Вы находитесь на странице: 1из 42

PETUNJUK DAN BUKTI EVOLUSI BERDASARKAN FOSIL

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Evolusi


Yang dibimbing oleh Bapak Dr.H. Abdul Ghofur M.Si

Oleh :
Kelompok 2/ Offering GK-2016
Dliya Amaliya 160341606104
Hana Veronica 160342606281

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FEBRUARI 2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Evolusi dalam kajian biologi berarti perubahan pada sifat-sifat terwariskan
suatu populasi organisme gen yang diwariskan kepada keturunan suatu makhluk
hidup dan menjadi bervariasi dalam suatu populasi. Ketika organisme
bereproduksi, keturunannya akan mempunyai sifat-sifat yang baru. Sifat baru dapat
diperoleh dari perubahan gen akibat mutasi ataupun transfer gen antar populasi dan
antar spesies. Pada spesies yang bereproduksi secara seksual, kombinasi gen
yang baru juga dihasilkan oleh rekombinasi genetika, yang dapat meningkatkan
variasi antara organisme.
Evolusi terjadi ketika perbedaan-perbedaan terwariskan ini menjadi lebih
umum atau langka dalam suatu populasi. Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh
kombinasi 3 proses utama: variasi, reproduksi, dan seleksi. Evolusi didorong oleh 2
mekanisme utama, yaitu seleksi alam dan hanyutan genetik. Seleksi alam merupakan
sebuah proses yang menyebabkan sifat terwaris yang berguna untuk
keberlangsungan hidup dan reproduksi organisme menjadi lebih umum dalam
suatu populasi dan sebaliknya, sifat yang merugikan menjadi lebih berkurang.
Hal ini terjadi karena individu dengan sifat-sifat yang menguntungkan lebih
berpeluang besar bereproduksi, sehingga lebih banyak individu pada generasi
selanjutnya yang mewarisi sifat sifat yang menguntungkan ini. Setelah beberapa
generasi, adaptasi terjadi melalui kombinasi perubahan kecil sifat yang terjadi
secara terus menerus dan acak ini dengan
seleksi alam. Sementara itu, hanyutan genetic merupakan sebuah proses bebas yang
menghasilkan perubahan acak pada frekuensi sifat suatu populasi.
Hanyutan genetik dihasilkan oleh probabilitas apakah suatu sidat akan
diwariskan ketika suatu individu bertahan hidup dan bereproduksi. Walaupun
perubahan yang dihasilkan oleh hanyutan dan seleksi alam kecil, perubahan ini akan
berakumulasi dan menyebabkan perubahan yang substansial pada organisme. Proses
ini mencapai puncaknya dengan menghasilkan spesies yang baru. Sebenarnya,
kemiripan antara organisme yang satu dengan organisme yang lain mensugestikan
bahwa semua spesies yang kita kenal berasal dari nenek moyang yang sama melalui
proses divergen yang terjadi secara perlahan ini.

1.2 Rumusan masalah


Masalah yang akan dibahas pada makalah ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Apa saja teori-teori para ilmuwan tentang evolusi ?
2. Apa saja bukti-bukti evolusi ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui teori-teori para ilmuwan tentang evolusi.
2. Mengetahui bukti-bukti evolusi.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Bukti Anatomi Perbandingan

Pendekatan untuk menginterpretasi bukti-bukti paleontologi adalah


anatomi perbandingan. Para ahli anatomi perbandingan mencoba menemukan
persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan antara struktur dasar
(fundamental structure) organisme hidup. Mereka mempelajari bentuk-bentuk
struktur dasar setiap kelompok organisme. Sebagai contoh, semua hewan
vertebrata memiliki struktur dasar yang sama, yakni: suatu kerangka utama
penyanggah tengkorak dan tulang belakang; tulang rusuk yang melindungi
jantung dan paru-paru, tertancap pada tulang belakang; sepasang organ tambahan;
dan sistem peredaran darah, pernafasan atau respirasi, pencernaan, pengeluaran
yang sama. Menurut Widodo, Lestari, U., Amin, M., (2003), semua kesamaan
tersebut menunjukkan bahwa organ tersebut berasal dari struktur yang sama yang
dikenal dengan istilah homolog. Sedangkan apabila suatu organ memiliki
Kesamaan fungsi namun berbeda asalnya disebut dengan analog.

Homologi adalah struktur dasar sama yang diturunkan secara genetik dari
nenek moyang yang umum tetapi kemudian memiliki fungsi yang berbeda. Suatu
contoh homologi yang baik adalah tulang lengan depan vertebrata (Gambar 2.5).
Semua vertebrata seperti burung, ikan paus, dan manusia mempunyai struktur
dasar tulang lengan depan yang sama kemudian melewati proses perubahan
(evolusi) dari nenek moyang yang umum, kemudian menampilkan fungsi yang
berbeda (Frida, 2006).

Gambar Struktur Homologi pada beberapa vertebrata. Semua tetrapod moderen


mempunyai pentadactyl dasar (lima digit) struktur lengannya. Misalnya,
forelimb pada burung, manusia, ikan paus, dan kelelawar, semuanya
mempunyai struktur dasar yang sama, tetapi mempunyai fungsi yang
berbeda (Ridley, 1996).

Analogi adalah menunjukkan fungsi yang sama, tetapi mempunyai struktur


dasar yang berbeda. Misalnya sayap burung dengan sayap serangga mempunyai
fungsi yang sama tetapi struktur dasarnya berbeda. Burung mempunyai kerangka
tulang sayap sedangkan serangga mempunyai sayap yang tersusun dari lapisan
kitin yang keras, tetapi keduanya berfungsi untuk terbang (Frida, 2006). Anatomi
perbandingan yang juga diidentifikasi yakni struktur vestigial. Struktur vestigial
adalah struktur-struktur tertentu yang tidak berkembang terus pada beberapa
organsime, tetapi dalam perkembangan selanjutnya berfungsi lain.

Gagasan organ vestigial kali pertama dikemukakan sekitar seabad yang


lalu. Menurut para evolusionis, di dalam tubuh sebagian makhluk hidup,
terdapat sejumlah organ yang tak berfungsi. Organ-organ ini telah diwarisi dari
moyang dan secara bertahap menjadi vestigial (kehilangan manfaat) karena
jarang dipakai. Ketika adaptasi terjadi melalui modifikasi perlahan pada stuktur
yang telah ada, struktur dengan organisasi internal dapat memiliki fungsi yang
sangat berbeda pada organisme terkait. Ini merupakan akibat dari stuktur leluhur
yang diadaptasikan untuk berfungsi dengan cara yang berbeda. Ciri-ciri anatomi
idiosinkratik lainnya adalah tulang pada pergelangan panda yang terbentuk
menjadi "ibu jari" palsu, mengindikasikan bahwa garis keturunan evolusi suatu
organisme dapat membatasi adaptasi apa yang memungkinkan (Gonzaga, 2009).

Gambar Organ vestigial pada manusia yang berupa umbai cacing (apendiks
vermiformis) (Anonim, 2010)
Selama adaptasi, beberapa struktur dapat kehilangan fungsi awalnya dan
menjadi struktur vestigial. Struktur tersebut dapat memiliki fungsi yang kecil
atau sama sekali tidak berfungsi pada spesies sekarang, namun memiliki fungsi
yang jelas pada spesies leluhur atau spesies lainnya yang berkerabat dekat.
Struktur vestigial termasuk rudimentasi, sayap pada mutan vestigial (Drosophila
melanogaster) kekurangan penglihatan pada hewan-hewan penghuni gua, gigi
geraham manusia, tulang ekor pada manusia (pada mamalia yang lain ekornya
tumbuh memanjang) (Anonim, 2009).
B. Bukti Embriologi Perbandingan

Kalau ditinjau dari perkembangan embrio pada hewan multiseluler, akan


dijumpai kenyataan bahwa perkembangan mulai dari zigot menunjukan bentuk
yang hampir sama. Misalnya perkembangan pada blastula, grastrula, namun
dalam perkembangan selanjut-nya berbeda satu dengan yang lain sehingga bentuk
dewasanya menjadi sangat berbeda. Contohnya perbedaan antara ikan,
salamander, kura-kura, ayam, babi, sapi, kelinci dan mansuia sungguh sangat
berbeda, namun semua dimulai dari blastula dan grastrula serta embrio yang
hampir sama (Frida, 2006).

Mengenai perkembangan embrio Karl von Baer, menyatakan bahwa:


(a) sifat-sifat umum muncul paling awal kemudian diikuti sifat-sifat khusus; (b)
perkembangan dimulai dari yang umum sekali, kemudian kurang umum, dan
akhirnya ke sifat-sifat yang khusus; (c) hewan yang satu memisah secara progresif
dari hewan yang lain; (d) dalam perkem-bangannya hewan-hewan multiseluler
bentuk embrionya sama, tetapi kemudian pada saat dewasa bentuknya menjadi
berbeda-beda.

