Вы находитесь на странице: 1из 16

MAKALAH

KEPERAWATAN ANAK
(DIFTERI)

DISUSUN OLEH :

AKADEMI KEPERAWATAN PANCA BHAKTI


BANDAR LAMPUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena atas limpahan rahmat-Nyalah sehingga
makalah ini dapat terselesaikan sesuai waktu yang ada. Begitu pula penyusun
mengirimkan salam dan salawat atas junjungan Nabi Muhammad SAW.

Makalah ini tentunya masih memiliki banyak kelemahan dan kekurangan,baik


dari pembahasan maupun isi didalamnya. Untuk itu, penyusun sangat
mengharapkan sumbangan pikiran dari Dosen dan teman-teman sekalian,baik
saran maupun kritik yang membangun penyusun.

Makalah yang berjudul “Difteri” ini dilakukan untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Ilmu Keperawatan Anak yang diberikan oleh dosen, sekaligus untuk
menambah wawasan pengetahuan peserta didik. Penyusun menyelesaikan
makalah ini dengan penuh kerendahan hati dan keterbatasan serta satu harapan
dan kenyakinan semoga dapat bermanfaat dan bernilai ibadah disisi Allah SWT.

Bandar Lampung, 16 Maret 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER .......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 1
1.3 Tujuan ...................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kosep Dasar Difteri.................................................................................. 3
2.1.1 Definisi .................................................................................................. 3
2.1.2 Etiologi .................................................................................................. 3
2.1.3 Tanda dan Gejala................................................................................... 3
2.1.4 Patofisiologi .......................................................................................... 5
2.1.5 Patway ................................................................................................... 6
2.1.6 Komplikasi ............................................................................................ 6
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang ........................................................................ 7
2.1.8 Penatalaksanaan .................................................................................... 8
2.2 Asuhan Keperawatan ............................................................................... 9
2.2.1 Pengkajian ............................................................................................. 9
2.2.2 Diagnosa Keperawatan ......................................................................... 9
2.2.3 Perencanaan......................................................................................... 10
2.2.4 Implementasi ....................................................................................... 10
2.2.4 Perencanaan Pemulangan .................................................................... 11

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan ............................................................................................ 12
3.1 Saran ....................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular. Penyakit ini
disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheria yaitu kuman yang
menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian
antara hidung dan faring atau tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat
melalui hubungan dekat, udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang
akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.

Penderita difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15 tahun. Dilaporkan 10


% kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian.
Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab
umum dari kematian bayi dan anak-anak muda. Penyakit ini juga dijmpai pada
daerah padat penduduk dingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga
kebersihan diri sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang
kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyptheria, Pertusis, Tetanus), penyakit
difteri jarang dijumpai. Vaksin/imunisasi difteri diberikan pada anak-anak
untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit
tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan
terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.

1.2 Rumusan Masalah


Dari uraian latar belakang diatas rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan difteri?
2. Apakah penyebab penyakit difteri?
3. Apa saja tanda dan gejala difteri?
4. Bagaimana patofisiologi dan pathway penyakit difteri?
5. Apa sajakah komplikasi dari penyakit difteri?
6. Bagaimana pengobatan dan pencegahan penyakit difteri?
7. Apa saja pemeriksaan diagnostic yang dilakukan pada pasien difteri?

1
8. Bagaimana asuhan keperawatan untuk anak dengan difteri?

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui penyakit difteri secara menyeluruh

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Difteri


2.1.1 Definisi
Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh
kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan menyerang terutama
saluran napas bagian atas dengan tanda khas berupa pseudomembran dan
dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal.
Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu dapat melalui
benda atau makanan yang terkontaminasi. Masa tunas 2-7 hari. (Ilmu Kesehatan
Anak FK UI: 2007)

Difteri adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh corynebacterium


diphteriae yang berasal dari membran mukosa hidung dan nasofaring, kulit, dan
lesilain dari orang yang terinfeksi (Suriadi dan Yuliani, 2010).

Difteri adalah radang tenggorokan yang sangat berbahaya karena menimbulkan


tenggorokan tersumbat dan kerusakan jantung yang menyebabkan kematian.
(Anik Maryunani, 2010).

