Вы находитесь на странице: 1из 72

DAFTAR ISI

1
Indikasi masuk ke Unit Perawatan Intensive
DEPARTEMEN IKA Anak Unit Perawatan Intensive RSMH
RSMH PALEMBANG
No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ditetapkan Oleh,
Klinis Januari 2012 Ketua Divisi PICU

Dr. Silvia Triratna, SpA(K)

Pengertian : Penderita dengan keadaan kritis atau memerlukan pemantauan hemodinamik secara
terus menerus harus dimasukkan ke ruang Unit Perawatan Intensif.
Tujuan : Pemantauan Hemodinamik, Respirasi, Pengobatan dan Intervensi

Kondisi-kondisi yang masuk indikasi rawat di Unit Perawatan Intensif adalah :


Sistem Respirasi
1. Intubasi endotrakeal atau kemungkinan akan membutuhkan intubasi endotrakeal dan ventilasi
mekanik, tanpa memandang etiologinya.
2. Penyakit paru, saluran nafas atas atau bawah yang progresif cepat, penyakit berat dengan risiko
menjadi kegagalan nafas atau obstruksi total.
3. Membutuhkan suplementasi oksigen tinggi (FiO2>0,5) tanpa memandang etiologinya.
4. Baru dilakukan trakeostomi dengan atau tanpa membutuhkan ventilasi mekanik.
5. Barotrauma akut yang menggangu jalan nafas atas atau bawah.
6. Membutuhkan pemberian nebulisasi yang sering atau terus menerus.

Sistem Kardiovaskuler
1. Syok dekompensai yang tidak respon pada resusitasi I dan syok berulang.
2. Pasca resusitasi kardiopulmoner.
3. Disritmia yang mengancam nyawa.
4. Gagal jantung kongestif yang tidak stabil, dengan atau tanpa kebutuhan ventilasi mekanik.
5. Penyakit jantung kongential dengan status kardiorespiratorik yang tidak stabil.
6. Setelah dilakukan prosedur kardiovaskuler dan intratorakal yang berisiko tinggi.
7. Kebutuhan akan pemonitoran tekanan arteri, tekanan vena sentral atau arteri pulmoner.
8. Kebutuhan akan cardiac pacing sementara.

Sistim Neurologis
1. Kejang yang tidak memberikan respon terhadap terapi atau membutuhkan penginfusan obat
antikejang terus menerus.
2. Perubahan sensorium yang akut dan berat dimana penurunan fungsi neurologis kemungkinan
akan terjadi, atau koma dengan kemungkinan gangguan jalan nafas.
3. Setelah prosedur neurologis dimana dibutuhkan pemonitoran yang invasif atau observasi ketat.
4. Inflamasi atau infeksi akut pada medulla spinalis, meningen atau otak dengan gangguan
neurologis, metabolik dan hormonal, gangguan respirasi atau hemodinamik atau terdapat
kemungkinan peningkatan tekanan intrakranial.
5. Trauma kepala dengan peningkatan tekanan intrakranial.
6. Kondisi-kondisi preoperatif bedah syaraf dengan penurunan fungsi neurologis.
7. Disfungsi neuromuskuler progresif dengan atau tanpa gangguan sensorium yang membutuhkan
pemonitoran kardiovaskuler dan/atau bantuan pernafasan.
8. Kompresi medulla atau impending kompresi.
9. Pemasangan drainase ventrikuler eksternal.

2
Hematologi/onkologi
1. Transfusi tukar.
2. Plasmaferesis atau leukoferesis dengan kondisi klinis yang tidak stabil.
3. Koagulopati berat.
4. Anemia berat yang menyebabkan gangguan hemodinamik atau respiratorik.
5. Komplikasi berat dari krisis sickle cell, seperti perubahan neurologis, acute chest syndrome,
atau anemia aplastik dengan instabilitas hemodinamik.
6. Memulai kemoterapi yang memiliki risiko terjadinya sindroma lisis tumor.
7. Massa tumor yang menekan atau mengancam pembuluh darah atau organ vital atau saluran
nafas.

Endokrin/metabolik
1. Ketoasidosis diabetik berat yang membutuhkan pengobatan yang melebihi standar.
2. Gangguan elektrolit berat lain seperti :
- Hiperkalemia, di mana dibutuhkan pemonitoran jantung dan intervensi terapetik akut.
- Hipokalsemia atau hiperkalsemia bermakna yang membutuhkan monitoring.
- Hipoglikemia atau hiperglikemia berat.
- Asidosis metabolik berat yang membutuhkan penginfusan bikarbonat, pemonitoran yang
intensif atau intervensi yang kompleks.
- Intervensi yang kompleks untuk mempertahankan keseimbangan cairan.
3. Gangguan metabolisme bawaan dengan penurunan keadaan umum yang akut yang
membutuhkan bantuan pernafasan, dialisis akut, hemoperfusi, penatalaksanaan hipertensi
intrakranial atau zat-zat inotropik.

Gastrointestinal
1. Perdarahan gastrointestinal berat yang menyebabkan instabilitas hemodinamik atau respirasi.
2. Setelah endoskopi emergensi untuk mengangkat benda asing.
3. Gagal hati akut yang menyebabkan koma, instabilitas hemodinamik atau respirasi.

Bedah
1. Pasca Bedah kardiovaskuler.
2. Pasca Bedah toraks.
3. Prosedur bedah syaraf.
4. Bedah otolaringologis.
5. Bedah kraniofasial.
6. Bedah ortopedik dan tulang belakang.
7. Bedah umum dengan instabilitas hemodinamik atau respirasi.
8. Transplantasi organ.
9. Trauma multipel dengan atau tanpa instabilitas kardiovaskuler.
10. Kehilangan darah hebat, baik selama pembedahan atau pada periode pasca operasi.

Sistim renal
1. Gagal ginjal
2. Kebutuhan akan hemodialisis akut, peritoneal dialisis atau terapi penggantian ginjal yang terus
menerus pada penderita yang stabil.
3. Rhabdomyolisis akut dengan insufisiensi ginjal.

Multi Sistim dan lain-lain


1. Ingesti bahan toksik atau overdosis obat dengan kemungkinan terjadinya dekompensasi sistim-
sistim organ utama.
2. Sindroma disfungsi organ multipel.

3
3. Dicurigai atau ditemukan adanya hipertermia malignan.
4. Trauma listrk atau trauma rumah tangga atau lingkungan lain.
5. Adanya luka bakar yang meliputi > 10% permukaan tubuh.

A. Prosedur penerimaan pasien (harus dilakukan setiap akan menerima pasien yang akan dirawat di
ICU)
1. Persiapan penerimaan
a. Data dan informasi yang dibutuhkan
a. Identitas penderita.
b. Berat badan
c. Diagnosis
d. Tanda vital terakhir
e. Keadaan sistim pernafasan (spontan, terintubasi, oksigen, dll)
f. Alat dan saluran infus yang terpasang
g. Perkiraan waktu kedatangan
h. Permintaan / keadaan, peralatan/ penanganan khusus
b. Persiapan alat / perlengkapan
a. Siapkan tempat tidur, inkubator yang sesuai
b. Siapkan alat rutin yang diperlukan dan apakah alat tersebut siap dipakai.
Antara lain :
 alat resusitasi
 alat infus dan infusion pump
 monitor tekanan darah, EKG dan tanda vital lainnya
 lembar catatan medik
 lembar catatan obat resusitasi
c. Siapkan alat khusus yang mungkin akan dipakai
 ventilator
 alat fototerapi
 alat operasi kecil (venaseksi)
 alat fiksasi tubuh

2. Penerimaan pasien
a. Pemeriksaan pada saat masuk
a. Periksalah tanda vital yang sedang mengancam nyawa dan lakukan tindakan yang
sesuai (misalnya intubasi, ventilasi, pemasangan infus, obat)
b. Angkat pasien dari tempat tidur transport untuk ditimbang sambil terus melakukan
tindakan ventilasi dengan tangan bila diperlukan.
c. Letakkan pasien pada tempat yang telah disediakan sebelumnya.
d. Buka seluruh pakaiannya untuk dapat memeriksa secara lengkap.
e. Amankan jalan nafas dan observasi kerja pernapasan (nafas cuping hidung, merintih,
mengi retraksi, atau gerakan nafas yang tidak simetris). Auskultasi paru apakah udara
yang masuk ke paru-paru sama kiri dan kanan, apakah ada tanda ronki, mengi.
f. Periksa denyut di apeks jantung, keteraturan denyut jantung dan murmur.
g. Periksa denyut nadi, regularitasnya dan isinya, periksa capillary filling.
h. Periksa tekanan darah dengan manset yang sesuai.
i. Periksa frekuensi pernafasan selama satu menit penuh.
j. Warna kulit, mukosa dan kuku.
k. Periksa suhu tubuh.
l. Sambungkan alat monitor ke pasien dan tentukan batas alarmnya.
m. Perhatikan tingkah laku pasien, aktivitas, tonus otot dan respon terhadap rasa nyeri,
mengigil, kejang

4
n. Periksa kulit apakah ada tanda-tanda trauma, ptekie, turgor.
o. Periksa saluran infus dan alat monitor infasif dan kuatkan fiksasinya
p. Isap lendir dari hidung, mulut, faring atau endotrakeal, catat warna, jumlah dan sifat
lainnya
q. Serah terima dengan pengantar dan seluruh catatan yang dibawanya
r. Periksa ukuran tubuh lainnya, panjang, lingkar kepala, lingkar perut
s. Bila terpasang NGT, periksa posisi, jumlah dan warna cairan lambung serta
berfungsinya NGT tersebut
t. Pasang alat penampung urin dan periksa urin terhadap berat jenis dan lainya
u. Ambil dan periksa sampel lab lainnya
v. Hitung dosis obat emergensi dan tempelkan dekat pasien tersebut.
b. Persiapan dokumen medik
Siapkan seluruh lembar dokumen medik yang diperlukan.
c. Persiapan lembar dosis obat untuk emergensi

5
A. Indikasi keluar / pindah penderita dari sub unit
DEPARTEMEN IKA Intensive Perawatan Anak Unit
RSMH PALEMBANG Perawatan Intensive RSMH
No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ditetapkan Oleh,
Klinis Januari 2012 Ketua Divisi PICU

Dr. Silvia Triratna, SpA(K)

Pengertian
Penderita yang tidak memerlukan pemantauan secara intensive, dimana hemodinamik, respirasi,
sudah stabil, atau membutuhkan oksigen minimal dan tidak membutuhkan obat-obatan inotropik .
Tujuan
Penderita yang tidak membutuhkan lagi pengobatan dan perawatan intensive serta memberi
keuntungan medis lagi.

Kriteria untuk transfer / keluar dari ICU adalah


1. Parameter hemodinamik stabil.
2. Status respirasi stabil (penderita telah diekstubasi dengan hasil gas darah arteri dalam batas
normal) dan jalan nafas paten.
3. Kebutuhan oksigen minimal dan tidak melebihi batas standar penatalaksanaan di bangsal
pasien yang bersangkutan.
4. Tidak lagi membutuhkan obat-obatan inotropik, vasokonstriksi, vasodilator atau antiaritmia atau
hanya membutuhkan dosis rendah yang aman diberikan di bangsal.
5. Disritmia jantung telah terkendali.
6. Peralatan pemonitoran tekanan intrakranial telah dilepas.
7. Status neurologis stabil dengan kejang yang telah terkendali.
8. Seluruh saluran untuk memonitor hemodinamika telah dilepas.
9. Penderita dengan ventilasi mekanik kronik yang penyakit kronisnya telah mengalami perbaikan
atau sembuh serta kondisi lainnya stabil dan dapat dirawat di bangsal yang secara rutin bisa
merawat penderita dengan ventilasi kronik atau dirawat di rumah.
10. Peritoneal dialisis atau hemodialisis rutin dengan perbaikan penyakit kronis dimana tidak
memerlukan penatalaksanaan yang melebihi penatalaksanaan di bangsal.
11. Penderita dengan jalan nafas buatan (trakeostomi) yang tidak lagi memerlukan penghisapan
lendir yang sering.
12. Tim pekerja kesehatan dan keluarga penderita memutuskan untuk menghentikan perawatan di
ICU, setelah dilakukan penilaian dengan hati-hati, bahwa tidak ada keuntungan membiarkan
anak di unit perawatan intensif atau pengobatan tidak memberi keuntungan medis lagi.

6
Standar Penatalaksanaan Penderita di Sub Unit
DEPARTEMEN IKA Perawatan Intensive Anak Unit Perawatan
RSMH PALEMBANG Intensive RSMH
No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ditetapkan Oleh,
Klinis Januari 2012 Ketua Divisi PICU

Dr. Silvia Triratna, SpA(K)

Dasar-dasar penatalaksanaan kegawatan :


1. Pemeriksaan
2. Pemantauan
3. Pengobatan/intervensi
4. Antisipasi/harapan

1. Pemeriksaan
a. Tujukan pada keluhan utama
b. Pemeriksa harus terampil dan percaya diri
c. Lengkap, teliti dan sistematis
d. Data yang harus disintesa untuk rencana pemeriksaan/terapi selanjutnya
2. Pemantauan
a. Tanda vital dipantau secara terus menerus
b. Data yang obyektif
Yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis, mengetahui respon terhadap pengobatan dan
perkembangan penyakit
c. Data prospektif sebagai parameter pengobatan dan perubahan patofisiologi penyakit.
d. Harus dikomunikasikan dan didiskusikan dengan sejawat lainnya.
3. Pengobatan / intervensi
a. Berdasarkan pendekatan patofisiologis
b. Tentukan tujuan dan hasil akhir yang diharapkan
c. Sesuaikan efek pengobatan secara individual (sesuai pasiennya)
d. Gunakan data yang obyektif.
4. Antisipasi / harapan
a. Buatlah rencana pengobatan bukan retrospektif.
b. Diperlukan pengetahuan dan pendekatan patofisiologis.
c. Pertimbangkan kemungkinan terburuk
d. Gunakan data berdasarkan pemeriksaan dan pemantauan yang obyektif

Prosedur penerimaan pasien (harus dilakukan setiap akan menerima pasien yang akan dirawat di
ICU)
1. Persiapan penerimaan
Data dan informasi yang dibutuhkan
a. Identitas penderita.
b. Berat badan
c. Diagnosis
d. Tanda vital terakhir
e. Keadaan sistim pernafasan (spontan, terintubasi, oksigen, dll)
f. Alat dan saluran infus yang terpasang
g. Perkiraan waktu kedatangan
h. Permintaan / keadaan, peralatan/ penanganan khusus

7
2. Persiapan alat / perlengkapan
a. Siapkan tempat tidur, inkubator yang sesuai
b. Siapkan alat rutin yang diperlukan dan apakah alat tersebut siap dipakai.
Antara lain :
i. alat resusitasi
ii. alat infus dan infusion pump
iii. monitor tekanan darah, EKG dan tanda vital lainnya
iv. lembar catatan medik
v. lembar catatan obat resusitasi
c. Siapkan alat khusus yang mungkin akan dipakai
i. ventilator
ii. alat fototerapi
iii. alat operasi kecil (venaseksi)
iv. alat fiksasi tubuh

3. Penerimaan pasien
a. Pemeriksaan pada saat masuk
• Periksalah tanda vital yang sedang mengancam nyawa dan lakukan tindakan yang sesuai
(misalnya intubasi, ventilasi, pemasangan infus, obat)
• Angkat pasien dari tempat tidur transport untuk ditimbang sambil terus melakukan
tindakan ventilasi dengan tangan bila diperlukan.
• Letakkan pasien pada tempat yang telah disediakan sebelumnya.
• Buka seluruh pakaiannya untuk dapat memeriksa secara lengkap.
• Amankan jalan nafas dan observasi kerja pernapasan (nafas cuping hidung, merintih,
mengi retraksi, atau gerakan nafas yang tidak simetris). Auskultasi paru apakah udara
yang masuk ke paru-paru sama kiri dan kanan, apakah ada tanda ronki, mengi.
• Periksa denyut di apeks jantung, keteraturan denyut jantung dan murmur.
• Periksa denyut nadi, regularitasnya dan isinya, periksa capillary filling.
• Periksa tekanan darah dengan manset yang sesuai.
• Periksa frekuensi pernafasan selama satu menit penuh.
• Warna kulit, mukosa dan kuku.
• Periksa suhu tubuh.
• Sambungkan alat monitor ke pasien dan tentukan batas alarmnya.
• Perhatikan tingkah laku pasien, aktivitas, tonus otot dan respon terhadap rasa nyeri,
mengigil, kejang
• Periksa kulit apakah ada tanda-tanda trauma, ptekie, turgor.
• Periksa saluran infus dan alat monitor infasif dan kuatkan fiksasinya
• Isap lendir dari hidung, mulut, faring atau endotrakeal, catat warna, jumlah dan sifat
lainnya
• Serah terima dengan pengantar dan seluruh catatan yang dibawanya
• Periksa ukuran tubuh lainnya, panjang, lingkar kepala, lingkar perut
• Bila terpasang NGT, periksa posisi, jumlah dan warna cairan lambung serta berfungsinya
NGT tersebut
• Pasang alat penampung urin dan periksa urin terhadap berat jenis dan lainya
• Ambil dan periksa sampel lab lainnya
• Hitung dosis obat emergensi dan tempelkan dekat pasien tersebut.
b. Persiapan dokumen medik
Siapkan seluruh lembar dokumen medik yang diperlukan.
c. Persiapan lembar dosis obat untuk emergensi

8
Pemantauan penderita selama dirawat di ICU

Pengertian
Merupakan pengamatan keadaan system hemodinamik, respirasi, kesadaran (system saraf pusat),
organ vital lainnya serta farmakologi secara kontinyu dan intensif
Tujuan
Pemantauan intensive terhadap penderita selama dirawat di unit intensive anak

Pemantauan
1. Sistim SSP
2. Sistim kardiovaskuler
3. Sistim pernafasan
4. Sistim metabolik dan ginjal
5. Sistim gastrointestinal
6. Sistim hematologis
7. Farmakologis

1. Sistim SSP
a. Pemantauan berkala terhadap derajat kesadaran, tonus otot, reaksi terhadap sekitarnya
b. Pemantauan secara nilai Glasgow untuk anak
c. Ukuran pupil
d. Waktu pencatatan/pemeriksaan dikaitkan dengan kondisi pasien

2. Sistim kardiovaskuler
a. Denyut jantung, nadi dengan manual dan mesin monitor
b. Tekanan darah
c. CVP

3. Sistim pernafasan
a. Frekuensi nafas manual dengan mesin monitor
b. PaO2 monitor
c. Keseimbangan asam basa (Astrup)
d. Suara nafas
e. Sifat, jumlah, warna sekresi mulut dan trakea
f. Foto toraks.

4. Sistim metabolik dan ginjal


a. Suhu tubuh
b. Berat badan
c. Keseimbangan cairan (masukan dan keluaran)
d. Urine, berat jenis, dll
e. Kadar elektrolit, gula darah

5. Sistem Gastrointestinal
a. Lingkaran perut
b. Tinja
c. Cairan NGT

6. Sistim Hematologis
a. Periksa Hb, Ht, darah tepi rutin
b. Trombosit dan parameter pembekuan pada kelainan darah

9
7. Sistim Farmakologis
a. Buat dan isi daftar obat yang diberikan secara benar (dosis, waktu dan lama pemberian)
b. Pemeriksaan kadar dalam darah
c. Pemantauan terhadap efek terapi dan toksisitas

Jenis Pertolongan yang diberikan

1. Pertolongan sepenuhnya (total support)


2. Pertolongan tetapi tidak diresusitasi (support but not CPR)
3. Tidak dilakukan pertolongan berlebihan (No extra ordinary measure)
4. Mati batang otak

1. Total Support. Penderita sakit gawat dengan fungsi organ tubuh vital terutama otak masih baik
atau diharapkan berfungsi baik kembali setelah pengobatan. Pada penderita ini harus diberikan
pertolongan semaksimum mungkin termasuk resusitasi.
2. Support but no CPR, penderita sakit gawat dengan fungsi otak minimum sekali sehingga tidak
dapat diharapkan perbaikan atau kesembuhan. Pada penderita ini tidak diberikan terapi
berlebihan seperti intubasi, ventilasi mekanik, monitoring invasif dan obat-obat resusitasi
khusus. Dan bila terjadi henti jantung tidak diresusitasi.
3. No extra ordinary measure, penderita sakit gawat dengan fungsi otak minimum sekali sehingga
tidak dapat diharapkan perbaikan atau kesembuhan. Pada penderita ini tidak diberikan terapi
berlebihan seperti intubasi, ventilasi, mekanik, monitoring invasif dan obat-obat resusitasi
khusus. Dan bila terjadi henti jantung tidak diresusitasi.
4. Mati batang otak. Bila terpenuhi kriteria mati batang otak maka semua terapi dihentikan kecuali
ventilator (dengan oksigen 21%) dan infus cairan dasar saja.

10
MATI BATANG OTAK
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ditetapkan Oleh,
Klinis Januari 2012 Ketua Divisi PICU

Dr. Silvia Triratna, SpA(K)

1. Definisi
Penghentian seluruh fungsi otak dan batang otak secara permanen.
Keadaan dimana otak penderita tidak berfungsi dan tidak akan berfungsi lagi dengan bantuan
kardio pulmonal terus menerus dalam waktu tertentu (1 minggu).

2. Etiologi
Trauma, perdarahan, infeksi (misal: ensefalitis, meningitis), hipoksia (misal: cardiac arrest atau
tenggelam), edema serebral

3. Diagnosis
Kriteria Harvard mati batang otak adalah :
1. Tak reseptif dan tak responsif
2. Tak ada gerakan (observasi selama 1 jam)
3. Henti nafas (3 menit lepas dari ventilator)
4. Tidak ada reflek-reflek
5. EEG isoelektrik, penting untuk konfirmasi
Semua tes diulangi paling sedikit 24 jam kemudian tanpa didapat perubahan.

