Вы находитесь на странице: 1из 23

BAB III

A. Pengertian Tadabbur al-Qur’an secara Etimologi menurut Ulama

1. Menurut Ibnu Kathir:

Memahami makna kosakata al-Quran, memikirkan petunjuk ayat dengan tepat,dan segala
pemahaman yang dikandungnya, dan apa yang tidak sempurna kecuali dengan tanpa
memahaminya, berupa hal-hal yang tidak bisa dijelaskan oleh kosa kata tadi, dari isyaratisyarat
dan pemberitahuan. Disertai adanya manfaat yang didapat oleh hati, dengan khusyu’nya hati
kepada pesan-pesannya, tunduk kepada perintah-perintahnya, dan mengambil pelajaran
darinya.(2)

2. Menurut Khalid Ibn Abd al-Karim al-Lahim

Memikirkan dan merenungkan ayat-ayat al-Quran dengan tujuan untuk memahaminya,


mengetahui makna-maknanya, hukumhukumnya dan apa yang menjadi maksud ayat-ayat
tersebut. (3)

4. Menurut Ibn Qayyim

Memfokuskan perhatian hati kepada makna-maknanya, dan memusatkan pikiran untuk


merenungkan dan memahaminya. (4)

5. Pengertian lain

Melihat apa yang bisa dipahami dibalik makna, petunjuk, dan pemahaman terjauh yang dapat
dipahami dari ayat. Dari definisi-definisi di atas tentang tadabbur, dapat diambil kesimpulan
bahwa tadabbur mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

1) Mengetahui arti kata-kata dan apa yang dimaksud

2) Merenungkan apa yang menjadi maksud ayat, baik yang tersurah ataupun tersirat, baik
yang dipahami berdasarkan konteks ayat, maupun berdasarkan susunan jumlah,.

3) Ketundukan akal terhadap hujah-hujahnya, tergeraknya hati ketika mendapat kabar


gembira atau peringatan yang ada dalam al-Quran

4) Mengambil manfaat dari al-Qur’an, dengan tunduk kepada perintahperintahnya, dan


meyakin kebenaran keterangannya.

5) Adanya pengulang-ulangan dalam membaca


6) Menimbulkan kekhusyu’an, menambah keimanan,

Ibn ‘Ashur membagi adanya kemungkinan tadabbur ke dalam dua ketegori; (1) Merenungkan
petunjuk-petunjuk yang melekat pada ayat-ayat AlQuran, sebagai cara untuk menggali
petunjuk al-Quran, Menurut al-Ajiri orang yang mentadabburi al-Qur’an akan mengetahui
Tuhan-nya, mengetahui kekuasaan dan keagunggan-Nya, mengetahui karunia-Nya kepada
orang-orang beriman, mengetahui apa yang menjadi kewajiban seorang hamba, kemudian dia
akan menjalankannya, mengetahui apa yang dilarang, kemudian dia menjauhinya, jika sifat ini
menjadi kebiasaannya saat membaca atau mendengar al-Qur’an maka al-Qur’an akan menjadi
obat baginya, dia menjadi kaya tanpa harta, menjadi tenang jiwanya, dan apa yang menjadi
harapannya setiap memulai membaca al-Qur’an adalah; kapan aku mengamalkan pelajaran
yang sudah didapat dari al-Qur’an, harapannya bukan sekedar mengkhatamkan bacaan al-
Qur’an, dia mengganggap membaca al-Qur’an adalah ibadah, dan ibadah tidak mungkin
dilakukan tanpa pemahaman (5). (2) Merenungkan keseluruhan al-Quran, yakni menjadikan
al-Quran sebagai satu paket, dengan mempertimbangkan unsur bahasanya, sehingga didapat
kesimpulan bahwa al-Quran itu berasal dari Allah, dan apa yang dikandungnya adalah
kebenaran (6). Tadabbur dalam pengertian pertama bermakna adanya upaya mengambil
petunjuk, hikmah-hikmah, hukum-hukum dari setiap ayat alQuran yang dibaca. Sedang
tadabbur dengan pengertian kedua adalah perenungan yang mendalam tentang al-Quran secara
keseluruhan atau antara ayat satu dengan ayat yang lain, sehingga melahirkan kesimpulan
bahwa alQuran itu benar-benar adalah berasal dari Tuhan, bukan buatan nabi Muhammad
sebagaimana dituduhkan oleh orang-orang musyrik di Makkah, atau orang-orang munafik di
Madinah.

B. Pengertian Pendidikan

a. Pengertian Pendidikan Istilah pendidikan dalam bahasa arab dikenal dengan sebutan
atTarbiyah, at-Ta’lim dan at-Ta’dib (7). Dalam Al Quran tidak ditemukan kata at-
Tarbiyah, tetapi ada istilah yang senada dengan itu yaitu: ar-Rabb, rabbayani, murabbi,
rabbaani. Ar-Raghib al-Ashfahani dalam mufradatnya mengatakan bahwa asal ar-Rabb
adalah at-Tarbiyah, yaitu menyampaikan sedikit demi sedikit hingga sempurna.
Kemudian kata itu dijadikan sifat Allah sebagai mubalaghah (penekanan) (8). Hal
senada juga dikatakan oleh Ibnu Katsir bahwa rabbaani berasal dari kata rabb mendapat
tambahan alif dan nun karena mubalaghah, Rabbaani juga sebagai sebutan untuk orang
yang mempunyai ilmu dan agamanya secara mendalam (9). Ahmad Tafsir mengatakan
bahwa pendidikan merupakan arti dari kata Tarbiyah. Kata tersebut berasal dari tiga
kata yaitu; raba-yarbu, rabbiya-yarbaa serta rabba-yarubbu.

C. Pengertian Keluarga
Istilah keluarga dalam bahasa arab dikenal dengan sebutan al- ilah jamak dari awaail,
al-usroh jamak dari usarun, dan Ahlun jamak dari Ahluuna (10) Dalam al- Ahlun
) yang berarti keluarga sebanyak 36 kali. Yaitu terdapat dalam surat: (3:121, 4:35,92,
5:89, 11:40,45,46, 12:26,62,65,88,93, 15:65, 19:16, 20:10,29,40,132, 21:84, 23:27,
26:169,170, 27:7,49,57, 28:29, 36:50, 37:134, 38:43, 39:15, 42:45, 48:11,12, 51:26,

52:26, dan surat 66:6). Ahlun ( ) mempunyai pengertian orang-orang yang


mendapatkan hak sesuai dengan hakmereka adalah orang yang memilikinya.

