Вы находитесь на странице: 1из 30

Biografi Sutan Takdir Alisyahbana

Sutan Takdir Alisyahbhana lahir tanggal 11 Februari 1908 di Natal (Sumatra Utara). Menamatkan KS di
Bukittinggi dan HKS di Bandung (1921-1928). Dari 1930-1942 menjadi redaktur kepala pada Balai
Pustaka. Mendirikan dan memimpin majalah kesusastraan Pujangga Baru (1933-1955).

Pada tahun 1942 meraih gelar Sarjana Hukum dan telah mengikuti kuliah di bidang filsafat dan Ilmu
Bahasa Umum. Kemudian menjadi dosen untuk Bahasa Indonesia dan Sastra pada Universitas Nasionala
Jakarta. Demikian permulannya suatu karier yang panjang baik di dalam Pendidikan Tinggi di Indonesia
maupun di luar negri. Melakukan pekerjaan penelitian dalam soal Nilai-nilai di Eropa (1958-1959).
Kemudian mengajar pada Universitas Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia (1963-1968).

Setelah kembalinya ke Indonesia, menjadi Rektor pada Universitas Nasional Jakarta. Di samping itu ia
adalah pengambil inisiatif untuk banyak kegiatan lain. Mendirikan, memimpin majalah kebudayaan
Konfrontasi (1955-1960), organisasi konferensi Filsafat Indonesia yang pertama tentang : Mencari
Perumusan Soal-soal Etik dan Zaman Pembangunan (1972). Pada tahun 1973 membuka Balai Seni
Toyabungkah di Bali.

Karya-karyanya antara lain beberapa novel yang mengandung gagasan-gagasan mengenai persoalan
sosial dan artistik tertentu Tak Putus Dirundung Malang (1929), Layar Terkembang (mengenai peran
wanita,1937), Grotta Azurra (1970, penuh renungan filsafat) dan salah satu novel tentang Zaman
Jepang, Kalah dan Menang (1978).

Kumpulan sajak yang terbit, ialah Tebaran Mega (1955) dan Lagu Pemacu Ombak (1979). Selain itu, dia
juga seorang penulis esai berbagai masalah dalam bidang bahasa sastra, kebudayaan dan filsafat.

Karya- karyanya yaitu:

Sebagai penulis

Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929)

Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932)

Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935)


Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)

Layar Terkembang (novel, 1936)

Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940)

Puisi Lama (bunga rampai, 1941)

Puisi Baru (bunga rampai, 1946)

Pelangi (bunga rampai, 1946)

Pembimbing ke Filsafat (1946)

Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)

The Indonesian language and literature (1962)

Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966)

Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969)

Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971)

Values as integrating vorces in personality, society and culture (1974)

The failure of modern linguistics (1976)

Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (kumpulan esai, 1977)

Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai Bahasa Modern
(kumpulan esai, 1977)

Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1977)

Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978)

Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978)

Kalah dan Menang (novel, 1978)

Menuju Seni Lukis Lebih Berisi dan Bertanggung Jawab (1982)

Kelakuan Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (1982)

Sociocultural creativity in the converging and restructuring process of the emerging world (1983)

Kebangkitan: Suatu Drama Mitos tentang Bangkitnya Dunia Baru (drama bersajak, 1984)

Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985)


Seni dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985)

Sajak-Sajak dan Renungan (1987).

Sebagai editor

Kreativitas (kumpulan esai, 1984)

Dasar-Dasar Kritis Semesta dan Tanggung Jawab Kita (kumpulan esai, 1984).

Sebagai penerjemah

Nelayan di Laut Utara (karya Pierre Loti, 1944)

Nikudan Korban Manusia (karya Tadayoshi Sakurai; terjemahan bersama Soebadio Sastrosatomo, 1944)

Buku tentang Sutan Takdir Alisyahbana

Muhammmad Fauzi, Takdir Alisjahbana & Perjuangan Kebudayaan Indonesia 1908-1994 (1999)

Abdul Karim Mashad Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir
Alisjahbana (2006)

Penghargaan

1. Tahun 1970 STA menerima Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.


2. STA adalah pelopor dan tokoh sastrawan “Pujangga Baru”.
3. Doktor Kehormatan dari School For Oriental And African Studies London 2 Mei 1990
4. DR.HC dari Universitas Indonesia
5. DR.HC dari Universitas Sains Malaysia
Biografi Sastrawan Putu Wijaya

Berikut ini kita akan mengenal lebih dekat dengan sastrawan putu wijaya

Putu Wijaya yang kita kenal sebagai sastrawan mempunyai nama yang cukup panjang, yaitu I Gusti
Ngurah Putu Wijaya. Dari namanya itu dapat diketahui bahwa ia berasal dari Bali. Putu memang
dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944. Pada masa remaja ia sudah
menunjukkan kegemarannya pada dunia sastra. Saat masih duduk di sekolah menengah pertama di Bali,
ia mulai menulis cerita pendek dan beberapa di antaranya dimuat di harian Suluh Indonesia, Bali. Ketika
duduk di sekolah menengah atas, ia memperluas wawasannya dengan melibatkan diri dalam kegiatan
sandiwara. Setelah selesai sekolah menengah atas, ia melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta, kota seni
dan budaya.

