Вы находитесь на странице: 1из 10

MAKALAH

PEMENUHAN HAK ATAS BANTUAN


HUKUM BAGI MASYARAKAT MISKIN
DAN MARGINAL (KONFERENSI
NEGARA HUKUM, 9-10 OKTOBER 2012)
17/10/2012 ARIF MAULANA 391 COMMENTS

PEMENUHAN HAK ATAS BANTUAN HUKUM


UNTUK MEMASTIKAN PERADILAN BERPIHAK PADA KEADILAN
BAGI MASYARAKAT MISKIN DAN MARGINAL[1]
Oleh : Arif Maulana[2]

Konstitusi menjamin bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh
negara. Jaminan tersebut tidak hanya terbatas pada tanggung jawab ekonomi, namun juga
jaminan sosial dan pemenuhan hak atas bantuan hukum[3] fakir miskin dan anak-anak
terlantar sebagai warga negara Indonesia. Meskipun tidak secara tegas, jaminan hak atas
bantuan hukum bagi fakir miskin maupun masyarakat marginal tersirat dalam konstitusi.
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan tanpa membedakan status
sosial, budaya, ekonomi, maupun agama.[4]
Realisasinya kemudian, hak atas bantuan hukum bagi masyarakat miskin yang berhadapan
dengan hukum diatur untuk memastikan pemenuhan jaminan perlindungan kepastian hukum
yang adil (fair trial) dan persamaan dimuka hukum (equality before the law). Prinsip tersebut
terdapat dalam International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah
diakomodir dalam konstitusi dan telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005[5]. Prinsip
didalam ICCPR tersebut dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu Prinsip Dasar Fair
Trial[6], Jaminan Prosedur Minimum[7], dan Ketentuan Lain.[8] Prinsip-prinsip didalam
ICCPR tersebut kemudian diadopsi dalam beberapa ketentuan hukum seperti UU No. 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 9
Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan UU No. 23
Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. UU No. 13 Tahun 2006 Perlindungan Saksi dan
Korban, UU No.48 Tahun 2009 tentan Kekuasaan Kehakiman.
Jaminan hak atas bantuan hukum diperkuat melalui UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat
sebagai regulasi pelaksana pemberian bantuan hukum yang menempatkan advokat sebagai
subyek utama pemberi bantuan hukum. Selanjutnya diatur pula ketentuan mengenai
pemberian bantuan hukum di Pengadilan yang diatur dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Setelah delapan tahun berlakunya UU Advokat, saat ini telah
diterbitkan UU No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum sebagai jaminan baru yang
khusus mengatur pemenuhan hak atas bantuan hukum.