Informasi dari perbandingan pertumbuhan dapat dicontohkan dari adanya


celah insang pada embrio vertebrata. Celah-celah insang pada ikan dewasa akan
tumbuh menjadi insang, sedangkan pada reptilia, aves, dan mamalia dewasa tidak
tumbuh insang kecuali pada beberapa amphibia (Widodo, Lestari, U., Amin, M.,
2003). Hal ini dapat dijelaskan dengan gambar sketsa perbandingan embrio yang
menunjukkan adanya homologi.
Gambar Perkembangan embrio vertebrata. Semua vertebrata memiliki celah-
celah insang pada stadium embrional (Widodo, Lestari, U., Amin, M., 2003).
C. Bukti Biogeografi

Biogeografi adalah mempelajari distribusi geografi dari tanaman dan


hewan. Kesimpulan mendasar dari studi biogeografis memperlihatkan bahwa
suatu spesies baru muncul pada satu tempat dan kemudian menyebar menuju
keluar dari titik atau tempat asal. Beberapa spesies kemudian menjadi lebih luas
distribusinya, tetapi mereka tidak dapat melewati barier-barier alami yang terpisah
daerah biogeografis yang besar. Oleh karena itu, meskipun lingkungan hidup
sesungguhnya identik pada daerah biogeografis berbeda, jarang ditempati oleh
spesies yang sama (Frida, 2006).

Contoh bukti biogeografi nyata yang telah diteliti oleh para ilmuwan
adalah burung finch. Burung finch (satu genus dengan burung pipit) di Kepulauan
Galapagos yang dulu dipakai Charles Darwin untuk mengembangkan teori
evolusi, kini terbukti cocok dengan teori itu mereka memang berevolusi (Schmid,
2006).

Beragam burung Finch yang ditemukan di Kepulauan Galapagos ini


diduga berasal dari nenek moyang yang sama. Burung Finch diduga mengalami
isolasi geografis sehingga sekarang ini ditemukan burung finch dengan berbagai
macam bentuk paruh. Bentuk paruh disesuaikan dengan cara memperoleh
makanannya. Perbedaan bentuk paruh ini diduga sebagai salah satu reaksi
adaptasi terhadap habitat yang berbeda-beda. Burung Finch yang berukuran
sedang yang diteliti Darwin, ternyata perlahan-lahan memperkecil paruhnya untuk
mendapatkan aneka jenis biji-bijian. Perubahan ini mulai terjadi sekitar duapuluh
tahun setelah kedatangan burung pesaing mereka yang berukuran lebih besar, dan
memperebutkan sumber makanan yang sama. Perubahan ukuran paruh
menunjukkan bahwa spesies yang berkompetisi untuk mendapatkan makanan
dapat mengalami evolusi. Berikut ini gambar sketsa dari burung beberapa finch
yang mempunyai perbedaan bentuk morfologi dan anatomi pada paruh.

Gambar Perbandingan bentuk paruh burung Finch secara anatomi (a) dan (b)
morfologi (Anonim, 2009)

Grant telah mempelajari burung-burung Finch di Kepulauan Galapagos


selama beberapa puluh tahun dan pada mulanya bermaksud meneliti perubahan-
perubahan yang terjadi ketika beradaptasi dengan kekeringan yang turut pula
mengubah jenis makanan yang tersedia di sana. Menurut Robert C. Fleischer,
pakar genetika di Smithsonian National Museum of Natural History and National
Zoo dalam Schmid (2006), jarang ilmuwan bisa mendokumentasikan perubahan-
perubahan yang muncul dari hewan menanggapi kompetisi di alam. Lebih banyak
mereka mengamati ketika satwa masuk ke habitat yang baru atau perubahan iklim
dan perilaku untuk menemukan sumber makanan baru.
Dalam teori evolusi Darwin, perubahan itu dikenal dengan istilah
character displacement, yang terjadi ketika seleksi alam yang menghasilkan
perubahan pada generasi berikutnya. Adaptasi dari burung Finch ini merupakan
struktur atau perilaku yang bertujuan meningkatkan fungsi organ tertentu, yang
menyebabkan organisme menjadi lebih baik dalam bertahan hidup dan
bereproduksi. Variasi burung Finch yang ada saat ini mempunyai beragam bentuk
paruh yang disesuaikan dengan cara hidupnya. Hal ini jelas diakibatkan oleh
kombinasi perubahan acak dalam skala kecil pada sifat organisme secara terus
menerus yang diikuti oleh seleksi alam varian yang paling cocok terhadap
lingkungannya. Dengan demikian homologi paruh pada beragam variasi burung
finch dapat dijadikan sebagai salah satu bukti adanya evolusi, dan burung Finch
merupakan contoh fosil hidup adanya evolusi (Schmid, 2006).

D. Bukti Paleontologi

Fosil (dalam bahasa Latin: fossa yang berarti "menggali keluar dari dalam
tanah" ) adalah sisa-sisa atau bekas-bekas makhluk hidup yang menjadi batu atau
mineral. Fosil merupakan makhluk hidup atau sebagian dari makhluk hidup yang
tertimbun oleh tanah, pasir, lumpur dan akhirnya membatu, atau kadang-kadang
hanya bekas-bekas organisme. Pada umumnya fosil yang telah ditemukan terdapat
dalam keadaan tidak utuh, yaitu hanya merupakan suatu bagian atau beberapa
bagian dari tubuh makhluk hidup. Hancurnya tubuh makhluk hidup yang telah
mati disebabkan karena pengaruh air, angin, bakteri pembusuk, hewan-hewan
pemakan bangkai dan lain-lain. Fosil-fosil dapat ditemukan diberbagai macam
lapisan bumi, sehingga penentuan umumnya didasarkan atas umur lapisan yang
paling dalam, mempunyai umur yang lebih tua sedangkan umur fosil yang
ditemukan yang lebih atas mempunyai umur yang lebih muda. Dengan
membandingkan fosil-fosil yang ditemukan diberbagai lapisan bumi yaitu mulai
dari sederetan fosil-fosil yang telah ditemukan dalam lapisan batuan bumi dari
yang tua sampai ke yang muda menunjukkan ada perubahan yang terjadi secara
berangsur-angsur maka dapat disimpulkan bahwa fosil merupakan petunjuk
adanya evolusi (Widodo, Lestari, U., Amin, M., 2003).
Fosil merupakan catatan sejarah penting sebagai petunjuk adanya evolusi.
Dengan membandingkan struktur tubuh hewan masa lampau yang telah menjadi
fosil dengan hewan sekarang dapat disimpulkan bahwa keadaan lingkungan di
masa lampau berbeda dengan sekarang. Tokoh yang mempelajari fosil dan
hubungannya dengan evolusi adalah:

a) Leonardo da Vinci (Italia 1452-1519). Orang yang pertama kali berpendapat


fosil merupakan bukti adanya makhluk hidup di masa lampau.

b) George Cuvier (Perancis 1769-1832) merupakan ahli anatomi perbandingan.


Ia mengadakan studi perbandingan antara fosil-fosil dari berbagai lapisan bumi
dan makhluk hidup yang ada sekarang. Cuvier menyimpulkan bahwa pada
masa tertentu telah diciptakan makhluk-makhluk hidup yang berbeda dari
masa ke masa. Setiap masa diakhiri kehancuran alam. Paham ini dikenal
dengan kataklisma.

c) Darwin mengatakan bahwa makhluk hidup pada lapisan bumi tua


mengadakan perubahan bentuk untuk menyesuaikan diri dengan lapisan bumi
yang lebih muda. Oleh sebab itu, fosil pada lapisan bumi muda berbeda
dengan fosil di lapisan bumi tua (Anonim, 2009).
Fosil jarang ditemukan dalam keadaan lengkap (utuh), umumnya
merupakan suatu bagian atau beberapa bagian tubuh makhluk hidup. Faktor-faktor
yang menyebabkan jarang ditemukan fosil dalam keadaan lengkap, yaitu:
1) Terjadinya lipatan batuan bumi;
2) Pengaruh air, angin, dan bakteri pembusuk;
3) Hewan pemakan bangkai;
4) Jenis organisme, ada organisme yang tidak mungkin menjadi fosil, misalnya
amoeba; (Anonim, 2010)
Keadaan lingkungan yang tidak memungkinkan suatu bagian tubuh
organisme menjadi fosil. Untuk menjadi fosil, sisa-sisa hewan atau tanaman ini
harus segera tertutup sedimen. Proses Pembentukan fosil disebut dengan fosilisasi.

