Вы находитесь на странице: 1из 30

MAKALAH ZAT GIZI MAKRO

HIPERTENSI

Disusun Oleh
Silvia Fakhrunnisa (1806254730)
Syabilila Indraswari (1806254825)

PROGRAM STUDI
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hipertensi dikenal secara luas sebagai penyakit kardiovaskular. Diperkirakan telah
menyebabkan 4.5% dari beban penyakit secara global, dan prevalensinya hampir sama
besar di negara berkembang maupun di negara maju.1 Hipertensi merupakan salah satu
faktor risiko utama gangguan jantung. Selain mengakibatkan gagal jantung, hipertensi
dapat berakibat terjadinya gagal ginjal maupun penyakit serebrovaskular.
Hipertensi telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di negara-
negara maju serta di beberapa negara-negara berkembang. Indonesia sebagai salah satu
negara berkembang juga menghadapi masalah ini. Semakin meningkatnya arus
globalisasi di segala bidang, telah membawa banyak perubahan pada perilaku dan gaya
hidup masyarakat di Indonesia, termasuk dalam pola konsumsi makanan keluarga.
Perubahan tersebut tanpa disadari telah memberi pengaruh terhadap meningkatnya
kasus-kasus hipertensi di Indonesia. Pada kebanyakan kasus, hipertensi terdeteksi saat
pemeriksaan fisik karena alasan penyakit tertentu, sehingga sering disebut sebagai “silent
killer”. Tanpa disadari penderita mengalami komplikasi pada organ-organ vital seperti
jantung, otak ataupun ginjal. (Depkes RI, 2002)
Di Amerika, menurut National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES
III); paling sedikit 30% pasien hipertensi tidak menyadari kondisi mereka, dan hanya
31% pasien yang diobati mencapai target tekanan darah yang diinginkan dibawah 140/90
mmHg.
Hipertensi dilihat dari segi klinis, merupakan penyakit yang umum, asimptomatis,
mudah dideteksi dan mudah ditangani jika dikenali secara dini. Namun, hipertensi dapat
menyebabkan komplikasi-komplikasi yang mematikan jika tidak ditangani. (Fisher,
2005)
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Secara umum, seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki tekanan darah
sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan
yang berulang. Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar
penentuan diagnosis hipertensi. Tekanan darah sistol merupakan tekanan darah terhadap
dinding arteri ketika jantung sedang berkontraksi memompa darah. Angka kedua yang
lebih kecil nilainya, menunjukkan tekanan darah diastol. Tekanan darah diastol
merupakan tekanan darah terhadap dinding arteri ketika jantung sedang berelaksasi di
antara dua kontraksi. Tekanan darah diastol juga menggambarkan keadaan elastisitas
dinding arteri
Definisi hipertensi ditetapkan berdasarkan kesepakatan yang mempertimbangkan
risiko komplikasi penyakit kardiovaskular pada beberapa tingkat tekanan darah. Tekanan
darah sistol/diastol sebesar 120/80 ditetapkan sebagai batas tekanan darah yang normal.
Hal ini didapatkan dengan mempertimbangkan bahwa kenaikan risiko penyakit
kardiovaskular pada orang-orang bertekanan darah di bawah 115/75 mmHg tidak terlalu
signifikan dibandingkan dengan orang-orang bertekanan darah di atas nilai tersebut.
Berdasarkan penyebabnya, dikenal dua jenis hipertensi yaitu Hipertensi primer
(essensial) dan Hipertensi sekunder. Hipertensi primer (esensial) Adalah suatu
peningkatan persisten tekanan arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme
kontrol homeostatik normal, Hipertensi ini tidak diketahui penyebabnya dan mencakup
+ 90% dari kasus hipertensi, sedangkan Hipertensi sekunder adalah hipertensi persisten
akibat kelainan dasar kedua selain hipertensi esensial. Hipertensi ini penyebabnya
diketahui dan ini menyangkut + 10% dari kasus-kasus hipertensi (Wibowo, 1999).