2.1.2 Etiologi
Menurut Suriadi dan Yulianti (2010), penyebab terjadinya difteri adalah adanya
bakteri berbentuk gram batang negative (Corynebacterium diphteriae). Biasanya
bakteri ini berkembangbiak pada atau disekitar selaput lender mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Pewarnaan sediaan langsung dapat
dialkuakan dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan
dengan sediaan langsung dari lesi

2.1.3 Tanda dan Gejala


Difteri mudah menular, menyerang terutama saluran napas bagian atas, dengan
gejala demam tinggi, pembengkakan amandel (tonsil) dan terlihat selaput putih

3
kotor yang makin lama makin membesar dan dapat menutup jalan napas.
Penularan bakteri difteri umumnya melalui udara (batuk/bersin). Selain itu,
bakteri difteri dapat menular melalui benda atau makanan yang terkontaminasi.

Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan yang berupa
reaksi radang lokal, dimana pembuluh – pembuluh darah melebar mengeluarkan
sel darah putih sedang sel-sel epitel pada daerah tersebut rusak, lalu terbentuklah
membran putih keabu-abuan (pseudomembrane). Membran ini sukar diangkat dan
mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-
kuman ini mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala yang lebih
berat dan kelenjar getah bening yang berada disekitarnya akan mengalami
hiperplasia dan mengandung toksin.

Tanda dan gejala dibedakan berdasarkan tempat terjadinya infeksinya, antara lain
1. Difteri hidung
Difteri hidung mula – mula seperti flu, pilek, dan sedikit demam. Kemudian
mukus/lendir menjadi kental dan bercampur darah serta menyebabkan luka
disekitar lubang hidung dan bibir atas.
2. Difteri tonsil dan faring
Difteri ini lebih berat gejalanya, yaitu panas tidak tinggi, lemah (malaise),
tidak mau makan, serak, dan radang tenggorokan. Satu hingga dua hari
kemudian terbentuk membran yang kemudian meluas tergantung imunitas
penderita. Membran putih abu – abu melekat dan melapisi mukosa tonsil dan
faring, dapat meluas ke langit – langit atau ke bawah (ke laring dan trakea).
Pada kasus yang berat terjadi pembengkakan jaringan leher yang disebut
“bull-neck”. Beratnya difteri tergantung dari banyaknya toksin dan
penyebaran membran.
3. Difteri laring
Difteri laring biasanya merupakan penyebaran dari faring dan tonsil. Sering
disertai gejala sumbatan jalan nafas, yang perlu tindakan trakeostomi.

4
4. Difteri kulit
Difteri kulit adalah infeksi nonprogresif lamban yang ditandai dengan ulkus
yang tidak menyembuh, superficial, ektimik dengan membrane coklat keabu
– abuan. Infeksi difteri kulit sering ditandai dengan nyeri, eritema, eksudat
khas, dan hiperestesi local (ketajaman abnormal kepekaan terhadap sentuhan,
nyeri, atau rangsangan sensorik lainnya).

2.1.4 Patofisiologi
1. Kuman berkembang biak pada saluran nafas atas, dan dapat juga pada vulva,
kulit, mata, walaupun jarang terjadi. Kuman membentuk pseudomembran
dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbulloka l dan menjalar dari
faring, laring dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan tampak
membengkak dan mengandung toksin.
2. Eksotoksin bila mengenai otot ja:ntung akan mengakibatkan terjadinya
miokarditi dan timbul mralisis otot otot pernafasan bila mengenai jaringan
saraf.
3. Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudo membran pada
laring dan trakea clan dapat menyebabkan kondisi yang fatal.

Menurut Iwansain (2008), secara sederhana pathofisiologi difteri yaitu :


1. Kuman difteri masuk dan berkembang biak pada saluran nafas atas, dan
dapat juga pada vulva, kulit, mata.
2. Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.
Pseudomembran timbul lokal dan menjalar dari faring, laring, dan saluran
nafas atas. Kelenjar getah bening akan tampak membengkak dan
mengandung toksin.
3. Bila eksotoksin mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya
miokarditis dan timbul paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai
jaringan saraf.
4. Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada
laring dan trakea dan dapat menyebabkan kondisi yang fatal.

5
2.1.5 Patway
Corynebacterium diphreriae Kontak langsung dengan orang yang
Terinfeksi atau barang barang yang Terkontaminassi.

Masuk ke dalam tubuh melalui sa luran pencemaan atau pernapasan.

