Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Oleh
Kelompok 9
Noviyanti 0110U042
Ratih Novita S. 0110U122
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS WIDYATAMA
BANDUNG
2013
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur mari kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan
rahmad dan karunianya kepada penyusun, sehingga penyusun bisa menyusun makalah ini
dengan judul ” Kepatuhan Wajib Pajak dan Kemandirian Bangsa ”.
Penyusun berharap makalah ini bisa bermanfaat serta memberikan sumbangan
pengetahuan bagi semua pihak yang tertarik dan ingin mengetahui tentang perpajakan yang
ada di Indonesia. Makalah ini juga diharapkan bisa menjadi penambah literatur khususnya
bagi mahasiswa fakultas ekonomi yang mengambil mata kuliah seminar pajak.
Namun demikian, penyusun beserta kelompok menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, untuk itu penyusun beserta kelompok mengharapkan kritik serta
saran yang membangun dari semua pihak demi penyempurnaan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua, bersama ini penyusun
mempersembahkan makalah dengan judul ” Kepatuhan Wajib Pajak dan Kemandirian
Bangsa ” kehadapan para pembaca sekalian.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
BAB I ........................................................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 4
BAB II ....................................................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ......................................................................................................................................... 6
F. Motif Kepatuhan dan Penghindaran Pajak (Tax Evasion dan Tax Avoidance) ..................... 20
PENUTUP ............................................................................................................................................... 31
3.1 Kesimpulan............................................................................................................................ 31
3
BAB I
PENDAHULUAN
Sumber penerimaan negara Indonesia yang paling potensial adalah penerimaan pajak.
Penerimaan pajak akan digunakan untuk membiayai pembangunan dan meningkatkan
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Salah satu penerimaan pajak berasal dari Pajak
Penghasilan (PPH). Pajak Penghasilan sendiri terbagi dua, yaitu Pajak Penghasilan yang
berasal dari Badan dan Pajak Penghasilan yang berasal dari wajib pajak orang pribadi.
Dalam usaha untuk meningkatkan penerimaan pajak, antara lain fiskus melakukan
ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan pajak. Ekstensifikasi ditempuh dengan
meningkatkan jumlah Wajib Pajak yang aktif. Sedangkan, intensifikasi dapat ditempuh
melalui meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, dan pembinaan kualitas aparatur perpajakan,
pelayanan prima terhadap Wajib Pajak, dan pembinaan kepada para Wajib Pajak,
pengawasan administratif, pemeriksaan, penyidikan dan penagihan pasif dan aktif serta
penegakan hukum.
Penerimaan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi masih di bawah penerimaan Pajak
Penghasilan badan. Sementara dilihat dari realisasi penerimaan PPh nonmigas, kendati
jumlah wajib pajak (WP) orang pribadi terus meningkat. Idealnya, peningkatan jumlah basis
Wajib Pajak Orang Pribadi akan berbanding lurus dengan besarnya penerimaan pajak dari
PPh orang pribadi (Ali Imron, 2009; Bisnis Indonesia).
Pada umumnya Wajib Pajak cenderung untuk menghindarkan diri dari pembayaran
pajak. Kecenderungan ini terjadi karena tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah.
Pemeriksaan pajak merupakan salah satu instrumen yang baik untuk meningkatkan tingkat
kepatuhan Wajib Pajak, baik formal maupun material dari peraturan perpajakan, yang tujuan
utamanya untuk menguji dan meningkatkan kepatuhan perpajakan seorang wajib pajak.
Kepatuhan ini akan berdampak baik secara langsung maupun tak langsung pada penerimaan
pajak.
4
1.2 Identifikasi Masalah
1.3 Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini bagi penulis yaitu menambah pengetahuan
penulis mengenai Perpajakan lebih dalam, terutama penerapan kepatuhan pajak di Indonesia.
Penelitian ini juga diharapkan memberi pandangan positif mengenai kebijakan perpajakan di
Indonesia terutama dalam menganalisis hubungan kepatuhan pajak terhadap tingkat
penerimaan pajak di Indonesia.
5
BAB II
PEMBAHASAN
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting bagi
pembangunan nasional dewasa ini. Setiap tahun anggaran (APBN), pemerintah senantiasa
berusaha untuk meningkatkan penerimaan pajak guna membiayai pembangunan yang akan
dilaksanakan. Salah satu indikator yang digunakan pemerintah untuk mengikuti keberhasilan
dalam penerimaan negara dari pajak ini adalah tax ratio , yaitu perbandingan jumlah pajak
yang diperoleh atau dikumpulkan pemerintah dengan jumlah pendapatan domestik bruto
dalam satu tahun fiskal. Semakin besar tax ratio mengindikasikan semakin besar porsi
penerimaan pajak dalam APBN.
Upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak, dihadapkan pada kondisi yang masih
belum optimalnya sistem perpajakan diljalankan. Dalam sistem self assesment yang berlaku
saat ini posisi wajib pajak sangat penting karena wajib pajak diwajibkan untuk melaksanakan
kewajiban pajaknya secara mandiri. Kewajiban penghitungan pajak, pembayaran pajak, dan
pelaporan pajak dilaksanakan sendiri oleh wajib pajak dengan demikian seorang wajib pajak
dituntut untuk mengerti dan memahami tidak saja peaturan perpajakan, tetapi juga aspek
administrasi dan prosedur perpajakan. Pemenuhan kewajiban ini tidaklah muddah dilakukan
wajib pajak. Berjalannya sistem ini banyak bergantung pada adanya aturan yang jelas, adil,
dan transparan, demikian pila prosedur administrasi sederhana dan tidak berbelit-belit. Paralel
dengan itu, administrasi perpajakan dituntut pula untuk benar-benar transparan dan
memberikan pelayanan yang baik dan terpuji, sehingga wajib pajak dapat melaksanakan
pemenuhan kewajiban perpajakannya dengan baik dan bertanggung jawab.
Pada akhirnya orang atau badanlah sebagai subjek pajak yang melaksanakan
pembayaran pajak tersebut. Dengan sistem ini sepanjang tidak ditemukan data yang
menyimpang, maka otorisasi penentuan besarnya jumlah pajak terutang sudah bergeser ke
wajib pajak. Dengan demikian efektifitas sistem ini banyak bergantung pada seberapa besar
kesadaran dan tanggung jawab seorang wajib pajak. Kesadaran atau kepatuhan pajak
seyogyanya menjadi hal utama dalam proses jalannya sistem self assesment. Fenomena yang
terjadi, perilaku penghindaran pajak cenderung menjadi bagian dari perilaku warga
masyarakat dalam melakukan pemenuhan tindakan kewajiban perpajakannya. Uraian berikut
6
ini menjelaskan tinjauan secara teoritis berkaitan dengan kepatuhan pajak ( tax complience)
baik terkait dengan teori perpajakan (taxation) maupun dengan penelitian-penelitian yang
pernah dilakukan di berbagai negara terkait dengan tax complience.
Dalam salah satu artikelnya yang terkenal James and Alley (1999) mengemukakan
pengertian tax complience sebagai “ ..... The difinition of tax complience in its most simple
form is usually cast in term of the degree version relate which taxpayer comply with the tax
law. However, like many such concepts, the meaning of complience can be seen almost as
continuum of definition and on to even more comprehensive version relating to taxpayer
decision to conform to the wider objectives of society as reflected in tax policy.....”
Berdasarkan penertian di atas, definisi kepatuhan pajak dapat dilihat secara sederhana
atau secara lebih komprehensif. Secara sederhana menurutnya kepatuhan wajib pajak adalah
sekedar menyangkut sejauh mana wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai
dengan aturan perpajakan yang berlaku. Dengan demikian derajat atau tingakt kepatuhan
dapat diukur dengan adanya tax gap, yaitu perbedaan antara apa yang tersurat dalam aturan
perpajakan dengan apa yang dilaksanakan oleh seorang wajib pajak. Tax gap ini dapat pula
diartikan sebagai perbedaan antara seberapa besar pajak yang dapat dikumpulkan dengan
besar pajak yang seharusnya terkumpul, sebagaimana dinyatakan James dan Alley (1999), tax
gap represent the difference between the actual revenue colleted and the amount that would
be collected. Dalam praktek pemahaman ini terus berkembang ke berbagai pengertian dan
bahkan lebih kompleks sejalan dengan kepentingan masyarakat. Perkembangan dunia bisnis
yang terus berubah secara cepat seiring dengan dinamika perubahan perekonomian menuntut
pula terus menerus perlunya dilakukan penyesuaian-penyesuaian dalam ketentuan
perpajakan.
Lebih jauh dijelaskan “tax complience in this context would appear to indicate
complience with government policy in a wider sense, rather than only complience with the
tax law, and therefore what could be expected from a responsible citizen.” Dengan demikian
kepatuhan pajak ini lebih merajuk pada bagaimana sikap pembayar pajak yang memiliki rasa
tanggung jawab sebagai warga negara bukan hanya sekedar takut akan sanksi dari hukum
pajak yang berlaku. Pendapat serupa dinyatakan oleh James and Nobes (1997 : 137) yang
mengemukakan bahwa the definition of complience is usually cast in terms of the degree to
which tax payer comply with tax law. It has than been said that the degree of non complience
can be measured in terms of the tax gap.
Pengertian ini sejalan dengan pendapat sebelumnya bahwa kepatuhan dapat dijelaskan
7
sebagai tingkatan wajib pajak dalam memenuhi hukum pajak. Oleh karena itu, derajat ketidak
patuhan dapat diukur dengan berapa besar kesenjangan pajak (tax gap) yang terjadi. Tax gap
merujuk pada perbedaan antara penerimaan pajak yang diterima (actual revenue) dengan apa
yang seharusnya diterima jika wajib pajak patuh 100%.