Kriteria Minnesota
1. Diketahui ada lesi intrakranial yang tak dapat diperbaiki
2. Tak ada gerakan spontan
3. Henti nafas
4. Reflek-reflek batang otak negatif
5. Semua hasil pemeriksaan tak berubah selama paling sedikit 12 jam
6. EEG bukan suatu keharusan

Langkah Diagnosa
Prakondisi harus disingkirkan sebelum mempertimbangkan diagnosa MBO (mati batang otak):
1. Pada pasien koma yang dalam
a. Singkirkan efek obat depresan (sedatif, hipnotik, narkotik)
Jika terdapat pengaruh obat depresan, lama efek obat tersebut harus diketahui. Penting
untuk diketahui efek toksik farmakologi penyebab koma dan kerusakan hipoksia otak. Waktu
observasi tergantung pada farmakokinetik obat, dosis yang digunakan, waktu paruh, status
hepar dan renal pasien. Biasanya pengaruh obat menghilang 8-12 jam.
b. Singkirkan kemungkinan hipotermi sebagai penyebab
Suhu tubuh menjadi rendah karena depresi pengaturan suhu akibat obat atau kerusakan
batang otak. Suhu rektal harus < 35°C.
c. Singkirkan kemungkinan gangguan metabolik atau endokrin sebagai penyebab. Ureum,
elektrolit, asam basa atau konsentrasi gula darah harus dalam batas normal.

2. Pada pasien apnu


Pasien harus memakai ventilator jika tidak ada usaha bernafas secara spontan. Singkirkan efek

11
dari relaksan otot, opium, anti depresan.

Test diagnostik untuk menentukan mati otak:


Syarat sebelum melakukan pemeriksaan:
a. Semua faktor prakondisi sudah dilakukan
b. Temperatur rektal minimal 35°C
c. Tekanan darah arteri harus dalam batas normal minimal sesuai dengan usia penderita.
d. Trauma

Test diagnostik
a. Penderita koma dan apnu
b. Test fungsi batang otak
1. Test N.Oculomotorius (N.III).
Sumber cahaya kuat harus digunakan di dalam ruangan yang gelap untuk melihat reaksi
pupil. Tidak ada reflek cahaya, pupil dilatasi maksimal dan terfiksasi di tengah. Yakinkan
bahwa tetes mata (dilatator atau konstriktor tidak digunakan).
2. Test N. Trigeminal (N.V)
Tidak ada reflek kornea  tidak ada respon terhadap tekanan kuat menggunakan lidi
kapas pada kornea.
3. Test N.Vestibulo-cochlear (N.VIII).
Tidak ada reflek vestibulo-okular  tidak ada gerakan mata setelah injeksi lambat 20 cc
air es ke dalam salah satu atau kedua telinga. Langkah pertama inspeksi (i) bersihkan
jalan masuk ke membran timpani (ii) tidak terdapat penyakit/kerusakan telinga tengah.
Kepala ditinggikan 30°, kateter kecil diletakkan pada saluran luar dekat membran
timpani dan masukan pelan-pelan cairan dingin 50 cc dengan syringe. Kedua mata
diamati selama 3 menit. Nistagmus dan gerakan penyimpangan bola mata tidak
didapatkan. Prosedur yang sama dilakukan pada telinga lain. Adanya penyakit vestibulo
koklear bilateral dan kerusakan atau riwayat ototoksisitas karena obat sebelumnya
membuat tes ini onvalid. Perforasi membran timpani unilateral bukan kontra indikasi.
Tapi karena resiko infeksi, yang pertama diperiksa adalah telinga dengan membran
timpani yang utuh.
4. Test N.Trigeminus (N.V) dan N. Facialis (N.VII)
Tidak ada respon motor dalam distribusi saraf kranial terhadap rangsang adekuat pada
area somatik. Sebelum memeriksa respon motorik terhadap stimulus nyeri, pertama
pastikan bahwa tidak ada gerakan spontan. Bila ada, kematian otak tidak dapat
dinyatakan. Respon nyeri diperoleh dengan memerikan tekanan kuat pada kedua saraf
supraorbita. Stimulus kuat yang tiba-tiba pada tubuh dan kedua ekstremitas kadang-
kadang menimbulkan reflek spinal (kontraksi motorik dari otot-otot yang tidak
berhubungan dengan distribusi saraf otak) pada penderita kematian otak. Pada kasus ini,
kontraksi tidak berkala, tidak spontan dan tidak terlokalisir pada tempat stimulus.
Adanya reflek spinal tidak menyingkirkan kematian otak, ia hanya menunjukkan bahwa
spinal cord masih utuh. Sebaliknya respon nyeri dilakukan pada beberapa tempat
(supratroklear, strenum, tulang iga dan bagian distal ekstremitas).

5. Tes N.Glossopharyngeal (N.IX) dan N.Vagus (N.X)


Tidak ada reflek batuk dan reflek muntah terhadap rangsang faring, laring dan trakea.
Untuk mendapatkan reflek batuk dan reflek muntah digunakan kateter panjang untuk
menghisap ke dalam bronkus melalui tube endotrakeal. Penghisapan pada tenggorokan
bagian belakang saja bukan merupakan stimulus yang adekuat.

Tes apnu

12
Syarat test apnu: PaCO2 minimal 45 mmHg
Cara test apnu:
- Berikan O2 100% paling sedikit selama 5 menit.
- Lepaskan dari ventilator, berikan O2 2-4 l/m melalui ETT untuk mempertahankan
oksigenasi.
- Tunggu selama 5-10 menit.
- Pada akhir pemeriksaan lakukan analisa gas darah.
- Sambungkan lagi dengan ventilator
Test apnu tidak dilakukan bila tekanan darah turun dan SpO2< 90. Untuk konfirmasi lakukan EEG.
Test untuk apnu meliputi penghentian ventilator ketika PaCO2 mendekati normal, untuk memastikan
PaCO2 mencapai batas dapat merangsang pusat medula dan mengamati pergerakan nafas. Normal
PaCO2 50 mmHg (6,7 kPa) cukup merangsang pusat medula, tetapi direkomendasikan batas 60
mmHg (8 kPa). Analisa gas darah digunakan untuk mengatur PaCO2 (penurunan PH arteri menjadi
7,3 dapat juga diperkuat dengan rangsang respirasi yang kuat).

Elektroensefalografi
Pada kriteria Harvard, EEG digunakan untuk konfirmasi tetapi pada kriteria Minnesota, EEG bukan
suatu keharusan.

Cerebral blood flow


Dapat dipakai sebagai konfirmasi jika test diagnostik dan EEG tidak dapat dilakukan

Sertifikasi mati batang otak


- Dikeluarkan setelah diperiksa dan dilakukan oleh 2 dokter yang berpengalaman, salah
satunya harus neurologi atau bedah saraf.
- Diperiksa secara terpisah
- Dilakukan 2 dengan jarak waktu 12-14 jam

Hal lain yang harus diperhatikan:


1. Pemeriksaan lengkap dan terpisah. Observasi terhadap koma paling sedikit 4 jam, tidak ada
batuk, muntah dan aktivitas otot. Walaupun waktu observasi pada pemeriksaan pertama paling
sedikit 12 jam pada pasien kerusakan primer hipoksia otak. Setelah itu dilakukan test formal
yang kedua dengan interval ½ jam. Waktu yang menyatakan mati pada sertifikat adalah setelah
pemeriksaan kedua.
2. Test untuk menentukan mati otak harus dilakukan oleh 2 dokter yang berpengalaman dan
ditunjuk oleh Rumah Sakit. Setiap dokter harus melakukan 1 pemeriksaan walaupun keduanya
melakukan pemeriksaan yang sama.
3. Demonstrasi objektif terhadap tidak adanya aliran darah serebral. Dibutuhkan jika prasyarat
tidak dapat memuaskan atau ragu terhadap diagnosis yang ada.
4. Reflek okulosefalik dan EEG adalah test yang selalu pada diagnosa mati otak.
5. Keluarga pasien harus diberi dukungan. Ini adalah suatu keputusan medik untuk meninggalkan
bantuan hidup dan keluarga harus dibantu untuk menerima situasi ini.

Pencabutan respirator setelah kematian otak


1. Pasien sudah dinyatakan mengalami kematian otak
2. Keluarga harus diberitahu bahwa pasien telah mengalami kematian otak.
3. Sekali pasien dinyatakan meninggal, respirator harus sesegera mungkin dicabut. Pada kasus donor
organ, respirator dicabut segera setelah pengangkatan organ.
4. Pencabutan respirator harus dilakukan oleh dokter.
5. Pencabutan respirator tidak boleh dilakukan di depan keluarga

13
INDIKASI PENGGUNAAN VENTILASI MEKANIK DI
DEPARTEMEN IKA SUB UNIT INTENSIVE PERAWATAN ANAK UNIT
RSMH PALEMBANG PERAWATAN INTENSIVE RSMH
No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ditetapkan Oleh,
Klinis Januari 2012 Ketua Divisi PICU

Dr. Silvia Triratna, SpA(K)


1. Batasan
Alat yang mempunyai fungsi membantu ventilasi dan oksigensi sesuai dengan indikasi klinik.

2. Tujuan
Mengembalikan fungsi pernapasan penderita dengan menggunakan ventilasi mekanik

3. Indikasi
Mencegah/mengatasi asidosis respiratorik yang bermakna akibat terjadinya peningkatan
PaCO2atau untuk mengatasi hipoksemia arteri setelah pemberian oksigen sungkup tidak
mencukupi.

a. Gangguan fungsi ventilasi: Disfungsi otot pernafasan :


- Kelelahan otot pernafasan
- Abnormalitas dinding dada
Penyakit neuromuskuler
Usaha nafas menurun
Resistensi jalan nafas meningkat dan/atau adanya obstruksi
b. Gangguan oksigenasi: Hipoksemia refrakter
Memerlukan peningkatan PEEP
Peningkatan usaha nafas
Trauma
c. Sebab lain yang menggangu pernafasan : Pembedahan : operasi yang berlangsung lebih dari 8
jam
Pembedahan dinding dada, kraniotomi
Trauma

4. Tahap-tahap pengaturan ventilasi mekanik


a. Siapkan alat :
- Pastikan apakah ventilator dapat berfungsi dengan baik dan dalam keadaan bersih
- Power/sumber tenaga bekerja dengan baik
- Sumber aliran gas/oksigen baik, “working pressure” telah disetel sesuai dengan petunjuk
teknis.
- Tidak ada kebocoran sambungan sirkuit saluran gas.
- Humidifikasi telah terpasang, batas cairan cukup dan pengaturan suhu disetel sesuai
keperluan.

b. Setting awal
- Tentukan jenis bantuan ventilasi
Tergantung kebutuhan dan indikasi
 Siklus volume : bisa dipakai untuk anak dengan berat badan > 10 kg
 Siklus tekanan : dipakai pada anak < 10 kg, pada bronkopneumonia, ARDS.

14
- Penetapan modus ventilasi
Tergantung kebutuhan dan modus disediakan oleh merek/jenis ventilator
Modus – modus dasar ventilasi mekanik :
 Continous / controlled mechanical ventilation (CMV)
Merupakan modus kendali penuh, semua pernafasan penderita diatur sepenuhnya/
dikendalikan/diambil alih oleh mesin. Oleh karena itu dalam penggunaan modus ini
harus terus menerus dilakukan penyesuaian sesuai perubahan kebutuhan ventilasi
penderita. Digunakan untuk penderita yang tidak mempunyai aktifitas pernafasan atau
untuk penderita yang ingin diatur pernafasannya. Pada modus CMV ini dibutuhkan
sedasi dan pelemas otot untuk menghilangkan upaya bernafas dari penderita.
 Assist-control ventilation / assisted mechanical ventilation (ACV/AMV)
Pada modus AMV ventilator memberikan bantuan pernafasan, namun dengan trigger
yang dibuat oleh penderita/dengan usaha nafas penderita. Modus ini digunakan pada
penderita yang mempunyai nafas spontan tapi kurang adekuat atau penderita dengan
distres pernafasan yang baru terjadi.
 Synchronized Intermitten Mandatory Ventilation
Pada modus ini mesin memberikan ventilasi hanya terhadap sebagian nafas penderita.
Modus ini biasanya digunakan untuk penyapihan penderita keluar dari ventilasi mekanik.
 Pressure Support Ventilation
Pada modus ini penderita bernafas spontan namun diperkuat dengan tekanan positif
selama inspirasi. Biasanya digunakan pada waktu penyapihan dimana penderita sudah
bernafas spontan teratur.
 Continous Positive Pressure Ventilation (CPAP)
Penderita bernafas spontan. Mesin memberikan tekanan positif pada akhir alur ekspirasi
dengan aliran gas secara terus menerus.

- Penjelasan lain
Pada siklus volume
 Tentukan frekuensi respirasi sesuai usia anak
 Tentukan volume tidal, biasanya 8-10 cc/kg
 Tentukan “Minute volume”: hasil perkalian volume tidal dengan frekuensi respirasi.
 Tentukan I: E rasio: Bayi = 1 : 1 sampai 1 : 1,5 ; anak 1 : 1,5 sampai 1 : 2 (Pada modus
kendali penuh). Pada modus lainnya tentukan waktu inspirasi.
 Tentukan PEEP : PEEP fisiologis 3-5 cmH2O, dapat ditingkatkan sesuai kebutuhan.
 Bila digunakan modus kontrol (CMV/AMV tentukan trigger, biasanya 20 cmH2O. Pada
modus lainnya trigger dibuat -2.
- Pada Siklus tekanan
 Tentukan tekanan yang akan diberikan (PIP). Biasanya 12-18 cmH2O, untuk penyakit paru
dengan compliance menurun 20-25 cmH2O, maksimal 30-35 cmH2O
 Tentukanfrekuensi respirasi.
 Tentukan I:E rasio : bayi = 1 : 1 sampai 1 : 1,5 ; anak 1 : 1,5 sampai 1 : 2 (pada modus
kendali penuh) Pada modus lainnya tentukan waktu inspirasi
Pada modus tidak kendali penuh : tentukan waktu inspirasi. Waktu inspirasi 0.5-1,5 detik
tergantung usia penderita. Pada bayi dan anak-anak rata-rata 0,75 detik.
 Tentukan PEEP : PEEP fisiologis 3-5 cmH2O, dapat ditingkatkan sesuai kebutuhan.

- Pemberian kadar oksigen (FiO2)


Pada setting awal dapat diberikan 60-100%. Kemudian diturunkan sesuai dengan kebutuhan
setelah diperiksa analisa gas darah (AGD). AGD (bila ada sasaranya) dilakukan tiap 30-60
menit setelah pemasangan ventilator.
Menurunkan FiO2 bertahap 5-2% tiap 30-60 menit sampai target FiO2 yang diharapkan.

15
Menurunkan FiO2 dilakukan secara bertahap sambil memantau SpO2, kerja pernafasan dan
frekuensi jantung. Target penurunan FiO2 dapat juga dilakukan dengan menggunakan rumus
PAO2 = (PB – PH2O) – PaCO2
AaDO2 = PAO2 – PaO2
FiO2 = (AaDO2 + 100) : 760 x FiO2 yang diberikan

- Kecepatan aliran gas : Biasanya adalah 4 – 10 l/menit. Pada bayi 2-3 l / kgBB.
Pada anak 2-3 kali minute volume.
- Pengaturan alarm

c. Penyambungan ke penderita
Setelah berjalan lancar, ventilator segera dihubungkan dengan pasien. Lakukan pemantauan
klinis apakah suara nafas daerah paru kiri dan darah paru kanan sama kuat. Apakah
pengembangan dada cukup adekuat. Lihat ulang apakah tekanan atau volume tidal sesuai yang
diharapkan. Periksa ulang batas keamanan (alarm)

d. Penyesuaian setting
Dilakukan setelah beberapa kali siklus ventilasi.

e. Pemantauan
Harus dilakukan pemantauan / pengawasan ketat terhadap :
- Fungsi sistem kardiovaskuler
Frekuensi jantung, tekanan darah, monitor EKG dan curah jantung.
- Fungsi sistem pulmonal.
Volume tidal, kerja otot pernafasan, frekuensi dan irama pernafasan, pengembangan dada,
kualitas suara nafas, suara nafas tambahan.
- Fungsi sistim lain : tingkat kesadaran, diuresis, suara nafas tambahan
- Fungsi ventilator : Rate respirator / master rate. Volume tidal mesin, minute volume, PIP,
FiO2, waktu inspirasi (I : E rasio), besarnya PEEP. Temperatur udara yang dialirkan ke
penderita.
- Fungsi pernafasan / jalan nafas : penumpukan sekret pada jalan nafas, kedalam letak pipa
endotrakeal (ETT). (kontrol foto toraks dapat dilakukan untuk konfirmasi)

5. Gejala dan Tanda Perburukan pada Pemakaian Ventilator


Respirasi :
- Warna kulit : sianosis, pucat, mottled
- Apnu atau bradi/takikardia + perubahan warna kulit
- AGD : darah arteri PaO2<50, PaCO2> 50 mmHg
darah kapiler PkO2< 40, PkCO2> mmHg
pH < 7,25 atau > 7,50
- Suara nafas : menghilangkan , ronki, wheezing
paru kiri – kanan sama
- Sekret bronkus berbusa dan ada darah segar, perubahan warna dan berbau
- Frekuensi nafas : total RR pada IMV > 60 x / menit

Kardiovaskuler
- Tekanan darah sistolik < 60 atau > 110 mmHg
(tergantung batas normal sesuai umur)
- Tekanan nadi melebar atau > 30 mmHg
- Jantung : bising jantung, pergeseran iktus, bunyi jantung melemah, aritmia.

16
Neurologis
- Ubun-ubun : melebar/membenjol, ICP naik
- SSP : kesadaran turun, gelisah, kejang
- Otot : hipertonis, lumpuh

Hematologis
- Anemia
- Darah tepi
Kadar trombosit kurang, perdarahan (+)

Eksresi dan metabolik


- Diuresis : < 1 ml/kgBB/jam
BJ urin < 1.001 atau >1.012
- Glikosuria, proteinuria
- Hipoglikernia/hiperglikemia
- Balans cairan positif, BB naik > 10%

Pencernaan
- Distensi abdomen, muntah, bising usus (-)
- Residu lambung >, tanda obstruksi usus (+)

f. Komplikasi
Pulmonal : barotrauma (pneumotoraks, pneumoperikardial, emfisema kutis)
Sirkulasi : penurunan venous return dan curah jantung, hipotensi
Renal : diuresis berkurang, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Serebral : perubahan tekanan intrakranial, iskemi serebri
Lain-lain: komplikasi intubasi endotrakeal : trauma laring
Infeksi nosokomial

17
PETUNJUK PENGGUNAAN
DEPARTEMEN IKA CARDIOSERV/DEFIBRILLATOR DISUB UNIT
RSMH PALEMBANG PERAWATAN INTENSIVE ANAK UNIT
PERAWATAN INTENSIVE RSMH
No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ditetapkan Oleh,
Klinis Januari 2012 Ketua Divisi PICU

Dr. Silvia Triratna, SpA(K)


Pengertian
Merupakan pengobatan definitif dari VF atau VT tanpa denyut nadi. Defibrilasi adalah depolarisasi
massa sel miokard kritis yang tidak dibatasi waktu (asinkron) sehingga terjadi depolarisasi spontan
miokard yang teratur.

Tujuan
Terapetik definitive pada VF dan VT tanpa nadi.

Indikasi
 Ventrikel fibrilasi (VF)
 Ventrikel Takikardi tanpa nadi

Prosedur
Persiapan:
Persiapan Alat:
1. Alat defibrilasi
2. Ukuran Pedal : 4,5 cm ; untuk bayi-1 tahun/BB: 10 kg
8-13 cm; untuk anak diatas 1 tahun/ BB>10 kg
3. Krim atau pasta elektroda
4. Dosis energy: dosis awal 2 J/kgBB, energy bisa dilipat gandakan 4 J/ kgBB dan defibrilasi ke
tiga 4 J/ kg BB
5. Tiga kali syok harus dilakukan secepatnya dan berurutan
Obat-obatan:
Epineprin, lidokain dengan interval tiap 30-60 detik setelah defibirilasi 4 J/kgBB.