1. Hipertensi Primer
Hipertensi Primer atau hipertensi esensial adalah hipertensi yang penyebabnya
tidak diketahui secara pasti atau idiopatik. Kesulitan dalam menemukan mekanisme
yang bertanggung jawab atas terjadinya hipertensi primer adalah banyaknya sistem
yang terlibat dalam pengaturan tekanan darah. Sistem saraf adrenergik baik sentral
maupun perifer, sistem pengaturan ginjal, sistem pengaturan hormon dan pembuluh
darah adalah sistem-sistem yang mempengaruhi tekanan darah. Sistem-sistem ini
saling mempengaruhi dengan susunan yang kompleks dan dipengaruhi oleh gen-gen
tertentu. Faktor faktor yang diasumsumsikan memiliki pengaruh terhadap hipertensi
primer adalah :
Faktor-faktor yang diketahui memiliki pengaruh antara lain adalah faktor-faktor
lingkungan seperti asupan natrium, obesitas, pekerjaan, asupan alkohol, besar
keluarga dan keramaian penduduk. Faktor-faktor ini telah diasumsikan sebagai faktor
yang berperan penting dalam peningkatan tekanan darah seiring bertambahnya usia
setelah membandingkannya antara kelompok masyarakat yang lebih banyak terpapar
dengan yang lebih sedikit terpapar dengan faktor-faktor tersebut.
Faktor genetik atau faktor keturunan juga memiliki pengaruh terhadap kejadian
hipertensi karena sistem-sistem yang mempengaruhi tekanan darah diatur oleh gen.
Hipertensi merupakan salah satu kelainan genetik kompleks yang paling umum
ditemukan dan diturunkan pada rata-rata 30% keturunannya. Faktor-faktor seperti
usia, ras, jenis kelamin, merokok, asupan alkohol, kolesterol serum, intoleransi
glukosa dan berat badan dapat mempengaruhi prognosis dari hipertensi. Semakin
muda seseorang mengetahui kelainan hipertensinya, semakin besar umur harapan
hidup orang tersebut.
Etnis seseorang juga mempunyai pengaruh terhadap kejadian hipertensi, namun
penelitian mengenai hubungan etnis dan kejadian hipertensi menghasilkan hasil yang
beragam. Hal ini disebabkan, karena selain faktor etnis, terdapat juga faktor
lingkungan dan faktor perilaku yang ikut mempengaruhi kejadian hipertensi.
Sehingga penelitian terhadap etnis yang sama di tempat yang berbeda, menghasilkan
data yang berbeda. Secara umum, banyak penelitian yang menunjukkan kejadian
hipertensi lebih banyak terjadi pada etnis Afro-Karibia dan Asia Selatan dibandingkan
dengan etnis kulit putih.
Aterosklerosis merupakan penyakit yang sering ditemukan bersamaan dengan
hipertensi dan memiliki hubungan timbal balik positif. Tekanan darah yang tinggi
akan memberikan beban terhadap dinding pembuluh darah dan melalui proses yang
kronis, tekanan berlebih ini akan menyebabkan kerusakan pada dinding pembuluh
darah. Kerusakan dinding arteri ini merupakan pencetus terjadinya proses
aterosklerosis. Aterosklerosis sendiri akan menyebabkan hipertensi jika terjadi secara
menyeluruh di pembuluh darah sistemik. Faktor-faktor risiko yang mempengaruhi
kejadian aterosklerosis adalah tingginya kadar kolesterol serum, intoleransi glukosa
dan kebiasaan merokok juga mempengaruhi kejadian hipertensi.
Peningkatan berat badan juga telah dihubungkan dengan peningkatan kejadian
hipertensi dan penurunan berat badan dapat menurunkan tekanan darah arterinya.
Namun, belum diketahui apakah perubahan ini berhubungan dengan perubahan
sensitivitas dari insulin.
Gambar 1. Alur hipotetis hipertensi primer

Sumber : Kumar, 2004


2. Hipertensi Sekunder
Seperti telah disebutkan sebelumnya, hipertensi sekunder merupakan hipertensi
dengan penyebab yang dapat diidentifikasi. Walaupun hipertensi sekunder lebih
sedikit, namun penyakit ini perlu mendapat perhatian lebih oleh karena :
(1) Terapi terhadap penyebab dapat menyembuhkan hipertensi
(2) Hipertensi sekunder dapat menjadi penghubung dalam memahami etiologi dari
hipertensi primer.
Penyebab-penyebab dari hipertensi sekunder adalah kelainan ginjal, kelainan
endokrin, koartasi aorta dan juga obat-obatan. Penyebab-penyebab tersebut akan
dibicarakan pada bagian berikut.
a. Kelainan Ginjal
Hipertensi yang diakibatkan oleh kelainan ginjal dapat berasal dari perubahan
sekresi zat-zat vasoaktif yang menghasilkan perubahan tonus dinding pembuluh
darah atau berasal dari kekacauan dalam fungsi pengaturan cairan dan natrium
yang mengarah pada meningkatnya volume cairan intravaskular. Pembagian lebih
lanjut dari kelainan ginjal yang menyebabkan hipertensi adalah kelainan
renovaskular dan kelainan parenkim ginjal.
Kelainan renovaskular disebabkan oleh rendahnya perfusi dari jaringan ginjal
oleh karena stenosis yang terjadi pada arteri utama atau cabangnya yang utama.
Hal ini menyebabkan sistem renin-angiotensin teraktivasi. Angiotensin II yang
merupakan produk dari sistem renin-angiotensin, akan secara langsung
menyebabkan vasokonstriksi atau secara tidak langsung melalui aktivasi sistem
saraf adrenergik. Selain itu angiotensin II juga akan merangsang sekresi
aldosteron yang mengakibatkan terjadinya retensi natrium.
Aktivasi sistem renin-angiotensin juga merupakan penjelasan dari hipertensi
yang diakibatkan kelainan parenkim ginjal. Perbedaannya adalah penurunan
perfusi jaringan ginjal pada kelainan parenkim ginjal disebabkan oleh peradangan
dan proses fibrosis yang mempengaruhi banyak pembuluh darah kecil di dalam
ginjal.

b. Kelainan Endokrin
Kelainan endokrin dapat menyebabkan hipertensi. Hal ini disebabkan banyak
hormon-hormon yang mempengaruhi tekanan darah. Beberapa kelainan endokrin
ini antara lain adalah :
1. Hiperaldosteronism primer
2. Cushing syndrome
3. Pheochromocytoma
4. Akromegali
5. Hiperparatiroid

c. Koartasi Aorta
Hipertensi yang disebabkan oleh koartasi aorta dapat berasal dari
vasokonstriksi pembuluh darah itu sendiri atau perubahan pada perfusi ginjal.
Perubahan perfusi ginjal ini akan menghasilkan bentuk hipertensi renovaskular
yang tidak umum.

