Вы находитесь на странице: 1из 12

Al-Qur’an Sebagai Paradigma : Interpretasi Untuk Aksi

Al-Qur’an Sebagai Paradigma : Interpretasi Untuk Aksi


Uraian-uraian tentang Islam di Indonesia yang disoroti oleh Kunto lewat pendekatan historis-
sosiologis, sebenarnya ingin diarahkan pada suatu grand project, yaitu menjadikan al-Qur’an
sebagai paradigma Islam. Paradigma ini dimaksudkan untuk membangun teori-teori sosial
khas Islam yang disebutnya ilmu-ilmu sosial profetik. Paradigma ini dimaksudkan sebagai
mode of thought, mode of inquiry, yang kemudian menghasilkan mode of knowing. Dengan
pengertian paradigmatik ini, dari al-Qur’an dapat diharapkan suatu konstruksi pengetahuan
yang memungkinkan memahami realitas sebagaimana al-Quir’an memahaminya.[9]
Demikian lebih lanjut, Kunto menjelaskan:

Paradigma al-Qur’an berarti suatu konstruksi pengetahuan. Konstruksi pengetahuan itu pada
mulanya dibangun dengan tujuan agar kita memeiliki “hikmah” untuk membentuk perilaku
yang sejalan dengan sistem Islam, termasuk sistem ilmu pengetahuannya. Jadi, disamping
memberikan gambaran aksiologis, paradigma al-Qur’an juga dapat berfungsi untuk
memberikan wawasan epistemologis.

Sebagai contoh, kata Kunto, statemen-statemen yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits
adalah nilai-nilai normatif. Nilai-nilai normatif ini ada dua, yaitu niali-nilai praktis yang dapat
diaktualkan dalam perilaku sehari-hari dan nilai-nilai yang harus diterjemahkan dulu dalam
bentuk teori sebelum diterapkan dalam perilaku.Nilai-nilai pertama menurutnya telah
dikembangkan dalam bentuk ilmu fiqh, sedang yang kedua perlu ditransformasikan dalam
bentuk ilmu-ilmu sosial Islam. Cara yang kedua ini lebih relevan pada saat ini, jika kita ingin
melakukan restorasi terhadap masyarakat Islam dalam konteks masyarakat industri. Sampai
sekarang ini menurut Konto, kita kekurang ini. Kita memang sudah didesak untuk segera
memikirkan metode transformasi nilai Islam pada level yang empiris melalui diciptakannya
ilmu-ilmu sosial Islam.

Tampaknya pemikiran Kunto tentang paradigma al-Qur’an ini dipengaruhi oleh pemikiran
Fazlur Rahman[13] tentang operasi metodologi tafsir. Cara kerja metodologis penafsiran
Rahman yang berusaha memehami al-Qur’an, aktivitas Nabi dan latar sosio-historisnya
diarahkan pada perumusan kembali suatu Islam yang utuh, koheren serta berorientasi kepada
masa kini. untuk itu menurut Rahman[14] perlu lebih dahulu perumusan pandangan dunia al-
Qur’an.

Sehubungan dengan perumusan worldview al-Qur’an ini, Rahman mengemukakan bahwa


prinsip penafsiran dengan latar belakang sosio-historis tidak diterapkan dengan cara yang
sama dengan perumusan etika al-Qur’an, atau oleh Kunto disebut nilai normatif praktis.
Menurut Rahman, untuk pertanyaan-pertanyaan teologis atau metafisis, latar belakang
spesisfik turunnya wahyu tidak dibutuhkan. Hanya saja dalam merumuskan pandangan dunia
al-Qur’an tersebut, Rahman tampaknya lebih cenderung menggunakan prosedur sintesis.

Menurut Kunto salah satu pendekatan yang menurutnya perlu diperkenalkan dalam rangka
mendapatkan pemahaman yang konprehensif terhadap al-Qur’an adalah apa yang dinamakan
pendekatan sintetik-analitik. Pendekatan ini menganggap bahwa pada dasarnya kandungan al-
Qur’an itu terdiri dari dua bagian, pertama berisi konsep-konsep yang disebut ideal-type, dan
kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amsal-amsal yang disebut arche-type
Dalam bagian yang berisi konsep-konsep, al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman
yang konprehensif mengenai ajaran Islam. Sedang dalam bagian yang berisi kisah-kisah
historis, al-Qur’an ingin mengajak melakukan perenungan untuk memperoleh wisdom.
Dengan pendekatan sintetik dimaksudkan untuk menonjolkan nilai subjektif-normatifnya,
dengan tujuan mengembangkan perspektif etik dan moral individual. Sedangkan dengan
pendekatan analitik dimaksudkan untuk menterjemahkan nilai-nilai normatif ke dalam level
objektif. Ini berarti al-Qur’an harus dirumuskan dalam bentuk konstruk-konstruk teoritis.