Sedangkan kata aalun ( ) juga berarti keluarga sebanyak 11 kali, an surat: (2:248,

3:33,4,54, 12:6, 19:6, 27:56, 28:8, 34:13, dan surat 54:34). Aalun ) bisa berarti

Ahlun ( ), bisa juga tidak berarti ahlun ( ). Sedang menurut Abul Fatah

aala ilaihi ( ) mempunyai arti menjadi terkumpul di dalamnya. Di dalam al-


alQurbaa ( ) yang berarti keluarga (Qs.42:23). Kemudian kata arhaamun

) (Qs. 47:22). Kemudian juga terdapat kata asyiiroh ( ) yang berarti


juga keluarga, terdapat dalam (Qs. 58:22). Kata asyirah bisa berarti kelompok orang
yang melindungi sebuah keluarga. Yakni melindungi untuk taqwa.
Keluarga merupakan kelompok sosial pertama di mana individu berada dan akan
mempelajari banyak hal penting dan mendasar melalui pola asuh dan binaan orang tua
atau anggota keluarga lainnya. Keluarga mempunyai tugas yang fundamental dalam
mempersiapkan anak bagi kehidupannya di masa depan. Dasar-dasar prilaku, sikap
hidup, dan berbagai kebiasaan ditanamkan kepada anak sejak dalam lingkungan
keluarga (11).

D. Pendidikan Keluarga
Pendidikan keluarga merupakan bagian dari sistem pendidikan secara keseluruhan.
Sebagaimana dikatakan oleh Ki Hajar Dewantoro, bahwa keluarga merupakan salah
satu dari tri pusat pendidikan, yang meliputi: keluarga, sekolah, dan organisasi pemuda.
Pendidikan keluarga adalah usaha sadar yang dilakukan orang tua, karena mereka pada
umumnya merasa terpanggil (secara naluriah) untuk membimbing, mengarahkan,
membekali dan mengembangkan pengetahuan nilai dan keterampilan bagi putra putri
mereka sehingga mampu menghadapi tantangan hidup di masa yang akan datang.

Pendidikan keluarga adalah pendidikan yang berlangsung dalam keluarga yang dilaksanakan
oleh orang tua sebagai tugas dan tanggung jawabnya dalam mendidik anak dalam keluarga (12)
Pendidikan pada umumnya terbagi pada dua bagian besar, yakni pendidikan sekolah dan
pendidikan luar sekolah. Pendidikan keluarga merupakan salah satu jalur pendidikan luar
sekolah. Selanjutnya Philips H. Combs, mengungkapkan bahwa: Pendidikan luar sekolah
adalah setiap kegiatan pendidikan yang terorganisir yang diselenggarakan di luar sistem formil.
baik tersendiri maupun merupakan bagian dari suatu kegiatan yang luas, yang dimaksudkan
untuk memberikan layanan kepada sasaran didik tertentu dalam rangka mencapai tujuan-tujuan
belajar (13)

Keluarga sebagai lingkungan pendidikan yang pertama sangat penting dalam membentuk pola
kepribadian anak, karena di dalam keluarga anak pertama kali berkenalan dengan nilai dan
norma. Pendidikan keluarga memberikan pengetahuan dan ketrampilan dasar, agama dan
kepercayaan, nilai moral, norma sosial dan pandangan hidup yang diperlukan peserta didik
untuk dapat berperan dalam keluarga dan dalam masyarakat

E. Deskripsi Al-Qur’an Mengenai Pendidikan Keluarga.


1. Hakikat pendidikan keluarga menurut Al-Qur’an.
Kata kunci yang digunakan dalam kajian ini adalah kata ahl, ‘ali dan ’asyirah.
Seperti kata kata ahl terdapat di dalam surat At-Tahrim ayat 6, surat Thaaha ayat
132 dan surat Maryam ayat 55.
Allah SWT berfirman dalam surat At-Tahrim ayat 6

yang artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan” (15)
Dalam suatu riwayat disebutkan ketika turun ayat itu Umar berkata, “ Wahai
Rasulullah, kita menjaga diri kita sendiri. Tetapi bagaimana kita menjaga keluarga
kita? Rasulullah menjawab:” kamu larang mereka mengerjakan apa yang dilarang
Allah untukmu, dan kamu perintah mereka apa yang diperintahkan Allah
kepadamu. Itulah penjagaan diri mereka dari neraka.”. Yang dimaksud dengan an-
ahl (keluarga) di sini yaitu mecakup istri, anak, baik laki-laki dan perempuan. Di
dalam ayat ini terdapat isyarat mengenai kewajiban seorang suami mempelajari
fardu-fardu agama yang diwajibkan baginya dan mengajarkan kepada keluarganya.
Pada ayat di atas terdapat kata qu anfusakum yang berarti buatlah sesuatu yang
dapat menjadi penghalang datangnya siksaan api neraka dengan cara menjauhkan
perbuatan maksiat (16). Memperkuat diri agar tidak mengikuti hawa nafsu, dan
senantiasa taat menjalankan perintah Allah. Selanjutnya kata wa ahlikum,
maksudnya adalah keluargamu yang terdiri dari istri, anak, saudara, kerabat,
pembantu dan budak, diperintahkan kepada mereka agar menjaganya, dengan cara
memberikan bimbingan, nasehat, dan pendidikan kepada mereka. Perintahkan
mereka untuk melaksanakannya dan membantu mereka dalam merealisasikannya.
Bila kita melihat ada yang berbuat maksiat kepada Allah maka cegah dan larang
mereka. Ini merupakan kewajiban setiap muslim, yaitu mengajarkan kepada orang
yang berada di bawah tanggung jawabnya segala sesuatu yang telah diwajibkan dan
dilarang oleh Allah (17)
Kemudian al-waqud adalah sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalakan api.
Sedangkan al-hijarah adalah batu berhala yang biasa disembah oleh masyarakat
jahiliyah Ibnu Abi Hatim. Dan malaikatun maksudnya, mereka (para malaikat) yang
jumlahnya 19 dan bertugas menjaga neraka, penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, yaitu yang tabiatnya kasar. Allah telah mencabut dari hati-hati mereka rasa
kasih sayang terhadap orangsusunan tubuh mereka sangat keras, tebal, dan
penampilannya yang mengerikan. Wajah-wajah mereka hitam, dan taring-taring
mereka menakutkan. Tidak tersimpan dalam hati masing-masing mereka rasa kasih
sayang terhadap orang-orang kafir, walaupun sebesar biji dzarrah. Yang tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan. Mereka tidak pernah menangguhkan bila
datang perintah dari Allah walaupun sekejap mata, padahal mereka bisa saja
melakukan hal itu dan mereka tidak mengenal lelah. Mereka itulah para malaikat
Zabaniah, kita berlindung kepada Allah dari mereka. Ghiladzun maksudnya adalah
hati yang keras, hati yang tidak memiliki rasa belas kasihan apabila ada orang yang
meminta dikasihani. Sementara syidadun artinya memiliki kekuatan yang tidak
dapat dikalahkan (18).
Selain surat At-Tahrim ayat 6 tersebut, ada ayat lain yang memiliki redaksi dan
kandungan yang sama,juga terdapat pada surat Thaaha ayat 132