B. Tanda dan Gejala Hipertensi


Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang
tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat,
penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat dapat ditemukan edema pupil
(edema pada diskus optikus). Menurut Price, gejala hipertensi antara lain sakit kepala
bagian belakang, kaku kuduk, sulit tidur, gelisah, kepala pusing, dada berdebar-debar,
lemas, sesak nafas, berkeringat dan pusing (Price, 2005).
Gejala-gejala penyakit yang biasa terjadi baik pada penderita hipertensi maupun
pada seseorang dengan tekanan darah yang normal hipertensi yaitu sakit kepala, gelisah,
jantung berdebar, perdarahan hidung, sulit tidur, sesak nafas, cepat marah, telinga
berdenging, tekuk terasa berat, berdebar dan sering kencing di malam hari. Gejala akibat
komplikasi hipertensi yang pernah dijumpai meliputi gangguan penglihatan, saraf,
jantung, fungsi ginjal dan gangguan serebral (otak) yang mengakibatkan kejang dan
pendarahan pembuluh darah otak yang mengakibatkan kelumpuhan dan gangguan
kesadaran hingga koma (Cahyono, 2008).
Corwin menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami
hipertensi bertahun-tahun adalah nyeri kepala saat terjaga, kadang kadang disertai mual
dan muntah yang disebabkan peningkatan tekanan darah intrakranial (Corwin, 2005).

C. Patofisiologi
Tekanan arteri sistemik adalah hasil dari perkalian cardiac output (curah jantung)
dengan total tahanan prifer. Cardiac output (curah jantung) diperoleh dari perkalian
antara stroke volume dengan heart rate (denyut jantung). Pengaturan tahanan perifer
dipertahankan oleh sistem saraf otonom dan sirkulasi hormon.

TEKANAN DARAH
TD = CO X PR

Tekanan darah dipengaruhi oleh:


 Cardiac output/ curah jantung  jumlah darah yg dipompa jantung setiap menit
 Peripheral resistance  faktor pembuluh darah  diameter pembuluh darah,
kekentalan darah turbulensi
 Volume darah
1. Perubahan anatomi dan fisiologi pembuluh darah
Aterosklerosis adalah kelainan pada pembuluh darah yang ditandai dengan
penebalan dan hilangnya elastisitas arteri. Aterosklerosis merupakan proses
multifaktorial. Terjadi inflamasi pada dinding pembuluh darah dan terbentuk deposit
substansi lemak, kolesterol, produk sampah seluler, kalsium dan berbagai substansi
lainnya dalam lapisan pembuluh darah. Pertumbuhan ini disebut plak. Pertumbuhan plak
di bawah lapisan tunika intima akan memperkecil lumen pembuluh darah, obstruksi
luminal, kelainan aliran darah, pengurangan suplai oksigen pada organ atau bagian tubuh
tertentu.
Sel endotel pembuluh darah juga memiliki peran penting dalam pengontrolan
pembuluh darah jantung dengan cara memproduksi sejumlah vasoaktif lokal yaitu
molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi endotelium banyak terjadi pada
kasus hipertensi primer.

2. Sistem renin-angiotensin
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari
angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). Angiotensin II inilah yang
memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.
a. Meningkatkan sekresi Anti-Diuretic Hormone (ADH) dan rasa haus. Dengan
meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh
(antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara
menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat, yang
pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Untuk mengatur volume cairan
ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara
mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan
kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada
gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.

3. Sistem saraf simpatis


Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di
vasomotor, pada medulla diotak. Pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang
berlanjut ke bawah korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia
simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk
implus yang bergerak kebawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Titik
neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf paska
ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibat
kan konstriksi pembuluh darah.
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon
pembuluh darah terhadap rangsangan vasokontriksi. Individu dengan hipertensi sangat
sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi. Meski etiologi hipertensi masih belum jelas, banyak faktor diduga
memegang peranan dalam genesis hiepertensi seperti yang sudah dijelaskan dan faktor
psikis, sistem saraf, ginjal, jantung pembuluh darah, kortikosteroid, katekolamin,
angiotensin, sodium, dan air.
Sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi,
kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi.
Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks
adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respon
vasokonstriktor pembuluh darah.
Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran keginjal, menyebabkan
pelepasan rennin. Rennin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah
menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang
sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air
oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini
cendrung mencetuskan keadaan hipertensi.

D. Mekanisme Pengaturan Tekanan Darah


1. Mekanisme Pengaturan Tekanan Darah Jangka Pendek
Mekanisme pengaturan tekanan darah jangka pendek berlangsung dari beberapa
detik hingga beberapa menit. Faktor fisik yang menentukan tekanan darah adalah
curah jantung, elastisitas arteri, dan tahanan perifer. Curah jantung dan tahanan perifer
merupakan sasaran pada pengaturan cepat lewat refleks. Pengukuran ini terjadi
melalui refleks neuronal dengan target organ efektor jantung, pembuluh darah dan
medula adrenal. Sistem refleks neuronal yang mengatur mean arterial blood
pressure bekerja dalam suatu rangkaian umpan balik negatif terdiri dari: detektor,
berupa baroreseptor yaitu suatu reseptor regang yang mampu mendeteksi peregangan
dinding pembuluh darah oleh peningkatan tekanan darah, dan kemoreseptor, yaitu
sensor yang mendeteksi perubahan PO2, PCO2 dan pH darah; jaras neuronal aferen;
pusat kendali di medula oblongata; jaras neuronal eferen yang terdiri dari sistem saraf
otonom; serta efektor, yang terdiri dari alat pemacu dan sel-sel otot jantung, sel-sel
otot polos di arteri, vena dan medula adrenal.

