Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
2.2 Etiologi
Mycrobacterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA), yang bersifat obligat
intraseluler yang menyerang saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti mukosa saluran
napas bagian atas, hati, dan sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah
diri mycrobacterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari – 40 tahun.
Mycrobacterium leprae atau kuman hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta
yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873.
Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5
micron. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel
terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan.
ENL merupakan basil humoral dimana basil kusta yang utuh maupun yang tidak utuh
menjadi antigen sehingga tubuh membentuk antibodi, selanjutnya membentuk kompleks
imun yang mengendap dalam vaskuler. Reaksi tipe – 2 yang tipikal pada kulit ditandai
dengan nodul – nodul eritematosa yang nyeri, timbul mendadak, lesi dapat superfisial atau
lebih dalam. Berbagai faktor yang dianggap sering mendahului timbulnya reaksi kusta
antara lain : setelah pengobatan antikusta yang intensif, infeksi rekuren, pembedahan, dan
stres fisik.
2.3 Manifestasi klinis (Gejala dan Tanda)
Berdasarkan gambaran klinik bekteriologi, histopatologi, dan imonologik menjadi 5
kelompok yaitu:
1. Tipe tuberkuloid-tuberkuloid (TT)
Lesi berupa makula hipopigmentasi dengan permukaan kering dan kadang dengan
skuama di atasnya. Lesi mengenai kulit/saraf, bisa satu atau beberapa. Dapat berupa
macula/plakat, berbatas jelas, dibagian tengah didapatkan lesi yang mengalami regresi
atau penyembuhan, permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi,
gejalanya dapat disertai penebalan saraf perifer, kelemahan otot dan sedikit rasa gatal.
Jumlah biasanya yang satu denga yang besar bervariasi. Gejala berupa gangguan
sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat. BTA (-) dan uji
lepramin (+) kuat. Infiltrasi Tuberkoloid (+), tidak adanya kuman merupakan tanda
adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
2. Tipe Borderline tuberkuloid (BT).
Lesi berupa macula anestesi/plak, sering disertai lesi satelit dipinggirnya dengan
permukaan kering bengan jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + ), tetapi
gambaran hipopigmentasi dan gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid dan
biasanya asimetrik, jika terletak didekat saraf perifer menebal.
3. Tipe Borderline-Borderline (BB).
Merupakan tipe II yang paling tidak stabil, dan jarang dijumpai, lesi dapat berbentuk
macula infiltrat, permukaannya dapat mengkilat, batas kurang jelas, jumlah melebihi
tipe BT dan cenderung simetrik, bentuk, ukuran dan distribusinya bervariasi. Bisa
didapat lesi punched out yaitu hipopigmentasi yang oral pada bagian tengah,
merupakan cirri khas tipe ini.
4. Tipe Borderline Lepromatous (BL).
Lesi dimulai dengan macula, awalnya sedikit dan dengan cepat menyebar keseluruhan
badan, macula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walau masih kecil papul dan
nodus lebih tegas dengan distribusi yang hampir simetrik. Tanda-tanda khas seperti
kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya kerinngat,
dan gugurnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe Lepromatous
(LL).
Lesi berupa infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral
tapi asimetris, gangguan sensibilitas sedikit atau tidak ada, BTA (+) banyak, uji
Lepromin (-).
5. Tipe Lepromatous-Lepromatous (LL).
Jumlah lesi sangat banyak, simetrik, permukaan halus, lebih eritem, mengkilap,
terbatas tidak tegas dan tidak ditemukan gangguan anestesi dan antidrosis pada
stadium dini, distribusi lesi khas, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, dibadan
mengenai bagian belakang yang dingin, lengan, punggung tangan dan permukaan
ekstentor tungkai bawah, pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif,
cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung, dapat disertai
madarosis, iritis, dan keratitis. Dapat pula terjadi deforhitas hidung, dapat dijumpai
pembesaran kelenjar limfe, orkitis dan atropi testis.
2.4 Patofisiologi
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah
dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Selain manusia,
hewan yang dapat tekena kusta adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan kepiting.
Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita
kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan
pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula
mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu. Faktor
ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab.
Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan
mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanya
sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa
organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan
bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel melaporkan
bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian
terbaru, Job et al menemukan adanya sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin
superfisial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah dugaan bahwa
organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat. Pentingnya mukosa hidung
telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898. Menurut Shepard, jumlah dari bakteri dari
lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley
melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di
sekret hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien
lepromatosa dapat memproduksi 10 juta organisme per hari.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha
mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa
minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum
dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran
perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-
endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-
5 tahun.
2.5 Faktor-faktor pada penderita kusta
1. faktor agent
Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium Leprae yang ditemukan oleh
G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, secara morfologik berbentuk pleomorf
lurus batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-
8 mikron.
Basil ini berbentuk batang gram positif, tidak bergerak dan tidak
berspora, dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk
massa ireguler besar yang disebut sebagai globi ( Depkes, 2007).
Kuman ini hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada
sel saraf (Schwan Cell)dan sel dari Retikulo Endotelial, waktu pembelahan
sangat lama, yaitu 2-3 minggu, diluar tubuh manusia (dalam kondisis tropis)
kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai 9 hari (Desikan 1977,
dalam Leprosy Medicine in the Tropics Edited by Robert C. Hasting, 1985).
Pertumbuhan optimal kuman kusta adalah pada suhu 27º30º C ( Depkes, 2005).
a. M.Leprae merupakan parasit intra seluler obligat yang tidak dapat dibiakkan
dimedia buatan
b. Sifat tahan asam M. Leprae dapat diektraksi oleh piridin.
c. M.leprae merupakan satu- satunya mikobakterium yang mengoksidasi D-Dopa
(D- Dihydroxyphenylalanin).
d. M.leprae adalah satu-satunya spesies micobakterium yang menginvasi dan
bertumbuh dalam saraf perifer.
e. Ekstrak terlarut dan preparat M.leprae mengandung komponen antigenik yang
Stabil dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif pada penderita
tuberculoid dan negatif pada penderita lepromatous (Marwali Harahap, 2000).
2. faktor host
Nadi : 75 kali/detik
4. Implementasi Keperawatan
Pengelolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada
tahap perencanaan. Implementasi merupakan tahap proses keperawatan dimana
perawat memberikan intervensi keperawatan langsung dan tidak langsung terhadap
klien.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan proses keperawatan yang memungkinkan perawat untuk
menentukan intervensi keperawatan telah berhasil memungkinkan kondisi klien.
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawtan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau
tidak.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Morbus Hansen atau biasa disebut sebagai lepra, kusta adalah penyakit infeksi kronis
yg disebabkan oleh Mycobacterium Leprae, pertama kali menyerang saraf tepi, setelah itu
menyerang kulit dan organ-organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat. (Djuanda, 2005).
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman
Micobacterium leprae (M.Leprae). Yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi,
selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian atas, sistem
retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis (Amirudin.M.D, 2000).
3.2 Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan
lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan sumber yang
lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggungjawabkan. Untuk saran bisa berisi kritik
atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari
bahasan makalah yang telah dijelaskan.
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arif, (2000), Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius,
Jakarta.