yang artinya: ”Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan


bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu,
kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi
orang yang bertakwa”.

Amanat berikutnya yang tidak kurang pentingnya dari yang sebelumnya ialah Nabi ‫ﷺ‬.
menyuruh keluarganya mengerjakan salat sebagaimana telah diperintahkannya sendiri dan
tentu saja perintah itu harus dibarengi pula dengan perintah yang kedua yaitu agar keluarganya
jangan terpengaruh atau menjadi silau matanya melihat kekayaan dan nikmat yang dimiliki
oleh istri-istri orang-orang kafir itu.
Demikianlah amanat Allah kepada Rasul-Nya sebagai bekal untuk menghadapi perjuangan
berat, yang patut menjadi contoh teladan bagi setiap pejuang yang ingin menegakkan
kebenaran di muka bumi. Mereka haruslah lebih dahulu menjalin hubungan yang erat dengan
Khaliknya yaitu dengan tetap mengerjakan salat dan memperkokoh batinnya dengan sifat tabah
dan sabar.
Di samping itu haruslah seisi rumah tangganya mempunyai sifat seperti yang dimilikinya.
Dengan demikian ia akan tabah berjuang tidak dapat diombang-ambingkan oleh bunga
kehidupan dunia seperti kekayaan, pangkat dan kedudukan.
Amanat-amanat inilah yang dipraktekkan oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬dan para sahabatnya sehingga
mereka benar-benar sukses dalam perjuangan mereka sehingga dalam masa kurang lebih 23
tahun saja Islam telah berkembang dengan jaya hampir seluruh jazirah Arab dan jadilah kalimat
Allah kalimat yang paling tinggi dan mulia.
Diriwayatkan oleh Rafi’i seorang tamu datang mengunjungi Rasulullah, sedang di rumahnya
tidak ada yang patut disuguhkan kepada tamu itu.
Rasulullah menyuruh saya meminjam sedikit tepung gandum kepada orang Yahudi dan akan
dibayar nanti pada bulan Rajab.
Orang Yahudi itu tidak mau meminjamkan kecuali dengan jaminan.
Aku kembali kepada Rasulullah memberitakan hal itu.
Rasulullah berkata: Demi Allah aku ini orang dipercaya di langit dan di bumi.
Kalau orang Yahudi itu meminjamkan atau menjual sesuatu kepadaku pasti aku melunasi
haknya.
Bawalah baju besiku ini sebagai jaminan bagi pinjaman itu.
Belum lagi aku keluar dari rumah Nabi turunlah ayat ini seakan-akan Allah menghibur Nabi
atas kemiskinannya itu.

Diriwayatkan pula oleh Malik dan Baihaqi dari Aslam, di antara adat kebiasaan Umar bin
Khattab ialah dia selalu melakukan salat malam sekuat tenaganya sampai hampir waktu fajar
tiba.
Kemudian beliau membangunkan keluarganya dan memerintahkan supaya mereka melakukan
salat, dengan membaca ayat ini.

Kemudian hakikat pendidikan keluarga juga terdapat di dalam surat Maryam ayat
55

Artinya: ”Dan ia menyuruh ahlinya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat,


dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya”.

Dapat dipahami dari susunan ayat di atas, bahwasanya Ismail itu disegani dalam
kalangan ahli atau pengikutnya, karena senantiasanya teguh memenuhi janji orang
mesti segan kepadanya. Apabila sudah disegani, timbullah wibawa, dan apabila
wibawa telah tumbuh niscaya perintah atau ajakannya akan dipatuhi. Maka
disuruhnyalah ahlinya itu mengerjakan mengerjakan sembahyangmenurut syari’at
Ilahi. Dan disuruhnya pula ahlinya itu berzakat, yaitu mengeluarkan sebagian dari
harta benda mereka (19)
Selanjutnya dalam al-Qur’an keluarga juga disebut dengan di mana Allah
berfirman dalam surat Asy- Syu’ara’ ayat 214

Artinya: ”Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang


terdekat”.