Dalam UU Advokat, seorang advokat diwajibkan untuk memberikan bantuan hukum cuma-
cuma sebagai bagian dari tanggung jawab profesi. Sementara dalam UU Kekuasaan
Kehakiman ditegaskan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh
bantuan hukum dan negaralah yang harus menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan
yang tidak mampu. Untuk mengaplikasikannya pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos
bantuan hukum sebagai tempat rujukan bagi pencari keadilan yang tidak mampu dalam
memperoleh bantuan hukum.[9] Pelayanan Bantuan Hukum melalui Pos bantuan hukum ini
pun dilaksanakan oleh Advokat..
Merujuk pada ketentuan diatas nampaknya jaminan pemenuhan hak atas bantuan hukum
kepada masyarakat sudah cukup dijamin oleh undang-undang. Lantas mengapa UU Bantuan
Hukum di terbitkan, bukankah akan tumpang tindih. Apakah UU Advokat dan UU
Kekuasaan Kehakiman yang menjamin pelaksanaan Hak atas bantuan Hukum tidak memadai
untuk memberikan akses keadilan[10] kepada masyarakat dan memastikan jaminan
persamaan dimuka hukum bagi masyarakat miskin dan marginal? Apakah UU Bantuan
Hukum yang baru mampu untuk lebih mendekatkan akses hukum yang adil dan memastikan
jaminan persamaan dimuka hukum bagi masyarakat miskin dan marginal di Indonesia ?.
1. A. NEGARA DAN BANTUAN HUKUM
1. Memadukan Konsep Probono Publico Dan Legal Aid
Tidak bisa dielakkan bahwa aktor utama pemberian layanan hukum adalah advokat. Sejarah
mencatat advokatlah yang menjadi pioneer untuk memberikan bantuan hukum kepada
masyarakat miskin. pemberian bantuan hukum kepada masyarakt miskin tersebut dikenal
dengan konsep probono publico. Dalam perkembangannya, probono dikenal menjadi salah
satu bentuk strategi gerakan pemberian bantuan hukum untuk membela kepentingan umum,
selain legal aid. Adapun pengertian legal aid adalah “a very range of legal work that
performed voluntarily and free of charge tounderrepresented and vulnerable segments of
society”[11]
Bantuan hukum dalam konsep probono meliputi empat elemen, yaitu : 1) Meliputi seluruh
kerja-kerja di wilayah hukum; 2) Sukarela ; 3) Cuma-Cuma; dan 4) Untuk Masyarakat yang
kurang terwakili dan rentan. Kewajiban ini sebagai sebuah tanggung jawab moral advokat
sebagai profesi terhormat (officium nobbile).
Kewajiban bantuan hukum Cuma-Cuma (probono publico) ini diatur dalam UU No.18 Tahun
2003 tentang Advokat, PP 83 tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian
Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma dan Peraturan Peradi No 1 tahun 2010 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma Cuma serta kode etik advokat. Untuk
melaksanakannya dibentuk unit kerja bernama PBH Peradi. Ketentuan tersebut menjadi
sistem pemberian bantuan hukum yang dibangun oleh organisasi advokat sebagai bagian dari
gerakan probono.
Sedangkan konsep legal aid merujuk pada pengertian pelayanan hukum (legal assistence)
yang dibiayai atau disubsidi oleh negara. Konsep inilah yang digunakan dalam UU Bantuan
Hukum. Ide bantuan hukum yang dibiayai Negara. (publicly funded legal aid) pertama kali
ditemukan di Inggris dan Amerika Serikat. Setelah perang dunia ke dua berakhir, pemerintah
Inggris membentuk the Rushcliff Committee dengan tujuan untuk meneliti kebutuhan bantuan
hukum di Inggris dan Wales. Berdasarkan laporan dari the Rushcliff
Committee merekomendasikan bahwa bantuan hukum harus dibiayai oleh negara. Sedangkan,
di Amerika Serikat awalnya bantuan hukum merupakan bagian dari program anti kemiskinan
pada tahun 1964. Pemerintah membentuk lembaga The Office Economic Opportunity
(OEO) yang diantaranya membiayai bantuan hukum melalui sistem Judicare, yaitu Advokat
atau Bar Associationmenyediakan layanan bantuan hukum untuk masyarakat miskin,
kemudian jasa bantuan hukum tersebut dibiayai oleh negara.
Konsep ini lahir sebagai sebuah konsekuensi dari perkembangan konsep Negara
kesejahteraan (welfare state) dimana pemerintah mempunyai kewajiban untuk memberikan
kesejahteraan kepada rakyatnya. Bantuan hukum dimasukkan sebagai salah satu program
peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama dibidang sosial politik dan hukum. Dengan
demikian, UU Bantuan Hukum dirancang sebagai upaya pemenuhan tanggungjawab Negara
dalam memberikan bantuan hukum kepada warganya. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan
UU Bantuan Hukum, yang menyatakan sebagai berikut :
“….Penyelenggaraan pemberian bantuan hukum kepada warga negara merupakan upaya
untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan
melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan
(access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Jaminan atas
hak konstitusional tersebut belum mendapatkan perhatian secara memadai, sehingga
dibentuknya Undang-Undang tentang Bantuan Hukum ini menjadi dasar bagi negara untuk
menjamin warga negara khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin untuk
mendapatkan akses keadilan dan kesamaan di hadapan hukum”[12]

Oleh karena itu, baik konsep Probono maupun Legal Aid prinsipnya merupakan strategi
untuk memberikan pelayanan hukum (legal services) bagi masyarakat miskin dan marginal.
Konsep Legal Aid yang menjadi semangat UU Bantuan Hukum bukan untuk menggantikan
konsep Probono yang dipelopori oleh advokat, tetapi ikut mendukung keterlibatan para
advokat sebagai salah satu pemberi layanan hukum cuma-cuma dengan memadukannya
bersama konsep bantuan hukum yang disubsidi negara.

