Вы находитесь на странице: 1из 17

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kusta (Morbus hansen) merupakan suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium Leprae yang pertama kali menyerang syaraf tepi, selanjutnya
dapat menyerang kulit, membran mukosa, saluran pernafasan bagian atas, mata, dan
jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat (Harahap, 2000).
Penderita kusta dapat disembuhkan, namun bila tidak dilakukan penatalaksanaan
dengan tepat akan beresiko menyebabkan kecacatan pada syaraf motorik, otonom atau
sensorik (Kafiluddin, 2010).
Indonesia merupakan negara yang memiliki angka penyebaran penyakit kusta cukup
tinggi. Tercatat pada tahun 2009 ditemukan penderita kusta sebanyak 21.026 orang, tahun
2010 sebanyak 20.329 orang, tahun 2011 sebanyak 20.023 orang dan tahun 2012
sebanyak 23.169 orang (jurnas, 2013). Daerah di Indonesia yang termasuk dalam
endemis kusta yaitu Aceh, Jawa, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Papua
(Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2009). Sepertiga lebih dari total
jumlah penderita kusta nasional berada di Provinsi Jawa Timur (Citra, 2010; Dinas
Kominfo Provinsi Jatim, 2012).
Provinsi Jawa Timur terdiri dari 38 Kabupaten, dari data yang di dapat dari Dinas
Kesehatan Ponorogo penderita kusta tertinggi yaitu Kabupaten Sampang. Kabupaten
Ponorogo menempati urutan ke 19 di Jawa Timur. Indikator Program angka Prevalensi
<1/10.000 Low Prevalensi dan >1/10.000 High Prevalensi, angka penemuan penderita
<5/100.000 Low Endemik dan >5/100.000 High Endemik. Kabupaten Ponorogo terdiri
dari 31 kecamatan yang terdeteksi menderita kusta pada tahun tahun 2012 sebanyak 61
orang, tahun 2013 sebanyak 47 orang, tahun 2014 sebanyak 53 orang, tahun 2015
sebanyak 53 0rang, dan tahun 2016 sebanyak 38 orang yaitu di Wilayah Kerja Puskesmas
Sukorejo. Kecamatan Sukorejo sebanyak 9 orang, Kecamatan Setono sebanyak 3 orang,
Kecamatan Slahung sebanyak 3 orang, Kecamatan Jambon sebanyak 3 orang,
Kecamatan Babadan sebanyak 3 orang, Kecamatan Badegan sebanyak 2 orang,
Kecamatan Balong sebanyak 2 orang, Kecamatan Ponorogo utara sebanyak 2 orang,
Kecamatan Kauman sebanyak 2 orang, Kecamatan Ngrandu sebanyak 2 orang,
Kecamatan Sawoo sebanyak 2 orang, Kecamatan Sooko sebanyak 2 oranng. Kecamatan
Jenangan sebanyak 1 orang, Kecamatan Nailan sebanyak 1 orang, Kecamatan Jetis
sebanyak 1 orang (Dinas Kesehatan Ponorogo, 2016).
Dukungan yang di berikan keluarga merupakan suatu bentuk intervensi yang
melibatkan keluarga sebagai support system penderita. Seperti di ketahui bahwa keluarga
merupakan unit yang paling kecil dan paling dekat dengan klien. Hal tersebut yang
menyebabkan peran keluarga sangatlah besar dalam memberikan dukungan bagi klien
dalam menjalani pengobatan dan keperawatan yang biasanya memerlukan waktu hingga
berbulan-bulan, sehingga apabila keluarga tidak memberikan dukungan baik secara fisik
maupun psikologis maka penderita kusta tidak akan dapat menjalani pengobatannya
hingga tuntas ( Sartika, D. L.2013).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dari morbus hansen ?
2. Bagaimana asuhan keperawatan secara teori dari morbus hansen ?
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan pada pasien morbus hensen
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui dan memahami konsep dasar morbus hansen
b. Mengetahui dan memahami konsep teori asuhan keperawatan pada
pasien morbus hansen
1.4 Manfaat
1. Bagi penulis
Memperoleh pengetahuan dan wawasan mengenai konsep asuhan keperawatan
pada pasien morbus hensen serta meningkatkan keterampilan
2. Bagi pembaca
Memperoleh pengetahuan dan wawasan mengenai konsep asuhan keperawatan
pada pasien morbus hensen
3. Bagi FKK
Bahan pembelajaran bagi perawat dalam meningkatkan pengetahuan serta
pelayanan keperawatan mengenai materi konsep asuhan keperawatan pada pasien
morbus hensen
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Morbus Hansen