Selain kata dan , dalam Al-Qur’an arti keluarga menggunakan kata

,seperti yang terdapat dalam QS. Ali Imran ayat 33

Artinya : “Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan
keluarga 'Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing”).
Allah SWT memberitahukan bahwa sesungguhnya Dia telah memilih beberapa
keluarga atas penghuni bumi lainnya. Allah memilih Adam, Dia menciptakannya
dengan tangannya, meniupkan kepadanya sebagian dari ruh-Nya, menjadikan para
malaikat bersujud kepada-Nya, mengajarkan nama-nama setiap benda,
menempatkannya di syurga. Dalam semua perbuatan terdapat hikmahnya. Allah
memilih Nuh sebagai Rasul pertama yang diutus Allah bagi penghuni bumi, tatkala
manusia mulai menyembah berhala dan syirik kapada Allah. Allah memilih
keluarga Ibrahim, yang diantaranya ada junjungan manusia, yaitu Muhammad
SAW. Allah juga memilih keluarga Imran. Yang dimaksud Imran di sini ialah
ayahanda Maryam binti Imran, dan ibundanya Isa bi Maryam, ia juga merupakan
keturunan Ibrahim (20)

F. Materi-materi dalam pendidikan keluarga menurut Al-Qur’an


Materi pendidikan yaitu bahan-bahan pelajaran yang disajikan dalam proses
kependidikan dalam suatu sistem institusional pendidikan. Materi-materi yang
diuraikan dalam Al-Qur'an menjadi bahan-bahan pokok pelajaran yang disajikan dalan
proses kependidikan Islam, baik formal maupun non formal(21)

Dalam pendidikan keluarga banyak sekali materi-materi yang harus diterapkan oleh
orang tua kepada anaknya, diantaranya:
a. Pendidikan akidah islamiyah
Pendidikan pertama dan paling utama yang harus diberikan kepada anak adalah
pendidikan tauhid atau akidah dengan dasar-dasar keimanan dan keislaman agar
anak mengerti dan tidak mempersekutukan Allah SWT, karena
mempersekutukan Allah itu merupakan perbuatan dosa besar, perbuatan yang
zalim yang dibenci Allah. Pendidikan Islam dalam keluarga adalah pendidikan
akidah Islamiyah, karena akidah adalah inti dari dasar keimanan seseorang yang
harus ditanamkan kepada anak. Hal ini telah disebutkan dalam surat Lukman
ayat 13

Artinya: ”Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia


memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar".

Materi pertama yang disampaikan Luqman kepada anaknya adalah memberikan


pendidikan dan pengajaran berupa aqidah yang mantap, agar tidak menyekutukan
Allah. Itulah aqidah tauhid, karena tidak ada Tuhan selain Allah, karena yang selain
Allah adalah makhluk Allah yang tidak berserikat di dalam menciptakan alam ini
(22)
Dari segi redaksi, ayat tersebut diawali dengan kata yaa bunnayya. Dalam bahasa
arab ini termasuk at-tasghir lil-isyfaq wa tahabbub, panggilan kesayangan yang
menunjukkan rasa cinta yang amat dalam dari orang tua kepada anaknya. Ayat ini
mengindikasikan bahwa seorang pendidik yang baik harus memahami karakteristik
anak didiknya serta menghargainya dengan baik. Kemudian larangan berbuat syirik
diungkapkan dengan fi’lul –mudhariyang mengindikasikan lil-istimrar, dalam arti,
sejak dini para pendidik harus menciptakan lingkungan yang kondusif agar terbebas
dari situasi dan kondisi yang menjerumuskan pada kemusyrikan. Larangan ini
sekaligus mengandung pengajaran tentang wujud dan keEsaan Tuhan, serta
mendorong anak didiknya agar terus menerus mencari ilmu (23)
Muhamad Nur Hafidz merumuskan empat pola dasar dalam bukunya dalam
memberikan pembinaan tauhid atau akidah ini dengan cara yang pertama,
senantiasa membacakan kalimat tauhid kepada anak. Kedua, menanamkan
kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya. Ketiga, mengajarkan Al-Qur’an dan
keempat menanamkan nilai-nilai pengorbanan dan perjuangan (24)

b. Pendidikan ibadah
Setelah pendidikan tauhid yang ditanamkan kepada anak, maka pelajaran yang
dapat diberikan selanjutnya adalah ibadah kususnya shalat. Sejak dini seorang
anak sudah harus dilatih ibadah, diperintah melakukannya dan diajarkan hal-hal
yang haram serta yang halal (25)
Allah SWT berfirman dalam Qs thahaa 132

Artinya: ”Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan


bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki
kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu
adalah bagi orang yang bertakwa”.(26)

Suruhlah hai Rasul keluargamu untuk mendirikan shalat, dan hendaklah kamu
sendiri memeliharanya, karena nasehan dan perbuatan akan lebih membekas
dibanding dengan perkataan.sesungguhnya kami hanya menghendaki ibadah dan
takwa darimu dan dari mereka. Kami tidak meminta rizqi darimu, sebagaimana tuan
meminta pajak pada budaknya. Dan akibat yang baik adalah bagi orang yang
bertakwa dan taat kepada Allah. Apa yang ada pada sisi mereka akan terputus dan
habis, sedang apa yang ada disisi Allah adalah kekal dan tidak musnah (27)
Pendidikan shalat dalam keluarga juga disebutkan dalam hadits Nabi Muhammad
SAW, beliau bersabda: Artinya:” Perintah anak-anakmu untuk menjalankan
ibadah shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukulah ketika berusia
sepuluh tahun (belum mau menjalankannya)”. (HR. Abu Daud )

3. Pendidikan akhlakul karimah


Akhlak adalah tahab ketiga dalam beragama. Tahab pertama menyatakan
keiimanan dengan mengucapkan shahadad, tahab kedua melakukan ibadah
seperti shalat, puasa, zakat dan tahab ketiga adalah sebagai buah dari keimanan
dan ibadah adalah akhlak (28)
Pendidikan akhlakul karimah menjadi sangat penting dikemukakan dalam
pendidikan keluarga, sebagaimana disebutkan dalam surat Luqman ayat 14:

Artinya:” Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibubapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah-
tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada
dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”.