Di Yogyakarta, selain kuliah di Fakultas Hukum, UGM, ia juga mempelajari seni lukis di Akademi Seni
Rupa Indonesia (ASRI), drama di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi), dan meningkatkan kegiatannya
bersastra. Dari Fakultas Hukum, UGM, ia meraih gelar sarjana hukum (1969), dari Asdrafi ia gagal dalam
penulisan skripsi, dan dari kegiatan berkesenian ia mendapatkan identitasnya sebagai seniman.

Setelah kira-kira tujuh tahun tinggal di Yogyakarta, Putu pindah ke Jakarta. Di Jakarta ia bergabung
dengan Teater Kecil dan Teater Populer. Di samping itu, ia juga bekerja sebagai redaktur majalah
Ekspres. Setelah majalah itu mati, ia menjadi redaktur majalah Tempo (1971--1979). Bersama rekan-
rekannya di majalah Tempo, Putu mendirikan Teater Mandiri (1974).

Pada saat masih bekerja di majalah Tempo, ia mendapat beasiswa belajar drama di Jepang (1973)
selama satu tahun. Namun, karena tidak kerasan dengan lingkungannya, ia belajar hanya sepuluh bulan.
Setelah itu, ia kembali aktif di majalah Tempo. Pada tahun 1975 ia mengikuti International Writing
Program di Iowa, Amerika Serikat. Setelah itu, ia juga pernah menjadi redaktur majalah Zaman
(19791985).

Ia juga mempunyai pengalaman bermain drama di luar negeri, antara lain dalam Festival Teater Sedunia
di Nancy, Prancis (1974) dan dalam Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Ia juga
membawa Teater Mandiri berkeliling Amerika dalam pementasan drama Yel dan berpentas di Jepang
(2001). Di samping itu, ia juga pernah mengajar di Amerika Serikat (1985--1988).

Di samping itu, Putu juga menjadi sutradara film dan sinetron serta menulis skenario sinetron. Film yang
disutradarainya ialah film Cas Cis Cus, Zig Zag, dan Plong. Sinetron yang disutradarainya ialah Dukun
Palsu, PAS, None, Warteg, dan Jari-Jari. Skenario yang ditulisnya ialah Perawan Desa, Kembang Kertas,
serta Ramadhan dan Ramona. Ketiga skenario itu memenangkan Piala Citra.

Selama bermukim di Yogyakarta, kegiatan sastranya lebih terfokus pada teater. Ia pernah tampil
bersama Bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra dalam beberapa pementasan, antara lain dalam
pementasan Bip-Bop (1968) dan Menunggu Godot (1969). Ia juga pernah tampil bersama kelompok
Sanggar Bambu. Selain itu, ia juga (telah berani) tampil dalam karyanya sendiri yang berjudul Lautan
Bernyanyi (1969). Ia adalah penulis naskah sekaligus sutradara pementasan itu. Naskah dramanya itu
menjadi pemenang ketiga Sayembara Penulisan Lakon yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Teater
Nasional Indonesia.

Karena kegiatan sastranya lebih menonjol pada bidang teater, Putu Wijaya pun lebih dikenal sebagai
dramawan. Sebenarnya, selain berteater ia juga menulis cerpen dan novel dalam jumlah yang cukup
banyak, di samping menulis esai tentang sastra. Sejumlah karyanya, baik drama, cerpen, maupun novel,
telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Jepang,
Arab, dan Thailand.

Gaya Putu menulis novel tidak berbeda jauh dengan gayanya menulis drama. Seperti dalam karya
dramanya, dalam novelnya pun ia cenderung mempergunakan gaya objektif dalam pusat pengisahan
dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya.