Untuk dapat menjadikan al-Qur’an sebagai paradigma dan kemudian merumuskan nilai-nilai
normatifnya ke dalam teori-teori sosial, menurut Kunto, diperlukan adanya lima program
reinterpretasi, yaitu:

1. Pengembangan penafsiran sosial struktural lebih daripada penafsiran individual ketika


memahami ketentuan-ketentuan al-Qur’an. Ketentuan larangan berfoya-foya
misalnya, bukan diarahkan kepada individualnya, tetapi kepada struktur sosial yang
menjadi penyebabnya.
2. Reorientasi cara berpikir dari subjektif ke objektif. Tujuan dilakukannya reorientasi
berpikir secara objektif ini adalah untuk menyuguhkan Islam pada cita-cita
objektifnya. Misalnya zakat yang secara subjektif adalah untuk membersih diri, tetapi
juga untuk tertcapainya kesejahteraan umat.
3. Mengubah Islam yang normatif menjadi teoritis, misalnya konsep fuqara dan masakin
yang normatif dapat diformulasikan menjadi teori-teori sosial.
4. Mengubah pehaman yang a historis menjadi historis. Kisah-kisah dalam al-Qur’an
yang selama ini dipandang a historis, sebenarnya menceriterakan peristiwa yang
benar-benar historis, seperti kaum tertindas pada zaman nabi Musa dan lain-lain.
5. Merumuskan formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi formulasi yang spesifik
dan empiris. Dalam hal konsep umum tentang kecaman terhadap sirkulasi kekayaan
yang hanya berputar pada orang-orang kaya harus dapat diterjemahkan ke dalam
formulasi-formulasi spesifik dan empiris ke dalam realitas yang kita hadapi sekarang.
Dengan menterjemahkan pernyataan umum secara spesifik untuk menatap gejala yang
empiris, pemahaman terhadap Islam akan selalu menjadi kontekstual, sehingga dapat
menumbuhkan kesadaran mengenai realitas sosial dan pada gilirannya akan
menyebabkan Islam menjadi agamayang lebih mengakar di tengah-tengah gejolak
sisal.

Dari uraian tentang paradigma al-Qur’an dan program reinterpretasi, bisa dilihat bahwa
Kunto ingin merintis metode baru penafsiran al-Qur’an. Metode tafsir yang ditawarkan
adalah memandang al-Qur’an sebagai akumulasi konsep-konsep normatif. Nilai-nilai yang
ada di dalamnya bersifat transendental yang bebas dari konteks dan bias-bias yang
mengitarinya. Tampaknya di sini, dia berpegang pada kaidah al-‘ibrah bi umum al-lafaz la bi
khusus as-sabab.

Dari konsep-konsep al-Qur’an, menurutnya dapat diciptakan teori-teori “ilmu sosial profetik”
yang pada dasarnya bersifat transformatif. Yang dimaksud transformatif di sini oleh Kunto
adalah perubahan sosial, baik cara berpikir, sikap dan perilaku secara individual maupun
sosial.

Sebagaimana diungkapkan oleh Abu Baker A. Bagder, ilmu-ilmu sosial telah mendapatkan
penghargaan tertinggi di dunia modern karena diyakini bahwa ia menampilkan analisis
terhadap peristiwa-peristiwa kontemporer dalam masyarakat. Para pejabat mengambil
keputusan dan para perencana program yang menaruh perhatian pada masalah sosial meminta
bantuan kepada para pakar ilmu sosial. Para ahli ilmu sosial sendiri mengambil alih berbagai
metodologi penelitian ilmu-ilmu kealaman.

Dengan demikian, ilmu-ilmu sosial tidak lagi dikategorikan dengan ilmu-ilmu humaniora dan
tidak juga di anggap membawa pendapat-pendapat yang bersifat impresionistik, intuitif
ataupun subyektif.

Salah satu kepentingan besar Islam sebagai sebuah ideologi sosial adalah bagaimana
mengubah masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visinya mengenai transformasi sosial.
Semua ideologi atau filsafat sosial menghadapai suatu pertanyaan pokok, yaitu bagaimana
mengubah masyarakat dari kondisinya sekarang menuju keadaan yang lebih dekat dengan
tataanan idealnya. Elaborasi terhadaap pertanyaan pokok semacam ini biasanya menghasilkan
teori-teori sosial yang berfungsi untuk menjelaskan kondisi masyarakat yang empiris pada
masa kini,dan sekaligus memberikan insight mengenai perubahan dan transformasinya.
Karena teori-teori yang diderivasi dari ideologi-ideologi sosial sangat berkepentingan
terhadap terjadinya transformasi sosial, maka dapat dikatakan bahwa hampir semua teori
sosial tersebut bersifat transformatif.

Muslim Abdurrahman pernah menawarkan teologi transformatif, yaitu menekankan


hubungan dialogis antara teks dengan konteks dan tidak cenderung melakukan pemaksaan
realitas menurut model ideal –suatu upaya untuk menghidupkan teks dalam realitas empiris
dan mengubah keadaan masyarakat ke arah transformasi sosial yang diridhoi Allah SWT.
Pengembangan teologi transformatif menurutnya merupakan upaya untuk mengatasi
perdebatan tentang pilihan antara pendekatan budaya atau pendekatan struktural dalam
pengembangan masyarakat.

