Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
HIPERTENSI
Disusun Oleh
Silvia Fakhrunnisa (1806254730)
Syabilila Indraswari (1806254825)
PROGRAM STUDI
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hipertensi dikenal secara luas sebagai penyakit kardiovaskular. Diperkirakan telah
menyebabkan 4.5% dari beban penyakit secara global, dan prevalensinya hampir sama
besar di negara berkembang maupun di negara maju.1 Hipertensi merupakan salah satu
faktor risiko utama gangguan jantung. Selain mengakibatkan gagal jantung, hipertensi
dapat berakibat terjadinya gagal ginjal maupun penyakit serebrovaskular.
Hipertensi telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di negara-
negara maju serta di beberapa negara-negara berkembang. Indonesia sebagai salah satu
negara berkembang juga menghadapi masalah ini. Semakin meningkatnya arus
globalisasi di segala bidang, telah membawa banyak perubahan pada perilaku dan gaya
hidup masyarakat di Indonesia, termasuk dalam pola konsumsi makanan keluarga.
Perubahan tersebut tanpa disadari telah memberi pengaruh terhadap meningkatnya
kasus-kasus hipertensi di Indonesia. Pada kebanyakan kasus, hipertensi terdeteksi saat
pemeriksaan fisik karena alasan penyakit tertentu, sehingga sering disebut sebagai “silent
killer”. Tanpa disadari penderita mengalami komplikasi pada organ-organ vital seperti
jantung, otak ataupun ginjal. (Depkes RI, 2002)
Di Amerika, menurut National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES
III); paling sedikit 30% pasien hipertensi tidak menyadari kondisi mereka, dan hanya
31% pasien yang diobati mencapai target tekanan darah yang diinginkan dibawah 140/90
mmHg.
Hipertensi dilihat dari segi klinis, merupakan penyakit yang umum, asimptomatis,
mudah dideteksi dan mudah ditangani jika dikenali secara dini. Namun, hipertensi dapat
menyebabkan komplikasi-komplikasi yang mematikan jika tidak ditangani. (Fisher,
2005)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Secara umum, seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki tekanan darah
sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan
yang berulang. Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar
penentuan diagnosis hipertensi. Tekanan darah sistol merupakan tekanan darah terhadap
dinding arteri ketika jantung sedang berkontraksi memompa darah. Angka kedua yang
lebih kecil nilainya, menunjukkan tekanan darah diastol. Tekanan darah diastol
merupakan tekanan darah terhadap dinding arteri ketika jantung sedang berelaksasi di
antara dua kontraksi. Tekanan darah diastol juga menggambarkan keadaan elastisitas
dinding arteri
Definisi hipertensi ditetapkan berdasarkan kesepakatan yang mempertimbangkan
risiko komplikasi penyakit kardiovaskular pada beberapa tingkat tekanan darah. Tekanan
darah sistol/diastol sebesar 120/80 ditetapkan sebagai batas tekanan darah yang normal.
Hal ini didapatkan dengan mempertimbangkan bahwa kenaikan risiko penyakit
kardiovaskular pada orang-orang bertekanan darah di bawah 115/75 mmHg tidak terlalu
signifikan dibandingkan dengan orang-orang bertekanan darah di atas nilai tersebut.
Berdasarkan penyebabnya, dikenal dua jenis hipertensi yaitu Hipertensi primer
(essensial) dan Hipertensi sekunder. Hipertensi primer (esensial) Adalah suatu
peningkatan persisten tekanan arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme
kontrol homeostatik normal, Hipertensi ini tidak diketahui penyebabnya dan mencakup
+ 90% dari kasus hipertensi, sedangkan Hipertensi sekunder adalah hipertensi persisten
akibat kelainan dasar kedua selain hipertensi esensial. Hipertensi ini penyebabnya
diketahui dan ini menyangkut + 10% dari kasus-kasus hipertensi (Wibowo, 1999).
