil perhitungan proyeksi dan analisis jumlah Departemen Pekerjaan Umum, Direktoral Jenderal Cipta
kebutuhan air minum Kota Kendari adalah 251,82 Karya
L/detik pada 2022 dan 379,59 L/detik pada 2027. Total
sumber air baku dari intake baru di desa Tabanggele Linsley,Ray K. & Joseph B. Franzini .1996. Teknik
dengan penambahan kapasitas produksi 800 l/detik Sumber Daya Air Jilid I dan II, Edisi Ketiga,
ditambah dengan kapasitas produksi dari intake sungai Terjemahan Ir. Djoko Sasongko, M.Sc., Jakarta
:Erlangga.
pohara (lama) 297 l/dtk yaitu sebesar 1097 l/dtk.
Bedasarkan total kebutuhan air bersih untuk PDAM Review Rencana Induk Sistem pengelolaan Air Minum Kota
Puuwatu tahun 2022 sebesar 988.68 l/dtk sedangkan Kendari, 2016
tahun 2027 sebesar 1008,43 l/dtk sehingga dapat
mencukupi seluruh kebutuhan air bersih masyarakat Triatmodja, R., WaterNet 1.1, Nafiri,
prioritas Kota Kendari (6 kecamatan) , namun belum Yogyakarta
dapat memenuhi untuk kebutuhan air bersih seluruh
Kota Kendari. Triatmodjo, B, 1995, Hidrolika I, Beta
2. Hasil analisis dan simulasi hidrolis jaringan perpipaan Offset, Yogyakarta.
adanya jaringan distribusi air bersih berjalan lancar dan
Triatmodjo, B, 1996, Hidrolika II, Beta
tidak lancar. Dengan adanya perbedan tekanan di tiap
Offset, Yogyakarta.
junction. Tekanan menurun disebabkan karena adanya
perbedaan elevasi pada lokasi tersebut. Tingginya tekanan Walsky, T. M, 1996, Analysis of Water Distribution
juga dipengaruhi oleh diameter pipa. Terdapat beberapa System, Van Nostrand Reinhold, Melbourne,
node yang tidak memenuhi standar tekanan. Semua node Australia.
yang letaknya berjarak dekat dengan pompa/booster akan
memiliki tekanan yang besar dikarenakan besarnya head
pada pompa distribusi yang terpasang.
Dengan semakin menjauhi sumber air maka tekanan akan
semakin kecil.

4.2 Saran

Oleh karena untuk jangka panjang dapat dilakukan

perbaikan atau pergantian aksesoris atau dimensi pipa,
penambahan pompa baru dibeberapa titik, dan penambahan
kapasitas reservoir dikarenakan tekanan yang dihasilkan dari
 The Practices of Artificial Intelligence in 21st
Century for Finding the Best Talents in
Worldwide Company
Surya Dinata1
1
IMBA, College of Technology Management, National Tsing Hua University, 101, Section 2, Kuang-Fu Road, Hsinchu
30013, TAIWAN, email: s106077437@m106.nthu.edu.tw
Abstract— Ever since the Internet has been presented in
this planet, labor markets have expanded its coverage over the
world, which has made the hiring process in a company’s
human resources more and more challenging. However,
Artificial Intelligence (AI) has taken up an important role to
accelerate the process of finding potential employees in
multinational company. Our research contribution is to
examine how AI upgrades the hiring process and people
management within companies, and what exactly might be the
obstacles to collaborating with the AI technology. In addition,
we would like to introduce AI technologies, which assists the
hiring process in the company. They are Fama and HireVue.
Fama is a platform that helps the HR division in their hiring
process by conducting web searches on a candidate and
scanning their public social media for negative or positive
attributes. Meanwhile, HireVue analyzes candidates’ facial
expressions and speech from interviews, and then provides
clients with feedback of the candidates’ many qualities. Based
on secondary data, both these AI technologies have been
proved that have a number of significant benefits for hiring
process as well as have some positive and negative perspective
on organizational behavior.
Index Terms— Artificial Intelligence, Human Resource,
Hiring Process, Video Intelligence, Social Media Screening,
HireVue, Fama.
I. INTRODUCTION
To support a business process in the era of industry 4.0,
having a fit candidate to achieve the company’s goal is a
prerequisite. Industry 4.0 has required a talent who is agile
to adopt with dynamic business environment. Its
phenomenon challenges the company particularly in the
recruitment. Moreover, since last decade, human capital has
been tremendously diverse due to some reasons. One of
reasons is emerging of hiring platforms that cause people
are able to apply a job not only for vacancy in their countries
but also in many countries. However, many Human
Resource (HR) managers in multinational companies from
various business industries have tackled those complexities
of hiring process through Artificial Intelligence (AI) as their
solutions.
Previously, hiring as one of job descriptions of HR
department took so much time to find the right person for
each specific job. They frequently try to select the person
for both doing the job its self and adopting the company
culture. According to Gathright (2017), Hilton who has a
mission to be the most hospitable company in the world,
had to spend 42 days to hire people in one term of
recruitment. This situation could slower Hilton to obtain
their company mission.
The hiring process sometimes also generate added cost
for the company when the process could not meet the timing
target since it will relate to the sales number in several cases
in automotive companies. For instance, according to Perez
(2017), Sonic Automotive that is one of the largest
automotive retailers in the country with more than 100
locally branded dealerships nationwide, had experienced to
sales vacancies cost their dealerships an average of 500
USD per day in lost sales. It was a big number in daily cost
that can reduce the total of company profit.
On the other aspect of discomfort in hiring process is the
talent lived in the different region even country thus hiring
team most of the time had to travel to conduct the interview. It
generated not only transportation costs, such as, airplane or
train ticket, but also it costed the time to do that kind of activity.
This condition happened, for instance, Atlanta Public School,
which has to find A+ teacher for their students in several
regions to meet and interview them. Sometimes it became
worsen when they did not find teacher who fits with their
requirements after doing the long trip. Based on Hall (2017),
Atlanta Public School had an inconvenient experience both for
candidate and hiring team at the same time for doing some
interviews and it costed much money for travel and time.
Therefore, in education business, they also argue that
traditional method in the interview was not efficient to find
out their talents.
Furthermore, HR team also consumed a lot of hard
times to read, recognized and categorized their applicants’
Curriculum Vitae (CV) since they are favorite company for
the labor, consequently, they very often to received more
than 150 applicants within one week. Taking Cathay Pacific
as an example, According to Tsang (2018), Their HR team
consistently receives more than 300 applicants within a
week. Most of applicants were chasing a job as a customer
service or a flight attendant. Consequently, as HR team,
they had to do some very manual screening stages which
were CV screening for the large number of applicants, did
a phone call (phone screen), conducted group interview
step, then, a final interview in person with their end user or
potential manager. From that process, the hard time came in
between candidate who had successful in phone screening
step they did show up into group interview session.
However, even though they had spent their time to find the
best talents for every position they had, the method was not
efficient even costly.
Hiring process was even more demanding for fast–
fashion industry to have a right employee who can adopt
their dynamic-culture business. On this business, the
employee has to have not only a desire to work hard but also
need to be more creative to follow its trend. However,
although some company have developed digital
recruitment, they still face a struggling period to do the
hiring process. To illustrate it, according to Korellis (2018),
Urban Outfitters has developed the digital process for their
hiring process since they moved from paper applications
into online application. They used applicant-tracking
system but they realized that they had not founded out the
solution to recognized their best candidates or understand
who they really need. Moreover, this situation came when
their employees interacted directly with the customers.
Therefore, they needed to found their emotions and
personalities. A profile or a resume can show some
experience but it does not tell how that person will respond
to a customer or present themselves on a sales floor. Those
intangible qualities that are most critical to our operations
that could not be captured effectively through that system.
The other report came from the leader of
telecommunication in the US. It was Vodafone. According
to Ross (2017), They stated the traditional method of their
hiring process does not fit to complete their need in finding
their employee, especially for retail position. On that
method, they had to do typical applications and phone
screenings where it was not able to see
how the candidates will be interacting with the
customers. Whereas, they believe that position is the
representative of their company’s name in front of customer
and it is important to be able to gauge their excitement and
behavior. In addition to that, it also had taken too much time
and too many potential talents before making a hire. In
average, it took at least 23 days. It was too long for the
telecommunication company as big as Vodafone.
Those kind of complaints regarding hiring process
could be solved by AI solution for HireVue. HireVue assists
global enterprises experience a competitive advantage in the
modern talent marketplace through video interviewing
software and assessments. Hiring Intelligence on this
platform is transforming the way companies discover, hire,
and develop talent. By mixing video interviews with
predictive, validated I-O science and artificial intelligence,
HireVue augments human decision-making in the hiring
process and provides higher quality talent, faster.
Nowadays, HireVue works with over 700 customers
globally, including leading brands such as Vodafone, Intel,
Tiffany & Co., Honeywell, Qantas, Carnival Cruise Line,
and 40% of Fortune’s Most Admired. They help their
clients lead their industries with 50% faster growth, 29%
less turnover and 13% more top performers. HireVue had
experienced to be top 10 “Most Promising Companies” in
America by Forbes and is a five-time winner of “Top HR
Product of the Year” by HR Executive Magazine.
After elaboration all of the above, thus we
hypothesize
H1: HireVue could boost the performance of hiring
process in those companies through developed AI
technologies.
Ensuring the characteristic or behavior of applicants
during hiring process is also vital in order to recognize their
ability to adopt the workplace culture. It is similar from the
previous research of Zhao et al. (2018) that mentioned a
positive relation between culture and innovation output.
However, it would be difficult to observe it with one
interview even find it in a group discussion. Nevertheless,
Fama came out with the brilliant AI idea to solve the
uncertainty of working behavior from applicant through
social media.
From fama official website, we can see data regarding
70% of employers use social media and online search
engines to screen candidates before hiring, up significantly
from 60% last year and 11% in 2006. Moreover, more than
half of employers (54%) have found content on social media
or during an online search that caused them to fire or not to
hire an individual. Therefore, Fama would be an effective
method to find out the
potential employee’ attitude in workplace before we
send them a working contract.
In addition to that, fama has some innovations to help
hiring process. Fama accounts has ability to configure in
order to highlight only the behaviors or culture in your
organization deems relevant to a hiring decision. Moreover,
the companies are allowed to pull in resume data from their
ATS or use Fama’s cloud-hosted web app. Fama will then
conduct a comprehensive social, news and web search and
identify relevant publicly available information.
After elaboration all of the above, thus we
hypothesize
H2: Fama could escalate the performance of hiring
process in those companies through developed AI
technologies.
II. LITERATURES REVIEW
This paper illustrates many comparisons points to
define the impact of Artificial Intelligence on many
industries. Most of them are described in the numbers of
percentage. Therefore, we provide some calculation to find
out those rating to ensure the effect of each variable that
this paper mentions.
NPS (Net Promoter Score)
We find out to obtain the value of NPS in hiring process
through this formula that developed by Reichheld (2003):
NPS = % Promoters - % detractors
Cost per Hire (CPH)
To gain the cost saving of hiring process, we have to know
CPH where it has a formula, which is:
Retention Rate
In this paper, we mentioned retention rate as the parameter
of successful of hiring process. To be clear, we have this
number from this formula:
Turnover Rate
Most of the time, HR team in organization would pay
attention on this item since it could be parameter of their
performance. It illustrates how they manage their
employees to make them stay in company. To calculate the
number of this item, we figure it out by this formula:
III. METHODOLOGY
This paper is supported by some secondary existing
data from official company website (www.HireVue.com
and www.fama.io) in order to analyze the impacts of using
AI software. We analyzed by recognizing the trend of data
that those corporate websites present especially for before
and after company collaborated with HireVue and fama.
Our findings also have been strengthened by several
company feedbacks on the customers section on those
websites. In addition to that, some multinational companies
have been illustrated their successful experience of using AI
software into case studies that can be downloaded from to
the website.
The periods of this research are heterogeneous, it
caused of dates when they utilized HireVue and fama to
support their hiring process.
IV. RESULT
Hilton found their solution after using HireVue since
they had some improvements on their hiring process. Stated
by Gathright (2017), they succeeded to decrease their hiring
time from 42 days into 5 days. They also transformed to
great number on candidate NPS score which was 84.9. It
could be categorized into brilliant performance of hiring
process for the hospitality industry. Moreover, they had
better experience in interview hire rates that was 40%.
HireVue also obtained great comments from Sonic
Automotive since it helped to evolve the company to the next
level of progress. According to (Perez, 2017), it made the
company able to boost their potential profit into $ 10M. This
condition occurred since after using the video intelligence from
HireVue, they had improvement particularly 20% in sales
performance and 20% in retention. Furthermore, it was capable
to fill vacancies in sales department faster 40% than previous
periods.
On the other success story, by using HireVue, due to
Tsang (2018), Cathay Pacific has moved their phone-
screening step into on demand video interviews that
applicants are able to complete on their own time for the
recruiters to review. Those who pass the video interview,
they would be invited to come to the office for having the
final round assessment. Surprisingly, the number of no-
show rate has significantly gone down. By reducing those
stages in the hiring process with a single, more versatile
video screening, they have decreased their hiring time from
3 months to 2-3 weeks.
This innovation also has a good feedback on the
education sector where Atlanta Public School had
accelerated their hiring process after adopting HireVue.
Reported by Hall (2017), since 2015 this public school has
abled to save their money $200K for hiring process since
principal vacancies filled by the first day of school in 100%.
They also had experienced in reducing crime incidences at
60%. This platform had been used as the major system to
hire a teacher where it made the applicant talent pool built
with top 2%.
The good vibe also came from Airplane Industry,
Cathay Pacific. Based on Tsang (2018), Cathay Pacific was
satisfied to see a progress within HR team after
collaborating their system with HireVue. HR team of
Cathay Pacific, Nowadays, could do hiring within 2 weeks
where they had 3 months before which was reducing 90%
of hiring process particularly for CV screening. It was the
most significant performance that they had in the decade.
This platform also provided an increasing possibility of
attendance for interview that was 30% higher than before.
Moreover, it helps their team to tackle language barrier in
between interviewer and interviewee by utilizing the
HireVue’ feature that offer more than 30 language
proficiencies.
After implementing HireVue on their hiring system,
Urban Outfitter had several accelerations. Due to Korellis
(2018), First, they had reduced 80% of screening time, from
three to four days into nine hours. They utilized the feature
of scheduling and coordinating of group interview. By using
video Interview, they had many positive feedbacks from
candidates. Most of them stated their appreciation of the
flexibility of doing the interview and the showcases from
applied of AI that can illustrated their personalities and
ability better than previous system.
Vodafone also has a similar condition, after adopting
AI technologies from HireVue they discover some
improvements of their hiring process. As reported by Ross
(2017), They expected to reduce into 18 days from 23 days
hiring process yet they got even better which was 11 days
and they obtained the new talents that they were looking for.
From those success stories, we can see that HireVue has
increased the level of hiring in various industries. The
improvement came from the reducing time of hiring process by
comparing with previous method. It succeeded to make up for
acceptance rate to be hired and enlarged the possibility of
applicant to come into the interview or group discussion. In
case of profit. It helps to have some cost savings of hiring and
develops the number of sales or revenue. Lastly, it successfully
assists to gain better talents particularly for jobs that directly
relate to customer such as customer service or salesperson.
On the other hand, Fama, this platform has improved the
process of hiring by screening employees’ social media
activity. One of applications is reducing the total of
cyberbullying by selecting candidate who has lower or ever
never use the word that representative of cyberbullying
attitude. From talents account on twitter, they are able to find
out the implication of their word in that social media refer to
racist tweets. If fama discovered it, the company would not
consider assessing or hiring this candidate because the
company believe that its attitude is not appropriate in the
organization. The last, by using its logarithm, Fama has ability
to find the history of applicant regarding malicious computer
hacker. That ability would be consideration for company to
reject the applicant that had that characteristic to avoid the
hacker in the company.
V. CONCLUSION
The biggest challenge for business in this century is
finding the best labor that fit with the company’s culture. It is
important because the human capital is the answer of
competitive advantage for each company. However, it has been
more and more challenging after internet and the openness of
labor influence the process of hiring. They bring so many
options to decide then it increase the level of uncertainty.
Nevertheless, AI has been proven in order to boost the
performance of hiring process to tackle those obstacles.
Offering video intelligence, HireVue has evolved the
process of hiring for various industries. First, this platform
had a good feedback in reducing the time of hiring then it
made HR team can continue to other job descriptions. It also
made some cost saving for the company particularly for
travel cost to visit the applicant’ regions. The possibility of
applicant who would like to attend the interview after doing
HireVue process was going up that proves it can read the
applicant’s desire. Many companies stated they were
satisfied with this new technology when they found out their
number in sales was raising so many times than before
because they believe they had founded their best talents that
is only can fit with the company culture but also can work
to generate revenue.
Using social networking sites to get information about
the candidate is useful mainly for getting a better decision
(Pike et al., 2018). That was applied in fama to support HR
team to know better the potential employee. Moreover, it
succeeded to discover the information regarding
cyberbullying activities, hacker and racist where those
points would be consideration material for HR team to turn
down the applicant.
On the other side, some stated this innovation would
lead to increase the number of unemployment. To illustrate
that, now the brand store manager can play a role as HR
team after using HireVue since they do not need to ask HR
team to process the applicants first before they do interview
with the users. Because of the Video On Demand in HireVue,
some companies do not need to ask their HR team to go several
places to do hiring process then it decrease the job function.
However, if we see this condition at positive way, we will think
by using AI, we can do our job more efficient even we are
prepared to do the better job function to answer the business
challenge.
VI. REFERENCES
[1] Gathright M. 2017. Hilton Cuts Time to Hire Nearly 90% with
Hirevue Assessment.
[2] Hall P. 2017. Atlanta Public School Hires A+ Teachers with
Hirevue.
[3] Korellis M. 2018. Urban Outfitters Makes Hourly Hiring Hip with
Digital Recruiting Across 200 Stores.
[4] Perez J. 2017. Sonic Automotive Trades in Outdated Hiring
Methods.
[5] Pike JC, Bateman PJ, Butler BS. 2018. Information from social
networking sites: Context collapse and ambiguity in the hiring
process. Information Systems Journal 28:729-758.
[6] Reichheld FFJHbr. 2003. The one number you need to grow.
81:46-55.
[7] Ross A. 2017. Vodafone Halves the Time to Build Retail Teams
with Hirevue.
[8] Tsang Q. 2018. Cathay Pasific Improves Hiring Time Over 90%
with Video Interviewing.
[9] Zhao H, Teng H, Wu QJCJoAR. 2018. The effect of corporate
culture on firm performance: Evidence from China. 11:1-19.
 1

