Вы находитесь на странице: 1из 30

BAB I

PENDAHULUAN

Menurut World Health Organization (WHO) stroke adalah adanya tanda- tanda
klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan
gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan
kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler.

Stroke merupakan penyebab kematian tersering ketiga di Amerika dan


merupakan penyebab utama disabilitas serius jangka panjang. 85% stroke adalah non-
hemoragik yang terdiri dari 25% akibat small vessel disease (stroke lakunar), 25%
akibat emboli dari jantung (stroke tromboemboli) dan sisanya akibat large vessel
disease.1 Riset kesehatan dasar tahun 2007 mendapatkan prevalensi stroke nasional
sebesar 0.8%. Stroke juga menjadi penyebab kematian paling tinggi yaitu mencapai
15.9% pada kelompok umur 45 sampai 54 tahun dan meningkat jadi 26.8% pada
kelompok umur 55 sampai 64 tahun.

Pengobatan yang tepat dapat meningkatkan kemungkinan bertahan hidup dan


meningkatkan tingkat pemulihan yang dapat diharapkan. Peningkatan pengobatan
dari semua jenis stroke telah menghasilkan penurunan drastis dalam tingkat kematian
dalam beberapa dekade terakhir. Rehabilitasi diperlukan untuk memperbaiki fungsi
akibat gangguan ini.

Adanya permasalahan akibat gangguan motorik dan sensorik setelah penderita


stroke melewati masa kritis menyebabkan diperlukannya rehabilitasi medis agar
penderita dapat meningkatkan kemampuan fungsional yang dimilikinya semaksimal
mungkin.

Rehabilitasi adalah semua upaya yang ditujukan untuk mengurangi dampak dari
semua keadaan yang menimbulkan disabilitas dan atau handicap serta memungkinkan
penyandang disabiliti dan atau handicap untuk berpartisipasi secara aktif dalam
lingkungan keluarga atau masyarakat.

14
Rehabilitasi dilakukan oleh suatu tim rehabilitasi yang terdiri dari dokter
rehabilitasi medis, fisioterapis, terapis okupasi, perawat rahabilitasi, pekerja sosial
medis, terapis wicara, psikolog, ortotis prostetis, dan lain-lain. Tim rehabilitasi akan
menjadi sangat efektif apabila upaya-upaya tersebut di koordinasikan dan diadakan
pertemuan secara berkala untuk membahas mengenai kemajuan dan kendala tiap
pasien serta ditunjang oleh adanya interaksi yang baik antara penderita dan
keluarganya dengan personil medik.

Manfaat rehabilitasi pada penderita stroke bukan untuk mengubah defisit


neurologis melainkan menolong penderita untuk mencapai fungsi kemandirian
semaksimal mungkin dalam konteks lingkungannya. Jadi tujuannya adalah lebih ke
arah meningkatkan kemampuan fungsional daripada memperbaiki defisit neurologis
atau mengusahakan agar penderita dapat memanfaatkan kemampuan sisanya untuk
mengisi kehidupan secara fisik, emosional, dan sosial ekonomi dengan baik.

Berikut ini disampaikan sebuah laporan kasus seorang penderita dengan


hemiparesis sinistra tipe spastik et causa stroke hemoragik yang dirawat bersama di
divisi Neurologi dan divisi Rehabilitasi Medik RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang.

15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Stroke
3.1.1. Definisi
Stroke secara klinis (menurut kriteria WHO) didefinisikan sebagai
adanya gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan
tanda dan gejala klinis, baik fokal maupun global yang berlangsung lebih
dari 24 jam atau dapat menimbulkan kematian yang disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak.1

3.1.2. Klasifikasi
Secara umum, stroke diklasifikasikan berdasarkan sebagai berikut:2,3
1. Letak gangguan sirkulasi di otak (Bamford Clinical
Classification)
a. Total Anterior Circulation Syndrome (TACS)
b. Partial Anterior Circulation Syndrome (PACS)
c. Posterior Circulation Syndrome (POCS)
d. Lacunar Syndrome (LACS)
2. Sifat gangguan aliran darah
a. Non Haemorrhagik (trombosis, emboli)2,4
Trombosis merupakan jenis terbanyak yang paling
dijumpai. Penyebabnya adalah aterosklerosis yang
menyebabkan penyumbatan pembuluh darah karena
pertumbuhan plak pada dinding pembuluh darah.
Emboli disebabkan oleh terlepasnya embolus dari
sumber asal jantung atau dari pembuluh darah arteri besar
dan masuk ke arteri otak.
b. Haemorrhagik (intraserebral, subaraknoid)2,4,5
Stroke perdarahan (stroke hemoragik) yang terdiri

16
dari perdarahan intraserebral dan perdarahan subarakhnoid.
Penyebab tersering dari stroke hemoragik adalah
hipertensi.
3. Waktu terjadinya4
a. Stroke in evolution adalah stroke yang terjadi masih terus
berkembang di mana gangguan yang muncul semakin berat
dan bertambah buruk. Proses ini biasanya berjalan dalam
beberapa jam atau beberapa hari.
b. Stroke komplit adalah stroke di mana gangguan neurologi
yang timbul bersifat menetap atau permanen.