Definisi di atas dianggap terlalu sederhana, karena di dalam implementasinya
keberhasilan administrasi pajak disertai pula dengan melakuan pemeriksaan atau
penyelidikan fiskus, ancaman atau sanksi hukum. Kepatuhan pajak baru akan terealisir
setelah dilakukan tindakan penegakan hukum (law enforecement). Sejatinya kepatuhan pajak
diharapkan lebih merupakan suatu kesadaran secara sukarela (voluntary tax complience).
Untuk itu definisi kepatuhan yang lebih sesuai adalah kepatuhan sukarela (voluntary tax
complience), yaitu mencakup tingkatan kesadaran untuk tunduk terhadap peraturan
perpajakan dan sekaligus terhadap administrasi pajak yang berlaku tanpa perlu disertai
dengan aktivitas tindakan dari otoritas pajak (enforcement activity) sebelumnya. Hal ini
sejalan sebagaimana dinyatakan James and Nobes (1997), a more appropriate might
therefore include the degree of complience with tax law and administration without the need
for enforcement activiy. Sebagai konsekuansi menjadi benar bahwa pengertian kepatuhan
pajak sukarela adalah mencakup tidak saja kesediaan wajib pajak untuk melaksanakan apa
yanag tersurat dlam aturan pajak, tetapi juga termasuk konsistensi semangat melaksanakan
dari pada apa yang tersirat dari aturan pajak dimaksud.
Oleh karena itu, setiap perencanaan pajak haruslah selalu di dalam koridor ketentuan
pajak. Setiap upaya perencanaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan
karenanya dianggap tidak mencerminkan kepatuhan pajak sukarela.
Hubungan sikap kepatuhan pajak dengan strategi kepatuhan dalam merespon tindak
ketidakpatuhan pajak digambarkan melalui Complience Model yang dikemukakan oleh
Australlian Tax Office (2000) dan New Zealand Revenue Department (2003) (James,
Hasseldine, Hite, and Toumi, 2003). Model ini didasarkan pada asumsi bahwa kebijakkan
yang diharapkan adalah refleksi dari tingkat kepatuhan pajak yang ada (attitude to
complience). Model tersebut juga sesuai dengan model yang digambarkan oleh OECD Centre
for Tax Policy and Administration dalam menjelaskan tingkat kepatuhan pajak, (OECD
Centre for Tax Policy and Administration, 2004:38). Adapun klasifikasi dari tingkat
kepatuhan pajak dan strategi antisipasi yang daat dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan
pajak sesuai dengan model OECD dapat dilihat pada bagan berikut.
8
Sumber : Centre for Tax Policy and Administration, (2004:38)
Gambar 2.1
9
berakibat melanggar aturan pajak. Peraturan perpajakan berupa undang-undang pajak beserta
aturan pelaksanaannya dimaksudkan untuk tidak memberikan peluang untuk dpat ditafsirkan
oleh siapa saja, melainkan suatu ketentuan yang pasti yang bagi yang melannggarkarnya akan
terena sanksisesuai ketentuan. Wajib pajak yang tidak memahami secara penuh aturan
perpajakan dapat terjebak pada pemahan yang keliru dan berdampak pada gagalnya
penegakkan kepatuhan pajak dengan baik. Dalam konteks ini strategi kepatuhan pajak
dibangun atas dasar kepercayaan pada itikad baik wajib pajak dengan cara memberikan
bantuan pelayanan bagaimana memahami aturan pajak dan prosedur administrasi yang
menyertainya dengan benar (assist to comply). Dengan strategi ini diharapkan dikemudian
hari wajib pajakmembatalkan niatnya untuk menghindari pajak, sehingga kembali dapat
meningkatkan kepatuhannya.
Tingkatan kepatuhan pajak selanjutnya adalah dimana wajib pajak tidak patuh yaitu
tidak bersedia memenuhi aturan perpajakan yang berlaku (don’t want to comply). Wajib
pajak selalu dengan aktif menghindar memenuhi kewajibannya dengan alasan yang berbeda-
beda. Masalah perbedaan perlakuan pajak akibat masih dirasakannya ketidakadilan aturan,
prosedur administrasi pelaporan pajak yang dirasakan masih rumit me ndorong wajib pajak
tidak bersedia melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar. Sebaliknya gejala ini
dapat pula diakibatkan oleh keberadaan usaha wajib pajak yang menurun, sehingga
kewajiban pajak menjadi tertunda. Demikian pula perilaku curang sebagian wajib pajak dapat
mendorong wajib pajak lainnya bertindak sama. Davis, et al. (2003) mengemukakan bahwa
enforecement and behavior of other affect tax payer complience. Pendapat senada
sebagaimana dinyatakan Weisman (Davis, et al., 2003) bahwa “if taxpayer begin to believe
that others are cheating, the temptations to shave their own tax burden may become
irreistible.” Dengan demikian kepatuhan menyangkut unsur perilaku pihak-pihak yang
terkait dalam pajak. Secara implementatif pola ketidakpatuhan ini dipahami sebagai cara
menghindar yang sengaja dilakukan wajib pajak dalam upaya mengurangi, atau bahkan tidak
membayar pajak yang seharusnya. Memahami bahwa pajak adalah suatu kewajiban maka
tidak bisa lain bahwa dalam situasi apapun bilamana potensi penghasilan menunjukkan harus
ada kewajiban pajak yang harus dibayar, maka strategi yang dilakukan adalah melakukan
upaya pencegahan penghindaran pajak. Upaya yang dilakukan adalah upaya pencarian fakta-
fakta yang menjadi alasan wajib pajak untuk menghindar. Demikian pula menemukan
informasi, data-data terkait potensi penyimpangan aturan pajak (deter by detection).