The Importance of Landslide Inventory

Database in Landslide Susceptibility Model,
Case Study: Cianjur County, Indonesia
Twin Yoshua R. Destyanto1, 2), Twin Hosea W. Kristyanto3, 4), and Jonathan Edward Tasek4)
1)
Department of Industrial Engineering and Management, Yuan Ze University, Taoyuan, Taiwan R.O.C ., 320
email: twin.destyanto@uajy.ac.id
2)
Industrial Engineering Department, Faculty of Industrial Technology, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Sleman, Indonesia 55281
3)
Geology Study Program, FMIPA, Universitas Indonesia, Kota Depok, Indonesia, 16424, email: twin.hosea@sci.ui.ac.id
4)
Graduate Institute of Applied Geology, College of Earth Sciences, National Central University, Taoyuan, Taiwan R. O. C. 32001
5)
National Taichung University of Science and Technology, Dept. of Finance, Taichung City, Taiwan, R.O.C.,404,
email : jonathanjoshlyne@gmail.com

Abstract—Landslide is a geological hazard that leads fatalities [7-9]. Therefore, it is important to provide a good quality of
each year in Indonesia. Many efforts are done to reduce and landslide inventory. Indonesia itself already has Landslide
prevent the landslide occurrence in Indonesia, including build the Inventory Data Base of Indonesia (LIDIA) as landslide
landslide susceptibility map. In building this map, we need to
inventory data [10, 11]. However, it still could not easily access
collect both causative factors in an area and the landslide
inventory database. However, Indonesia is still lack of the by public community, including landslide researchers. Depart
landslide inventory data, either in amount of landslide occurrence from this gap, this paper would like to show the importance of
or in the time range. By taking Cianjur as case study area, this landslide inventory in building the landslide susceptibility map.
research aims to show the importance of landslide inventory in
building the landslide susceptibility map. Landslide inventory
Cianjur, West Java, Indonesia is chosen as research area for
database was collected from the open source data of BNBP from study case because it has high occurrences of landslide every
2011-2018. The landslide susceptibility map was analyzed using year [12]. Cianjur also well known as an area which form by
Frequency Ratio (FR) model. The result of the calculation shows high geological activity, especially Southern Cianjur [13]. They
values of susceptibility are between 0-612.08. The area is classified are the reasons why Cianjur County is chosen as study area.
into five zones of landslide susceptibility level with success rate of
the prediction analysis equal to 83.33%. It concludes that the II. METHOD
inventory database plays an important role in classification
process. The amount of the landslide inventory database still a far A. Landslide Inventory
from the standard. Our challenge is to build higher quality of Landslide inventory of the research area is plotted based on
landslide inventory database in this era of big data and industrial the data from Indonesian National Board for Disaster
revolution 4.0. Management-INBDM (2012-2015) and Indonesian Geological
Index Terms—big data, classification, landslide, random Agency-IGA (2011-2018). It collected 91 landslide points in the
forest, susceptibility map research area. 75% of the landslide inventory are used as training
dataset while the rest of the data are used as testing data for the
I. INTRODUCTION validation of the model.
Indonesia is an area with unique geological condition. It is
the meeting point of three tectonic plates namely Eurasian Fig. 1 shows the distribution of the landslide occurrences in
Plate, Pacific Plate, and Indo-Australian Plate. It has made the study area.
Indonesia become rich of both geological resources and
hazards. It forces all of stakeholders in this country to be B. Causative Factors
adaptive toward this geological condition [1-3]. Causative factors are several features that control the
susceptibility of landslide in an area. These controlling factors
Landslide is one of the geological hazards that still become mainly dominated by the nature of the area. It is represented by
source of fatality in many areas in Indonesia. Landslide in the geomorphological, geological, and hydrogeological
Indonesia mainly occur due to earthquake and rainfall as condition of the area [14, 15]. The selection of the causative
triggering factors. Several landslide susceptibility models, factors could be important to be considered. It is because, by
using statistical method, are already built as an effort to prevent selecting an ineffective factor, it could reduce the robustness of
and predict the landslide occurrences in several area [4-6]. the model, although theoretically it will affect the landslide
In building the landslide susceptibility map, the first step susceptibility [16, 17].
that should be conducted is building the landslide inventory. It This study used three causative factors, comprising slope,
will be used as both the training and validation data. The longer aspect, he elevation. These three causative factors represent the
time of inventory data, the better the quality of the inventory geomorphological conditions of the area. This study is still
 2

going on by considering the geological and hydrogeological facing the sun will have higher water content [18, 19]. The area
aspects. The slope of the area divided into 10 classes and it is divided into 10 aspect classes based on the geographical
could be seen in Fig. 2 Based on this map, the area with slope direction.
>34̊is about 18% from total area. Fig. 4 shows the zone of elevation of the area. It is divided
into 10 classes from 3 m to 2996 m. More than 40% of the
research area has elevation more than 1000m.

Fig. 1. Distribution of the landslide Fig. 3. Slope aspect map

Fig. 4. Zone of elevation map

C. Landslide Susceptibility Analysis

Fig. 2. Slope gradient map
Fig. 3 shows the aspect of the area. Aspect is the direction
of the surface related with the sunshine exposure. It influences
the soil water content. The area that are not
Landslide susceptibility refers to the spatial probability
of an area. It will explain the prediction where the landslide
could be occurred [20, 21]. The landslide susceptibility could
be built by considering the landslide inventory database and the
causative factors that already owned by the area. It is the reason
why the landslide susceptibility map needs a good quality of
landslide inventory for making it more robust and reliable [8,
22, 23].
 3

D. Frequency Ratio
Frequency ratio (FR) is a bivariate statistical method that Table 1.
will be used for building the landslide susceptibility model. Frequency Ratio (FR) Calculated in the Research Area for 3
It will establish the relationship between the landslide Causative Factors
inventory and the causative factors [24, 25]. The FR judge Factor FR
the significance of each class in each causative factor toward
the landslide occurrence. The formula of this concept will be Slope Angle (o)
like this: 0.00-4.19 0
_ 4.19-8.14 0
b _ 8.14-11.84 1.2393
= = __ (1) 11.84-15.79 1.1141
_ _
15.79-19.98 1.2073
The value of the FR in each factor will be influenced by
19.98-24.42 1.2470
the number of the classes in each factor and the threshold
between each class. FR near to 1 means it is not significance 24.42-29.11 1.2702
toward the landslide while FR>1 means the classes having 29.11-34.54 1.2654
importance influence toward the landslide [24, 25]. 34.54-41.69 1.3146
The FR will be used for making the Landslide 41.69-62.90 1.3510
Susceptibility Index (LSI) for each cell in research area. LSI
is the sum of the FR of all input parameters in each cell. It Aspect (o)
will be mathematically stated as: Flat (-1) 0
=∑ (2) North (0-22.5) 0
With FRi is the frequency ratio for i-th class of each factor Northeast (22.5-67.5) 1.5451
considered [25]. East (67.5-112.5) 1.3422
Southeast (112.5-157.5) 1.1078
III. RESULTS AND DISCUSSION
South (157.5-202.5) 1.1577
A. Study Area
Southwest (202.5-247.5) 0
The study area is in Cianjur County, West java Province,
Indonesia. The total area 3840 km2. From the geological West (247.5-292.5) 1.4315
data, the area is composed mainly by Tertiary sedimentary Northwest (292.5-337.5) 1.4402
rocks such as sandstone and claystone also Quaternary North (337.5-360) 0
Volcanoes Deposition like breccia and tuff [26]. Error!
Reference source not found. shows the Digital Evaluation Elevation (m)
Model (DEM) image and the landslide distribution in 3.00-179.06 0
research area.
179.06-378.59 0
378.59-566.39 1.6654
B. Frequency Ratio Results 566.39-754.18 1.6603
The calculation of the Frequency Ratio method has 754.18-941.98 1.6739
produced the indexes of FR for each causative factor that is
shown in Table 1. The causative factors that influence the 941.98-1129.77 1.6785
landslide susceptibility in the research area are slope angle, 1129.77-1341.04 1.6801
elevation, and slope aspect. For the slope angle, aspect, and
1341.04-1611.00 0
elevation there are 8 classes (8.140-62.900), 7 classes, and 6
classes that have positive correlation toward the landslide 1611.00-2103.97 0
occurrence, respectively. 2103.97-2996.00 1.6831

For the slope angle, the correlation increasing gradually as
the raising of the gradient of the slope. For the slope aspect,
the positive correlations are shown in the slope facing to the
Northeast-Southeast and Wes-Northwest direction. It might
be caused by the covering effect of vegetation on the other
direction or the equal portion of sunshine in equator region.
Elevation factor give a positive correlation starting from
378.59 masl to 1341 masl and also 2103.97-2966 masl. It is
usually also related in steepness of the slope at those
elevation level.
C. Landslide Susceptibility Model
The landslide susceptibility was done by two model. Model-1
only consider the nature factor of the area (geomorphology
aspect) and model-2 is considering the landslide inventory
database that already collected from IGA and INBDM website.
For the model-1 the landslide susceptibly was built by summing
the reclassified causative factors in GIS system directly. It was
done by giving the same weight for each causative factor.
 4

Fig. 6.Susceptibility map built without calculate the landslide

Fig. 5. Digital Evaluation Model (DEM) of Cianjur area inventory

IV. CONCLUSION
Fig. 6 shows the result of the susceptibility map built The study area was analyzed the susceptibly of landslide
without calculate the landslide inventory. It is shown that the using two model, i.e. by considering and not considering the
model predict area with high susceptibility of landslide by landslide inventory database. From the analysis it could be
(more) red color. It is looked like that the susceptibility map learned that by considering the landslide occurrences database,
success in predict several prone areas. However, it is also we could improve our susceptibility map. We could also do a
present that several locations, where landslides happen, are verification and validation so that it could measure the success
misclassified as less susceptible of landslide.
and prediction rate of the model.
As mentioned before, model-2 considered the landslide
history that represented by its inventory database for 7 years. Therefore, it is important for having a high-quality landslide
The model was developed using Frequency Ratio, a bivariate inventory database to produce a high-quality landslide
statistical approach. Each class of each causative factors were susceptibility. By the time, good quality of landslide database
reclassified based on weight that derived from FR calculation could also be improved starting from point database then move
(Table 1). The landslide susceptibility map then be generated forward to build an area database (polygon data). It requires a
as the collective value of Landslide Susceptibility Index based team work among many stakeholders, such as geological survey
on Eq. 2 using GIS software. The result of the calculation agency, universities, and any other institutions related to
shows values of susceptibility are between 0-612.08. landslide spatial consideration.
Fig. 7 shows the result of the susceptibility map using
model-2 which classify the study area into five classes of
susceptibility. It shows different appearance compared with the
result of model-1. Moreover, it can be identified that the prone
area is more compatible with the landslide distribution. The
success rate of the prediction is represented by the area under
curve (AUC) analysis equal to 83.33 (Fig. 8). The prediction
rate using 25% inventory data resulted AUC equal to 63.63%
(Fig. 9). The low value of AUC for prediction rate could be
influenced by the number of causative factors. It should also
consider the other causative factor that, theoretically,
influenced the landslide occurrences, e.g.: lithology, distance
from faults, distance from river, river flow accumulation, etc.