Fosilisasi
Fosilisasi merupakan proses penimbunan sisa-sisa hewan atau tumbuhan
yang terakumulasi dalam sedimen atau endapan-endapan baik yang mengalami
pengawetan secara menyeluruh, sebagian ataupun jejaknya saja. Terdapat
beberapa syarat terjadinya pemfosilan yaitu antara lain:
1. Organisme mempunyai bagian tubuh yang keras
2. Mengalami pengawetan
3. Terbebas dari bakteri pembusuk
4. Terjadi secara alamiah
5. Mengandung kadar oksigen dalam jumlah yang sedikit
6. Umurnya lebih dari 10.000 tahun yang lalu (Anonim, 2010).
Fosil hidup
Istilah "fosil hidup" adalah istilah yang digunakan suatu spesies hidup
yang menyerupai sebuah spesies yang hanya diketahui dari fosil. Beberapa fosil
hidup antara lain ikan coelacanth, burung Finch dan pohon ginkgo. Fosil hidup
juga dapat mengacu kepada sebuah spesies hidup yang tidak memiliki spesies
dekat lainnya atau sebuah kelompok kecil spesies dekat yang tidak memiliki
spesies dekat lainnya. Contoh dari kriteria terakhir ini adalah nautilus (Anonim,
2009).
Tempat penemuan fosil
Kebanyakan fosil ditemukan dalam batuan endapan (sedimen) yang
permukaannya terbuka. Batu karang yang mengandung banyak fosil disebut
fosiliferus. Tipe-tipe fosil yang terkandung di dalam batuan tergantung dari tipe
lingkungan tempat sedimen secara ilmiah terendapkan. Sedimen laut, dari garis
pantai dan laut dangkal, biasanya mengandung paling banyak fosil (Anonim,
2010).
Proses terbentuknya fosil
Fosil terbentuk dari proses dari proses penghancuran peninggalan
organisme yang pernah hidup. Hal ini sering terjadi ketika tumbuhan atau hewan
terkubur dalam kondisi lingkungan yang bebas oksigen. Fosil yang ada jarang
terawetkan dalam bentuknya yang asli. Dalam beberapa kasus, kandungan
mineralnya berubah secara kimiawi atau sisa-sisanya terlarut semua sehingga
digantikan dengan cetakan.
Pemanfaatan fosil
Fosil penting untuk memahami sejarah batuan sedimen bumi. Subdivisi
dari waktu geologi dan kecocokannya dengan lapisan batuan tergantung pada
fosil. Organisme berubah sesuai dengan berjalannya waktu dan perubahan ini
digunakan untuk menandai periode waktu. Sebagai contoh, batuan yang
mengandung fosil graptolit harus diberi tanggal dari era paleozoikum. Persebaran
geografi fosil memungkinkan para ahli geologi untuk mencocokan susunan batuan
dari bagian-bagian lain di dunia.

1. Fosil tumbuhan

Salah satu fosil tumbuhan yang pernah ditemukan adalah Archaefructus


liaoningensis yang berusia 140 juta tahun. Struktur fosil ini mirip daun dan pada
fosil tersebut mengandung minyak tumbuh-tumbuhan. Minyak ini merupakan
suatu ciri khas yang hanya dimiliki tanaman berbunga.

Jika dilihat dari fosil yang terekam dalam


lapisan-lapisan sedimen di kerak Bumi, fosil
tumbuh-tumbuhan tertua tercatat berusia 425 juta
tahun, yang ditunjukkan dengan keberadaan fosil
fern, fir, conifer dan beberapa varietas tumbuhan
purba yang lain. Sementara di masa 130 juta
tahun silam tumbuhan berbunga mulai mewarnai
permukaan Bumi. Di antara dua masa itu tidak
diketahui secara pasti bagaimana tumbuhan yang
lebih tua mampu berevolusi membentuk
tumbuhan berbunga. Charles Darwin menjumpai
fenomena ini sejak abad 19 lalu (Smunsa, 2001).

Sejak itu berbagai kemungkinan diungkapkan, namun permasalahan ini masih


kontroversial hingga sekarang. Di kalangan ilmuwan, fenomena ini dikenal
sebagai salah satu misteri Darwin.
Oleanane
Gambar disamping merupakan rumus
bangun molekul oleanane yang berhasil dideteksi
Moldowan dan rekan-rekannya dari deposit
sedimen berminyak yang berusia ratusan juta
tahun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh tim geologi Amerika, penelitian ini
didasarkan pada sebuah senyawa organik yang
dinamakanoleanane, yang acap ditemukan pada
fosil-fosil tumbuhan. Hal ini merupakan langkah
maju. Selama ini kerja para palentolog terbatas
pada anatomi tumbuhan purba yang tercetak
dalam fosil secara detil, bukan pada molekul
pembentuk (oleanane), kata Bruce Runnegar,
profesor palentologi di University California of
Los Angeles.
Oleanane merupakan senyawa organik yang diproduksi oleh berbagai
macam tumbuhan dan berfungsi sebagai bagian dari mekanisme pertahanan
tumbuhan terhadap serangan serangga, jamur dan berbagai aktivitas mikroba
lainnya. Namun senyawa ini tidak dijumpai pada beberapa tumbuhan seperti
pinus. Gambar di samping merupakan sebuah fosil tumbuhan purba berbunga
(kiri) dan tumbuhan berbunga saat ini (Hanman's Fossils dalam Tim Smunsa,
2001).
Tim geologi yang dipimpin oleh Moldowan dan koleganya mempelajari
sedimen-sedimen berumur Permian yang mengandung sisa-sisa tumbuhan purba
yang dikenal sebagai gigantopterids. Dalam lapisan sedimen yang sama pula

ditemukan oleanane. Hal ini


memperlihatkan bahwa
gigantopterids pun memproduksi
oleanane, layaknya tumbuhan
moderan pada saat ini. Dari sini
biolog David W. Taylor dari
Indiana University menyimpulkan
bahwa tumbuh-tumbuhan berbunga
telah ada jauh lebih awal.
Penemuan ini cukup penting karena
dalam waktu yang belum lama juga di daratan Cina ditemukan fosil
gigantopterids yang lengkap dengan daun dan batangnya, yang sangat mirip jika
dibandingkan dengan tumbuhan berbunga modern. Taylor memperkirakan bahwa
gigantopterids dan tumbuhan berbunga mulai berevolusi dari tumbuhan yang
lebih tua secara bersama-sama semenjak 250 juta tahun yang lalu. Penemuan ini
sedang memasuki lapangan perdebatan ilmiah yang sesungguhnya. Namun di
samping itu, Moldowan dan rekan-rekannya mencatatkan diri bahwa oleanane
dapatlah dijadikan sebagai fosil kimiawi yang penting untuk mempelajari sejarah
kehidupan di muka Bumi (Tim Smunsa, 2001)

Fosil tanaman yang paling banyak ditemukan di bumi adalah sejenis paku-
pakuan (fern). Salah satu temuan di dinding tambang batubara berupa fosil
tumbuhan sejenis pakis yang disebut pteridosperm yang memiliki daun selebar
sekitar 6 centimeter. Hal ini ditemukan oleh para pekerja sebuah tambang
batubara di Illinois, AS terkejut saat melihat lukisan di dinding tambang yang
menggambarkan pemandangan masa lalu. Setelah mengebor emas hitam yang
mereka inginkan, pada langit-langit gua bekas pengeboran terlihat jejak lumut,
semak belukar, dan tumbuh-tumbuhan purba lainnya.

Sebagaimana dilaporkan dalam sebuah jurnal Geologi edisi bahwa fosil


vegetasi purba yang diperkirakan berumur 300 juta tahun memenuhi kawasan
tambang hingga seluas 10 kilometer persegi. Ini merupakan fosil hutan terbesar
yang pernah ditemukan. Menurut Dr. Howard Falcon-Lang seorang pakar
kebumian dari Universitas Bristol yang menemukan situs tersebut menyatakan
bahwa Para geolog mencoba menuruni sekitar seratus meter di bawah permukaan
tanah dan menyusuri orong-lorong gelap gulita yang panjangnya beberapa
kilometer dengan fosil hutan di langit-langitnya. Mereka menemukan jejak
keragaman ekologi yang sangat kompleks. Jenis tumbuh-tumbuhan paling banyak
ditemukan berupa sejenis pakis yang tingginya sekitar 4 meter dan membentuk
sub kanopi yang menaungi vegetasi di bawahnya. Namun, ada jenis paku-pakuan
raksasa yang tingginya mencapai 40 meter dan ini merupakan temuan yang tak
ternilai.

Kenakeragaman hayati yang jelas terlihat dari kumpulan fosil tumbuh-


tumbuhan menjadi sumber informasi yang penting untuk mempelajari sejarah
hutan purba. Menurut Scott, proses pembentukan fosil di wilayah ini sangat lain
dan lebih dinamis dibandingkan kawasan lainnya. Epos Pennsylvania yang
berlangsung antara 229-325 juta tahun lalu diperkirakan puncak periode
pembentukan formasi batubara di wilayah tersebut. Deposit tambang dan fosil di
Illinois itu mungkin terbentuk karena gempa besar yang menyebabkan kawasan
tersebut lebih rendah dari permukaan laut. Hutan yang terendam air garam
kemudian mati dan mulai tertutup endapan-endapan selama jutaan tahun sampai
menjadi batubara (Enterpises, 2010).

Biasanya, para ilmuwan mencari tahu sejarah kebumian dengan mengebor


lapisan batuan secara vertikal dan mempelajari lapisan demi lapisan. Tapi, dengan
temuan ini mereka dapat mempelajari satu periode kehidupan di Bumi secara rinci
yang terekam dalam satu lapisan yang sangat luas.