Informasi atau data akurat terkait penyimpangan perpajakan wajib pajak baik berpa surat
teguran atau peringatan lainnya.
10
Tingkat kepatuhan pajak yang terakhir adalah sudah pada tingkat yang sama sekali
tidak bersedia memenuhi kepatuhan pajak atau tidak mau membayar pajak yang menjadi
kewajibannya (have decided not to comply). Fenomena ini menunjukkan seoalah ada dan bisa
sebagian wajib pajak berada diatas undang-undang atau aturan perpajakan. Segala upaya
dilakukan wajib pajak untuk menghindar pajak, bahkan menyelundupkan atau menggelapkan
pajak, yaitu dengan sengaja melanggar perpajakan. Dalam kondisi ini pajak yang seharusnya
merupakan kewajiban menjelma menjadi suatu hal yang tidak penting dan dapat diabaikan
begitu ssaja. Efektivitas penerimaan pajak menghadapi tantangan berat dan untuk itu tindakan
antisipasi benar-benar harus menjadikan pelanggar aturan menjadi jera. Penegakkan hukum
(law enforcement) menjadi strategi pilihan yang tepat, yaitu dengan cara menggunakan semua
perangkat hukum mulai dari pemeriksaan pajak sampai dengan penyidikkan pajak bilamana
ditemukan bukti permulaan tentang adanya tindak pidana fiskal.
11
jelas, sehingga terdapat multi tafsir pemahaman antara wjib pajak dengan fiskus. Pelaporan
pajak (SPT) dalam pelaksanaannya diwajibkan diungkapkan dengan benar, jelas, dan
lengkap. Dalam hal ini pengertian dan faktor-faktor apa saja yang menjadi dasar ketentuan
benar, lengkap, dan jelas haruslah transparan dinyatakan dalam ketentuanannya. Dalam
konteks ini apabila fiskus tidak tepat dan tidak profesional dalam menerapkan sanksi akan
berakibat tercederainya rasa keadilan wajib pajak. Dampak penerapan sanksi yang tidak
benar adalah negatis dimana wajib pajak cenderung beebuat sebaliknya akan lebih
menghindar pajak dan penerimaan pajak akan menurun. Oleh karena itu, dalam menentukan
adanya dugaan pelanggaran, atau bahkan penggelapan pajak haruslah disertai fakta dan data
yang sebenarnya yang dapat dipertanggung jawabkan, sehingga hasil yang diharapkan adalah
positif. Dengan demikian ketika pemerintah ingin meningkatkan bobot besarnya
kesejahteraan masyarakat dan pendapatan pajak yang diharapkan, bagian dari denda yang
dikenakan terhadap evaded tax seharusnya lebih tinggi.
Prinsip utama penghindara pajak (tax avoidence), dapat dibedakan menjadi tiga
prinsip yaitu Stiglitz (1985) :
1. Menunda pembayaran pajak (postponement of taxes)
2. Memilih tarif pajak yang rendah (different marjinal tax rate )
3. Merekayasa penghasilan menjadi berbagai jenis penghasilan yang memiliki tarif yang
berbeda-beda (manipulation of different types of income that are taxed to different
degrees)
12
berlaku. Sebaliknya laporan keuangan fiskal ditujukkan untuk menghitung seberapa besar
pajak yang seharusnya terutang yang didasarkan pada aturan perpajakan. Perbedaan tujuan
diantara model laporan keuangan ini mensyaratkan adanya rekonsiliasi lapran keuangan
fiskal. Prinsip bisnis yang mengutamakan keuntungan dapat mendorong perilaku rekayasa
penghasilan secara tidak benar. Tarif pajak atas kegiatan hasil usaha akan berbeda dan
cenderung lebih tinggi dari tarif pajak yang akan dikenakan atsa modal misalnya bunga dan
dividen. Mengubah atau merekayasa penghailan usaha menjadi penghasilan modal tentu
mengungkapkan suatu yang tidak benar, termasuk pengelapan pajak yang akan dikenakan
sanksi. Oleh karena tiu, rekayasa penghasilan harus dalam bingkai aturan pajak yang benar.