Fig. 7. Susceptibility map using model-2
Fig. 8. The success rate of the prediction
Fig. 9. The prediction rate using 25% inventory data
5
V. REFERENCES
[1] H. T. J. I. J. o. G. Verstappen, "Indonesian landforms and
plate tectonics," vol. 5, no. 3, pp. 197-207, 2010.
[2] M. Asrurifak, M. Irsyam, B. Budiono, W. Triyoso, and H. J. C.
E. D. Hendriyawan, "Development of spectral hazard map for
Indonesia with a return period of 2500 years using probabilistic
method," vol. 12, no. 1, pp. 52-62, 2010.
[3] T. H. Siagian, P. Purhadi, S. Suhartono, and H. J. N. h. Ritonga,
"Social vulnerability to natural hazards in Indonesia: driving
factors and policy implications," vol. 70, no. 2, pp. 1603-1617,
2014.
[4] D. Dhianaufal, T. Kristyanto, T. Indra, and R. Syahputra, "Fuzzy
logic method for landslide susceptibility mapping in volcanic
sediment area in Western Bogor," in AIP Conference
Proceedings, 2018, vol. 2023, no. 1, p. 020190: AIP Publishing.
[5] D. R. WAHYUDI and T. H. KRISTYANTO, "Various
Models of Slope Stability due to Earthquake Activity in
Gunung Tigo, Padang Pariaman, West Sumatera,
Indonesia."
[6] Z. Zakaria, F. Hirnawan, and S. Widayati, "Rain and earthquake-
induced landslides in west Java, Indonesia, case study in Subang
area near the Baribis Fault, with implications for an early warning
system," in Engineering Geology for Society and Territory-Volume
2: Springer, 2015, pp. 637-640.
[7] F. Guzzetti, A. C. Mondini, M. Cardinali, F. Fiorucci, M.
Santangelo, and K.-T. J. E.-S. R. Chang, "Landslide inventory
maps: New tools for an old problem," vol. 112, no. 1-2, pp. 42-66,
2012.
[8] M. Van Den Eeckhaut, P. Reichenbach, F. Guzzetti, M. Rossi, J. J.
N. H. Poesen, and E. S. Sciences, "Combined landslide inventory
and susceptibility assessment based on different mapping units: an
example from the Flemish Ardennes, Belgium," vol. 9, no. 2, pp.
507-521, 2009.
[9] M. Santangelo et al., "An approach to reduce mapping
errors in the production of landslide inventory maps," vol.
15, no. 9, 2015.
[10] S. Sumaryono, Y. Arifianti, Y. D. Triana, W. Ika, W. Irawan,
and G. J. G. J. o. G. S. Suantika, "The Aplication of Landslide
Inventory Data Base of Indonesia (LIDIA) For Supporting
Landslide Susceptibility Mapping in Cianjur Regency, West
Java, Indonesia," vol. 1, no. 2, 2018.
[11] D. M. Sumaryono, N. Sulaksana, and Y. J. I. DasaTriana,
"Weights of evidence method for landslide susceptibility
mapping in Tandikek and Damar Bancah, West Sumatra,
Indonesia," vol. 4, no. 10, pp. 1283-1290, 2015.
[12] Y. Arifianti and F. Agustin, "An Assessment of the Effective
Geofactors of Landslide Susceptibility: Case Study Cibeber,
Cianjur, Indonesia," in GIS Landslide: Springer, 2017, pp. 183-
195.
[13] J. R. Ege, "Landslide investigations, southern Cianjur Regency,
West Java Province, Indonesia; a progress report," US Geological
Survey2331-1258, 1983.
[14] I. D. Moore, R. Grayson, and A. J. H. p. Ladson, "Digital terrain
modelling: a review of hydrological, geomorphological, and
biological applications," vol. 5, no. 1, pp. 3-30, 1991.
[15] J. Dou et al., "Optimization of causative factors for landslide
susceptibility evaluation using remote sensing and GIS data in
parts of Niigata, Japan," vol. 10, no. 7, p. e0133262, 2015.
[16] D. Costanzo, E. Rotigliano, C. Irigaray Fernández, J. D.
Jiménez-Perálvarez, and J. Chacón Montero,
"Factors selection in landslide susceptibility modelling on large scale
following the gis matrix method: application to the river Beiro
basin (Spain)," 2012.
[17] C.-T. Lee, "Re-evaluation of factors controlling landslides
triggered by the 1999 Chi–Chi earthquake," in Earthquake-
Induced Landslides: Springer, 2013, pp. 213-224.
[18] H. Shi, Z. Wen, and M. J. F. Guo, "Leaf Trait Variation with
Environmental Factors at Different Spatial Scales: A Multilevel
Analysis Across a Forest-Steppe Transition," vol. 9, no. 3, p.
122, 2018.
 6

[19] F. Dai and C. J. G. Lee, "Landslide characteristics and slope

instability modeling using GIS, Lantau Island, Hong Kong," vol.
42, no. 3-4, pp. 213-228, 2002.
[20] M. Mergili, H. J. N. H. Chu, and E. S. S. Discussions,
"Integrated statistical modelling of spatial landslide
probability," vol. 3, no. 9, 2015.
[21] C. Wu, S. J. N. H. Chen, and E. S. Sciences, "Integrating spatial,
temporal, and size probabilities for the annual landslide hazard
maps in the Shihmen watershed, Taiwan," vol. 13, no. 9, pp.

Tourist Behaviour in Creative Tourism:
Empirical Study from Local Destination
Regina Agustina1)
1)
Department of Industrial Engineering and Management, National Yunlin University of Science and Technology
email: m10721308@yuntech.edu.tw
Abstract—Indonesia’s tourism industry is growing,
reciprocally on creative tourism. However, research from a
tourist perspective in this field is very rarely. Driven by this
phenomenon, this research is designed directly to creative tourist
travelers by analyzing their experience quality and perceived
value, followed by verifying its influence on satisfaction and its
impact on behavioral intention. Data were collected through
quantitative approach by distributing questionnaires to 167 the
most accessible respondents at four local creative tourism
destinations in Bandung. The result of path analysis revealed that
all of independent variables had significant effect on satisfaction
and behavioral intention, except between perceived value and
behavioral intention. Further, analysis showed simultaneous
effect. Either directly or indirectly, experience quality is
identified as the most influential variable. The finding in this
study recommend practicioner to focus on designing experience
program and spend more time on attraction involving visitors.
Index Terms—Creative tourism, tourist behaviour, experience
I. BACKGROUND
The concept of tourism involving experience continues to
grow. It was a result of raising “experience economy” concept
as a new marketing strategy caused by changes in consumer
consumption patterns [1] whose focus has shifted from product
to service and currently extends to the concept of experience
[2]. Consumers alter into a prosumer, who act as a co-creators
or co-producers in creating individual experiences
[3]. In consequence, consumers in this matter act as a tourist
become more active and not only pursuit entertainments, but
also new experiences [4] as anform of self actualization.
Self-actualization of travel experience is obtained through
developing skills [5] by encouraging creative potential and
participating actively in a tourist attraction, which is part of the
concept of creative tourism [6, 7]. It has become a trend
adapted by various destinations around the world [7] including
in Austria, Canada, Spain, Taiwan, New Zealand and United
States [8]. In Indonesia, especially in Bandung, creative
tourism continues to be developed [9] because it is considered
as a promising new generation of tourism [10] that has an
important contribution in empowering community also
developing social, economy, and culture [11]. Moreover,
creative tourism has implications for sustainable tourism. The
concept of creativity allows tour providers to innovate their
products and services rapidly [3].
However, in the midst of creative tourism trend in Bandung,
studies from tourists point of view have not been widely
studied. Researches in Bandung and Indonesia only focus on
1
the development and the role of creative industry from service
provider viewpoint [11-14], there is no study that identifies the
potential development of creative tourism in Bandung based
on tourist perspectives.
The lack of research in the field of creative tourism from
tourist perspectives indicating research on consumer behavior
towards creative tourism is very necessary. First, researchers
and businessman need to measure the experience quality
perceived by consumers when they are traveling. As explained
earlier that creative tourism is a tour presented as the impact of
tourists desire to a new experience, therefore experience
becomes the main thing that needs to be identified. Moreover,
Otto and Ritchie in Chen [15] stated that the experience felt by
tourists will influence their assessment level of satisfaction
and subsequently become evaluators and determinants in
revisiting tourist attractions that have been visited [16].
Second, marketers need to know the perceived value of
tourists who have participated in creative tourism attractions.
Consumers who have high perceived value tend to give good
comments and repeat the visit [15, 17]. From identified
perceived value, company not only knows the perceived value,
but also the values that are most important and expected by
tourists, even values need to be added [17].
Furthermore, this study will analyze the consequences both
of above variables on the tourists post-purchase behavior,
specifically satisfaction and behaviour intention. Researcher
suspect those construct have positive relationship in fulfilling
tourist expectation and arising intention to revisit a creative
tourism destination. Therefore, this study will contribute to
represent tourist perception of creative tourism and analyse
their behavior in the future.
II. LITERATURE REVIEW
A. Creative Tourism
Creative tourism has been familiar concomitant with
popularity of creative economy, creative class, and creative
industry [16], which then drives cultural tourism transform to
tourism involving creativity [3, 16, 18]. Consequently, many
experts relate creative tourism with cultural products such as
tradition and local resident prowesses [5, 19]. Likewise
UNESCO which defines creative tourism as “Travel directed
toward an engaged and authentic experience, with
participative learning in the arts, heritage, or special
character of a place, and it provides a connection with those
who reside in this place and create this living culture”.
However, the increasing interest in creative tourism enlarge

the meaning and activities of creative tourism, it is not limited
to culture. In case of cultural tour, visitors are only given an
explanation of local culture by the guide, in creative tourism
visitors learn many things actively and hunt various
experiences from their environment to evolve their potency
[20]. Therefore, the concept of creative tourism has expanded
to various activities involving tourists [16].
In creative tourism tourists are given an occasion to develop
their potency through active participation in various learning
experiences [19]. Tourists are also invited to engage in
creative experiences by generating a unique creation using
simple materials and their imagination, like creating
traditional handicrafts, cooking, painting porcelain, drawing or
making sculpture [21]. Furthermore, tourist destinations in
developed countries are increasingly developing their creative
tourism concept. There are Creative Paris which offers
creative tour about technology and science, also fashion and
design; crative tourism in Taiwan that teaches about natural
ecology; and creative tours in Barecelona that provide
workshops related to performing arts [20]. Essentially,
whatever the form, in creative tourism vistor are invited to
participate actively and get authentic experiences [7] so they
are drive to actualize themselves [16].
B. Experience Quality
The concept of experience quality is often juxtaposed with
service quality [15]. In service quality, services measurement
is related to performance of each attribute, while experience
quality refers to psychological assessment yielding from
tourist participation in tourism activities [15]. Hence,
involvement of psychological factors in the form of emotions
and feelings expand the scope of experience quality [22].
Besides, in experience concept, the experience tourist feel as
consumers does not only occur when consuming service, but
also when communicating and interacting with service
providers [23].
Various dimensions to assess experience quality have been
developed. Pine and Gilmore in Ali [19] introduced 4E
measurement scales (education, escapism, esthetics, and
entertainment) in evaluating experience in the accommodation
industry. In tourism context, Xu and Chan’s research on
tourists visiting China uses four dimensions, namely:
recognition and escape, peace of mind and relaxation,
involvement, and hedonics [24]. These researchers use
different dimensions, but have a relatively similar
understanding and take tourist participation as the main factor.
C. Perceived Value
Zeithaml in Chen [15] defines perceived value as consumer
perception in assessing the overall benefits that consumers
receive from a product, where the benefits are compared to the
costs incurred and sacrifices made by consumers. In this case,
Zeithaml describes value in four meanings: (1) low prices, (2)
what consumers want from a product, (3) quality obtained
from prices paid by customers, and (4 ) what is obtained from
what consumer has given [25]. Not too different from
Zeithaml, Yuan in Kim [26] defines perceived value as an
2
service evaluation of post-consumption that involves an
assessment comparing what consumers receive and what
consumers need from a product. Therefore, perceived value
assessment is subjective [27], each consumer has different
necessity that causing various assessment according to their
perceptions.
In a recent study, Shen [17] has elaborated a specific
measurement scale to evaluate perceived value in creative
tourism context. The mensuration scale extends to have 6
dimensions, consisting of: functional value: benefits obtained
from the performance of a product or service; social value: the
ability of a service to improve personal image; emotional
value: the capability of a product or service to result emotional
feelings or changes; perceived sacrifice: consumer sacrifice to
get a service; experiential value: the prowess of an excursion
to make someone forget his problems; epistemic value: the
perceived benefits of a service to arouse curiosity.
D. Satisfaction
Experts interpret satisfaction variously. However, the most
commonly used are Engel and Oliver's disconfirmation theory
which compares perceptions and expectations [28]. According
to Oliver in Chen and Chen [15], satisfaction refers to
conformity between expectations and performance perceived
by consumers after consuming a product or service. Similarly,
Kotler [29] stated satisafaction as feeling happy or
disappointed as a result the process of comparing performance
with expectations. Moreover, satisfaction is a comprehensive
assesment of organizational performance in relation to meet
customer needs [30]. If performance or experience is
perceived to be less than consumer expectations, customers
feel dissatisfied; if according to expectations, satisfaction will
be felt; as if exceeding expectations, customers feel delighted
[29].
E. Behavioral Intention
Intention is a subjective possibility of an individual to
perform certain behaviors [16]. Hence, the concept of
intention refers to behavioral theory. When tourists have an
intention to revisit same destination, it can be a prediction
their behavior in the future [16]. For tourism businesses,
understanding and predicting tourist behavior in the future are
important. Tourists who have a positive intention indicates an
attitude of loyalty, where this loyalty is a determining factor in
the sustainability of a company [15]. Those who feel a positive
behavioral intention also tend to inform positive word of
mouth or recommend their experience to others and revisit
even though they must pay more [31].
III. METHODOLOGY
The data were obtained from 167 local tourist in four
creative tourism destination in Bandung through convenient
distribution of self-administrated questionnaire. Most of
destination engaged visitors to involve in sundanese culture,
like participating in traditional games, drawing batik, playing
 3