Lukman menyampaikan pesan kepada anaknya untuk beribadah kepada Allah Yang
Maha Esa dengan cara berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Dalam surat ini
Allah berfirman ,” Dan kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada
orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah
lema,” yakni semakin bertambah lemah. Ayat “ Dan menyapihnya dalam dua
tahun.” Berarti setelah anak dilahirkan, maka si Ibu merawatnya dan menyusunya.
Hal ini disebabkan firman Allah SWT ,” Hendaklah para ibu menyusui anaknya dua
tahun penuh, bagi siapa yang hendak menyempurnakan penyususan”.(QS. Al-
Baqarah:233) (29)
Dari ayat tersebut menunjukkan bahwa tekanan utama pendidikan keluarga dalam Islam
adalah pendidikan akhlak, dengan jalan melatih anak membiasakan berbuat baik,
menghormati kedua orang tua, bertingkah laku yang sopan dan baik dalam perilaku
keseharian maupun dalam bertutur kata. Orang tua mempunya hak, yaitu dihargai dan
dihormati. Inilah ajaran yang datang dari sunnah Rasulullah SAW, beliau bersabda yang
artinya ”Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghargai hak orang tua dan
tidak menyayangi anak muda”.(HR. Ahmad dan Bukhari) (30)

Peran Orang Tua Dalam Pendidikan Keluarga


Agama Islam memiliki ajaran yang komprehensif dan terinci dalam masalah keluarga. Ada
puluhan ayat Al-Qur’an dan ratusan hadis Nabi SAW. yang memberikan petunjuk yang
sangat jelas menyangkut persoalan keluarga, mulai dari awal pembentukan keluarga, hak
dan kewajiban masing-masing unsur dalam keluarga hingga masalah kewarisan dan
perwalian. Islam memang memberikan perhatian besar pada penataan keluarga. Ini terbukti
dari seperempat sebagian dari fiqh (hukum islam) yang dikenal dengan rub’u al-munakahat
(seperempat masalah fiqh nikah) berbicara tentang keluarga (31)
Menurut Hadari Namawi, yang bertanggung jawab atas maju dan mundurnya pendidikan-
termasuk pendidikan Islam- ada pada pundak keluarga (orang tua), sekolah (guru), dan
masyarakat (32)
Sedangkan menurut Syamsul Nizar, selain keluarga, sekolah dan masyarakat yang
bertanggung jawab atas terlaksananya pendidikan Islam adalah manusia itu sendiri, sebagai
subjek dan objek langsung pendidikan. Tanpa kesadaran dan tumbuhnya nilai tanggung
jawab pada dirinya, mustahil pendidikan Islam mampu memainkan perannya secara
maksimal. Untuk itu di samping ketiga unsur di atas, diperlukan kesiapan dan tanggung
jawab yang besar pada diri peserta didik sebagai hamba Allah yang siap melaksanakan
amanat-Nya di muka bumi (33)

Proses pendidikan nilai-nilai Islami mula-mula dibebankan pada lingkungan keluarga,


karena keluarga adalah benteng utama tempat peserta didik diasuh dan dibesarkan serta
merupakan lingkungan pertama bagi peserta didik untuk memperoleh pendidikan. Segala
kelakuan dan tindakan orang-orang dewasa dalam keluarga (orang tua) sangat berpengaruh
terhadap perkembangan pribadi anak/peserta didik itu sendiri. Pendidikan Islam
selanjutnya diberikan di lingkungan sekolah dan masyarakat, sehingga nilai-nilai
keagamaan Islam yang telah dibina dalam keluarga akan terus menerus berkesinambungan
(34)
A. Doa
Doa merupakan insrtumen yang sangat ampuh untuk mengantarkan kesuksesan sebuah
perbuatan. Hal ini dikarenakan segala sesuatu upaya pada akhirnya hanya Allahlah
yang berhak menentukan hasilnya. Bagi seorang muslim, berdoa berarti senantiasa
menumbuhkan semangat dan optimisme untuk meraih cita-cita dan pada saat yang
bersamaan membuka pintu hati untuk menggantungkan sepenuh hati akan sebuah akhir
yang baik di sisi Allah. Dengan doa seseorang tidak saja akan terobsesi dan tersugesti
dengan doanya, melainkan juga akan termotivasi menjadi seorang yang kuat, penuh
optimistis dan memiliki harapan yang pasti. Doa telah ditegaskan dalam sebuah Hadits
sebagai senjata bagi orangorang yang beriman,( ad-du’a shilaahul mu’minin). Oleh
karena itu relevan sekali bila doa ini dijadikan metode utama mendidik anak dalam
kandungan. Para nabi dan orang-orang saleh terdahulu banyak melakukan metode doa,
seperti Nabi Ibrahim (QS. Ash Shaffaat: 100, QS. al-Furqaan: 74), keluarga Imran (
QS.Ali Imran: 38), Nabi Zakariya ( QS. al-Anbiyaa’: 89, QS.
Maryam: 5)

rabbi hab lii mina shshaalihiin


Artinya : “Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang
yang saleh”.

QS. al-Furqaan: 74

walladziina yaquuluuna rabbanaa hab lanaa min azwaajinaa wadzurriyyaatinaa qurrata a'yunin
waj'alnaalilmuttaqiina imaamaa
Artinya :”Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami
isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami
imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
Hunaalika da’aa zakarii-yaa rabbahu qaala rabbi hab lii min ladunka dzurrii-yatan thai-
yibatan innaka samii’uddu’aa-i
Artinya “Di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata:
“Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik.

Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”.

Qs Al Anbiya 89

Artinya: “Dan (ingatlah kisah) Zakaria, tatkala ia menyeru Tuhannya:


“Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah
Waris Yang Paling Baik.

Qs maryam 5

Artinya : “Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang


isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang
putera”.

2. Ikhlas Menerima Kelahiran Anak; Laki-laki atau Perempuan


Meskipun orangtua mengharapkan kehadiran anak tertentu, namun ketika Allah
memberikan anak yang tidak sesuai dengan keinginan tersebut, maka orangtua
harus bisa menerimanya dengan hati ikhlas, lalu memberikan pendidikan yang baik
kepada anak tersebut sesuai dengan tuntunan ajaran Islam (Qs. Asy Syu’ara/42 ayat
49).
Artinya : “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia

menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak


perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-
anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki “.
Sikap ini juga pernah dialami oleh istri ‘Imran yang menginginkan seorang anak
laki-laki. Namun Allah menganugerahkannya anak perempuan, tetapi ia tetap
menerimanya dengan hati yang ikhlas (Qs. Ali Imran/3 ayat 36).

Artinya : “Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata:


“Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan, dan
Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, dan anak laki-laki tidaklah
seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku
mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada

(pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk”.