3.1.3. Etiologi dan Faktor Risiko


Etiologi stroke adalah gangguan peredaran darah pada daerah otak
tertentu. Beberapa hal yang menyebabkan lesi vaskuler serebral, antara
lain sebagai berikut :1,6
1. Penyumbatan aliran darah otak karena vasospasme langsung
dan menimbulkan gejala defisit atau perangsangan sesuai
dengan fungsi daerah otak yang terkena.
2. Penyumbatan aliran darah yang disebabkan oleh trombus.
Akibatnya aliran darah otak regional tidak memadai dalam
memenuhi kebutuhan darah otak yang terganggu.
3. Penyumbatan aliran darah otak oleh emboli. Sumber
embolisasi dapat terletak di arteri karotis atau vertebralis tapi
dapat juga di jantung dan sistem vaskuler sistemik.
4. Lesi daerah otak akibat ruptur dinding pembuluh darah.
Penyebab ruptur pembuluh darah bisa akibat dari suatu stroke
embolik, perdarahan lobaris spontan dan perdarahan
intraserebral akibat hipertensi.
Faktor risiko adalah kelainan atau kondisi yang membuat
seseorang rentan terhadap serangan stroke. Masih tingginya angka

17
mortalitas dan kecacatan akibat stroke, perlu dilakukan upaya-upaya
pencegahan dan penanggulangan faktor risiko.7

Tabel 2.1 Faktor Risiko Stroke


Faktor biologik yang Faktor fisiologik yang Faktor gaya hidup
tidak dapat dimodifikasi dapat dimodifikasi dan pola prilaku
 Umur  Hipertensi  Merokok
 Jenis kelamin  Diabetes  Obesitas
 Ras  Dislipidemia  Aktivitas fisik
 Predisposisi genetik  Penyakit jantung  Diet
 Herediter  Stenosis karotis  Alkohol
 Transient Ischemic Attack  Kontrasepsi oral
 Homosisteinemia  Hormone
 Ateroma aorta Replacement
 Hypercoagulabiliy stress Therapy

(Dikutip dari: Runtuwene TW. Faktor Risiko dan Pencegahan Stroke. Simposium Stroke Up Date 2001.
Bagian SMF Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi/RSUP Manado. 2001: 25)

3.1.4. Patogenesis
Stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu stroke iskemik maupun
stroke hemorragik. Pada stroke iskemik, aliran darah ke otak terhenti
karena aterosklerosis (penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh
darah) atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah ke
otak. Hampir sebagian besar pasien atau sebesar 83% mengalami stroke
jenis ini.5
Dengan bertambahnya usia dan adanya faktor risiko berupa DM,
hipertensi, dan merokok, aterosklerosis akan terbentuk. Aterosklerosis
merupakan kombinasi dari perubahan tunika intima dengan penumpukan
lemak, komposisi darah maupun deposit kalsium dan disertai perubahan
pada tunika media di pembuluh darah besar dan permukaan lumen
menjadi tidak rata. Pada saat aliran darah lambat, dapat terjadi

18
penyumbatan (trombosis).1
Pada stroke iskemik, penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur
pembuluh darah arteri yang menuju ke otak. Darah ke otak disuplai oleh
dua arteria karotis interna dan dua arteri vertebralis. Arteri-arteri ini
merupakan cabang dari lengkung aorta jantung.5
Suatu ateroma (endapan lemak) bisa terbentuk di dalam pembuluh
darah arteri karotis sehingga menyebabkan berkurangnya aliran darah.
Keadaan ini sangat serius karena setiap pembuluh darah arteri karotis
dalam keadaan normal memberikan darah ke sebagian besar otak.
Endapan lemak juga bisa terlepas dari dinding arteri dan mengalir di
dalam darah, kemudian menyumbat arteri yang lebih kecil.5
Pembuluh darah arteri karotis dan arteri vertebralis beserta
percabangannya bisa juga tersumbat karena adanya bekuan darah yang
berasal dari tempat lain, misalnya dari jantung atau satu katupnya. Stroke
semacam ini disebut emboli serebral (emboli = sumbatan, serebral =
pembuluh darah otak) yang paling sering terjadi pada penderita yang baru
menjalani pembedahan jantung dan penderita kelainan katup jantung atau
gangguan irama jantung (terutama fibrilasi atrium). Bila bekuan darah
yang terlepas dapat mengikuti aliran darah dan menimbulkan emboli
arteri intrakranial sehingga menimbulkan iskemia otak.1,5
Emboli lemak jarang menyebabkan stroke. Emboli lemak
terbentuk jika lemak dari sumsum tulang yang pecah dilepaskan ke dalam
aliran darah dan akhirnya bergabung di dalam sebuah arteri.5
Pada stroke hemorragik, pembuluh darah pecah sehingga
menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam
suatu daerah di otak dan merusaknya. Hampir 70 persen kasus stroke
hemorrhagik terjadi pada penderita hipertensi.5 Hipertensi kronis
menyebabkan perubahan degenerasi pada arteri perporata dan arteriol
yang kemudian membentuk mikroaneurisma. Tekanan darah yang secara
tiba-tiba meninggi dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah

19
tersebut. Perdarahan tesebut dapat terletak di putamen, thalamus,
subkortikal, pons, dan serebellum.1,5
Stroke juga bisa terjadi bila suatu peradangan atau infeksi
menyebabkan penyempitan pembuluh darah yang menuju ke otak. Obat-
obatan (misalnya kokain dan amfetamin) juga bisa mempersempit
pembuluh darah di otak dan menyebabkan stroke.5 Apabila terjadi
stenosis atau oklusi pada arteri proksimal yang menuju ke otak tanpa
mendapatkan aliran kolateral sehingga mengakibatkan penurunan perfusi
serebral secara fokal.1
Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba bisa menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke otak, yang biasanya menyebabkan
seseorang pingsan. Stroke bisa terjadi jika tekanan darah rendahnya
sangat berat dan menahun. Hal ini terjadi jika seseorang mengalami
kehilangan darah yang banyak karena cedera atau pembedahan, serangan
jantung atau irama jantung yang abnormal.5

3.1.5. Manifestasi Klinis


Berbagai gejala neurologis dapat ditimbulkan akibat stroke. Gejala
tersebut tidak hanya tergantung pada berat ringannya stroke, tetapi juga
tergantung pada lokalisasinya.8 Stroke menimbulkan sindroma klinis yang
secara umum dibedakan sesuai area sirkulasi yang terganggu.2
Gejala-gejala akibat stroke dibagi menjadi dua macam, yaitu
sebagai berikut.7
I. Gejala sentral berupa gangguan psikis, gangguan emosi,
inkontinensia, kesulitan bicara dan menelan, sindrom rasa
nyeri, gangguan penglihatan, dan gangguan pendengaran
II. Gejala ekstremitas berupa gangguan motorik, spastisitas,
nyeri pada ekstremitas, rigiditas, ataksi, klonus, astreognosis,
gangguan sensorik, dan kontraktur