2. Jaminan Pemenuhan Hak Atas Bantuan Hukum Kurang Memadai


Sebelum disahkannya Undang-undang Bantuan Hukum, sudah ada terminologi Bantuan
hukum berdasarkan Undang-undang Advokat[13]. Undang-undang Advokat mendefinisikan
Bantuan Hukum sebagai jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada
Klien yang tidak mampu.[14] Pemberian bantuan hukum tersebut merupakan kewajiban bagi
advokat, yaitu berdasarkan Pasal 22 ayat 1: “Advokat wajib memberikan bantuan hukum
secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu”[15]. Namun kewajiban
memberikan bantuan hukum oleh Advokat di dalam Undang-undang Advokat tidak
dijelaskan lebih lanjut ruang lingkupnya dan proporsinya.
UU Advokat dan PP No.83 Tahun 2008 tidak memuat ketentuan sanksi yang tujuannya untuk
menjamin advokat melaksanakan kewajiban pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma
kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Pemberian bantuan hukum cuma-cuma dari
advokat dalam undang-undang adalah penegasan saja dari bentuk tanggung jawab etik profesi
advokat. Kalau pun advokat tidak melaksanakan kewajibannya memberikan bantuan hukum
cuma-cuma, advokat tersebut hanya dapat diberikan sanksi administratif sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 14 Ayat (2) PP No.83 Tahun 2008, yaitu: (1) teguran lisan; (2) teguran
tertulis; (3) pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai dengan 12 (dua
belas) bulan berturut-turut; atau (4). pemberhentian tetap dari profesinya. Selain sanksi
administratif tersebut, sanksi lain hanya bisa dilakukan organisasi advokat berdasarkan Kode
Etik Advokat.
Kode etik advokat menegaskan bahwa kepribadian advokat antara lain: “Advokat dapat
menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan
jasa dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan oleh karena tidak sesuai dengan
keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya, tetapi tidak dapat menolak dengan
alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan
politik dan kedudukan sosialnya.”[16]Sementara itu, dalam Peraturan Internal Perhimpunan
Advokat Indonesia (PERADI) No. 1 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian
Bantuan Hukum Secara cuma-cuma diatur bahwa pengacara wajib memberikan bantuan
hukum cuma-cuma, hanya saja dalam aturan berikutnya mereka hanya dianjurkan untuk
memberikan bantuan hukum 50 jam dalam kurun waktu satu tahun, jika tidak dilaksanakan
tidak terdapat sanksi memaksa dari organisasi advokat.[17] Akibatnya, realisasi praktek pro
bonoadvokat tidak berjalan.
Terkait hal ini, menarik menyimak komentar Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin
yang mempertanyakan kurangnya kadar dedikasi para pengacara sukses di Indonesia untuk
memberikan bantuan hukum probono. Seolah-olah muncul pemikiran bahwa perkara probono
lebih pantas ditangani LBH di bawah naungan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI). Padahal memberikan bantuan hukum kepada pencari keadilan miskin adalah
kewajiban setiap advokat sebagaimana diatur dalam UU Advocat, Kode Etik maupun aturan
Internal organisasi advokat.[18]
Sementara itu, jika merujuk pada jaminan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat
dalam UU Kekuasaan Kehakiman memiliki keterbatasan. UU kekuasaan kehakiman hanya
menjamin hak atas bantuan hukum bagi masyarakat yang tidak mampu membayar jasa
advokat karena persoalan kemiskinan, namun tidak menjamin hak atas bantuan hukum bagi
masyarakat yang termarginalkan.[19] Selain itu, pemenuhan hak atas bantuan hukum melalui
Pos Bantuan Hukum di Pengadilan sebatas proses hukum di Pengadilan sementara hak atas
bantuan hukum sendiri ada dan dijamin undang-undang sejak proses penyelidikan di
kepolisian.
Persoalannya kemudian adalah tidak adanya jaminan kualitas bantuan hukum yang diberikan,
mengingat bantuan hukum diberikan baru saat di pengadilan, padahal penanganan sebuah
kasus hukum membutuhkan keterlibatan seorang advokat sejak awal untuk mempersiapkan
penanganan perkara dan pembelaan dengan baik. Konsep pemberian bantuan hukum seperti
ini seolah menunjukkan bahwa hukum selalu netral dan berfungsi secara ideal. Padahal
faktanya tidak demikian. Belum lagi mengenai keterbatasan anggaran pengadilan untuk
menyediakan dana bantuan hukum juga ketersediaan pos bantuan hukum yang ada di
pengadilan, belum disemua pengadilan ada pos bantuan hukum. Ini mengakibatkan akses
bantuan hukum tidak memiliki jaminan kepastian dan keberlanjutan.