Urutan Defibrilasi:
Jika terlihat VF dilayar monitor:
1. Ventilasi dengan oksigen 100% dan kompresi dada terus menerus tanpa henti
2. Berikan perantara konduktif di pedal bayi
3. Hidupkan defibrillator, jangan aktifkan modus sinkron
4. Tentukan dosis energy dan isi kapasitor
5. Hentikan kompresi dada dan letakkan pedal pada posisi yang tepat di dada ( sternum dan
apex)
6. Memeriksa kembali irama jantung di layar monitor
7. Jauhkan orang sekitarnya jangan sampai ada kontak dengan pasien, tempat tidur atau
peralatan
8. Tekan pedal yang kuat dan pada waktu bersamaan tekan tombol defibrilasi
9. Lakukan kembali dengan segera kompresi dada diantara syok
10. Evaluasi EKG
Jika perbaikan masukan amiodaron 25ug/kgbb/menit kec 5cc/jam,Follow up selama 4jam
perbaikan turunkan dosis/4jam

18
TES UNTUK KERJA CARDIOSERV-TEST DISCHAGE
Tes discharge digunakan untuk mengecek rangkaian discharge dari unit defibrillator.Dalam test ini,
energy yang tersimpan akan disalurkan (discharged) kerangkaian internal unit lewat kompartemen
paddle.
1. Pastikan paddle dua-duanya terpasang di unit dengan benar
2. Putar saklar pemilih energy keposisi 360joule atau 50 J jika menggunakan internal paddle
3. Layar akan menampilkan besar energy yang dipilih
4. Tekan “3 Charge Shock 2” dipaddle untuk mengisi energy (charge). Tekan “charge shock”
diunit jika menggunakan electrode internal
5. Setelah energy sudah terisi sesuai pilihan,layar akan menampilkan besar energy dan unit
mengeluarkan suara” Beep”
6. Dalam waktu kurang dari 30detik, PICU unit untuk nge-Shock dengan menekan secara
bersamaan tombol Shock dipaddle atau tombol” Charge shock / Shock “ jika menggunakan
internal electrode.Setelah 30 detik otomatis unit akan melepaskan energy tersimpan ke
rangkaian internal
7. Pada saat yang sama recorder akan mencatat strip ECG 16 detik, setelah nge-shock suara
Beep akan berhenti.Layar akan menampilkan jumlah energy sebenarnya yang
disalurkan.Pastikan jum;lah ini tidak berbeda ± 15% atau ± 4 Joule (mana yang lebih tinggi)
energy yang dipilih
Catatan: Jika paddle tidak ditempatkan dengan benar dikompertemenya atau lead rusak,
dalam waktu 200 mili second,unit shock akan melepaskan energy kerangkaian internal untuk
pengamanan

Defibrilasi – Non sinkronisasi


Defibrilasi dengan paddle

1. Set besar energy dengan saklar atau pilih Autosequence (unit otomatis menentukan besar
energy tiap-tiap urutan shock sesuai setting yang dapat diatur, biasanya 200J – 200 J- 360
JRekomendasi AHA untuk pasien bayi dan anak adlah 2 J/ kgbb, untuk shock selanjutnya jika
gagal tiap 4 J/kgbbGE tidak bias merekomendasikan berapa besarnya energy yang diperlukan
untuk keberhasilan terapi defebrilasi tanpa membahayakan myocardium. Dokter sepenuhnya
menetukan berapa besar energy tiap-tiap terapi.
2. Angkat paddle dari kompartemen. Pastikan handel dan elektrodenya kering. Oles electrode
paddle dengan krim electrode.
3. Pastikan paddle ke thorax pasien Yaitu pada Apex dan Sternum sehingga energy paling besar
mengalir lewat myocardial .
4. Tekan paddle ke thorax pasien. Sinyal ECG otomatis akan muncul dilayar.
5. Jangan sentuh Pasien dan peringatkan juga orang-orang didekatnya.
6. Tekan tombol 8 “ Charge Shock” pada paddle apex untuk memulai mengisi ( Charge) energy.
7. Ketika energy sudah tercapai sesuai pilihan saklar, unit mengeluarkan suara “Beep” dan besar
energy ditampilkan.Pada tahap ini, jika ingin menambah level energy,putar saklar ke level baru
dan tunggu sampai display menampilkan level energy yang lebih rendah,putar saklar ke energy
yang lebih rendah dan ulangi langkah 6(isi ulang).
8. Dalam waktu 30 detik, salurkan shock dengan menekan dua tombol shock (2 dan 8) di paddle
secara bersamaan.
9. Setelah shock,suara Beep akan berhenti,jumlah energy yang disalurkan akan ditampilkan
dilayar. Jika Opsi Rekorder diaktifkan, rekorder akan mencetak ECG strip 16 detik.
10. Cardioserv menyimpan perekaman shock berupa 4 detik history (sebelum shock), 5 detik blank
(saat shock),dan 10 detik sesudah shock disalurkan.

CATATAN: Jika muncul pesan” Check Elektrode “ selama pengoperasian,ini berarti:

19
- Jika kabel ECG pasien tidak disambungkan,cek pemasangan electrode di paddle
- Jika kabel ECG pasien disambungkan,cek pemasangan electrode ECG
Pesan ini berarti unit merasakan impedansi electrode tinggi, kemungkinan electrode kurang ditekan
dengan rapat kekulit pasien dan/ atau perlu menambah krim electrode.Jika pesan muncul dan
shock tetap disalurkan ,ada resiko kulit terbakar.
11. Setelah terapi defibrilasi,putar saklar ke posisi untuk memonitor ECG pasien.
12. Setelah penggunaan unit selesai, matikan unit dengan memutar saklar ke posisi о

Defibrilasi – Sinkronisasi ( Cardioversion)

Pada mode Cardioversion, shock dikirimkan kepasien bersamaan dengan gelombang R ECG dimana
jantung pasien masih bekerja.Ketika operator menekan tombol untuk memicu shock,unit akan
menunggu samapi gelombang R terdeteksi dan menyalurkan shock bersamaan dengan nya.
Defibrilasi Non-Sinkronisasi hendaknya hanya dilakukan hanya pada kondisi darurat akut seperti
Fibrilasi ventricular dimana deteksi QRS tidak dimungkinkan.
Untuk memonitor ECG pasien (dimana unit akan mendeteksi gelombang R) disarankan
menggunakan Pad atau Kabel ECG dikarenakan paddle dapat menyebabkan artifak jika dipakai
sebagai electrode monitoring ECG. GE merekomendasikan menggunakan kabel ECG pada mode
Cardioversion.
Jika menggunakan Pad, adhesive pad dapat dipasang sama dengan gambar pada defibrilasi non
sinkronisasi. Pastiakn tidak ada kabel ECG yang dihubungkan dengan unit.
Jika menggunakan kabel electrode ECG, gunakan electrode type silver/silver chloride,electrode type
ini tidak mengakibatkan polarisasi tegangan akibat shock.(polarisasi tengangan menyebabkan
seolah-olah timbul Cardiac Arrest pada gelombang ECG).

Langkah-langkah Cardioversion:
1. Set saklar energi untuk menyalakan unit
2. Unit akan menampilkan Lead I einthoven,jika menggunakan kabel ECG,lead lain dapat dipilih
dengan:
- Tekan menu “ ECG “ dengan tombol 7
- Tekan “ paddle I….III…aV…V “ untuk memilih lead
- Tekan “ 1 cm/mV” untuk memilih sensitivitas lead
3. Tekan “ Sync” untuk mengaktifkan mode cardioversion. LCD menampilkan tanda Sync.
4. Pastikan tanda hati berkedip-kedip bersamaan dengan tanda I ditiap QRS yang terdeteksi. Jika
tidak ,pilih lead lain yang mempunyai amplitude QRS lebih tinggi.
5. Angkat paddle dari kompartemen, pastikan handel dan electrode-nya kering. Usapkan krim
electrode secukupnya
6. Pilih level energy atau Autosequence
7. Selanjutnya sama dengan langkah Defibrilasi Non-Sinkronisasi seperti diatas. Bedanya ketika
tombol 2 dan 8 di paddle ditekan untuk memicu shock, unit tidak langsung mengeluarkan shock
tapi menunggu sampai tanda Sync

20
PENYAPIHAN DARI BANTUAN VENTILASI
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ditetapkan Oleh,
Klinis Januari 2012 Ketua Divisi PICU

Dr. Silvia Triratna, SpA(K)

1. Batasan
Pengurangan bertahap bantuan ventilasi mekanis oleh mesin sampai penderita dialihkan hingga
bernafas spontan.

2. Indikasi
- Keadaan klinis penderita stabil dengan FiO2 40%
- Bila ada sarana pemeriksaan AGD dapat ditentukan berdasarkan :
PaO2> 60 mmHg dengan FiO2< 35 mmHg
AaDO2< 350 mmHg pada FiO2 1.0
Rasio PaO2/FiO2> 200
- Fungsi ventilasi baik
Volume tidal nafas spontan > 5 cc/kg
Kapasitas vital (pada nafas spontan) > 10-15 cc/kg
PEEP < 4 cm H2O
- Hemodinamik stabil dan bebas dari kemungkinan gagal sirkulasi.
- Tidak ada gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit.

3. Modus Penyapihan
Tidak ada patokan yang paling tepat. Harus dilakukan percobaan dan pemantauan klinis/analisa gas
darah yang ketat serta tergantung dari toleransi penderita.
a. Percobaan dengan IMV
Pada penyapihan cepat, frekuensi IMV diturunkan 1-2 kali / 1-5 menit sambil mengawasi
keadaan klinis penderita.
Pada penyapihan lambat, frekuensi IMV diturunkan 20-25% setiap 2-4 jam.
Awasi klinis penderita dan AGD (bila tersedia sarananya). Bila respon tidak baik, frekuensi IMV
dikembalikan ke frekuensi semula kemudian diulang lagi keesokan harinya dan seterusnya.
b. Pressure Support
Biasanya dilakukan pada anak besar. Penderita dibantu dengan tekanan positif yang tetap
sepanjang inspirasi. Penderita mengatur sendiri irama nafas, waktu bertahap sampai ekstubasi.
c. Percobaan dengan CPAP
Lanjutan dari percobaan IMV. Bila frekuensi IMV 6 x/menit, modus dilalihkan ke CPAP. Ditunggu
1-2 jam bila memberikan respon baik dilakukan estubasi. Bila respon tidak baik kembalikan ke
IMV.

4. Tata cara penyapihan


a. Lakukan penyapihan pada pagi hari setelah penderita cukup istirahat di malam hari. Posisi anak
sebaiknya setengah duduk atau kepala dan dada dalam posisi yang lebih tinggi.
b. Semua obat sedasi dan pelumpuh otot sudah dihentikan dan habis pengaruhnya untuk
menghindari depresi pernafasan.
c. Setting ventilator
- FiO2 diturunkan bertahap 2-5% pada bayi, pada anak besar 5-10% pada bayi setiap 15-30 menit
sambil mengawasi keadaan klinis penderita (SpO2, HR, RR, sianosis, gelisah, berkeringat, dll)

21
- Pada siklus tekanan PIP diturunkan 2 cm H2O tiap 2 – 4 jam sampai batas kemampuan penderita
mengembangkan dinding dada. Setelah stabil baru turunkan frekuensi IMV.
- PEEP dikurangi tiap 2 cm H2O setiap 2–4 jam dan dipertahankan pada 2-3 cm H2O
d. Parameter kegagalan percobaan penyapihan
- Peningkatan / penurunan HR > 20 / menit
- Peningkatan frekuensi nafas > 10 / menit
- Tekanan diastolic naik / turun > 20 mmHg
- Penurunan kesadaran, gelisah
- Pernafasan paradoksai
- SpO2< 90%
- Perburukan hasil AGD
e. Ekstubasi
- Dilakukan pada penderita yang berhasil disapih
- Bernafas spontan dengan CPAP dan PEEP rendah dengan FiO2<0,4 selama 1-2 jam/beberapa
jam.
- Refleks batuk adekuat, lendir jalan tidak kental dan jumlahnya minimal
- Fungsi kardiopulmonal, neurologik, renal baik.
- Penderita sadar sepenuhnya.
- Hasil AGD baik (bila ada sarananya)

Persiapan ekstubasi
- Siapkan alat untuk melakukan reintubasi bila terjadi kegagalan ekstubasi
- Oksigen
- Puasa 2-3 jam sebelumnya
- Suction ETT dan berikan oksigensi dan ventilasi sesaat sebelum ekstubasi
- Berikan deksmetason 0,5 mg/kg (maksimum 10 mg) beberapa saat sebelum dan 6 jam setelah
ekstubasi.

Pemantauan pasca ekstubasi


Monitor ketat selama 24 jam. Tanda-tanda obstruksi jalan nafas : takikardia, takipnu, stridor, usaha
nafas meningkat.

22
KANULASI VENA JUGULARIS
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ditetapkan Oleh,
Klinis Januari 2012 Ketua Divisi PICU

Dr. Silvia Triratna, SpA(K)

Pengertian
Pemasangan Kanulasi Vena Jugularis

Tujuan
Menyediakan akses pembuluh darah vena yang cukup besar ke sirkulasi sentral untuk keperluan
pemantauan hemodinamik, pemberian cairan, dan pengambilan contoh darah vena.

Indikasi
1. Pemantauan tekanan vena sentral (CVP)
2. Pemberian sejumlah besar cairan vena.
3. Pemberian cairan hipertonik intravena.
4. Pemberian zat vasoaktif atau kemoterapeutik kuat.
5. Pemberian nutrisi parenteral.
6. Penempatan alat picu sementara.
7. Kurangnya akses intravena perifer.

Prosedur
Persiapan:
Persiapan Alat:
- Set kateter ukuran sesuai dengan umur, pisau scalpel, dan syringe 5 ml. (kateter dengan lumen
multiple dapat digunakan jika cairan perlu dimasukkan secara terus menerus berulang kali.
Kateter dengan lumen multipel saat ini tersedia dalam bentuk kateter dengan dua dan tiga
lumen.)
- Xylocaine 1 persen (tanpa epinefrin) dengan syringe berukuran sesuai dan jarum untuk anestesi
lokal.
- Benang ukuran 2-0, jarum, needle holder, pinset cirurgis, gunting steril
- Cairan intravena terpilih.
- Set pemberian cairan intravena dengan stopcock dan set pemanjang.
- Pompa infus volumetrik (boleh ada atau tidak)
- Larutan povidone iodine
- Kassa steril
- Manometer tekanan vena sentral atau sistem pemantauan bertekanan (jika ada)
- Penutup luka untuk tempat kanulasi
- Kain steril
- Sarung tangan steril
- Topi dan masker bedah
- Bilasan heparin (kateter lumen multipel)

Penatalaksanaan
1. Siapkan larutan intravena dan tabung. Tuliskan tanggal, jam, larutan, dan tambahan pada
kantong larutan tersebut. Tuliskan tanggal, jam, dan inisial perawat pada tabung.
2. Tengokkan kepala pasien berlawanan arah dengan tempat insersi.

23
3. Semua petugas di tempat harus mengenakan topi dan masker.
4. Kenakan sarung tangan steril
5. Basuh tempat insersi dengan larutan povidone-iodine dan biarkan selama 3 menit. Tempat ini
dibatasi oleh linea aurikularis posterior, bagian bawah telinga, 3 cm di bawah klavikula, dan di
sebelah medial trakea. Biarkan larutan kering.
6. Pasien pada posisi Trendelenburg. Hal ini membantu terjadinya distensi vena dan mencegah
terjadinya emboli udara.
7. Kateter dimasukkan oleh dokter dengan cara seperti di bawah ini:
a. Kenakan sarung tangan steril
b. Wajah, dada, dan bahu tertutup kain bolong steril. Leher ditinggalkan terbuka.
c. Kulit sekitar tempat yang akan dilakukan kanulasi disuntik dengan xylocaine.
d. Dokter berdiri pada bagian kepala tempat tidur.
e. Kanulasi untuk vena jugularis interna kanan lebih dipilih karena merupakan pembuluh
darah yang paling besar dan langsung masuk ke atrium kanan. Sebagi tambahan, risiko
pneumotoraks lebih kecil karena paru-paru kanan terletak lebih rendah di dalam rongga
dada daripada paru-paru kiri. Ada tiga cara: tengah, anterior, dan posterior. Cara
memasukkan dari posterior biasa dilakukan untuk mengurangi risiko tertusuknya arteri
karotis dan pneumotoraks. Namun cara memasukkan dari tengah secara teknis
merupakan cara yang paling mudah dan akan dibahas disini.
f. Kenali segitiga yang diukur oleh Clavicula, musculus sternoclido mastoideus ramus
clavicula dan ramus sternalis.
g. Jika pulsasi arteri karotis teraba di dalam segitiga ini, lakukanlah retraksi ke arah medial
untuk mencegah tidak sengaja tertusuk, dengan menempatkan dua jari sepanjang arteri.
Vena jugularis interna terletak lateral dari arteri.
h. Tusukkan jarum yang terpasang pada syringe 5 ml pada apeks segitiga. Jarum diarahkan
dengan sudut 30 sampai 60 derajat searah kaudal puting susu sisi ipsilateral.
i. Jarum dimasukkan beberapa sentimeter sementara mempertahankan tekanan negatif
pada syringe. Jika jarum sudah masuk ke dalam vena, darah akan mengalir dan teraspirasi
ke dalam syringe.
j. Jika jarum tidak masuk ke dalam vena, tarik jarum perlahan-lahan sementara
mempertahankan tekanan negatif pada syringe. Jika belum terdapat aliran darah yang
lancar, jarum dapat diarahkan kembali 5 sampai 10 derajat ke arah medial; namun tetap
diperlukan kewaspadaan tinggi untuk mencegah tertusuknya arteri karotis.
k. Setelah darah vena teraspirasi, segera lepaskan syringe dari jarum, dan tutuplah mulut
jarum dengan jari yang mengenakan sarung tangan steril. Hal ini mengurangi risiko
terjadinya emboli udara.
l. Masukkan kawat penuntun melalui jarum kira-kira sepanjang 10-15 cm. Kawat harus
dapat dimasukkan dan ditarik dengan mudah.
m. Tarik jarum ketika kawat penuntun telah berada pada posisi yang mantap.
n. Buatlah irisan kecil pada tempat insersi dengan pisau #11.
o. Masukan dilator vena melalui kawat penuntun dan ke dalam vena dengan gerakan
memutar.
p. keluarkan dilator
q. masukkan kateter melalui kawat penuntun dan ke dalam vena
r. keluarkan kawat penuntun jika kateter sudah mantap posisinya.
s. Sambungkan syringe 5 ml dengan kateter dan lakukan aspirasi untuk melihat adanya darah
sehingga penempatan dan kelancaran kateter dapat dipastikan.
t. Bilas kateter dengan larutan salin dan hubungkan dengan cairan intravena terpilih.
u. Jika menggunakan kateter lumen multipel, lumen proksimal dan/atau tengah dapat
ditutup dengan heparin kecuali diperlukan segera.
v. Jahit kateter pada tempatnya.

24
8. Berikan penutup luka yang steril pada tempat kanulasi.
9. Kembalikan pasien ke posisi yang diinginkan.
10. Periksa bunyi nafas pada kedua sisi.
Lakukan foto thoraks untuk memastikan penempatan kateter dan menyingkirkan adanya
pneumotoraks/hemotoraks. Foto thoraks harus menunjukkan ujung kateter di dalam vena cava
superior, di luar atrium kanan

25
KANULASI VENA SUBKLAVIA
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ditetapkan Oleh,
Klinis Januari 2012 Ketua Divisi PICU

Dr. Silvia Triratna, SpA(K)

Pengertian
Penyediaan akses vena melalui Vena Subklavia

Tujuan
Menyediakan akses pembuluh darah vena yang cukup besar ke sirkulasi sentral untuk keperluan
pemantauan hemodinamik, pemberian cairan, dan pengambilan contoh darah vena

Indikasi
1. Pemantauan tekanan vena sentral (CVP)
2. Pemberian sejumlah besar cairan vena.
3. Pemberian cairan hipertonik intravena.
4. Pemberian zat vasoaktif atau kemoterapeutik kuat.
5. Pemberian nutrisi parenteral.
6. Penempatan alat picu sementara.
7. Kurangnya akses intravena perifer

Prosedur
Persiapan:
Persiapan Alat:
- Kit untuk memasukkan jalur sentral dengan kateter, jarum panjang dengan ukuran sesuai
dengan usia pasien, dilator vena, kawat penuntun, pisau scalpel, dan syringe 5 ml. (kateter
dengan lumen multiple dapat digunakan jika cairan perlu dimasukkan secara terus menerus
berulang kali. Kateter dengan lumen multipel saat ini tersedia dalam bentuk kateter dengan dua
dan tiga lumen.) Xylocaine 1 persen (tanpa epinefrin) dengan syringe berukuran sesuai dan
jarum untuk anestesi lokal.
- Benang ukuran 2-0, needle holder, pinset cirurgis, gunting steril, jarum.
- Cairan intravena terpilih.
- Set pemberian cairan intravena dengan stopcock dan set pemanjang.
- Pompa infus volumetrik (boleh ada atau tidak)
- Larutan povidone iodine
- Kassa steril
- Manometer tekanan vena sentral atau sistem pemantauan bertekanan (jika ada)
- Penutup luka untuk tempat kanulasi
- Kain bolong steril
- Sarung tangan steril
- Topi dan masker bedah
- Bilasan heparin (kateter lumen multipel)
- Kain yang bersih untuk membuat gulungan kain.

Penatalaksanaan
- Siapkan larutan intravena dan tabung. Tuliskan tanggal, jam, larutan, dan tambahan pada
kantong larutan tersebut. Tuliskan tanggal, jam, dan inisial perawat pada tabung.