20
3.1.6. Diagnosis
Diagnosis klinik stroke dibuat berdasarkan batasan stroke,
dilakukan pemeriksaan klinis yang teliti, meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan radiologis.1,4
1. Penemuan klinis
a. Anamnesis berupa terjadi keluhan/gejala defisit neurologik
yang mendadak tanpa trauma kepala dan biasanya disertai
adanya faktor risiko stroke.
b. Pemeriksaan fisik berupa adanya defisit neurologis fokal dan
ditemukan adanya faktor risiko, seperti hipertensi, diabetes
mellitus, kelainan jantung, dan lain-lain atau adanya bising
pada auskultasi atau kelainan pembuluh darah lainnya.
2. Pemeriksaan tambahan/laboratorium
Pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan likuor
serebrospinalis dan pemeriksaan neuroradiologik berupa
Computerized Tomography-scan (CT-Scan), Magnetic Radiation
Imaging (MRI), dan angiografi serebral. Pemeriksaan lain yang
dapat dilakukan untuk menemukan faktor risiko, seperti Hb,
hematokrit, leukosit, eritrosit, laju endap darah, komponen kimia
dan gas darah, serta elektrolit, Dopler, EKG, Ekokardiografi, dan
lain-lain.
3. Pemeriksaan berdasarkan skoring dengan Djoenaedi Stroke Score
(1988), Chandra Stroke Score (1989), The Canadian Neurological
Scale (1989) atau Sirijaj Stroke Score (1991).

3.1.7. Penatalaksanaan
Secara umum, penatalaksanaan stroke bertujuan untuk
memperbaiki keadaan umum mencegah kematian dan komplikasi.
Menurut Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia,
penatalaksanaan awal stroke adalah sebagai berikut.1,8

21
• Bebaskan jalan nafas dan ventilasi yang adekuat
• Kandung kemih yang penuh dikosongkan
• Penanganan tekanan darah secara khusus
• Koreksi hipoglikemi atau hiperglikemi
• Suhu tubuh dipertahankan normal
• Nutrisi per oral/pipa nasogastrik
• Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
Pengobatan secara khusus disesuaikan dengan jenis stroke yang
dialami, yaitu sebagai berikut.1,8
1. Stroke Iskemik / non hemoragik
a. Pengobatan pada penyebabnya
Strategi pengobatan disini dapat difokuskan pada :
- Prevalensi terjadinya trombosis (antikoagulasi,
antitrombotik, antiagregasi platelet)
- Memperbaiki aliran darah ke otak atau perfusi
(pentoxifilin)
- Proteksi neuronal/sitoproteksi (Ca-Channel Blocker,
metabolik aktivator)
b. Pengobatan pada faktor risiko
- Anti hipertensi ( klonodin, captopril dan lain-lain )
- Anti diabetik ( insulin )
- Terapi untuk kelainan jantung ( aspirin, warparin dan
lain-lain )
- Terapi untuk tekanan intrakranial yang meningkat (
manitol )

2. Stroke Hemoragik
a. Pengobatan Konservatif
- Menjamin jalan nafas bebas hambatan
- Pemberian oksigen

22
- Pemberian cairan, elektrolit dan nutrien
- Pasang kateter untuk monitoring produksi urin
- Pemberian pelunak feses
- Pemberian antiperdarahan (asam traneksamat)
- Bila terjadi edema cerebri diberikan monitol
b. Pengobatan bedah saraf (operatif)
Tujuan operasi
- Pengeluaran bekuan darah
- Penyaluran cairan serebro spinal
- Pembedahan mikro pada pembuluh darah

3.1.8. Prognosis dan Komplikasi


Prognosis umum serangan pertama relatif baik, yaitu 70-80% akan
selamat jiwanya, 90% akan terus hidup dalam 2 tahun, 50% akan hidup
10 tahun lagi atau lebih lama.8 Sekitar 42-90% penderita dapat melakukan
perawatan diri dan dapat berjalan secara mandiri.1 Newman dalam
studinya mencatat pada penderita hemiplegi, kesembuhan motorik terlihat
terdini pada minggu pertama dan paling terlambat pada minggu ke-7.
Sesudah minggu ke-14, kemajuan neurologis hanya pelan. Waktu rata-
rata untuk mencapai 80% kesembuhan akhir: 6 minggu. Frank H. Krusen
memberi kesimpulan bahwa dengan rehabilitasi yang tepat, 90% dari
pasien stroke dapat berjalan kembali, 70% dapat mandiri dan 30% dari
usia kerja dapat kembali ke pekerjaan semula.7
Prognosis fungsional tergantung pada hal-hal sebagai berikut.1,2
a. Luas dan lokasi lesi neuroanatomis (kerusakan otak)
b. Penyebab dan sumber lesi
c. Derajat kesadaran
d. Usia
e. Penyakit / kondisi penyulit
f. Komplikasi

23
g. Penanganan
h. Motivasi penderita
i. Dukungan keluarga
j. Sarana dan tenaga profesional yang tersedia
Komplikasi dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu sebagai berikut.1
1. Dapat dicegah, seperti subluksasi sendi bahu, kontraktur, kerusakan
saraf perifer, fraktur, osifikasi heterotopik, aspirasi dan pneumonia,
trombosis vena dalam dan emboli pulmonal, ulkus dekubitus dan
gangguan psikososial.
2. Tak dapat dicegah berupa spastisitas, gangguan kandung kemih,
gangguan bowel, sindrom otak organik, kejang, dehidrasi dan
malnutrisi serta problem baru yang berhubungan dengan umur.

