Вы находитесь на странице: 1из 2

Nama : Ananda Bela Yustisia

Kelas :BIOLOGI F
NIM : 17308141038
PERAN SARAF DAN HORMON TERHADAP MOLTING PADA SERANGGA

Serangga, termasuk arthropda lainnya (kalajengking, udang, lobster, dan lain-lain),


memiliki kerangka luar yang disebut dengan eksoskeleton. Dalam pertumbuhannya, serangga akan
tiba pada titik dimana otot-otot tubuhnya tidak cukup kuat untuk mengangkat massa
eksoskeletonnya. Exoskeleton ini menutupi sekeliling tubuhnya, tetapi tidak dapat tumbuh. Jadi,
tubuh serangga mengalami pertumbuhan (penambahan volume dan massa) tetapi eksoskeletonnya
tetap pada konstruksinya atau tidak mengalami pertumbuhan. Akibatnya, serangga harus
melakukan molting beberapa kali selama hidupnya agar tetap eksis dan “survive” atau bertahan
hidup untuk meneruskan generasinya

Proses molting pada serangga, setidaknya, melewati tiga tahap, yaitu apolysis, ecdysis, dan
sklerotinisasi. Ketika serangga, pada pertumbuhannya, tiba waktunya untuk mendapatkan
eksoskeleton yang baru, input sensorik dari tubuh serangga mengaktifkan sel-sel saraf
(neurosecretory cells) tertentu dalam otak. Sel saraf ini menanggapinya dengan mengeluarkan
hormon otak yang memicu corpora cardiaca untuk melepaskan prothoracicotropic hormone
(PTTH) ke dalam sistem peredaran darah. PTTH selanjutnya merangsang kelenjar prothoracic
(prothoracic glands) untuk mengeluarkan hormone molting, yaitu ecdysteroids atau 20-
hydroxyecdysone steroids (Meyer, 2005). Dari sinilah proses molting mulai berlangsung, diawali
dengan peningkatan titer 20HE dan diakhiri dengan penurunan titer 20HE dan pelepasan hormon
eclosion. Molting pada serangga diatur oleh hormone molting, 20-hydroxyecdysone steroids
(ecdysterone atau ecdysteroids, selanjutnya disingkat dengan 20HE), JH-sesquiterpenoid, hormon
eclosion (HE), dan hormon bursicon (Klowden, 2007).

Peningkatan titter 20HE mengakibatkan epidermis terpisah dari kutikula lama (apolysis)
sehingga menciptakan ruangan antara kutikula dan epidermis (ruang eksuvial), selanjutnya ruang
exuvial diisi oleh cairan molting yang mengandung enzim inaktif, chitinolytic (chitinase dan
protease), yang mampu mencerna kutikula lama begitu teraktivasi. Sementara itu, sel-sel epidermis
terorganisir kembali untuk sintesis sejumlah besar protein serta sekresi epikutikula dan kutikula
baru. Setelah titer 20HE mulai menurun, enzim dalam cairan molting diaktifkan untuk memulai
proses pencernaan prokutikula (endokutikula yang tidak tersklerotisasi). Setelah proses ini selesai,
cairan molting diserap kembali dan pengerasan pra-ecdysial kutikula baru berlangsung (Reynolds,
1987). Akhirnya, saat titer 20HE menurun ke tingkat basal, kutikula lama terlepas (ecdysis) dengan
diawali pelepasan crustacean cardioaktive peptide (CCAP), hormon eclosion, dan ecdysis-
triggering hormone, yang bersama-sama bekerja pada sejumlah target didalam memastikan
selesainya proses molting. Hormon Eclosion (EH) memulai pelepasan CCAP dari sel-sel ventral
ganglion yang menonaktifkan perilaku pre-ecdysis dan bersama-sama dengan EH mengaktifkan
perilaku ecdysis. CCAP bertanggung jawab sebagai motor pemicu dalam menyelesaikan ecdysis.
EH juga terlibat bersama hormone bursicon untuk pengerasan kutikula (Klowden, 2007).

Sementara itu hormone juvenile (JH) berperan sebagai pengontrol perkembangan serangga
dari pradewasa (immature) menuju dewasa (adult) melalui pengaturan konsentrasinya yang sesuai.
JH dihasilkan oleh Corpora allata, pasangan organ neurohemal lainnya, terletak tepat di belakang
corpora cardiac dalam system endokrin serangga. JH menghambat perkembangan karakteristik
dewasa selama fase pradewasa dan mendorong kematangan seksual selama fase dewasa (Meyer,
2005; Klowden, 2007). JH dihasilkan selama instar larva atau nimfa, dimana pada molting
larva→larva (serangga holometabola) JH menghambat perkembangan larva menuju pupa, pada
molting nimfa→nimfa (serangga hemimetabola) dihasilkan untuk menghambat gen-gen yang
mempromosikan perkembangan karakteristik dewasa, misalnya, sayap, organ reproduksi, dan alat
kelamin eksternal, sehingga menyebabkan serangga untuk tetap "immature" (dalam nimfa atau
larva). Saat menjelang dewasa (nimfa) dan menjelang pupasi (larva) JH semakin menurun dan
menjadi tidak ada atau tidak aktif saat nimfa menjadi dewasa dan larva menjadi pupa. JH akan
diaktifkan atau dihasilkan kembali saat serangga memasuki kematangan seksual atau siap untuk
reproduksi.

John R. Meyer. 2005. “Hormonal Control of Molting & Metamorphosis”. General Entomology.
ENT 425. Department of Entomology. NC State University.
Klowden MJ. 2007. Physiological Systems in Insects. Second Edition. Academic Press, Elsevier.
Burlington, 01803, USA. 688p.
Reynolds SE. 1987. The cuticle, growth and moulting in insects: the essential background to the
action of acylurea in¬secticides. Pestic. Sci. 20:131–46.

Вам также может понравиться