music assembly and crafting puppet. Some of them also upon outer loading and AVE (Average Variance Extracted)
participated in sports attraction; archery and horse riding. value. In pursuance of Anderson and Gerbing [32] the
Existing literature with some improvisation and a 5-point construct meet validity criteria if value of each indicators
likert scale (strongly agree-strongly disagree) was applied for exceed 0,5 [32]. Table 2 confirms both of outers loading and
construct measurement. The validity and reliability using AVE having adequate value, above 0,5. For the validity
confirmatory factor analysis were conducted. In terms of data assessment, this research prefer to apply composite reliability,
analysis, this research utilized descriptive analysis and partial which has standard of 0,7. Thus, as depicted from table 2, the
least square SEM. The first analysis was to find out tourist requisite of reliability is fulfilled [33].
perception, while the second was to test hypothesis.
TABEL II
VALIDITY AND RELIABILITY MEASUREMENT
IV. RESULTS
A. Descriptive Analysis Outers
Variabel CR AVE
Loading
Generally, tourist give a positive assessment for creative Experience Quality 0.853 0.545
tourism. As depicted from table 1, mean value for experience Escape 0,515
quality reach 4,113. Indicating tourist get a quality excursion Peace Of Mind 0,715
and optimal experience, a circumstances when people feel Involvement 0,896
involved in attractive and fun activity [30]. The same, Learning 0,841
Recognition 0,661
perceived value has fairly high mean value. Sacrifice of time,
Perceived Value 0.873 0.632
cost, and energy spending by tourist commensurate with Functional Value 0,780
facilities, happiness, and benefits gained. However, further Social Value 0,830
analysis reveal social value take lower value possession than Emotional Value 0,818
other dimensions of perceived value. This lower assessment Perceived Sacrifice 0,749
come from “My personal image is increase” statement. Satisfaction 0.806 0.676
Analysis from this fact provide conclusion that experience of Satisfaction A 0,893
Satisfaction B 0,745
creative tourism is feasible to share to relatives and friend, but
Behaviour Intention 0.804 0.677
it doesn’t make them feel proud and icrease their image. Behaviour Intention A 0,927
Behaviour Intention B 0,704
TABEL I
DESCRIPTIVE ANALYSIS
Variabel Mean Std. Deviation C. Structural Analysis
Experience Quality
Escape 4,093 0,587
To verify the proposed hypothesis and structural model,
Peace Of Mind 4,296 0,503 this research utilize SmartPLS V.3. Bootstrapping procedure
Involvement 4,086 0,485 with 500 iterance is employed to evaluate the signification of
Learning 4,207 0,522 weight indicators and path coefficient [34]. Specifically,
Recognition 3,883 0,588 hypothesis testing considers to three item, namely p value,
Mean 4,113 0,537 original sample, and t-statistic.
Perceived Value
Functional value 4,057 0,561
TABEL III
Social value 3,949 0,572
HYPOTHESIS TESTING
Emotional value 4,141 0,578
Perceived sacrifice 4,207 0,541
Path Coefficient
Mean 4,088 0,563
Hypothesis Original T P Conclusion
Satisfaction 4,449 0,575 Sample Statistics Values
Behaviour Intention 4,377 0,612 H1: Experience Quality →
0.193 1.970 0.049 Accepted
Behavioral Intention
Compared to other variables, satisfaction has the highest H2: Perceived Value →
mean value. Evincing a very high level of satisfaction that 0.147 1.382 0.167 Rejected
Behavioral Intention
achieve affective delight condition, a situation where
H3: Experience Quality →
perceived performance exceeds consumer expectations [28]. 0.392 4.277 0.000 Accepted
Related to behavior intention, the mean value is 4,377, Satisfaction
expressing positive behavior intention that lead to loyal H4: Perceived Value →
0.213 2.108 0.035 Accepted
attitudes, which will determine the sustainability of a company Satisfaction
in the future [15]. From both of high mean values, it can be H5: Satisfaction →
0.482 6.101 0.000 Accepted
concluded that tourist expectations for pleasant tour can be Behavioral Intention
achieved. Also, they are agree to revisit current destination
and do word of mouth to their relatives.
The output of hypothesis testing in table 3 shows hypothesis
2 having p-value <0,05 and t-statistic <1,96, which doesn’t
B. Measurement Analysis meet the required standard [35]. While, others hypothesis
In evaluating construct accuracy, this study conducted result satisfying value with positive original sample.
validity and reliability test. Validity test was assessed built Hypothesis 1 and 3 concern in impact of experience quality to
behavioral intention and satisfaction is accepted. This fact
support previous research [16, 36] but also refute antecedent

studies [15, 19, 21]. Experience quality have positive and
direct effect on both of variables without being mediated by
another variable. These finding indicate that various
experiences are presented in creative tourism attraction are
able to provide psychological and social benefits as tourist
expected. The result, tourists not only satisfy but also
reflexively encourage them to come back.
The effect of perceived value variable explain by hypothesis
2 and 4. Table 3 point out that hypothesis 2 is rejected, the
second independent variable has no impact to behavioral
intention. That is, consumer perception of comparison
between benefit and sacrifice they spend only affect
satisfaction without a direct desire to revisit. Last, hypothesis
testing between satisfaction and behavioral intention. As
supposed by researcher, hypothesis 5 is accepted. This finding
supports theory stated by Oliver [37], when someone feels
Fig 1. Path Coefficient of Variable
In the second variable, perceived value, the great coefficient
comes from functional dimension. Regarding to tourism
context, this construct compares sacrifice and functional
benefits like facilities and infrastructure of destination and
quality of performace. [17]. Similar with involvement in
experience quality, functional value is key element in
perceived value. According to Maslow theory, functional
values are primary needs underlying the purchase [25].
Further, functional benefits are referred frequently as a
reflection of performance and quality [38] which then
consumers treat this dimension as a basis for assessing
products and services as a whole. Consequently, better
facilities provided and attraction performed, tourist assessment
for a destination will be higher.
To explain simultaneous effect from each variable, R2 is
utilized. Figure 1 depicts that experience quality and perceived
value simultaneously effecting satisfaction as much as 32,7%.
Moreover, in case the value is attached experience quality and
perceived value separately, it will explain behavioral intention
51,1%. This finding indicates, although perceived value does
not have a significant direct effect on
4
satisfied then he has a tendency to buy back. Likewise in
tourism services, this study and foregoing researchs [15, 19]
confirm that a tourist who is pleased with an excursion incline
to have an intention to revisit the destination.
The detail information regarding to influence of each
dimension is presented by figure 1. In first independent
variable, the most influential dimension is involvement,
having highest coefficient (0,799). Involvement or entrant
participation in creative activity is a prevalent element in
tourism that incriminate creativity [7]. Because, the main
purpose of tourists can be obtained if tourists are involved and
actively participate in organized attractions [8]. Therefore, the
quality of a tourist's experience in creative tourism is greatly
influenced by their involvement in the followed attractions.
The more they are involved, the more quality of experience
they feel.
behavioral intention, it still contributes if through satisfaction
first.
According to percentage of effect, experience quality has
higher total effect than perceived value, namely 38,2%. It
similar with previous analysis that found experience quality
can influence tourists to come back directly, in contrast to
perceived value, which must pass satisfaction variable first.
Rather than prioritizing all of benefit they get, tourist prefer to
accentuate to experience factor. In addition, experience when
traveling is considered as a something touching that can
improve the quality of tourist life [39]. Hence, without feeling
satisfaction first, if the experience is delightful, tourist will
come again.
In perceived value case, further analysis shows the effects is
remain lower than experience quality, even it is completed by
indirect effect. This fact give conclusion that commencurate
price and benefits do not necessarily drive tourist to
comeback. Therefore, as suggested by Kotler [40], companies
should increase functional and emotional combination or
decrease cost charged to consumers. Although the descriptive
analysis showss great mean value on perceived value, total
effect analysis reveals the effect is relatively low when