26
- Letakkan gulungan kain di bawah tubuh pasien dan di antara kedua tulang belikat. Untuk akses
vena sentral yang lama, vena subklavia merupakan tempat yang lebih dipilih karena pergerakan
leher tidak terpengaruh.
- Tengokkan kepala pasien berlawanan arah dengan tempat insersi.
- Semua petugas di tempat harus mengenakan topi dan masker.
- Kenakan sarung tangan steril
- Basuh daerah 4 cm di atas dan di bawah klavikula, ke arah medial dari garis tengah, dan ke arah
lateral dari sepertiga lateral klavikula. Biarkan larutan kering.
- Pasien pada posisi Trendelenburg. Hal ini membantu terjadinya distensi vena dan mencegah
terjadinya emboli udara.
- Kateter dimasukkan oleh dokter dengan cara seperti di bawah ini:
a. Kenakan sarung tangan steril
b. Wajah, dada, dan bahu tertutup kain bolong steril. Tempat yang akan ditusuk dibiarkan
terbuka.
c. Daerah sekitar tempat yang akan dilakukan kanulasi disuntik dengan xylocaine.
d. Permukaan inferior klavukula diraba, dan terdapat tuberkel kira-kira pada sepertiga sampai
setengah panjang klavikula dari sendi sternoklavikular. Jarum dimasukkan pada tempat ini.
e. Cara lain yaitu dengan mengenali pertemuan bagian tengah dan sepertiga medial klavikula.
Jarum dimasukkan 1 sampai 2 cm di bawah tempat ini.
f. Jarum yang terpasang pada syringe 5 ml dimasukkan dengan bevel menghadap ke atas
pada bidang horizontal. Jarum diarahkan ke medial dan agak ke atas, dan tekanan ke
bawah dipertahankan untuk menjaga jarum horisontal. Hal ini memungkinkan jarum
menyelip di bawah klavikula. Hindari insersi jarum yang terlalu lateral atau terlalu dalam
untuk mengurangi risiko pneumotoraks.
g. Berilah sedikit tekanan negatif dengan menggunakan syringe sementara memasukkan
jarum. Jika jarum sudah masuk ke dalam vena, darah akan mengalir dan teraspirasi ke
dalam syringe. Jarum dimasukkan lebih dalam 0.5 cm untuk memastikan tempatnya di
dalam vena.
h. Jarum diputar 90 derajat sehingga bevel sekarang berada di bawah, yang memudahkan
insersi kawat penuntun.
i. Segera lepaskan syringe dari jarum, dan tutuplah mulut jarum dengan jari yang
mengenakan sarung tangan steril. Hal ini mengurangi risiko terjadinya emboli udara.
j. Kawat penuntun, dengan ujung J menghadap ke bawah, dimasukkan melalui jarum kira-
kira sepanjang 10-15 cm. Kawat harus dapat dimasukkan dan ditarik dengan mudah.
Untuk mencegah masuknya kawat penuntun ke dalam vena jugularis, kepala pasien
dimiringkan ke arah bahu sesisi tempat insersi.
k. Tarik jarum ketika kawat penuntun telah berada pada posisi yang mantap.
l. Buatlah irisan kecil pada tempat insersi dengan pisau #11.
m. Masukan dilator vena melalui kawat penuntun dan ke dalam vena dengan gerakan
memutar.
n. Keluarkan dilator
o. Masukkan kateter melalui kawat penuntun dan ke dalam vena
p. Keluarkan kawat penuntun jika kateter sudah mantap posisinya.
q. Sambungkan syringe 5 ml dengan kateter dan lakukan aspirasi untuk melihat adanya darah
sehingga penempatan dan kelancaran kateter dapat dipastikan.
r. Bilas kateter dengan larutan salin dan hubungkan dengan cairan intravena terpilih.
s. Jika menggunakan kateter lumen multipel, lumen proksimal dan/atau tengah dapat ditutup
dengan heparin kecuali diperlukan segera.
t. Jahit kateter pada tempatnya.
u. Berikan penutup luka yang steril pada tempat kanulasi.
v. Kembalikan pasien ke posisi yang diinginkan.

27
w. Lakukan auskultasi bunyi nafas apakah sama pada kedua sisi untuk membantu
menyingkirkan pneumotoraks atau hemotoraks.
Lakukan foto thoraks untuk memastikan penempatan kateter dan menyingkirkan adanya
pneumotoraks/hemotoraks. Foto thoraks harus menunjukkan ujung kateter di dalam vena cava
superior, di luar atrium kanan.

28
KANULASI VENA PERIFER
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ditetapkan Oleh,
Klinis Januari 2012 Ketua Divisi PICU

Dr. Silvia Triratna, SpA(K)

Pengertian
Penyediaan akses vena melalui vena perifer

Tujuan
Menyediakan akses vena untuk pemberian cairan, obat-obatan, darah/produk-produk darah atau
suplemen nutrisi

Indikasi
1. Ketidakseimbangan elektrolit dan cairan
2. Ketidakmampuan pemberian obat-obatan dan cairan secara oral
3. Hipotermi atau hipovolemi yang membutuhkan penggantian cairan atau darah dengan segera

Prosedur
Persiapan:
Persiapan Alat:
1. Cairan intravena
2. Set infuse (micro- atau macro-drip tergantung kebutuhan)
3. Kateter intravena bila digunakan infusion pump pilihlan set infus yang sesuai
4. Tourniquet
5. Povidone iodine solution
6. Kapas alcohol
7. Kasa 4x4 cm
8. Salep povidone iodine
9. Sarung tangan steril
10. Spalk

Penatalaksanaan
1. Minta anak untuk bersikap kooperatif dengan menjaga posisi ekstrimitas pasien tetap diam,
bila perlu diberikan sedasi
2. Cuci tangan
3. Siapkan cairan intravena dan alat-alat yang akan digunakan. Gunakan teknik aseptik:
a. Pasang cairan intravena dengan set infus
b. Isi tabung drip sampai setengan penuh, untuk mengurangi resiko emboli udara
c. Gantung carian intravena dan tabung drip kira-kira 70 cm diatas tempat tusukan. Jika
terlalu tinggi, tekanan yang terbentuk dapat menyebabkan kerusakan pada vena.
d. Buka stopper, keluarkan udara dengan mengisi seluruh selang dengan cairan intravena.
e. Beri label cairan intravena, tulis tanggal, waktu, jenis cairan, obat-obat yang ditambahkan
kedalam cairan tersebut, dan laju tetesan. Juga beri label pada selang bertuliskan tanggal
dan waktu.
4. Pasang tourniquet pada ekstremitas. Periksa denyut pada distal ekstremitas untuk memastikan
jalannya aliran arteri.
5. Pilih vena yang akan dipungsi

29
6. Lepaskan tourniquet dan siapkan set infus:
a. Bersihkan daerah sekitar tempat yang akan dipungsi dengan povidone iodine solution
b. Tunggu hingga kering
c. Gunakan kapas alkohol untuk membersihkan bekas povidone iodine solution sehingga
vena yang akan dipungsi dapat terlihat
7. Pasang kembali tourniquet kira-kira 4 inci diatas tempat yang akan dipungsi
8. Pakai sarung tangan steril untuk menghindari kontak dengan darah pasien
9. Tusukan needle pada kulit dari lateral vena dengan posisi 45o, dan bevel menghadap atas.
10. Kurangi derajat kemiringan needle dan masukkan needle lebih dalam kira-kira sampai ¼ inci
(0,5 cm).
11. Apabila terlihat darah masuk kedalam syringe, lepas tourniquet.
12. Pegang needle yang tertusuk kedalam vena dengan satu tangan. Sedangkan tangan yang lain
pasang kateter kedalam vena.
13. Cabut needle dan hubungkan dengan selang infus yang berhubungan dengan cairan intravena.
14. Buka stopper dan biarkan cairan intravena mengalir. Perhatikan aliran cairan tersebut dalam
tabung drip. Perhatikan juga tempat tusukan terhadap adanya edema lokal ataupun
terbentuknya hematom
15. Lekatkan selang dengan plester
16. Beri salep povidone iodine disekitar tempat tusukan dan tutup dengan kasa steril
17. Atur tetesan sesuai jumlah yang diinginkan
18. Apabila kanulasi tersebut tetap gagal dilakukan, maka dipertimbangkan pemasangan vena
dalam atau vena seksi

30
VENOUS CUT DOWN
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ditetapkan Oleh,
Klinis Januari 2012 Ketua Divisi PICU

Dr. Silvia Triratna, SpA(K)

Pengertian
Penyediaan akses vena melalui Venous Cut Down

Tujuan
Menyediakan akses untuk pemberian cairan, obat-obatan, darah/produk-produk darah atau
suplemen nutrisi apabila akses intravena tidak dapat dilakukan

Indikasi
 Ketidakmampuan pemberian obat-obatan dan cairan secara intravena karena perfusi jaringan
yang buruk
 Hipovolemi yang membutuhkan penggantian cairan atau darah segera dengan menggunakan
jarum besar
 Pemasangan pacemaker
 Cardiac arrest pada bayi baru lahir atau pada anak yang kecil dimana pemasangan CVP tidak
berhasil dilakukan

Prosedur
Persiapan:
Persiapan Alat:
 Scalpel dengan pisau no 10 dan 11
 1 curved Kelley hemostat
 1 small mosquito hemostat
 Fine-toothed forceps
 Alat-alat dan bahan-bahan anestesi
 Gunting
 Klem duk
 Sekurang-kurangnya 2 kanul dengan ukuran yang berlainan
 1 selang infus steril
 kasa steril 4x4 cm
 Disposable syringe 5cc
 Self-retaining retractors
 Small rake
 Needle holder
 Benang sutra ukuran 3-0 dan 4-0
 Larutan saline
 Povidone iodine solution
 Kapas alkohol
 Kasa steril 4x4 cm
 Salep antibiotik
 Sarung tangan steril

31
Penatalaksanaan
 Persiapan:
1. Pilih lokasi yang sesuai kira-kira 2 jari diatas malleolus medialis, palpasi daerah tersebut
untuk memastikan lokasi vena.
2. Lakukan pembersihan dengan povidone iodine solution, lalu tunggu hingga kering (sekitar 3
menit)
3. Bersihkan bekas povidone iodine solution dengan kapas alkohol
4. Pakai sarung tangan steril
5. Tutup daerah tindakan dengan duk bolong
6. Lakukan anestesi.
 Pemasangan:
1. Lakukan insisi pada kulit sampai jaringan subkutaneus. Insisi dilakukan secara transversal,
dari anterior tibia melewati malleolus medialis sampai ke posterior tibia diatas vena.
2. Pisahkan kulit yang diinsisi dengan ibu jari dan jari telunjuk
3. Masukkan curved hemostat dengan posisi menghadap kebawah
4. Dengan menggunakan 1 manuver balikkan posisi curved hemostat sehingga posisi curved
menghadap atas
5. Buka hemostat tersebut dan identifikasikan vena tersebut. Apabila vena tersebut masih
belum dapat diidentifikasikan, bendung daerah proksimal kaki tersebut sehingga darah
akan terbendung dalam vena tersebut dan vena dapat dengan mudah diidentifikasi.
6. Masukkan small straight hemostatdibawah vena tersebut
7. Isolasi vena tersebut dengan menggunakan 2 ikatan.
8. Pilih kanul 1 ukuran lebih besar dari ukuran vena yang terlihat, hubungkan selang infus
pada kanul.
9. Terdapat berbagai macam teknik untuk memasukkan kanul pada vena saphena:
- Vena diangkat dan dilakukan insisi secara longitudinal diantara 2 ikatan benang.
Gunting iris dimasukkan kedalam vena untuk membesarkan lumen vena agar kateter
dapat dimasukkan
- Teknik lain adalah dengan menginsisi dengan ujung pisau no 11 pada sisi lateral vena.
Insisi secara transversal ini memotong separuh dari diameter vena, sehingga dengan
menggunakan gunting iris atau vein introducer kateter dapat dimasukkan. Vein
introducer lebih sering dipilih karena memberikan trauma yang ringan pada jaringan
dan dapat memasukkan kateter dengan lebih mudah.
10. Masukkan kanul kedalam vena
- Vein introducer dapat dimasukkan kedalam vena yang terpotong untuk
mempermudah masuknya kanul. Dengan bevel menghadap keposterior dari dinding
vena, kendurkan ikatan proksimal dan secara perlahan masukkan kanul tersebut.
Fiksasi vena dengan tarikan ringan.
- Metode lain adalah dengan memasukkan kanul melalui sisi distal dari luka dengan
melakukan insisi. Menggunakan needle no 14G atau yang lebih besar ditusukkan
kearah kulit dari sisi dalam insisi pada kulit sebelah distal dimana hal ini dilakukan
untuk mencegah infeksi pada kulit. Lalu masukkan kanul setelah jarum dicabut seperti
cara diatas. Hal ini mengurangi insiden infeksi pada tempat insisi dan pada vena,
karena kanul tidak melalui luka insisi.
11. Lakukan aspirasi untuk memastikan posisi kanul benar kemudian lanjutkan dengan
memasukkan beberapa ml larutan saline untuk mencegah terjadinya bekuan darah serta
untuk menjamin tidak terdapatnya sumbatan.
12. Pasang cairan intravena
13. Ikat vena beserta kanul pada sisi proksimal
14. Ligasi sisi distal
15. Tutup luka

32
33
TRANFUSI DARAH
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ditetapkan Oleh,
Klinis Januari 2012 Ketua Divisi PICU

Dr. Silvia Triratna, SpA(K)


Pengertian
Pemberian darah

Tujuan
 Memperbaiki volume intravaskular
 Meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen

Indikasi
 Perdarahan atau syok hipovolemik
 Anemia berat

Prosedur
Persiapan:
Persiapan Alat:
1. Darah (PRBC, packed red blood cells atau whole blood)
2. Set pemberian intravena macrodrip dengan filter 170-μ. (Pada pasien yang menerima darah
selama bypass kardiopulmonar, gunakan filter mikroagregat dengan filter 20- sampai 40-μ.
Filter mikroagregat dapat juga berguna untuk membuang granulosit dan debris platelet,
sehingga mengurangi risiko demam akibat reaksi transfusi)
3. Normal salin

Penatalaksanaan
1. Ambil spesimen darah untuk pemeriksaan golongan darah dan crossmatch, dan letakkan di
dalam tabung khusus bank darah. Beri label pada tabung:
 Nama lengkap pasien
 Nomer identifikasi
 Tanggal, jam, dan inisial orang yang mengambil spesimen
 CATATAN: Pemberian label yang benar sangat penting untuk memastikan pasien menerima
produk darah yang sesuai.
2. Pasang akses intravena dengan kateter intravena ukuran 18 atau 19 dan mulailah infus normal
salin dengan kecepatan bebas.
3. Ambil darah dari bank darah. Darah harus sudah diberikan dalam waktu 4 jam untuk mencegah
proliferasi bakteri dan hemolisis sel darah merah, yang dapat terjadi jika darah dibiarkan pada
suhu ruangan.
4. Suruh pasien menyebutkan namanya (jika pasien sadar dan kooperatif), kemudian cek gelang
pengenal.
5. Mencocokkan gelang pengenal pasien, label darah, dan formulir permintaan oleh dua orang
petugas. Keterangan berikut ini harus cocok:
 Nama pasien
 Nomor identifikasi pasien atau nomor unit
 Nomor donor atau unit
 Golongan darah ABO dan resus
 Periksa juga tanggal kadaluwarsa

34
6. Periksa tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, frekuensi napas, dan suhu)
7. Sambungkan darah ke set pemberian macrodrip intravena dengan filter yang berukuran sesuai
8. Isi selang dengan darah
9. Periksa kelancaran kateter intravena yang akan digunakan untuk pemberian. Jika terdapat infus
larutan intravena lainnya selain normal salin, bilas selang dengan normal salin.
10. Hubungkan selang darah ke selang intravena yang sudah ada atau sambungkan langsung ke
kateter intravena.
11. Infus darah perlahan-lahan (10 sampai 15 tetes per menit) selama 15 menit pertama dan
observasi pasien dengan ketat. Awasi tanda dan gejala reaksi transfusi.
12. Sesuaikan kecepatan aliran berdasarkan kondisi pasien. Darah tidak boleh diinfuskan lebih dari
4 jam.
13. Periksa tanda vital setiap jam untuk memantau lamanya transfusi dan lanjutkan dengan
mengobservasi adanya tanda-tanda dan gejala reaksi transfusi.
14. Bilas selang dengan salin jika transfusi darah telah selesai.

Jika terdapat tanda dan gejala rekasi transfusi, lakukan langkah berikut:
1. Hentikan transfusi darah
2. Ganti selang dan mulai infus normal salin dengan kecepatan tertentu agar kateter intravena
tetap lancar
3. Periksa tanda-tanda vital
4. Pada reaksi transfusi yang ringan dapat diberikan antihistamin dan melanjutkan transfusi; tetapi
pada kasus reaksi transfusi yang berat transfusi tidak dilanjutkan dan diberikan kortikosteroid.
Bila terjadi syok anafilaksis diberikan adrenalin.
Ikuti prosedur rumah sakit untuk reaksi transfusi. Biasanya termasuk pengambilan sampel darah
dengan antikoagulan dan darah beku pos transfusi dan sediaan urin.

35
SYOK
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ditetapkan Oleh,
Klinis Januari 2012 Ketua Divisi PICU

Dr. Silvia Triratna, SpA(K)

Definisi
Syok adalah sindrom klinik akibat kegagalan sistim sirkulasi dalam mencukupi kebutuhan nutrien dan
oksigen dari segi pasokan maupun penggunaannya untuk metabolisme selular jaringan tubuh,
sehingga terjadi defisiensi akut oksigen di tingkat selular.
Manifestasi Klinis

Secara klinis syok terbagi ke dalam 3 fase yaitu : fase kompensasi, dekompensasi dan irreversible.

Gejala Klinis Kompensasi Dekompensasi Irreversible


Kehilangan darah (%) Sampai dengan 25 25-40 >40
Frekuensi jantung Takikardi + Takikardi ++ Takikardi/Brakikardi
Volume nadi Normal/menurun Menurun + Menurun ++
Pengisian kapiler Normal/meningkat Meningkat + Meningkat – –
Kulit Dingin, pucat Dingin, Mottled Pucat mati
RR Takipnu + Takipnu ++ Sighing respiration
Tingkat kesadaran Agitasi ringan Berkooperasi Bereaksi hanya kepada
rasa sakit atau tidak
responsif

Etiologi syok.
Diklasifikasikan :
1. Syok Hipovolemik
Jenis syok ini paling sering terjadi pada anak. Terjadi kekurangan volume intravaskular.Aliran
darah ke jaringan dan organ menurun.
2. Syok kardiogenik
Syok terjadi akibat disfungsi miokard. Terjadi kegagalan pompa jantung.
3. Syok distributif
Syok distributif disebabkan oleh maldistribusi aliran darah. Venous return menjadi tidak
mencukupi oleh karena darah terkumpul di ekstremitas, menyebabkan penurunan preload,
akibatnya cardiac output turun dan perfusi jaringan berkurang.
Terdapat 3 jenis syok distributif :
1. Syok anafilaktik, terjadi akibat adanya reaksi alergi, ditandai vasodilatasi masif dan
peningkatan permeabilitas kapiler.
2. Syok Neurogenik, terjadi apabila tonus simpatis menjadi hilang, menyebabkan vasodilatasi
arteri dan vena yang masif.
3. Syok septik, terjadi karena infeksi.
4. Obstruktif
Hambatan aliran darah ke luar jantung. Contohnya coartasio aorta

36
Patogenesis terjadinya syok

Syok hipovolemik Syok septik Syok kardiogenik

Mediator

Kebocoran Depresi
vasodilator
Kapiler miokard

Preload  Kontraktilitas 

Cardiac output  Tekanan darah 

Terkompensasi Pengeluaran simpatetik

Cardiac output dan Vasokontriksi


tekanan darah denyut jantung 
membaik
Kontraktilitas 

Perfusi miokardial 

Kebutuhan oksigen miokard 

Cardiac output  Iskemia jaringan

Pelepasan mediator Fungsi sel 

Kematian sel Hilangnya

Autoregulasi
Kematian
mikrosirkulasi
Diagnosis
1. Riwayat penyakit. Dari riwayat penyakit penderita dapat diperoleh dugaan dan penyebab
syok yang sangat penting untuk didiagnosis dan tatalaksana yang tepat. Sebagian penyebab
syok adalah syok hipovolemik karena dehidrasi atau perdarahan (trauma) diikuti oleh spesis
dan kelainan jantung bawaan.
2. Pemeriksaan klinis
Tentukan status kardiovaskuler antara lain frekuensi jantung, kualitas nadi, kecepatan

37
pengisian kapiler (capilary refill) , kaki tangan dingin, gangguan perfusi kulit (pucat, mottled ,
sianosis) dan tekanan darah.
Pengaruh gangguan sirkulasi terhadap organ vital lain : yaitu frekuensi dan tipe pernafasan,
tingkat kesadaran) dan produksi urin.

Tatalaksana
Resusitasi awal :
1. Airway
Berikan oksigen (FiO2 100%), bila perlu ventilatory support
2. Breathing
3 Circulation
Pasang akses vaskuler secepatnya untuk resusitasi cairan dan berikan cairan kistaloid atau
koloid sebanyak 10-20 cc/kgBB (selama kurang dari 10-20 menit) dan bisa diulang 2-3 kali
sampai nadi teraba kembali (setelah dilakukan pemantauan)

Pemantauan awal :
1. Nilai respon penderita terhadap pemberian fluid challenge (loading) dengan memantau
status kardiovaskuler/tanda vital dan perfusi perifer.
2. Pasang kateter urin untuk menilai respon perbaikan sirkulasi dnegan memantau produksi
urin
3. Ambil pemeriksaan urin darah cito untuk darah tepi, analisa gas darah, kadar glukosa dan
elektrolit (bila perlu kultur, resistensi dan golongan darah).
Bila dilakukan pemantauan respon positif tetapi syok belum teratasi maka resusitasi dapat
diulang 2-3 kali. Bila tidak ada respon kemungkinan syok yang lain.

Resusitasi lanjutan :
1. Bila resusitasi lanjutan telah diberikan (2-3 fluid challenge) dimana kurang lebih 40-50% dari
volume darah telah diberikan namun masih belum ada respon yang adekuat, maka dilakukan
intubasi dan bantuan ventilasi. Evaluasi hasil analisis gas darah dan koreksi asidosis
metabolik bila pH< 7,15.
2. Bila masih terdapat hipotensi dan nadi tidak teraba sebaiknya dipasang kateter vena sentral
untuk pemberian resusitasi cairan berikutnya berdasarkan nilai CVP.
3. Nilai kembali kenaikan CPV setelah pemberian fluid challenge secara berhati-hati.
4. Evaluasi apakah efek inotropik negatif yang terjadi pada syok telah dikoreksi, sebelum
pemberian obat inotropik dimulai. Obat vasoaktif diberikan bila diyakini tidak terdapat lagi
hipovalemia dan oksigensi telah adekuat.
5. Bila kadar Hb< 5g/dl, koreksi dengan tranfusi PRC (10 ml/kgBB).