Ilmu-ilmu sosial profetik yang ditawarkan Kunto pada mulanya lebih bersifat tawaran
alternatif, karena dia kurang sependapat dengan istilah teologi transformatifnya Muslim. Dia
mengatakan bahwa dilingkungan kita, gagasan mengenai pembaruan teologi dan sejenisnya
tampak belum dapat diterima. Ini terjadi karena beberapa alasan, terutama berkenaan dengan
konsep teologi itu sendiri. Umat Islam memehami teologi dengan persepsi yang berbeda-
beda, sebgaian besar mengartikan konsep tersebut sebagai suatu cabang dari khazanah ilmu
pengetahuan keislaman yang membahas doktrin tentang ketuhanan (tauhid). Mereka
menganggap masalah teologi sudah selesai dan tidak perlu dirombak.

Ini berbeda dengan persepsi penganjur pembaruan teologi yang mengartikan teologi sebagai
usaha untuk melakukan reorientasi pemahaman keagamaan baik secara individual maupun
kolektif untuk menyikapi kenyataan-kenyataan yang empiris menurut perspektif ketuhanan.
Yang mereka tawarkan bukan rekomendasi untuk mengubah doktrin, tetapi mengubah
interpretasi terhadapnya, agar ajaran agama diberi tafsir baru dalam rangka memahami
realitas. Istilah “teologi” menurut Kunto sebaiknya diganti dengan “ilmu sosial” yaitu
mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk teori sosial, sehingga lingkupnya tidak
lagi pada aspek-aspek normatif yang bersifat permanen seperti pada teologi, tapi pada aspek-
aspek yang bersifat empiris, historis dan temporal.

Optimisme Kunto untuk membangun paradigma baru ilmu sosial ini didasari oleh keyakinan
bahwa ilmu itu bersifat relatif, atau dalam bahasa Thomas Khun “paradigmatik”, Marx,
bersifat ideologis dan Wittgenstain, bersifat cagar bahasa. Dalam pandangan Kunto, ilmu-
ilmu sosial sekarang mengalami kemandekan, fungsinya hanya terbatas pada memberi
penjelasan terhadap gejala-gejala saja. Ini menurutnya tidak cukup. Ilmu-ilmu sosial
disamping menjelaskan, juga harus dapat memberi petunjuk ke arah transformasi, sesuai
dengan cita-cita profetiknya, yaitu humanisasi atau emansipasi, liberalisasi dan transendental.

Ikhtitam
Gagasan-gagasan Kuntowijoyo tentang Islam di Indonesia merupakan salah satu fenomena
yang unik, menarik dan sangat mengesankan untuk ukuran intelektual yang dibesarkan bukan
dari latar belakang taradisi keagamaan santri, meminjam klasifikasi Gertz. Meskipun
pengetahuan keagamaannya lebih banyak diperoleh lewat studi-studi non-formal, namun
kecintaannya terhadap Islam dan kuatnya basic keilmuan sejarah dan sosial, telah
mendorongnya untuk merumuskan sebuah alternatif keberagamaan yang bersifat profetik dan
transformatif.

Al-Qur’an, yang oleh Kunto dijadikan sebagai paradigma ilmu-ilmu sosial, tidaklah semata-
mata dipahami dari sisi normativitas kewahyuan Islam, yaitu dengan melaksanakan tuntutan-
tuntutan ritual-ubudiyah keagamaan saja, tapi juga dan bahkan ini yang terpenting adalah
memanifestasikan nilai-nilai historisitas al-Qur’an, dengan cara mengelaborasi ajaran-ajaran
agama ke dalam bentuk teori sosial, sehingga lingkupnya tidak lagi pada aspek-aspek
normatif yang bersifat permanen, tapi pada aspek-aspek yang bersifat empiris, historis dan
temporal.

Dari pemahaman seperti ini, meskipun tawaran teori-teori sosial Qur’ani ini tidak mudah
untuk direalisasikan dalam realitas empiris, namun Kunto –dengan berbagai kelebihan dan
kekurangannya--paling tidak telah membuka dan merintis sebuah pendekatan baru dalam
studi-studi keislaman, lewat kajian-kajian saintis, yang oleh Arkoun dianggap sebagai sebuah
keniscayaan untuk umat Islam kontemporer.

http://pengertiandanartikel.blogspot.co.id/2017/03/al-quran-sebagai-paradigma-interpretasi.html

Al-Qur’an Sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan


Teknologi Masyarakat Muslim
Posted on 22 Oktober 2013 by Rhaflizh

Al-Qur’an merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam semua aspek kehidupan masyarakat
muslim. Al-Qur’an mempunyai fungsi dan peranan penting dari berbagai sisi kehidupan yang
terus berkembang. Al-Qur’an dijadikan sebagai sumber hukum, inspirasi, pedoman,
kepribadian, kekuatan dan dasar dalam masyarakat muslim. Al-Qur’an menyimpan semua
rahasia isi alam. Alam menjadi kajian dan pembahasan yang menarik bagi para ilmuwan dan
teknolog dalam perjalanan perkembangan zaman. Rahasia yang ada di alam seolah-olah tidak
pernah habisnya. Sejarah telah membuktikan bahwa pada abad pertengahan umat Islam
mencapai puncak peradabannya.