compared to experience quality. Thus, besides continuing to
improve perceived value, companies should more focus on
improving quality each attraction, especially on involvement
aspect.
V. CONCLUSION
In the midst popularity of creative tourism, researchs to
explain behavior of creative tourism tourist have not been
widely studied. This research analyze behavior of tourist from
quality of experience and perceived value side and their
implication to satisfaction and behavioral intention. The
results present all variables having good performance,
indicated by high mean value more than 4. Creative tourism
provide memorable experience quality, great perceived value,
satisfaction that exceeds expectations, and high behavioral
intention to come back to destination that is currently visited.
Hypothesis analysis reveal all independent variables
impressing satisfaction and behavioral intention, except
between perceived value and behavioral intention. However,
data analysis shows simultaneous impact. Last, experience
quality was identified as the most influential variable both
directly and indirectly.
Besides provide confirmation of relationship between
variable in tourism context, this research yielding a
recommendation for tourism industry. The manager should
focus on designing experience program. Rather than
performing attractions for a long time, companies should
spend the duration on attraction involving visitors.
Demonstration or performance in the opening part is needed
to entice participants interest, but it should only be a few
minutes. Hereinafter, they are divided into groups and
accompanied by mentors who would teach them more.
However, impressive experience can only be felt if company
presents attraction that fits the segment and provides
competent staff in delivering learning.
VI. REFERENCES
1. Pine, B.J. and J.H. Gilmore, The Expereince Economy. 1999, Boston:
MA: Harvard Business School.
2. Mehmetoglu, M. and M. Engen, Pine and Gilmore's concept of
experience economy and its dimensions: an empirical examination in
tourism. Journal of Quality Assurance in Hospitality & Tourism, 2011.
12(4): p. 237-255.
3. Tan, S.K., D.B. Luh, and S.F. Kung, A taxonomy of creative tourist in
creative tourism. Tourism Management, 2014: p. 248-259.
4. Godbey, G., Leisure in Your Life: New Perspectives. 2008: Venture
Publishing, State College, PA.
5. Olson, R.O. and I. S. Creative Tourism Business Model and its
Application in Bulgaria. in Proceedings of the Black Sea Tourism
Forum 'Cultural Tourism – The Future of Bulgaria'. 2010.
6. Jamal, S.A., N. Othman, and N.M.N. Mohammad, Touris perceived
value in community-based homestay visit: An investigation into the
functional and experiential aspect of value. Journal of Vacation
Marketing, 2011. 17(1): p. 5-15.
7. Richards, G., Creativity and tourism: The state of the art. Annalsof
Tourism Research, 2011. 38: p. 1225-1253.
8. Tan, S.K., S.F. Kung, and D.B. Luh, A model of 'creative experience' in
creative tourism. Annals of Tourism Research, 2013. 41: p. 153-174.
9. Kompas. Menparekraf: Zona Kreatif Dikemas Jadi Daya Tarik Wisata.
2012 [cited 2017; Available from: travel.kompas.com.
10. UNWTO, UNESCO World Conference on Tourism and Culture gathers
Ministers of Tourism and Culture for the first time, M. Risi, Editor.
2015, UNWTO/UNESCO: New York. p. 1.
11. Fahmi, F.Z., P. McCann, and S. Koster, Creative economy policy in
developing countries: The case of Indonesia. Urban Studies 2015: p. 1-
18.
12. Maryuani, S.R. and I.R. Mirzanti. The Development of Entrepreneurship
in Creative Industries with Reference to Bandung as a Creative City in
The 6th Indonesia International Conference on Innovation,
Entrepreneurship and Small Business. 2014. Elsevier Ltd.
13. Priyatmono, A.F., Pengembangan Pariwisata Kreatif Berbasis
Komunitas dan Budaya Lokal (Studi Kasus Kampoeng Perhiasan
Njayengan Surakarta), in Simposium Nasional RAPI XI FT UMS 2012:
Surakarta.
14. Suparwoko, Pengembangan Ekonomi Kreatif sebagai Penggerak
Industri Pariwisata, in Simposium Nasional 2010: Menuju Purworejo
Dinamis dan Kreatif 2010, UII: Yogyakarta.
15. Chen, C.F. and F.S. Chen, Experience Quality, Percerived Value,
Satisfaction, and Behavioral Intentions for Heritage Tourists. Tourism
Management, 2010. 31: p. 29-35.
16. Chang, L.-L., K.F. Backman, and Y.C. Huang, Creative Tourism: A
Preliminary Examination of Creative Tourists’ Motivation, Experience,
Perceived Value and Revisit Intention. International Journal Of Culture,
Tourism, and Hospitality Research, 2014. 8: p.401-419.
17. Shen, Y., Perceived Value in Tourism Experience, in 2016 ttra
International Conference. 2016: University of Massachusetts - Amherst.
18. Lindroth, K., J. Ritalahti, and T. Soisalon, Creative Tourism in
Destination Development. Tourism Review, 2007. 62.
19. Ali, F., K. Ryu, and K. Hussain, Influence of Experiences on
Memories, Satisfaction and Behavioral Intentions: A Study of Creative
Tourism. Journal of Travel & Tourism Marketing, 2015.
20. Tan, S.K., et al., Understanding tourist perspectives in creative tourism.
Current Issues in Tourism, 2015.
21. Hung, W.-L., Y.-J. Lee, and P.-H. Huang, Creative experiences,
memorability and revisit intention in creative tourism Current Issues in
Tourism, 2014.
22. Deshwal, P., Customer experience quality and demographic variables
(age, gender, education level, and family income) in retail stores.
International Journal of Retail & Distribution Management, 2016. 44(9):
p. 940-955.
23. Kim, H.S. and B. Choi, The effects of three customer-to-customer
interaction quality types on customer experience quality and citizenship
behaviour in mass service settings. Journal of Services Marketing, 2016.
30(4): p. 384-397.
24. Xu, J. and A. Chan, Service experience and package tours. Asia Pacific
Journal of Tourism Research, 2010. 15(2): p. 177-194.
25. Aulia, S.A., I. Sukati, and Z. Sulaiman, A Review: Customer
Perceived Value and its Dimension. Asian Journal of Social Sciences
and Management Studies 2016. 3(2): p. 150-162.
26. Kim, Y.H., J. Duncan, and B.W. Chung, Involvement, Satisfaction,
Perceived Value, and Revisit Intention: A Case Study of a Food Festival.
Journal of Culinary Science & Technology, 2015. 13: p. 133-158.
27. Chahal, H. and N. Kumari, Consumer perceived value: The development
of a multiple item scale in hospitals in the Indian context. International
Journal of Pharmaceutical and Healthcare Marketing, 2012. 6(2): p. 167-
190.
28. Tjiptono, F. and G. Chandra, Service, Quality & Satisfaction. 2011,
Yogyakarta: Andi Offset.
29. Kotler, P. and K.L. Keller, Marketing Management. 15 ed. 2016:
Pearson.
30. Nowacki, M., The Determinants of Satisfaction of Tourist Attractions'
Visitors. 2013, Poznan: Active.
31. Ali, H. and L. Purwandi, Indonesia 2020: The Urban Middle Class
Millenials. 2016, Alvara Research Center.
32. Anderson, J.C. and D.W. Gerbing, Structural equation modeling in
practice: A review and recommended two-step approach. Psychological
Bulletin, 1988. 103(3): p. 411-423.
33. Henseler,J.,C.M.Ringle,andR.R.Sinkovics, The use of partial least
square path modeling in international marketing. Advances in
International Marketing, 2009. 20: p. 277-319.
34. Chin, W.W., R.A. Peterson, and S.P. Brown, Structural Equation
Modeling in Marketing: SomePractical Reminders. Journal of Marketing
Theory and Practice, 2008. 16(4): p. 287-298.
35. Ghozali, I., Structural Equation Modeling Metode Alternatif dengan
Partial Least Square. 2008, Semarang: Badan Penerbit-Undip.
36. Cole, S.T. and H.C. Chancellor, Examining the festival attributes that
impact visitor experience, satisfaction and re-visit intention. Journal of
Vacation Marketing, 2009. 15(4): p. 323-333.
37. Oliver, R.L. and J.E. Swan, Equity and disconfirmation perceptions as
influences on merchant and product satisfaction. Journal of Consumer
Research, 1989. 16: p. 372-383.
38. Jamal, S.A., N.a. Othman, and N.M.N. Muhammad, Tourist Perceived
Value in a Community-Based Homestay Visit: An Investigation into the
Functional and Experiential Aspect of Value. Journa of Vacation
Marketing, 2011. 17(1): p. 5-15.
39. Urry, J., The tourist gaze. 1990, London, UK: Sage.
40. Kotler, P. and K.L. Keller, Marketing Management. 12th edition ed.
2008, Zagreb: MATE.

Strategi Peramalan Untuk Peningkatan
Performansi Jaring Interkoneksi Mahakam
Happy Aprillia1,2 Hong-Tzer Yang1)
1) Department of Electrical Engineering, National Cheng Kung University 701, Tainan, Taiwan
2) Department of Industrial Technology and Process, Kalimantan Institute of Technology, Balikpapan,
Abstract— Jaring Interkoneksi Mahakam merupakan utilitas
listrik di Kalimantan Timur yang diharapkan andal dengan
ketersediaan cadangan listrik 155,46 MW. Dengan tambahan
interkoneksi dengan Sistem Barito Kalimantan Selatan,
kapasitas terpasang sistem Mahakam bertambah 92 MW.
Namun, dilaporkan tiga kali pada 18 Februari 2018, 5 April 2018
dan 11 Agustus 2018, pemadaman listrik besar terjadi di
sebagian besar kota di Kalimantan Timur seperti Samarinda,
Bontang, Balikpapan dan Kutai Kartanegara karena alasan
teknis. Untuk mengatasi masalah ini, perencanaan yang tepat
dan strategi operasi perlu dilakukan, dengan mengamati kondisi
masa depan menggunakan peramalan beban jangka pendek,
menengah dan panjang. Beberapa atribut seperti pola beban
historis dan data cuaca digunakan untuk melakukan peramalan
beban sehingga keseimbangan daya yang tepat dapat dilakukan
oleh operator sistem. Selain itu, prediksi infrastruktur yang
berlebihan juga dapat dilakukan untuk menghindari overheating
yang parah yang dapat memicu pemadaman besar. Dengan
melakukan peramalan beban dengan atribut terkait,
perencanaan yang tepat dan strategi operasi dapat dilakukan
tanpa mengorbankan kenyamanan pelanggan listrik.
Index Terms—load forecasting, load modelling, supervised
learning
I. PENDAHULUAN
Pemadaman bergilir yang terjadi sebagai akibat permasalahan
teknis dalam pengoperasian Jaring Interkoneksi Mahakam
dapat ditanggulangi dengan perencanaan dan strategi operasi
yang tepat. Dengan ketersediaan cadangan listrik sebesar
155.46 MW dan tambahan interkoneksi dengan Sistem Barito
Kalimantan Selatan sebesar 95 MW, utilitas listrik di
Kalimantan Timur diharapkan menjadi andal tanpa
pemadaman bergilir. Namun pada kenyataannya, dilaporkan
terdapat tiga kejadian pemadaman luar biasa secara bersamaan
di mayoritas kota besar di Kalimantan Timur yaitu Kota
Samarinda, Bontang, Balikpapan dan Kutai Kartanegara pada
18 Februari 2018, 5 April 2018 dan 11 Agustus 2018 yang
disebabkan oleh kesalahan teknis. Salah satu cara untuk
mencegah terjadinya permasalahan yang sama adalah melalui
peramalan baik pada beban (load) dan sumber daya energi
baru terbarukan (EBT) (renewable energy resource).
Salah satu metode untuk melakukan peramalan beban dan
sumber daya EBT adalah melalui jaring saraf tiruan (artificial
neural network) dan regresi linear (multiple linear regression).
Dalam penggunaan kedua metode ini, pengkondisian data
sebelum digunakan pada model peramalan akan dilakukan
melaui t-test dan coefficient correlation. Melalui tes statistik
ini, hanya attribute yang memiliki relasi kuat yang akan
digunakan untuk menyusun masukan model peramalan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun model
peramalan yng akurat untuk beban dan sumber daya EBT.
1
Indonesia email: heprillia@gmail.com
Hasil peramalan dapat memiliki persentase galat (error
percentage) yang rendah sehingga sistem operator dapat
mengobservasi kondisi sistem dengan kondisi yang mendekati
kondisi real-time.
II. DASAR TEORI
A. T-test dan coefficient correlation analysis [1]
T-test dan coefficient correlation analysis dilakukan untuk
memilih atribut informasi cuaca dan kondisi yang signifikan
dengan peramalan yang akan dilakukan. Melalui kedua tes
tersebut, nilai dari p-value dan R akan dihitung untuk
mengetahui kuat relasi antar variabel input dan output.
Semakin tinggi nilai R maka semakin kuat relasi variabel
tersebut terhadap output yang diramal. Sebaliknya, semakin
kecil nilai p-value maka semakin kuat relasinya dengan output
yang diramal. Untuk nilai p-value, nilai yang dianggap
signifikan sebaiknya kurang dari 5% significance level
walaupun dalam aplikasi, batas significance level tersebut
dapat disesuaikan dengan kebutuhan riset.
B. Artificial Neural Network (ANN) [2]
ANN atau disebut dengan jaringan saraf tiruan adalah sebuah
metode peramalan supervised learning yang terdiri dari
beberapa lapisan (layer) yang memiliki input, hidden dan
output layer. Secara umum, ANN bekerja dengan asumsi
blackbox dimana model dibangun berdasarkan susunan layer
tersebut melalui input dan output yang diketahui pada saat
pelatihan (training). setiap jaringan tiruan ini terdiri dari
neuron yang bekerja sama untuk membangun model prediksi.
Pendekatan model untuk menghasilkan prediksi output yang
tepat dilakukan melalui proses training yang berulang.
Back Propagation Neural Network bekerja melalui
mekanisme perhitungan perbedaan antara input dan output
atau galat E yang dideskripsikan pada persamaan berikut:
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
 2

Sejumlah p struktur input terdapat sejumlah i hidden layer B. Alur Penelitian

untuk neuron input dan j hidden layer untuk neuron hidden. MLR akan digunakan sebagai alat prediksi beban dimana
Unit neuron hidden j selanjutnya akan menerima sebuah masukan data dari kedua model ini harus disusun berdasarkan
jaringan keluaran dari hidden layer H. pada output layer, atribut yang memiliki nilai relasi yang signifikan terhadap
neuron k akan menerima beberapa input dari hidden layer. output yang diharapkan. variabel input untuk data beban yang
Hasil prediksi output akan didapat sebagai hasil dari fungsi digunakan untuk membangun model peramalan akan disusun
neuron output. dengan kondisi sebagai berikut:
C. Multiple Linear Regression [3]
MLR digunakan sebagai dasar pemodelan yang dapat
mengakomodasi beberapa variabel input secara bersamaan.
Untuk variabel bebas k, output prediksi y dapat dihitung
melalui perkalian tiap variabel prediktor X dan koefisien
variabel prediktor dengan tambahan intercept dan galat
pada model yang diobservasi . Penjelasan tersebut dapat
diamati melalui persamaan 1.
(6)
Intercept dan koefisien variabel prediktor adalah least-
square estimator yang disebut sebagai koefisien regresi yang
didapat melalui perhitungan jumlahan kuadrat galat terendah
(residual sum of squares) yang ditunjukan pada persamaan 2.
(7)
D. Evaluasi galat
Evaluasi galat dilakukan melalui perhitungan Mean Absolute
Percentage Error (MAPE) and Unscaled Mean Bounded
Relative Error (UMBRAE). Untuk peramalan beban, evaluasi
dilakukan dengan menggunakan MAPE sedangkan untuk
permalan daya tenaga surya, UMBRAE akan digunakan. Hal
ini dikarenakan produksi daya tenaga surya hanya terbatas
pada pagi hari dan bernilai nol di malam hari. Bila MAPE Gambar 1. Diagram Alir Konstruksi Model Peramalan Beban
digunakan, nilai MAPE akan sangat besar menuju infinity
karena nilai nol saat tidak ada produksi daya di denominator
MAPE tersebut.
(8)

(9)
Actt dan Fort adalah nilai aktual dan hasil prediksi. Actt-1
adalah nilai aktual periode sebelumnya. Mean Bounded
Relative Error didapat dengan,

(10)

III. METODE
A. Data Set
Data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data historis
cuaca, beban dan EBT tenaga matahari. Data historis cuaca
diambil dari penyedia data cuaca open source [5]. Data
historis beban didapat dari sistem jaring tenaga listrik ISO-
New England, Massachusets USA yang tersedia secara open
source melalui [6] sedangkan untuk panel surya Green
Campus Shalun NCKU, Taiwan. Seluruh data set merupakan
data time series yang diambil melaui Application
Programming Infrastructure (API) dan Automatic Meter
Infrastructure (AMI) tiap satuan jam. Gambar 2. Diagram Alir Konstruksi Model Peramalan Daya Tenaga
Surya
 3