Morbus Hansen atau biasa disebut sebagai lepra, kusta adalah penyakit infeksi kronis
yg disebabkan oleh Mycobacterium Leprae, pertama kali menyerang saraf tepi, setelah itu
menyerang kulit dan organ-organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat. (Djuanda, 2013).
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman
Micobacterium leprae (M.Leprae). Yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi,
selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian atas, sistem
retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis (Amirudin.M.D, 2011).
Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang kronis, disebabkan oleh Mikrobakterium
leprae yang obligat intra seluler yang menyerang syaraf perifer, kulit, mukosa traktus
respiratorik bagian Atas kemudian menyerang organ-organ kecuali susunan syaraf pusat.
Penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang
menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya
Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang kronis, disebabkan oleh Mikrobakterium
leprae yang obligat intra seluler yang menyerang syaraf perifer, kulit, mukosa traktus
respiratorik bagian atas kemudian menyerang organ-organ lain kecuali susunan saraf
pusat. (Mansjoer Arif, 2011)

2.2 Etiologi
Mycrobacterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA), yang bersifat obligat
intraseluler yang menyerang saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti mukosa saluran
napas bagian atas, hati, dan sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah
diri mycrobacterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari – 40 tahun.
Mycrobacterium leprae atau kuman hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta
yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873.
Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5
micron. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel
terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan.
ENL merupakan basil humoral dimana basil kusta yang utuh maupun yang tidak utuh
menjadi antigen sehingga tubuh membentuk antibodi, selanjutnya membentuk kompleks
imun yang mengendap dalam vaskuler. Reaksi tipe – 2 yang tipikal pada kulit ditandai
dengan nodul – nodul eritematosa yang nyeri, timbul mendadak, lesi dapat superfisial atau
lebih dalam. Berbagai faktor yang dianggap sering mendahului timbulnya reaksi kusta
antara lain : setelah pengobatan antikusta yang intensif, infeksi rekuren, pembedahan, dan
stres fisik.
2.3 Manifestasi klinis (Gejala dan Tanda)
Berdasarkan gambaran klinik bekteriologi, histopatologi, dan imonologik menjadi 5
kelompok yaitu:
1. Tipe tuberkuloid-tuberkuloid (TT)
Lesi berupa makula hipopigmentasi dengan permukaan kering dan kadang dengan
skuama di atasnya. Lesi mengenai kulit/saraf, bisa satu atau beberapa. Dapat berupa
macula/plakat, berbatas jelas, dibagian tengah didapatkan lesi yang mengalami regresi
atau penyembuhan, permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi,
gejalanya dapat disertai penebalan saraf perifer, kelemahan otot dan sedikit rasa gatal.
Jumlah biasanya yang satu denga yang besar bervariasi. Gejala berupa gangguan
sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat. BTA (-) dan uji
lepramin (+) kuat. Infiltrasi Tuberkoloid (+), tidak adanya kuman merupakan tanda
adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
2. Tipe Borderline tuberkuloid (BT).
Lesi berupa macula anestesi/plak, sering disertai lesi satelit dipinggirnya dengan
permukaan kering bengan jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + ), tetapi
gambaran hipopigmentasi dan gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid dan
biasanya asimetrik, jika terletak didekat saraf perifer menebal.
3. Tipe Borderline-Borderline (BB).
Merupakan tipe II yang paling tidak stabil, dan jarang dijumpai, lesi dapat berbentuk
macula infiltrat, permukaannya dapat mengkilat, batas kurang jelas, jumlah melebihi
tipe BT dan cenderung simetrik, bentuk, ukuran dan distribusinya bervariasi. Bisa
didapat lesi punched out yaitu hipopigmentasi yang oral pada bagian tengah,
merupakan cirri khas tipe ini.
4. Tipe Borderline Lepromatous (BL).
Lesi dimulai dengan macula, awalnya sedikit dan dengan cepat menyebar keseluruhan
badan, macula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walau masih kecil papul dan
nodus lebih tegas dengan distribusi yang hampir simetrik. Tanda-tanda khas seperti
kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya kerinngat,
dan gugurnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe Lepromatous
(LL).
Lesi berupa infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral
tapi asimetris, gangguan sensibilitas sedikit atau tidak ada, BTA (+) banyak, uji
Lepromin (-).
5. Tipe Lepromatous-Lepromatous (LL).
Jumlah lesi sangat banyak, simetrik, permukaan halus, lebih eritem, mengkilap,
terbatas tidak tegas dan tidak ditemukan gangguan anestesi dan antidrosis pada
stadium dini, distribusi lesi khas, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, dibadan
mengenai bagian belakang yang dingin, lengan, punggung tangan dan permukaan
ekstentor tungkai bawah, pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif,
cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung, dapat disertai
madarosis, iritis, dan keratitis. Dapat pula terjadi deforhitas hidung, dapat dijumpai
pembesaran kelenjar limfe, orkitis dan atropi testis.
2.4 Patofisiologi
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah
dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Selain manusia,
hewan yang dapat tekena kusta adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan kepiting.
Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita
kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan
pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula
mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu. Faktor
ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab.
Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan
mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanya
sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa
organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan
bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel melaporkan
bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian
terbaru, Job et al menemukan adanya sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin
superfisial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah dugaan bahwa
organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat. Pentingnya mukosa hidung
telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898. Menurut Shepard, jumlah dari bakteri dari
lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley
melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di
sekret hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien
lepromatosa dapat memproduksi 10 juta organisme per hari.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha
mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa
minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum
dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran
perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-
endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-
5 tahun.
2.5 Faktor-faktor pada penderita kusta
1. faktor agent
Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium Leprae yang ditemukan oleh
G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, secara morfologik berbentuk pleomorf
lurus batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-
8 mikron.
Basil ini berbentuk batang gram positif, tidak bergerak dan tidak
berspora, dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk
massa ireguler besar yang disebut sebagai globi ( Depkes, 2007).
Kuman ini hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada
sel saraf (Schwan Cell)dan sel dari Retikulo Endotelial, waktu pembelahan
sangat lama, yaitu 2-3 minggu, diluar tubuh manusia (dalam kondisis tropis)
kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai 9 hari (Desikan 1977,
dalam Leprosy Medicine in the Tropics Edited by Robert C. Hasting, 1985).
Pertumbuhan optimal kuman kusta adalah pada suhu 27º30º C ( Depkes, 2005).