Terhadap karya-karya Putu itu, Rachmat Djoko Pradopo (dalam Memahami Drama Putu Wijaya: Aduh,
1985) memberi komentar bahwa Putu berani mengungkapkan kenyataan hidup karena dorongan naluri
yang terpendam dalam bawah sadar, lebih-lebih libido seksual yang ada dalam daerah kegelapan.
Karya-karya Putu Wijaya

a. Drama

1. Dalam Cahaya Bulan (1966)

2. Lautan Bernyanyi (1967)

3. Bila Malam Bertambah Malam (1970)

4. Invalid (1974)

5. Tak Sampai Tiga Bulan (1974)

6. Anu (1974)

7. Aduh (1975)

8. Dag-Dig-Dug (1976)

9. Gerr (1986)

10. Edan

11. Hum-Pim-Pah
12. Dor

13. Blong

14. Ayo

15. Awas

16. Los

17. Aum

18. Zat

19. Tai

20. Front

21. Aib

22. Wah

23. Hah
24. Jpret

25. Aeng

26. Aut

27. Dar-Dir-Dor

b. Novel

1. Bila Malam Bertambah Malam (1971)

2. Pabrik (1976)

3. Stasiun (1977)

4. Keok (1978)

5. Sobat (1981)

6. Lho (1982)

7. Telegram (1972)

8. Tiba-Tiba Malam (1977)


9. Pol (1987)

10. Terror (1991)

11. Merdeka (1994)

12. Perang (1992)

13. Lima (1992)

14. Nol (1992)

15. Dang Dut (1992)

16. Kroco (1995)

17. Byarpet (1995)

18. Cas-Cis-Cus (1995)

19. Aus (1996)

c. Kumpulan Cerpen
1. Bom (1978)

2. Es (1980)

3. Gres (1982)

4. Klop, Bor, Protes (1994)

5. Darah (1995)

6. Yel (1995)

7. Blok (1994)

8. Zig Zag (1996)

9. Tidak (1999)

d. Novelet

1. MS (1977)

2. Tak Cukup Sedih (1977)

3. Ratu (1977)
4. Sah (1977)

Karya esainya terdapat dalam kumpulan esai Beban, Kentut, Samar, Pembabatan, Klise, Tradisi Baru,
Terror Mental, dan Bertolak dari yang Ada.

Penghargaan yang telah diterimanya ialah sebagai berikut:

1. 1967 Pemenang ketiga Lomba Sayembara Penulisan Lakon Badan Pembina Teater Nasional Indonesia
(drama Lautan Bernyanyi)

2. 1971 Pemenang Sayembara Mengarang Roman DKJ (novel Telegram)

3. 1975 Pemenang Sayembara Mengarang Roman DKJ (novel Stasiun)

4. 1980 Penerima SEA Write Award dari Kerajaan Thailand

5. 1991-1992 Penerima Profesional Fellowship dari The Japan Foundation, Kyoto, Jepang
Biografi Pramoedya Ananta Toer - Sastrawan Indonesia

Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah pada tanggal 6 Februari 1925. dia merupakan anak
sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya berdagang nasi. Nama asli
Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek
semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya)
dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan
menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Sebagai putra sulung tokoh Institut Boedi Oetomo,
Pram kecil malah tidak begitu cemerlang dalam pelajaran di sekolahnya. Tiga kali tak naik kelas di
Sekolah Dasar, membuat ayahnya menganggap dirinya sebagai anak bodoh. Akibatnya, setelah lulus
Sekolah Dasar yang dijalaninya di bawah pengajaran keras ayahnya sendiri, sang ayah, Pak Mastoer,
menolak mendaftarkannya ke MULO (setingkat SLTP).

Ia pun melanjutkan pendidikan di sekolah telegraf (Radio Vakschool) Surabaya atas biaya ibunya. Biaya
pas-pasan selama bersekolah di Surabaya juga hampir membuat Pram gagal di ujian praktik. Ketika itu,
tanpa mempunyai peralatan, ia tetap mengikuti ujian tersebut namun dengan cara hanya berpura-pura
sibuk di samping murid yang terpandai. Walau begitu, secara umum nilai-nilai Pram cukup baik dan ia
pun lulus dari sekolah meski karena meletusnya perang dunia II di Asia, ijazahnya yang dikirim dari
Bandung tak pernah ia terima. kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta
selama pendudukan Jepang di Indonesia. Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok
militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen
serta buku di sepanjang karier militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949.
Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali
ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya
berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada
pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan
pemerintahan Soekarno.

Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat
yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan
rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia,
berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris
pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa
pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena
pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa
pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur
Indonesia.

Biografi Pramoedya Ananta Toer

Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis
serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia.
Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo
seorang tokoh pergerakkan pada zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui
oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para
kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan
kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21
Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat
G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan
negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih
2 tahun.

Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya
sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang
ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995). Edisi lengkap
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Willem Samuels, diterbitkan di
Indonesia oleh Hasta Mitra bekerja sama dengan Yayasan Lontar pada 1999 dengan judul The Mute's
Soliloquy: A Memoir

Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra
Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang
dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan
mengganyang" pada masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut
pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya. Tetapi beberapa hari kemudian,
Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan',
tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap'
Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di
pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan
padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.

Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya.
Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari
pernyataan Mochtar Lubis. Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini
merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram,
untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi
kreativitas' pada zaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama
seniman yang tak sepaham dengannya.

Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya pada masa pra-1965 itu tidak lebih
dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi
yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia
menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup,
bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri,
tambahnya. Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan
menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di
koran. Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia
menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah
Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka.

Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya
sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup
dengan fasilitas yang lumayan - apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan
menjadi 'bintangnya'. Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik
pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer,
dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita
penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka
mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya
membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an.
Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang
Jawa secara umum,
dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya
sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk
Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel
Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors'
Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara
pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.

Kisah asmara Pram juga tidak lepas dari pengaruh realitas kemiskinan yang bahkan masih jamak
menghinggapi kehidupan para penulis dan seniman masa kini. Perkawinan pertamanya berakhir dengan
perceraian dan diusirnya Pram dari rumah mertuanya karena hasil yang ia peroleh dari menulis yang
belum menentu tak dapat menafkahi keluarganya. Sementara ia masih hidup tak menentu, suatu hari,
meski tak memiliki uang sepeser pun, ia mengunjungi sebuah pameran buku pertama di Indonesia dan
melihat salah seorang wanita penjaga stan yang menarik perhatiannya. Ia pun nekad datang dan
berkenalan dengan wanita yang ternyata bernama Maemunah tersebut. Setiap hari ia berlama-lama
menemani Maemunah duduk di stan itu layaknya seorang penjaga. Bahkan sampai ketika Presiden
Soekarno juga mengunjungi dan melihat gadisnya tersebut, dengan bercanda ia gambarkan adegan itu
sebagai "buaya kedahuluan buaya." Keteguhan dan pendekatannya pun membawa hasil, Maemunah
terbukti adalah istri yang selalu tetap setia mendampinginya dalam segala suka duka mereka sampai
sekarang.

Biografi Pramoedya Ananta Toer

Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang
lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring
sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya
menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah. Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman
Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini
sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan
Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200
buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.

Biografi Pramoedya Ananta ToerPada 27 April 2006, Pram sempat tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya
memutuskan membawa dia ke RS Sint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-
paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan
diabetes. Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, dia kembali meminta pulang.
Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu 29 April, sekitar pukul
19.00, begitu sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa
memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya. Kondisinya sempat memburuk lagi pada
pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta
menjenguknya. Pram juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto
masih hidup. Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot
selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta disuapi havermut dan
meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya
menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul
22.00.

Setelah itu, beberapa kali dia kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun memutuskan
menggelar tahlilan untuk mendoakan Pram. Pasang surut kondisi Pram tersebut terus berlangsung
hingga pukul 02.00. Saat itu, dia menyatakan agar Tuhan segera menjemputnya. "Dorong saja saya,"
ujarnya. Namun, teman-teman dan kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi semangat hidup.
Rumah Pram yang asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan cicitnya. Tapi, teman-teman hingga para
penggemarnya ikut menunggui Pram. Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00.
Tetangga-tetangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00, mereka kembali
mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, "Akhiri
saja saya. Bakar saya sekarang," katanya.

Pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun. Ratusan pelayat tampak
memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat
yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman
Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sujatmiko, serta
puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero
Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artis
Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram
yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram. Jenazah
dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke
ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang
dinyanyikan di antara pelayat.

Penghargaan

Freedom to Write Award dari PEN American Center, AS, 1988

Penghargaan dari The Fund for Free Expression, New York, AS, 1989

Wertheim Award, "for his meritorious services to the struggle for emancipation of Indonesian people",
dari The Wertheim Fondation, Leiden, Belanda, 1995
Ramon Magsaysay Award, "for Journalism, Literature, and Creative Arts, in recognation of his
illuminating with briliant stories the historical awakening, and modern experience of Indonesian
people", dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, 1995

UNESCO Madanjeet Singh Prize, "in recognition of his outstanding contribution to the promotion of
tolerance and non-violence" dari UNESCO, Perancis, 1996

Doctor of Humane Letters, "in recognition of his remarkable imagination and distinguished literary
contributions, his example to all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual
freedom" dari Universitas Michigan, Madison, AS, 1999

Chancellor's distinguished Honor Award, "for his outstanding literary archievements and for his
contributions to ethnic tolerance and global understanding", dari Universitas California, Berkeley, AS,
1999