3.2. Rehabilitasi Medik


Rehabilitasi menurut WHO adalah semua tindakan yang ditujukan untuk
mengurangi dampak disabilitas/handicap agar memungkinkan penyandang
cacat dapat berintegrasi dengan masyarakat. Rehabilitasi medik adaah proses
pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan
fungsional fisik dan psikologis dan kalau perlu mengembangkan mekanisme
kompensasinya agar individu dapat berdikari.1
Rehabilitasi dilakukan oleh suatu tim rehabilitasi yang terdiri dari dokter
rehabilitasi medis, fisioterapis, terapis okupasi, perawat rehabilitasi, pekerja
sosial medis, terapis wicara, psikolog, ortotis prostetis, dan lain-lain. Tim
rehabilitasi akan menjadi sangat efektif apabila upaya-upaya tersebut di
koordinasikan dan diadakan pertemuan secara berkala untuk membahas
mengenai kemajuan dan kendala tiap pasien serta ditunjang oleh adanya
interaksi yang baik antara penderita dan keluarganya dengan personil medik.1
Ukuran keberhasilan penanganan adalah bukan berdasarkan banyaknya
jiwa penderita yang tertolong, tetapi berapa banyak penderita yang dapat
kembali berfungsi lagi di masyarakat. Urutan-urutan dari yang paling berhasil

24
sampai yang paling buruk adalah sebagai berikut.1
1. Dapat berdikari dalam merawat dirinya sendiri
2. Mampu mencari nafkah serta dapat berekreasi, seperti sebelum sakit
tanpa memerlukan alat bantu.
3. Seperti nomor 2, tetapi memerlukan alat bantu
4. Dapat ambulasi dan merawat dirinya dengan atau tanpa alat bantu
5. Untuk ambulasi memerlukan kursi roda dan bantuan untuk merawat
dirinya
6. Hanya bergantung di tempat tidur

3.2.1. Rehabilitasi Medik pada Pasien Stroke


Manfaat rehabilitasi pada penderita stroke bukan untuk
mengubah defisit neurologis melainkan menolong penderita untuk
mencapai fungsi kemandirian semaksimal mungkin dalam konteks
lingkungannya. Jadi tujuannya adalah lebih ke arah meningkatkan
kemampuan fungsional daripada memperbaiki defisit neurologis atau
mengusahakan agar penderita dapat memanfaatkan kemampuan sisanya
untuk mengisi kehidupan secara fisik, emosional, dan sosial ekonomi
dengan baik.9
Program rehabilitasi bagi penderita stroke dapat dimulai sedini
mungkin. Kriteria dapat dimulainya program rehabilitasi adalah pasien
sudah dalam keadaan stabil. Hal ini berarti diagnosis sudah ditegakkan,
terapi sudah dimulai, dan pasien sudah tidak dalam resiko tinggi
dekompensasi jantung/paru.2
Secara umum, penatalaksanaan rehabilitasi penderita stroke
sudah bisa dimulai pada hari pertama atau kedua setelah serangan stroke
dengan tujuan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut tetapi
penatalaksanaan yang khusus dapta diberikan pada saat penderita
setelah stabil (tidak ada kelainan defisit neurologis yang progresif dalam
48 jam).7

25
Syarat rehabilitasi secara khusus adalah sebagai berikut.1
1. Mempunyai derajat kesadaran yang baik
2. Mengerti perintah-perintah/petunjuk yang sederhana
3. Dapat mengingat dan menerangkan kembali apa yang
dipelajari kemarin
Lama program yang direncanakan tergantung dari faktor-faktor
yang mempengaruhi. Pada fase awal pengobatan dan perawatan
ditujukan untuk meenyelamatkan jiwa dan mencegah komplikasi, segera
setelah keadaan umum memungkinkan, rehabilitasi dimulai biasanya
pada hari 2-3. Untuk stroke akibat perdarahaan biasanya setelah hari ke-
14, sedangkan fase lanjutan bertujuan untuk untuk mencapai
kemandirian fungsional dalam mobilisasi dan aktivitas sehari-hari
(Activity of Daily Living-ADL).7
Karakteristik program rehabilitasi penderita stroke menurut
Golberg adalah sebagai berikut.1
1. Mencegah komplikasi
2. Mencegah kekambuhan stroke (progresivitas)
3. Mengidentifikasi defisit fungsional dan kemampuan
4. Memperbaiki fungsional fisik melalui conditioning exercise
5. Meningkatan kemajuan fungsional melalui training yang
ditujukan pada AKS (mobilisasi, perawatan diri, kognisi dan
komunikasi)
6. Menilai kebutuhan yang diperlukan untuk mobilitas dan
AKS serta memberikan persiapan ortosis dan alat bantu
yang spesifik
7. Menilai dan memberikan dukungan terhadap penderita dan
keluarga dalam proses sosialisasi
8. Mengidentifikasi dan menangani gangguan afektif dan
memberikan konseling dan dukungan kepada penderita

26
9. Mencegah komplikasi melaui evaluasi dan penanganan
terhadap seluruh kondisi medik yang berkaitan
10. Mengidentifikasi dan memberikan kemudahan dalam hal
aktivitas rekreasional mencakup : aktivitas waktu luang dan
hobi
11. Mengembalikan penderita ke keadaan mandiri termasuk ke
pekerjaan yang menguntungkan

3.2.2. Evaluasi Penderita Stroke dari Segi Rehabilitasi Medik


Evaluasi rehabilitasi medik yang dilakukan oleh tim berbeda dengan
evaluasi medik umum bagi penderita. Tujuan evaluasi rehabilitasi medik adalah
untuk tercapainya sasaran fungsional yang realistik dan untuk menyusun suatu
program rehabilitasi yang sesuai dgn sasaran tersebut. Pemeriksaan ini meliputi
4 bidang evaluasi, yaitu sebagai berikut.7,9
1. Evaluasi neuromuskuloskeletal:
Evaluasi ini harus mencakup evaluasi neurologik secara umum dg
perhatian khusus terhadap kemampuan terhadap komunikasi fungsi
cerebral dan cerebellar, sensasi dan penglihatan (terutama visus dan
lapangan penglihatan). Evaluasi sistem motorik meliputi
pemeriksaan luas gerak sendi (ROM), tonus otot dan kekuatan otot.
2. Evaluasi medik umum
Banyak penderita stroke adalah mereka yang berusia lanjut dan
mungkin mempunyai problem medik sebelumnya. Evaluasi tentang
sistem kardiovaskular, sistem pernafasan serta sistem saluran
kencing dan genital adalah penting. Diperkirakan 12% penderita
stroke disertai dengan penyakit jantung simptomatik. Bila terdapat
hipertensi dan diabetes mellitus, kontrol yang baik adalah sangat
perlu
3. Evaluasi fungsional
Kemampuan fungsional yang dievaluasi meliputi aktivitas kegiatan