1. Hipertensi Primer
Hipertensi Primer atau hipertensi esensial adalah hipertensi yang penyebabnya
tidak diketahui secara pasti atau idiopatik. Kesulitan dalam menemukan mekanisme
yang bertanggung jawab atas terjadinya hipertensi primer adalah banyaknya sistem
yang terlibat dalam pengaturan tekanan darah. Sistem saraf adrenergik baik sentral
maupun perifer, sistem pengaturan ginjal, sistem pengaturan hormon dan pembuluh
darah adalah sistem-sistem yang mempengaruhi tekanan darah. Sistem-sistem ini
saling mempengaruhi dengan susunan yang kompleks dan dipengaruhi oleh gen-gen
tertentu. Faktor faktor yang diasumsumsikan memiliki pengaruh terhadap hipertensi
primer adalah :
Faktor-faktor yang diketahui memiliki pengaruh antara lain adalah faktor-faktor
lingkungan seperti asupan natrium, obesitas, pekerjaan, asupan alkohol, besar
keluarga dan keramaian penduduk. Faktor-faktor ini telah diasumsikan sebagai faktor
yang berperan penting dalam peningkatan tekanan darah seiring bertambahnya usia
setelah membandingkannya antara kelompok masyarakat yang lebih banyak terpapar
dengan yang lebih sedikit terpapar dengan faktor-faktor tersebut.
Faktor genetik atau faktor keturunan juga memiliki pengaruh terhadap kejadian
hipertensi karena sistem-sistem yang mempengaruhi tekanan darah diatur oleh gen.
Hipertensi merupakan salah satu kelainan genetik kompleks yang paling umum
ditemukan dan diturunkan pada rata-rata 30% keturunannya. Faktor-faktor seperti
usia, ras, jenis kelamin, merokok, asupan alkohol, kolesterol serum, intoleransi
glukosa dan berat badan dapat mempengaruhi prognosis dari hipertensi. Semakin
muda seseorang mengetahui kelainan hipertensinya, semakin besar umur harapan
hidup orang tersebut.
Etnis seseorang juga mempunyai pengaruh terhadap kejadian hipertensi, namun
penelitian mengenai hubungan etnis dan kejadian hipertensi menghasilkan hasil yang
beragam. Hal ini disebabkan, karena selain faktor etnis, terdapat juga faktor
lingkungan dan faktor perilaku yang ikut mempengaruhi kejadian hipertensi.
Sehingga penelitian terhadap etnis yang sama di tempat yang berbeda, menghasilkan
data yang berbeda. Secara umum, banyak penelitian yang menunjukkan kejadian
hipertensi lebih banyak terjadi pada etnis Afro-Karibia dan Asia Selatan dibandingkan
dengan etnis kulit putih.
Aterosklerosis merupakan penyakit yang sering ditemukan bersamaan dengan
hipertensi dan memiliki hubungan timbal balik positif. Tekanan darah yang tinggi
akan memberikan beban terhadap dinding pembuluh darah dan melalui proses yang
kronis, tekanan berlebih ini akan menyebabkan kerusakan pada dinding pembuluh
darah. Kerusakan dinding arteri ini merupakan pencetus terjadinya proses
aterosklerosis. Aterosklerosis sendiri akan menyebabkan hipertensi jika terjadi secara
menyeluruh di pembuluh darah sistemik. Faktor-faktor risiko yang mempengaruhi
kejadian aterosklerosis adalah tingginya kadar kolesterol serum, intoleransi glukosa
dan kebiasaan merokok juga mempengaruhi kejadian hipertensi.
Peningkatan berat badan juga telah dihubungkan dengan peningkatan kejadian
hipertensi dan penurunan berat badan dapat menurunkan tekanan darah arterinya.
Namun, belum diketahui apakah perubahan ini berhubungan dengan perubahan
sensitivitas dari insulin.