M. leprae dapat bertahan hidup 7-9 hari, sedangkan pada temperatur


kamar dibuktikan dapat bertahan hidup 46 hari, ada lima sifat khas :

a. M.Leprae merupakan parasit intra seluler obligat yang tidak dapat dibiakkan
dimedia buatan
b. Sifat tahan asam M. Leprae dapat diektraksi oleh piridin.
c. M.leprae merupakan satu- satunya mikobakterium yang mengoksidasi D-Dopa
(D- Dihydroxyphenylalanin).
d. M.leprae adalah satu-satunya spesies micobakterium yang menginvasi dan
bertumbuh dalam saraf perifer.
e. Ekstrak terlarut dan preparat M.leprae mengandung komponen antigenik yang
Stabil dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif pada penderita
tuberculoid dan negatif pada penderita lepromatous (Marwali Harahap, 2000).
2. faktor host

a. Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa.


b. Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti
c. Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti
3. faktor environment
a. Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat. Buruknya
kondisi kesehatan lingkungan yang banyak ditemui pada warga miskin,
diduga menjadi sarang yang nyaman untuk berkembangnya kuman kusta
2.6 Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Bakterioskopik
Memiliki lesi yang paling aktif yaitu : yang paling erythematous dan paling infiltratif.
Secara topografik yang paling baik adalah muka dan telinga. Denngan menggunakan
Vaccinosteil dibuat goresan sampai didermis, diputar 90 derajat dan dicongkelkan,
dari bahan tadi dibuat sediaan apus dan diwarnai Zeihlnielsen. Pada pemeriksaan akan
tampak batang-batang merah yang utuh, terputus-putus atau granuler.
2. Test Mitsuda
Berupa penyuntikan lepromin secara intrakutan pada lengan, yang hasilnya dapat
dibaca setelah 3 – 4 minggu kemudian bila timbul infiltrat di tempat penyuntikan
berarti lepromim test positif.
3. Indeks Bakteri (IB)
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB
digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan.Penilaian
dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:
1) bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
2) bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
3) bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
4) bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
5) bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
6) bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
7) bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
2.7 Komplikasi
1. Kerusakan tersering timbul pada tangan.
2. Trauma dan infeksi kronik skunder dapat menyebabkan hilangnya jari-jemari atau
ekstremitas bagian distal.
3. Sering menyebabkan kebutaan
4. Hilangnya hidung pada kasus LL
2.8 Pencegahan
1. Pencegahan primer
a. Penyuluhan kesehatan
Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena
penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada disekitar atau dekat
dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan
memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas
kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan,
kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit sehingga dapat
memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta.
Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita
dan masyarakat
b. Pemberian imunisasi
Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta seperti
pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996
didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan
perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali dapat
memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian
penemuan ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian
beberapa negara memberikan hasil berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut
2. Pencegahan sekunder
a. Pengobatan pada penderita kusta
Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan,
menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah
bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug
therapy pada penderita kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut
merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain
3. Pencegahan tersier
a. Pencegahan cacat kusta
Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita. Upaya
pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum cacat,
pengobatan secara teratur dan penangan reaksi untuk mencegah terjadinya
kerusakan fungsi saraf.Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri
sendiri untuk mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah
mengalami gangguan fungsi saraf.
4. Rehabilitasi kusta
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian diri
secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental,
sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan
yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat
dikondisikan sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam
masyarakat yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik . Rehabilitasi