27
hidup sehari-hari (ADL): makan, mencuci, berpakaian, kebersihan
diri, transfer dan ambulasi. Untuk setiap jenis aktivitas tersebut,
ditentukan derajat kemandirian atas ketergantungan penderita, juga
kebutuhan alat bantu.
Derajat kemandirian tersebut adalah sebagai berikut.6
a. Mandiri (independent)
Penderita dapat melaksanakan aktivitas tanpa bantuan, baik berupa
instruksi (lisan) maupun bantuan fisik.
b. Perlu supervisi
Penderita mungkin memerlukan bantuan instruksi lisan atau
bantuan seorang pendamping untuk mewujudkan aktivitas
fungsional.
c. Perlu bantuan
Penderita memerlukan bantuan untuk mewujudkan aktivitas
fungsional tertentu, yang bisa berderajat minimal (ringan), sedang
atau maksimal.
d. Tergantung (dependent)
Penderita tidak dapat melaksanakan aktivitas meskipun dengan
bantuan alat dan semua aktivitas harus dilakukan dengan bantuan
orang lain.
4. Evaluasi psikososial dan vokasional
Evaluasi psikososial dan vokasional adalah perlu oleh karena
rehabilitasi medik tergantung tidak hanya pada fungsi cerebral
intrinsik, tetapi juga tergantung faktor psikologik, misal motivasi
penderita. Vokasional dan aktivitas rekreasi, hubungan dengan
keluarga, sumber daya ekonomi dan sumber daya lingkungan juga
harus dievaluasi. Evaluasi psikososial dapat dilakukan dengan
menyuruh penderita mengerjakan suatu hal yang sederhana yg dapat
dipakai untuk penilaian tentang kemampuan mengeluarkan
pendapat, kemampuan daya ingat, daya pikir dan orientasi

28
3.3.3. Program Rehabilitasi Medik pada Pasien Stroke
Program rehabilitasi medik dapat dimulai sedini mungkin. Pada
progressing stroke, lebih aman menunggu sampai mencapai completed stroke
baru dimulai program latihan, meskipun pasif. Jika Gangguan Pembuluh Darah
Otak (GPDO) berasal dari aliran sistem karotis, tunggu sampai 18-24 jam. Jika
tidak ada gejala neurologik berarti telah komplit, sedangkan GPDO dari sistem
vertebrobasiler diperlukan observasi selama 72 jam. GPDO karena trombosis
dan emboli tanpa komplikasi, mobilisasi dapat dimulai 2-3 hari setelah onset.
GPDO karena trombosis/emboli pada penderita infark miokardial tanpa
komplikasi dimulai setelah 3 minggu. Jika stabil, tidak ada aritmia, mobilisasi
hati-hati dimulai pada hari ke 10.6
Swenson menyebutkan lama program rehabilitasi medik direncanakan 6-12
minggu (rata-rata 8 minggu) sebagai waktu yang diperlukan penderita rawat
tinggal sebelum diperbolehkan pulang. Pada kasus ringan, program rehabilitasi
medik dilakukan selama 1-2 minggu. Lama waktu keseluruhan program
rehabilitasi pada umumnya 6-12 bulan.6,9

3.3.1 Fase Awal


Pada fase awal mungkin kesadaran penderita masih menurun,
pemeriksaan-pemeriksaan masih banyak dilakukan dan penderita masih diinfus.
Pengobatan dan perawatan pada fase ini ditujukan untuk menyelamatkan jiwa
dan mencegah komplikasi. Segera setelah keadaan umum memungkinkan
rehabilitasi dimulai, biasanya pada hari ke 2-3. Untuk stroke akibat perdarahan
biasanya setelah hari ke-14.6,9
Pekerja sosial medik dapat mulai bekerja dengan wawancara keluarga
penderita, mencari keterangan tentang pekerjaan, kegemaran, sosial ekonomi dan
lingkungan hidup serta keadaan rumah penderita. Selain itu, seseorang
fisioterapis mengatur posisi penderita sejak dini dengan tujuan mencegah
dekubitus, kontraktur sendi, nyeri bahu, pneumonia ortostatik, juga bermanfaat

29
untuk melawan dominasi synergictic pattern dan memudahkan nursing care.
Posisi ini terdiri dari :6,9
a. Posisi baring terlentang
Ekstremitas atas diletakkan di atas bantal sehingga bahu sedikit abduksi
dan ke depan, siku dalam ekstensi lengan dalam rotasi keluar,
pergelangan tangan dan tangan dalam ekstensi. Ekstremitas bawah,
sendi paha agak ekstensi dengan meletakkan bantal di bawah paha dan
sendi paha, lutut dalam fleksi, tungkai atas dalam internal rotasi
ringan.6,9

b. Posisi miring pada bagian yang sehat

c. Posisi miring pada bagian yang sakit

30
Perhatikan posisi ekstremitas atas. Bahu yang sakit jangan sampai
tertindih ke belakang, tetapi dalam posisi ke depan.6,9
d. Posisi bridging
Penderita diubah posisinya setiap 2 jam untuk mencegah terjadinya
ulkus dekubitus, kemudian diberikan latihan luas gerak sendi (ROM).6,9