Memutuskan investasi dalam bentuk saham atau tabungan sepenuhnya adalah pilihan wajib
pajak yang masing-masing pilihan jenis investasi akan memberika resiko dan penghasilan
yang berbeda, demikian pula besar pajak yang ditanggung sesuai ketentuan pajak yang
berlaku.
Penggelapan pajak adalah perilaku wajib pajak yang salah dan menyimpang
bertentangan dengan semangat dan tanggung jawab yang diharapkan dari seorang wajib
pajak, karenanya dikenakan ssanksi berat. Keputusan untuk menggelapkan pajak lebih
didasarkan pada perilaku wajib pajak yang hanya semata-mata mencari keuntungan sebesar-
besarnya tanpa melihat kewajiban yang harus dipikul. Sandmo (2004), menyatakan bahwa
keputusan untuk menggelapkan pajak (tax evasion) sangat tergantung dari persepsi
membayar pajak individu terhadap perilaku orang lain. Dengan demikian asas perlakuan
sama haruslah diterapkan bagi semua wajib pajak yang menggelapkan pajak tanpa membeda-
bedakan.
James, et al., (2003) mengemukakan bahwa work in sociology has identified a number
of relevant variables such as social support, social influence, attitudes and certain
background such as gender, race, and culture. Pandangan ini mengisyaratkan bahwa
kepatuhan pajak ditengarai dipengaruhi oleh masalah-masalah sosial. Termasuk didalamnya
antara lain dukungan masyarakat, pengaruh masyarakat, perilaku, dan latar belakang gender
seperti masalah ras dan budaya. Masyarakat menitik beratkan pada rasa keadilan dalam
membayar pajak. Dukungan dan pengaruh masyarakat merasakan adanya keadilan dalam
aturan pajak. Demikian pula dalam perilaku gender dan budaya masyarakat sangat sensitif
dengan keadilan pajak baik yang terutang dalam aturan maupun dalam praktik
pelaksanaannya.
13
Dengan demikian sikap masyarakat terhadap negara dalam kaitan dengan kepatuhan
pajak lebih didasarkan pada aspek keadilan yang merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi keputusan mereka untuk patuh.
Murphy(2003) mengemukakan studi yang berangkat dari fenomena bahwa selama ini
memang faktor yang menyebabkan patuhnya pembayar pajak labih banyak dikaji dari aspek
psikologi. Dalam studinya Murphy (2003) melihatnya dari aspek hukum. Beberapa studi
yang mennjau aspek hukum yang berpengaruh terhadap kepatuhan menunjukkan bahwa
pengaruh dari ancaman dan paksaan legal (legal coercion), pemeriksaan misalnya kadang-
kadang justru berdampak kontra produktif (counterproductive) (Ayres dan Braithwaite, 1992,
Blumenthal, Christian & Slemrod, 1998; braithwaite, 2001; Murphy,2002a). Lebih jauh
dikemukakan bahwa temuan ini mengindikasikan pentingnya kehati-hatian fiskus dalam
merespons tindak pelanggaran aturan perpajakan (uncomlience), terlebih apabila dirasakan
tidak didasari dasar hukum yang tidak jelas. Pengenaan sanksi yang tidak tepat justru
berakibat negatif dimana wajib pajak justru akan lebih menunjukkan ketidakpatuhannya.
Menurut pada berbagai hasil studi yang mencoba mengidentifikasikan faktor-faktor
yang mempengaruhi tax compliance, OECD (organization for Economic Cooperation and
Development, 2004) mengemukakan analisi tentang perilaku kepatuhan dari para tax payer .
hasil penelitian yang ada secara umum diarahkan pada dua pendekatan dari kepatuhan, yaitu:
(1) perspektif ekonomi dan (2) perilaku yang menitik beratkan pada riset dari disiplin
psikologi dan sosiologi. Faktor-faktor termasuk dalam faktor ekonomi adalah :
1. Beban keuangan, ada hubungan antara jumlah pajak yang terutang dengan
perilaku kepatuhan (financial burden, there appears to be a relationship
between the amount of tax owed and complience behavior)
2. Biaya kepatuhan, ada biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi
kewajiban pajak diatas biaya seharusnya (the cost of complience, tax payer
appear to face a number of common cost of having to comply with their tax
obligation over and above the actual amount)
3. Hambatan, wajib pajak yang patuh menghendaki adanya denda terhadap wajib
pajak yang tidak patuh (disincentive, studies has shown that those who are
compliant want those who are non-compliant to be punished)
4. Pendorong, memberikan wajib pajak insentif akan berdampak positif terhdap
kepatuhan pajak (incentives, giving tax payer incentives may have a positive
effect on compliance behavior)
14
Lebih jauh, OECD (2004) juga mengemukakan faktor-faktor perilaku, seperti :
1) Perbedaan individu; faktor-faktor individu memperngaruhi perilaku termasuk;
jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, moral, industry, kepribadian,
lingkungan dan beban resiko.