Chevalier de l'Ordre des Arts et des Letters, dari Le Ministre de la Culture et de la Communication
Republique, Paris, Perancis, 1999

New York Foundation for the Arts Award, New York, AS, 2000

Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka), Jepang, 2000

The Norwegian Authors Union, 2004

Centenario Pablo Neruda, Chili, 2004

Lain-lain

Anggota Nederland Center, ketika masih di Pulau Buru, 1978

Anggota kehormatan seumur hidup dari International PEN Australia Center, 1982

Anggota kehormatan PEN Center, Swedia, 1982

Anggota kehormatan PEN American Center, AS, 1987

Deutschsweizeriches PEN member, Zentrum, Swiss, 1988

International PEN English Center Award, Inggris, 1992

International PEN Award Association of Writers Zentrum Deutschland, Jerman, 1999


Biografi Danarto - Penulis dan Sastrawan Indonesia

Muhamad Nurdin Fathurrohman Wednesday, March 29, 2017 Sastrawan angkatan 1966-1970

Danarto adalah penulis dan sastrawan Indonesia. Karyanya yang terkenal di antaranya adalah kumpulan
cerpen, Godlob. Kumpulan cerpennya yang lain, Adam Ma'rifat, memenangkan Hadiah Sastra 1982
Dewan Kesenian Jakarta, dan Hadiah Buku Utama 1982. Tahun 2009 Danarto menerima Ahmad Bakrie
Award untuk bidang kesusasteraan.

Riwayat

Danarto lahir di Sragen, Jawa Tengah, pada 27 Juni 1941. Ia merupakan anak keempat dari lima
bersaudara dari pasangan Djakio Hardjosoewarno, seorang buruh pabrik gula Modjo dan Siti Aminah,
seorang pedagang eceran batik di pasar kabupaten. Danarto menikah dengan Siti Zainab Luxfiati,
seorang psikolog.

Setelah menamatkan pendidikannya di sekolah dasar (SD), ia melanjutkan pelajarannya ke sekolah


menengah pertama (SMP). Kemudian, ia meneruskan sekolahnya di sekolah menengah atas (SMA)
bagian Sastra di Solo. Pada tahun 1958--1961 ia belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI)
Yogyakarta jurusan Seni Lukis.

Selama kuliah di ASRI Yogyakarta, dia aktif dalam Sanggar Bambu pimpinan pelukis Sunarto Pr, dan ikut
mendirikan Sanggar Bambu Jakarta. Tahun 1979-1985 bekerja di majalah Zaman, tahun 1976 mengikuti
International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, Amerika Serikat. Tahun 1983 menghadiri
Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda.

Ia pernah bergabung dengan Teater Sardono, yang melawat ke Eropa Barat dan Asia, 1974. Di samping
berpameran Kanvas Kosong (1973) ia juga berpameran puisi konkret (1978). Pada 1 Januari 1986,
Danarto mengakhiri masa bujangannya dengan menikahi Siti Zainab Luxfiati, yang biasa dipanggil Dunuk.
Sayangnya, rumah tangga Danarto tidak berlangsung lama. Danarto dan Zainab bercerai setelah lebih
kurang 15 tahun berumah tangga.
Perjalanan hidup Danarto kaya dengan pengalaman baik di dalam negeri dan di luar negeri. Selain
sebagai sastrawan, ia dikenal juga sebagai pelukis, yang memang ditekuni sejak masa muda. Sebagai
pelukis ia pernah mengadakan pameran di beberapa kota. Sebagai budayawan dan penyair ia pernah
mengikuti program menulis di luar negeri diantaranya di Kyoto, Jepang.

Karya

Novel

Asmaraloka (1999)

Kumpulan Cerpen

Godlob (1975)

Adam Ma’rifat (1982)

Berhala (1987)

Orang Jawa Naik Haji, catatan perjalanan ibadah haji (1984)

Gergasi (1993)

Setangkai Melati di Sayap Jibril, kumpulan cerpen, (2000)

Setangkai Melati di Sayap Zibril (2001)

Kacapiring, (2008)

Drama

Obrok Owok-Owok, Ebrek Ewek-Ewek (1976)

Bel Geduwel Beh (1976)

Kumpulan Esai

Gerak-Gerak Allah (1996)

Penghargaan

Hadiah dari majalah Horison tahun 1968 untuk cerpennya “Rintrik”


Hadiah Sastra dari dari Dewan Kesenian Jakarta dan Hadiah dari Yayasan Buku Utama, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 1982 atas cerpennya “Adam Makrifat”

Hadiah dari Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1987 atas kumpulan
cerpennya Berhala

Penghargaan SEA Write Award dari Kerajaan Thailand tahun 1988


Biografi Buya HAMKA

Buya Hamka lahir pada tahun 1908 di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, HAMKA sendiri
merupakan singkatan dari nama beliau yakni Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Hamka merupakan putra
dari Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yg juga merupakan ulama di tanah minang, diawali bekerja sebagai
guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang
pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas
Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958.

Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas
Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama
oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih
antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Buya Hamka merupakan sosok otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat,
sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang
tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak,
Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau
meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman, beliau juga rajin membaca dan bertukar-tukar
pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji
Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi
seorang ahli pidato yang andal.

Hamka aktif dalam Muhammadiyah, terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di
Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946.
Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977,
Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majelis Ulama
Indonesia tetapi beliau kemudiannya mengundurkan diri pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak
dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Beliau juga wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan
beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan
Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun
1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah
menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam. Hamka juga
menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya
ialah Tafsir al-Azhar dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks
sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan
Ka’bah, dan Merantau ke Deli.
Karya- karya buya HAMKA, adalah sebagai berikut:

Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab.

Si Sabariah. (1928)

Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929.

Adat Minangkabau dan agama Islam (1929).

Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929).

Kepentingan melakukan tabligh (1929).

Hikmat Isra’ dan Mikraj.

Arkanul Islam (1932) di Makassar.

Laila Majnun (1932) Balai Pustaka.

Majallah ‘Tentera’ (4 nomor) 1932, di Makassar.

Majallah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makassar.

Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934.

Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936) Pedoman Masyarakat,Balai Pustaka.

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.

Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.

Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi.

Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940.

Tuan Direktur 1939.

Dijemput mamaknya,1939.

Keadilan Ilahy 1939.

Tashawwuf Modern 1939.

Falsafah Hidup 1939.


Lembaga Hidup 1940.

Lembaga Budi 1940.

Majallah ‘SEMANGAT ISLAM’ (Zaman Jepang 1943).

Majallah ‘MENARA’ (Terbit di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946.

Negara Islam (1946).

Islam dan Demokrasi,1946.

Revolusi Pikiran,1946.

Revolusi Agama,1946.

Adat Minangkabau menghadapi Revolusi,1946.

Dibantingkan ombak masyarakat,1946.

Didalam Lembah cita-cita,1946.

Sesudah naskah Renville,1947.

Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret,1947.

Menunggu Beduk berbunyi,1949 di Bukittinggi,Sedang Konperansi Meja Bundar.

Ayahku,1950 di Jakarta.

Mandi Cahaya di Tanah Suci. 1950.

Mengembara Dilembah Nyl. 1950.

Ditepi Sungai Dajlah. 1950.

Kenangan-kenangan hidup 1,autobiografi sejak lahir 1908 sampai pd tahun 1950.

Kenangan-kenangan hidup 2.

Kenangan-kenangan hidup 3.

Kenangan-kenangan hidup 4.

Sejarah Ummat Islam Jilid 1,ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950.

Sejarah Ummat Islam Jilid 2.

Sejarah Ummat Islam Jilid 3.


Sejarah Ummat Islam Jilid 4.

Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937 ; Cetakan ke 2 tahun 1950.

Pribadi,1950.

Agama dan perempuan,1939.

Muhammadiyah melalui 3 zaman,1946,di Padang Panjang.

1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan dr Pedoman Masyarakat, dibukukan 1950).

Pelajaran Agama Islam,1956.

Perkembangan Tashawwuf dr abad ke abad,1952.

Empat bulan di Amerika,1953 Jilid 1.

Empat bulan di Amerika Jilid 2.

Pengaruh ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di Kairo 1958), utk Doktor Honoris Causa.

Soal jawab 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM.

Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982 oleh Pustaka Panjimas,
Jakarta.

Lembaga Hikmat,1953 oleh Bulan Bintang, Jakarta.

Islam dan Kebatinan,1972; Bulan Bintang.

Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970.

Sayid Jamaluddin Al-Afhany 1965, Bulan Bintang.

Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang.

Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam 1968.

Falsafah Ideologi Islam 1950(sekembali dr Mekkah).

Keadilan Sosial dalam Islam 1950 (sekembali dr Mekkah).

Cita-cita kenegaraan dalam ajaran Islam (Kuliah umum) di Universiti Keristan 1970.

Studi Islam 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat.

Himpunan Khutbah-khutbah.

Urat Tunggang Pancasila.


Doa-doa Rasulullah S.A.W,1974.

Sejarah Islam di Sumatera.

Bohong di Dunia.

Muhammadiyah di Minangkabau 1975,(Menyambut Kongres Muhammadiyah di Padang).

Pandangan Hidup Muslim,1960.

Kedudukan perempuan dalam Islam,1973.