• Jam yang sama pada hari sebelumnya

B. Hasil Prediksi
• Mean data dan standar deviasi dari hari sebelumnya
• Lagged data 1, 2, dan 3 jam sebelumnya. Model prediksi dibangun berdasarkan tipe musim per tahun
Data cuaca akan dikondisikan menurut data historis cuaca dan yaitu musim gugur (Fall), musim dingin (Winter), musim semi
prediksi suhu pada periode berikutnya akan digunakan. Model (Spring), dan musim panas (Summer). Pada penelitian ini,
peramalan beban dibangun berdasarkan model MLR konstruksi model hanya dilakukan pada set data pada hari
sedangkan untuk Sedangkan untuk prediksi resource tenaga kerja (working day). Tabel 2 menunjukkan koefisien model
surya, BPNN akan digunakan dengan pengkondisian yang peramalan beban dengan MLR. Dapat dilihat bahwa, setiap
serupa dengan perlakuan pada peramalan beban. Pada musim memiliki kombinasi koefisien yang berbeda satu sama
penelitian ini periode yang digunakan untuk setiap data adalah lain. Tabel 3 menunjukan keakuratan model prediksi yang
pembacaan per jam. Diagram alir proses konstruksi model dievaluasi dengan MAPE. Model untuk musim semi memiliki
peramalan beban dan daya tenaga surya untuk proses training MAPE terendah yaitu sebesar 1% untuk proses training,
ditunjukan pada Gambar 1 dan Gambar 2 secara berurutan. sedangkan model musim panas unggul dengan MAPE 1.25%
di proses testing. Gambar 3 menjelaskan bahwa prediksi
IV. HASIL PENELITIAN dengan MLR model dapat mengikuti pola beban aktual
Simulasi dilakukan menggunakan software MATLAB® 2018 dengan baik. Terlihat pula bahwa, walaupun telah disediakan
pada 64-bit Operating System Windows 10 dengan Inter® beberapa parameter melalui hasil tes statistik, model MLR
Core™ i-73770 CPU @ 3.40GHz 8GB RAM. Proses memiliki kemampuan adaptasi atribut yang signifikan untuk
simulasi membutuhkan waktu kurang lebih 16 menit saat membentuk model yang akurat.
training dan detik pada saat testing.
Tabel 2. Koefisien MLR Model Peramalan Beban
A. Penentuan Variabel Input yang Signifikan 1-Fall 1-Fall 2-Winter 3-Spring 4-Summer
Melalui hasil tes statistik, berikut adalah susunan variabel 1 4.4365 -2.2669 0.3744 0.7607
input yang akan membangun model peramalan. Tabel 1
2 -15.3279 19.2841 -3.0183 -2.0409
menunjukan hasil t-test dan coefficient correlation dari atribut
yang terdapat pada data cuaca. Simbol +/- pada kolom 3 0 0 0 0
Correlation berarti bahwa atribut cuaca tersebut memiliki 4 -0.6922 -1.0929 0.2024 -0.0748
relasi positif/negatif terhadap output yang diharapkan. Dari
nilai p-value beberapa atribut berada diluar significance level 5 0 0 0 0
karena bernilai lebih dari 5% yaitu parameter pressure, 6 0 0 0 0
humidity dan rain_24h. Sedangkan, dari sisi nilai R, atribut 7 0 0 0 0
yang dominan adalah temp_min, wind_speed, temperature,
weather description and cloud condition. Variabel input 8 7.7757 -18.0355 -2.3127 0.4938
disusun berdasarkan hasil tes statisik ini. 9 0 0 0 0
10 0 0 0 0
Tabel 1. Hasil Tes Statistik Untuk Data Preconditioning
No Name R p-value Correlation Status 11 0 0 0 0

1 temp_min 5.10E-02 9.13E-21 + 1 12 -3.5266 0 14.9536 -18.3088

2 wind_speed -4.58E-02 4.82E-17 - 1 13 -7.5685 -1.5955 -5.5419 -2.8518

3 temp 4.36E-02 1.40E-15 + 1 14 0 0 0 5.7025

4 weather_description -4.25E-02 6.88E-15 - 1 15 0 0 0 0

5 clouds_all -3.89E-02 1.04E-12 - 1 16 0 0 0 0

6 temp_max 3.63E-02 3.05E-11 + 1 17 42.2568 0 9.753 1.0443

7 rain_3h 3.17E-02 6.53E-09 + 1 18 0 0 0 0

8 weather_main -2.78E-02 3.59E-08 - 1 19 0 0 0 0

9 weather_icon -2.55E-02 2.95E-07 - 1 20 0 0 0 0

10 weather_id 2.12E-02 1.05E-04 + 1 21 53.068 0 0 0

11 rain_today 1.99E-02 2.71E-04 + 1 22 6.4135 11.8139 -8.9691 -3.6979

12 rain_1h 1.88E-02 5.74E-04 + 1 23 0 0 0 0

13 wind_deg 1.36E-02 1.25E-02 + 1 24 0 0 0 0

14 rain_24h 9.25E-03 9.01E-02 + 0 25 0 0 0 0

15 pressure -8.20E-03 1.33E-01 - 0 26 -2.8703 -1.3613 -4.732 -2.9068

16 humidity -5.19E-03 3.42E-01 - 0 27 5.5084 5.6815 8.5577 5.9547

 4

Estimation (KDE) [4] dan normal distribution. Selanjutnya

Tabel 3. Distribusi galat beban sistem ISO-NE 2016 UMBRAE menghitung galat prediksi yang terbatasi antara
MAPE 1-Fall 2-Winter 3-Spring 4-Summer nilai [0,1]. Ketika MBRAE =1. Nilai aktual dari produksi daya
adalah mendekati nol. Nilai UMBRAE dengan menggunakan
Training 1.26% 1% 0.56% 0.72% KDE adalah 2.06% sedangkan untuk normal distribution
Testing 3.39% 4.59% 1.67% 1.25% UMBRAE bernilai 2.64%.
Melalui hasil yang ditunjukan pada peramalan beban dan
produksi daya tenaga surya, dapat dilihat bahwa model
peramalan dapat dikondiskan dengan menggunakan data
historis maupun PDF. Melalui pendekatan yang cermat, sistem
operator dapat melakukan observasi yang matang terhadap
kondisi produksi daya sistem maupun kondisi beban.

Gambar 4. Hasil prediksi daya panel surya

Gambar 5. UMBRAE prediksi daya panel surya

Gambar 3. Hasil prediksi beban sistem ISO-NE tahun 2016

Berbeda dengan model peramalan beban, model peramalan V. KESIMPULAN

daya panel surya dilakukan menggunakan BPNN dimana
BPNN membutuhkan 5 layer hidden dengan optimasi
Lavenberg-Marquardt untuk melatih jaring saraf tiruan dan
memperbarui nilai bias dari model. Melalui 10 iterasi dan 6
pengulangan untuk validasi, evaluasi produksi daya panel
surya tersebut dapat dilihat melalui Gambar 4 dan Gambar 5.
Untuk melihat ketepatan prediksi, dua bentuk probability
density function (PDF) digunakan, yaitu Kernel Density
Peramalan beban dan produksi daya dapat dilakukan dengan
pendekatan yang sama dengan dan tanpa metode yang sama.
MLR dengan variabel input yang dikondisikan melalui tes
statistik mampu memberikan hasil observasi yang akurat.
Demikian pula dengan ANN, walau dengan input yang telah
dikondisikan melalui tes statistic dan diubah ke bentuk PDF,
observasi yang akurat dapat didapat tanpa membutuhkan data
historis yang panjang. Oleh karenanya, penelitian ini
 5

diharapkan dapat memberikan saran strategis untuk

meningkatkan performa Jaring Interkoneksi Mahakam melalui
peramalan beban dan sumber daya. Melalui pendekatan yang
cermat, sistem operator dapat melakukan observasi yang
matang terhadap kondisi produksi daya sistem maupun kondisi
beban.
VI. DAFTAR PUSTAKA

[1] Y. H. Hsiao, "Household Electricity Demand Forecast Based on Context

Information and User Daily Schedule Analysis From Meter Data," in
IEEE Transactions on Industrial Informatics, vol. 11, no. 1, pp. 33-43,
Feb. 2015.
[2] Amirullah, Amirullah & Penangsang, Ontoseno & Hery Purnomo,
Mauridhi. (2008). Studi Aliran Daya Menggunakan Jaring Saraf Tiruan
Counterpropagation Termodifikasi. 1
[3] W. Shi, N. Li, C. C. Chu and R. Gadh, "Real-Time Energy Management
in Microgrids," in IEEE Transactions on Smart Grid, vol. 8, no. 1, pp.
228-238, Jan. 2017.
[4] G. Eason, B. Noble, and I.N. Sneddon, “On certain integrals of
Lipschitz-Hankel type involving products of Bessel functions,” Phil.
Trans. Roy. Soc. London, vol. A247, pp. 529-551, April 1955.
(references)
[5] Accesed on 1 June 2018. Timeanddate weather and calendar service
provider. https://www.timeanddate.com
[6] Accesed on 1 June 2018. isoNE generic data.
http://www.energyonline.com/Data/GenericData.aspx?DataId=16

Persiapan Rekonstruksi Teluk Palu setelah Gempa
dan Tsunami 28 September 2018
Wahyu Widiyanto1) 2)
1)
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Indonesia, email:
wahyu.widiyanto@unsoed.ac.id
2)
Department of Hydraulic and Ocean Engineering, National Cheng Kung University, Taiwan R.O.C, email:
N88057017@mail.ncku.edu.tw
Abstract—Setelah tahap tanggap darurat dan pemulihan
maka rekonstruksi menjadi tahap berikutnya yang harus
dilaksanakan di wilayah Teluk Palu dan sekitarnya yang telah
diguncang gempa dan dilanda tsunami. Pembangunan kembali
sarana dan prasarana yang rusak akibat tsunami memerlukan
perancangan yang tepat agar diperoleh hasil optimum dan dapat
diandalkan (reliabel). Di sisi lain, perencanaan wilayah dengan
mempertimbangkan upaya mitigasi secara mendalam menjadi
hal yang mutlak dilakukan pula. Dua pendekatan dalam
perencanaan dan perancangan untuk rekonstruksi pasca gempa
dan tsunami di Sulawesi Tengah, yaitu deterministik dan
probabilistik didiskusikan pada tulisan ini. Bagi para pengambil
kebijakan dapat memandang secara luas wilayah yang harus
dilakukan rekonstruksi dengan mempertimbangkan berbagai
probabilitas yang mungkin akan dialami di masa datang,
terutama menyangkut kemungkinan terjadinya gempa dan
tsunami. Di pihak lain, para insinyur perencana menggunakan
cara deterministik dalam desainnya sembari melengkapi dengan
aspek probabilistik agar diperoleh struktur bangunan sesuai
kriteria desain. Kedua metode memiliki peran masing-masing
dalam analisis risiko dan potensi bencana. Saling melengkapi
satu sama lain untuk mendapatkan pandangan tambahan
terhadap kegiatan mitigasi bencana. Kapan salah satu metode
lebih diprioritaskan bergantung kepada lingkup wilayah dan
jenis fasilitas yang akan dibangun kembali.
Index Terms— bencana, deterministik, gempa, mitigasi,
probabilistik, rekonstruksi, tsunami.
I. PENDAHULUAN
Jumat, 28 September pukul 18:02:44 waktu lokal, di saat
sebagian besar orang tengah bersiap melaksanakan sholat
maghrib, Teluk Palu diguncang gempa kuat dengan
magnitude 7.4. Episentrum terletak pada koordinat 119.85°
BT dan 0.18° LU dengan kedalaman 10 km di Timur Laut
Kota Donggala. Meskipun episentrum berada di wilayah batas
luar Teluk Palu, kerusakan paling parah justru diderita Kota
Palu yang berada di ujung teluk dan berjarak tak kurang
dari 70 km dari episentrum. Dua fenomena besar mengikuti
kejadian gempa tersebut yaitu liquifaksi dan tsunami.
Bencana yang terjadi di sebagian wilayah Sulawesi
Tengah ini telah mengherankan para ahli dan peneliti gempa
dan tsunami dari berbagai belahan dunia. Secara geologis,
wilayah terjadinya gempa berada pada sesar atau patahan
Palu-Koro, salah satu patahan aktif di Indonesia yang bertipe
patahan mendatar (strike-slip). Tipe patahan ini bergerak
secara horisontal satu sama lain sehingga sebenarnya tidak
menimbulkan deformasi vertikal yang signifikan untuk
memicu lahirnya tsunami. Namun fakta di Sulawesi Tengah
telah terjadi dimana tsunami telah meluluhlantakkan berbagai
objek dan fasilitas serta memakan korban yang tidak sedikit.
Sampai 21 Oktober 2018, sebanyak 2.113 korban dilaporkan
meninggal dalam tragedi ini. Spekulasi muncul, salah satunya
1
bahwa diduga kuat telah terjadi longsor bawah laut yang
menjadi penggerak awal gelombang tsunami. Di tengah tanda
tanya para ahli yang belum terjawab, penanganan bencana
harus dilakukan untuk menjamin kelangsungan hidup warga
terdampak yang akan lebih cepat bangkit jika ada
kebersamaan semua pihak [11].
Fase tanggap darurat ditetapkan oleh pemerintah selama
dua minggu sejak 28 September 2018 dan kemudian
diperpanjang selama dua minggu berikutnya hingga 26
Oktober 2018. Fase ini difokuskan untuk pencarian,
penyelamatan, dan evakuasi para korban. Tahap selanjutnya
adalah pemulihan yang ditujukan untuk menyediakan fasilitas
dasar agar kehidupan dapat berjalan menuju normal. Tahap
rekonstruksi segera menyusul dan perencanaannya telah
didiskusikan oleh pihak berwenang mengikuti tahapan dalam
undang-undang [15].
Artikel ini bertujuan untuk memberikan saran dan
pendapat tentang penggunaan metode deterministik dan
probabilistik dalam mendukung tahap rekonstruksi yang akan
dilaksanakan. Rekonstruksi di sini hanya dibatasi pada
pengertian pembangunan kembali fasilitas fisik yang musnah
atau rusak akibat gempa dan tsunami. Sedangkan rekonstruksi
sosial dan ekonomi tidak didiskusikan dalam artikel ini. Para
insinyur perencana dan pelaksana, pengambil kebijakan
mitigasi bencana, serta para pemangku kepentingan ada
baiknya memberikan perhatian terhadap kedua pendekatan
tersebut untuk diterapkan secara tepat. Saran dan pendapat
dalam pembahasan ini bersifat umum dan kualitatif, yang
perlu dirinci dan dikuantifikasi lebih lanjut.
Pendekatan secara deterministik dan probabilistik telah
menjadi diskusi yang memunculkan banyak pendapat dari
para ahli. Dalam bidang kegempaan, deterministik telah lebih
dulu banyak diaplikasikan dalam perencanaan struktur
bangunan hingga sebuah metode lain diperkenalkan oleh [3],
yaitu probabilistik, yang kemudian populer dengan sebutan
Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA). Seolah terjadi
“persaingan” dalam penggunaan kedua metode tersebut
seperti didiskusikan oleh [4], [7] dan [13]. Sedangkan [5]
secara logis mengkritisi metode probabilistik untuk gempa
dengan alasan adanya ketidaksesuaian antara peta rawan
gempa dengan kejadian kerusakan gempa pada daerah yang
dinyatakan berisiko rendah terhadap gempa.
 2