3. Menjawab Kebutuhan Bantuan Hukum


Fakta di masyarakat menunjukkan adanya jurang kesenjangan yang dalam antara jumlah
masyarakat miskin yang membutuhkan bantuan hukum dengan pemenuhannya. Hal ini
mengakibatkan akses keadilan bagi masyarakat miskin dan marginal menjadi semakin
menjauh. Hal ini disebabkan oleh: (i) Ketidakseimbangan antara jumlah advokat dengan
masyarakat pencari Keadilan. Masih kurangnya jumlah Advokat[20] Indonesia dibandingkan
jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis
Kemiskinan) di Indonesia menjadi ukuran perbandingan. Pada September 2011 saja jumlah
penduduk miskin mencapai 29,89 juta orang[21] dari Jumlah penduduk Indonesiaadalah
237.641.326 jiwa[22]. Sementara jumlah advokat hanya berkisar belasan ribu. Data kasus
dari daerah khusus Ibukota DKI Jakarta bisa menjadi gambaran. Pada tahun 2011 jumlah
Kasus masyarakat yang mengadu di LBH Jakarta sekitar 959 kasus dengan jumlah orang
terbantu sekitar 9.895, yang ditangani oleh sekitar 14 orang. (ii). Penyebaran Advokat yang
tidak merata. Konsentrasi ekonomi dan pembangunan di kota-kota besar berdampak pula
terhadap persebaran advokat. Sebagian besar advokat berada di kota besar sehingga akses
masyarakat didaerah terhadap advokat menjadi terbatas. Dua kondisi diatas diperparah
dengan trend komersialisasi Profesi Advokat. Walaupun dijuluki Officium Nobile,
komersialisasi profesi advokat sejak proses pendidikannya, berimbas pada pilihan kasus-
kasus yang akan ditangani. Tentu saja kemudian, kasus masyarakat miskin tidak menjadi
prioritas. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya jumlah advokat yang menjalankan kewajiban
etiknya menangani kasus pro bono. [23] Data diatas baru jumlah masyarakat miskin yang
belum termasuk didalamnya masyarakat marginal yang juga membutuhkan bantuan hukum.
Selain problematika jaminan pelaksanaan oleh advokat, pengaturan jaminan hak atas bantuan
hukum pun masih menjadi masalah krusial. Sebagai contoh dalam beberapa pasal penting
terkait hak atas bantuan Hukum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) [24], diantaranya :
Pasal 54
Guna Kepentingan Pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum
dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat
pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.

Pasal 56 ayat (1)


Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindakan pidana yang
diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi
mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak
mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka.
(2) Setiap penasehat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud ayat (1),
memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.

Pasal 114 KUHAP


Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya
pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya
untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya wajib didampingi oleh
penasehat hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 56.