Siapakah A. A. Navis

Nama lengkap A.A. Navis adalah Ali Akbar Navis, tetapi sepanjang kariernya ia lebih dikenal dengan
namanya yang lebih simpel A.A. Navis. Ia lahir di Padangpanjang, Sumatera Barat, tanggal 17 November
1924. Ia merupakan anak sulung dari lima belas bersaudara.

Berbeda dengan kebanyakan putra Minangkabau yang senang merantau, A.A. Navis

telah memateri dirinya untuk tetap tinggal di tanah kelahirannya. Ia berpendapat bahwa merantau
hanyalah soal pindah tempat dan lingkungan, tetapi yang menentukan keberhasilan tetaplah kreativitas
itu sendiri.

Kesenangan A.A. Navis terhadap sastra dimulai dari rumah. Orang tuanya, pada saat itu, berlangganan
majalah Panji Islam dan Pedoman Masyarakat. Kedua majalah itu memuat cerita pendek dan cerita
bersambung di setiap edisinya. Navis selalu membaca cerita itu dan lama-kelamaan ia mulai
menggemarinya. Ayahnya, St. Marajo Sawiyah, mengetahui dan mau mengerti akan kegemaran Navis.
Ayahnya pun lalu memberikan uang agar Navis dapat membeli buku bacaan kegemarannya. Itulah
modal awal Navis untuk menekuni dunia karang-mengarang di kemudian hari.

Navis memulai pendidikan formalnya dengan memasuki sekolah Indonesisch Nederiandsch School (INS)
di daerah Kayutaman selama sebelas tahun. Kebetulan jarak antara rumah dan sekolah Navis cukup
jauh. Perjalanan panjang yang ditempuhnya setiap hari itu dimanfaatkannya untuk membaca buku
sastra yang dibelinya. Selama sekolah di INS, selain mendapat pelajaran utama, Navis juga mendapat
pelajaran kesenian dan berbagai keterampilan.

Pendidikan Navis, secara formal, hanya sampai di INS. Selanjutnya, ia belajar secara otodidak. Akan
tetapi, kegemarannya membaca buku (bukan hanya buku sastra, juga berbagai ilmu pengetahuan lain)
memungkinkan intelektualnya berkembang. Bahkan, ia terlihat menonjol dari teman seusianya. Dari
berbagai bacaan yang diperolehnya, Navis kemudian mulai menulis kritik dan esai. Ia berusaha
menyoroti kelemahan cerpen Indonesia dan mencari kekuatan cerpen asing. Ketika menulis cerpennya
sendiri, kelemahan cerpen Indonesia itu dicoba diperbaikinya dengan memadukannya dengan kekuatan
cerpen asing.

Navis memulai kariernya sebagai penulis ketika usianya sekitar tiga puluhan. Sebenamya ia sudah mulai
aktif menulis sejak tahun 1950. Akan tetapi, kepenulisannya baru diakui sekitar tahun 1955 sejak
cerpennya banyak muncul di beberapa majalah, seperti Kisah, Mimbar Indonesia, Budaya, danRoman.
Selain cerpen, Navis juga menulis naskah sandiwara untuk beberapa stasiun RRI, seperti Stasiun RRI
Bukittinggi, Padang, Palembang, dan Makassar. Selanjutnya, ia juga mulai menulis novel. Tema yang
muncul dalam karya A.A. Navis biasanya bernapaskan kedaerahan dan keagamaan sekitar masyarakat
Minangkabau.

Navis pernah berkeinginan menulis peristiwa kemiliteran yang pernah dihadapi bangsa Indonesia dan
tentang kebangkitan umat Islam. Akan tetapi, keinginan itu diurungkannya mengingat sulitnya mencari
penerbit yang mau menerbitkan cerita yang berisi kedua peristiwa tersebut. Kalau dipaksakan, hal itu
dapat menjadi suatu karya yang mubazir. Navis memang prihatin terhadap situasi bangsa Indonesia saat
itu sehingga tidak perlu heran mengapa banyak pengarang lebih memilih membuat cerita “hiburan” agar
dapat terbit. Keadaan itu menimbulkan kesan bahwa bangsa Indonesia memang lebih menyukai
pekerjaan di atas ranjang daripada pekerjaan bermanfaat bagi manusia.

Tentang kehadirannya dalam sastra Indonesia, A. Teeuw berkomentar bahwa Navis sebenarnya bukan
seorang pengarang besar, melainkan seorang pengarang yang menyuarakan suara Sumatera di tengah
konsep Jawa (pengarang Jawa) sehingga ia layak disebut sebagai pengarang “Angkatan Terbaru”.
Komentar lain, Abrar Yusra, mengatakan bahwa cerpen Navis “Robohnya Surau Kami” yang mendapat
hadiah kedua dari majalah Kisah sebenarnya lebih terkenal daripada cerpen “Kejantanan di Sumbing”
karya Subagio Sastrowardoyo.