Sejarah telah membuktikan bahwa umat Islam mampu menguasai ilmu pengetahuan, sains
dan teknologi melebihi atau melampaui kemampuan umat sebelumnya dan umat yang lain
sezamannya. Umat Islam mampu menguasai ilmu kedokteran, ilmu perbintangan, ilmu pasti,
ilmu alam, ilmu hitung dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Semua hal itu tidak terlepas dari
peran dan aktivitas para ilmuwan muslim yang selalu menggali, mendalami, memahami serta
mencari berbagai rahasia alam dan ilmu pengetahuan yang tersimpan dalam Al-Qur’an. Para
ilmuwan muslim menempatkan Al-Qur’an sebagai sumber juga sebagai paradigma kerangka
berpikir dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak berbagai
penemuan para ilmuwan muslim yang sangat mengagumkan dalam dunia sains dan teknologi.

Dan ketika para ilmuwan muslim atau umat Islam mulai mengabaikan, meninggalkan serta
menjauhkan kajian Al-Qur’an yang mendalam dari aktivitas keilmuan dan aktivitas
kehidupan, maka di situlah titik awal kemunduran umat Islam. Dan hal itu terus berlangsung
sampai saat ini, dan kalau ada kajian-kajian Al-Qur’an itu hanya sebatas kajian biasa bukan
kajian yang mendalam. Suatu kajian untuk menemukan rahasia alam dalam Al-Qur’an. Al-
Qur’an dan hadits telah dijadikan sebagai dasar bagi semua aktivitas ilmiah dalam sejarah
islam[1].

Maka wajarlah apabila penemuan-penemuan ilmuwan muslim sekarang ini kurang begitu
berarti dibanding ilmuwan barat dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ketika puncak peradaban Islam, Al-Qur’an dijadikan sebagai sumber kajian dalam ilmu
pengetahuan sehigga mampu menemukan berbagai penemuan yang sangat luar biasa dari
barbagai disiplin ilmu dan teknologi, tapi sekarang Al-Qur’an hanya dijadikan sebagai
rujukan atau pembanding ketika ada penemuan baru dari ilmuwan barat. Penemuan para
ilmuwan dicocok-cocokan dengan Qur’an padahal penemuan itu sudah ada ribuan tahun
dalam Qur’an. Maka apabila para ilmuwan muslim atau Umat Islam ingin kembali menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi, umat Islam harus kembali menjadikan Qur’an sebagai
kajian utama yang mendalam,dalam istilah penulis ialah Re-paradigma atau kembali
menjadikan Qur’an sebagai kerangka berpikir dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Pandangan Qur’an terhadap Ilmu Pengetahuan

Didalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menyatakan pentingnya ilmu. Sehingga
ayat yang pertama turun juga menyataka iqra’ yang bearti bacalah. Manusia disuruh untuk
membaca semua ayat-ayat Allah baik berupa teks maupun yang terhampar seperi alam,
sebagai sarana untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Manusia di suruh agar membaca semua
tanda-tanda kekuasaan Allah dan mengambil pelajaran daripadanya. Membaca sangat penting
agar mendapat ilmu pengetahuan. Dibawah ini ada beberapa ayat Al-Qur’an yang
menyatakan akan pentingnya ilmu.

Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang
memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.(al-ankabut: 43)

Didalam Al-Qur’an Allah memerintahkan manusia untuk memikirkan dan mengkaji tanda-
tanda penciptaan disekitar mereka[2]. Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap
muslim[3]. Carilah ilmu dan sampaikanlah kepada yang lain[4]. Barang siapa yang
menyelidiki seluk-beluk alam semesta dengan segala sesuatu yang hidup dan tak hidup
didalamnya, dan memikirkan serta menyelidiki apa yang dilihat di sekitarnya, akan
mengenali kebijakan, ilmu dan kekuasaan abadi Allah[5]. Beberapa perintah Allah kepada
manusia untuk merenungkan penciptaan ditunjukkan dalam ayat Al-Qur’an berikut ini:

Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami
meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun ?
Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan
Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata, untuk
menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah).
Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan
air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam, dan pohon kurma yang tinggi-tinggi
yang mempunyai mayang yang bersusun- susun. ( QS Qaaf: 6-10)

Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada
ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-
ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? (QS. Al-Mulk:3)

Allah memerintahkan manusia untuk mempelajari dan mengkaji berbagai aspek dunia, seperti
langit, hujan, tumbuhan, binatang, kelahiran, dan bentangan geografis. Cara menyelidiki
semua ini adalah melalui sains dan ilmu pengetahuan[6]

Para Ilmuwan Muslim dan Al-Qur’an Sebagai Paradigmanya

Munculnya Islam sebagai sebuah agama yang membawah suatu tujuan untuk memberikan
kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Islam merupakan salah satu agama
yang menekankan pentingnya ilmu pengetahuan. Al-Qur’an sebagai sebuah kitab suci telah
memancarkan sinar cahaya ilmu pengetahuan bagi para ilmuwan muslim. Qur’an dijadikan
sebagai sumber dan kerangka berpikir dalam merenungkan kekuasaan Allah dan
mengembangkan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi bagi para ilmuwan muslim.

