Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Tujuan pengobatan terutama adalah mencegah kematian dan terjadinya infark yang
berujung ke serangan jantung. Tujuan yang lainnya adalah untuk mengontrol serangan
angina sehingga memperbaiki kualitas hidup (Sudoyo A W , Setyohadi B, Alwi I dkk,
2006).
FARMAKOLOGIS
Menurut (Ben-Dor dan Battler, 2007), tiga kelas obat obatan major yang digunakan
oleh manajement medis yang berkaitan dengan angina stabil adalah beta blocker, nitrate
(short dan long acting), serta calcium channel antagonis.
C. Obat-obatan medikamentosa
a. Aspirin setiap hari 75-325 mg sebelum makan.
b. ACE Angiotensin Converting Enzyme inhibitor (Omapatrilat) apabila pasien juga
memiliki salah satu dari diabetes,hipertensi, atau disfungsi LV.
c. Dipiridamole sehari 300-600 mg terbagi dalam 3-4 dosis sebelum makan.
d. Nitro gliserin semprot/sublingual 500mcg untuk kontrol angina.
e. Klopidogrel 75mg untuk mengganti aspirin yang terkontraindikasi mutlak 3x1.
f. Antagonis Ca nondihidropiridin long acting sebagai pengganti penyekat beta untuk
terapi permulaan.
g. Statin sebagi pengobatan terhadap tingginya LDL (target LDL <70mg/dl)
TERAPI LAIN
REPERFUSI MIOKARDIUM
Reperfusi miokardium dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti intervensi
koroner dengan balon dan pemakaian stent sampai operasi CABG. Terapi ini pun haruslah
mengutamakan tujuan penurunan mortalitas serta mengurangi serangan jantung akut,
bukan hanya untuk mengurangi simtom dan memperbaiki kualitas hidup (Sudoyo A W ,
Setyohadi B, Alwi I dkk, 2006).
Menurut (Sudoyo A W , Setyohadi B, Alwi I dkk, 2006), misalnya pasien APS
dengan kelainan 1-2 pembuluh koroner, haruslah diberikan terapi farmakologis yang
intensif dulu sebelum dikatakan bahwa terapi yang diberikan telah gagal. Sedangkan pasien
dengan kelainan pembuluh Left Main (LM) sebaiknya langsung dilakukan reperfusi karena
memang terbukti menurunkan mortalitas .
Keadaan-keadaan yang memerlukan reperfusi miokardium pada APS:
• CABG pada stenosis LM.
• CABG pada lesi 3 pembuluh terutama bila ada disfungsi LV.
• CABG pada pasien lesi 2 pembuluh dan proksimal LAD dan disfungsi LV
atau terdapat iskemia pada tes non invasif.
• PCI pada pasien-pasien dengan lesi 2 pembuluh dan proksimal LAD yang
anatomis baik untuk PCI, apalagi bila LV fungsi normal dan tidak diobati
untuk DM.
• PCI atau CABG pada pasien-pasien dengan lesi 1 atau 2 pembuluh, tanpa
proksimal LAD yang bermakna, tetapi terdapat "viable" miokardium
cukup luas atau pada tes noninvasif termasuk risiko tinggi.
• CABG pada pasien-pasien dengan lesi 1-2 pembuluh tanpa proksimal
LAD, yang pulih dari aritmia ventrikel yang berat/cardiac arrest.
• PCI atau CABG pada pasien yang sebelumnya sudah reperfusi PCI tapi
mengalami restenosis, sedangkan terdapat miokardium "viable" luas
ataupun pada tes noninvasif termasuk high risk
• PCI atau CABG pada pasien-pasien yang tak berhasil baik dengan terapi
konservatif, sedangkan reperfusi dapat dikerjakan dengan risiko cukup
baik
• Reperfusi transmiokardial seeara operatif dengan menggunakan laser
Pada intinya, PCI/CBG digunakan pada saat simptom yang ditemukan tidak bisa
dikontrol dengan menggunakan obat obatan, serta revaskularisasi dianggap sebagai cara
yang bisa menurunkan mortalitas. Alasan pengunaan PCI diakhirkan karena biayanya
sangatlah mahal.
Terapi lain yang dapat dipertimbangkan pula pada APS adalah:
• Pemberian hormon pengganti pada pasien perempuan post menopause
• Penurunan BB pada obesitas, sekalipun tak ada hipettensi, DM dan
hiperlipidemia.
• Terapi asam folat pada pasien dengan peninggian homosistein,
• Suplemen vit E dan C.
• Identifikasi adanya depresi dan pengobatannya yang adekuat.
PENATALAKSANAAN LANJUTAN
Yang lebih dulu perlu dievaluasi antara lain adalah bagaimana keluhan-keluhan
AP nya, apakah bertambah lagi atau tetap stabil. Apakah timbul tanda-tanda disfungsi LV
yang baru, apakah terapi yang ada dapat ditolerir dengan baik dan bagaimana kontrol faktor
risikonya serta adanya komorbid barn yang memerlukan terapi tapi mengganggu stabilitas
AP nya (AHA, 2017).
Setelah anamnesis yang teliti mengenai perubahan dan perkembangan simtom,
maka pemeriksaan harus dilakukan dengan hati-hati pula mengenai adanya tanda-tanda
gagal jantung, aritmia, perubahan-perubahan pada pembuluh darah tepi lainnya,
perubahan-perubahan pada jantung dan lain-lain (AHA, 2017).
Pemeriksaan laboratorium lanjutan terutama ditujukan pada faktor risiko, seperti
gula darah dan glikosilat Hb pada DM, profil lipid, fungsi ginjaklan lain-lain. Profil lipid
mula-mula diperiksa 4-8 minggu, lalu tiap 4-6 bulan. Dalam penatalaksanna lanjutan
(follow up) pasien-pasien APS/ asimtomatik mungkin diperlukan lagi tes-tes noninvasif,
seperti direkomendasikan sbb:
1. Foto toraks bila terdapat tanda-tanda CHF yang baru atau pemburukannya.
2. Penilaian kembali fungsi sistolis LV ataupun analisa segmental LV dengan cara
eko ataupun radionuklir pada pasien-pasien dengan CHF yang baru timbul
maupun perburukannya ataupun timbulnya tanda-tanda infark jantung.
3. Ekokardiografi pada pasien-pasien dengan tanda-tanda kelainan katup.