Meskipun telah jelas diatur hak atas bantuan hukum terhadap tersangka diatas, pasal-pasal
diatas belum cukup memberikan jaminan pemenuhan hak atas bantuan hukum bagi
masyarakat mengingat masih terdapat beberapa Kelemahan jaminan hak atas bantuan hukum
itu sendiri dalam KUHAP baik dari sisi aturan maupun prakteknya. Dari sisi aturan
diantaranya adalah : (i) Yang berhak atas bantuan hukum hanya seseorang yang sudah
ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa. Saksi yang sewaktu-waktu bisa ditetapkan
sebagai tersangka maupun saksi korban seolah tidak berhak atas bantuan hukum.[25] (ii)
Hanya tersangka atau terdakwa yang disangka atau didakwa melakukan tindakan pidana yang
diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi
mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak
mempunyai penasehat hukum sendiri yang berhak atas bantuan hukum. Bagaimana dengan
tersangka yang ancaman hukumannya dibawah lima tahun. Apakah mereka tidak berhak atas
bantuan hukum.
Dalam praktek pasal-pasal yang mengatur jaminan hak atas bantuan hukum terhadap
tersangka atau terdakwa tidak berjalan dan dipenuhi. (i) Kerap kali petugas kepolisian
mempersulit ketika advokat hendak menemui tersangka. Ketentuan mengenai dapat menemui
tersangka setiap waktu nyaris tidak ditemui implementasinya dilapangan. (ii) Aparat
menghalangi tersangka atau terdakwa untuk diberitahu haknya dan menggunakan haknya
didampingi penasehat hukum dengan membuat surat keterangan bahwa tersangka akan
menghadapi proses hukumnya sendiri dan menakut-nakuti tersangka dengan ancaman
hukuman yang berat jika menggunakan jasa pengacara. (iii) Prakteknya Hak tersangka untuk
dihubungi dan berbicara dengan pengacaranya pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap
waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya terhambat oleh tindakan aparat yang
melarang dengan berbagai alasan. (iv). Pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka.
Kewajiban pejabat yang berwenang ini seringkali dilanggar mengingat tidak adanya sanksi
jika kewajiban dalam KUHAP tersebut dilanggar.

4. Pemenuhan Hak Atas Bantuan Hukum Tanggung Jawab Negara


Undang-undang Bantuan hukum muncul sebagai konsekuensi negara hukum yang dianut
Indonesia. Bantuan hukum adalah tanggung jawab yang harus dipenuhi dalam sebuah negara
yang menghendaki persamaan dimuka hukum dan pemerintahan bagi warganya. Terlebih di
Negara Indonesia yang warga negaranya memiliki tingkat pendidikan, sosial dan ekonomi
yang tidak merata yang berimbas pada kemampuan mereka mengakses keadilan.