Medikamentosa
1. Dopamine
Diberikan pada hipotensi atau perfusi perifer buruk dengan volume intravaskuler cukup dan
irama jantung stabil.

Dosis Efek
5-10 mcg/kg/min IV Meningkatkan kontraktilitas miokard, curah jantung, dan
konduksi otot jantung
10-20 mcg/kg/min iv Vasokontriksi perifer dan tekanan darah sentral
>20 mcg/ kg/min iv Vasokontriksi tanpa efek inotropik
Dosis maksimum yang dianjurkan 15 mcg/kg/min. Bila dosis maksimum (12.5-15
mcg/kg/min) tercapai belum memberikan efek adekuat tambahkan inotropik lainnya sesuai
keadaan hemodinamik.

38
Dopamin dapat menyebabkan takikardi (meningkatkan kebutuhan oksigen miokard),
aritmia, supra dan ventrikular takikardia dan hipertensi. Dopamin dosis tinggi dapat
menyebabkan vasokontriksi perifer berat dan iskemia.
2. Dobutamin
Diberikan pada hipoperfusi.
Paling efektif untuk gagal jantung kongestif berat dan syok kardiogenik terutama
kardiomiopati karena bisa menurunkan resistensi vaskuler perifer.
Dosis dimulai 5 mcg/kg/min dan dinaikkan bertahap sampai 12.5 mcg/kg/min.
Dobutamin sedikit dapat menyebabkan takikardia, takiaritmia, atau ectopic beat. Efek
samping lain adalah mual, muntah dan hipotensi.
3. Epinephrine
Diberikan pada perfusi sistemik buruk atau hipotensi non hipovolemik, yaitu bila saat
resusitasi terdapat bradikardi, asistole atau nadi tak teraba.
Dosis rendah < 3mcg/kg/menit meningkatkan kontraktilitas miokard, laju denyut jantung,
TD sistolik dan tekanan nadi.
Dosis > 3 mcg/kg/menit peningkatan TD sistolik dan diastolik dan menyempitkan tekanan
nadi.
Dosis dimulai pada 0.05mcg/kg/min IV dan titrasi sampai memberikan efek. Pada kasus berat
dosis 2-3 mcg/kg/min IV.
Efinefrin dapat menyebabkan supraventrikular, ventrikular takikardia dan ventrikular
ektopik.
4. Norepinephrine
Merupakan vasopresor yang dipakai untuk hipotensi yang resistensi terhadap pemberian
bolus cairan dosis tinggi.
Dosis hampir sama dengan epinephrine dimulai pada 0,05 mcg/kg/min IV.

Pemantauan Lanjut :
1. Carilah penyebab syok lainnya yang mungkin terjadi (perdarahan akibat trauma tumpul
abdomen, pneumothoraks, syok kardiogenik, tamponade jantung, dll). Foto thoraks
secepatnya bila kondisi klinis stabil, konsultasi bedah bila diperlukan.
2. Setelah diresusitasi cairan dilakukan, berbagai kemungkinan disfungsi organ lain akibat syok
perlu dievaluasi untuk tatalaksana lanjutan.
a. Gagal prerenal (ATN = Acute Tubular Necrosis) periksa kadar ureum, kreatinin dan
fraksi eksresi natrium.
b. ARDS = (Acute Respiratory Distress Syndrome/Shock Lung) edema dan kerusakan
jaringan paru dapat terjadi pasca syok, bantuan ventilasi mekanik dan pemberian
PEEP mungkin diperlukan.
c. Depresi miokardinal. Untuk memperbaiki kontraktilitas jantung obat inotropik positif
dan pemantauan intensif mungkin diperlukan (pemasangan Swans Gans Kateter)
d. Gangguan koagulasi/pembekuan. Akibat lanjut syok, dapat timbul DIC (Disseminated
Intravascular Coagulation), hal tersebut perlu dicermati, bila timbul kecenderungan
perdarahan. Untuk menegakkan diagnosis dilakukan pemeriksaan gangguan
pembekuan/masa perdarahan (BT/CT, PT/PTT, FDP, Trombosit).
e. SSP, dan organ lain
f. Evaluasi gejala sisa. SSP sangat penting, mengingat organ ini sangat sensitif terhadap
hipoksik iskemik yang dapat terjadi pada syok berkepanjangan (prolonged shock).
Demikian pula organ lainnya harus dipantau seperti hati dan saluran pencernaan.

Syok Septik
1. Definisi :
Sindroma respons inflamasi sistemik (SIRS) : respons system terhadap berbagai kelainan klinis

39
berat (misalnya) infeksi, trauma, luka bakar). Sindroma tersebut muncul bila ditemukan dua atau
lebih keadaan berikut ini :
- suhu tubuh > 38oC atau <36oC
- denyut jantung per menit > 2SD diatas nilai normal untuk umur.
- Laju nafas per menit > 2SB diatas nilai normal untuk umur.
- Hitung lekosit > 12 x 109/L, <4 x 109 atau > 10% sel batang.
Sepsis : respons sistemik terhadap infeksi (SIRS plus infeksi)
Syok septik : Sepsis yang disertai hipotensi walaupun telah diberi resusitasi cairan adekuat,
ditambah gangguan perfusi seperti pada sepsis berat. Anak dapat mengalami gangguan perfusi
walaupun belum ditemukan hipotensi
Hipotensi : tekanan darah sistolik > 2 SB dibawah rata-rata (MAP). Kegagalan sirkulasi terjadi bila
:
- MAP M< 40 mmHg untuk usia 3-6 bulan
- MAP M< 45 mmHg untuk usia 6-12 bulan
- MAP M< 50 mmHg untuk usia 1-4 bulan
- MAP M< 55 mmHg untuk usia 4-10 bulan
- MAP M< 60 mmHg untuk usia 10-14 bulan
- MAP M< 65 mmHg untuk usia 14-18 bulan

B. Patofisiologi :

Fokus infeksi

Produk dinding sel


bakteri
Produk dinding sel Produk dinding sel
bakteri bakteri
Aktivas sistim Mediator primer
koagulasi
(TNF, IL-1, lain-
Aktivasi molekul
lain)
Stimulasi Kallkrein- Endotel/lekosit Stimulasi PMN
kinin
Mediator sekunder

Vasodilatasi dan (PAF, elcosanoids,


Syok interleukin Kebocoran kapiler
lain) dan kerusakan
Kerusakan endotel MODS
endotel
Kematia
n
C. Diagnosis Banding :
1. Infeksi : bakteriemia/meningitis, virus ensefalitis, rikettsiae, sifilis, reaksi vaksin,
reaksi toxin-mediated
a. Kardiopulmonal : pneumonia, emboli pulmonal, gagal jantung kongestif, aritmia,
perikarditis, miokarditis.
b. Metabolik-endokrin : insufisiensi adrenal, gangguan elektrolit, diabetes
isipidus,diabetes mellitus, gangguan metabolic, hipoglikemia, sindroma reye.
c. Gastrointestinal : Gastroenteritis dengan dehidrasi, volvulus, intusepsi.
d. Hematologi : anemia, methemoglobin, leukemia atau limfoma.
e. Neurologi : intoksikasi, perdarahan intrakranial, trauma.

40
f. Lain-lain : anafilaksis, SHU, Sindroma Kawasaki, eritema multiform.

D. Manifestasi Klinis :
Manifestasi klinis yang mungkin terjadi pada tahap awal atau tahap lanjut penyakit sangat
bervariasi tetapi pada umumnya spesifik untuk usianya.

Syok Septik hangat Syok Septik dingin


Takikardia Takikardia
Nadi kuat Nadi lemah
Penurunan kesadaran Penurunan kesadaran
Tekanan nadi lebar (tek diastolic menurun)Tekanan nadi sempit
Perfusi menurun Perfusi menurun
Produksi urin menurun Produksi urin menurun
Pengisian kapiler melambat atau cepat Pengisian kapiler melambat
Ekstrimitas hangat Ekstrimitas dingin, berbecak

Manifestasi yang sering ditemukan :


- Sistemik : demam (> 38,5oC)
- Neurologis : penurunan kesadaran yang jelas : iritabel, letargis, tidak ada kontak dengan
sekeliling, tidak memberi respon yang sesuai terhadap stimulasi, menangis lemah,
hipotonia atua hipertonia, gerakan abnormal atau kejang nyata.
- Kardiovaskuler : peningkatan denyut jantung/takikardia, perfusi perifer tidak adekuat,
waktu pengisian kapiler memanjang (> 2 detik), ekstremitas dingin, produksi urin menurun
(< 1 ml/kgBB/jam).
- Gastrointeritis : malas makan, cenderung muntah atau mencret, distensi abdomen dengan
atau tanpa nyeri, organomegali (terutama hati)
- Kulit : pucat dan berbecak atau keabuan, dan ruam mungkin muncul
- Lain-lain : organ mengalami malfungsi : hipoglikemia, hipokalsemia

E. Pemeriksaan lainnya :
- Pemeriksaan fisik : vital sign, skalakoma Glasgow, pemeriksaan dari kepala sampai jari kaki.
- Laboratorium : leukositosis (>15.000/mm3) dengan pergeseran kekiri : lekopenia  sepsis
berat, trombositopenia (< 100.000/mm3) kultur dan pewarna gram dari darah, cairan LCS,
urin, urinalisis, LED, Rontgen thoraks (berdasarkan anamnesis dan tanda fisis yang
ditemukan), elektrolit, glukosa, uji fungsi hati, CRP.

F. Tatalaksana :
Tindakan yang harus segera dilakukan pada anak yang dicurigai sepsis dan ditemukan adanya
atau ancaman syok harus mengikuti prinsip A, B, C resusitasi (airway, breathing, circulation)
diikuti dengan terapi khusus untuk organisme yang mungkin menjadi penyebabnya.
a. Pertahankan jalan nafas, intubasi semielektif dan ventilasi untuk memaksimalkan fungsi
respirasi dan mengontrol edema baru.
b. Berikan oksigen dengan aliran tinggi dengan mask. Dapat diusahakan assisted ventilation
jika usaha nafas pasien baik dan lemah atau pada keadaa dimana terapi oksigen tidak
adekuat. Resusitasi cairan lebih dari 40 ml/kg mungkin memerlukan dukungan ventilator.
c. Berikan bolus cairan (ml/20kgBB) kristoid dalam 10 menit, cepat dan dapat diulangi 3 kali
atau sampai 200 mg/kgBB, bila tidak ada perbaikan klinis. Bila masih juga tidak ada
perbaikan dapat diberikan koloid lebih dari 60 ml/kgBB. Cairan koloid lebih berhasil
digunakan untuk mengatasi syok septik dibandingkan dengan cairan kristaloid. Bila belum
juga teratasi perlu dilakukan pemasangan CVP untuk menjamin pemberian cairan yang

41
adekuat.
d. Atasi hipoglikemia dengan memberikan glukosa 10%.
e. Pemberian antibiotika harus disesuaikan dengan kuman penyebab. Penyebab syok septik
terutama adalah bakteri gram negatif disamping gram positif. Biasanya pada tahap awal
diberikan antibiotika yang bersifat broad spectrum, seperti Cefalosporin generasi ketiga
(cefoxime) sambil menunggu hasil kultur dan resistensi.
f. Bila perfusi masih tidak baik setelah pemberian koloid 60 ml/kg atau jika CVP lebih dari 10-
15 mmHg, maka pemberian obat-obat inotropik sangat dibutuhkan. Dopamin biasanya
merupakan obat pilihan pertama mulai dari dosis 5-10 mcg/kgBB/menit dapat dinaikkan
bila perlu. Bila tidak berhasil, maka dapat diberikan dobutamin dengan kombinasi dopamin
dosis rendah akan memperbaiki curah jantung dan menguntungkan perfusi ginjal. Bila
masih tidak berhasil dan hipotensi masih berlanjut dapat dicoba pemberian isoprenalin
atau adrenalin. Pada syok septik yang berat dan berlanjut dimana telah terjadi peningkatan
SVR dapat dipikirkan pemberian vasodilator perifer (sodium nitroprusside).
g. Dapat diberikan kortikosteroid tiap 6 jam selama 2-3 hari : Dexamethason 1-3
mg/kgBB/hari atau methylprednisolon 10-30 mg/kgBB/hari.
h. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit dilakukan sesuai hasil
pemeriksaan yang ada. Bila terdapat hipokalsemia harus dikoreksi secara hati-hati, karena
bila terlampau cepat dapat menyebabkan bradikardia.

Syok Anafilaksis
Reaksi alergi yang berat (tipe I) dapat menyebabkan syok anafilaksis dan penyebab tersering adalah
alergi obat (penisilin, zat kontras radiografi). Reaksi anafilaksis bersifat life threatening dengan gejala
klinis timbulnya rash kemerahan pada kulit, wheezing, stridor atau edema larings dan syok distributif
akibat pelepasan mediator yang menimbulkan vasodilatasi akut pembuluh darah serta kehilangan
cairan intravaskuler akibat gangguan permeabilitas kapiler. Sehingga penatalaksanaan utama syok
anafilaktik ditujukan untuk mempertahankan jalan nafas yang lancar, pemberian vasokonstriktor
(adrenalin) dan resusitasi cairan yang adekuat.

Tatalaksana
1. Hentikan pemberian alergen penyebab (bila mungkin), berikan adrenalin 100 mg/kgBB/IM.
2. Pertahankan jalan nafas yang lancar dan pernafasan yang adekuat. Bila terdapat wheezing
dapat diberikan nebulasi adrenalin (5 ml dengan larutan 1:1000) atau dilakukan
intubasi/sargical airway bila terdapat sumbatan jalan nafas.
3. Periksa status penderita, bila terjadi arrest lakukan segera resusitasi kardio pulmonal (CPR),
pasang segera akses vaskuler untuk pemberian resusitasi cairan (20ml/kgBB) secara
IV/intraoseal).
4. Re assesment ABC resusitasi dan diberikan tindakan CPR lanjutan :
- Bila masih dilanjutkan wheezing berikan inhalasi salbutamol (5 mg setiap 15 menit)
- Bila perlu dilanjutkan dengan pemberian hidrokortison (4mg/kgBB/IV), jika perlu dapat
ditambahkan aminofilin drip (dosis initial 6 mg/kgBB/IV dilanjutkan 1 mg/kg/jam) atau
salbutarnol drip (initial 4-6 mg/kg/IV selanjutnya 0,5-1mg/kg/menit).
- Bila masih terdapat syok, resusitasi cairan dilakukan dengan pemberian koloid (maksimal
20 ml/kg/hari) dilanjutkan dengan obat inotropik.

Syok kardiogenik
Pada syok kardiogenik gangguan fungsi jantung terutama disebabkan depresi kontratilitas miokard,
yang dapat terjadi pada pasca operasi jantung, dekompensasi penyakit jantung kongenital,
miokarditis atau kardiomiopati serta distritmia jantung.
Tatalaksana

42
1. Oksigenasi adekuat, pertahankan PaO2 lebih dari 65-70 mmHg
2. Koreksi gangguan asam basa dan elektrolit yang terjadi.
3. Kurang rasa sakit dan ansietas
4. Atasi distritmia jantung yang mungkin terjadi
5. Kurangi kelebihan preload dengan diuretika.
6. Fluid challenge diberikan secara hati-hati untuk memperbaiki kontraktilitas jantung bila tidak ada
udema baru, pantau dengan berdasarkan nilai CVP/POAP.
7. Perbaiki kontraktilitas jantung dengan obat inotropik tanpa menambah konsumsi oksigen
miokard.
8. Kurangi beban afterload (SVR tinggi) dengan venodilator.
9. Atasi hal-hal yang berkaitan dengan penyebab primer kelainan jantung.

Syok obstruktif
Pada keadaan ini terjadi hambatan mekanis pengeluaran/pengaliran darah keluar jantung yang
dapat disebabkan oleh tamponade jantung, pneumo thoraks tensoion atau emboli paru masif.
Karakteristik hemodinamik yang ditemukan adalah penurunan curah jantung, peningkatan SVR dan
self vertikular filling pressure yang bervariasi tergantung penyebab. Tindakan bedah misalnya
perikardiosentesis pada tamponade jantung atau pemasangan WSD pada pneumotoraks merupakan
tindakan life saving.

Syok disosiatif
Pada keadaan ini walaupun curah jantung dan aliran darah sistemik masih normal, terjadi definiensi.
Akut oksigen di tingkat seluler akibat gagalnya pelepasan oksogen untuk metabolisme jaringan. Hal
tersebut terjadi pada keadaan keracunan monoksida (CO) atau methemoglobinemia. Keadaan yang
terakhir ini perlu dipikirkan bila penderita tetap sianotik walaupun telah diberikan O2 100% tanpa
kelainan jantung, sedangkan intoksikasi CO biasanya dipikirkan bila terdapat syok persisten pasca
tramuma stroke inhalation. Tetapi oksigen hiperbarik dapat dicoba bila telah terdapat gangguan
neurologik. Pada methemoglobinemia (kadar >%) dapat diberikan tetapi methylene bule intravena

43
KERACUNAN ASAM FORMIAT
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ditetapkan Oleh,
Klinis Januari 2012 Ketua Divisi PICU

Dr. Silvia Triratna, SpA(K)

1. Batasan
Kontak yang tidak sengaja dengan asam formiat yang menyebabkan kerusakan kulit atau mukosa.

2. Etiologi
Asam cuka atau asam semut yang merupakan asam kuat (pH<2). Sifat tidak berwarna, jernih, berbau
merangsang.

3.Patologi
Zat korosif dapat menimbulkan edema dan bendungan lapisan submukosa disertai peradangan dan
trombosis pembuluh darah, pengelupasan bagian atas dan nekrosis otot saluran cerna yang dsusul
infeksi bakteri dan diikuti fibrsis. Pada keadaan yang berat mukosa rusak disertai fibrosis da
pengkerutan dengan akibat stenosis.
Zat korosif bersifat asam dapat menmbulkan nekrosis kagulatif jaringan. Kerusakan esofagus akibat
zat korosif yang bersifat asam biasanya ringan dibandingkan kerusakan lambung.

Holiger membagi kerusakan esofagus dan lambung menjadi 3 derajat.


Derajat I: hiperemis dan edema mukosa, dapat terjadi pengelupasan yang bersifat superfisial
Derajat II: Userasi mukosa dan transmukosa, perluasan eksudan ke lapisan otot dan saluran cema.
Derajat III: Ulserasi dan nekrosis pada seluruh lapisa esofagus dan atau lambung dan terjadi
penetrasi ke jaringan sekitarnya.

4. Manifestasi Klinik
Kerusakan yang ditimbulkan korosif dapat bersifat ringan (tidak meimbulkan kerusakan yang berarti)
atau berat (sampai timbul ulkus atau perforasi)
Gejala berupa hipersalivasi, nyeri ringan sampai berat pada bibir, mulut, tenggorokan, leher, dada
dan abdomen.
Nyeri menelan
Dapat terjadi luka bakar pada kulit, bibir, mulut, tenggorokan, esofagus dan lambung
Tanda kegawatan : asfiksia, renjatan, mediastinitis dan periotonitis.

Diagnosis
Ditegakkan dengan anamesis adanya paparan terhadap suatu racun/zat korosif, timbulnya gejala-
gejala dalam kurun waktu tertentu setelah paparan dan gejala harus cocok dengan zat korosif
tersebut.
Anamnesis: jenis zat korosif, seberapa banyak zat yang tertelan, lama paparan terjadi,tindakan
pertama yang dilakukan.
Gejala klinik: timbul nyeri dan sulit menelan, tak mau minum dan makan, hipersalivasi, mual, mutah,
nyeri dada, nyeri epigastrium. Hematemesis, sesak afas dan demam yang baru timbul kemudian.
Tanda klinik erupa hipersalivas, hematemesis, perubahan warna mukosa mulut, luka pada bibir,
perubahan warna mukosa faring atau edema, obstruksi jalan nafas : sesak nafas, sianosis, gelisah.
Esofagoskopi dengan edoskopi fiberorbtrik fleksibel harus dilakukan dalam 48 jam, sebaliknya 12-24
jam untuk mengetahui derajat luka bakar.

44
Tatalaksana:
1. Tindakan beberapa saat setelah kontak
- Menghentikan proses pembakaran
- Pemberian minum yang banyak (air atau susu) sebanyak 1 atau 2 cangkir untuk
mengecerkan zat korosif segera setelah penelanan
2. Tindakan setelah sampai di RS/
a. Emergensi
Stabilitas sistim kardovaskuler dan respiratorius dan dukungan kehidupan dasar
(basic life support) bila terdapat renjatan dan asfiksia pemasangan pipa nasogastrik
yang lembut
b. Nonemergensi
Esofagogastroskopi
c. Pengobatan
Antbiotik dberikan kalu dicurigai adanya infeksi
Prednison diberikan selama 10 hari dengan dosis 2 mg/kgBB/hari untuk
mengurangi derajat penyempitan.
Antasida peroral untuk meningkatkan pH lambung

Prognosis
- Tergantung bahan kimia (jenis, konsentarsi, dan kualitas), organ yang terlibat dan lamanya
kotak.
- Prescot mengajuka two thirds rule yaitu 2/3 anak yang ertela baha korosif tidak menimbulkan
gejala, 2/3 anak simtomatik tidak mengalami luka bakar sgnfikan, 2/3 luka bakar signifikan
mengenai faring dan 2/3 luka bakar di esofagus yang bersifat ringan akan sembuh tampak
sekuele.