Pada ekstremitas yang sakit, dilakukan latihan luas gerak sendi


sepenuh gerakan secara pasif. Perhatian khusus ditujukan tehadap sendi
bahu, tangan dan pergelangan kaki. Latihan luas gerak sendi membantu
mencegah kekakuan sendi, yang dapat menghambat fungsi bila pemulihan
neurologik terjadi. Begitu penderita sadar penanganan masalah emosional
dimulai. Setelah tahu ada gangguan fungsi gerak pada dirinya penderita
biasanya menjadi sangat kecewa, emosi labil, ketakutan, dan frustasi dapat
terjadi.6,9

31
3.3.2. Fase Lanjutan
Penekanan fase lanjutan adalah untuk mencapai kemandirian
fungsional dalam mobilisasi dan aktivitas hidup sehari-hari (ADL). Fase ini
dimulai pada waktu penderita secara medik telah stabil. Aktivitas
mobilisasi mulai dengan aktivitas di tempat tidur, berlanjut ke duduk,
berdiri dan ambulasi. Perhatian selama fase ini ditujukan untuk memelihara
ROM dan meningkat dari latihan ROM secara pasif ke aktif.6,9
Latihan penguatan otot dilakukan pada sisi yang sehat maupun yang
sakit, terutama untuk otot-otot yang dipakai untuk transfer dan ambulasi.
Latihan penguatan otot ini dimulai dari latihan secara aktif-assistif sampai
kemudian progresif-resistif, bila kekuatan telah pulih kembali. Latihan
koordinasi dan keseimbangan juga diperlukan.9

3.4. Jenis Rehabilitasi Medik


3.4.1 Mobilisasi
Mobilisasi meliputi program latihan posisi tegak secara bertahap
mulai dari duduk sampai berdiri dan akhirnya mobilisasi. Mobilisasi dini
untuk mencegah terjadinya “orthostatic postural hypotension”.6

3.4.2 Latihan duduk


Tahap pertama latihan duduk dilakukan secara pasif. Jika penderita
sebelumnya diimobilisasi 2 minggu atau lebih untuk adaptasi
kardiovaskular perlu latihan dengan tilt-table. Latihan duduk dimulai
dengan mendudukkan penderita selama 5-10 menit, monitor tanda-tanda
vital. Lama waktu duduk (toleransi) dapat dinaikkan. Latihan dilakukan
minimal 2 kali sehari tiap pagi dan sore. Toleransi dianggap baik jika dapat
bertahan lebih dari 30 menit. Latihan aktif dimulai setelah toleransi baik.6,9

32
Posisi duduk dipinggir tempat tidur ditingkatkan keduduk di
kursiroda. Bila toleransi terhadap posisi duduk telah tercapai, suatu
program latihan transfer pada posisi berdiri dan latihan toleransi pada
posisi berdiri dimulai. Penderita dengan hemiparese biasanya dilatih
transfer pada posisi berdiri dengan mempergunakan tungkai yang sehat
untuk menahan berat badan serta mempergunakan lengan yang sehat untuk
mendorong badan ke atas sampai dapat berdiri tegak. Untuk menyelesaikan
transfer ini, penderita bertumpu pada kaki yang sehat, lalu memindahkan
lengan yang sehat ke sandaran tangan kursi roda dan kemudian
merendahkan tubuh sampai duduk di kursi roda. Transfer harus selalu
dilakukan dengan meletakkan kursi roda pada sisi yang sehat dari tubuh
(lihat gambar).6,9

33
34
Bersamaan dengan prosedur transfer dimulai, program latihan
berdiri dan ambulasi juga dimulai. Awalnya bantuan dari terapis diperlukan
untuk membantu penderita berdiri di antara paralel bar, kemudian dimulai
latihan keseimbangan dan toleransi berdiri. Jika dianggap perlu dapat
memakai knee back slab, yaitu semacam posterior splint untuk
menstabilkan lutut yang sakit dalam posisi ekstensi.6,9
Latihan ini termasuk stand-up exercise berguna untuk penguatan
tungkai yang sehat sehingga kuat mengangkat tubuh juga merangsang
kembalinya refleks serta fungsi motorik tungkai yang sakit dan juga
menguatkan tungkai yang sehat. Mulai dengan kursi tinggi, tiap kali latihan
10 kali stand-up, kemudian kursi direndahkan 1 atau 2 inci sampai setinggi
kursi umum.6,9
Seterusnya penderita dilatih berjalan diantara paralel bar, pertama
dengan bantuan selanjutnya tanpa bantuan. Tahap berikutnya penderita
dilatih jalan di luar paralel bar, bila perlu dengan bantuan tongkat yang
bisa berupa tongkat kaki 4, kaki 3, atau kaki tunggal, untuk diteruskan
dengan jalan tanpa alat bantu bila telah ada kemajuan. Penderita juga
dilatih untuk menaiki tangga rumah. Pertama kali penderita menaiki tangga
rumah setapak demi setapak untuk tiap tingkat Pada waktu naik tungkai
sehat melangkah lebih dulu, sewaktu turun tungkai sakit terlebih dulu.9
Untuk membantu program ambulasi, diperlukan alat bantu sebagai
berikut.9
a. Brace
Untuk kasus foot drop, dapat digunakan short leg brace dengan
90 post, sedangkan long leg brace dilakukan untuk
menghentikan recurvatum genue.
b. Sepatu untuk menambah stabilitasi pergelangan kaki
Pada sepatu pasien, dilakukan pemberian tumit lebar atau
penambahan pada sole sebelah samping.

35
c. Sling
Sling dipasangkan pada ekstremitas atas yang mengalami
paralisis berat untuk mengurangi tarikan pada bahu dan
mencegah terjadinya sindroma nyeri bahu. Sling juga akan
mencegah efek ekstremitas atas yang nonfungsional terhadap
keseimbangan penderita waktu jalan.
d. Kursi roda
Jika tim rehabilitasi memutuskan bahwa kemampuan
berjalannya memang sudah tidak dapat mencapai tingkat yang
fungsional, pilihan terakhir adalah kursi roda.