2. Fosil Hewan
Fosil Hewan paling banyak ditemukan daripada fosil tumbuhan. Fosil
vertebrata banyak ditemukan diberbagai daerah, sedangkan fosil avertebrata
sangat jarang ditemukan dipermukaan bumi. Hal ini karena pada umumnya
anggota vertebrata tidak memiliki bagian tubuh yang keras. Namun demikian hal
ini tidak menutup kemungkinan bahwa akan dapat ditemukan fosil dari vertebrata.
Faktor adanya bagain tubuh yang keras bukanlah satu-satunya penentu adanya
fosil. Jika fosil terbentuk pada zaman es, maka pada tersebut masih terdapat
bakteri pembusuk. Zaman es terjadi beberapa juta tahun yang lalu. Pada iklim
yang dingin mayoritas bakteri sedang tidak aktif melakukan proses pembusukan.
Fosil yang ditemukan pada umumnya berusia lebih dari 10.000 tahun. Dengan
demikian maka fosil dari golongan Avertebrata yang hidup pada zaman es pada
jutaan tahun yang lalu sangat mungkin untuk ditemukan. Berikut ini beberapa
contoh fosil hewan yang pernah ditemukan oleh para arkeolog.
Gambar Fosil Hewan (Anonim, 2009)
Contoh Catatan Fosil yang Lengkap

Data fosil untuk kelompok kuda dan primata cukup lengkap untuk dapat
mendeskripsikan evolusi yang terjadi pada dua kelompok hewan tersebut. Namun
demikian, selengkap-lengkapnya data fosil masih belum dapat menjelaskan secara
detail apa yang terjadi pada masa silam. Dasar deskripsi evolusi kuda dan primata
ini, para ahli menggunakan metode pendekatan dengan dengan membandingkan
perubahan struktur dari makhluk hidup yang paling erat kaitannya dengan
makhluk hidup sasaran.

a) Evolusi Kuda

Evolusi kuda merupakan suatu contoh klasik yang datanya cukup lengkap.
Hal ini disebabkan oleh kuda hidup berkelompok dan berjumlah cukup besar,
sehingga meninggalkan sejumlah besar fosil dari masa ke masa. Fosil kuda
primitif ditemukan dalam jumlah besar pada jaman eosen yaitu ± 58 juta tahun
yang lalu di Amerika Utara dan Eropa (Widodo, Lestari, U., Amin, M., 2003).
Gambar: Eohipus dengan panjang 20 cm pada habitat semak

Fosil kuda paling primitif dikenal dengan Eohippus. Ciri-ciri fosil


eohippus berdasarkan rangkanya dapat dideskripsikan sebagai berikut, kuda ini
sebesar kucing atau kancil dan tingginya hanya sekitar 30 cm. Dari fosil struktur
gigi diketahui bahwa eohippus adalah pemakan semak belukar, giginya berjumlah
22 pasang dengan gigi geraham yang terspesialisasi untuk menggiling makanan.
Ukuran tubuh yang pendek sangat menguntungkan eohippus karena dapat
menyelinap diantara semak belukar. Hal ini ditunjukkan pula oleh pola gigi yang
sesuai untuk menggigit semak belukar dan bukan rumput. Kaki dengan beberapa
jari ikut membantu dalam mengais dan menggali akar-akar yang lunak (Widodo,
Lestari, U., Amin, M., 2003).

Pada masa berikutnya terjadi suatu perubahan pada permukaan bumi.


Hutan menjadi berkurang dan timbul padang rumput yang luas. Padang rumput ini
merupakan suatu biotop baru. Gigi yang sebelumnya cocok untuk merenggut
semak belukar, tidak diperlukan lagi. Kini diperlukan suatu gigi yang lebih lebar
dan bermahkota email yang cukup tebal untuk menggigit dan mengunyah rumput.
Gigi beremail sesuai untuk mengunyah rumput karena rumput mengandung kadar
silikat yang tinggi. Gigi seri melebar dan pipih untuk menggigit rumput. Gigi
premolar berubah bentuk menjadi molar. Gigi geraham melebar untuk
menggantikan fungsi mengunyah menjadi menggiling. Perubahan gigi
mengakibatkan gigi bertambah lebar (Widodo, Lestari, U., Amin, M., 2003).

Panjang alat gerak diperlihatkan pada berrtambah panjangnya kaki, jumlah


jari yang lebih sedikit yang disesuaikan untuk kehidupan padang rumput. Kaki
depan terdiri dari empat jari dan satu jari mengalami rudimentasi, sedangkan kaki
belakangnya mempunyai tiga jari dan dua jari mengalami rudimentasi. Bentuk jari
tengah semakin panjang dan besar dibandingkan dengan jari moyangnya. Ujung
jari setiap kaki ditutupi oleh kuku (Widodo, Lestari, U., Amin, M., 2003).

Gambar Evolusi Kuda dimulai dariu 50 jtl dimulai pada era Eocence, Oligocence,
Miocence, Pliocence, Pleistocence, dan bentuk dari kuda yang ada saat ini (Anonim,
2009).
Lebih jelasnya pada evolusi kuda terjadi perubahan sebagai berikut:
a) Pertambahan dalam ukuran. Ukuran tubuh kuda bertambah mulai dari sebesar
kancil menjadi sebesar kuda akutual sekarang.
b) Pemanjangan kaki depan dan belakang. Kaki kuda yang relatif sebanding
dengan tubuhnya seperti proporsi tubuh kucing atau anjing.
c) Reduksi jari-jari lateral dan pembesaran jari tengah. Mula-mula jari kaki
berjumlah ¾ buah, kemudian tereduksi menjadi satu jari saja.
d) Punggung menjadi lurus dan datar. Punggung yang miring melekuk dengan
bagian dada lebih tinggi menjadi datar.
e) Gigi seri melebar. Gigi seri yang semula serupa gigi mamalia lainnya menjadi
lebar dan pipih untuk menggigit rumput.
f) Gigi premolar berubah bentuk menjadi molar. Gigi geraham melebar semua
menggantikan fungsi menguyah menjadi menggiling.

g) Pemanjangan dari tengkorak. Tengkorak memanjang untuk memperoleh


bentuk kepala yang lebih ideal untuk menambah kecepatan berlari.
h) Pertambahan mahktota gigi dengan pertumbuhan bagian email. Sesuai dengan
fungsi dan jenis makanannya cara menggiling makanan mengakibatkan
mahkota gigi aus. Untuk menanggulangi kerusakan gigi, maka bagian
mahkota gigi cukup tebal untuk mengakomodasi keausan sampai kudanya
berusia 5 tahun.
i) Volume otak bertambah besar dan juga bertambah kompleks.
j) Rahang bertambah lebar untuk mengakomodasi perubahan gigi (Frida, 2006).
b) Evolusi Primata
Evolusi primata merupakan salah satu contoh evolusi dengan data yang
cukup lengkap. Teori evolusi yang hanya didasarkan atas adanya fosil tidak
pernah dapat menerangkan dengan lengkap apa yang terjadi di masa lampau. Oleh
karena itu untuk mempelajari evolusi suatu organisme, biasanya para ahli
menggunakan data suatu organisme yang masih hidup hingga kini. Dalam hal ini,
yang dilakukan para ahli ialah melihat perubahan stuktur dari organisme-
organisme yang paling erat hubungan kekerabatan dengan organisme sasaran yang
diteliti. Dengan mengaitkan perubahan-perubahan suatu ciri, maka dapat ditarik
kesimpulan mengenai apa yang terjadi pada masa silam. Dalam hal ini, digunakan
pendekatan pada golongan primata.
Salah satu definisi evolusi adalah merupakan suatu ilmu yang mempelajari
perubahan yang berangsur-angsur menuju ke arah yang sesuai dengan masa dan
tempat. Pada dasarnya evolusi tidak untuk membuktikan apakah suatu jenis
berasal dari jenis yang lain. Memang menurut Darwin, suatu organisme berasal
dari organisme lain. Tetapi pembuktian bahwa suatu jenis berasal dari jenis yang
lain tidak pernah dapat dibuktikan. Yang dipelajari dalam evolusi adalah proses
perubahannya.
Primata muncul sekitar 70 juta tahun yang lalu seiring dengan punahnya
dinosaurus. Ordo primata dibagi menjadi dua sub ordo, yakni Prosimian (meliputi
lemur, tarsius, dll) dan Antropoid (kera, monyet, manusia). Prosimian yang
dahulu mendominasi primata, sekarang semakin tersingkir dan akhirnya menjadi
endemik beberapa daerah seperti Madagaskar. Dengan pemisahan garis
filogenetik, maka cabang dari Anthropoidea ada 3, yaitu monyet, kera, dan
Hominid (manusia). Monyet pertama muncul kira-kira 50 juta tahun lalu. Awal
mulanya, monyet dunia baru muncul dari cabang primata kuno, dan belakangan
monyet dunia lama berevolusi sebagai garis keturunan terpisah. Garis keturunan
yang tersisa setelah pemisahan monyet disebut garis Hominoid. George Gaylord
Simpson menyarankan pengelompokan garis itu ke superfamilia Hominoidea.
Pengelompokan itu mencakup: Hylobatidae (kera kecil), Pongidae (kera besar),
Hominidae (manusia). Fosil kera primitif yang pernah ditemukan kira-kira berusia
35 juta tahun dan dinamakan Aegyptopithecus, yakni “kera fajar”. Karena itu
merupakan garis keturunan hominoid, maka kera tersebut adalah nenek moyang
bersama kera dan manusia. Divergensi antara kera purba dan manusia diduga
terjadi sekitar 7 atau 8 tahun yang lalu (Anonima, 2006).