Hidup sebagai sastrawan tidaklah mudah, terutama dalam masalah perekonomian. Hidup dari sekadar
mengharapkan upah menulis menjadi suatu hal yang mustahil. Hal itu disadari betul oleh Navis. Oleh
karena itu, ia mengatakan bahwa ia menjadi pengarang hanya ketika ia mengarang. Setelah itu, ia
menjadi orang biasa lagi yang harus bekerja untuk mendapatkan nafkah.

Di luar bidang kepengarangannya itu, Navis bekerja sebagai pemimpin redaksi di harian
Semangat(harian angkatan bersenjata edisi Padang), Dewan Pengurus Badan Wakaf INS, dan pengurus
Kelompok Cendekiawan Sumatera Barat (Padang Club). Di samping itu, Navis juga sering menghadiri
berbagai seminar masalah sosial dan budaya sebagai pemakalah atau peserta.

Setelah Navis menikah, istrinya juga ikut membantu pekerjaannnya sebagai sastrawan. Apabila ia
sedang menulis sebuah cerita, istrinya selalu mendampinginya dan membaca setiap lembar
karangannya. Ia memperhatikan reaksi istrinya ketika membaca dan itu yang dibuatnya sebagai ukuran
bahwa tulisannya sesuai atau tidak dengan keinginannya.

Di hari tuanya, Navis menyimpan beberapa gagasan untuk menulis cerpen dan memulai menggarap
novel. Beberapa dari keinginannya itu sudah selesai, tetapi banyak juga yang terbengkalai. Kendalanya
adalah usianya yang bertambah tua yang menyebabkan daya tahan tubuh dan pikirannya semakin
menurun. A.A. Navis meninggal karena sakit di Rumah Sakit Pelni, Jakarta, tahun 2004.

KARYA-KARYA A.A. NAVIS:

a. Cerita Pendek

1. Robohnya Surau Kami (kumpulan cerpen), Jakarta: Gramedia, 1986

2. Hujan Panas dan Kabut Musim (kumpulan cerpen), Jakarta: Jambatan, 1990

3. “Cerita Tiga Malam”, Roman, Thn. V, No.3, 1958:25--26

4. “Terasing”, Aneka, Thn. VII, No. 33, 1956:12--13

5. “Cinta Buta”, Roman, Thn. IV, No. 3, 1957

6. “Man Rabuka”, Siasat, Thn. XI, No. 542, 1957:14--15

7. “Tiada Membawa Nyawa”, Waktu, Thn. XIV, No.5, 1961

8. “Perebutan”, Star Weekly, Thu. XVI, No. 807, 1961

9. “Jodoh”, Kompas, Thu. Xl, No. 236, 6 April 1976:6

b. Puisi

Dermaga dengan Empat Sekoci (kumpulan 34 puisi), Bukittinggi: Nusantara

c. Novel

1. Kernarau, Jakarta: GrasIndo, 1992

2. Saraswati si Gadis dalarn Sunyi, Jakarta: Pradnya Paramita, 1970.


d. Karya Nonfiksi

1. “Surat-Surat Drama”, Budaya, Thn.X, Januari-Februari 1961

2. “Hamka Sebagai Pengarang Roman”, Berita Bibliografi, Thn.X, No.2, Juni 1964

3. “Warna Lokal dalam Novel Minangkabau”, Sinar Harapan, 16 Mel 1981

4. “Memadukan Kawasan dengan Karya Sastra.”, Suara Karya, 1978

5. “Kepenulisan Belum Bisa Diandalkan sebagai Ladang Hidup”, Suara Pembaruan, 1989

6. “Menelaah Orang Minangkabau dari Novel Indonesia Modern”, Bahasa dan

Sastra, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1977

e. Hadiah dan Penghargaan

1. Hadiah kedua lomba cerpen majalah Kisah (1955) untuk cerpen “Robohnya Surau Kami”

2. Penghargaan dari UNESCO (1967) untuk kumpulan cerpen Saraswati dalam Sunyi

3. Hadiah dari Kincir Emas (1975) untuk cerpen “Jodoh”

4. Hadiah dari majalah Femina (1978) untuk cerpen “Kawin”

5. Hadiah seni dari Depdikbud (1988) untuk novel Kemarau

6. SEA Write Awards (1992) dari Pusat Bahasa (bekerja sama dengan Kerajaan Thailand)

Вам также может понравиться