Hak Atas bantuan hukum adalah hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi.
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya ketika memutuskan Judicial Review UU
Advokat menyebutkan bahwa UUD 1945, Pasal 1 ayat (3), secara tegas menyatakan
Indonesia adalah negara hukum yang dengan demikian berarti bahwa hak untuk mendapatkan
bantuan hukum, sebagai bagian dari hak asasi manusia, harus dianggap sebagai hak
konstitusional warga negara, kendatipun undang-undang dasar tidak secara eksplisit mengatur
atau menyatakannya, dan oleh karena itu negara wajib menjamin pemenuhannya[26].
Hanya saja, selama ini tanggung jawab negara untuk memenuhi hak atas bantuan hukum
kepada masyarakat miskin dan marginal dilakukan oleh masyarakat sipil yang berprofesi
sebagai advokat publik yang tergabung dalam organisasi Bantuan Hukum maupun oleh para
advokat yang menjalankan fungsi probono publico. Mengingat, selama ini negara memilih
absen untuk menjalankan kewajiban hukumnya sebagai pemegang tanggungjawab
pemenuhan HAM untuk memenuhi hak Bantuan Hukum bagi warga negaranya.
Dalam negara hukum, bantuan hukum menjadi pijakan awal untuk memperkuat masyarakat
miskin dan marginal agar dapat berdaya mengakses hak-hak dasar lainnya. Terkait proses
hukum di peradilan, jaminan hak atas bantuan hukum adalah sarana untuk terwujudnya
masyarakat yang mampu memperoleh peradilan yang adil dan mengakses
keadilan.[27] Meskipun memang, bantuan hukum bukanlah menjadi satu sarana tunggal.
Masih terdapat subsistem hukum lain yang mempengaruhi dan menentukan yakni struktur
hukum seperti lembaga-lembaga pemerintah dan aparat birokrasi penegak hukum[28] serta
budaya hukum masyarakat yang menjadi sarana lain yang harus dipenuhi juga untuk
mewujudkan keadilan. Tentunya struktur[29], dan budaya hukum yang mendorong
pemenuhan hak atas keadilan bagi masyarakat bukan struktur dan budaya hukum yang akrab
dengan korupsi, kolusi, nepostisme yang justru menjauhkan masyarakat dari akses menggapai
keadilan. Oleh karenanya, bersamaan dengan akses pemenuhan bantuan hukum selain
substansi hukum jaminan hak atas bantuan hukum, struktur hukum dan budaya hukum harus
didorong untuk dapat menjamin pemenuhan hak atas keadilan bagi masyarakat.
Meskipun demikian, disamping persoalan diatas, budaya hukum terutama kesadaran
masyarakat akan hak-hak yang dimilikinya juga masih rendah. Disinilah letak bantuan hukum
memagang peranan penting untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan hak-haknya
sebagai awal adanya upaya hukum.[30]
Berdasarkan situasi diatas, dapat ditarik benang merah bahwa pada dasarnya UU Bantuan
Hukum di terbitkan, untuk lebih menjamin pelaksanaan Hak atas bantuan Hukum melalui UU
advokat dan UU Kekuasaan Kehakiman yang selama ini kurang memadai guna memastikan
pemenuhan akses keadilan kepada masyarakat dan jaminan persamaan dimuka hukum bagi
masyarakat miskin dan marginal . Pengaturan tersebut untuk melengkapi bukan menghapus
konsep Probono Publico yang telah diterapkan dengan konsep Legal Aid. Pengaturan
tanggung jawab negara dalam Bantuan Hukum ini menunjukkan bahwa pemenuhan Hak
Atas Bantuan Hukum pada dasarnya adalah hak konstitusional yang pemenuhannya adalah
tanggung Jawab Negara yang tidak lain adalah untuk menjawab realitas kebutuhan Bantuan
Hukum bagi masyarakat.

1. B. MENAKAR SUBSTANSI UU BANTUAN HUKUM


Meskipun bantuan hukum telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Pemerintah bersama Legislatif menerbitkan regulasi khusus tentang Bantuan
Hukum[31] yang berlaku sejak diundangkan tanggal 2 November 2011. Undang-Undang
tersebut disusun dengan semangat untuk menjamin hak konstitusional setiap orang untuk
mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia.
Selain itu, pemberian bantuan hukum bagi masyarakat miskin dimaksudkan sebagai
perwujudan akses terhadap keadilan yang berorientasi pada terwujudnya perubahan social
yang berkeadilan.[32] .
Untuk mengetahui apakah UU aquo lebih mendekatkan akses keadilan bagi masyarakat
miskin dan termarginalkan adalah dengan melihat apakah UU Bantuan Hukum mampu
melengkapi kekurangan dalam Pengaturan pemenuhan bantuan hukum pada masyarakat
miskin dan marginal sebelumnya dalam UU Advokat maupun UU Kekuasaan Kehakiman.
Beberapa Prinsip Persatuan Bangsa Bangsa tentang Akses Bantuan Hukum[33] dapat
digunakan sebagai indikator, diantaranya adalah : (i) prinsip hak memperoleh bantuan
hukum, (ii) prinsip bantuan Hukum adalah tanggung jawab negara (iii) jaminan persamaan
didalam memperoleh akses menuju bantuan hukum ;(iv) Apakah masyarakat miskin dan
marginal dapat memperoleh dan menjangkau akses bantuan hukum dengan cepat dan efektif;
(v). kemandirian dan perlindungan bagi penyedia bantuan hukum (vi). jaminan Kompetensi
dan Akuntabilitas penyedia bantuan hukum. Berdasarkan indikator tersebut diperoleh
gambaran sebagai berikut:

Tabel Akses Keadilan dalam UU Bantuan Hukum.