Gambar 1. Alur hipotetis hipertensi primer
b. Kelainan Endokrin
Kelainan endokrin dapat menyebabkan hipertensi. Hal ini disebabkan banyak
hormon-hormon yang mempengaruhi tekanan darah. Beberapa kelainan endokrin
ini antara lain adalah :
1. Hiperaldosteronism primer
2. Cushing syndrome
3. Pheochromocytoma
4. Akromegali
5. Hiperparatiroid
c. Koartasi Aorta
Hipertensi yang disebabkan oleh koartasi aorta dapat berasal dari
vasokonstriksi pembuluh darah itu sendiri atau perubahan pada perfusi ginjal.
Perubahan perfusi ginjal ini akan menghasilkan bentuk hipertensi renovaskular
yang tidak umum.
C. Patofisiologi
Tekanan arteri sistemik adalah hasil dari perkalian cardiac output (curah jantung)
dengan total tahanan prifer. Cardiac output (curah jantung) diperoleh dari perkalian
antara stroke volume dengan heart rate (denyut jantung). Pengaturan tahanan perifer
dipertahankan oleh sistem saraf otonom dan sirkulasi hormon.
TEKANAN DARAH
TD = CO X PR
2. Sistem renin-angiotensin
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari
angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). Angiotensin II inilah yang
memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.
a. Meningkatkan sekresi Anti-Diuretic Hormone (ADH) dan rasa haus. Dengan
meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh
(antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara
menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat, yang
pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Untuk mengatur volume cairan
ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara
mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan
kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada
gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.
Amina biogenik lainnya, serotonin dan histamin, mempunyai efek kerja yang
kuat pada otot polos pembuluh darah. Selain merupakan komponen endogen
dalam tubuh manusia, serotonin dan histamin juga terdapat di alam. Serotonin
atau 5-hidroksitriptamin adalah vasokonstriktor kuat, namun tidak terlibat
langsung dalam kontrol terhadap tekanan darah. Serotonin secara tidak langsung
ikut mengatur tekanan darah melalui perannya sebagai neurotransmiter di dalam
sistem saraf pusat. Histamin, di bentuk melalui dekarboksilasi histidin dan
dijumpai pada banyak jaringan, termasuk di ujung saraf. Histamin menyebabkan
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler, tetapi belum ada bukti bahwa
histamin berperan dalam kontrol terhadap tekanan darah.
b. Renin
Renin adalah protease asam, merupakan enzim yang mengkatalisis pelepasan
hidrolitik dekapeptida angiotensin I dari ujung amino terminal angiotensinogen.
Angiotensin I berfungsi semata-mata sebagai prekursor dari angiotensin II. Renin
di simpan dalam sel-sel jukstaglomerular ginjal dan dilepaskan ke dalam
pembuluh darah sebagai respons terhadap berbagai stimulus fisiologis yang
membantu untuk menggabungkan sistem renin-angiotensin menjadi proses yang
kompleks dalam homeostasis sirkulasi. Renin yang aktif mempunyai waktu
paruh paling lama 80 menit di dalam sirkulasi. Renin di bantu oleh angiotensin-
converting-enzyme (ACE) membentuk angiotensin II.
c. Angiotensinogen
Angiotensinogen disebut juga substrat renin, di sirkulasi dijumpai dalam
fraksi a2-globulin plasma. Angiotensinogen disintesa dalam hati, mengandung
sekitar 13% karbohidrat dan di bentuk dari 453 residu asam amino. Kadar
angiotensinogen dalam sirkulasi meningkat oleh glukokortikoid, hormon tiroid,
estrogen, beberapa sitokin, dan angiotensin II.
e. Angiotensin II
Angiotensin II adalah hormon peptida yang bekerja di kelenjar adrenal, otot
polos pembuluh darah, dan ginjal. Reseptor untuk angiotensin II berlokasi pada
membran plasma dari sel-sel target pada jaringan-jaringan tersebut. Angiotensin
II sangat cepat dimetabolisme, waktu paruhnya dalam sirkulasi sekitar 1-2
menit. Hormon ini dimetabolisme oleh berbagai peptida. Aminopeptida
mengeluarkan residu asam aspartat dari amino terminal peptida ini, menghasilkan
heptapetida yang disebut angiotensin III. Pengambilan residu amino terminal
yang kedua dari angiotensin III menghasilkan heksapeptida yang disebut
angiotensin IV. Biasanya peptida-peptida yang terbentuk ini tidak/kurang aktif
dibandingkan dengan angiotensin II.