45
GANGGUAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ditetapkan Oleh,
Klinis Januari 2012 Ketua Divisi PICU

Dr. Silvia Triratna, SpA(K)

1. Natrium (N: 135-145mEq/l)


Hiponatremia
Batasan
Kadar natrium serum < 135 mEq/l
Etiologi
- Defisit natrium : dehidrasi, diuretika,defisiensi aldosteron, asidosis tubulus ginjal, dll
- Overhidrasi (water intoxication) : SIADH. Infus cairan rendah Na yang berlebihan, NS, dll
Hiponatremia dibagi 3 yaitu :
1. Hiponatremia hipotonik
 Dilutional hyponatremia
 Sering terjadi
 Retensi air atau elebihan cairang yang masuk
2. Hiponatremia isotonik
 Pseudo-hyponatremia
 Karena hipertrigliceridemia berat atau hiperproteinemia
3. Hiponatremia hipertonik
Translocational hyponatremia
Karena hiperglikemia atau retensi manitol

Manifestasi Klinis
Mual dan malaise, letargi, penurunan kesadaran, sakit kepala, jika berat kejang dan koma. Bila <
115 mEq/I dapat menyebabkan edema otak.

Patofisiologi
Hiperoosmolalitas (serum osmolalitas <260 mOsm/kg) sealu mengindikasikan kelebihan total
cairan tubuh relatif terhadap cairan tubuh. Ketidakseimbangan ini mengakibatkan penurunan
cairan, pengisian cairan atau keduanya. Pada kodisi normal, gnjal mengeksresikan 15-20 1 air
bebas per hari. Pada kondisi ini respon tubuh untuk menurunkan osmoalitas dengan cara
menekan rasa haus. Hiponatremia hanya dapat terjadi ketika beberapa kodisi mengganggu
eksresi air overdosis bebas yang normal atau mekaisme dehidrasi rasa harus normal atau
keduanya.
Penatalaksanaan
- Identifikasikan dahulu jenis hiponatremia, jika non hipotonik  terapi penyakit yang
mendasarinya.
- Hiponatremi akut (<72 jam) dapat secara aman dikoreksi lebih cepat dari pada yang kronik.
Koreksi Na serum yang terlalu cepat dapat mempresipitasi komplikasi neurologis yang berat.
- Pasien dengan simptom yang akut, tujuan pengobatannya adalah meningkatkan Na serum
sampai kira-kira 1-2 mEq/1/jam sampai simptom eurologis mereda. Diberikan salin normal
atau hipertonik (3%).
- Hiponatremia kronik yang berat (a serum <115mEq/1) dikoreksi tdak lebih dari 0,5
mEq/1/jam dengan total penigkatan tidak lebih dari 12 mEq/1/hari.
- Koreksi defisit Natrium : (140-Na serum sekarang) x BB dalam Kgx0,6  sekarang sudah

46
tidak dipakai lagi.
- Formula baru : change in serum (Na) = infusate Na-serum Na
Total body water + 1

- Total body water = TBW * 0,6 pada anak


0,6 & 0,5 pada wanita & laki-laki muda
0,5 & 0,45 pada wanita & laki-laki tua

- Hiponatremia dengan hipokalemia:


change in serum (Na) = (infusate Na + infusate K) – serum Na
Total body water + 1

- Infus yang sering digunakan :

Infus (Na +) mmol/L


5 % Nacl in water 855
3 % Nacl in water 513
0,9 % Nacl in water 154
Ringers lactate solution 130
0,45 % Nacl in water 77
0,2 % Nacl in 5 % dextrose in water 34
5 % dextrose in water 0
- Contoh : hiponatremia akut pada anak dengan BB 10 kg
- serum Na = 108 mEq/L
- BB = 10 kg  TBW = (0,6 x 10) + 1=7
- Infus yang digunakan 3 % Nacl, koreksi Na = 125
- ∆Na = (513 – 108)/7
= 57, 85mEq/L per 1 liter infus
Initial rate = 1 meq/L/jam
1000 / 57,85 = 17 ml/ jam
- Obat-obat yang digunakan : Furosemid, declomycin yang mempengaruhi kerja ADH renal
dosis 300-600 mg peroral.

Hipernatremia

Batasan
Kadar natrium serum > 145 mEq/1
Etiologi
- Intake cairan kurang
- Keracunan garam : tablet garam, penatalaksanaan cairan hipertonik yang tidak tepat
- Kehilangan cairan : diuretic, diabetes inipidus efrogenik.
Manifestasi Klinis
 CNS : letargi, confuse, delirium sampai mania.
 Cardiovaskular : takikardi, hipotensi
 Jaringan : salivasi berkurang, kulit flushing
 Renal : oliguria
 Demam

Penatalaksanaan
- Mengobati penyakit yang mendasarinya.

47
- Koreksi hipernatremia:
 Akut : 1 mmol/L/hr
 Kronik : maksimum 0,5 mmol/L/ jam
- Konvensional formula :
Total body water * (1-(140/serum sodium concentration))
Formula baru :
change in serum (Na) = infusate Na-serum Na
Total body water + 1

Infus yang digunakan :


Infus (Na +) mmol/L
5 % dextrose in water 0
0,2 % Nacl in 5 % dextrose in water 34
0,45 % Nacl in water ( ½ NSS) 77
Ringers Lactate 130
0,9 % Nacl in water (NSS) 154
- Contoh : prolonged hipernatremia, anak dengan BB 10 kg
- serum (Na +) = 165 mEq/L
- BB = 10 kg  TBW = 0,6 * 10 = 6
- Infus yang digunakan 5 % dextrose in water
∆Na = (0-165)/(6+1) = -23,57 mEq/L per 1 L infus
Goal rate = -12 mEq/L/24 hrs  -12/-23,57 = 0,5 L/24 jam
- Hipernatremia akut bila terjadi dalam periode <48 jam dan dikoreksi secara tepat (1-2
mEq/jam)
- Jika hipernatremi dikuti dengan hiperglikemia dengan diabetes hati-hati ketika
menggunakan cairan terapi. Penggunaan insulin yang tepat akan membantu untuk koreksi.
- Obat-obat yang digunakan untuk meningkatkan eksresi Na:
HCT : < 6 bulan : 2-3 mg/kgBB/hari oral dengan dosis
> 6 bulan : 2 mg/kgBB/hari oral dosis terbagi
Desmopresin : 3 bln-12 thn :5-30 mcg/ hari intranasal.

2. Kalium (N: 3,5-5,5 mEq/I)


Hipokalemia
Batasan
Kadar kalium serum <3,5 mEq/II
Etiologi
- Kehilangan cairan dari ginjal : asidosis tubulus ginjal, hiperaldosteronisme, deplesi
Magnesium, leukemia
- Kehilangan cairan melaui traktus gastrointestinal: muntah atau suction nasogastrik, diare,
edema atau penggunaan laksansia
- Efek obat : diuretic (penyebab terbanyak), agonis beta adreergenik, steroid, teofilin,
aminoglikosid
- Perpindahan transeluler: insulin, alkalosis
- Malnutrisi atau menurunnya intake makanan nutrisi parenteral.

Manifestasi Klinis
Palpitasi, kelemahan otot umum, paralysis, parestesia, konstipasi, nausea atau muntah, kejang
abdominal, poliuria, nokturia atau polidipsia, psikosis, delirium atau halusinasi, depresi, gejala-
gejala usus, hipotensi, vetricular aritmia, cardiak arrest, bradikardi atau takikardi, denyut atrial
dan ventricular premature, hipoventilasi, distress pernafasan, gagal nafas, letargi atau
perubahan status mental, menurunnya tegangan otot, fasikulasi atau tetani, menurutnya refleks

48
tendon, penampakan cushingoid (contoh: edema)

Penatalaksanaan
Pada penderita dengan hipokalemia berat dan adanya gejala maka dapat dilakukan koreksi
secara iv, terapi di mulai setelahada hasil laboratorium dan dari hasil tersebut menunjukkan
diagnosis hipokalemia.
Penderita dengan hipokalemia berat harus dilakukan monitor jantung (EKG) dan dipasang jalur
intravena. Adapun gambaran EKG pada penderita dengan hipokalemia berat adalah :

 Adanya T inverted
 Adanya gelombanng U dan gelombang QT yang memanjang.
 ST segmen depresi.
 Ventrikular aritmia.
 Atrial aritmia.

a. Level K+ < 3  diperlukan K+ replacemement


b. K+ 2.5-3 mEq/Ldan tidak adanya gejala atau gejala ringandapat diberikan secara oral.
c. K+ < 2.5 mEq/L replacement diberikan secara iv.
d. Selama replacement tetap dilakukan monitor terhadap jantung dengan cara melakukan serial
EKG untuk mencegah terjadinya komplikasi berupa hiperkalemia. Kemudian lakukan
pemeriksaan ulang setiap1-3 jam sambil mencari etiologi dari hipokalemia.
e. Sediaan : potassium chloride, potassium phosphate dan potassium bicarbonat.Dosis 0.5-1
Meq/kgbb/dosis diberikan secara iv selama satu jam .
f. Oral : resiko untuk terjadi ulserasi dan GI bleeding, dosis 20-60 mEq, 2-4 kali/hari.
g. Intravena :
vena perifer  untuk maintenance 20-40 mEq/L, maksimum = 60 mEq/L.
Vena sentral  untuk moderate sampai severe, maksimum 140 mEq/L. Cairan yang
digunakan : ¼ atau ½ NSS, maksimum rate 10-20 mEq/ jam, 40 mEq/ jam dapat digunakan
hanya untuk 2-3 jam.
h. Dapat digunakan K+ sparing drug seperti : spironolactone, triamterene dan amiloride.

Hiperkalemia
Batasan
Kadar kalium serum > 5,5 mEq/I
Etiologi
1. Kelainan ekskresi ginjal (gagal ginjal akut atau kronik, insufisiensi adrenal, hipoaldosteronisme,
pemakaian diuretik yang menahan kalium)
2. Penambahan masukan (penggunaan garam kalium sebagai substitusi diet rendah NaCL)
3. Penghancuran jaringan akut (trauma, operasi besar, luka bakar)
4. Redistribusi kalium transeluler (asidosis metabolik, overdosis digitalis, dll)

49
5. Obat-obatan seperti K-sparing, ACE inhibitor, NSAIDS, antikoagulan, antihipertensi dll.

Patofisiologi
K merupakan kation intrasel primer yang berperan dalam pengaturan volume intrasel. K total tubuh
kira-kira 53-55 mEq/I/kgBB. Hampir 100% K tubuh terdapat dalam ruang cairan intrasel, terbanyak di
otot tubuh. Sumber makanan dari hewan dan tumbuhan mengandung K yang bermakna.
Keseimbangan antara intake dan ekskresi mempertahankan kadar K palsma dalam range yang
sempit (3,5-4,5 mEq/I). kurang dari 10% K diekskresikan melalui keringat dan feses, lebih dari 90%
diekskresikan melaui ginjal. Dalam ginjal, sejumlah besar K direabsorbsi pada tubulus dan duktus
collecting. Reabsorbsi yang bermakna terjadi dalam loop of henle desenden sehingga 10 % K pada
saat itu yang diflitrasi yang mencapai tubulus distal. Aldosteron mempengaruhi sekresi K di efron
distal dengan aldosteron yang meningkat menstimulasi sekresi K, sedangkan kadar K yang merendah
menghambat sekeresi K oleh duktus collecting cortical. Peningkatan reabsorbsi Na dan sekresi K
menyebabkan efek pada sistem transpor. Kadar K sebagian bertanggung jawab dalam feedback
negatif pada kortek adrenal sehingga kadar K yang tinggi menurunkan produksi aldosteron,
sementara kadar yang rendah menurunkan sekresi aldosteron.

Manifestasi Klinis
Gejala klinis berupa parestesia yang dapat berlanjut dengan kelemahan, bahkan paralisis flaksid bila
tidak diobati. Hiperkalemia juga dapat membahayakan jantung dengan terjadinya fibrilasi ventrikel.
K>8 mq/I terjadi kegagalan sirkulasi, takikardi, fbrilasi vetrikel
Pada gambaran ECG didapatkan :
Kadar Serum K<7 mEq/l : interval PR memanjang gelombang P menghilang
Kadar serum K>8 mEq/I : kompleks QRS mlebar, pada terminal stage gelombang QRS bergabung
dengan gelombang T membentuk gelombang sinusoidal.

Penatalaksanaan
- Mild – moderate :
1. kurangi intake Kalium 50-60 mEq/day
2. K+ losing diuretics  furosemide dan thiazide.
3. Mineralocorticoid  Florinef
4. Kayexalate.

- Severe :
Drug Dose Onset of action
Calcium gluconate 10-30 ml of 10% solution at 2 Few minutes
ml/min over 2-3 min
NaHCO3 44-132 mEq 4 hours
Glucose dan insulin Glucose 25-50 gm/ jam by 15-30 min
continuous IV drip, regular
insulin 5 U IV 15 min
Albuterol IV : 0,5 mg in 100 ml D5W 20-30 min
over 10-15 min.
Nebulized 20 mg in 4 ml NSS 30 min
over 10 min
Kayexalate Enema (50-100 gm) 60 min
Oral : 40 gm 120 min

- Hiperkalemia simptomatik yang berat kadang-kadang memerlukan hemodialisis.

50
3. Kalsium (N: 8,7-10,4 mEq/I
Hipokalsemia
Batasan
Kadar kalsium serum <8,7 mEq/I
Etiologi
a. Defisiensi PTH : hipoparatiroid, herediter atau idiopatik
b. Defisiensi vitamin D : defisiensi Vitamin D mengganggu absorpasi Ca dalam usus, defesiensi ini
juga menyebabkan resitensi terhadap efek osteoclast PTH pada tulang dan menurunkan
reabsorpasi tubulus ginjal sehingga mengakibatkan hipokalsemia
c. Obat-obatan: kemoterapi : cisplatin, doxorubicin
antimikroba: ketokonazal
obat-obatan yang menghambat absorpsi tulang : calcitson,plikamisin
d. DLL : metastase osteoblastik, infus fostat, infus plasma sitrat atau darah yang cepat

Patofisiologi
Ca terionisasi merupakan fraksi palsma yang penting untuk proses fisiologis. Dalam sistem
neuromuskular kadar Ca terionisasi memfasilitasi konduksi syarat, kontraksi otot dan relaksasi otot.
Ca penting untuk mineralisasi tulang dan merupakan regulator yang penting dari ion trasnpor dan
intergritas memberan. Ca diabsorpsi di usus. Meskipun pengaliran Ca cukup besar, kadar Ca
terionisasi tetap stabil sebab adanya kontrol dari PTH dan Vitamin D. normokalsemia memerlukan
PTH dan organ target normal untuk merespon PTH. Kelenjar PTH sangat sensitif terhadap
perubahan Ca serum. Perubahan ini dikenal dengan reseptor sensitf Ca (Ca SR), a 7-reseptor trans
membran yang berhubungan dengan G-protein dengan amino ekstrasel yang besar. Peningkatan Ca
dengan CaSR menginduksi aktivitas pospolifase C dan menghambat sekresi PTH. Penurunan Ca
kehilangan fungsi CaSR mengakibatkan keadaan patologis seperti hiperkalsemia, hipokalsiurik
familial dan paratiriod berat pada neonatus. Vitamin D menstimulasi absorbsi Ca usus, mengatur
pelepasan PTH, dan mediator PTH untuk stimulasi reabsorbsi tulang. Dikatakan hipokalsemia bila
yang menurun adalah Ca terionisasi.

Manifestasi Klinis
Gejala berupa tetani, yaitu hipereksitabilitas susunan saraf suara dan perifer. Dapat pula terjadi
kejang umum tonik klonik, biasanya didahului tanda dini berupa kontraksi tonik otot ekstremitas
atas dan bawah terutama spasme pergelangan tangan dalam keadaan fleksi dan jari ekstensi
(spasme karpopedal). Kontraksi tonik klonik otot dipacu dengan cara mengurangi aliran darah
ketangan (tanda Troussesau) atau dengan mengetuk otot wajah pada daerah yang dipersarafi oleh
n.fasialis (tanda Cvostek).

Penatalaksanaan
 Ca glukonas 10 mg/kgBB.
 Ca karbonat : 45-65 mg/kgBB/hr dosis terbagi.
 Calcitriol : dosis inisial 15 mg/kgBB/hr oral, maintence 5-40 mg/kgBB/hr.
 Oral calcium lactate, vitamin D, thiazide diuretics.

Hiperkalsemia
Batasan
Kadar kalsium serum >10,4 mEq/l
Etiologi
 PTH yang menyebabkan hiperkalsemia dihubungkan dengan peningkatan absorbsi Ca di
usus, misalnya pada hiperparatiroid.
 Non PTH yang menyebabkan hiperkalsemia, seperti pada keganasan, sarcoidosis
 Dll : neoplasma non paratiroid, hipertiroid, tiazid, dll

51
Patofisiologi
Setengah dari Ca plasma diionisasi dan dapat didifusi secara bebas, sedangkan 10% berikatan
dengan sitrat dan fosfat dan dapat didifusi ke dalam sel. 4% yang menetap merupakan protein
plasma yang berikatan dan tidak didifusi dalam sel. Peningkatan Ca pada orang dengan
mekanisme regulator normal, akan menekan sekresi PTH. Secara normal PTH menstimulasi
pelepasan Ca dari tulang dengan kerja osteolitik langsung dan melalui regulasi osteoklast.
Konsentrasi PTH serum menurunkan aliran Ca dari tulang ke cairan ekstrasel. PTH juga
mereabsorbsi Ca dalam loop of henle dan tubulus distaldi ginjal. Ketika PTH tidak ada, banyak Ca
terfiltrasi yang diekskresi keurin. PTH menstimulasi konversi enzimmatik 25-hidroksivit. D
menjadi metabolit aktif 1,25-hidroksivit. D. 1,25 dihidroksivit D. meningkatkan absorbsi Ca di
usus. Pada saat PTH ditekan karena hiperkalsemia, kadar 1,25 dihidroksivit.D berkurang dan
absorbsi Ca di usus juga menurun.

Manifestasi klinis
 gastrointestinal : mual, muntah, konstipasi, ileus dan pankreatitis.
 kardiovaskuler : hipovolemia, hipotensi, intervasl QT memendek
 renal : poliuria, nefrocalcinosis
 neurologi : penurunan kesadaran sampai koma

Penatalaksanaan
Calcium intake restricted
Hidrasi
Loop diuretics
Oral atau IV phosphate supplements
Kortikosteroid
Plicamycin (mithramycin), DNA-binding antibiotic.

4. Magnesium ( N : 1,8-2,5 mEq/I)

Hipomagnesemia
Batasan
Kadar magnesium serum <1,8 mEq/I

Etiologi
 Kehilangan melalui traktus gastrointestinal : malabsorbsi Mg pada ileum, diare
 Malnutrisi
 Obat-obatan : diuretik, cisplatin, pentamidi, keracunan fluoride

Manifestasi Klinis
Gejala ditandai dengan adanya peningkatan iritabilitas neuromuskuler berupa tetani, kejang.
Mungkin pula ditemukan perubahan perilaku, mual, anoreksia, takikardi, kejang, aritmia
jantung. Bila kadar Mg serum < 1 mEq/I terjadi tremor, tanda Chvostek, tanda Trousseau,
spasme karpopedal.

Penatalaksanaan
Pengobatan dengan magnesium sulfat 50% sebanyak 1-2 ml intramuskuler tiap 6-12 jam atau
magnesium sulfat 0,5% dicampur dengan glukosa 5% intravena terus-menerus.

Hipermagnesemia

52
Batasan
Kadar magnesium serum > 2,5 mEq/I

Etiologi
Gagal ginjal akut, infus Mg yang berlebihan, hipotiroid, intoksikasi litium, rabdomiolisis,
insufisiensi adrenal, diabetik ketaosidosis.

Manifestasi Klinis
Gejala hipermagnesemia tidak spesifik pada kadar 2,5-4 mEq/I, gejala-gejala yang mungkin
timbul seperti mual, muntah, flushing, letargi, kelemahan.
Kadar 4-6 mEq/I kehilangan relfeks tendon.
Kadar > 5 mEq/I depresi SSP
Kadar > 10-15 mEq/I kardiopulmonary arrest.

Penatalaksanaan
 Hidrasi
 Calcium IV
 diuretics
 Pengobatan hipermagnesemia berat adalah hemodialisis. Ca glukonas iv (1 g iv >2-3 menit)
dapat digunakan sebagai antagonis efek kardiovaskuler sementara sebelum dialisis dimulai.

5. Fosfat ( N: 2,5-5 mEq/I )

Hipofosfatemia
Batasan
kadar fosfat serum <2,5 mEq/I

Etiologi
Inadekuat uptake, alkalosis respiratori, obat-obat agonis  reseptor, sepsis, diabetik,
ketoasidosis, alkoholisme kronik.

Patofisiologi
Terjadinya perpindahan fosfat intrasel dari serum ke dalam sel, peningkatan eksresi fosfat di
urin, atau penurunan absorbsi fosfat di usus.

Manifestasi Klinis
Gejala klinis baru nampak pada hipofosfatemia berat (kadar fosfat serum <1 mEq/I) dan jarang
dijumpai pada derajat ringan. Gejala berupa kelemahan otot, kardiomiopati, rabdomiolisis,
gangguan hepatoseluler, gangguan kontraktilitas jantung, dan hiperkalsemia. Beberapa kasus
menunjukan gejala ensefalopati metabolik, berupa iritabilitas, parestesia, kejang dan koma.