Prosimian (tarsius) Antropoid (kera)

Awal mulanya, primata mengadaptasikan kehidupan arboreal. Sendi bahu


yang sangat fleksibel pada monyet dan kera memudahkan mereka untuk berayun-
ayun dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Tipe lokomosi seperti itu disebut
brachiasi (dari kata Latin brachia/brachium untuk lengan). Modifikasi lainnya
adalah pergeseran mata ke tengah wajah, sehingga citra dari kedua mata dapat
menumpuk ditengah dan menghasilkan citra yang lebih baik. Kebanyakan primata
memiliki pegangan tangan dan kaki yang kuat dan fleksibel. Namun, kemampuan
itu telah tereduksi hampir seratus persen pada primata bipedal yang plantigrad,
seperti manusia. Akan tetapi, hampir semua primata dari yang primitif sampai
yang modern sekalipun, memiliki tangan dengan ibu jari yang dapat berputar. Hal
ini sangat menguntungkan bukan saja untuk memegang objek, namun melakukan
manipulasi dan modifikasi lingkungan. Apalagi, dengan perkembangan
neokorteks (cerebrum) yang amat pesat, hal ini memberikan peluang untuk
perkembangannya.

Bukti yang digunakan untuk mempelajari perubahan akan ditinjau dari


banyak segi, yang dapat memberikan petunjuk mengenai apa yang terjadi pada
masa lalu. Suatu sifat akan berevolusi sesuai dengan perkembangan waktu dan
tempat. Dengan menggunakan data fosil dan organisme aktuil mempunyai semua
sifat terevolusi. Analisis yang dilakukan pada primata primitive sampai dengan
primata yang maju, yakni manusia memberikan gambaran sebagai berikut:
1. Perkembangan Primata primitif ke Primata maju

Hubungan antara tulang vertebra dan tengkorak mengalami perubahan yang


berangsur-angsur menuju titik berat tengkorak. Mula-mula hubungan ini
terdapat dibagian tepi menjadi tepat berada di bawah. Perubahan ini diikuti
dengan perubahan cara berjalan dari empat kaki menjadi dua kaki. Sejalan
dengan perubahan ini, maka otot leher menjadi lebih lemah, sedangkan
panggul menjadi lebih penting dan kuat. Bentuk tengkorak yang memanjang
dengan rahang besar, gigi yang kuat dan membentuk moncong menjadi
bertambah pendek. Rongga hidung menjadi mengecil (Widodo, Lestari, U.,
Amin, M., 2003).

Bola mata pada organisme non primata tidak mempunyai tulang yang
meliputinya. Tetapi pada kera dan manusia, mata sudah sepenuhnya
terlindung. Hal ini menunjukkan bahwa mata menjadi organ yang sangat
penting. Selain itu, dapat pula dilihat bahwa mata yang menghadap ke
samping, menjadi berangsur-angsur menghadap ke depan. Penglihatanpun
berubah dari dua dimensi menjadi tiga dimensi, dan kemampuan melihat
warna meningkat dari hitam putih untuk membedakan gelap dan terang
menjadi mampu melihat hampir semua spectrum warna. Hal ini erat kaitannya
dengan cara hidup dari malam hari menjadi siang hari. Selain itu, matapun
diperlukan untuk melihat makan diantara ranting-ranting pohon, dan untuk
menyelinap dengan mudah diantara hutan (Widodo, Lestari, U., Amin, M.,
2003).

Ujung jari bercakar berangsur-angsur berubah menjadi kuku. Hal ini terlihat
bahwa tupai mempunyai cakar, sedangkan primata lebih lanjut mempunyai
kuku yang tebal dan akhirnya manusia mempunyai kuku yang tipis. Cakar
mula-mula digunakan untuk mengais mencari makan. Dengan berubahnya
cara hidup dari hidup di tanah menjadi kehidupan arboreal, maka cakar
menjadi mengganggu kemapuan bergerak dengan cepat di atas pohon.
Kehidupan arboreal lebih membutuhkan kemampuan untuk memegang.
Dengan demikian, terjadi pula perubahan cara memegang dengan
terbentuknya ibu jari dengan persendiaan yang lain daripada jari-jari yang lain.
Hal ini erat kaitannya dengan timbulnya flora hutan sebagai habitat baru di
muka bumi. Cakar perlu untuk naik pohon, tetapi selalu terkait kalau pindah
dari suatu tempat ke tempat lain. Selain itu, terjadi pula perubahan dari telapak
tangan. Hal ini penting berkaitan dengan kemampuan untuk memegang yang
terlihat pada kera, yang mempunyai “empat tangan”, bahkan pada kera
Amerika Selatan, ekorpun dapat digunakan untuk memegang (Widodo,
Lestari, U., Amin, M., 2003).
Kehidupan arboreal menyebabkan fungsi tangan lebih penting daripada kaki.
Hal ini terlihat pada bangsa kerayang memilki tangan yang lebih panjang dan
lebih kuat daripada kaki. Struktur ini penting untuk dapat berayun-ayun dan
berpindah tempat. Dengan berubahnya permukaan bumi, maka jumlah hutan
menjadi semakin sedikit. Selain itu, ditemukan primata besar yang tidak dapat
ditunjang oleh hutan. Dengan demikian, primata mulai turun ke permukaan
bumi. Akibatnya tangan menjadi kurang diperlukan sedangkan kaki
diperlukan untuk mengejar mangsa dan menghindarkan diri dari predator
(Widodo, Lestari, U., Amin, M., 2003).
Volume otak mengalami perubahan pesat. Faktor ini sangat nyata terlihat pada
golongan kera-manuasia. Australopithecus hanya mempunyai volume otak
600 cc, sedangkan manusia modern sekitar dua kali lebih besar. Data fosil
menunjukkan bahwa fosil manusia lainnya mempunyai kisaran antara
keduanya. Perubahan volume otak dapat pula dilihat pada perubahan dahi.

2. Data Fosil Evolusi Primata


Bermacam-macam fosil primata seperti Mesopithecus, Miopithecus,dan
Aegyptophitecus dari lapisan Oligosen; Parapithecus, Propliopithecus yang
berbentuk seperti bajing, diperkirakan tidak mempunyai hubungan kekerabatan
yang cukup erat dengan manusia. Fosil primata yang paling tua dan masih
termasuk famili Homonidae adalah Dryopithecus, Limnopithecus,
Brahmapithecus, Sivapithecus, Pliopithecus, Oreopithecus, dan Proconsul yang
dikenal sejak zaman Miosen. Dryopithecus dianggap berkerabat dengan bangsa
beruk dan kera, sedangkan Proconsul, merupakan fosil Homidid tertua yang
diduga berkerabat dengan gorilla dan simpanse. Fosil Brahmapithecus, dan
Sivapithecus belum diketahaui kerabat dekatnya. Kemudian dikenal fosil Hominid
yang lebih muda yakni Ramapithecus yang dianggap sebagai fosil yang erat
hubungannya dengan manusia. Fosil ini pada mulanya hanya sebuah tulang rahang.
Namun kini pandangan tersebut berubah, karena penemuan baru telah meberikan
pandangan yang lebih baik. Fosil ini ternyata identik dengan Dropithecus
(Anonimb, 2006).

Pada lapisan yang lebih muda, mulai dijumpai Paraustralopithecus


aethiopicus, yang kemudian oleh para ahli yang beraliran progresif sekarang
disebut Homo aethiopicus, Australopithecus (A. africanus, A. afarensis), Homo,
Meganthropus palaeojavanicus (Homo mojokertoensis), dan Paranthropus (P.
boisei, P. robustus). Kedua marga fosil terakhir dan Gigantopithecus adalah fosil
manusia atau kera berukuran besar dan mungkin pantas dinamakan raksasa. Fosol-
fosil yang menempati lapisan lebih atasa adalah Zinjanthropus, Homo habilis,
Homo ergaster, Homo rudolfensis. Baru kemudian kita mengenal manusia purba,
Homo erectus (Sinatropus, Pithecanthropus, Atlanthropus, Telanthropus,
Eoanthropus dan Homo heidelbergensis). Fosil-fosil Hominid yang paling muda
semuanya sudah dianggap sebagai Homo-sapiens (Swancombe, Steinheim, Cro-
Magnon), dan Homo sapiens neaderthalensis (Homo soloensis, Homo
rhodosiensis) (Anonimb, 2006).

3. Makhluk–makhluk pra-Homo sapiens

Evolusi makhluk pra–Homo sapiens dapat digolongkan menjadi dua


bagian besar, yakni:
a) Evolusi pra-Homo sapiens berdasarkan hubungan kekerabatan manusia
dengan hewan. Berdasarkan hubungan kekerabatan antara manusia dengan
hewan, evolusiner pra-Homo sapiens secara garis besar mengalami 4
perkembangan, yakni:
Famili Tupaiidae
Famili Tupaiidae merupakan ordo Primata, yakni golongan hewan
pemakan serangga.
Famili Lemuroidae
Famili ini merupakan Ordo Primata primitif termasuk di dalamnya
adalah jenis binatang setelah kera. Misalnya Tarsius spectrum (binatang
hantu), yang hidup di Indonesia (Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatra), dan
Filipina. Jenis binatang tersebut mempunyai ekor panjang serta berkuku
bukan cakar dengan kemampuan memanipulasi objek.
Famili Pongidae
Famili Homonidae (Anonima, 2006).
b) Evolusi pra-Homo sapiens berdasarkan ditemukannya fosil
Evolusi pra - Homo sapiens berdasarkan hasil penemuan fosil yang
ditemukan di berbagai lapisan dunia. Berdasarkan fosil yang ditemukan
diperkirakan kehidupan manusia dimulai lebih kurang 25 juta tahun lalu yang
tersebar menjadi 3 zaman, yakni:

1. Zaman Miosin (25 – 10 juta tahun yang lalu)

Tahap pertama, yakni Plipithecus. Makhluk ini sepenuhnya bersifat kera,


oleh karena itu dinamakan kera primitif. Tubuhnya kecil dan pendek.
Kedua tangannya mungkin masih digunakan untuk bergelantungan di
dahan pohon. Mereka belum dapat berjalan tegak. Diduga, kera primitif
hidup 35 – 25 juta tahun yang lalu. Ditemukan oleh tim ekspedisi
Universitas Yale di Fayum tahun 1961 (Anonimb, 2006).