Dibawah pengaruh Islam dengan Al-Qur’an sebagai sumber dan paradigmanya, sains tumbuh
subur dan mempunyai sebuah bentuk yang unik. Sarjana-sarjana eropa utara yang berkultural
Latin benar-benar tersimpuh didepan ilmuwan-ilmuwan Muslim di Spanyol dan di pusat-
pusat peradaban Islam disepanjang laut tengah. Baru pada abad ke-16 sains dan teknologi
eropa bisa menyamai keunggulan Islam[7]. Penggunaan akal sehat dan pengamatan yang
diperintahkan Al-Qur’an membangkitan peradaban besar bagi umat Islam pada abad ke-9 dan
ke-10[8]. Para ilmuwan muslim telah banyak memberikan penemuan-penemuan penting
diberbagai disiplin ilmu, kedokteran, astronomi, ilmu hitung, geometri, matematika, anatomi,
fisika, ilmu alam, logika, filsafat dan berbagai disiplin ilmu lainnya.

Banyak penemuan para ilmuwan muslim jauh sebelum ditemukan oleh para ilmuwan barat.
Diantaranya; Al-Biruni adalah salah seorang ilmuwan muslim abad ke-11. Ia sudah
mengetahui bahwa bumi berotasi pada sumbunya 600 tahun sebelum Galileo, dan
menghitung lingkar bumi 700 tahun lebih dulu sebelum Newton[9].

Abu Ma’shar Al-balkhi merupakan seorang ilmuwan muslim dan sebagai saintis pertama
yang menyanggah Arestoteles. Abu Ma’shar al-Balkhi menyanggah pendapat Arestoteles
yang menyatakan bahwa dia telah mengamati komet-komet di sfera planet venus[10].

Abdul Latif al- Baghdadi (1162-1231) terkenal karena studinya dalam bidang anatomi. Ia
mengoreksi kekeliruan yang dibuat di masa lalu dalam studi anatomis terhadap banyak tulang
tubuh, seperti rahang dan tulang dada[11].

Abdul Rahman as-Sufi ialah imuwan muslim yang ahli dalam ilmu perbintangan dan
penulis buku astronomi berilustrasi paling tua. Karya “masterpiece” nya yang paling terkenal
adalah sebuah deskripsi perihal bintang-bintang yang posisinya sudah tertentu (fixed stars)
yang ditulisnya pada tahun 355/965[12].
Ali Kushchu, seorang ilmuwan muslim pada abad ke-15 adalah orang pertama yang
membuat peta bulan dan suatu daerah dibulan telah dinami dengan namanya. Tsabit ibn
Qurrah, yang hidup pada abad ke-9, menemukan kalkulus diferensial berabad-abad sebelum
Newton. Battani ilmuwan muslim pada abad ke-10 adalah pengembang pertama
trigonometri. Al Khawarizmi menulis buku aljabar pertama pada abad ke-9. Al-Maghribi,
menemukan persamaan yang saat ini dikenal sebagai segitiga pascal, sekitar 600 tahun
sebelum Pascal. Ibn al- Haitsam yang hidup pada abad ke-11 adalah penemu optik, dan
Galileo menemukan teleskop merujuk pada karyannya. Al-Kindi mengenalkan fisika relatif
dan teori relativitas 1100 tahun sebelum Einstein. Syamsuddin yang hidup sebelum 400
tahun sebelum Pasteur, adalah orang pertama yang menemukan keberadaan kuman. Ali ibnul
Abbas yang hidup pada abad ke-10 adalah orang pertama yang melakukan operasi bedah
kanker. Pada abad yang sama, Ibnu Al-Jirr memperkenalkan metode perawatan lepra[13].

Sebanarnya masih sangat banyak ilmuwan muslim yang berhasil menemukan berbagai
penemuan yang begitu penting bagi ilmu pengetahuan dan bagi berbagai penemuan
berikutnya. Banyak para ilmuwan muslim menjadikan ayat Al-Qur’an sebagai dasar dan
kerangka berpikir mereka dalam merungkan ciptaan Allah yang pada akhirnya menemukan
berbagai penemuan dan berkembangnya ilmu pengetahuan. Misalnya beberapa ayat berikut
ini dijadikan sandaran ilmuwan muslim.

Dan Yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu Kami hidupkan
dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam
kubur).(QS.Az-Zukhruf:11)

Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa
lagi Maha Mengetahui. (QS.Yaasiin: 38)
surah yaasiin pada ayat 38 ini menjadi sandaran oleh Al-Biruni. Ia adalah salah seorang
ilmuwan muslim abad ke-11. Ia sudah mengetahui bahwa bumi berotasi pada sumbunya 600
tahun sebelum Galileo, dan menghitung lingkar bumi 700 tahun lebih dulu sebelum
Newton[14]. Dan tentunya masih banyak ayat Al-Qur’an yang dijadikan oleh para ilmuwan
muslim dan berhasil menemukan banyak penemuan.