Angiotensin II yang disebut juga hipertensin atau angiotonin, menghasilkan
konstriksi arteri dan peningkatan tekanan darah sistolik maupun diastolik. Di
dalam sel otot polos pembuluh darah, angiotensin II berikatan dengan reseptor G-
protein-coupled AT1A, mengaktifkan fosfolipase C, meningkatkan Ca2+ dan
menyebabkan kontraksi. Hormon ini merupakan salah satu vasokonstriktor kuat,
empat hingga delapan kali lebih aktif daripada norepinefrin pada individu normal,
namun kadar plasma angiotensin II tidak cukup untuk menyebabkan
vasokonstriksi sistemik. Sebaliknya angiotensin II berperan dalam kardovaskuler
bila terjadi kehilangan darah, olahraga dan keadaan serupa yang mengurangi
aliran darah ke ginjal.
Efek penting dari angiotensin II terhadap pengaturan tekanan darah antara
lain:
Meningkatkan kontraktilitas jantung
Mengurangi aliran plasma ke ginjal, dengan demikian meningkatkan
reabsorpsi Na+ di ginjal
Bersama angiotensin III merangsang korteks adrenal melepaskan aldosteron
Menstimulasi rasa haus dan memicu pelepasan vasokonstriktor lain yaitu
arginin vasopresin (AVP)
Memfasilitasi pelepasan norepinefrin dari pasca-ganglion saraf simpatik.
SISTEM RAA
E. Faktor- Faktor Risiko
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah
Faktor risiko yang tidak dapat dirubah yang antara lain usia, jenis kelamin dan genetik.
a. Usia
Usia mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya umur, risiko
terkena hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi di kalangan
usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar di atas usia 65
tahun (Depkes, 2006b). Pada usia lanjut, hipertensi terutama ditemukan hanya berupa
kenaikan tekanan sistolik. Sedangkan menurut WHO memakai tekanan diastolik
sebagai bagian tekanan yang lebih tepat dipakai dalam menentukan ada tidaknya
hipertensi. Tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur yang disebabkan
oleh perubahaan struktur pada pembuluh darah besar, sehingga lumen menjadi lebih
sempit dan dinding pembuluh darah menjadi lebih kaku, sebagai akibatnya terjadi
peningkatan tekanan darah sistolik. Penelitian yang dilakukan di 6 kota besar seperti
Jakarta, Padang, Bandung, Yogyakarta, Denpasar dan Makassar terhadap usia lanjut
(55-85 tahun), didapatkan prevalensi hipertensi terbesar 52,5 % (Depkes, 2006 b).
b. Jenis kelamin
Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria lebih banyak
yang menderita hipertensi dibandingkan wanita, dengan rasio sekitar 2,29 untuk
peningkatan tekanan darah sistolik. Pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung
dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan wanita (Depkes, 2006 b).
Namun, setelah memasuki manopause, prevalensi hipertensi pada wanita meningkat.
Setelah usia 65 tahun, terjadinya hipertensi pada wanita lebih meningkat
dibandingkan dengan pria yang diakibatkan faktor hormonal. Penelitian di Indonesia
prevalensi yang lebih tinggi terdapat pada wanita (Depkes, 2006 b).
Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) menyebutkan bahwa prevalensi
penderita hipertensi di Indonesia lebih besar pada perempuan (8,6%) dibandingkan
laki-laki (5,8%). Sedangkan menurut Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
(2006), sampai umur 55 tahun, laki-laki lebih banyak menderita hipertensi dibanding
perempuan. Dari umur 55 sampai 74 tahun, sedikit lebih banyak perempuan
dibanding laki-laki yang menderita hipertensi (Depkes, 2008 a).
c. Keturunan (genetik)
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga
mempertinggi risiko terkena hipertensi, terutama pada hipertensi primer (essensial).