terhadap penderita kusta meliputi :
1. Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah
terjadinya kontraktur.
2. Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak
mendapat tekanan yang berlebihan.
3. Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.
4. Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan normal terbatas
pada tangan.
5. Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat.
2.9 Penatalaksanaan
1. Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan
mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan
DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson
yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus
obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Rejimen pengobatan
MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO sebagai berikut:
a. Tipe PB ( Pause Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas DDS tablet 100 mg/hari
diminum di rumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah
selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment) meskipun secara
klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi
menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam
pengawasan.
b. Tipe MB ( Multi Basiler)
1.) Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas. Klofazimin 300mg/bln
diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari diminum
di rumah. DDS 100 mg/hari diminum dirumah, Pengobatan 24 dosis
diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis
dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan
bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12
dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan
RFT.
2.) Dosis untuk anak
Klofazimin: Umur, dibawah 10 tahun: /blnHarian 50mg/2kali/minggu, Umur
11-14 tahun, Bulanan 100mg/bln, Harian 50mg/3kali/minggu, DDS:1-2mg /Kg
BB, Rifampisin:10-15mg/Kg BB.
c. Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien
kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600
mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan
RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan.
Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan
sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
d. Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang
seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO
bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
2.10 Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Biodata Klien dan Penanggungjawab
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan
dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat
sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya
bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.
b. Riwayat Kesehatan
a.) Keluhan Utama
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya
lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-
kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya
komplikasi pada organ tubuh dan gangguan perabaan ( mati rasa pada daerah
yang lesi )
b.) Riwayat Penyakit Sekarang
Klien dengan morbus hansen yang datang ke pihak pelayan kesehatan biasanya
datang dengan demam dan mati rasa, karena masa inkubasi M. Lepra bisa
sampai 5 tahun atau lebih, maka klien dan keluarga tidak menyadari jika
tengah menderita morbus hansen.
c.) Riwayat Penyakit Dahulu
Biasanya klien pernah menderita penyakit atau masalah dengan kulit misalnya:
penyakit panu.kurab. dan perawatan kulit yang tidak terjaga atau dengan kata
lain personal higine klien yang kurang baik. Pada klien dengan morbus hansen
reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres,
sesudah mendapat imunisasi.
d.) Riwayat Penyakit Keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan
oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya
diperkirakan 2-5 tahun. Jadi anggota keluarga ada yang mempunyai penyakit
morbus hansen maka akan memperbesar kemungkinan untuk tertular penyakit
yang sama.
c. Pola aktivitas Sehari-hari
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki
maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam
perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan.
d. Pola Psikososial
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat
akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien
akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa
pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita
e. Pola Spiritual
Umumnya, klien dengan diagnosa morbus hansen mengalami gangguan
pemenuhan kebutuhan spiritual terlebih kegiatan keagamaan yang dilakukan
bersama dengan masyarakat umum, karena klien merasa malu dan minder.
f. Pemeriksaan Fisik
a.) Keadaan Umum
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan lemah karena adanya gangguan
saraf tepi motorik bisaanya dilakukan dengan tes GCS (Glasscow Comma
Scale),
b.) Tanda-tanda Vital
Pengukuran tanda-tanda vial klien yang meliputi
Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 75 kali/detik