2) Perasaan ketidak adilan; wajib pajak merasakan sistem yang tidak jujur atau
berpengalaman dilakukan tidak jujur cenderung kurang patuh
3) Persepsi risiko rendah; jika wajib pajak punya kesempatan untuk tidak patuh,
maka ia akan ambil risiko untuk tidak patuh
4) Pengambilan risiko; sementara masyarakat ada yang berpandangan bahwa
menghindar pajak adalah permainan untuk dilaksanakan dan berhasil.
15
Gambar 3.1. factor Influence The Compliance Behavior of Business
Dalam gambar 3.1 secara rinci dpat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi
kepatuhan pajak. Dari perspektif bisnis kepatuhan pajak dipengaruhi dari berbagai hal, yaitu :
faktor profil bisnis, faktor industri, faktor sosiologi, faktor ekonomi, dan faktor psikologi.
Adapaun elemen apa saja yang terkait dalam faktor tersebut dapat dilihat secara rinci pada
gambar diatas. Dengan adanya rincian yang sangat detail dari faktor- faktor yang
mempengaruhi kepatuhan pajakn tentu memudahkan otoritas pajak di damal mengidentifikasi
pelanggaran wajib pajak dengan lebih tepat.
Penelitian lain oleh Edlund dan Aberg (2002) bertujuan untuk mengetimasi pengaruh
antara norma-norma perpjakan sosial dengan perilaku penghindaran pajak. Penelitian ini
dilakukan terhadap dalam negara-negara dalam kelompok OECD selama tahun 1981-1998,
sedangkan metode analisis yang digunakan adalah model regresi linier berganda. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa tingkat tarif pajak umum memiliki pengaruh negatif
terhadap dorongan norma masyarakat. Meskipun demikian proses politik dapat mengubahnya
dan dalam banyak kasus, bahkan dapat menolak pengaruh negatif tarif pajak terhadap
dukungan norma sosial. Selanjutnya dalam penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa
norma-norma pajak sosial tidak pengaruh atau sedikit pengaruhnya terhadap perilaku pajak
16
aktual. Dalam hal ini perilaku pajak lebih disebabkan oleh faktor-faktor lain dari pada nilai
moral individu, sehingga dalam hal ini asumsi bahwa norma-norma pajak sosial berpengaruh
signifikan terhadap tax evasion tidak mendapat dukungan secara empiris.
berdasarkan model ini beberapa faktor utama kepatuhan pajak antara lain: pendapatan
yang tetap (I), tarif pajak (t), probabilitas dilakukan pemeriksaan (p), dan besarnya sanksi
yang mungkin dikenakan (f). Menurutnya individu diasumsikan memiliki endowment
pendapatan yang tetap (I) dan harus melaporkan pendapatannya ke pemerintah untuk
menentukan besarnya pajak yang harus dibayarkannya. Notasi D merupakan declared
income, yaitu tingkat pendapatan wajib pajak yang sedia untuk dilaporkan pada tingkat tarif
pajak t. Pendapatan yang tidak dilaporkan tidak dikenai pajak, tetapi sebagai konsekuensinya
individu akan dimungkinkan untuk diaudit dengan probabilitas p dengan denda/sanksi
sebesar f yang harus dibayar untuk setiap pendapatany yang tidak dikenakan pajak. Individu
akan memilih D untuk memaksimalkan utilitas yang diharapkannya dari tindakan spekuliasi
dari penghindarannya (evasion gamble).
17
Oersamaan (1) di atas menunjukkan bahwa terdapat permintaan untuk menyatakan
pendapatan yang bergantung pada I, t, p, dan f. Dalam hal ini D meningkat seiring dengan
kenaikan dalam probabilitas audit (p) dari deteksi atau penalty rate (f). Sementara itu,
dampak dari besarnya tarif (t) dan pendapatan (I) bergantung perilaku individu terhadap
risiko.
Meskipun demikian menurut Cowell and Gordon (1988) dalam perkembangannya
juga terdapat faktor lain yang mempengaruhi tax compliance berdasarkan model di atas,
yakni government expenditure (G). Sehingga, model tax compliance-nya menjadi:
D = D(I, t, p, f, G).......................................................................................(2)
Adapun yang dimaksud G di sini adalah refleksi transfer pemerintah yang mungkin
diperoleh sebagai manfaat bagi seorang wajib pajak. Perbedaan teori Allingham and Sandmo
(1972) dengan teori Cowell and Gordon (1988) terletak pada adanya manfaat pajak sebagai
cerminan daro government expenditure (G), di mana Cowell and Gordon (1988) menyetakan
bahwa government expenditure berbanding lurus dengan declared income.