Tahap kedua, Proconsul, yakni kera purba yang hidup sekitar 25 -15 juta
tahun yang lalu. Para ahli berpendapat bahwa makhluk ini tidak
sepenuhnya bersifat kera; disebabkan pada muka, rahang, gig geliginya
terdapat ciri yang ditafsirkan sebagai ciri manusia. Makhluk ini ditemukan
di danau Victoria, dikatakan oleh seorang ahli: “Mungkinkah ini
merupakan bisikan samar – samar pertama tentang makhluk hidup yakni
manusia”. Proconsul semakin banyak terkumpul dan semuanya
menunjukkan bahwa binatang ini muncul dengan berbagai ukuran yang
berbeda – beda; ada yang sekecil simpanse dan ada yang menjadi sebesar
gorilla. Tipe gorilla inilah yang menjadi nenek moyang gorilla modern
(Anonimb, 2006).

Tahap ketiga, Dryopithecus, yakni kera raksasa yang hidup sekitar 15 –


10 juta tahun yang lalu. Makhluk ini sejenis Proconsul. Fosilnya
ditemukan luas di Eropa, India, Cina, dan Afrika. Fosil ini belum lengkap
untuk menunjukkan salah satu anggota dari genus yang luas menuju ke
arah manusia. Karena rekonstruksi makhluk ini dibuat terutama dengan
menggunakan fragmen–fragmen dan gigi–gigi. Dryopithecus memiliki
bentuk badan yang cukup besar serta sangat gemar mengembara sehingga
menempati hutan tropis yang sangat luas (Anonimb, 2006).
Tahap keempat, Ramapithecus, yakni primata paling purba yang pada
umumnya dianggap sebagai leluhur manusia. Hidup sekitar 15 -10 juta
yang lalu. Ukurannya jauh lebih lebih kecil daripada manusia sekarang,
yakni 0,9 – 1,2 meter dan kapasitas tengkoraknya lebih kurang 40 cc.
Ramapithecus memiliki busur gigi yang lebih kecil namun jauh lebih besar
daripada kera. Bentuknya kira-kira mirip dengan busur gigi manusia. Pada
manusia, tanganlah yang melakukan sebagian besar pemecahan dan
pencabikan makanan yang keras, sedangkan pada kebanyakan kera, gigi
tampak merupakan satu-satunya alat untuk melakukan tugas-tugas
tersebut. Fosil dari makhluk ini ditemukan pada tahun 1930-an di bukit
Siwalik (Pakistan) oleh G. E. Lewis dari Universitas Yale (Anonimb,
2006).

2. Zaman Pliosin (10 – 2 juta tahun yang lalu)

Pada zaman ini telah muncul makhluk baru yakni primata yang tidak
menyerupai primata yang hidup sebelumnya. Makhluk ini bukan kera penghuni
hutan, tetapi lebih banyak hidup di padang rumput terbuka. Makhluk ini berjalan
tegak dengan kedua kakinya. Ada dua jenis makhluk ini, yakni:

Tahap kelima, Australopithecus afarensis. Makhluk ini merupakan


tingkatan kelima. Australopithecus afarensis merupakan makhluk purba
yang diduga merupakan keturunan Ramapithecus. Hidup sekitar 5 juta
tahun yang lalu. Makhluk ini juga dianggap sebagai Hominoid paling awal
yang menurut beberapa ahli sudah mampu berjalan tegak.
Australopithecus afarensis ditemukan oleh Lois dan Mary Leakey
dibagian Timur dan Utara Afrika Selatan, di tebing Olduvai dekat dengan
Ethiopia. Fosil – fosil makhluk ini ditemukan dari lapisan-lapisan batuan
yang berbentuk tebing lembah. Dengan metode kalium-argon dapat
ditentukan dengan tepat fosil itu (Anonimb, 2006).

Tahap keenam, Australopithecus africanus merupakan tingkatan keenam.


Makhluk ini ditemukan oleh Raymond Dart, pada tahun 1924, yakni
seorang ahli otonomi dan palaentologi dari Universitas Witwatersrand di
Johannesburg, Afrika Selatan. Fosil Australopithecus africanus dipelajari
Dart dari koleksi batuan yang mengandung fosil dari suatu lubang galian
pertambangan kapur di Taung, Batswana. Fosil terbenam dalam salah satu
bagian batuan dimana tengkorak – tengkorak yang ditemukan tidak
menyerupai tengkorak lainnya yang pernah dilihatnya. Ketika tengkorak
tadi dipisahkan sama sekali dari batuan, Nampak suatu tengkorak yang
menakjubkan. Dalam beberapa hal, tengkorak ini menyerupai anak
manusia yang berumur lima atau enam tahun. Tetapi dalam hal beberapa
lainnya tengkorak tadi jelas menyerupai tengkorak kera. Dart menamakan
penemuanya dengan Australopithecus africanus, artinya “Kera Afrika
Selatan”. Dia terus mempelajarinya dan setelah empat tahun bekerja
berhasil memisahkan rahang tengkorak sedemikian, sehingga giginya
tampak jelas. Terlihat gigi – giginya sangat menyerupai gigi anak manusia.
Lain dari itu, dari letak foramen magnum, yakni lubang yang menghadap
ke tengkorak dan yang melewati oleh urat saraf tulang belakang menuju ke
otak, menghadap langsung ke bawah. Dart merasa bahwa tengkorak tadi
adalah tengkorak suatu makhluk yang letak kepalanya seperti pada
manusia; mungkin makhluk tersebut sudah berjalan tegak. Penemuan Dart
didukung oleh ahli palaentologi lain yang berkerja di Afrika Selatan, yakni
Robert Broom. Setelah bertahun – tahun dia mempelajari fosil Mammalia
di Afrika Selatan dengan beberapa teman sekerja, Broom mencari fosil-
fosil lagi yang mungkin dapat memberikan petunjuk untuk memperkuat
kesimpulannya. Selama empat puluh tahun berikutnya, terkumpul sudah
bahan fosil yang fosil tengkorak, tulang kaki, dan tulang panggul. Semua
fosil diharapkan dapat memberi petunjuk dengan jelas bahwa memang
sesungguhnya di Afrika Selatan terdapat makhluk pra – manusia (pra –
Homo sapiens) (Anonimb, 2006).

3. Zaman Pleistosin (2 juta tahun yang lalu sampai sekarang)

Pada zaman ini manusia mengalami evolusi yang sangat cepat dan sudah
menggunakan perkakas baik dari batu maupun kayu. Mereka sudah pandai
berburu, sudah dapat menggunakan api dan diduga sudah dapat berbicara.
Anggapan ini berdasarkan pada volume otak yang lebih besar bila dibandingkan
dengan makhluk sebelumnya.

Tahap ketujuh, Australopithecus robustus merupakan makhluk sejenis


Australopithecus africanus, namun ukurannya lebih besar. Tinggi
badannya mencapai 1,5 meter dan berat badannya 65 – 75 kg, mempunyai
gigi – gigi besar dan otak rahang yang kuat yang menunjukkan bahwa
spesies ini adalah herbivora. Sedangkan Australopithecus robustus lebih
langsing, berat badanya kira – kira 50 kg dan tingginya 1,2 meter.
Meskipun catatan fosil jauh dari sempurna, akan tetapi ada petunjuk
bahwa Australopithecus tersebut hidup di Afrika Selatan kira – kira selama
750. 000 tahun yang lalu. Selama waktu itu, Australopithecus africanus
makin lama makin menyerupai manusia, sedangkan Australopithecus
robustus tetap tidak berubah (Anonimb, 2006).

Tahap kedelapan, Australopithecus boisei. Makhluk ini merupakan tahap


kedelapan, yang merupakan jenis Australopithecus yang paling besar.
Australopithecus boisei hidup di Afrika Timur, dengan ciri – ciri badan
tegap, muka dan giginya khas lagi kokoh, tempurung kepalanya rendah
dan kasar. Diduga hidup 1,5 juta tahun yang lalu. Ditemukanj oleh Leakey
di Lenbah Olvuvai, Tanzania.
Tahap kesembilan, Homo habilis. Makhluk ini merupakan keturunan dari
Australopithecus purba yang lebih ramping dan berbeda dengan saudara –
saudaranya, karena lebih tinggi intelegensinya. Homo habilis (manusia
tukang) merupakan pembuat dan memakai alat. Homo habilis hidup
sekitar 2 – 1,5 tahun yang lalu. Beberapa ahli berpendapat bahwa makhluk
ini sebagai “manusia sejati pertama”, yang lebih cerdas daripada Homo
habilis karena memiliki rongga otek yang lebih besar. Ditemukan oleh
Leakey di Lembah Olduvai.