Pemenuhan Prinsip
Akses Bantuan Hukum
dalam
Indikator UU Bantuan Hukum Analisis

UU bantuan hukum
menjamin hak penerima
bantuan hukum untuk
mendapatkan akses
keadilan, pemenuhan hak
konstitusional, kepastian
dan pemerataan Prinsip hak memperoleh
peneyelenggaraan bantuan bantuan hukum sejalan
Jaminan Prinsip hak hukum untuk mewujudkan dengan Asas dan tujuan
memperoleh bantuan peradilan yang efektif Pembentukan Undang-
hukum (Pasal 2 dan 3) undang Bantuan Hukum
Negara mengakui
tanggung jawabnya dalam
pemenuhan hak atas
bantuan hukum bagi warga
negara
(konsideran)Pemerintah
Jaminan Prinsip wajib mengalokasikan dana Jaminan Prinsip Bantuan
Bantuan Hukum penyelenggaraan bantuan Hukum tanggung jawab
tanggung jawab hukum dalam APBN (Pasal negara diatur dalam
negara 17) undang-undang

Penerima Bantuan Hukum


dalam UU ini meliputi
orang atau kelompok orang Masyarakat marginal
miskin yang tidak dapat seperti kelompok-
memenuhi dan dasar secara kelompok
Jaminan persamaan layak dan mandiri (Pasal rentan[34]yang
didalam memperoleh 5)Diatur mengenai hak dan mengalami hambatan
akses menuju bantuan kewajiban penerima social, budaya belum
hukum bantuan hukum (Pasal 12) terakomodir.

Memberikan dasar hukum


bagi Daerah untuk Membuka peluang
mengalokasikan anggaran persebaran akses
untuk Bantuan Hukum bantuan hukum
Apakah masyarakat (Pasal 19)Adanya diberbagai daerah
miskin dan marginal pengakuan dan jaminan meskipun sifatnya tidak
dapat memperoleh terhadap selain Advokat wajib.[35]Menjadi solusi
dan menjangkau seperti Dosen, Mahasiswa, atas kurangnya jumlah
akses bantuan hukum dan Paralegal untuk Advokat dan kurang
dengan cepat dan memberikan bantuan meratanya advokat
efektif hukum (Pasal 9 a) diberbagai daerah.

UU Bantuan Hukum
Pemberi Bantuan Hukum memberikan jaminan
berhak mendapatkan dan perlindungan
jaminan perlindungan pemberi bantuan hukum,
hukum, keamanan, dan dengan merumuskan 6
keselamatan selama hak pemberi bantuan
menjalankan pemeberian hukum, diantara adalah:-
bantuan hukum (Pasal Melakukan Pelayanan
9g)Pemberi Bantuan Hukum-
Hukum tidak dapat dituntut Menyelenggarakan
secara perdata maupun penyuluhan hukum,
pidana dalam memberikan konsultasi hukum dan
bantuan hukum yang program kegiatan lain
menjadi tanggung yang berkaitan dengan
jawabnya yang dilakukan penyelenggaraan
dengan itikad baik didalam bantuan hukum
maupun diluar sidang – Mengeluarkan
pengadilan sesuai estándar pendapat atau
kemandirian dan bantuan hukum pernyataan dalam
perlindungan bagi berdasarkan peraturan membela perkara yang
penyedia bantuan perundang-undangan dan menjadi
hukum kode etik (Pasal 11) tanggungjawabnya
didalam persidangan

– Mendapatkan
informasi dan data lain
dari pemerintah maupun
instansi lain, untuk
kepentingan pembelaan
perkara; dan

– Mendapatkan
jaminan perlindungan
hukum, keamanan, dan
keselamatan selama
menjalankan pemberian
bantuan hukum

– Pemberi bantuan
hukum tidak dapat
dituntut secara perdata
maupun pidana dalam
memberikan bantuan
hukum yang menjadi
tanggungjawabnya yang
dilakukan dengan itikad
baik didalam maupun
diluar sidang pengadilan