Kesimpulan

Penjelasan sedikit diatas telah menunjukkan betapa banyaknya para ilmuwan muslim yang
menjadikan ayat Qur’an sebagai dasar, sandaran, dan kerangka berpikir mereka dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan berhasil memberikan berbagai penemuan penting
dalam bidang sains dan teknologi. Bahkan jauh sebelum para ilmuwan barat menemukan
penemuan itu, para ilmuwan muslim sudah lebih dulu menemukannya. Misalnya seperti yang
telah disebutkan diatas, bahwa Al-Biruni telah menemukan tentang rotasi jauh sebelum
Galileo menemukannya. Dan dia juga berhasil mengitung lingkar bumi 700 tahun sebelum
Newton menemukannya. Berbagai penemuan para ilmuwan muslim itu tentunnya tidak
terlepas dari sandaran mereka kepada Al-Qur’an

https://armawanpena.wordpress.com/2013/10/22/al-quran-sebagai-paradigma-pengembangan-
ilmu-pengetahuan-dan-teknologi-masyarakat-muslim/

Paradigma al-Qur’an dalam Merumuskan Teori


Alasan untuk mengembangkan gagasan mengenai niscayanya perumusan teori yang
didasarkan kepada al-Qur’an, pertama-tama adalah bahwa kita perlu memahami al-Qur’an
sebagai paradigma. Apa yang dimakasud dengan “paradigma” disini adalah seperti yang
dipahami Thomas Kuhn (1989), bahwa pada dasarnya realitas sosial itu dikonstruksi oleh
made of thought atau made of inquiry tertentu, yang pada gilirannya akan menghasilkan made
of knowing tertentu pula. Immanuel Kant, misalnya, menganggap “cara-mengetahui” itu
sebagai skema konseptual. Karl Mark menamakannya sebagai ideologi, dan Wittgenstein
melihatnya sebagai cagar bahasa. Dalam pengertian ini, paradigm al-Qur’an berarti suatu
konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana al-Qur’an
memahaminya. Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh al-Qur’an pertama-tama dengan
tujuan agar kita memiliki “hikmah” yang atas dasar itu dapat dibentuk perilaku yang sejalan
dengan nilai-nilai normative al-Qur’an, baik pada level moral maupun pada level sosial.
Tetapi rupanya, konstruksi pengetahuan itu juga memungkinkan kita untuk merumuskan
desain-besar mengenai system Islam, termasuk dalam hal sistem ilmu pengetahuannya. Jadi,
disamping memberikan gambaran aksiologis, paradigm al-Qur’an juga dapat berfungsi untuk
memberikan wawasan epistimologis.[1]
Di dalam al-Qur’an kita mengenal banyak sekali konsep, baik yang bersifat abstrak
maupun yang kongkret. Konsep tentang Allah, tentang malaikat, tentang akhirat, tentang
ma’ruf, munkar, dan sebagainya, adalah konsep-konsep yang abstrak. Sementara itu
ditunjukan konsep-konsep yang lebih merujuk kepada fenomena-fenomena dan dapat diamati
(observable), misalnya konsep tentang fuqara’ (orang-orang fakir), dhu’afa (golongan
lemah), mustadh’afin (kelas tertindas), zhalimun (para tiran), aghniya’ (orang kaya),
mustakbirun (penguasa), mufsidun (koruptor-koruptor kekuasaan), dan sebaginya. Kesemua
konsep ini menjadi memiliki makna, bukan saja karena keunikannya secara semantic, tetapi
juga karena kaitannya dengan matriks struktur normatif dan etik tertentu yang melaluinya
pesan-pesan al-Qur’an bertujuan memberikan gambaran utuh tentang doktrin Islam, dan lebih
jauh lagi tentang Weltanschauung (pandangan-dunia)-nya.[2]
Fungsi paradigma al-Qur’an pada dasarnya adalah untuk membangun prespektif al-
Qur’an dalam rangka memahami realitas. Tetapi, tentu saja, secara epistimologis akan
muncul banyak sekali pertanyaan. Seperti yang dikemukakan oleh Kant misalnya, bisa jadi
akan muncul pertanyaan-pertanyaan semacam ini: Apakah kita mampu memahami kenyataan
hakiki dari realitas? Apakah sesungguhnya realitas itu? Apakah mungkin kita membangun
prespektif pemahaman tertentu terhadap realitas objektif tanpa terjebak pada bias-bias
subjektif kita sendiri? Mengikuti logika dari pertanyaan-pertanyaan semacam ini, dapat
diajukan pula pertanyaan berikutnya: apakah prespektif al-Qur’an yang kita bangun itu betul-
betul merupakan prespektif al-Qur’an, tanpa tercampur oleh prakonsepsi-prakonsepsi
perumusnya? Apakah latar belakang intelektual, latar belakang kultural, atau bahkan latar
belakang kelas, tidak akan berpengaruh dalam kegiatan perumusan dari apa yang disebut
paradigma al-Qur’an itu? Jelaslah bahwa pertanyaan-pertanyaan semacam itu perlu untuk
diajukan. Tetapi tanpa harus terjebak pada perdebatan filosofis mengenai problem-problem
epistimologi seperti itu, kita dapat mengatakan bahwa bagaimanapun preposisi-preposisi al-
Qur’an tetap merupakan “unsur konstitutif” yang sangat berpengaruh di dalam apa yang
dinamakan paradigma al-qur’an itu. Namun yang lebih penting dikemukakan adalah, bahwa
di dalam epistimologi Islam, “wahyu” itu sangat penting. Ini yang membedakannya dengan
cabang-cabang epistimologi Barat yang besar seperti Rasionalisme atau Empirisme yang
mengakui sumber pengetahuan hanya berasal dari akal saja atau observasi saja. Pernyataan
bahwa “apa yang tidak logis adalah tidak riil” seperti yang menjadi doktrin Rasionalisme,
sebagaimana pernyataan “ apa yang tidak riil adalah tidak logis” seperti dalam doktrin
Empirisme, tampak menjadi terlalu sederhana jika dilihat dari prespektif epistimologi Islam.
Menurut epistimologi Islam, unsur petunjuk transendental yang berupa wahyu juga menjadi
sumber pengetahuan yang penting. Pengetahuan wahyu, oleh karena itu menjadi pengetahuan
apriori. “Wahyu” menempati posisis sebagai salah satu pembentuk kostruksi mengenai
realitas, sebab wahyu diakui sebagai “ayat-ayat Tuhan” yang memberikan pedoman dalam
pikiran dan tindakan seorang Muslim. Dalam konteks ini, wahyu lalu menjadi unsur
konstitutif dalam paradigma Islam.[3]