a. Refleks Baroreseptor dan Kemoreseptor


Mekanisme saraf untuk pengaturan tekanan arteri yang paling diketahui
adalah refleks baroreseptor. Baroreseptor terangsang bila ia teregang. Pada
dinding hampir semua arteri besar yang terletak di daerah toraks dan leher dapat
dijumpai beberapa baroreseptor, tetapi dijumpai terutama dalam: dinding arteri
karotis interna yang terletak agak di atas bifurkasio karotis (sinus karotikus), dan
dinding arkus aorta.
Sinus karotikus adalah bagian pembuluh darah yang paling mudah teregang.
Sinyal yang dijalarkan dari setiap sinus karotikus akan melewati saraf hering
yang sangat kecil ke saraf kranial ke-9 (glosofaringeal) dan kemudian ke nukleus
traktus solitarius (NTS) di daerah medula batang otak. Arkus aorta adalah bagian
yang paling kenyal dan teregang setiap kali terjadi ejeksi ventrikel kiri. Sinyal
dari arkus aorta dijalarkan melalui saraf kranial ke-10 (vagus) juga ke dalam area
yang sama di medula oblongata. Pada keadaan normal sinus karotikus lebih
berperan dalam mengendalikan tekanan darah dibanding arkus aorta, dimana
arkus aorta memiliki ambang rangsang aktivasi statik yang lebih tinggi dibanding
sinus karotikus yaitu ~110 mmHg vs ~50 mmHg. Arkus aorta juga memiliki
ambang rangsang dinamik yang lebih tinggi dibanding sinus karotikus, tetapi
tetap berespons saat baroreseptor sinus karotikus telah jenuh.
Baroreseptor, kemoreseptor dalam badan karotid, dan reseptor volume
(stretch) dalam jantung, mengirim impuls lewat saraf-saraf aferen dalam saraf
kranial ke-9 dan ke-10 menuju NTS di batang otak. Proyeksi dari saraf kranial
ke-9 dan ke-10 menuju NTS akan melalui jalur naik (ascending) untuk mencapai
daerah di otak dimana efek otonom dapat dirangsang oleh stimulasi elektrik
langsung. Daerah tersebut termasuk area-area korteks (fronto-occipital, temporal),
girus singuli, amigdala, ganglia basal, dan hipotalamus, juga daerah bawah batang
otak dan korda spinalis. Jalur menurun (descending) dari korteks dan girus singuli
mencapai hipotalamus. Serabut-serabut dari hipotalamus naik ke nukleus batang
otak dan korda spinalis. Korda spinalis mengandung serabut-serabut vasomotor
yang berjalan naik dan berakhir pada neuron pra-ganglion simpatik.
Baroreseptor lebih banyak berespons terhadap tekanan yang berubah cepat
daripada terhadap tekanan yang menetap. Dalam batas kerja tekanan arteri
normal, perubahan tekanan yang kecil saja sudah akan menimbulkan refleks
otonom yang kuat untuk mengatur kembali tekanan arteri tersebut kembali ke
nilai normal. Jadi, mekanisme umpan balik baroreseptor ini akan berfungsi lebih
efektif bila masih dalam batas tekanan yang biasanya diperlukan.
Banyaknya jalur neuronal yang saling berinteraksi untuk mengatur aliran
impuls saraf otonom memberi banyak peluang untuk integrasi berbagai stimulus
yang mempengaruhi tekanan darah, seperti: faktor emosi (takut, marah, cemas),
stres fisik (nyeri, kerja fisik, perubahan suhu), kadar O2 dalam darah, dan
glukosa, juga level tekanan darah yang di kontrol oleh baroreseptor.
Kendali kemoreseptor pada sistem kardiovaskuler mencakup kemoreseptor
sentral dan perifer. Kemoreseptor sentral di medula oblongata sensitif terhadap
pH otak yang rendah, yang mencerminkan peninggian PCO2di arteri.
Peningkatan PCO2 arteri menstimulasi kemoreseptor sentral untuk menginhibisi
area vasomotor dengan hasil akhir peningkatan keluaran simpatis dan terjadi
vasokonstriksi. Kemoreseptor perifer berperan mengendalikan ventilasi paru dan
terletak dekat baroreseptor, yaitu badan karotis dan badan aorta. Penurunan
PO2 arteri menstimulasi kemoreseptor perifer untuk menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah.
Pengaturan Jangka Pendek terhadap Penurunan Tekanan Darah.

Pengaturan Jangka Pendek terhadap Peningkatan Tekanan Darah.

b. Perangsangan Parasimpatis pada Jantung


Sistem saraf parasimpatis sangat penting bagi sejumlah fungsi autonom pada
tubuh, namun hanya mempunyai peran kecil dalam pengendalian sirkulasi.
Pengaruh sirkulasi yang penting hanyalah pengaturan frekuensi jantung melalui
serat-serat parasimpatis yang di bawa ke jantung oleh nervus vagus, dari medula
langsung ke jantung.
Perangsangan vagus yang kuat pada jantung dapat menghentikan denyut
jantung selama beberapa detik, tetapi biasanya jantung akan “mengatasinya” dan
setelah itu berdenyut dengan kecepatan 20 sampai 40 kali per menit. Selain itu,
perangsangan vagus yang kuat dapat menurunkan kekuatan kontraksi otot sebesar
20 sampai 30 persen. Penurunan ini tidak akan lebih besar karena serat-serat
vagus di distribusikan terutama ke atrium tetapi tidak begitu banyak ke ventrikel
di mana tenaga kontraksi sebenarnya terjadi. Meskipun demikian, penurunan
frekuensi denyut jantung yang besar digabungkan dengan penurunan kontraksi
jantung yang kecil akan dapat menurunkan pemompaan ventrikel sebesar 50
persen atau lebih, terutama bila jantung bekerja dalam keadaan beban kerja yang
besar. Dengan cara ini, curah jantung dapat diturunkan sampai serendah nol atau
hampir nol.
Efek Peningkatan Aktifitas Parasimpatik dan Penurunan Aktivitas Simpatik pada
Jantung dan Tekanan Darah

c. Perangsangan Parasimpatis pada Pembuluh Darah


Serabut parasimpatis hanya dijumpai di beberapa daerah pada tubuh. Serabut
parasimpatis mempersarafi kelenjar air liur dan kelenjar gastrointestinal, dan
berpengaruh vasodilatasi pada organ erektil di genitalia eksterna. Serabut
postganglion pasasimpatis melepaskan asetilkolin yang menyebabkan
vasodilatasi.

