Вы находитесь на странице: 1из 8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Tinjauan Pustaka


1.1.1. Autism Spectrum Disorder
Autism spectrum disorder (ASD) merupakan gangguan perkembangan saraf
kompleks termasuk gangguan autistik, gangguan Asperger, dan gangguan
perkembangan pervasif. Anak dengan ASD ditandai dengan adanya gangguan
ringan hingga berat terhadap interaksi sosial disertai kemampuan komunikasi yang
terbatas, berulang, serta pola perilaku, ketertarikan, dan aktivitas yang stereotip
(Blumberg, et al., 2013). Menurut Maslim (2003), autism meurpakan gangguan
perkembangan pervasif yang ditandai dengan adanya kelainan perkembangan dan
fungsi interaksi sosial, komunikasi, serta perilaku yang terbatas dan berulang,
dimana tanda-tanda tersebut terlihat sebelum anak berusia 3 tahun.
Gangguan interaksi yang dialami anak ASD antara lain adanya hambatan
untuk berinteraksi secara aktif dengan orang lain, sering terganggu dengan
keberadaan orang lain di sekitarnya, tidak dapat bermain bersama anak lain dan
lebih senang menyendiri. Gangguan komunikasi yaitu berupa hambatan untuk
mengekspresikan diri, sulit bertanya dan memberikan jawaban yang sesuai dengan
pertanyaan, sering menirukan ucapan orang lain, atau bahkan mengalami hambatan
bicara secara total dan berbagai bentuk masalah gangguan komunikasi lainnya.
Sedangkan gangguan perilaku yang muncul seperti anak sering melakukan
gerakan-gerakan khas (perilaku stereotip) seperti mengepakkan tangan, melompat-
lompat, berjalan jinjit, senang pada benda yang berputar atau memutar-mutarkan
benda, mengetuk-ketukkan benda ke benda lain dan obsesi pada bagian benda atau
benda yang tidak wajar (Edi, 2003).
Beberapa masalah kesehatan yang sering dialami oleh anak dengan ASD,
terutama gangguan pencernaan, diantaranya esofagistis atau radang kerongkongan,
gastritis atau radang lambung, duodenitis atau radang usus dua belas jari, dan kolitis
atau radang usus besar (Provost, et al., 2011). Serta menurut Liu, et al (2016),
gangguan pencernaan yang sering ditemukan pada anak dengan ASD adalah diare
kronis dan konstipasi, dikarenakan ketidaksempurnaan sistem pencernaan pada
penderita ASD sehingga terdapat beberapa zat yang tidak dapat dicerna dengan baik
oleh sistem pencernaan.
Berdasarkan gejalanya, autism dibagi berdasarkan kemampuan untuk
berinteraksi dengan orang lain, imitasi, respon emosi, penggunaan tubuh dan objek,
adaptasi perubahan, respon visual, pendengaran, pengecap, penciuman dan
sentuhan, komunikasi verbal dan nonverbal, aktivitas fisik, respon intelektual dan
tampilan, menjadi beberapa skala derajat, yaitu :
a. Autisme ringan
Anak autisme ringan masih dapat menunjukkan kontak mata
meskipun sebentar, sedikit merespon jika namanya dipanggil, dan
sesekali menunjukkan ekspresinya ketika berkomunikasi. Pengendalian
perilaku yang sesekali muncul dapat dilakukan dengan mudah, seperti
perilaku memukulkan kepalanya sendiri, mengigit kuku, gerakan tangan
yang stereotyped dan sebagainya.
b. Autisme sedang
Perbedaan dengan anak autisme klasifikasi ringan adalah pada tidak
adanya respon ketika namanya dipanggil dan perilaku hiperaktif yang
sulit dikendalikan.
c. Autisme berat
Anak autisme dengan klasifikasi berat diketahui ketika anak
menunjukkan tindakan-tindakan yang sangat tidak terkendali, bahkan
dalam kondisi berada dipelukan orang tuanya, anak autis tetap
memukul-mukulkan kepalanya tanpa memberikan respon. Perilaku
hiperaktif ini dapat berhenti ketika anak sudah merasa kelelahan.