Akan ditetapkan peraturan


menteri mengenai stándar
layanan bantuan hukum Nantinya dengan
(Pasal 6 ayat 3)Adanya diterapkan standar
kewenangan menteri untuk layanan bantuan hukum
mengawasi dan kualitas pelayanan
memastikan pemberi bantuan hukum
penyelenggaraan bantuan akan terjaga. Dengan
Jaminan Kompetensi hukum serta melakukan verifikasi dan acreditas
dan Akuntabilitas verifikasi dan akreditasi dapat memastikan
penyedia bantuan terhadap pemberi bantuan akuntabilitas penyedia
hukum hukum (Pasal 7) bantuan hukum.

Berdasarkan indikator diatas nampak bahwa UU Bantuan Hukum dalam beberapa hal
nampak lebih menjamin dan mendekatkan akses keadilan bagi masyarakat miskin khususnya
dalam prinsip akses bantuan hukum. Namun disamping beberapa kelebihan tersebut terdapat
beberapa kelemahan dalam UU ini yang harus menjadi perhatian. (1). Jaminan-Jaminan
diatas masih digantungkan dengan peraturan pelaksana yang saat ini sedang disusun dan tidak
ada kepastian kapan akan berlaku[36]; (2). Penerima bantuan hukum yang mendapatkan
jaminan akses untuk memperoleh keadilan hanyalah baik setiap orang atau kelompok
masyarakat miskin berdasarkan ukuran ekonomis namun tidak untuk masyarakat marginal.
(3). Ruang lingkup bantuan hukum hanya terbatas pada masalah hukum keperdataan, pidana
dan tata usaha negara baik litigasi maupun non litigasi. Bagaimana dengan masalah atau
kasus hak konstitusional warga negara yang hendak dimintakan masyarakat miskin dan
marginal judicial review ke Mahkamah Konstitusi atau sengketa informasi ke Komisi
Informasi Publik. (4). Adanya kewenangan besar yang dimiliki Menteri Hukum dan HAM
dalam penyelenggaraan bantuan hukum, diantaranya adalah kewenangan menyusun dan
menetapkan kebijakan penyelenggaraan bantuan hukum; menyusun dan menetapkan standar
bantuan hukum berdasarkan asas-asas pemberian bantuan hukum; menyusun rencana
anggaran bantuan hukum; Mengelola anggaran bantuan hukum secara efektif, efisien,
transparan dan akuntabel; dan menyusun dan menyampaikan laporan penyelenggaraan
bantuan hukum kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada setiap akhir tahun anggaran. Untuk
melaksanakan lima tugas ini, menteri diberikan wewenang untuk mengawasi dan
memastikan penyelenggaraan dan pemberian bantuan hukum serta melakukan verifikasi dan
akreditasi terhadap lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan untuk memenuhi
uji kelayakan. Untuk menentukan pemberi bantuan hukum, baik LBH atau Lembaga
Kemasyarakatan yang layak, menteri membentuk panitia[37] guna melakukan verifikasi dan
akreditasi dilakukan oleh panitia dari berbagai unsur, penetapan kebijakan tetap ada ditangan
menteri. Proses ini dikhawatirkan a). dapat berubah menjadi sarana kontrol negara terhadap
lembaga-lembaga pemberi bantuan hukum dan advokat; b). Tidak tepat sasaran, mengingat
terdapat berbagai varian Lembaga Bantuan Hukum yang didirikan masyarakat. c). Besarnya
kewenangan menteri dengan kontrol yang hanya berada ditangan DPR berpotensi menjadikan
anggaran bantuan hukum sebagai ladang baru korupsi. (5). Adanya kriminalisasi bagi
pemberi bantuan hukum yang menerima atau meminta pembayaran dari penerima bantuan
hukum dan/atau pihak lain yang terkait dengan perkara yang sedang ditangani. Pidana
seharusnya digunakan sebagai ultimum remidium, namun dalam UU ini, mekanisme pidana
justru diutamakan. Kelemahan ini yang menjadi sebab munculnya kritik[38] dan
penolakan[39] terhadap UU Bantuan Hukum.

Вам также может понравиться