d. Perangsangan Simpatis pada Jantung


Serat-serat saraf vasomotor simpatis meninggalkan medula spinalis melalui
semua saraf spinal toraks dan lumbal pertama dan kedua. Serat-serat ini masuk ke
dalam rantai simpatis dan kemudian ke sirkulasi melalui dua jalan; (1) melalui
saraf simpatis spesifik, yang terutama menginervasi vaskulatur dari visera internal
dan jantung serta (2) melalui nervus spinalis yang terutama menginervasi
vaskulatur daerah perifer. Inervasi arteri kecil dan arteriol menyebabkan
rangsangan simpatis meningkatkan tahanan dan dengan demikian menurunkan
kecepatan aliran darah yang melalui jaringan. Inervasi pembuluh besar, terutama
vena, memungkinkan bagi rangsangan simpatis untuk menurunkan volume
pembuluh ini dan dengan demikian mengubah volume sistem sirkulasi perifer.
Hal ini dapat memindahkan darah ke dalam jantung dan dengan demikian
berperan penting dalam pengaturan fungsi kardiovaskular.
Perangsangan simpatis yang kuat dapat meningkatkan fekuensi denyut
jantung pada manusia dewasa dari 180 menjadi 200 dan, walaupun jarang terjadi,
250 kali denyutan per menit pada orang dewasa muda. Juga, perangsangan
simpatis meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung, oleh karena itu akan
meningkatkan volume darah yang dipompa dan meningkatkan tekanan ejeksi.
Jadi, perangsangan simpatis sering dapat meningkatkan curah jantung sebanyak
dua sampai tiga kali lipat selain peningkatan curahan yang mungkin disebabkan
oleh mekanisme Frank-Starling. Secara singkat, mekanisme Frank-Starling dapat
diartikan sebagai berikut: semakin besar otot jantung diregangkan selama
pengisian, semakin besar kekuatan kontraksi dan semakin besar pula jumlah
darah yang dipompa ke dalam aorta.
Sebaliknya, penghambatan sistem saraf simpatis dapat digunakan untuk
menurunkan pompa jantung menjadi moderat dengan cara sebagai berikut: Pada
keadaan normal, serat-serat saraf simpatis ke jantung secara terus-menerus
melepaskan sinyal dengan kecepatan rendah untuk mempertahankan pemompaan
kira-kira 30 persen lebih tinggi bila tanpa perangsangan simpatis. Oleh karena itu,
bila aktivitas sistem saraf simpatis ditekan sampai di bawah normal, keadaan ini
akan menurunkan frekuensi denyut jantung dan kekuatan kontraksi ventrikel,
sehingga akan menurunkan tingkat pemompaan jantung sampai sebesar 30 persen
di bawah normal.
Efek Peningkatan Aktivitas Simpatis Pada Jantung Dan Tekanan Darah
e. Perangsangan Simpatis pada Pembuluh Darah
Serabut simpatis tersebar luas pada pembuluh darah tubuh, terbanyak
ditemukan di ginjal dan kulit, tetapi relatif jarang di koroner dan pembuluh darah
otak, dan tidak ada di plasenta. Serabut ini melepaskan norepinefrin yang
berikatan dengan adrenoseptor di membran sel otot polos pembuluh darah.
Serabut simpatis menyebabkan vasokonstriksi pada sebagian besar pembuluh
darah, tetapi di otak, jantung, dan otot rangka menyebabkan vasodilatasi.

Efek Penurunan Aktivitas Simpatis Pada Arteri Dan Tekanan Darah

Efek Peningkatan Aktivitas Simpatis Pada Arteri Dan Tekanan Darah


2. Mekanisme Pengaturan Tekanan Darah Jangka Menengah dan Jangka Panjang
Sebagai pelengkap dari mekanisme neuronal yang bereaksi cepat dalam
mengendalikan resistensi perifer dan curah jantung, kendali jangka menengah dan
jangka panjang melalui sistem humoral bertujuan untuk memelihara homeostasis
sirkulasi. Pada keadaan tertentu, sistem kendali ini beroperasi dalam skala waktu
berjam-jam hingga berhari-hari, jauh lebih lambat dibandingkan dengan refleks
neurotransmiter oleh susunan saraf pusat. Sebagai contoh, saat kehilangan darah
disebabkan perdarahan, kecelakaan, atau mendonorkan sekantung darah, akan
menurunkan tekanan darah dan memicu proses untuk mengembalikan volume darah
kembali normal. Pada keadaan tersebut pengaturan tekanan darah dicapai terutama
dengan meningkatkan volume darah, memelihara keseimbangan cairan tubuh melalui
mekanisme di ginjal dan menstimulasi pemasukan air untuk normalisasi volume darah
dan tekanan darah
a. Amina Biogenik
Amina biogenik termasuk substansi yang di bentuk melalui dekarboksilasi
asam amino atau derivatnya. Katekolamin, yaitu dopamin, norepinefrin, dan
epinefrin termasuk amina biogenik yang berperan dalam regulasi tekanan darah.
Katekolamin merupakan neurotransmiter dalam beberapa jalur sistem saraf pusat,
lewat pelepasan hormon ini dari medula adrenal (terutama epinefrin) atau pada
ujung saraf simpatis (terutama norepinefrin), atau lewat kerja langsung dalam
ginjal di mana hormon ini mempengaruhi aliran darah dan produksi renin.
Dopamin adalah prekursor untuk epinefrin. Kadar dopamin yang tinggi di
dalam serum dibutuhkan untuk mengaktifkan reseptor a pembuluh darah dan
menyebabkan vasokonstriksi. Norepinefrin di sintesa dalam medula adrenal, pre-
ganglion simpatik, otak, dan sel-sel saraf spinal, namun paling banyak ditemukan
di dalam vesikel sinaptik saraf otonom pasca-ganglion pada organ-organ yang
kaya akan inervasi simpatis, seperti otak, kelenjar saliva, otot polos pembuluh
darah, hati, limpa, ginjal, dan otot. Norepinefrin menstimulasi reseptor a1-
adrenergik (terletak di jantung, otot-otot papiler, dan otot polos) dan reseptor b1-
adrenergik yang meningkatkan pemasukan kalsium ke dalam sel-sel target,
sehingga meningkatkan kontraksi dan denyut jantung dan akibatnya
meningkatkan tekanan darah. Epinefrin menstimulasi reseptor a1 dan b1-
adrenergik dengan efek yang sama seperti norepinefrin, tetapi juga menstimulasi
reseptor b2-adrenergik (terdapat dalam otot rangka, jantung, hati, dan medula
adrenal) dengan efek akhir vasodilatasi. Namun epinefrin bukanlah vasodilator
sistemik, efeknya terhadap kardiovaskuler lebih lemah dibandingkan dengan efek
yang ditimbulkan norepinefrin.
Efek peningkatan aktivitas simpatis pada kelenjar adrenal dan tekanan darah.