(Handojo, 2003)

Menurut McCandless (2003) autisme dibagi menjadi dua, yaitu :

a. Autisme klasik
Merupakan autis yang terjadi autis sebelum lahir yang merupakan
bawaan yang diturunkan orang tua ke anak yang dilahirkan atau sering
disebut autis yang disebabkan oleh faktor genetik. Kerusakan saraf
sudah terdapat sejak lahir, karena saat hamil ibu terinfeksi virus seperti
rubella, atau terpapar logam berat berbahaya seperti merkuri dan
timbal yang berdampak mengacaukan proses pembentukan sel-sel otak
janin.
b. Autism regresif
Gejala autis yang mulai muncul ketika anak berusia 12 sampai 24
bulan. Sebelumnya perkembangan anak relatif normal, namun sejak
usia 2 tahun perkembangannya mulai merosot. Anak yang tadinya
sudah bisa membuat kalimat beberapa kata berubah menjadi diam dan
tidak lagi berbicara. Anak menjadi acuh dan tidak ada lagi kontak
mata. Kalangan ahli menganggap autism regresif karena
terkontaminasi langsung faktor pemicu. Paparan logam berat terutama
merkuri dan timbal dari lingkungan yang paling disorot.
Menurut Pratiwi (2013), autisme digolongkan menjadi dua jenis yaitu
perilaku eksesif (berlebihan) dan perilaku defisit (kurang). Perilaku eksesif atau
sering disebut sifat hiperaktif cenderung memiliki sifat tantrum atau mengamuk
seperti menjerit, mengepak, menggigit, mencakar, memukul, dan termasuk juga
menyakiti diri sendiri (self abuse). Sementara perilaku defisit adalah perilaku yang
menimbulkan gangguan bicara atau kurangnya perilaku sosial seperti tertawa dan
menangis tanpa sebab serta melamun.
Alergi dapat diakibatkan oleh gangguan sistem imun yang terjadi pada anak
autisme, dimana kekebalan baru diproduksi dan dikembangkan oleh tubuh yang
akan menyebabkan terjadinya autoimun, hal ini menyebabkan kekebalan terhadap
zat gizi yang dibutuhkan tubuh akan dihancurkan sendiri, sehingga akan terjadi zat
gizi esensial. Alergen utama pada anak autism adalah gluten dan kasein. Penerapan
diet gluten free casein free (GFCF), dapat memperbaiki jaringan saraf dan struktur
otak pada anak autisme. Diet GFCF dapat memperbaiki gejala tingkah laku pada
anak ASD, hal ini karena adanya inflamasi kronis pada usus dapat meningkatkan
permeabilitas mukosa usus, sehingga peptide dan zat racun pada makanan mudah
masuk dalam tubuh (Asih, 2016).
1.1.2. Picky Eater
Picky eater (gangguan makan) merupakan perilaku anak yang tidak mau
atau menolak untuk makan, atau mengalami kesulitan mengonsumsi makanan atau
minuman dengan jenis dan jumlah sesuai usia secara fisiologis (alamiah dan wajar),
yaitu mulai dari membuka mulutnya tanpa paksaan, mengunyah, menelan, hingga
sampai terserap di pencernaan secara baik tanpa paksaan dan tanpa pemberian
vitamin dan obat tertentu (Rufaida & Lestari , 2018). Perilaku picky eater banyak
terjadi pada usia 1 sampai 3 tahun dan beresiko dua kali lebih besar untuk
mempunyai berat badan rendah pada umur 4,5 tahun dibandingkan anak yang
bukan picky eater. Penanganan yang salah terhadap perilaku picky eater merupakan
salah satu penyumbang peningkatan status gizi kurang maupun gizi buruk pada
anak (Priyanti, 2013).
Pada anak dengan ASD sebagian besar menunjukkan adanya gangguan
makan. Gangguan makan yang terjadi diantaranya gangguan pemilihan makan
yang selektif terhadap preferensi makanan, baik dari tekstur, warna, aroma, dan
kenampakan. Pada beberapa penelitian terdahulu ditemukan bahwa sebagian bsar
anak ASD merupakan picky eater. Hal tersebut dikaitkan dengan tingginya resiko
malnutrisi, pertumbuhan inadekuat, dan kehilangan berat badan pada anak ASD.
Tingkat penolakan makanan pada anak ASD lebih tinggi daripada anak pada
umumnya (Kindi, et al., 2016). Picky eater apabila tidak ditangani dapat
menyebabkan inadekuasi intake yang dapat berujung pada terjadinya gangguan
pertumbuhan anak. Perilaku picky eater yang tidak diatasi sedini mungkin bisa
menyebabkan anak terbiasa pilih-pilih makanan dan bisa menyebabkan anak
kekurangan asupan nutrisi sehingga dapat mempengaruhi status gizinya serta dapat
menggambakan suatu pola pembatasan makanan yang mungkin dapat berlanjut dan
berperan dalam gangguan perilaku makanan saat dewasa (Saraswati, 2012).
Picky eater mengonsumsi asupan makan yang kurang bervariasi dan
biasaanya rendah sayuran, buah, makanan kaya protein dan serat karena adanya
penolakan terhadap makanan. makanan yang disukai dan tidak disukai memiliki
peran penting dalam pemilihan makan, dimana picky eater dapt menunjukkan