II. PEMANFAATAN TELUK PALU
Teluk Palu menjadi bagian sangat vital bagi Provinsi
Sulawesi Tengah. Pergerakan orang dan barang terjadi
intensif di daerah ini. Teluk Palu turut memberi andil dalam
pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah dimana pada periode
2010-2017 pertumbuhan ekonomi tertinggi dicapai pada tahun
2015 yang mencapai dua digit yaitu 15,52 %. Selanjutnya
pada tahun 2016 mencapai 9,98% dan merupakan
pertumbuhan ekonomi provinsi tertinggi di Indonesia. Tahun
berikutnya turun menjadi 7,14% namun masih di atas
pertumbuhan ekonomi nasional 5.07% [2].
Gbr. 1 dan Tabel 1 menggambarkan pemanfaatan Teluk
Palu untuk berbagai kepentingan. Berdasarkan survei oleh
penulis, setidaknya ada 17 lokasi yang terdapat bangunan dan
fasilitas untuk menunjang kehidupan masyarakat.
17
16
1
15
14
Kejadian gempa dan tsunami telah menyebabkan kerusakan
pada fasilitas yang digambarkan oleh Gbr. 1 dan ditampilkan
pada Tabel 1 pada berbagi tingkatan mulai dari ringan hingga
berat.
III. TIPE KERUSAKAN BANGUNAN
Sebuah tim yang merupakan kerjasama antara Department
of Hydraulic and Ocean Engineering, National Cheng Kung
University dengan Jurusan Teknik Sipil Universitas Jenderal
Soedirman telah melakukan survei pasca gempa dan tsunami
di Teluk Palu dan sekitarnya. Salah satu hasil survei adalah
mengenai tipe kerusakan bangunan. Terdapat tiga tipe
kerusakan bangunan yang dapat diamati yaitu kerusakan
akibat gempa, likuifaksi dan tsunami.
A. Kerusakan akibat gempa
Kerusakan akibat gempa umumnya bercirikan struktur
roboh pada arah horisontal. Tiang atau kolom miring dan
dinding roboh. Objek-objek bergeser ke arah mendatar.
Deformasi struktur ke arah vertikal tidak dominan. Peristiwa
fenomenal adalah ambruknya Jembatan Palu IV atau
Jembatan Kuning yang merupakan ikon Kota Palu. Jembatan
ini berada di muara Sungai Palu. Saksi mata dan bukti-bukti
menunjukkan bahwa jembatan roboh disebabkan oleh gempa
bukan oleh tsunami.

2
13
3
4 12
11
5 10
9
6 78

Gbr. 1. Pemanfaatan Teluk Palu, jenis fasilitas pada setiap nomor ditampilkan
pada Tabel 1

TABEL 1
FASILITAS PENTING DI TELUK PALU

No. Penggunaan (a)

1 Pasar Ikan dan Pelabuhan Donggala

2 Dermaga tongkang tambang pasir
3 Kilang minyak, Depo Pertamina Loli
4 Pangkalan TNI AL dan Dermaga Kapal Selam Watusampu
5 Hotel, restoran, pemukiman
6 Pendidikan, seni budaya, olahraga, pusat perbelanjaan, hotel
7 Jembatan Palu IV (jembatan kuning yang melintas Sungai Palu)
8 Perkantoran dan pemukiman
9 Perkantoran, pemukiman, wisata
10 Ladang garam, wisata, bisnis
11 Pendidikan, wisata, pemukiman, bisnis
12 Pemukiman
13 Pelabuhan ASDP Taipa
14 Pelabuhan Peti Kemas dan Penumpang Pantoloan
15 Galangan Kapal dan Pelabuhan Wani
16 Pangkalan Pendaratan Ikan Lero (b)
17 Tempat wisata
 3

1,5 m

(c)
Gbr. 2. Contoh kerusakan akibat gempa di Kota Palu, berturut-turut adalah (a)
Jembatan Palu IV (jembatan kuning), (b) Hotel Roa-roa, dan (c) pagar SMK
Sigi bergeser sejauh 1,5 meter.
(c)
Gbr. 3. Contoh kerusakan akibat likuifaksi di Kota Palu, berturut-turut adalah
(a) rumah tenggelam di Petobo, (b) rumah tertimbun lumpur di Petobo, dan
(c) perumahan menjadi tak berbentuk di Balaroa

C. Kerusakan Akibat Tsunami

B. Kerusakan Akibat Likuifaksi
Bangunan yang menjadi rata dan roboh pada arah yang
Kerusakan jenis ini disebabkan tanah tiba-tiba menjadi
sama menjadi ciri dari kerusakan akibat tsunami. Arah roboh
jenuh air karena goyangan gempa sehingga tanah menjadi
biasanya sama dengan arah datang gelombang tsunami.
lembek dan kehilangan daya dukung. Bangunan-bangunan
Beberapa bagian struktur yang sebenarnya relatif berat dapat
yang kehilangan daya dukung akan cenderung tenggelam.
berpindah tempat cukup jauh dari posisi aslinya, misalnya
Kerusakan jenis ini ditandai dengan berpindahnya struktur
yang dapat ditemui pada survei lapangan di Palu-Donggala
dari kedudukan semula. Perpindahan dapat secara horisontal
adalah berupa lapisan jalan aspal, tembok batu bata, batu
(hanyut) maupun vertikal (tenggelam). Pada tingkatan
revetment tebing pantai, kaison tembok laut, bahkan jembatan
likuifaksi yang sangat kuat seperti kejadian di Palu, bangunan
beton.
bahkan mengalami rotasi horisontal dan vertikal hingga
bangunan terlihat seperti teraduk bersama tanah dasar.
(
b
)

(b)

(
a
)
(
a
)
 4

diperhitungkan menggunakan metode deterministik misalnya

(c)
Gbr. 4. Contoh kerusakan akibat tsunami di Kota Palu, berturut-turut adalah
(a) rumah-rumah kost di Tondo, (b) kompleks pergudangan di Layana, dan
(c) pemukiman di Mamboro
IV. DETERMINISTIK DAN PROBABILISTIK
Dalam artikel ini akan diulas dua pendekatan dalam
memperlakukan gejala alam untuk perencanaan dan desain,
yaitu deterministik dan probabilistik. Kedua pendekatan ini
seringkali ada yang berpendapat saling bertentangan namun
ada yang menganggap dapat saling melengkapi. Menurut [13],
hubungan komplementer dari analysis deterministik dan
probabilistik dapat dinyatakan sebagai berikut: kejadian
deterministik dapat dicek dengan sebuah analisis probabilistik
untuk memastikan bahwa kejadian deterministik tersebut
adalah realistik (cukup beralasan), sebaliknya analisis
probabilistik dapat dicek dengan kejadian deterministik untuk
melihat hipotesis yang rasional tersebut telah dilibatkan dalam
analisis probabilistik. Deterministik biasa dipakai untuk
perencanaan dan perancangan pada satu tempat tertentu
sedangkan probabilistik lebih cocok jika diterapkan untuk
perencanaan dan pengelolaan suatu kawasan. Rekonstruksi
pasca bencana di Teluk Palu dapat dipandang sebagai suatu
kawasan sehingga pendekatan probabilistik lebih sesuai. Di
sisi lain, ketika di sepanjang pesisir Teluk Palu terdapat
beberapa objek dan fasilitas dengan fungsi yang berbeda (Gbr.
1) maka analisis deterministik dapat dilakukan dengan
memandang setiap objek atau fasilitas tertentu sebagai fokus
berdasarkan batimetri pantai dan morfologi.
B. Probabilistik
Pendekatan ini menjadi semakin populer akhir-akhir ini
karena telah banyak usaha-usaha untuk mengkuantifikasi
ketidakpastian (uncertainty). Pendekatan ini terutama
ditujukan untuk mengetahui sebuah risiko (risk). Untuk
keperluan kewilayahan, misalnya untuk mitigasi bencana
alam, risiko dipengaruhi oleh potensi bencana (hazard) dan
kerentanan (vulnerability), dan dirumuskan sebagai
R H V (1)
Dengan R adalah risiko suatu peristiwa, H adalah hazard dan
V adalah vulnerability. Untuk keperluan design, istilah hazard
dan vulnerability seringkali diganti dengan peluang
(probability) suatu peristiwa akan terjadi dan konsekuensi
(consequences) dari peristiwa dan potensi risiko (R) dapat
dituliskan [6]-[9]:
R P  C (2)
dengan P adalah probabilitas suatu peristiwa akan terjadi dan
C merupakan konsekuensi dari peristiwa yang terjadi. Salah
satu kata kunci untuk membedakan metode deterministik dan
probabilistik adalah bahwa probabilistik memiliki satuan
waktu sedangkan deterministik tidak memiliki. Satuan waktu
dalam probabilistik diwujudkan dalam terminologi “kala
ulang” (return period).
Beberapa sudut pandang dapat diambil untuk menentukan
apakah suatu hal perlu didekati dengan cara deterministik atau
probabilistik. Gbr. 5 menunjukkan sebuah contoh dari [13]
yang menyarankan pemilihan metode atas dasar keputusan
mitigasi yang akan dibuat, lingkungan seismik, dan lingkup
proyek.
Deterministik Probabilistik
Keputusan Tanggap darurat, Desain/retrofit,
mitigasi risiko pemulihan, lokal elevasi
bencana
Pemulihan, regional
Potensi tinggi,
batas lempeng Potensi rendah,
Lingkungan Dekat dengan

perencanaan dan perancangannya. seismik sesar aktif tengah lempeng

Pemilihan metode apakah deterministik atau probabilistik
tidak perlu diperuncing yang dapat melebarkan permasalahan
bahkan menjadi perdebatan politik dan kegaduhan publik.
Contoh hal ini adalah pertentangan antara Caltrans dan US
Army Corps of Engineers pada masalah pemilihan metode
deterministik atau probabilistik dalam penentuan beban
rencana jembatan bentang timur baru Jembatan Teluk San
Francisco [7].
A. Deterministik
Pendekatan ini secara sederhana dapat digambarkan sebagai
penentuan dan penetapan suatu parameter, variabel atau
element dengan mengambil nilai tunggal (single value).
Dalam kaitan gempa dan tsunami, nilai tunggal tersebut
biasanya dipilih dari sebuah situasi terburuk (worst case
scenario). Ketika data historis dari tsunami pada suatu tempat
tertentu tidak mencukupi maka potensi tsunami dapat
Potensi sedang,
sembarang lokasi
Lingkup Lokasi spesifik
proyek Risiko regional
Kawasan multiguna
Gbr. 5. Penerapan risiko seismik dalam spektrum deterministik-probabilistik
menurut [13]
V. SARAN PEMILIHAN METODE
Metode deterministik dan probabilistik dapat digunakan
pada pembangunan kembali fasilitas yang rusak akibat gempa
dan tsunami yang kemungkinan dapat diintegrasikan dengan
disaster risk reduction (DRR) [12]. Referensi [13] meninjau
tiga hal dalam menentukan saran pemakaian kedua metode
tersebut seperti ditunjukkan oleh Gbr. 5, namun dalam artikel
ini hanya ditinjau berdasarkan faktor ada tidaknya atau kuat
tidaknya ketidakpastian dari sebuah parameter atau variabel.
 telah ada untuk menghitung berat batu pelindung dapat
disesuaikan dengan metode probabilistik sebagaimana
Deterministik diartikan secara sederhana sebagai penentuan dijelaskan oleh [8]. Berat batu pemecah gelombang dapat
ukuran sesuatu yang tidak dipengaruhi faktor ketidakpastian sangat berbeda meskipun berada di lokasi pantai yang
atau tingkat ketidakpastiannya rendah. Sedangkan berdekatan sebagaimana ditemukan di Pantai Selatan Jawa
probabilistik diartikan juga secara sederhana sebagai oleh [16]. Hal ini dikarenakan pemecah gelombang
penentuan ukuran sesuatu yang memiliki ketidakpastian atau dimaksudkan untuk suatu tujuan yang berbeda dan tingkat
ketidakpastiannya bervariasi cukup tinggi. Tabel 2 keamanan yang berbeda. Ini seolah dapat dikatakan sebagai
menunjukkan pada bagian apa dari sebuah fasilitas dimana “praktek metode probabilistik yang tidak disengaja”.
masing-masing metode tersebut dapat diterapkan. Perencanaan dan perancangan yang ingin memakai metode
Dalam pembahasan ini, ketidakpastian hanya ditinjau untuk probabilistik dapat mengacu pada [10] yang merupakan
gempa dan tsunami. Ini pun hanya dilihat secara global. referensi Probabilistic Tsunami Hazards Analysis (PTHA)
Faktor lain misalnya beban angin, beban hidup akibat nasional untuk wilayah Indonesia. Peta dan kurva potensi
pergerakan kendaraan, tegangan leleh baja dan beberapa tsunami adalah produk inti dari PTHA tersebut.
faktor lainnya tidak ditinjau. Perencanaan yang lebih teliti
harus memperhitungkan semua faktor sesuai kriteria desain.
Contoh penggunaan deterministik dan probabilistik pada
sebuah rangka baja dan beton dapat dilihat pada [1].
Beban gempa adalah beban yang bekerja pada suatu
struktur akibat dari pergerakan tanah yang disebabkan karena
adanya gempa bumi (baik itu gempa tektonik atau vulkanik)
yang mempengaruhi suatu struktur. Pedoman untuk
perhitungan beban gempa di Indonesia diberikan dalam SNI
1726-2012 [14]. Pedoman ini berdasarkan pada pendekatan
Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA). Dalam
standar tersebut gempa rencana ditetapkan sebagai gempa
dengan kemungkinan terlewati besarannya selama umur (a)
struktur bangunan 50 tahun adalah 2 persen. SNI tersebut
tidak berlaku untuk beberapa jenis bangunan misalnya
jembatan kendaraan, anjungan pelabuhan, dan struktur
penahan gelombang. Teluk Palu memiliki bangunan-
bangunan yang disebutkan terakhir ini, oleh karenanya perlu
menggunakan standar lain dari struktur terkait dengan
melibatkan ahli.
Pada Tabel 2, karakteristik tsunami yang diperhitungkan
adalah mengenai tinggi runup, jarak genangan dan tinggi
muka air. Tinggi runup adalah beda elevasi antara titik terjauh
di mana air tsunami masuk ke daratan dan elevasi muka air
laut saat kejadian tsunami. Ini dapat digunakan untuk
menentukan pada elevasi berapa bangunan boleh didirikan.
Jarak genangan adalah jarak datar antara titik runup dan garis
pantai. Ini dapat digunakan untuk menentukan seberapa jauh
dari garis pantai bangunan-bangunan boleh didirikan. (b)
Sedangkan tinggi muka air adalah ketinggian muka air yang
diukur dari elevasi tanah. Ini dapat digunakan untuk
menentukan seberapa tinggi bangunan sebaiknya didirikan
agar ada alternatif tempat penyelamatan jika tsunami terjadi.
Pada survei yang dilakukan oleh penulis dan tim, tinggi runup
rata-rata adalah 5 ~ 7 meter dengan maksimum ±11 m yang
terjadi di Tondo, Kota Palu. Jarak genangan rata-rata adalah
200 ~ 300 meter, dengan maksimum 530 meter yang terjadi di
Layana, Kota Palu. Ketinggian muka air yang terukur
kebanyakan berkisar 2 ~ 3 meter.
Gaya gelombang tsunami yang terjadi di Palu cukup kuat,
seperti ditunjukkan oleh beberapa foto pada Gbr. 6. Tim
survei menemukan sebuah jembatan beton dengan bentang 4,1
meter dan lebar 19 meter (untuk jalan 2 jalur) dengan berat
(c)
tidak kurang dari 38 ton, yang berada di Jalan Cumi-cumi Gbr. 6. Gaya gelombang tsunami perlu diperhitungkan untuk perencanaan
Kota Palu, bergeser sejauh 9,7 meter tanpa mengalami bangunan pantai, (a) kapal “Sabuk Nusantara” dengan panjang sekitar 45 m
kerusakan. Ini membuktikan gaya seret (drag force) dan gaya naik ke atas daratan, (b) robohnya tembok laut dan kaison bertampang bulat,
angkat (lift force) gelombang tsunami cukup kuat. Gaya (c) kerusakan kaison bertampang persegi di pantai Palu
gelombang ini harus diperhitungkan dalam desain bangunan-
bangunan di tepi pantai, misalnya untuk menentukan berat TABEL 2
batu pemecah gelombang atau pelindung pantai. Rumus yang PRIORITAS PEMILIHAN PENDEKATAN DETERMINISTIK ATAU PROBABILISTIK
UNTUK DESAIN FASILITAS PENTING DI TELUK PALU
 (NOMOR FASILITAS MENGACU PADA TABEL 1) dermaga.