Amina biogenik lainnya, serotonin dan histamin, mempunyai efek kerja yang
kuat pada otot polos pembuluh darah. Selain merupakan komponen endogen
dalam tubuh manusia, serotonin dan histamin juga terdapat di alam. Serotonin
atau 5-hidroksitriptamin adalah vasokonstriktor kuat, namun tidak terlibat
langsung dalam kontrol terhadap tekanan darah. Serotonin secara tidak langsung
ikut mengatur tekanan darah melalui perannya sebagai neurotransmiter di dalam
sistem saraf pusat. Histamin, di bentuk melalui dekarboksilasi histidin dan
dijumpai pada banyak jaringan, termasuk di ujung saraf. Histamin menyebabkan
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler, tetapi belum ada bukti bahwa
histamin berperan dalam kontrol terhadap tekanan darah.
b. Renin
Renin adalah protease asam, merupakan enzim yang mengkatalisis pelepasan
hidrolitik dekapeptida angiotensin I dari ujung amino terminal angiotensinogen.
Angiotensin I berfungsi semata-mata sebagai prekursor dari angiotensin II. Renin
di simpan dalam sel-sel jukstaglomerular ginjal dan dilepaskan ke dalam
pembuluh darah sebagai respons terhadap berbagai stimulus fisiologis yang
membantu untuk menggabungkan sistem renin-angiotensin menjadi proses yang
kompleks dalam homeostasis sirkulasi. Renin yang aktif mempunyai waktu
paruh paling lama 80 menit di dalam sirkulasi. Renin di bantu oleh angiotensin-
converting-enzyme (ACE) membentuk angiotensin II.

c. Angiotensinogen
Angiotensinogen disebut juga substrat renin, di sirkulasi dijumpai dalam
fraksi a2-globulin plasma. Angiotensinogen disintesa dalam hati, mengandung
sekitar 13% karbohidrat dan di bentuk dari 453 residu asam amino. Kadar
angiotensinogen dalam sirkulasi meningkat oleh glukokortikoid, hormon tiroid,
estrogen, beberapa sitokin, dan angiotensin II.

d. Angiotensin-Converting Enzyme (ACE)


Angiotensin-Converting Enzyme adalah dipeptidil karboksipeptidase yang
membagi histidil-leusin dari angiotensin I inaktif, membentuk angiotensin II
oktapeptida. Lokasi enzim ini di sirkulasi adalah dalam sel-sel endotel. Sebagian
besar konversi angiotensin I menjadi angiotensin II oleh ACE terjadi saat darah
melewati paru-paru. Hal ini mungkin disebabkan luasnya endotel paru, sebagai
lokasi strategis di mana terjadi penerimaan curah jantung dari darah vena, dan
mungkin yang paling penting karena angiotensin II dapat melewati sirkulasi paru
tanpa ekstraksi.