Sebaliknya, ada pula sikap membenci kelahiran anak, seperti kisah masyarakat
Jahiliyah yang membenci anak perempuan yang baru lahir, malah ada yang sanggup
membunuh dengan menguburkannya (QS. an-Nahl/16 ayat 58-59). Selain merasa
hina, ada pula yang membenci dan membunuh anaknya hanya karena takut miskin
(Qs. al-Isra’/17 ayat 31). Membunuh atau membenci anak hanya karena takut
miskin adalah dosa besar. Al-Maraghi (1993: 76) menyimpulkan bahwa membunuh
anak-anak bila sebabnya karena takut melarat, berarti berburuk sangka terhadap
Allah, bila sebabnya karena takut melarat, berarti berburuk sangka terhadap Allah.
Dengan sikap ikhlas menerima kelahiran anak, baik laki-laki maupun perempuan,
maka orangtua tersebut akan ikhlas pula mendidik anaknya sesuai dengan tuntunan
agama hingga kelak ia dewasa. Sebaliknya, jika orangtua tidak senang terhadap
kelahiran anak tersebut, maka sikap tersebut akan jelas berpengaruh secara
psikologis terhadap pendidikan anak di masa selanjutnya, bisa jadi orangtua
tersebut mudah marah kepada si anak, tidak bersikap adil, tidak bersikap lemah-
lembut penuh kasih-sayang, dan sebagainya. Jadi, orangtua harus ikhlas menerima
kelahiran anak, bagaimana pun kondisinya, seperti yang dilakukan istri ‘Imran di
atas sehingga ia tetap mendidik anaknya, Maryam, dengan cara yang baik

3. Seorang ibu harus selalu menjaga dirinya dengan makan makanan yang halalan
thoyyiban. Makanan yang halal lagi baik akan berpengaruh terhadap keshalehan
anak kelak. Firman Allah SWT

“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang telah Allah rizqikan
kepadamu dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada Nya.” (QS. Al-
Maidah: 88)

Tafsir QS. Al Maa’idah (5) : 88. Oleh Kementrian Agama RI


Pada ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada hamba-Nya agar mereka
memakan rezeki yang halal dan baik, yang telah dikaruniakan-Nya kepada mereka.
Halal di sini mengandung dua macam pengertian.

Pertama halal menurut zatnya, yaitu bukan termasuk barang-barang yang oleh agama Islam
dinyatakan sebagai barang-barang yang haram, seperti bangkai, darah, daging babi dan khamar.

Kedua halal menurut cara memperolehnya, yaitu diperoleh dengan cara-cara yang dihalalkan
oleh agama, misalnya dengan cara membeli, meminjam, pemberian, dan sebagainya.
Bukan dengan cara-cara yang dilarang agama, seperti mencuri, merampas, menipu, korupsi,
riba, judi dan lain-lainnya.
Prinsip halal dan baik ini hendaknya senantiasa menjadi perhatian dalam menentukan makanan
dan minuman yang akan dimakan untuk diri sendiri dan untuk keluarga, karena makanan dan
minuman itu tidak hanya berpengaruh terhadap jasmani, melainkan juga terhadap rohani.

Tidak ada halangan bagi orang-orang mukmin yang mampu, untuk menikmati makanan dan
minuman yang enak, dan untuk mengadakan hubungan dengan istri, akan tetapi haruslah
menaati ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan syara, yaitu baik, halal dan menurut
ukuran yang layak. Maka pada akhir ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala memperingatkan
orang-orang mukmin agar mereka berhati-hati dan bertakwa kepada-Nya dalam soal
makanan, minuman dan wanita, serta kenikmatan-kenikmatan lainnya. Janganlah mereka
menetapkan hukum-hukum menurut kemauan sendiri dan tidak pula berlebih-lebihan dalam
menikmati apa-apa yang telah dihalalkan-Nya.

Dalam ayat lain Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.


Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang berlebih-lebihan.
(Q.S. Al-A’raf: 31)
Agama Islam sangat mengutamakan kesederhanaan. Ia tidak membenarkan umatnya berlebih-
lebihan dalam makan, minum, berpakaian dan sebagainya, bahkan dalam beribadah.
Sebaliknya, juga tidak dibenarkannya seseorang terlalu menahan diri dari menikmati sesuatu,
padahal ia mampu untuk memperolehnya. Apalagi bila sifat menahan diri itu sampai
mendorongnya untuk mengharamkan apa-apa yang telah dihalalkan syara’.

Rasulullah ‫ﷺ‬ telah memberikan suri teladan tentang kesederhanaan ini.


Dalam segala segi kehidupannya, beliau senantiasa bersifat sederhana, padahal jika beliau mau
niscaya beliau dapat saja menikmati segala macam kenikmatan itu sepuas hati.
Akan tetapi beliau tidak berbuat demikian, karena sebagai seorang pemimpin, beliau
memimpin umatnya kepada pola hidup sederhana, akan tetapi tidak menyiksa diri.
Artinya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak
ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak
ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah
kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan

Tafsir QS. Al Baqarah (2) : 233. Oleh Kementrian Agama RI


Setiap ibu (meskipun ia janda) berkewajiban menyusui anaknya sampai anak itu mencapai usia
dua tahun. Tidak mengapa kalau dikurangi dari masa tersebut apabila kedua ibu bapak
memandang ada maslahatnya. Demikian pula setiap bapak berkewajiban untuk memenuhi
kebutuhan para ibu baik dengan sandang maupun pangan menurut yang semestinya. Ibu
laksana sebagai wadah bagi anak sedang bapak sebagai pemilik si wadah itu. Maka sudah
sewajarnya bapak berkewajiban memberi nafkah kepada orang yang di bawah tanggung
jawabnya dan memelihara serta merawat miliknya.