Tahap kesepuluh, Homo erectus. Makhluk ini diduga hidup pada 1,5 –
0,5 juta tahun yang lalu. Homo erectus dapat berjalan tegak, kakinya
panjang dan lurus, dan tulang tungkainya lebih maju. Otaknya lebih besar
dengan valume berkisar 750 – 1.400 cc. Homo erectus sebagai manusia
purba sudah pandai membuat perkakas, misalnya kapak genggam,
walaupun masih agak kasar. Kehidupannya dengan berburu mammalian
besar. Telah menggunakan api, sudah dapat berbicara untuk mengajari
anaknya bagaimana membuat perkakas. Makhluk ini ditemukan tersebar di
dunia. Kenapa Homo erectus dapat hidup di seluruh dunia belumlah jelas.
Mungkin tipe makhluk ini berevolusi di beberapa tempat menyebar
sepanjang daratan subur dan yang mudah dilalui, terbentang dari Afrika
Timur, mengitari Samudra Indonesia sampai ke Jawa.
Tahap kesebelas, munculnya makhluk yang dinamakan Homo sapiens
purba, yakni makhluk yang hidup sekitar 400.000 tahun yang lalu.
Makhluk ini sebagai hasil penemuan fosil dari tiga tengkorak yang tidak
lengkap, yakni kepingan tengkorak, tulang, dan beberapa gigi. Dari fosil
yang ada ditafsirkan bahwa manusia purba ini merupakan tipe peralihan
antara Homo erectus ke Homo sapiens yang lebih modern. Kemampuan
membuat alat sudah jauh lebih maju, bahkan ada yang menduga bahwa
mereka sudah mulai bercocok tanam (Anonimb, 2006).
Tahap keduabelas, adalah munculnya Homo sapiens neanderthalesis
(Manusia Lembah Neander (Neanderthal)) , yakni makhluk yang diduga
hidup pada masa antara 75.000 – 10.000 tahun yang lalu. Fosil makhluk
ini ditemukan tahun 1856 di Lembah Neanderthal, Jerman. Bentuk
tubuhnya sepenuhnya manusia, hidungnya terlihat mancung. Ukuran
volume otaknya relative sudah termasuk dalam kisaran ukuran rongga
antara 1.,6 – 1,8 meter, berbahu lebar, berdada cembung, dan berotot
padat. Manusia Lembah Neander sudah memiliki kemampuan membuat
dam memakai pakaian dari kulit dan hidup menetap secara sederhana di
gua-gua. Para ahli pada umumnya sependapat bahwa manusia Lembah
Neander adalah leluhur manusia modern, walaupun sekelompok ahli masih
meragukan (Anonimb, 2006).

Tahap ketiga belas, yakni munculnya manusia Cro-Magnon. Makhluk


ini merupakan Hominidae (manusia) purba termodern. Diduga hidup
10.000 – ribuan tahun yang lalu. Mereka memiliki kebudayaan yang cukup
maju, bercocok tanam secara baik, memelihara binatang, menguasai
lingkungan, bahkan kemudian membangun kota serta mengembangkan
peradapan. Ciri – cirinya adalah memiliki dagu yang menonjol, hidung
mancung, gigi kecil dan merata, serta raut wajah yang tampan.
Sesungguhnya makhluk ini mirip dengan orang – orang Eropa sekarang.
Tahap keempat belas, yakni munculnya Homo sapiens-sapiens (manusia
modern). Tidak pasti benar kapan munculnya manusia modern, namun
para peneliti ada yang beranggapan bahwa manusia modern muncul sejak
sekitar 2.000 tahun Sebelum Masehi.

Perkembangan evolusi sejalan dengan masa pengembaraan mereka dari abad ke


abad. Makhluk ini juga di temukan diberbagai tempat, antara lain:

i. Pithecanthropus erectus (manusia jawa), ditemukan oleh Eugene Dubois


tahun 1891. Dubois adalah seorang dokter Belanda menemukan fosil
manusia Jawa di daerah Trinil (sepanjang tepi bengawan solo). Fosil yang
ditemukan berupa rahang beberapa gigi, dan sebagian dari tulang
tengkorak.
ii. Pithecanthropus pekinensis (Sinathropus pekinensis) (manusia Cina). Fosil
makhluk ini ditemukan oleh Davidson Black dan Tranz Weidenreich
pada tahun 1920 dari suatu penggalian di dalam sebuah gua kapur di dekat
Peking. Volume otaknya 900 – 1.200 cc. kebudayaannya sudah lebih maju
daripada Pithecanthropus. Mereka telah menggunakan senjata dan
perkakas yang terbuat dari tulang dan batu sebagai alat – alat kerja.
Penggunaan api nampaknya sudah biasa. Para ahli berpendapat bahwa
mahkluk ini suka membunuh sesamanya. Hal ini terbukti dari tulang –
tulang tengkorak kosong yang menunjukkkan bekas dibelah dengan
senjata dari bawah ke atas. Banyak ahli juga berpendapat bahwa
Sinanthropus pekinensis merupakan varian dari Pithecantropus, karena
kedua manusia purba mempunyai struktur tubuh yang sama dan hidup
pada zaman yang sama, yakni kira – kira 500.000 tahun yang lalu.
iii. Meganthropus Palaeojavanicus (Manusia Raksasa Jawa). Meganthropus
palaeojavanicus ditemukan di Sangiran di pulau jawa oleh Von
Koningswald pada tahun 1939 – 1941.
iv. Manusia Heidelberg. Manusia heidelberg ditemukan di Jerman
CATATAN