adanya preferensi kuat terhadap makanan (Hardianti, et al., 2018).
1.1.3. Tingkat konsumsi
Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dilakukan dengan
menggunakan metode survey konsumsi makanan. survei konsumsi makanan
merupakan metode penentuan status gizi dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi
yang dikonsumsi, baik pada masyarakat, keluarga, maupun individu. Metode
pengukuran konsumsi makanan dapat dibedakan menjadi kuantitatif dan kualitatif
(Supriasa, 2002).
Food frequency questionnaire (FFQ) merupakan metode yang bertujuan
untuk mengetahui informasi mengenai frekuensi konsumsi sejumlah makanan jadi
atau bahan makanan selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan, atau tahun.
Melalui FFQ, dapat diperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara
kualitatif. Kelebihan metode ini yaitu murah, sederhana, dapat dilakukan sendiri
oleh responden, serta tidak membutuhkan latihan khusus. Kekurangan dari metode
ini adalah tidak dapat menghitung zat gizi sehari, responden harus jujur, dan cukup
menjemukan bagi pewawancara (Supriasa, 2002).
Makronutrien dalam tubuh merupakan zat yang berperan penting sebagai
sumber energi, pembentukan sel-sel rusak, dan lain sebagainya. Karbohidrat
merupakan salah satu sumber energi utama dalam pola konsumsi makanan. apabila
asupan karbohidrat tidak mencukupi, maka akan menyebabkan ketosis. Namun
apabila asupan karbohidrat berlebih, maka akan terjadi penyimpanan dalam bentuk
lemak (Brown, et al., 2005). Lemak merupakan sumber energi yang mengandung
kalori paling besar. Lemak merupakan bentuk utama simpanan energy dalam tubuh
yang juga dapat membantu penyerapan vitamin larut lemak. Peran lemak terhadap
imunitas tubuh dan produksi selaput sel pada bentuk asam lemak esensial, omega-
6, dan omega-3. Kelebihan asupan lemak akan mengakibatkan peningkatan lemak
tubuh melalui aktivitas jaringan adipose yang meningkat serta pembesaran sel beta,
sehingga dapat menyebabkan terjadinya resistensi insulin yang berlanjut intoleransi
glukosa. Sedangkan apabila kekurangan lemak, maka akan berisiko defisiensi
vitamin larut lemak, seperti vitamin A,D,E, dan K. protein berperan sebagai
pembangun dan menjada jaringan dalam tubuh, menghasilkan dan memelihara sel,
serta sebagai enzim yang penting bagi proses pencernaan makanan. Ketika
konsumsi makanan sumber protein bersamaan dengan sumber glukosa, maka
insulin akan mengikat glukosa dengan baik, sehingga glukosa dalam darah akan
berkurang, protein juga akan meningkatkan konsentrasi insulin, terutama pada
penderita diabetes mellitus tipe 2. Hal ini akan memicu sekresi insulin yang
berlebihan dan jika terjadi secara terus menerus akan mengakibatkan resistensi
insluin dan terjadi intoleransi glukosa (Roesli, 2007).
1.1.4. Status Gizi
Status gizi merupakan gambaran keadaan kesehatan tubuh seseorang yang
dipengaruhi oleh konsumsi makanan, penyerapan dan pemanfaatan zat gizi dalam
makanan yang dikategorikan dengan status gizi buruk, kurang, baik, dan lebih (Edi,
2003). Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung melalui pengukuran
antoprometri, biokimia, fisik, dan secara klinis. Penilaian status gizi melalui
pengukuran antropometri memiliki alat yang mudah digunakan, pengukuran dapat
dilakukan secara berulang dengan mudah dan objektif, biaya murah, hasil mudah
disimpulkan secara ilmiah dan diakui kebenarannya. Namun antropometri memiliki
alat yang kurang sensitif, dapat terjadi kesalahan pada saat pengukuran yang dapat
mempengaruhi presisi, akurasi, dan validitas pengukuran gizi (Wahyu, 2009).
1.2. Kerangka Teori

Pengetahuan
Pengasuh Terapi diet Kecukupan zat gizi :
khusus
Kecukupan Energi,
Pendapatan Protein, Lemak,
Keluarga Karbohidrat

Perilaku
Makan

Karakteristik Anak : Pola Konsumsi Status Gizi


- Umur
- Jenis kelamin

Tingkat konsumsi
karbohidrat, protein,
dan lemak

Riwayat BBLR
dan ASI

Aktivitas
Fisik

Gambar 1. Kerangka Teori


Sumber : Fauziyah, et al (2016), Liu, et al (2016), Andyca (2012) dengan modifikasi
1.3. Kerangka Konsep

Perilaku makan

Status gizi

Tingkat konsumsi
karbohidrat, protein,
dan lemak

Gambar 2. Kerangka Konsep

1.4. Hipotesis
1. Terdapat hubungan antara tingkat konsumsi karbohidrat, protein, dan lemak dengan
status gizi anak ASD.
2. Terdapat hubungan antara perilaku makan terhadap status gizi anak ASD.

Вам также может понравиться