Penatalaksanaan
Pasien dengan gejala minimal atau sedang (kadar serum 1-2 mEq/I) diperlukan penggantian
fosfat oral, biasanya dosis awal 2-3 g dosis terbagi.
Pasien dengan gejala yang berat, bila < 1 mEq/I diberikan K2PO4 dosis 0,25-0,5 mmol/kgBB iv
lebih dari 4-6, diulang jika gejala masih menetap.

Hiperfosfatemia
Batasan

53
Kadar fosfat serum > 5 mEq/I

Etiologi
Insufisiensi renal atau nekrosis sel yang luas (seperti rabdomiolisis, tumor lisis) pemberian
fosfat yang berlebihan secara oral atau intravena, pemberian sitostatika.

Patofisiologi
Homeostasis fosfor normal dipertahankan melalui beberapa mekanisme. Pelepasan sel
diseimbangkan dengan peningkatan di jaringan lain. Kontrol hormonal diatur terutama oleh
hormon paratiroid.

Manifestasi Klinis
SSP : kejang, delirium, kram otot, parestesis, koma
Kardiovaskuler : hipotensi dan gagal jantung
Endokrin : hiperparatiroid, tirotoksikosis
Dll : intoksikasi vit. D, neoplasma, asidosis, alkalosis.

Penatalaksanaan
 Aluminum-based antacids, diuretics
 Hemodialysis

54
TRAUMA KAPITIS/ CEDERA KEPALA
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ditetapkan Oleh,
Klinis Januari 2012 Ketua Divisi PICU

Dr. Silvia Triratna, SpA(K)

Batasan:
Trauma kepala pada anak adalah keadaan yang disebabkan jejas pada kepala disertai maupun tidak
disertai lesi pada isinya.
1. Penyebab tersering
a. Pada Bayi : Jatuh atau kekerasan pada anak
b. Anak belum sekolah : Kecelakaan lalulintas, jatuh saat bermain
c. Anak sekolah : Kecelakaan,saat berolahraga, jatuh saat bermain,
kecelakaan lalulintas
d. Anak lebih besar : Kecelakaan lalulintas, kecelakaan berolahraga

2. Manajemen dan tatalaksana cedera kepala


Indikasi masuk PICU : GCS < 8, Distress pernapasan, gangguan hemodinamik yang berat (Syok).
A. Tatalaksana Awal
Perbaiki Airway, Breathing, Circulation (ABC)
B. Penilaian Status Kesadaran Pasien
Memakai GCS Modifikasi untuk Pediatrik dari Jennett, Teasdale, dan James

Aktivitas Respon Terbaik Nilai Nilai


Spontan 4
Dengan Kata-kata 3
Membuka Mata (E)
Karena rangsangan Nyeri 2
Tidak ada 1
Menangis 5
Gelisah/melantur 4
Verbal (V) Menangis akibat rangsangan Nyeri 3
Merintih akibat rangsangan Nyeri 2
Tidak ada 1
Gerakan Spontan 6
Gerakan menghindar karena Sentuhan 5
Gerakan menghindar karena Nyeri 4
Motorik (M)
Fleksi Abnormal 3
Ekstensi Abnormal 2
Tidak ada 1
maksimal adalah 15 dan minimal 3

C. Anamnesa
a. Tipe Cedera
b. Mekanisme terjadinya cedera
c. Gejala yang timbul setelah cedera
D. Terapi sesuai kondisi

55
3. Pemeriksaan Diagnostik
CT-Scan Kepala dan Rontgen Cervical
[catatan : CT-Scan atau pemeriksaan imaging lainnya tidak diindikasikan untuk cedera kepala
ringan dengan GCS 15, pemeriksaan neurologis yang normal, tanpa kehilangan kesadaran, atau
tanpa adanya fraktur yang bisa diraba melalui palpasi (depresed fracture)]

4. Terapi
3.1 Pemasangan Ventilator
Pada keadaan gagal nafas, deserebrasi (flaksid atau ekstensi), dekortikasi
(fleksi). Jaga agar PaCO2 pada 35-40 mmHg, saturasi oksigen > 90% dan PEEV
pada 3-5 cmH2O.

3.2 Pemberian paralisis, sedatif, dan analgetik


a. - Paralisis diberikan pada pasien yang akan dimasukkan kateter ICP, pada hipertensi
intrakranial sampai 72 jam setelah cidera, pasien yang akan diCT-Scan
- Diberikan pancuronium 0,1-0,15 mg/kgBB/kali
- Pasien tidak diparalisis apabila tidak akan dilakukan ICP
b. - Sedasi diberikan pada semua kondisi. Diberikan diazepam 0,1 mg/kgBB/kali setiap 4 jam
- Ekstra bolus diazepam diberikan sebanyak 0,05 mg/kgBB/kali apabila ada tanda-
tanda dari stimulus otonom seperti takikardi, peningkatan tekanan darah dan
pergerakan pasif abnormal dari ekstremitas
c. - Analgesik diberikan untuk mengatasi nyeri
- Diberikan morfin drip IV 40-60 mcg/kgBB/jam, tambahkan bolus 50 mcg/kgBB/kali
sebelum melakukan prosedur yang menimbulkan rangsangan sakit

3.3 Menginduksi Hipotermia


- Dinginkan pasien secepat mungkin apabila terdapat postur yang flaksid, fleksi atau
ekstensi
- Pasien tersebut dipasang ventilator diparalisis dan didinginkan pada suhu 32-33 0C
- Hipotermia tetap dijaga sampai ICP stabil < 20 mmHg

3.4 Menjaga Cardiac Output


- Koreksi hipovelemia dengan IVFD NaCl 0,9%
- Jaga pengeluaran urin > 1 ml/kgBB/jam
- Dopamin 5-10 mcg/kgbb/menit iv bila terjadi penurunan fungsi ventrikel
- Tambahkan noradrenalin 0.05-0.5 mcg/kg/menit iv bila diperlukan.

3.5 Monitoring ICP (lewat Intra Ventricular Catheter)

3.6 Pakai Cervical Collar atau bantal pasir


Gunakan Cervical Collar pada semua pasien, atau memakai bantal pasir untuk
fiksasi dikanan dan kiri kepala

3.7 Berikan Antibiotik untuk profilaksis


- Penisilin IV 30 mg/kgBB/kali setiap 4-6 jam untuk semua pasien dengan fraktur
tulang tengkorak
- Antibiotik tidak diperlukan kecuali atas permintaan ahli bedah saraf pada kasus
fraktur basis kranii dan drainase eksternal kateter ICP

3.8 Berikan Antikonvulsan


- Fenitoin IV dosis awal 15-20 mg/kgBB (maksimal 1,5 gr) selama 1 jam,

56
lalu dijaga.
- Monitor semua kemungkinan aktivitas kejang

3.9 Pemberian Nutrisi


- Nutrisi enteral tidak diberikan sampai hipotermia dihentikan dan suhu >36 0C. Dapat
dilakukan NJT apabila NGT gagal.
- Berikan dahulu elemental formula (predigested, yang proteinnya rendah), bila telah
dapat ditoleransi baru berikan yang penuh proteinnya.
- Bila timbul diare, maka lakukan pemeriksaan kearah penyebab lain sebelum
menghentikan pemberian nutrisi.

3.10 Pengaturan posisi


- Semua pasien diatur posisinya kepalanya elevasi 100
- Jaga pada posisi netral
- Tempatkan selimut pendingin dibawah punggung
- Balok-balik posisinya setiap 2-4 jam dan dijaga pada posisi 450. Posisi kepala dan
leher harus terfiksasi

5. Indikasi Keluar PICU


Tidak ada lagi gangguan napas, hemodinamik baik.

6. Prognosis
Tergantung etiologi dan kerusakan jaringan otak yang terjadi.

57
LUKA BAKAR
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ditetapkan Oleh,
Klinis Januari 2012 Ketua Divisi PICU

Dr. Silvia Triratna, SpA(K)


1. BATASAN
Luka bakar merupakan kerusakan parsial atau komplit pada kulit yang dapat disebabkan oleh
suhu (panas atau dingin), listrik dan zat-zat kimia.

2. ETIOLOGI
2.1 Luka Bakar Suhu (Thermal injury) : terjadi denaturasi pro tein d an nekro sis Bel.
Kedalam anny a tergantung pada kedalaman penetrasi panas, temperatur sumber
panas, lama kontak, media (udara atau air) dan ketebalan kulit.
2.1.1 Suhu yang tinggi (air panas, api, ledakan) :
 Air panas (scald) : umumnya menyebabkan luka bakar superfisial hinggasuperfisial
dermis.
 Api : um u m n y a b e r h u b u n g a n d e n g a n c e d e r a i n h a l a s i d a n m enyebabkan
luka bakar derm is dal am (deep der mis) hingga full thickness.
2 . 1 . 2 Suhu rendah (C o l d b u r n / f r os t b i t e) :
 K o n t ak l am a d e n g a n b e n d a bertemperatur rendah seperti salju
 Kontak singkat dengan benda bertemperatur sangat rendah seperti es kering, helium
cair dan nitrogen cair.

2.2 Luka Bakar Listrik (Electrical injury) :


Aliran listrik akan menjalar dari satu titik ke titik lain ditubuh sehingga membentuk
titik masuk (entry point) dan titik keluar (exit poino). Penentu utama derajat kerusakan
jaringan adalah rendah atau tingginya tegangan listrik.
2.2.1 Luka bakar akibat listrik tegangan rendah (low voltage) :
Menyebabkan luka bakar yang kecil tetapi dalam pada titik masuk dan keluar. Dapat
terjadi gangguan irama jantung (aritmia).
2.2.2 Luka bakar akibat listrik tegangan tinggi (high voltage)
 True high tension injuries : terpapar langsung dengan tegangan listrik ≥ 1000 V.
Dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang luas seperti nekrosis otot (rhabdomyolysis)
dan tulang. Luka bakar ini memerlukan resusitasi dan debridemen yang lebih agresif
daripada luka bakar jenis lain.
 Flash injury : paparan tangensial dengan listrik tegangan tinggi dimana aliran listrik
tidak langsung mengalir keseluruh tubuh. Dapat menyebabkan luka bakar superfisial
terutama pada wajah dan tangan.
2.3 Luka Bakar Kimiawi (Chemical injuries) :
Disebabkan oleh zat-zat kimia seperti Natrium hidroksida, silver nitrat, asam nitrat
dan asam sulfur, menimbulkan kerusakan kulit melalui reaksi kimia seperti koagulasi
protein oleh reduksi, korosi, oksidasi dan pembentukan garam

3. PATOFISIOLOGI
 Segera setelah terjadinya luka bakar  reaksi inflamasi (lokal dan sistemik) yang
terdiri dari fase vaskular dan fase selular.
 Pada awalnya terjadi vasokonstriksi  diikuti oleh vasodilatasi aktif pada daerah luka 
meningkatnya permeabilitas kapiler  dilepaskan mediator-mediator inflamasi (histamin,

58
serotonin, prostaglandin, produk trombosit, komplemen dan radikal oksigen). Selain itu
terjadi juga effluks protein dan makromolekul lain yang menyebabkan edema lokal.
Edema paling cepat terjadi dalam 6-8 jam pertama dan terus berlanjut hingga 18-24 jam
setelah luka bakar terjadi
 Bersamaan dengan respon vaskular  terjadi migrasi neutrofil, monosit dan
trombosit ke daerah luka  melepaskan mediator-m ed ia to r y an g m en im b ul ka n
p e ni n gk ata n pe rm ea bi l it as ka p ile r da n merangsang respon imun spesifik dan
nonspesifik.
 Mediator-mediator lokal  terbentuk dalam beberapa menit sampai jam setelah luka
bakar. Sedangkan mediator sistemik  terjadi lebih lambat yaitu dalam 5-7 hari
kemudian. Respon inflamasi sistemik yang berlangsung lama akan
menyebabkan terjadinya disfungsi organ, sepsis atau keduanya.

4. DIAGNOSIS
Diagnosis luka bakar meliputi 2 hal : derajat / kedalaman dan luas luka bakar
4.1 Berdasarkan derajatnya :
 Luka bakar derajat I (Superficial thickness) : Terbatas pada epidermis. Biasanya timbul
kemerahan (eritema), plak berwarna putih dan nyeri pada daerah luka bakar.
 Luka bakar derajat II (Partial thickness) : Meluas ke daerah superfisial (papillary)
dermis dan dapat melibatkan lapisan dermis dalam (reticular}. Penyembuhan
tergantung luas adneksa yang terkena, semakin dalam luka bakar maka akan
semakin sedikit reepitelisasi dari adneksa. Biasanya hiperemis, terdapat bula,
superfisial berisi cairan jemih, nyeri sangat hebat atau ringan tergantung jaringan syaraf
yang terkena. Penyembuhan tergantung pada jaringan ikat dan kontraktur
dengan sedikit reepitelisasi.
 Luka bakar derajat III (Full thickness) : Kerusakan seluruh lapisan kulit hingga ke
jaringan lemak. Bisa tampak warna putih, hitam, merah atau bahkan hitam pada
kulit, kulit kering dan nyeri tidak ada karena ujung-ujung serabut syaraf juga
ikut terbakar. Penyembuhan tergantung jaringan ikat dan kontraktur dan tidak
terjadi reepitelisasi.
 Luka bakar derajat IV
Luka bakar yang mengenai jaringan dibawah kulit seperti otot atau tulang.

4.2 Berdasarkan kedalaman : Epidermis, dermis atau subkutan

Traditional Clinical findings


Nomenclatur Depth
nomenclature

Superficial First-degree Epidermis involvement Erythema,minor pain, lack


thickness of
blisters
Partial thickness Superficial (papillary) Blisters, clear fluid, acrd
— .superficial Second-degree Dermis pain
Partial thickness Second-degree Deep (reticular) dermis Whiter appearance, with
deep decreased pain. Difficult
to
distinguish from full
Dermis and underlying Hard, leather-like eschar,
Third- or fourth- thickness
Full thickness tissue and possibly purple fluid, no sensation
degree
fascia, bone, or muscle (insensate)

59
Dalam menilai luas luka bakar dapat digunakan diagram standar Lund-Browder (tabel 2), atau rules
of nine bila diagram tersebut tidak tersedia. Pada rules of nine, 1% luka bakar diperkirakan sama
dengan lebar telapak tangan penderita yaitu :
• Kepala dan leher 9%
• Lengan 9%
• Thorax anterior 18%
• Thorax posterior 18%
• Tungkai 18%
• Perineum 1%
Penentuan luas luka bakar diperlukan pad derajat II atau lebih karena menentukan
jumlah cairan resusitasi.
Perbedaan Was Luka Bakar Menurut Lund-Browder.
1 5 10 15
Bayi tahun tahun Dewasa
tahun tahun

Kepala 19 17 13 11 9 7

Leher 2 2 2 2 2 2

Thorax anterior 13 13 13 13 13 13

Thorax posterior 13 13 13 13 13 13

Bokong 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5

Perineum 1 1 1 1 1 1

Paha 5.5 6.5 8 8.5 9 9.5

Betis 5 5 5.5 6 6.5 7

Kaki 3.5 3.5 3.5 3.5 3.5 3.5

Lengan atas 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5

Lengan bawah 3 3 3 3 3 3
Tangan 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5

5. PENATALAKSANAAN
Penilaian awal luka bakar mayor meliputi:
A. Survei primer : menilai ABCDEF (A-airway, B-breathing, C-circulation, D-neurological
disability, E-exposure, F-fluid rescucitation)
B. Menilai luas dan kedalaman luka bakar
C. Buat akses intravena dan berikan cairan
D. Pemberian analgetik
E. Pemasangan kateter urin dan pemantauan balans cairan
F. Periksa analisa gas darah
G. Perawatan luka
H. Survei sekunder, penilaian ulang dan menyingkirkan atau mengatasi trauma lainnya
I.

60
A. Survei Primer
 Penilaian Jalan Nafas (Airway) :
- Tetapkan apakah terdapat sumbatan atau risiko sumbatan jalan nafas yang memerlukan
intubasi endotrakeal, pemberian oksigen dan dukungan ventilasi mekanik

Tatalaksana Jalan Nafas (Airway Management)


Tanda-tanda cedera inhalasi Indikasi Intubasi
 Luka bakar akibat ledakan atau  Pada visualisasi langsung orofaring
terperangkap dalam ruangan terlihat eritema atau edema
tertutup  Perubahan suara, ngorok atau
 Luka bakar derajat II-III pada batuk hebat
wajah, leher dan dada atas  Stridor, takipnu atau dispnu
 Sputum karbonaseous atau
ditemukan partikel karbon di
orofaring
- Bila terdapat tanda cedera saluran nafas bawah yaitu hipoksemia maka diagnosis dibuat
berdasarkan pulse oximetry dan analisis gas darah. Terapi awal yang diberikan
adalah pemberian oksigen aliran tinggi dengan menjamin patensi dan meminimalkan
resistensi saluran nafas atas.
- Bila terjadi hipoksemia refrakter yang dibuktikan melalui serial analisis gas darah
maka untuk meningkatkan oksigenasi diberikan Positive end-expiratory pressure
(PEEP) dangan volume tidal yang rendah yaitu sekitar 6 ml/kgbb untuk mencegah
terjadinya barotrauma.

 Bernafas (Breathing)
- Menilai ada tidaknya gangguan mekanisme bernafas.
- Pada luka bakar dengan inhalasi asap  langsung masuk ke paru-paru
menyebabkan bronkospasme dan inflamasi. Eksudat inflamasi akan menyebabkan
atelektasis dan pneumonia. Pada kondisi ini dapat dilakukan nebulisasi dan ventilasi
tekanan positif dengan PEEP (positive end-expiratory pressure) yang tinggi.
- P a d a i n h a l a s i k a r b o n m o n o k s i d a  m e n g i k a t deoksihemoglobin 40x lebih
besar daripada afinitas oksigen mengikat protein intraseluler khususnya jalur
sitokrom oksidase hipoksia. Analisis gas darah menunjukkan asidosis metabolik dan
peningkatan karboksihemoglobin. Kondisi ini diterapi dengan oksigen 100%, dan bila
karboksihemoglobin > 25-30% maka pasien memerlukan ventilator
 Penilaian Sirkulasi (Circulation)
- Menilai ada tidaknya manifestasi syok hipovolemia (gangguan kesadaran, pucat,
takikardia, nadi cepat dan tidak teratur serta pengisian kapiler yang tidak adekuat (>2
detik) dan penurunan suhu tubuh)
- Akses intravena harus segera dilakukan dan sebaiknya dipasang akses vena sentral
dan atau didaerah yang tidak terbuka. Akses intravena juga diperlukan untuk
mengambil sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium lengkap. Yaitu pemeriksaan
darah tepi lengkap, kadar elektrolit, analisis gas darah, protein total (albumin dan
globulin), glukosa darah, fungsi ginjal dan hati.
 Penilaian Kesadaran (Neurological Disability)
- Nilai kesadarannya menggunakan skala koma Glasgow. Biasanya terjadi gelisah
atau bingung karena hipoksia atau hipovolemia.
 Penilaian Paparan terhadap Lingkungan (Exposure)
- Mengukur berat badan dan panjang badan, menentukan lu g s dan derajat
(kedalaman) luka bakar dan menentukan ada tidaknya cedera lain, dengan melakukan
pemeriksaan menyeluruh dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

61
 Resusitasi Cairan (Fluid Rescucitation)
-
Lakukan koreksi volume yang terjadi akibat ekstravasasi cairan (dan elektrolit) ke
jaringan interstitial dalam upaya memperbaiki perfusi.
- Formula yang digunakan adalah Formula Parkland yaitu 4 ml/kgBB/luas luka bakar,
dengan setengah dari total cairan diberikan dalam 8 jam pertama sedangkan
sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya.
- Cairan kristaloid, Ringer laktat (RL), lebih sering digunakan untuk resusitasi dengan volume
besar dan lama (24-48 jam) dibandingkan dengan NaCI 0,9% karena memiliki kadar
Natrium lebih rendah (130 mEq/L vs 154 mEq/L) dan pH lebih tinggi (6,5 vs 5,0). Selain itu
RL memiliki efek bufer pada metabolisme laktat sehingga dapat mengatasi asidosis
metabolik. Volume resusitasi yang besar disebabkan karena hanya 20-30% dari total
cairan resusitasi yang akan tetap berada diintravaskular.
- Petunjuk keberhasilan resusitasi adalah status mental, output urin, base deficit, dan
tekanan darah sistolik. Dari status mental didapatkan kesadaran compos mentis
dan tidak gelisah, output urin 1-2 ml/kgbb/jam untuk bayi dan 0,5-1 ml/kgbb/jam
untuk anak-anak. Bila output urin kurang maka pemberian cairan harus dikoreksi
hingga 25%. Dapat pula digunakan Laktat serum atau base deficit, tekanan vena sentral
dan cardiac output sebagai petunuk.
- Kebutuhan cairan maintenans : kebutuhan cairan basal ditambahkan dengan
persentase kehilangan cairan melalui evaporasi. Pada anak-anak, besar
evaporative fluid losses (<20 kg) (ml/jam) adalah (35 + % luka bakar) x luas permukaan
tubuh.