Aliran Sistemik

Masa inkubasi 2 5 hari

Mengeluarkan oksin (eksotoksin)

Nasal Faring
Tonsil/laring

Peradangan Tenggorokan sakit demam, Demarn, suara sesak, batuk,


Mukosa hidung anorexia,lemah, membran obstruksi saluran napas, sesak
(Flu, secret, hidung serosa) berwarnas pulih atau abu-abu, nafas, sianosis
limfadenilis (bull's neck)
Toxemia, syok septik

2.1.6 Komplikasi
Komplikasi merupakan penyebab kematian terbanyak pada infeksi difteri, dapat
sebagai akibat langsung dari infeksi atau penyebaran toksin. Komplikasi yang
dapat menimbulkan kematian pada difteri laring dan trakea adalah sumbatan jalan
napas. Komplikasi akibat penyebaran toksin biasanya mengenai jantung, sistem
saraf dan ginjal akibat terlambatnya pemberian antitoksin. Contoh komplikasi:
1. Miokardiopati toksik
Ditandai dengan takikardi, disritmia, yang dapat berlanjut menjadi gagal
jantung kongestif

6
2. Neuropati toksik
Neuropati akan berbahaya jika telah sampai ke otak, seperti neuropati
kranial khas yang terjadi pada minggu ke-5 dan menyebabkan paralisis
okulomotor, paralisis siliaris, pandangan kabur, dan kesukaran akomodasi.

Menurut Suryadi dan Yuliantini komplikasi difteri adalah :


1. Miokardistis (minggu ke 2)
2. Neuritis
3. Bronkopneumonia
4. Nefritis
5. Paralisis

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Bakteriologik, yaitu preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan
mukosa hidung dan tenggorokan (nasofaringeal swab)
2. Pemeriksaan Darah rutin, meliputi: Hb, leukosit, eritrosit, albumin
3. Pemeriksaan Urin lengkap, meliputi protein dan sedimen
4. Enzim CPK, segera saat masuk RS
5. Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
6. EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot
jantung dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali
bila ada indikasi bisa dilakukan 2-3x seminggu.
7. Tes schick
Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah
mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03 mL satuan per
millimeter darah. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang
diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak
0,1 ml.
a. Pada seseorang yang tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel
(ruang pada sel yang dikelilingi oleh membran sel) pada bekas suntikan
dan hilang setelah beberapa minggu.

7
b. Uji Schick dapat positif apabila pada bekas suntikan timbul warna
merah kecoklatan dalam 24 jam.
c. Uji Schick negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat
suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung
antitoksin yang tinggi
d. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang
akan menghilang dalam 72 jam. (FKUI Kapita Selekta Kedokteran)

2.1.8 Penatalaksanaan
Pengobatan terutama ditujukan untuk menetralisasi toksin dan membunuh bakteri
penyebab secepatnya dengan antitoksin difteri dan antibiotik. Terapi yang tepat
antara lain :
1. Antibiotik Penisilin G Kristal aqua (diberikan intramuscular atau intravena
100.000 – 150.000 U/kg/hari dibagi dalam 4 dosis)
2. Antibiotik Penisilin prokain (25.000 – 50.000 U/kg/bb dibagi dalam dua
dosis)
3. Antibiotik Eritromisin (diberikan secara oral atau parenteral 40 – 50 mg/kg
BB/hari)
4. Serum Anti Difteri (SAD)
Dosis diberikan berdasar atas luasnya membran dan beratnya penyakit.
a. 40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membran menutupi
sebagian/seluruh tonsil secara unilateral/bilateral.
b. 80.000 IU untuk difteri berat, yakni luas membran menutupi hingga
melewati tonsil, meluas ke uvula, palatum molle dan dinding faring.
c. 120.000 IU untuk difteri sangat berat, yakni ada bull neck, kombinasi
difteri laring dan faring, komplikasi berupa miokarditis, kolaps sirkulasi
dan kasus lanjut.
5. Cara – cara lain
Penderita difteri diberikan pengobatan suportif dengan istirahat total selama 2
– 3 minggu, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya miokarditis,
pemberian cairan dan nutrisi yang cukup dan penatalaksanaan komplikasi
yang sesuai.

8
Pencegahan dapat dilakukan dengan imunisasi toksoid difteri selama hidup untuk
memberikan kadar antitoksin protektif konstan dan untuk mengurangi penghuni
C. diphtheriae. Walaupun imunisasi tidak menghalangi pengidap C. diphtheria
saluran pernapasan atau kulit, imunisasi mengurangi penyebaran jaringan local,
mencegah komplikasi toksik, menghilangkan penularan organisme, dan
memberikan imunitas kelompok bila sekurang-kurangnya 70 – 80 % dari populasi
diimunisasi. (Behrman, 2000)

Pada bayi diberikan difteri toksoid bersamaan dengan tetanus toksoid dan pertusis
antigen. Vaksinasi dasar diberikan mulai umur 3 bulan, sebanyak 3 kali dengan
interval 5 – 6 minggu. Suntikan booster diberikan pada umur satu setengah dan
empat tahun. Imunisasi difteri tidak memberikan kekebalan penuh, karena vaksin
dimaksudkan untuk melawan toksin, bukan infeksinya. Sehingga seorang yang
divaksinasi lengkap masih dapat menjadi karier atau terkena infeksi ringan. (Anik
Maryunani, 2010)