e. Angiotensin II
Angiotensin II adalah hormon peptida yang bekerja di kelenjar adrenal, otot
polos pembuluh darah, dan ginjal. Reseptor untuk angiotensin II berlokasi pada
membran plasma dari sel-sel target pada jaringan-jaringan tersebut. Angiotensin
II sangat cepat dimetabolisme, waktu paruhnya dalam sirkulasi sekitar 1-2
menit. Hormon ini dimetabolisme oleh berbagai peptida. Aminopeptida
mengeluarkan residu asam aspartat dari amino terminal peptida ini, menghasilkan
heptapetida yang disebut angiotensin III. Pengambilan residu amino terminal
yang kedua dari angiotensin III menghasilkan heksapeptida yang disebut
angiotensin IV. Biasanya peptida-peptida yang terbentuk ini tidak/kurang aktif
dibandingkan dengan angiotensin II.
Angiotensin II yang disebut juga hipertensin atau angiotonin, menghasilkan
konstriksi arteri dan peningkatan tekanan darah sistolik maupun diastolik. Di
dalam sel otot polos pembuluh darah, angiotensin II berikatan dengan reseptor G-
protein-coupled AT1A, mengaktifkan fosfolipase C, meningkatkan Ca2+ dan
menyebabkan kontraksi. Hormon ini merupakan salah satu vasokonstriktor kuat,
empat hingga delapan kali lebih aktif daripada norepinefrin pada individu normal,
namun kadar plasma angiotensin II tidak cukup untuk menyebabkan
vasokonstriksi sistemik. Sebaliknya angiotensin II berperan dalam kardovaskuler
bila terjadi kehilangan darah, olahraga dan keadaan serupa yang mengurangi
aliran darah ke ginjal.
Efek penting dari angiotensin II terhadap pengaturan tekanan darah antara
lain:
 Meningkatkan kontraktilitas jantung
 Mengurangi aliran plasma ke ginjal, dengan demikian meningkatkan
reabsorpsi Na+ di ginjal
 Bersama angiotensin III merangsang korteks adrenal melepaskan aldosteron
 Menstimulasi rasa haus dan memicu pelepasan vasokonstriktor lain yaitu
arginin vasopresin (AVP)
 Memfasilitasi pelepasan norepinefrin dari pasca-ganglion saraf simpatik.
SISTEM RAA
E. Faktor- Faktor Risiko
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah
Faktor risiko yang tidak dapat dirubah yang antara lain usia, jenis kelamin dan genetik.
a. Usia
Usia mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya umur, risiko
terkena hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi di kalangan
usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar di atas usia 65
tahun (Depkes, 2006b). Pada usia lanjut, hipertensi terutama ditemukan hanya berupa
kenaikan tekanan sistolik. Sedangkan menurut WHO memakai tekanan diastolik
sebagai bagian tekanan yang lebih tepat dipakai dalam menentukan ada tidaknya
hipertensi. Tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur yang disebabkan
oleh perubahaan struktur pada pembuluh darah besar, sehingga lumen menjadi lebih
sempit dan dinding pembuluh darah menjadi lebih kaku, sebagai akibatnya terjadi
peningkatan tekanan darah sistolik. Penelitian yang dilakukan di 6 kota besar seperti
Jakarta, Padang, Bandung, Yogyakarta, Denpasar dan Makassar terhadap usia lanjut
(55-85 tahun), didapatkan prevalensi hipertensi terbesar 52,5 % (Depkes, 2006 b).

b. Jenis kelamin
Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria lebih banyak
yang menderita hipertensi dibandingkan wanita, dengan rasio sekitar 2,29 untuk
peningkatan tekanan darah sistolik. Pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung
dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan wanita (Depkes, 2006 b).
Namun, setelah memasuki manopause, prevalensi hipertensi pada wanita meningkat.
Setelah usia 65 tahun, terjadinya hipertensi pada wanita lebih meningkat
dibandingkan dengan pria yang diakibatkan faktor hormonal. Penelitian di Indonesia
prevalensi yang lebih tinggi terdapat pada wanita (Depkes, 2006 b).
Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) menyebutkan bahwa prevalensi
penderita hipertensi di Indonesia lebih besar pada perempuan (8,6%) dibandingkan
laki-laki (5,8%). Sedangkan menurut Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
(2006), sampai umur 55 tahun, laki-laki lebih banyak menderita hipertensi dibanding
perempuan. Dari umur 55 sampai 74 tahun, sedikit lebih banyak perempuan
dibanding laki-laki yang menderita hipertensi (Depkes, 2008 a).
c. Keturunan (genetik)
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga
mempertinggi risiko terkena hipertensi, terutama pada hipertensi primer (essensial).
Tentunya faktor genetik ini juga dipenggaruhi faktor-faktor lingkungan, yang
kemudian menyebabkan seorang menderita hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan
dengan metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel. Menurut Davidson
bila kedua orang tuanya menderita hipertensi, maka sekitar 45% akan turun ke anak-
anaknya dan bila salah satu orang tuanya yang menderita hipertensi maka sekitar
30% akan turun ke anak-anaknya (Depkes, 2006 b).

2. Faktor risiko yang dapat diubah


Faktor risiko penyakit jantung koroner yang diakibatkan perilaku tidak sehat dari
penderita hipertensi antara lain merokok, diet rendah serat, kurang aktifitas gerak, berat
badan berlebihan/kegemukan, komsumsi alkohol, stress dan komsumsi garam berlebih
sangat berhubungan erat dengan hipertensi (Depkes, 2006 b).
a. Kegemukan (obesitas)
Kegemukan (obesitas) adalah presentase abnormalitas lemak yang dinyatakan
dalam Indeks Massa Tubuh (IMT) yaitu perbandingan antara berat badan dengan
tinggi badan kuadrat dalam meter. Kaitan erat antara kelebihan berat badan dan
kenaikan tekanan darah telah dilaporkan oleh beberapa studi. Berat badan dan IMT
berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik.
Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat
badan lebih (overweight) (Depkes, 2006b).
Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi pada
obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang gemuk
5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang badannya normal. Pada
penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih
(overweight) (Depkes, 2006b). Hipertensi pada seseorang yang kurus atau normal
dapat juga disebabkan oleh sistem simpatis dan sistem renin angiotensin. Aktivitas
dari saraf simpatis adalah mengatur fungsi saraf dan hormon, sehingga dapat
meningkatkan denyut jantung, menyempitkan pembuluh darah, dan meningkatkan
retensi air dan garam.
b. Psikososial dan stress
Stress adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya transaksi antara
individu dengan lingkungannya yang mendorong seseorang untuk mempersepsikan
adanya perbedaan antara tuntutan situasi dan sumber daya (biologis, psikologis dan
sosial) yang ada pada diri seseorang (Depkes, 2006 b). Stress atau ketegangan jiwa
(rasa tertekan, murung, rasa marah, dendam, rasa takut dan rasa bersalah) dapat
merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung
berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika
stress berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga
timbul kelainan organis atau perubahaan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa
hipertensi atau penyakit maag. Diperkirakan, prevalensi atau kejadian hipertensi pada
orang kulit hitam di Amerika Serikat lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit
putih disebabkan stress atau rasa tidak puas orang kulit hitam pada nasib mereka
(Depkes, 2006b).