B. SURVEI SEKUNDER
Pemantauan
1. Pemantauan 24 jam pertama : untuk menilai sirkulasi sentral
a. Tekanan vena sentral, diupayakan minimal berkisar 6-12 cmH20.
b. Pemantauan sirkulasi perifer
Sirkulasi renal:
- Jumlah produksi urin dipantau melalui kateter.
- Jumlah urin saat resusitasi adalah 0,5-1 ml/kgbb/jam, hari 1-2 adalah 1-2 ml/kgbb/jam.
Sirkulasi splanknik:
 Penilaian kualitas dan kuantitas produksi cairan lambung melalui pipa nasogastrik
 Penilaian fungsi hepar (fungsi enzimatik, sintetik dan metabolik)

2.Pemantauan 24 jam berikutnya:


a. Jumlah cairan diberikan merata dalam 24 jam.
b. Pemantauan sirkulasi
c. Nilai tekanan vena sentral. Bila volume cairan intravaskular tetap rendah (<+2) maka pemberian
HES dapat bermanfaat.
d. Jumlah produksi urin 1-2 ml/kgbb/jam.
e. Pemantauan perfusi dengan analisis gas darah dan kadar elektrolit.
3. Pemantauan 48 jam berikutnya:
a. Cairan yang diberikan sesuai kebutuhan maintenance
b. Pemantauan sirkulasi
c. Komposisi Hb dan Ht mulai mendekati normal, Hb cenderung menurun dan kadang dijumpai
anemia relatif.
d. Jumlah produksi urin 3-4 ml/kgbb/jam.
e. Pemberian Koloid akan memperbaiki keseimbangan tekanan onkotik diintravaskular melalui
proses penarikan cairan dari jaringan interstitial.

62
Pemberian Analgetilk
 Morfin sulfat sebagai analgetika pada luka bakar terutama luka bakar mayor.
 Pemberian obat-obat analgetik sebaiknya menggunakan jalur intravena dan diberikan secara
kontinyu melalui infus (infusion pump)
Penggunaan Antibiotika
 Sebagai profilaksis dan terapetik
 Antibiotika topikal seperti Silver Sulfadiazin, Povidon io d i n 1 0 % , Ge n tam is i n su lf at
0 ,1 %, N it ro f ur a nto in , M up i ro c in c la n Basitracin/Polimiksin.
 Penggunaan antibiotika sistemik masih kontroversi namun dapat diberikan pads
keadaan kecurigaan adanya suatu infeksi atau sepsis.
Perawatan Luka
1. Mengatasai masalah yang berkenaan dengan:
 Hilangnya fungsi kulit sebagai organ yang berperan dalam mengatur penguapan.
Hilangnya fungsi kulit sebagai organ yang berperan sebagai sawar terhadap
infeksi.
 Jaringan nekrosis merupakan fokus reaksi inflamasi sistemik.
 Proses penyembuhan (reepitelisasi)
2. Rehabilitasi pasien sehubungan dengan fungsi organ/bagian tubuh tertentu.
Proses perawatan luka:
 Tindakan dikerjakan oleh ahli bedah/asistennya di Unit luka bakar.
 Pembersihan luka/pencucian luka diruang cuci luka bakar (Hubart tank)
 Nekrotomi dan debridement diruang operasi luka bakar
 Penggantian balutan lanjutan diruang perawatan

6. KOMPLIKASI
 Permasalahan Pernafasan /Paru-paru (Pneumonia, masalah respirasi akibat hipermetabolisme
dan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS).
 Infeksi
 Sepsis
7. PROGNOSIS
 Faktor-faktor yang meningkatkan mortalitas luka bakar adalah gagal kardiorespirasi atau
gagal ginjal, luas luka bakar, usia dan jenis kelamin wanita. Bila terdapat kegagalan 2 organ
atau lebih maka mortalitas mencapai 98%, dengan infeksi sebagai penyebab utama
kematian (75%).
 Luka bakar pada kepala dan leher disertai tanda-tanda cedera inhalasi memiliki mortalitas
yang tinggi. Ketelambatan resusitasi cairan hingga 48 jam setelah kejadian juga akan
meningkatkan mortalitas hingga 100%.

63
PROTAP POST OPERASI JANTUNG TERBUKA
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ditetapkan Oleh,
Klinis Januari 2012 Ketua Divisi PICU

Dr. Silvia Triratna, SpA(K)

Resiko tinggi untuk terjadinya henti jantung:


• Anak < 2 th:
– laktat > 5 mmol /L saat masuk PICU, atau
– laktat > 4 mmol setelah hari ke 4 operasi
• Anak dengan O2 saturasi vena sentral yg rendah ( < 60% pada koreksi jantung total, atau
SaO2-SvO2 grdien > 35% pada yang bukan korksi jantung
Yang harus dilakukan setelah kedatangan pasien di ICU:
• Pantau hemodinamik:
• Pertahankan volume darah
• Pertahankan Hb 12-14
• Lanjutkan inotropik dan pelemas otot
• Dinginkan sampai 37⁰C
• Koreksi aritmia
• Gunakan PD secepatnya
• Hubungi dr bedah jantung atau dr ICU jika laktat tetap tinggi 4 jam pasca operasi, laktat
juga tinggi pada keadaan sepsis

Saat kedatangan di ICU:


• Kumpulkan informasi dari anestesi atau dr bedah mengenai:
– Kelainan jantung
– Keadaan saat pre op
– Masalah-masalah sebelumnya
– apa yg dilakukan saat pembedahan
– Masalah yg terjadi selama operasi atau post bypass
– Lamanya bypass
– Lamanya henti jantung (jika terjadi)
– Obat anestesi dan seberapa banyak yg digunakan
– Kondisi perdarahan dan pembekuan darah
– Frekuensi Denyut Jantung
– Ritme jantung
– Saturasi dan tekanan darah sesaat sebelum meninggalkan ruang operasi
– Masalah khusus paska op yang diantisipasi

Yang harus dinilai:


– Tekanan darah
– HR dan ritme
– Tekanan pengisisan dan tekanan PA
– Pergerakan dada
– Saturasi dan AGD
– Temperatur
– Drain (banyaknya dan warnanya)
– Periksa Ro thorax

64
– Periksa fixasi, posisi ETT
– Tetesan infus
– Jalur sentral dan arteri
– Setting Alarm ventilator

Pemeriksaan rutin yang dilakukan:


• Ro thorax
• AGD
• Saturasi O2 vena (dari jalur PA atau RA)
• Hb
• Trombosit
• PT, APTT, fibrinogen
• Na, K, Ca,Cl, BSS, lactat, Mg, PO4 , Creatinin
• ECG
• Total fluids:
Wt( kg): 3 5 7 10 15 20 25 30 40 50 60 70
ml/hr: 5 7 10 14 17 21 25 28 32 40 45 50
• Tingkatkan kebutuhan cairan bersamaan dengan membaiknya kondisi anak, sampai
kebutuhan cairan intravena maksimal saat akstubasi.
• IV maintenance:
– 10%D in 0.45% saline (<12mo),
– 4%D in 0.45% saline (>12mo).
• Arterial line:
– heparin 1u/ml in saline at 1 ml/hr (<2kg),
– heparin 5 u/ml in saline at 1 ml/hr (2 20kg),
– heparin 5u/ml in saline at 2 ml/hr (>20kg).
• LA and PA lines: heparin 1u/ml in 5% dextrose at 1 ml/hr.
• Morphine. 1 mg/kg in 50 ml 5% dextrose with heparin 1u/ml.
– <3mo: 0.5-1.5 ml/hr (10-30mcg/kg/hr);
– >3mo: 1-2.5 ml/hr (20-50mcg/kg/hr).

• Heparin 10u/kg/jam untuk anak<5kg yang menggunakan central line,


• untuk yang menggunakan shunt (eg BT or central shunt, Norwood operation) mulai sejak
masuk ICU jika APTT <80 detik. 75u/kg in 50ml saline at 1ml/hr.
• Heparin 1u/ml untuk semua infus yg menggunakan central line kecuali infus betalactam
antibiotics, erythromycin or vancomycin; bolus cairan ; infus >100 ml/kg/hari; atau anak
yang kemungkinan mengalami perdarahan yang mengancan jiwa
• Cairan-cairan yg dibuat dengan heparin 1 unit/ml in dextrose: dopamine, adrenaline,
noradrenaline, milrinone, sodium nitroprusside, glyceryl trinitrate, morphine, frusemide.
Dobutamine made up in 0.9% saline with heparin 1u/ml.

Transfusi darah:
– Untuk pasien CHD sianotik : Hb 10-12 sudah cukup
– Untuk bayi kecil, dan jika perdarahan masih berlangsung atau HB turun dengan cepat,
transfusi dimulai saat Hb 10
– cek Hb 30 mnt setelah selesai transfusi
– Target : Hb 13-15

Antibiotik

65
– Diberikan single dose of cephazolin (Kefsol) 50 ng/kg (max 2g) saat induksi anaesthesi (0-1 jam
sebelum op),
– Dosis Extra 20 mg/kg (max 1g) tiap 3 jam jika operasi masih berlangsung

Muscle relaksan:
– Di stop bila sirkulasi stabil dan isi tegangan cukup (akral hangat, Tekanan darah normal,urine
out-out baik and tak didapat lactic acidosis) and perdarahan tidak masiv
– Single dose muscle relaxant dapat diberikan untuk yg masih mengalami Hypothermi and
vasokonstriksi saat tiba di ICU
– yang digunakan:
• Pancuronium :kontra indikasi untuk SVT( +), sinus takikardi , complete heart block
• Mecuronium
• Atracurium:

Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan:


– Periksa AGD dan saturaso O2 vena (dari PA, RA atau SVC) setiap 2-4 jam pada hari pertama,
bisa dilakukan lebih sering jika ada indikasi ( AGD meliputi Na, K, Ca, glukosa, lactat)
– Cek Hb beberapa kali jika ada kemungkinan berubah
– Albumin, Mg, Phosphat, creatinin dan FBE, hitung jenis, dan IT rasio di cek setiap hari selama 2
hari, selanjutnya sesuai indikasi
– Tes Fungsi liver, faktor pembekuan (PT, APTT, fibrinogen) pagi pertama post op , selanjutnya
sesuai indikasi
– Cl dan lactat, keton urin jika terjadi metabolik asidosis yang tak diketahui penyebabnya

ABNORMALITAS YG SERING TERJADI:


HIPOKALEMI
– Hipokalemi → Kalium harus dipertahankan > 3,5
( unt mencegah aritma) dan > 4 jika aritmi a +
• Jika K < 3,5 atau tetap rendah: + KCl dalam IVFD (40-60 mmol/l)
• Jika enteral feed+ : + enteral KCl (1 mmol/kg tiap 4-6 jam)
• jika mendapat furosemid: + spironolakton
• Jika K <3, atau menurun cepat : infus KCl (1mmol/ml) 0,3ml/kg/jam selama 4
jam
• Hipokalemi berat: 0,2 ml/kg dalam 1 jam

Hiperkalemi
(serum K. 5,5 mmol/L , atau >5,0 dan meningkat progresif)
– Dapat mendepresi miokard
– Stop semua cairan IV yang mengandung K, termasuk TPN
– Beri furosemid 1 mg/kg iv dan NaHCO3 8,4% (1mmol/l) 1 ml/kg iv dalam 30 menit
– Jika >6,5 : terutama jika ada perubahan EKG: beri bicarbonat dan dextrose insulin
dan Ca gluconas iv, pertimbangkan nebul salbutamol 1ml dalam 3ml salin
Metabolik alkalosis
• Berhubungan dengan deplesi K dan Cl yang disebabkan dieretik
• Koreksi: KCl infus dan naikkan pCO2 menjadi 40-45
Hipocalsemi.
– Jika < 1,0 berikan Ca gluc 0,5 ml/kg
Hipomagnesemi
– Jka < 0,8 , terutama jika ada aritmia: beri 50% MgSO4 0,2 ml/kg
Hipophosphatemi
• Jika < 0,8mmol/l beri infus potaassium phosphate 0,1-1,0 mmol/kg/hari.

66
Trombositopeni
– Jika ada manifestasi perdarahan, transfusi TC 10ml/kg

STRATEGI VENTILASI
– Pastikan FiO2 , PIP, dan TV seminimal yang dibutuhkan
– <10 kg: pressure limit ventilation
– >10 kg : Volume limit ventilation
– Trigger: hanya digunakan untuk anak yang menggunakan usaha nafas yang tampak dan
reguler
• Jika apnu +: gunakan IPPV atau IMV+pressure support
– Respiratory time:
• Jika di lumpuhkan, mulai dg 0,7-1 sec
• Untuk anak yang bernafas spontan : 0,3-0,6
• Saat menentukan IT, obserfasi: koordinasi pasien dan mesin, RR, SpO2, PaCO2, gas flow yang
terdeteksi pada akhir inspirasi
Initial ventilator setting
• Rate:
 30-40 (neo)
 25-30 (6 bl)
 20-25(1-5 Th)
 15-20 (5-12 th)
 12-15 (>12 th)
• PIP: 15-25 cm H20
• PEEP: 5 cm H2O
• TV: 6-8 ml/kg
• Trigger: 1-2 cm H2O
• Fress gas flow:
– 2-3 L/kg/mnt (newborn)
– 1-2 L/kh/mnt (anak)
• FiO2: 0,5
• Weaning
– via IMV atau Pressure support
– Setelah menjalani bypass >120 mnt, pakai ventilator dalam 1 malam
– Waktu mulai weaning sampai mulai CPAP:
• ASD: 2-4 j

MASALAH YANG DAPAT TIMBUL PASCA OPERASI JANTUNG


• DISTENSI ABDOMEN
– Penyebab:
• Udara dalam lambung dan usus
• Tension pneumothorax
• Cairan dalam usus atau rongga peritoneum (capillary leak, tekanan RA yg
tinggi, cairan PD)
– Investigasi dan terapi:
• Periksa thorax dan abdomen (perkusi)
• Periksa drainase cairan dari PD catheter, chest drain,
• Aspirasi NGT
• Lakukan Ro, bandingkan dg sebelumnya
• Periksa koagulasi dan trombosit
• USG jika curiga perdarahan retroperitoneal

67
• Adjust ventilator jika perlu

ATELEKTASIS
– Penyebab: intubasi trakea, secret, humidifikasi yang tak adekuat, trakel suction yang
tak adekuat, kompesi jalan nafas atau kollaps, paralisa hemidiafragma
– Tanda:
• Saturasi turun
• PaCO2 naik
• ketidaksimetrisan pergerakan dada
– Manajemen:
• Hand ventilation
• Masukkan saline 0,25-0,5 cc ke trakea sebelum suction
• Fisioterapi
• Ro thorax jika curiga paralisabronchogram jika curiga malacia
PENINGAKATAN TEKANAN ARTERI
– Periksa :Tekanan darah, HR, RAP,LAP
– AV valve regurgitasi: lihat gelombang V pada atrial trace
– Overfilling: pada pulmonal atau aorta stenosis, dapat diterapi dg diuretik
– Tamponade:
• Tanda: takikardi, penurunan tekanan darah dan COP

COP RENDAH
Tanda:
• Penurunan tekanan darah
• Output urin rendah
• HR meningkat
• Defisit basa dan lactat
Penyebab:
– Hipovolemi: beri bolus cairan 10 cc/kg
– Aritmia : cek EKG
– Tamponade
– Penurunan fungsi miocard: periksa dg echo
– Asidosis
– Hipertensi pulmonal:
– Perburukan pertukaran gas : cek AGD, ETT leak, (atelektasis, pneumothorax,
efusi→Ro)
– Hiperkalemi
– Gangguan pada pemberian inotropik

TAMPONADE JANTUNG
– Tanda: HR meningkat, penurunan temperatur, peningkatan laktat dan metabolic
asidosis, penurunan tekanan daran dengan penurunan tekanan nadi, suara jantung
menurun, penyempitan QRS komplex
– Penyebab: perdarahan, block pada drain
– Manajemen:
• Ro,
• Echo,
• cek AGD,
• cek pembekuan (PT,APTT, trombosit, fibrinogen),
• stop vasodilator

68
• Beri saline 10ml/kg
• Inotropik
• Transfusi trombosit
• Jika ACT >100 sec → beri protamine 0,5 mg/kg
• Asprasi La dan PA line

KEJANG
– Review : kejadian pre op, intra op, dan post op
– Cek BSS
– Cek elektrolit
– Hentikan muscle relaxant
– Lihat respon autonomik terhadap midazolam iv
– Periksa neurologis
– Monitor EEG
– Pertimbangkan CT scan
– Loading phenobarbital sampai 30 mg/kg
– Hindari phenitoin (miocardial depression)

DEMAM
– Semua anak akan demam setelah menjalani operasi jantung terbuka,
– Timbul segera setelah dihangatkan setelah operasi dan berakhir 24-48 jam
– Diagnosa sepsis ditegakkan berdasar temuan lain
– Febris kedua setelah demam turun, dianggap sebagai sepsis sampai terbukti
penyebab lain
– Terapi : parasetamol 30 mg/kg/x postop, kompres jika anak masih dalam kondisi
dilumpuhkan

PERDARAHAN
– Penyebab: trombositopeni, fungsi trombosit yg rendah, dilusi, konsumsi faktor
pembekuan, residual heparin (biasanya 4 jam pertama post op)
– Manajemen: cek Hb, Ro thorav (jika curiga pneumothorax atau tamponade), cek
ACT, pembekuan darah dan trombosit, echo jika perlu

HIPERTENSI
– Penyebab: nyeri, kandung kemih penuh, hiperkarbia, vasokonstriksi, kesadaran yg
menurun
– Periksa : dada, abdomen, pupils dan fontanella, cek AGD,
– Manajemen:
• beri morfin bolus dan asses ulang,
• beri midazolam bolus dan asses ulang
• Pada anak > 1th: jika HR > 100 dan tetap hipertensi , beri iv betablocker atau
alfablocker→ ubah ke bolus atenolol, captopril
• Hindari: Ca channel blocker + betablocker

HIPOTENSI
• Penyebab : hipovolemi, perdarahan, penurunan COP, pemberian
vasodilator, anafilaxis,
• Jika hipotensi berat: naikkan tungkai
• Beri cairan iv 10 ml/kg , ulang jika perlu
• Jika BP <25 pada neonatus atau < 40 pada anak, mulai PJL
• Beri adrenalin bolus: 0,1 mg/kg 1/10.000, ulang jika perlu, dan mulai dengan

69
infus adrenalin
• Jika terjadi aorto-pulmonary runoff dan saturasi tinggi, turunkan FiO2,
naikkan PaCO2 sampai 45-55mmHg ,

HIPOVENTILASI
– Tanda: PaCO2 naik, takikardi, berkeringat, penurunan saturasi, peningkatan tekanan
PA
– Penyebab: obat, kerusakan otak setelah operasi, sekret trakea, atelektasis,
pneumothorax, edema paru, edema dinding dada, leak sekitar ETT atau pada sirkuit
ventilator, udara pada lambung, muscle relaxant
– Managemen: periksa abdomen, dada, AGD, hand-ventilate, cek ETT, suction ETT ,
Ro, cek sirkuit ventilator

HIPOKSEMIA
– TANDA : penurunan PaO2,
– Penyebab: semua penyebab hipoventilasi, R to L shunt, intracardiac, intrapulmoner
– Manajemen: cek pulse oximeter, cek AGD, monitor adanya hipotensi dan rendahnya
COP, manual ventilasi dan suction trakea, Ro thorax

HIPERTENSI PULMONAL
– Dasar: pre-op pulmonary BF yang tinggi atau obstruksi jantung kiri
• →pasien yang beresiko: di sedasikan, dilumpuhkan sampai 4-8 jam pertama,
beri fentanil, beri kombinasi dobutamin+milrinon
• Jika tekanan PA meningkat secara akut atau tidak stabil: cek AGD, hand-
ventilate, suction trakea, Ro thorax, cari adakah sepsis
• Manajemen: fentanyl : 2-5 mcg/kg

SEPSIS
– Tanda: peningkatan temperatur (secondary),penurunan COP, oliguri, penurunan
kesadaran, peningkatan lactat dan asidosis metabolik, peningkatan atau penurunan
BSS yang tak diketahui penyebabnya, peningkatan I/T rasio, penuruan trombosit
– Manajemen: cari fokus infeksi, periksa DR, kultur darah, urine, kultur setiap ada pus
dan pengecatan gram, pikirkan sepsis karena fungal.
– Terapi sesuai kultur dan resistensi

TAKIKARDI
– Penyebab: aritmia, COP↓, krisis hipertensi pulmonal , hipoventilasi atau hipoxemia,
hipoglikemi, penyebab sentral (demam, nyeri, vu penuh)
– Manajemen:
• periksa dada, abdomen, pupil, fontanella,cek temperatur,urin output, EKG,
AGD, elektrolit, glukosa.
• Sesuaikan dengan penyebab.Hand ventilate, suction trakea, beri cairan iv
bolus 10cc/kg.
TAKIPNU
– Penyebab: nyeri, penyakit paru restriktiv ( odema paru, atelektasis, perdarahan
paru, pneumoni), pneumothorax atau efusi pleural, demam, sepsis, asidosis
metabolik, hipertensi pulmonal, kelemahan neuromuskuler
– Manajemen: sesuaikan dengan penyebab

KETERGANTUNGAN TERHADAP VENTILATOR


– Depresi nafas

70
• Penyebab: Obat atau encephalopathy
• Nafas yang irreguler dan dangkal
• PaCO2 tinggi
• Ngantuk
– Kelumpuhan N frenikus
• Unilateral, jarang bilateral
• Tak ada pergerakan saat inspirasi pada ipsilateral
– Kelemahan neuromuskuler
• Residu muscle relaxan, gangguan fungsi liver atau ginjal, obat relaxan, ICU
myopathy (prolong IPPV+relaxan+ Steroid±sepsis
– Efusi pleura
• Manajemen: drainase, kultur, hitung sel, cek trigliserida, echo(untuk
menyingkirkan obstruksi SVC) , stop oral dan beri TPN
– Tracheobronchomalasia
• Tanda: wheezing, ekspirasi memanjang, penggunaan otot expirasi secara
aktiv, gas trapping ( Ro thorax)
– Residual cardiac abnormality
• L to R shunt, obsstruksi pada jantung kiri atau vena pulmonalis, left sided AV
valve disfunction, hipoplastik LV
– Atelektasis

71
72

Вам также может понравиться