18
Selanjutnya Frey and Feld (2002) menjelaskan bahwa wajib pajak akan merespon
positif atas bagaimana otoritas pajak memperlakukan mereka. Khususnya kesediaan moral
wajib pajak untuk membayar pajak atau tax morale akan meningkat manakala pejabat pajak
menghargai dan menghormati mereka, dan kemudian berdampak terhadap masyarakat yang
merasa puas dan meyakini bahwa pajak yang dipungut benar-benar dipergunakan untuk
kebutuhan publik. Sebaliknya manakala pejabat pajak menganggap wajib pajak semata-mata
sebagai subjek yang harus dipaksa untuk membayar pajaknya, maka wajib pajak cenderung
merespon dengan aktif untuk mencoba menghindar membayar pajak.
Greetz and Wiede (1985) menyimulkan bahwa tax morale juga adalah etika yang
mengukur seberapa jauh tingkat komitmen wajib pajak atau kewajiban pertanggungjawaban
warga negara mematuhi aturan pajak. Oleh karena itu, apabila faktor komitmen ini hilang,
maka tingkat etikapun ternodai. Oleh karena itu, menipisnya etika dapat dipersalahkan atsa
menurunnya tingkat kepatuhan pajak.
F. Motif Kepatuhan dan Penghindaran Pajak (Tax Evasion dan Tax Avoidance)
Penerimaan negara yang berasal dari pajak merupakan salah satu aspek penting dalam
rangka menjamin kelangsungan pembangunan yang berbasis pada kemandirian dalam
pembiayaannya. Meskipun demikian dalam implementasinya, suatu negara akan menghadapi
kendala terutama terkait kemauan masyarakat untuk membayar pajak. Dalam hal in akan
muncul perilaku tax avoidance dan tax evasion dari masyarakat sebagai wujud dari
keenggananya dalam membyar pajak yang dibebankan oleh negara kepadanya.
Dalam hal ini tax avoidance digunakan untuk menjelaskan manipulasi legal dari
seorang individu untuk mengurangi pajak, sedangkan tax evasion manipulasi pajak dengan
sengaja melanggar aturan pajak. Dengan demikian walaupun tax avoidance(penghindaran
pajak) dianggap legal tidak melanggar hukum, tetapi apabila maksud tujuannya untuk
mengurangi pajak yang seharusnya dibayar,maka perilaku ini tetap dianggap tidak patuh(non
compliance). Oleh karena itu, yang dipentingkan disini adalah semangat daripada setiap
tindakan itu sesuai dengan apa yang tertulis dalam undang-undang. Suatu tindakan wajib
pajak yang semangatnya tidak konsisten dengan aturan perpajakan dianggap non compliance.
Secara lebih khusus Cowell(1990:5) menjelaskan bahwa tax evasion sebagai suatu
kegiatan judi. Seorang penjudi yang professional akan mengambil posisi dengan resiko yang
lebih kecil dari seluruh tindakannya, sedangkan penjudi yang lainnya akan bertindak
19
sebaliknya. Dalam komdisi ini akan terjadi suatu permainan untuk menentukan siapa yang
menang dan siapa yang kalah sesuai dengan parameter yang diyakininya masing-masing.
20
prinsipnya tetap menyederhanakan golongan wajib pajak menjadi 2(dua) untuk memudahkan
pengawasan, yaitu:
1. Golongan satu,yaitu self assessment system yang diberlakukan terhadap wajib pajak
pengusaha besar dan bonafit. Wajib pajak ini diwajibkan untuk membuat laporan
keuangan perusahaan yang diaudit oleh akuntan public kemudian
menghitung,memperhitungkan ,mengisi SPT tahunan berikut lampirannya dan
membayar sendiri utang pajaknya.pengwasan yang dilakukan dengan sektor usaha
masing-masing wajib pajak.
21
dibayar,dimana harus dibayar,hak-hak wajib pajak maupun pejabat pajak (kursif-pen)
dan sebagainya.
2. The requirement of continuity ,yaitu menyangkut perlunya kesinambungan
kebijaksanaan, karena peraturan perundang-undangan kemungkinan dapat berubah-
ubah dan variasi,tetapi tetap dalam kerangka kebijakan umum perpajakan.
3. The requirement of economy, yaitu menghendaki agar organisasi dan administrasi
pajak (fiskus) dilaksanakan seefisien mungkin ,Karena biaya dan tenaga yang
dikorbankan untuk pemungutan pajak harus seimbang. Efisiensi bukan hanya dari
sisi fiskus ,tetapi juga dari sisi wajib pajak.
4. The requirement of convenience,yaitu menghendaki supaya dalam melaksanakan
kewajiban perpajakan wajib pajak merasa senang,maksudnya tidak merasa
tertekan,merasa diburu atas kewajibannya membayar pajak.