3.4.3. Aktivitas Kehidupan Sehari-Hari (Activity Of Daily Living/ADL)


Sebagian besar penderita dapat mencapai kemandirian dalam ADL,
meskipun pemulihan fungsi neurologis pada ekstremitas atas yang terkena
belum tentu baik. Dengan peralatan bantu yang telah disesuaikan, aktivitas
ADL dengan menggunakan satu tangan secara mandiri dapat dikerjakan.
ADL ini meliputi makan, minum, personal hygiene, berpakaian, serta
aktivitas tambahan seperti membuka pintu, memegang buku bacaan,
menelepon dan lain-lain.6,9
Kemandirian dalam makan dapat dipermudah dengan pemakaian
alat-alat yang telah disesuaikan, misalnya sendok/garpu dengan pegangan
yang besar, sedotan untuk minum. Pemasangan batang pegangan pada
dinding kamar mandi dan kamar kecil akan menambah kemadirian sewaktu
mandi, sedangkan pakaian yang lebih longgar, dengan kancing di depan,
dikombinasikan dengan teknik mengenakan pakaian dengan memasukkan
sisi yang sakit lebih dulu ke lengan kemeja, celana panjang/pendek maupun
pakaian dalam akan menambah kemandirian dalam berpakaian.6,9

36
3.4.4. Gangguan Bicara Atau Komunikasi
Pelaksanaan terapi dilakukan oleh tim medik dan keluarga dan
umumnya memerlukan waktu 3 bulan. Gangguan bicara atau komunikasi
ditangani oleh speech therapist dengan cara sebagai berikut.6,9
1. Latihan pernafasan (pre-speech training) berupa latihan nafas,
menelan, meniup, latihan gerak bibir, lidah dan tenggorokan.
2. Latihan di depan cermin untuk latihan gerakan lidah, bibir dan
mengucapkan kata-kata. Untuk afasia motorik, contoh gerakan
dan instruksi secara tertulis, sedangkan untuk afasia sensorik,
rangsangan suara lebih ditekankan, bicara perlahan-lahan serta
jelas.
3. Latihan bagi penderita disartri lebih ditekankan ke artikulasi dan
pengucapan kata-kata.
Sekitar 40% penderita stroke dengan kelumpuhan sebelah kanan akan
terdapat gangguan bahasa. Kelainan ini bersifat sementara dan menetap.
Bila fungsi gerak mengalami peningkatan biasanya fungsi bahasa juga,
walaupun tidak pasti sejalan. 6,9

3.4.5. Faktor Psikologi


Semua penderita dengan gangguan fungsional yang akut akan
melampaui suatu serial fase psikologi. Semua anggota tim harus
mengetahui fenomena ini serta harus memberikan dukungan dan dorongan
semangat bagi penderita.6
Fase-fase psikologis tersebut adalah sebagai berikut.9
1. Fase shock
• Waktu : segera setelah serangan
• Gejala : panik, cemas, putus asa
• Program : memberi keyakinan dan dukungan
semangat, konsultasi dengan keluarga.
2. Fase penolakan

37
• Waktu : fase akut
• Gejala : agak panik
• Program : dorongan semangat bagi penderita untuk
melakukan aktivitas yang dapat dikerjakan, pemberian
“hadiah” atas usaha yang dapat dikerjakan
3. Fase penyesuaian
• Waktu : fase pemulihan awal
• Gejala : cemas, rasa kepahitan hidup, depresi
• Program : secara bertahap memberikan aktivitas baru
yang bersifat tantangan
4. Fase penerimaan
• Waktu : fase pemulihan lanjut
• Gejala : kenaikkan terhadap gairah hidup
• Program : “paksa” penderita untuk mencapai sasaran
yang telah ditetapkan
Sebagian penderita mengalami fase-fase tersebut secara cepat, sedang
sebagian lagi mengalaminya secara lambat, berhenti pada salah satu fase
atau bahkan kembali ke fase yang sudah lewat. Rehabilitasi memerlukan
pendidikan dan motivasi. Penderita harus berada pada fase psikologi yang
sesuai untuk dapat menerima rehabilitasi.6

3.5. Pemulihan Penderita Stroke

Saat mulainya rehabilitasi medik, program dimulai kurang dari 24 jam


maka pengembalian fungsi lebih cepat. Bila dimulai kurang dari 14 jam maka
kemampuan memelihara diri akan kembali lebih dahulu. Saat dimulainya
pemulihan klinis, prognosis akan lebih buruk bila ditemukan adanya : 1-4
minggu gerak aktif masih nol (negatif); 4-6 minggu fungsi tangan belum kembali
dan adanya hipotonia dan arefleksia yang menetap.6
Pemulihan penderita stroke dibagi menjadi dua macam, yaitu sebagai
berikut.1

38
1. Pemulihan Neurologis
Pemulihan neurologis tergantung mekanisme stroke dan lokasi
lesi. Pemulihan neurologis secara spontan umumnya terjadi pada bulan
ke 3- 6 setelah serangan stroke. Pada pemulihan neurologis akan
terjadi proses sebagi berikut:resolusi terhadap udema lokal, rosorpsi
toksin secara lokal, perbaikan sirkulasi lokal dan perbaikan secara
parsial neuron yang rusak.
2. Pemulihan Fungsional
Perbaikan fungsi motorik biasanya terjadi setelah stroke. Dan
akan menjadi komplit setelah 3-6 bulan setelah serangan stroke.
Pemulihan ini akan terjadi secara kontinue setiap bulan dan setiap
tahun, tergantung dimana penderita ditempatkan dan berapa banyak
latihan serta motivasi yang didapatkan dari lingkungan. Pada suatu
studi pernah dilaporkan bahwa pemulihan extremitas bawah lebih dini
dibandingkan extremitas atas. Kebanyakan program rehabilitasi stroke
dapat diselesaikan oleh penderita sebelum akhir hari ke-40 setalah
serangan stroke. Untuk menilai untung ruginya rehabilitasi stroke juga
perlu dipikirkan bukan hanya keuntungan secara finansial tetapi semua
keuntungan termasuk dalam memperbaiki kualitas hidup.
Beberapa instrumen yang sering dipaki untuk menilai kemampuan
fungsional pada penderita stroke adalah sebagai berikut. 1,6,9
1. Secara Umum
a. Indeks Barthel
Indeks Barthel merupakan indeks kemandirian yang
sederhana untuk menilai kemampuan fungsional penderita dengan
gangguan neuromuskuler atau muskuloskeletal dan merupakan
instrumen yang paling populer dan paling banyak digunakan untuk
mengukur kemampuan fungsional penderita stroke dalam
melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari. Untuk penampilan
berjalan telah dipakai sub skor indeks barthel denganskla 3 poin,