http://al-pena.blogspot.co.id/2015/09/paradigma-al-quran-dalam-merumuskan.html

Al-Quran merupakan sumber utama ajaran Islam. Ia adalah satu satunya kitab suci yang masih asli.
Isi ajarannya lengkap dan sempurna. Inti ajaran Al-Quran adalah pedoman hidup bagi manusia dalam
upaya meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Al-Quran mengarahkan para pembacanya untuk
berjalan di atas
shirāthal

mustaqīm
(Jalan Lurus Allah Swt.) dan mengakhiri tugas kehidupan secara
ḫusnul khātimah
. Oleh karena itu, manusia dituntut untuk menjadikan Al-Quran tempat berkonsultasi, lalu
menjadikannya sebagai suluh kehidupan. Philip K. Hitti (wafat 1978), seorang guru besar sastra
Semit di Columbia dan Princenton, telah menulis sebuah buku monumental berjudul
History of The Arabs
. Mengenai Al-Quran, ia menulis di buku tersebut sebagai berikut.
“Kata Al
-
Quran itu sendiri bermakna „bacaan‟, „kuliah‟, atau „wacana‟.
Sejak awal kehadirannya, kitab ini dimaksudkan untuk dibaca dan diperdengarkan dalam bahasa
aslinya, dengan khidmat dan hormat, baik dari pembaca maupun pendengarnya. Kekuatan dan daya
tarik Al-Quran di antaranya dimunculkan oleh irama dan retorikanya, juga oleh sajak dan maknanya,
yang tidak bisa dialihkan ke dalam terjemahan semua bahasa pun. Panjang Al-Quran adalah empat
per lima panjang Perjanjian Baru yang berbahasa Arab. Dalam kedudukannya sebagai kitab suci umat
Islam, Al-Quran memainkan peran penting lainnya, di antaranya sebagai pilar Islam dan otoritas
tertinggi dalam persoalan-persoalan spiritual dan etika. Di bidang teologi, hukum, dan ilmu
pengetahuan, menurut umat Islam, Al-Quran merupakan sumber ajaran yang mempunyai aspek-
aspek yang berbeda-beda. Dalam hal ini Al-Quran menjadi buku ilmiah, buku bacaan untuk
memperoleh pendidikan yang liberal. Di sekolah seperti Al-Azhar, universitas terbesar di dunia, kitab
ini masih menjadi landasan bagi seluruh kurikulum. Dari sisi bahasa dan sastra, pengaruh Al-Quran
terbukti pada kenyataan bahwa berbagai dialek orang-orang yang berbahasa Arab tidak terpecah ke
dalam bahasa- bahasa yang berbeda, seperti yang terjadi pada bahasa-bahasa pecahan dari bahasa
Romawi. Meskipun kini orang Irak mungkin mendapati sedikit kesulitan untuk memahami secara
sempurna percakapan orang Maroko, namun ia bisa dengan mudah memahami tulisan mereka,
karena baik di Irak maupun di Maroko, juga di Suriah, Arab, dan Mesir, semuanya mengikuti model
dan gaya bahasa Al-Quran. Pada masa Nabi Muhammad, tidak ada karya prosa Arab yang
kualitasnya sangat baik. Karenanya, Al-Quran menjadi karya terbaik yang pertama, dan sejak saat itu
Al-Quran terus menjadi model penciptaan berbagai karya prosa. Bahasa Al-Quran bersajak dan
retoris,

tetapi tidak puitis. Prosa sajaknya menjadi standar yang berusaha ditiru oleh hamper setiap
penulis Arab konservatif hingga dewasa ini”.