1. Cara Menentukan Usia Fosil

Perhitungan Umur Fosil


Umur fosil merupakan salah satu bagian penting dalam arkeologi antara lain
untuk mengetahui sejarah batuan sedimen bumi, menentukan kaitan antar jenis batuan
pada satu tempat/lapisan dengan tempat/lapisan lain, dan mengajukan atau
membuktikan sebuah teori. Oleh karena itu penentuan umur fosil secara akurat sangat
diperlukan. Salah satu cara untuk menentukan umur fosil adalah dengan mendeteksi
keberadaan unsur radioaktif. Salah satu contoh adalah keberadaan radioaktif karbon–
14 (C14), yang sering disebut carbon dating (Yuliati et al, 2005).
Ketika organisme mati, maka konsumsi karbon berhenti. Karbon memiliki
dua isotop yaitu karbon–12 (C12) yang bersifat stabil dan karbon–14 (C14). . Untuk
menyingkat penulisan karbon-12 dan karbon-14 berturut-turut ditulis dengan C12 dan
C14 (Suyarso, 2010) (Yusuf et al, 2015).
merupakan radioisotop yang bersifat tak stabil dan meluruh dalam fungsi
waktu. Perbandingan C14 dengan C12 pada saat organisme mati sama dan tetap untuk
setiap organisme. Tetapi karena C14 meluruh, perbandingannya akan berkurang
seiring dengan pertambahan waktu . Kuantitas C14 pada suatu fosil dapat dihitung
berdasarkan pengukuran laju peluruhannya yang dapat dihitung dengan alat pencacah.
Berdasarkan hasil pengukuran maka akan diperoleh rasio C12 dan C14 dan
selanjutnya membandingkannya dengan rasio dalam organisme sesaat setelah mati
maka umur fosil dapat ditentukan (Suci et al, 2013).
Umur fosil dapat diperoleh dari grafik yang menghubungkan persentase
kuantitas C14 dengan waktu paro. Persamaan yang mengatur hubungan kedua
variabel ini dapat diperoleh dengan perhitungan analitik atau numerik dengan pola
interpolasi.
Metode numerik jauh lebih mudah dan sederhana dibandingkan dengan
penyelesaian analitik dengan akurasi yang cukup tinggi. Banyak interpolasi yang
dapat diterapkan antara lain interpolasi linier, kuadratik, polinom, dan Lagrange.
Interpolasi linier menggunakan dua titik untuk menentukan persamaan garis lurus
sedangkan interpolasi kuadratik menggunakan tiga titik untuk persamaan kuadrat.
Interpolasi polinom menggunakan polinom sedangkan interpolasi Lagrange
menggunakan pendekatan deret untuk penentuan persamaan garis. Para ahli arkeologi
ingin mengetahui dan menggambarkan peradaban dan kurun waktu zaman purba,
untuk membandingkan dengan peradaban saat ini, serta mempelajari proses evolusi
yang terjadi di bumi ini.
Unsur C12 yang stabil dan C14 yang bersifat radioaktif dalam perbandingan
yang selalu konstan sebesar 1,3.10-12 , setara dengan 7,826.1011 atom/mol akan
terbentuk pada tulang organisme yang masih hidup (Cromer et al, 1974). Sedangkan
ketika organisme mati proses pembentukan kedua unsur karbon tersebut terhenti.
Jumlah C12 tetap, sedangkan jumlah C14 berkurang karena mengalami peluruhan,
yang sering disebut dengan carbon dating.
Avogadro telah menemukan bahwa dalam 1 mol zat mengandung 6,03.1023
atom. Berdasarkan perhitungan penelitian sifat radioaktivitas diperoleh waktu-paro
C14 (Tparo) sebesar 5730 tahun.
Laju peluruhan R ditulis dengan 𝒅𝑵 𝒅𝒕 .sebanding dengan banyaknya
partikel/inti. Jika N(t) adalah jumlah atom pada saat t, maka laju peluruhan zat
radioaktif dapat ditulis
𝑹 = 𝒅𝑵 𝒅𝒕 = − 𝑵 , (1)
dimana 𝛕 konstanta peluruhan.
Integrasi dengan variabel terpisah diperoleh persamaan analitis
N(t)= N(0)𝑒 −𝑡/𝜏 , (2)
dengan N(0) adalah jumlah inti pada saat t = 0. Persamaan ini dapat
dikembangkan dengan mengambil kondisi paro, yaitu saat inti meluruh hingga sisa
separo, dimana t dinamakan waktu paro (𝑇𝑝𝑎𝑟𝑜). Dengan menggunakan persamaan
(2) diperoleh hubungan 𝑇𝑝𝑎𝑟𝑜 = τ. ln2 , atau =Tparo /ln2. Sehingga persamaan (1)
dapat ditulis menjadi
𝒅𝑵 𝒅𝒕 = 𝑵𝒍𝒏𝟐 𝑻𝒑𝒂𝒓𝒐 (3)
Atau R = 0,693 N/Tparo peluruhan/s. (4)
Sehingga laju peluruhan C14 maksimum, yaitu sesaat setelah organisme mati
menjadi Rmak=0,693*7,826*1011/(5.730*365*24*60) =180,079/mol.menit. Laju
peluruhan ini dapat ditentukan dengan pemindai cacah seperti Geiger Counter atau
sejenisnya.
Laju peluruhan C14 berkurang seiring pertambahan waktu sebanding dengan
waktu paronya. Setelah 5.730 tahun jumlah atom C14 akan bersisa separonya atau
3,913. 1011 atom/mol dan setelah 11.460 tahun akan bersisa 1,9565.1011 atom/mol.
Begitu seterusnya setiap pertambahan waktu kelipatan 5.730 tahun, sisa C14 menjadi
satu per dua dipangkatkan banyaknya kelipatan 5.730 dikalikan jumlah atom awal.
Dalam pernyataan matematis dapat ditulis jika waktu bertambah sebanyak 5.730 x n
tahun maka sisa atom C14 menjadi 1/2n x 7,826.1011 atom/mol.
Data dari pemindai cacah (R) dipakai untuk menghitung banyaknya atom
C14 yang tersisa. Dari persamaan (1) diperoleh
N(C14) tersisa = R .Tparo /0,693. (5)
Normalnya 1 mol zat mengandung 6,03. 1023 atom.
Rasio C14/C12 tersisa = R .Tparo /0,693/ 6,03.1023 (6)
Sehingga rasio C14 tulang mati dengan C14 tulang hidup:
Rasio C14 sisa/C14 awal = R .Tparo /0,693/ 6,03.1023 / 1,3.10-12 (7)
Interpolasi dalam metode numerik dipergunakan untuk menentukan nilai
antara dari sejumlah titik acuan. Salah satu metode interpolasi yang mudah dan
sederhana adalah Interpolasi Lagrange, yang mereduksi deferensiasi terbagi dari
Newton (Sauer et al, 1995).
Rasio C14 sisa/C14 awal umumnya tidak merupakan kelipatan waktu paro,
sehingga diperlukan metode interpolasi untuk menentukan nilai rasio tersebut. Metode
interpolasi yang digunakan adalah interpolasi Lagrange dengan rumus

Dan seterusnya, sampai orde ke-n. Proses peluruhan dapat disimulasikan


dengan gambar grafik fn(x) versus x. Dimana fn(x) menyatakan Rasio C14 sisa/C14
awal, x menyatakan umur fosil yang akan dicari dan x0, x1, x2,… merupakan titik-
titik acuan perhitungan pada koordinat waktu paro.
Kepresisian dan keakurasian pemilihan titik-titik acuan inilah yang
merupakan kunci dari ketelitian perhitungan. Semakin presisi titik-titik acuan
mempunyai nilai yang sangat berdekatan (closed) akan semakin teliti perhitungannya.
Penelitian ini menggunakan interpolasi Lagrange karena lebih tepat untuk
menentukan persamaan radioaktivitas karbo C14 yang berbentuk eksponensial.
Interpolasi Lagrange juga memiliki tingkat akurasi yang tinggi karena menggunakan
deret untuk mencari titik-titik antara n buah titik

2. Cara membuat rekontruksi

Rekonstruksi yang dimaksud adalah pembuatan gambar atau model


makhluk hidup berdasarkan sepotong tulang atau kadangkala hanya berupa
fragmen yang berhasil digali. Fosil-fosil biasanya tidak tersusun dan tidak
lengkap. Karenanya, rekaan apa pun yang didasarkan padanya cenderung sangat
spekulatif. Kenyataannya, rekonstruksi (gambar atau model) yang dibuat
evolusionis berdasarkan peninggalan-peninggalan fosil itu telah dipersiapkan
secara spekulatif namun cermat untuk mendukung pernyataan evolusi.
Rekonstruksi berdasarkan sisa-sisa tulang hanya dapat mengungkapkan
karakteristik sangat umum dari obyek tersebut, karena penjelasan terperinci
sesungguhnya terletak pada jaringan lunak yang cepat sekali hancur. Jadi cara
membuat rekonstruksi dari fosil adalah berdasarkan perkiraan dari pembuatnya
yang disesuaikan dengan teori evolusinya, sejarah dan kondisi tempat
ditemukannya fosil tersebut pada masa lampau (Anonim, 2010).
KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari uraian diatas yaitu:


1. Bukti-bukti adanya proses evolusi dapat diamati melalui pengamatan
hubungan homologi organ, perbandingan embriologi, adanya organ
vestigial dan rudimentasi serta diperkuat dengan penemuan fosil
diberbagai lapisan bumi.

2. Fosil yang dapat digunakan sebagai bukti adanya evolusi dapat berupa
fosil yang telah membatu maupun fosil hidup yang berupa makhluk hidup
yang masih ada hingga sekarang ini.

3. Tidak semua makhluk dapat menjadi fosil karena proses fosilisasi


dipengaruhi oleh beberapa faktor, meliputi organisme mempunyai bagian
tubuh yang keras, mengalami pengawetan, terbebas dari bakteri pembusuk,
terjadi secara alamiah, mengandung kadar oksigen dalam jumlah yang
sedikit, dan umurnya lebih dari 10.000 tahun yang lalu.

4. Evolusi makhluk pra–Homo sapiens dapat digolongkan menjadi dua


bagian besar, yakni Evolusi pra-Homo sapiens berdasarkan hubungan
kekerabatan manusia dengan hewan dan evolusi pra-Homo sapiens
berdasarkan ditemukannya fosil.

5. Cara penentuan usia fosil dapat diketahui dengan menggunakan metode

peluruhan radioaktif, misalnya menggunakan atom karbon-14 (C14 ) yang


mempunyai waktu paruh 5.730 tahun.
DAFTAR RUJUKAN

Anonim a. 2006. Sejarah Manusia-Primata. (Online),


(http://www.talkorigins.org/faqs/faq-transitional/part2a.html#primate diakses
tanggal 11 februari 2019)
Anonymous b. 2006. Sejarah Penemuan Fosil Manusia Purba, Manusia Kera dan
Manusia Modern- Teori Perkembangan Evolusi Antar Waktu Arkeologi Biologi.
(Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Timur_Tengah_Kuno diakses tanggal 11
februari 2019)
Anonim. 2009. Bukti-bukti Evolusi .(Online), (http://www.crayonpedia.org_Bukti
_Evolusi), diakses tanggal 11 februari 2019)
Enterprises, Jelsoft. 2010. Fosil hutan tersembunyi di tambang batu bara. (Online),
(http://www.indoforum.org/showthread.php, diakses tanggal 15 September 2010)
Frida, Maryati. 2006. Bahan Ajar Evolusi. Gorontalo: Univ. Gorontalo
Gonzaga. 2009. Bukti Evolusi. (Online), (http://biologigonz.blogspot.com/2009/12
/bukti-evolusi.html, diakses tanggal 11 februari 2019).
Schmid, Randolph E. 2006. Burung Finch di Galapagos Ber-evolusi. (Online),
(http://greenpena.blogspot.com/2006/07/burung-finch-di-galapagos-ber-
evolusi.html, diakses tanggal 11 februari 2019.
Tim Smunsa. 2001. Melacak Jejak Evolusi Bunga, (Online) (http://members.
hostedscripts.com, diakses tanggal 11 februari 2019.
Widodo, Lestari, U., Amin, M. 2003. Bahan Ajar Evolusi. Malang: Dirjen Dikti
Fried, George. 2006. Biologi Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.
Reece, Campbell. 2012. Biologi Edisi Kedelapan Jilid 2. Jakarta: Erlangga

Вам также может понравиться