Tentunya faktor genetik ini juga dipenggaruhi faktor-faktor lingkungan, yang
kemudian menyebabkan seorang menderita hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan
dengan metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel. Menurut Davidson
bila kedua orang tuanya menderita hipertensi, maka sekitar 45% akan turun ke anak-
anaknya dan bila salah satu orang tuanya yang menderita hipertensi maka sekitar
30% akan turun ke anak-anaknya (Depkes, 2006 b).
c. Merokok
Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap
melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel
pembuluh darah arteri yang mengakibatkan proses artereosklerosis dan tekanan darah
tinggi. Pada studi autopsi, dibuktikan kaitan erat antara kebiasaan merokok dengan
adanya artereosklerosis pada seluruh pembuluh darah. Merokok juga meningkatkan
denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung. Merokok
pada penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan risiko kerusakan pada
pembuluh darah arteri (Depkes, 2006b).
Menurut Depkes RI Pusat Promkes (2008), telah dibuktikan dalam penelitian
bahwa dalam satu batang rokok terkandung 4000 racun kimia berbahaya termasuk 43
senyawa. Bahan utama rokok terdiri dari 3 zat, yaitu 1) Nikotin, merupakan salah
satu jenis obat perangsang yang dapat merusak jantung dan sirkulasi darah dengan
adanya penyempitan pembuluh darah, peningkatan denyut jantung, pengerasan
pembuluh darah dan penggumpalan darah. 2) Tar, dapat mengakibatkan kerusakan sel
paru-paru dan menyebabkan kanker. 3) Karbon Monoksida (CO) merupakan gas
beracun yang dapat menghasilkan berkurangnya kemampuan darah membawa
oksigen (Depkes, 2008b).
d. Olahraga
Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem
penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi diluar
metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan
tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan
untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh.
Olahraga dapat menurunkan risiko penyakit jantung koroner melalui mekanisme
penurunan denyut jantung, tekanan darah, penurunan tonus simpatis, meningkatkan
diameter arteri koroner, sistem kolateralisasi pembuluh darah, meningkatkan HDL
(High Density Lipoprotein) dan menurunkan LDL (Low Density Lipoprotein) darah.
Melalui kegiatan olahraga, jantung dapat bekerja secara lebih efisien. Frekuensi
denyut nadi berkurang, namun kekuatan jantung semakin kuat, penurunan kebutuhan
oksigen jantung pada intensitas tertentu, penurunan lemak badan dan berat badan
serta menurunkan tekanan darah (Cahyono, 2008). Olahraga yang teratur dapat
membantu menurunkan tekanan darah dan bermanfaat bagi penderita hipertensi
ringan. Pada orang tertentu dengan melakukan olahraga aerobik yang teratur dapat
menurunkan tekanan darah tanpa perlu sampai berat badan turun (Depkes, 2006 b).
Almatsier, S. 2006. Penuntun Diet Edisi Baru. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Cahyono, S. 2008. Gaya Hidup dan Penyakit Modren. Kanisius. Jakarta.
Corwin, E. 2005. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2001. Jakarta : 2002.
Depkes RI. 2006a . Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik. Departemen Kesehatan. Jakarta.
Depkes RI. 2006b . Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi.
Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Jakarta.
Depkes RI. 2008a . Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Indonesia Tahun
2007. Depkes RI. Jakarta.
Depkes RI. 2008b . Panduan Promosi Perilaku Tidak Merokok. Jakarta: Pusat Promosi
Kesehatan Depkes RI. Jakarta.
Fisher NDL, Williams GH. Hypertensive vascular disease. In : Kasper DL, Fauci AS, Longo
DL, Braunwald E, Hauser SL, et all, editors. Harrison’s principle of internal medicine.
16th edition. New York : McGraw Hill; 2005. p. 1463-80.
Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins and Cotran’s Pathologic Basis of Diesease. 7 th
edition. Boston: Elsevier B. V.: 2004.
Price, S.A., Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi, Konsep Klinis dan Proses-Proses Penyakit
Edisi 6. EGC. Jakarta.