2.2 Asuhan Keperawatan


2.2.1 Pengkajian
1. Riwayat keperawatan, riwayat terkena penyakit infeksi, status imunisasi
2. Kaji tanda-tanda yang terjadi pada nasal, tosil/faring, dan laring
3. Lihat dari manifestasi klinis berdasarkan alur patofisiologi

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


1. Tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan
nafas.
2. Resiko penye barluasan. infeksi berhubungan dengan organisme virulen
3. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyak.itn
(metabolisme meningkat, intake cairan menurun)
4. Pembahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
nutrisi yang kurang.

9
2.2.3 Perencanaan
1. Anak. akan menunjuk.kan tanda tanda jalan nafas efektif
2. Penyebarluasan infeksi tidak terjadi
3. Anak. menunjuk.kan tanda tanda kebutuhan nutrisi terpenuhi
4. Anak akan mempertahankan keseimbangan cairan.

2.2.4 Implementasi
1. Meningkatkanjalan nafas efektif
a. Kaji status pemafasan, observasi irama dan bunyi pemafasan.
b. Atur posisi kepala dengan posisi ekstensi
c. Suction jalan nafas jika terdapat sumbatan
d. Berikan oksigen sebelum dan setelah dilakukan suction
e. Lakukan fisioterapi dada
f. Persiapkan anak untuk dilak.ukan trakeostomi
g. Lakukan perneriksaan analisa gas darah Lakukan intubasi jika ada
indikasi
2. Perluasan infeksi tidak terjadi
a. Tempatkan anak pada ruang kbusu s
b. Pertahankan isolasi yang ketat di rumah sakit
c. Gunakan prosedur perlindungan infeksi jika melakukan kontak dengan
anak.
d. Berikan antibiotik sesuai order
3. Kekurangan volume cairan tidak terjadi
a. Mernonitor intake output secara tepat, pertahankan intake cairan dan
elektrolit yang tepat
b. Kaji adanya tanda tanda dehidrasi (membran mukosa kering, turgor,
kulit kurang, produksi urin menurun, frekuensi denyut jantung dan
pernafasan. rneningkat , tekanan darah menurun, fontanel cekung).
c. Kolaborasi untuk pernberia n cairan parentera l jika pernberian
cairan melalui oral tidak memungkinkan.
2. Meningkatkan kebutuhan nutrisi
a. Kaji ketidakmampuan anak untuk makan

10
b. Memasang NGT untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak
c. Kolaborasi untuk pernberian nutrisi parenteral
d. Menilai indikator terpenuhinya kebutuhan nutrisi (berat badan, lingkar
lengan, membran mukosa) yang adekuat.

2.2.4 Perencanaan Pemulangan


a. Jelaskan terapi yang diberikan: dosis, efek samping,
b. Melakukan prosedur immunisasi jika immunisasi belurn lengkap sesuai
dengan prosedur
c. Menekankan pentingnya kontrol ulang sesuai jadual
d. Infonnasikan jika terdapat tanda tanda terjadinya kekambuhan

11
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun
corynebacterium diphtheria, dan lebih sering menyerang anak-anak. Bakteri ini
biasanya menyerang saluran pernafasan, terutama laring, tonsil, dan faring. Tetapi
tidak jarang racun juga menyerang kulit dan bahkan menyebabkan kerusakaan
saraf dan juga jantung.

Berdasarkan gejala dan ditemukanya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tidak


jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di faring dan dibuatkan biakan
dilaboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat
penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG. Penularan difteri dapat melalui
kontak langsung seperti berbicara dengan penderita, melalui udara yang tercemar
oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin
penderita.

3.2 Saran
Karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk
anak-anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib
pada anak, tetapi kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah
imunisasi. Sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT)
setiap 10 tahun sekali, dan harus dilakukan pencarian dan kemudian mengobati
carier difteri dan dilkaukan uji schick.

Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum es karena
minum minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi
tenggorokan dan menyebabkan tenggorokan tersa sakit. Juga menjaga kebersihan
badan, pakaian, dan lingkungan karena difteri mudah menular dalam lingkungan
yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Dan makanan yang dikonsumsi harus
bersih yaitu makan makanan 4 sehat 5 sempurna.

12
DAFTAR PUSTAKA

Maryunani, Anik. 2010. Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. Jakarta: CV.
Info Trans Media.

Suriadi. R.Yuliani. 2010. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi 2. Agung Seto.
Yogyakarta

13

Вам также может понравиться