Dengan kondisi diatas diharapkan system perpajakan dapat berjalan dengan efektif
karena para wajib pajak berada dalam kondisi yang menyenangkan dalam melaksanakan
kewajibannya membayar pajak. Di sadari bahwa tidak mudah untuk meyakinkan seluruh
pembayar pajak untuk patuh dengan system pajak yang dipersyaratkan. Kepatuhan pajak
tampaknya menjadi aspek yang signifikan dari kebijakan pajak dan merupakan masalah yang
sudah lama terjadi dan efektifitas pemungutan pajak selalu berhubungan dengan masalah
kebijakan perpajakan itu sendiri.
Menyadari ketimpangan antara kebijakan yang dilakukan dengan tuntutan wajib pajak
yang semakin ingin diperlakukan adil dan transparan/kepastian hukum, maka perlu
dipertimbangkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat kesadaran/kepatuhan wajib
pajak disamping faktor ekonomi.
Sesungguhnya menurut wajib pajak untuk patuh memenuhi kewajiban pajak,terkait
langsung dengan kesadaran ,kerelaan,kebersediaan wajib pajak itu sendiri. Apa pun yang
dianjurkan kepada segolongan masyarakat itu sendiri,sulit kiranya suatu anjuran/himbauan
akan dilaksanakan. Kemauan untuk mematuhi aturan adalah disamping factor masalah
eksistensi pribadi seseorang juga pengaruh faktor lingkungan luar seseorang. Seseorang yang
berakhlak moral baik mempunyai etika baik,cenderung mematuhi aturan. Demikian pula
nilai-nilai orientasi seorang bahkan pilihan resiko sekalipun akan menentukan langkah
seseorang. Dipihak lain factor situasional turut ambil peranan dalam membentuk pola
perilaku seseorang dalam menentukan langkahnya. Aspek situasional bias menyangkut sanksi
audit,keadilan ,dan kepastian hokum/fairness (Trivedi et al, 2003)
22
Upaya mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak
terus berkembang dan pada Mei 2004 dilakukan pertemuan antar Negara-negara OECD
dalam sebuah seminar yang membahas secara khusus masalah tingkat kepatuhan pajak
tersebut. Forum ini membicarakan berbagai hasil penelitian yang dilakukan masing-masing
Negara domestic sehubungan dengan isu kepatuhan pajak. Forum berhasil mengidentifikasi
dan membahas prinsip-prinsip umum yang melandasi risiko perilaku kepatuhan sebagai
akibat kebijakan perpajakan yang sedang dijalankan. Bahkan ,diskusi ini merekomendasikan
suatu strategi (compliance strategi) yang dapat dilaksanakan sebagai cara untuk
mempengaruhi perilaku wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya.
Berbagai Negara tentunya menghadapi kindisi yang beragam didalam implementasi
masing-masing sistem perpajakannya. Ketentuan perpajakan berbeda-beda terkait dengan
kebijakan dan lembaga legislasi,praktik administrasi,dan budaya,sehingga tidak diperoleh
suatu standar khusus.
Berkaitan dengan upaya meningkatkan kepatuhan perpajakan,Purnomo (2004:220-
227) mengemukakan bahwa meningkatkan kepatuhan wajib pajak adalah tujuan pertama dari
reformasi perpajakan jangka menengah. Terkait dengan hal tersebut maka terdapat tiga
strategi yang akan dilaksanakan,yaitu:
1. Membuat program dan kegiatan yang diharapkan dapat menyadarkan dan
meningkatakn kepatuhan sukarela khususnya wajib pajak yang selama ini belum
patuh. Programnya antara lain: program kampanye sadar dan peduli pajak,
program pengembangan pelayanan perpajakan
2. Meningkatkan pelayanan terhadap wajib pajak yang relative sudah patuh sehingga
tingkat kepatuhan dapat dipertahankan atau ditingkatkan. Programnya antara lain:
program pengembangan pelayanan prima dan program penyederhanaan
pemenuhan kewajiban perpajakan.
3. Memerangi ketidakpatuhan (combatting non compliance) dengan berbagai
program dan kegiatan ,diharapkan dapat menangkal ketidakpatuhan perpajakan.
Program yang dijalankan antara lain: program pengenaan sanksi,menentukan
sikap atas kelompok wajib pajaka yang tidak patuh,meningkatkan efektivitas
pemeriksaan,modernisasi aturan dan metode pemeriksaan penagihan ,pemanfaatan
teknologi terkini,dan pemanfaatan bank data.
Disamping itu dikemukakan pula pentingnya upaya untuk meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap administrasi perpajakan. Strategi yang dijalankan adalah dengan
meningkatkan citra Direktorat Jendral Pajak dan melanjutkan pengembangan administrasi
23
LTO ( Large Taxplayer Office ) dengan demikian kebijakan perpajakan diharapkan dapat
berjalan efektif yaitu seiring dengan meningkatnya kepatuhan wajib pajak.
24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
25