c. Merokok
Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap
melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel
pembuluh darah arteri yang mengakibatkan proses artereosklerosis dan tekanan darah
tinggi. Pada studi autopsi, dibuktikan kaitan erat antara kebiasaan merokok dengan
adanya artereosklerosis pada seluruh pembuluh darah. Merokok juga meningkatkan
denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung. Merokok
pada penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan risiko kerusakan pada
pembuluh darah arteri (Depkes, 2006b).
Menurut Depkes RI Pusat Promkes (2008), telah dibuktikan dalam penelitian
bahwa dalam satu batang rokok terkandung 4000 racun kimia berbahaya termasuk 43
senyawa. Bahan utama rokok terdiri dari 3 zat, yaitu 1) Nikotin, merupakan salah
satu jenis obat perangsang yang dapat merusak jantung dan sirkulasi darah dengan
adanya penyempitan pembuluh darah, peningkatan denyut jantung, pengerasan
pembuluh darah dan penggumpalan darah. 2) Tar, dapat mengakibatkan kerusakan sel
paru-paru dan menyebabkan kanker. 3) Karbon Monoksida (CO) merupakan gas
beracun yang dapat menghasilkan berkurangnya kemampuan darah membawa
oksigen (Depkes, 2008b).
d. Olahraga
Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem
penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi diluar
metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan
tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan
untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh.
Olahraga dapat menurunkan risiko penyakit jantung koroner melalui mekanisme
penurunan denyut jantung, tekanan darah, penurunan tonus simpatis, meningkatkan
diameter arteri koroner, sistem kolateralisasi pembuluh darah, meningkatkan HDL
(High Density Lipoprotein) dan menurunkan LDL (Low Density Lipoprotein) darah.
Melalui kegiatan olahraga, jantung dapat bekerja secara lebih efisien. Frekuensi
denyut nadi berkurang, namun kekuatan jantung semakin kuat, penurunan kebutuhan
oksigen jantung pada intensitas tertentu, penurunan lemak badan dan berat badan
serta menurunkan tekanan darah (Cahyono, 2008). Olahraga yang teratur dapat
membantu menurunkan tekanan darah dan bermanfaat bagi penderita hipertensi
ringan. Pada orang tertentu dengan melakukan olahraga aerobik yang teratur dapat
menurunkan tekanan darah tanpa perlu sampai berat badan turun (Depkes, 2006 b).

e. Konsumsi alkohol berlebih


Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan. Mekanisme
peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun, diduga
peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan
darah berperan dalam menaikkan tekanan darah. Beberapa studi menunjukkan
hubungan langsung antara tekanan darah dan asupan alkohol dilaporkan
menimbulkan efek terhadap tekanan darah baru terlihat apabila mengkomsumsi
alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap harinya (Depkes, 2006 b). Di negara
barat seperti Amerika, komsumsi alkohol yang berlebihan berpengaruh terhadap
terjadinya hipertensi. Sekitar 10% hipertensi di Amerika disebabkan oleh asupan
alkohol yang berlebihan di kalangan pria separuh baya. Akibatnya, kebiasaan
meminum alkohol ini menyebabkan hipertensi sekunder di usia ini (Depkes, 2006 b).
Komsumsi alkohol seharusnya kurang dari dua kali per hari pada laki-laki untuk
pencegahan peningkatan tekanan darah. Bagi perempuan dan orang yang memiliki
berat badan berlebih, direkomendasikan tidak lebih satu kali minum per hari
(Krummel, 2004).
f. Komsumsi garam berlebihan
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik cairan di
luar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan
darah. Pada sekitar 60% kasus hipertensi primer (essensial) terjadi respon penurunan
tekanan darah dengan mengurangi asupan garam 3 gram atau kurang, ditemukan
tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan pada masyarakat asupan garam sekitar 7-8
gram tekanan rata-rata lebih tinggi (Depkes, 2006 b). Almatsier (2001) dan (2006),
natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraseluler. Pengaturan keseimbangan
natrium dalam darah diatur oleh ginjal. Sumber utama natrium adalah garam dapur
atau NaCl, selain itu garam lainnya bisa dalam bentuk soda kue (NaHCO 3), baking
powder, natrium benzoate dan vetsin (monosodium glutamate). Kelebihan natrium
akan menyebabkan keracunan yang dalam keadaan akut menyebabkan edema dan
hipertensi. WHO menganjurkan bahwa komsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih
6 gram/hari setara 110 mmol natrium (Almatsier, 2001, 2006).
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2006. Penuntun Diet Edisi Baru. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Cahyono, S. 2008. Gaya Hidup dan Penyakit Modren. Kanisius. Jakarta.
Corwin, E. 2005. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2001. Jakarta : 2002.
Depkes RI. 2006a . Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik. Departemen Kesehatan. Jakarta.
Depkes RI. 2006b . Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi.
Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Jakarta.
Depkes RI. 2008a . Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Indonesia Tahun
2007. Depkes RI. Jakarta.
Depkes RI. 2008b . Panduan Promosi Perilaku Tidak Merokok. Jakarta: Pusat Promosi
Kesehatan Depkes RI. Jakarta.
Fisher NDL, Williams GH. Hypertensive vascular disease. In : Kasper DL, Fauci AS, Longo
DL, Braunwald E, Hauser SL, et all, editors. Harrison’s principle of internal medicine.
16th edition. New York : McGraw Hill; 2005. p. 1463-80.
Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins and Cotran’s Pathologic Basis of Diesease. 7 th
edition. Boston: Elsevier B. V.: 2004.
Price, S.A., Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi, Konsep Klinis dan Proses-Proses Penyakit
Edisi 6. EGC. Jakarta.

Вам также может понравиться