Allah mewajibkan kepada ibu menyusui bayinya, guna membuktikan bahwa air susu si ibu
mempunyai pengaruh yang besar kepada si anak.Dari hasil pemeriksaan para ahli medis
menunjukkan bahwa air susu ibu tersusun dari saripati yang benar-benar murni. Juga air susu
ibu merupakan makanan yang paling baik untuk bayi, dan tidak disangsikan lagi oleh para ahli
gizi. Di samping ibu dengan fitrah kejadiannya memiliki rasa kasih sayang yang mendalam
sehingga penyusuan langsung dari ibu ini berhubungan erat dengan perkembangan jiwa dan
mental anak. Dengan demikian kurang tepat tindakan sementara para ibu yang tidak mau
menyusui anaknya secara langsung hanya karena kepentingan pribadinya, umpamanya untuk
memelihara kecantikan. Padahal hal ini bertentang dengan fitrahnya sendiri dan secara tidak
langsung ia tidak membina dasar hubungan keibuan dengan anaknya sendiri dalam bidang
mental. Demikianlah pembagian kewajiban kedua orang tua terhadap bayinya yang diatur oleh
Allah subhanahu wa ta’ala Sementara itu Allah memberikan pula keringanan terhadap
kewajiban itu yaitu umpama kesehatan ibu terganggu atau seorang ahli mengatakan tidak baik
bila disusukan oleh ibu karena sesuatu hal, maka tidak mengapa kalau anak mendapat susu atau
makanan dari orang lain.

Demikian juga apabila bapak tidak mempunyai kesanggupan melaksanakan kewajibannya


karena miskin maka bolehlah ia melaksanakan sesanggupnya saja. Keringanan itu
membuktikan bahwa anak tidak boleh dijadikan sebab adanya kemudaratan, baik terhadap
bapak maupun terhadap ibu. Dengan pengertian kewajiban tersebut tidak mesti berlaku secara
mutlak sehingga mengakibatkan kemudaratan bagi keduanya. Salah satu pihak tidak boleh
memudaratkan pihak lain dengan menjadikan anak sebagai kambing hitamnya. Umpamanya
karena ibu mengetahui bahwa bapak berkewajiban memberi nafkah maka ia melakukan
pemerasan dengan tidak menyusui atau merawat si bayi tanpa sejumlah biaya yang tertentu.
Atau bapak sangat kikir dalam memberikan nafkah sehingga ibu menderita karenanya.

Selanjutnya andaikata salah seorang dan ibu atau bapak tidak memiliki kesanggupan untuk
melaksanakan kewajiban atau meninggal dunia, maka kewajiban-kewajiban itu berpindah
kepada ahli warisnya.

Lamanya masa penyusuan dua tahun, namun demikian apabila berdasarkan musyawarah antara
bapak dan ibu untuk kemaslahatan anak, mereka sepakat untuk menghentikannya sebelum
sampai masa dua tahun atau meneruskannya lewat dari dua tahun maka hal ini boleh saja
dilakukan.

Demikian juga jika mereka mengambil seseorang wanita lain untuk menyusukan anaknya maka
hal ini tidak mengapa dengan syarat, kepada wanita yang menyusukan itu diberikan imbalan
jasa yang sesuai sehingga terjamin kemaslahatan baik bagi anak maupun wanita yang menyusui
itu.

Demikianlah Allah menjelaskan hukum-Nya kepada manusia terutama untuk pembinaan


keluarga karena itu selalu manusia diingatkan agar bertakwa dengan menaati semua peraturan-
Nya yang mengandung hikmah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dan manusia selalu diingatkan bahwa Allah Maha Melihat apa-apa yang dikerjakan dan akan
membalasnya dengan balasan yang setimpal.

Ulama fikih berbeda pendapat tentang siapa yang berhak untuk menyusukan dan memelihara
anak tersebut, jika terjadi perceraian antara suami-istri.

Apakah pemeliharaan menjadi kewajiban ibu atau kewajiban bapak? Imam Malik berpendapat
bahwa ibulah yang berkewajiban menyusukan anak tersebut walaupun ia tidak memiliki air
susu, kalau ia masih memiliki harta maka anak itu disusukan pada orang lain dengan
mempergunakan harta ibunya. Imam Syafii dalam hal ini berpendapat bahwa kewajiban
tersebut kewajiban bapak
Dengan adanya perintah menyusui ini, maka dapat dipahami bahwa air susu ibu mengandung
unsur kesehatan jasmani dan rohani. Dari segi kesehatan jasmani, air susu ibu (ASI) memiliki
manfaat yang amat banyak bagi kesehatan. Dalam buku child development oleh Laura E Berk
(2003) menjelaskan beberapa alasan mengapa ibu harus menyusui anaknya, yaitu: 1) ASI
menyediakan keseimbangan lemak dan protein yang tepat; 2) ASI menjamin nutrisi yang
lengkap; 3) ASI membantu menjamin pertumbuhan sik yang sehat; 4) ASI melawan banyak
penyakit; 5) ASI mampu mentransfer zat antibodi dan zat-zat yang mencegah timbulnya infeksi
dari sang ibu kepada bayinya. ASI juga dapat mempertinggi fungsi imunitas (kekebalan) tubuh
bayi6) ASI menjamin sistem pencernaan; 7) ASI melindungi dari kegagalan perkembangan
rahang dan kerusakan gigi, sebab mengisap puting susu ibu ternyata bisa membantu menghidari
malocclusion, yaitu kondisi di mana rahang bawah dan atas tidak bertemu secara tepat; 8) Bayi
yang diberi ASI lebih mudah berpindah ke makanan yang padat daripada bayi yang diberi susu
botol; dan 9) Secara psikologis, ASI juga meningkatkan perkembangan attachment (kasih
sayang) antara ibu dan anak (Izzatul Rusli: 2008).ASI juga berpengaruhterhadap kesehatan
rohani anak. Hamka dalam menafsirkan ayat di atas mengisahkan tentang riwayat Imam al-
Haramain, ulama mazhab Sya ’i yang masyhur, guru dari Imam al-Ghazali. Ayah dari Imam
al-Haramain ini bernama Abu Muhammad al-Juwaini. Ketika Abdulmalik al-Haramain masih
bayi, ayahnya al-Juwaini berpesan sangat kepada istrinya jangan sampai ada perempuan lain
yang menyusukan anak itu. Namun, suatu ketika istrinya sakit sehingga air susunya kering,
sementara bayinya menangis kehausan. Lalu datanglah seorang perempuan yang merupakan
tetangganya yang kasihan mendengar tangisan anak itu lalu mengambil dan menyusukan anak
tersebut. Tiba-tiba datanglah Abu Muhammad al-Juwaini. Melihat anaknya disusui oleh
perempuan lain, dia pun tidak senang sehingga perempuan itu pergi. Lalu al-Juwaini
mengambil anak itu lalu menonggengkan kepalanya dan mengorek mulutnya, sampai anak itu
memuntahkan air susu perempuan lain. Beliau pun berkata: “Bagiku tidak keberatan jika anak
ini meninggal di waktu kecilnya, dari pada rusak perangainya karena meminum susu
perempuan lain, yang tidak aku kenal ketaatannya kepada Allah” (Hamka, Juz 1, 1982: 232-
233)Anak itulah yang kemudian terkenal dengan nama Imamul Haramain Abdulmalik al-
Juwaini, guru dari madrasah-madrasah Naisabur dan salah seorang yang mendidik Imam al-
Ghazali, sampai menjadi ulama besar pula. Kadang-kadang sedang mengajarkan ilmunya
pernah beliau marah-marah. Maka berkata-lah dia setelah sadar dari kemarahannya, bahwa “ini
barangkali adalah dari bekas sisa susu perempuan lain itu, yang tidak sempat aku muntahkan.”
Demikianlah pentingnya peran seorang ibu dalam menyusukan anaknya. Jika si ibu memang
sakit, seperti yang diungkapkan dalam ayat di atas, maka dibolehkan menyusukan kepada
perempuan lain dengan upah yang layak. Kemudian perlu pula memilih dan menentukan
perempuan yang taat dan baik akhlaknya, seperti yang dilakukan oleh Aminah saat
menyusukan anaknya Muhammad di waktu bayi.