No. 20 Lapangan pendaratan Berat batu pelindung pantai, jarak

Deterministik Probabilistik perahu dan sistem bangunan dari
Fasilitas
1 Kedalaman kolam labuh Elevasi dermaga, ukuran tambatan, tambat. garis pantai
sistem fender penahan benturan, 21 Luas taman, parkir, area Layout taman wisata, berat batu
ukuran batu pelindung hijau pelindung pantai, jarak bangunan
2 Panjang dermaga, apnjang Elevasi dermaga, sistem penambat wisata dari garis pantai
dan ketebalan turap
dermaga yang setara dengan atau lebih besar daripada peristiwa 28
3 Ketebalan plat dermaga Tinggi tangki kilang, jarak kilang September 2018 sore hari di Sulawesi Tengah. Pembahasan
dari garis pantai, elevasi penempatan
kilang, ukuran tambatan dalam artikel ini masih bersifat umum dan perlu dianalisis
4 Ketebalan plat dermaga, Elevasi dermaga, ukuran tambatan, lebih detail khususnya terhadap setiap bangunan.
jarak pilar dermaga gaya hidrodinamik terhadap dermaga
kapal selam VI. KESIMPULAN
5 Jumlah lantai bangunan, Beban gempa, gaya seret dan gaya
tinggi kolom, jarak antar angkat akibat tsunami, jarak Tulisan ini membahas dua pendekatan, yaitu deterministik
kolom, ukuran balok, tebal bangunan dari garis pantai, dan dan probabilistik, yang dapat diterapkan pada tahap
plat beton ketinggian dasar bangunan dari muka
air laut.
rekonstruksi Teluk Palu pasca gempa dan tsunami. Keduanya
6 Jumlah lantai bangunan, Jumlah lantai bangunan, tinggi dapat dikombinasikan dan saling melengkapi dalam
tinggi kolom, jarak Beban kolom, jarak Beban gempa, gaya penggunaannya. Aplikasi masing-masing tergantung pada
gempa, gaya seret dan gaya seret dan gaya angkat akibat tsunami, keputusan mitigasi bencana gempa dan tsunami yang akan
angkat akibat antar kolom, jarak bangunan dari garis pantai, dan disusun, lingkungan seismik, dan lingkup proyek. Umumnya,
ukuran balok, tebal plat ketinggian dasar bangunan dari muka
beton air laut. makin kompleks keputusan dan lingkungan seismik maka
7 Bentang jembatan, ukuran Elevasi jembatan, gaya gempa, gaya disarankan menggunakan analisis probabilitas. Sebaliknya
plat dan gelagar, abutment seret dan gaya angkat akibat tsunami makin sederhana keputusan mitigasi dan lingkungan seismik
8 Jumlah lantai bangunan, tsunami, jarak bangunan dari garis telah dikenal dengan cukup baik, maka penggunaan metode
tinggi kolom, jarak Beban pantai, dan ketinggian dasar
gempa, gaya seret dan gaya bangunan dari muka air laut.
deterministik dapat mewakili. Keduanya tidak harus dipisah
angkat akibat antar kolom, satu sama lain. Probabilistik analisis dapat memberi panduan
ukuran balok, tebal plat dalam pemilihan kejadian deterministik dan sebaliknya
beton kejadian deterministik dapat dipakai untuk memperbaiki
9 Jumlah lantai bangunan, Jumlah lantai bangunan, tinggi
tinggi kolom, jarak Berat kolom, jarak Berat batu pelindung
analisis probabilistik. Dengan cara ini, keputusan dalam
batu pelindung pantai, pantai, beban gempa, gaya seret dan mengurangi risiko bencana gempa dan tsunami dapat
beban gempa, gaya antar gaya angkat akibat tsunami, jarak diinformasikan kepada publik dengan lebih baik. Sehingga
kolom, ukuran balok, tebal dari garis pantai, dan ketinggian dengan menggabungkan dua metode tersebut diharapkan
plat beton muka tanah dari muka air laut.
diperoleh metode desain yang optimum, keandalannya dapat
10 Luasan partisi empang Berat batu pelindung pantai, layout
garam saluran ladang garam diperkirakan, namun tidak mengagetkan semua pihak jika di
11 Jumlah lantai bangunan, Beban gempa, gaya seret dan gaya kemudian hari terjadi suatu kerusakan akibat peristiwa alam
tinggi kolom, jarak antar angkat akibat tsunami, jarak
kolom, ukuran balok, tebal bangunan dari garis pantai, dan
plat beton ketinggian dasar bangunan dari
muka air laut. VII. UCAPAN TERIMA KASIH
12 Jumlah lantai bangunan, Beban gempa, gaya seret dan gaya Penulis mengucapkan terima kasih kepada Department of
tinggi kolom, jarak antar angkat akibat tsunami, jarak
kolom, ukuran balok, tebal bangunan dari garis pantai, dan Hydraulic and Ocean Engineering, National Cheng Kung
plat beton ketinggian dasar bangunan dari University, Taiwan, yang telah menyediakan pendanaan untuk
muka air laut. kegiatan survei lapangan pasca tsunami di Sulawesi Tengah.
13 Jumlah lantai bangunan, Elevasi dermaga, elevasi jembatan Demikian juga ucapan terima kasih kepada Jurusan Teknik
tinggi kolom, jarak antar penyeberangan ferry, ukuran batu
kolom, ukuran balok, tebal pelindung tebing pantai Sipil, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, yang telah
plat beton. memobilisasi surveyor, mahasiswa dan peralatan ke lokasi
14 Luasan terminal Tinggi dan fondasi crane, gaya bencana Sulawesi Tengah pada periode 11 sampai dengan 19
penumpang, jumlah lantai gempa, gaya seret dan gaya Oktober 2018 untuk melakukan pengukuran-pengukuran yang
bangunan, tinggi kolom, angkat akibat tsunami, elevasi
jarak antar kolom, ukuran dermaga
berkaitan dengan karakteristik tsunami. Tak lupa juga terima
balok kasih disampaikan kepada Bapak Arvandi dari Dinas Cipta
15 Luasan lapangan peti Tebal plat dermaga wharf, Karya dan Sumber Daya Air Provinsi Sulawesi Tengah yang
kemas, tebal plat dermaga, panjang dermaga, ketebalan dan telah membantu kelancaran observasi lapangan.
jarak tiang dermaga. panjang
16 Luasan lapangan peti Elevasi dermaga, sistem penambat,
kemas, tebal plat fender, jarak dan elevasi kantor dari
dermaga, jarak tiang garis pantai, arah jalan akses, ukuran VIII. DAFTAR PUSTAKA
dermaga. batu pelindung [1] A.C.W.M Vrouwenvelder, "Development toward full probabilistic design
17 Luasan lapangan peti codes" Structural Safety, vol. 24, pp. 417-432, 2002.
kemas, tebal plat [2] Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, Statistik Daerah Provinsi
dermaga, jarak tiang Sulawesi Tengah 2018, Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah,
dermaga. 2018, p. 27.
18 Luasan lapangan peti Elevasi dermaga, sistem penambat, [3] C.A. Cornell, "Engineering seismic risk analysis" Bulletin of the
kemas, tebal plat fender, jarak dan elevasi kantor dari Seismological Society of America, vol. 58, pp. 1583-1606, Oct. 1968.
dermaga, jarak tiang garis pantai, arah jalan akses, ukuran [4] E.L. Krinitzsky, "How to Combine deterministic and probabilistic
dermaga batu pelindung method for assessing earthquake hazards" Engineering Geology, vol. 70,
19 Luasan lapangan peti Tebal plat dermaga wharf, pp. 157-163, 2003.
kemas, tebal plat panjang dermaga, ketebalan dan
dermaga, jarak tiang panjang
[5] F. Mulargia, P.B. Stark, and R.J. Geller, "Why is Probabilistic Seismic
Hazard Analysis (PSHA) still used?" Physics of the Earth and Planetary
Interiors, vol. 264, pp. 63-75, Dec. 2017.
[6] J.J. Bommer, "Deterministic vs. probabilistic seismic hazard
assessment:an exaggerated and obstructive dichotomy," Journal of
EarthquakeEngineering, vol. 6, Special Issue 1, pp. 43-73, Sep. 2009.
[7] J.W. van der Meer, "Deterministic and Probabilistic Design of
Breakwater Armor Layer"J. Waterway, Port, Coastal, Ocean Eng., vol.
114(1), pp. 66-80, 1988.
[8] M. H. Faber, M.G. Stewart, "Risk assessment for civil engineering
facilities: critical overview and discussion," Reliability Engineering and
System Safety., vol. 80, pp. 173-184, Jan. 2003.
[9] N. Horspool, I. Pranantyo, J. Griffin, H. Latief, D. H. Natawidjaja, W.
Kongko, A. Cipta, B. Bustaman, S. D. Anugrah, and H. K. Thio, "A
probabilistic tsunami hazard assessment for Indonesia" Nat. Hazards
Earth Syst. Sci., pp 3105–3122, vol. 14, pp. 157-163, Nov. 2014.
[10] N. Suahasil, B. P. Resosudarmo, "Aceh-Nias reconstruction and
rehabilitation: Progress and challenges at the end of 2006," ADB
Institute Discussion Papers, No. 70, Asian Development Bank Institute
(ADBI), Tokyo, Jun. 2007.
[11] R. Palliyaguru, D. Amaratunga, R. Haigh, "Integration of disaster risk
reduction into infrastructure reconstruction sector, policy and practise
gap" International Journal of Disaster Resilience in the Built
Environment, vol. 1 no. 3, pp. 277-296, 2010.
[12] R.K. McGuire, "Deterministic vs. Probabilistic earthquake hazards and
risk" Soil Dynamics and Earthquake Engineering, vol. 21, pp. 377-384,
2001.
[13] S. Sabatino, D. M. Frangopol, and Y. Dong, "Sustainability-informed
maintenance optimization of highway bridges considering multi-
attribute utility and risk attitude" Engineering Structures, vol. 102,
pp.310-321, Sep. 2018
[14] Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan
gedung dan non gedung, SNI 1726:2012, 2012.
[15] Undang-undang Republik Indonesia tentang Penanggulangan Bencana,
UU No. 24-2007, Apr. 2007.
[16] W. Widiyanto, "Asesment Berat Batu Pelindung pada Pemecah
Gelombang di Pelabuhan Logending, PLTU Adipala and Cikidang,"
Jurnal Teknik Sipil, vol. 12(4), pp. 285-293, Apr. 2014.