A. Menelusuri Konsep dan Karakteristik Paradigma Qurani untuk Menghadapi Kehidupan Modern
Apa yang dimaksud paradigma? Apa pula yang dimaksud paradigma Qurani? Mengapa Al-Quran
dijadikan paradigma untuk menghadapi berbagai persoalan? Secara etimologis kata paradigma dari
bahasa Yunani yang asal katanya adalah
para
dan
digma. Para
mengandung arti „disamping‟, „di sebelah‟, dan „keadaan lingkungan‟.
Digma
berarti „sudut

pandang‟, „teladan‟, „arketif; dan „ideal‟. Dapat dikatakan bahwa


paradigma adalah cara pandang, cara berpikir, cara berpikir tentang suatu realitas. Adapun secara
terminologis
paradigma
adalah cara berpikir berdasarkan pandangan yang menyeluruh dan konseptual terhadap suatu
realitas atau suatu permasalahan dengan menggunakan teori-teori ilmiah yang sudah baku,
eksperimen, dan metode keilmuan yang bisa dipercaya. Dengan demikian, paradigm Qurani adalah
cara pandang dan cara berpikir tentang suatu realitas atau suatu permasalahan berdasarkan Al-
Quran. Berikutnya, Mengapa Al-Quran dijadikan paradigma? Semua orang menyatakan bahwa ada
suatu keyakinan dalam hati orangorang beriman, Al-Quran mengandung gagasan yang sempurna
mengenai kehidupan; Al-Quran mengandung suatu gagasan murni yang bersifat metahistoris.
Menurut Kuntowijoyo (2008), Al-Quran sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat besar
untuk dijadikan cara berpikir. Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan
berdasarkan paradigma Al-Quran jelas akan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan umat
manusia. Kegiatan itu mungkin bahkan tentu saja akan menjadi rambahan baru bagi munculnya
ilmu-ilmu pengetahuan alternatif. Premis-premis normative Al-Quran dapat dirumuskan menjadi
teori-teori yang empiris dan rasional. Struktur transendental Al-Quran adalah sebuah ide normative
filosofis yang dapat dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Paradigma Qurani akan memberikan
kerangka bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan ilmu pengetahuan rasional yang orisinal,
dalam arti sesuai dengan kebutuhan pragmatis masyarakat Islam yaitu untuk mengaktualisasikan
misinya sebagai khalifah di muka bumi.

B. Menanyakan Alasan, “Mengapa Paradigma Qurani


sangat Penting bagi
Kehidupan Modern?”

Al-Quran bagi umat Islam adalah sumber primer dalam segala segi kehidupan. Al-Quran adalah
sumber ajaran teologi, hukum, mistisisme, pemikiran, pembaharuan, pendidikan, akhlak dan aspek
aspek lainnya. Tolok ukur benar / salah, baik / buruk, dan indah / jelek adalah Al-Quran. Jika mencari
sumber lain dalam menentukan benar / salah, baik / buruk, dan indah / jelek, maka seseorang
diangap tidak konsisten dalam berislam, suatu sikap hipokrit yang dalam pandangan Al-Quran
termasuk sikap tidak terpuji. Untuk apa Al-Quran diturunkan? Apa tujuan Al-Quran diturunkan?
Yusuf al-Qardhawi menjelaskan bahwa tujuan diturunkan Al-Quran paling tidak ada tujuh macam,
yaitu: 1) meluruskan akidah manusia, 2) meneguhkan kemuliaan manusia dan hak-hak asasi
manusia, 3) mengarahkan manusia untuk beribadah secara baik dan benar kepada Allah, 4)
mengajak manusia untuk menyucikan rohani, 5) membangun rumah tangga yang sakinah dan
menempatkan posisi terhormat bagi perempuan, 6) membangun umat menjadi saksi atas
kemanusiaan, dan ke 7) mengajak manusia agar saling menolong. Sebagian dari tujuan di atas
dijelaskan dalam uraian sebagai berikut. 1. Meluruskan Akidah Manusia Secara rinci menjaga akidah
itu mencakup aspek-aspek sebagai berikut. a. Menegakkan Pokok-Pokok Tauhid Menegakkan tiang-
tiang tauhid sebagai landasan beragama sangat penting eksistensinya sebab bersikap sebaliknya
yaitu syirik merupakan sikap yang sangat tercela, bahkan hukum Islam memandang syirik sebagai
suatu tindak pidana (
jarīmah
) yang sangat terlarang. Mengapa syirik termasuk dosa besar? Sebab dalam syirik ada kezaliman
terhadap kebenaran, dan penyimpangan terhadap kebenaran hakiki, serta ada pelecehan terhadap
martabat kemanusiaan yang mengagungkan dunia atau tunduk kepada sesama makhluk. Itulah
sebabnya Allah berfirman,
“Sesungguhnya

Allah tidak akan mengampuni sikap syirik dan Allah akan

mengampuni dosa selain itu bagi siapa saja yang Allah

kehendaki.”
(QS An- Nisa`/4: 48).
“Sesungguhnya sikap syirik adalah kezaliman yang

sangat besar.”
(QS Luqman/31: 13
).
“Jau
hilah perbuatan keji yaitu menyembah berhala, dan jauhi pula berkata palsu, dengan penuh
penyerahan kepada Allah dan tidak bersikap syirik kepada-Nya. Barang siapa melakukan syirik
kepada Allah, maka seakan-akan ia terjun dari langit lalu disambar

Вам также может понравиться