4. Dialog

Di dalam Alquran sendiri ada 17 tema dialog antara orangtua dan anak yang tercantum dalam
9 surat. Dialog antara ayah dengan anaknya ada 14 kali. Dialog antara ibu dan anaknya 2 kali.
Dan dialog antara orangtua tanpa nama dengan anaknya ada 1 kali. Hal ini menunjukkan bahwa
al Qur’an memotret para ayah yang lebih bertanggung jawab mendidik anak-anaknya. Namun
bagaimana kondisi hari ini? Sedikit ayah yang berdialog dengan anaknya. Maka, banyak anak
yang kehilangan figur dan teladan. Ibrohnya: berarti para ayah harus belajar! Berikut
rinciannya :
Pertama, Dialaog Ayah dengan Anak

1. QS. Al Baqarah 130 - 133 memuat kisah dialog Nabi Ibrahim As dengan ayahnya dan dialog
Nabi Ya'qub As dengan anaknya.
2. QS. Al An'am : 74 memuat kisah dialog Nabi Ibrahim As dengan ayahnya.
3. QS. Hud : 42 - 43 memuat kisah dialog Nabi Hud As dengan anaknya.
4. QS. Yusuf : 4 - 5 memuat kisah dialog Nabi Yusuf As dengan ayahnya.
5. QS. Yusuf : 11 - 14 memuat kisah dialog Nabi Ya'qub As dengan anaknya.
6. QS. Yusuf : 16 - 18 memuat kisah dialog Nabi Ya'qub As dengan anaknya.
7. QS. Yusuf : 63 - 67 memuat kisah dialog Nabi Ya'qub As dengan anaknya.
8. QS. Yusuf : 81 - 87 memuat kisah dialog Nabi Ya'qub As dengan anaknya.
9. QS. Yusuf : 94 - 98 memuat kisah dialog Nabi Ya'qub As dengan anaknya.
10. QS. Yusuf : 99 - 100 memuat kisah dialog Nabi Yusuf As dengan ayahnya.
13. QS. Luqman : 13 - 19 memuat kisah dialog Luqman dengan anaknya.
14. QS. Ash-Shaffat : 102 memuat kisah dialog Nabi Ibrahim As dengan anaknya, Ismail.
Demikianlah empat belas tempat dalam Al Qur’an yang memuat kisah dialog ayah dengan anak
mereka.

Kedua, Dialog Ibu dengan Anaknya


Ternyata, kisah dialog ibu dengan anaknya hanya ditemukan di dua tempat saja, yaitu pada dua
surat berikut :
1. QS. Maryam : 23 - 26 memuat kisah dialog Maryam dengan janinnya.
2. QS. Al-Qashash : 11 memuat kisah dialog Ibu Musa dengan anak perempuannya.

Ketiga, Dialog Kedua Orang Tua dengan Anaknya


Adapun dialog kedua orang tua dengan anaknya, dijumpai dalam satu tempat saja, yaitu dalam
QS. Al-Ahqaf : 17 yang memuat kisah dialog kedua orang tua dengan anaknya tanpa disebut
namanya.

Pelajaran Penting Untuk Pendidikan Anak

Dari seluruh perincian tersebut, tampak dialog ayah dengan anak memiliki porsi paling banyak.
Hal ini memberi motivasi tentang pentingnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan
pendidikan anak. Al Qur’an memuat dialog ayah dengan anak jauh lebih banyak dibandingkan
dengan dialog ibu dengan anak. Hal ini menandakan bahwa pengasuhan dan pendidikan anak
bukan hanya urusan ibu. Namun harus ada peran seimbang dari kedua orang tua.

Ayah harus menyempatkan waktu untuk banyak berdialog dengan anak-anak, karena itu adalah
bagian penting dalam proses pendidikan dan pengasuhan anak. Ayah tidak boleh diam dan
menyerahkan semua komunikasi dengan anak hanya kepada ibu. Pendidikan anak harus
menjadi tanggung jawab yang seimbang antara ayah dengan ibu karena anak memerlukan
sosok keduanya. Keseimbangan peran dari ayah dan ibu akan memberikan andil besar bagi
keberhasilan pendidikan anak-anak.

Bahkan jika mengambil dari spirit dalam Al Qur’an tersebut, ayah memang dituntut untuk lebih
banyak dialog dengan anak. Maka jangan diam dan pasif wahai ayah, karena Al Qur’an
mengajak kita untuk banyak berdiskusi dengan anak.

Вам также может понравиться