39
yaitu tidak dapat berjalan, berjalan dengan bantuan dan berjalan
secara independen.1,6
Indeks Barthel terdiri dari 10 item meliputi sebagai
berikut.1

b. Functional Independence Measure (FIM)


Skor FIM dikembangkan untuk mengukur disabilitas seseorang
dan untuk menilai kemajuan perkembangaan penderita yang mendapat
program rehabilitasi. Penilaian pada penderita FIM dilakukan pada 6
kategori fungsi dan terdiri dari 18 item. Setiap item dinilai
ketergantungannya dengan menggunakan skala 1 s/d 7.9
1. Independence
7 : independen komlit
6 : modified independence penderita memaki alat
bantu
2. Modified Independence
5 : supervisi
4 : bantuan minimal (upaya obyek untuk aktivitas >
75 %)

40
3 : bantuan sedang (subyek 25-75 %)
3. Complited dependence
2 : bantuan maksimal (subyek: 25-50%)
1 : bantuan toatal (subyek 0-25 %)
Keenam kategori fungsi terdiri dari poin-poin sebagai berikut.9
1. Perawatan diri:
- Nilai maksimal 42 poin (6 aktivitas)
- Aktivitas yang dinilai adalah makan, grooming, mandi,
memakai baju bagian atas ,memakai baju bagian bawah dan
pergi ke toilet
2. Kontrol sfingter
- Nilai maksimal 14 point (2 aktivitas)
- Aktivitas yang dinilai adalah manajment kandung kencing dan
usus
3. Mobilitas
- Nilai maksimal 21 point ( 3 aktivitas)
- Aktivitas yang dinilai adalah kemampuan transfer untuk BAB
dan BAK, transfer untuk mandi dan transfer ke tempat tidur,
kursi dan kursi roda.
4. Lokomotorik
- Nilai maksimal 14 point ( 2 aktivitas)
- Aktivitas yang dinilai adalah berjalan/kursi roda, naik/turun
tangga
5. Komunikasi
- Nilai maksimal 14 point ( 2 aktivitas)
- Aktivitas yang dinilai adalah komprehensi/ dapat memahami
ekspresi
6. Social cognition
- Nilai maksimal 21 point (3 aktivitas)

41
- Aktivitas yang dinilai adalah pemecahan masalah, intereaksi
sosial dan memori.
c. PULSES Profile
PULSES profile dirancang untuk mengevaluasi fungsional pada
penderita penyakit kronis dan orang tua termasuk stroke. Profile ini
umumnya digunakan untuk memprediksi rehabilitasi yang potensial,
untuk mengevaluasi perkembangan penderita dan untuk membantu
dalam perencanaan program.6,9
PULSES merupakan akronim yang dibentuk dari huruf-huruf
awal subseksi instrumen. Subseksi-subseksi ini didesain untuk
mengukur :1
1. Physical condition (kondisi fisik)
2. Upper Extremity (kemampuan untuk menggunakan
ekstremitas atas)
3. Lower Extremity (kemampuan untuk menggunakan
ekstremitas bawah)
4. Sensory Performance (komponen sensorik yang
berhubungan dengan komunikasi, yaitu bicara,
pendengaran dan penglihatan)
5. Excretory performance (kemampuan untuk mengontrol
BAB dan BAK)
6. Social and mental status (status sosial dan status mental)
Dalam setiap subseksi, nilainya antara 1 s/d 4 (dari normal
sampai abnormal berat yang mengakibatkan ketergantungan),
PULSES profile merupakan instrumen untuk mengukur kemampuan
fungsional dan telah banyak digunakan secara luas di pusat-pusat
rehabilitasi di Amerika.1
PULSES profile lebih berguna untuk mendeteksi perubahan-
perubahan sebelum meninggalkan rumah sakit (KRS) dan sangat
efektif pada perubahan substansial pada status fungsional pada

42
penderita stroke atau cedera medula spinalis.1

2. Secara Khusus
Fungsional Ambulation Category (FAC) adalah alat ukur yang
dapat digunakan untuk menilai kemampuan gait penderita seperti
penderita pasca stroke, palsi serebralis dan pasca trauma medula
spinalis. Tes tersebut meliputi 6 level terhadap dukungan personel
yang diperlukan untuk gait tetapi tidak mencatat apakah alat bantu
digunakan atau tidak.1,9
 Level 0 menggambarkan seorang penderita tidak mampu
berjalan atau memerlukan bantuan dua orang atau lebih.
 Level 1 menggambarkan seorang penderita memerlukan
sokongan yang kontinyu dari satu orang untuk membantu
mengangkat berat dan keseimbangannya.
 Level 2 menggambarkan seorang penderita tergantung pada
sokongan yang kontinyu atau intermiten terhadap satu
orang untuk membantu keseimbangan atau koordinasi.
 Level 3 menggambarkan penderita hanya memerlukan
supervisi verbal.
 Level 4 menggambarkan bantuan diperlukan pada tangga
dan permukaan yang tidak rata
 Level 5 menggambarkan seorang penderita yang dapat
berjalan secara independen di mana saja

43

Вам также может понравиться