Pernafasan :22 kali/detik


Suhu :360C
c.) Sistem Kardiovaskular
Selama tidak ditemui indikasi terganggunya sistem kardiovaskuler, maka klien
dengan diagnosa morbus hansen tidak mengalami masalah.
d.) Sistem Respirasi
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan
pada tenggorokan.
e.) Sistem Gastrointestinal
Umumnya klien dengan diagnosa morbus hansen tidak mengalami keluhan
pada sistem pencernaannya.
f.) Sistem Urinaria
Seperti halnya sistem pencernaan, morbus hansen juga tidak menimbulkan
gangguan pada sistem perkemihan klien.
g.) Sistem Muskuloskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau
kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
h.) Sistem Reproduksi
Jika morbus hansen menyerang daerah testis (pria), maka umumnya klien
mengalami penurunan sensitifitas seksual, selain itu juga menyebabkan tidak
terpenuhinya kebutuhan seksual klien morbus hansen.
i.) Sistem Neurosensori
1.) Kerusakan Fungsi Sensorik.
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi
sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan
kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan
lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II
reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan
mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada
alis mata maka alis mata akan rontok.
2.) Kerusakan fungsi motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-
lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan
dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi
(kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat
dirapatkan (lagophthalmos).
3.) Kerusakan fungsi otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan
sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, tebal, mengeras dan
akhirnya dapat pecah-pecah.
j.) Sistem Endokrin
Umunya tirjadi hipopigmentasi pada kulit klien morbus hansen karena
terganggunya prroduksi hormon pigmentasi.
k.) Sistem Integumen
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem
(kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada
kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak
dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan
pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.
g. Pemeriksaan Penunjang
Data dari hasil pemeriksaan laboratorium yang diperoleh dengan metode
pemeriksaan bakterioskopik, test Mitsuda dan Indeks Bakteri (IB)
2. Diagnosa Keperawatan
a. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan perubahan pigmentasi.
b. Resiko cidera berhubungan dengan disfungsi imun
c. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan umum
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
Kerusakan integritas Tujuan : Setelah dilakukan Domain
Jaringan (0004) tindakan keperawatan Kelas
selama 1x24 jam Intervensi
diharapkan kerusakan
integritas jaringan dapat
teratasi dengan kriteria
hasil sebagai beriku :
Domain
Kelas
Outcomes :
1101 Integritas jaringan : 2380 Manajemen Obat
kulit dan membran mukosa
1. 110113 integritas 1. Tentukan obat apa
kulit dari skala 3 yang diperlukan,
(cukup terganggu) dan kelola menurut
menjadi skala 4 resep dan protokol
(sedikit terganggu).
2. 110109 Ketebalan 2. Monitor efek
dari skala 3 (cukup samping obat
terganggu) menjadi
skala 4 (sedikit
terganggu)
3. Fasilitasi perubahan
3. 110103 Elastisitas
pengobatan dengan
dari skala 3 (cukup
dokter
terganggu) menjadi
skala 4 (sedikit
terganggu)

4. Implementasi Keperawatan
Pengelolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada
tahap perencanaan. Implementasi merupakan tahap proses keperawatan dimana
perawat memberikan intervensi keperawatan langsung dan tidak langsung terhadap
klien.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan proses keperawatan yang memungkinkan perawat untuk
menentukan intervensi keperawatan telah berhasil memungkinkan kondisi klien.
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawtan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau
tidak.

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Morbus Hansen atau biasa disebut sebagai lepra, kusta adalah penyakit infeksi kronis
yg disebabkan oleh Mycobacterium Leprae, pertama kali menyerang saraf tepi, setelah itu
menyerang kulit dan organ-organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat. (Djuanda, 2005).
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman
Micobacterium leprae (M.Leprae). Yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi,
selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian atas, sistem
retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis (Amirudin.M.D, 2000).
3.2 Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan
lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan sumber yang
lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggungjawabkan. Untuk saran bisa berisi kritik
atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari
bahasan makalah yang telah dijelaskan.
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arif, (2000), Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius,
Jakarta.

Вам также может понравиться