Вы находитесь на странице: 1из 22

1

Leptospirosis Sebagai Infeksi Tropik


Rendy Damar Nugraha
102015175
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta
Jalan Terusan Arjuna No. 6 Kebon Jeruk Jakarta Barat
Rendydamar82@gmail.com

Abstract
Leptospirosis is an infectious disease caused by pathogenic Leptospira. Leptospirosis
transmitted to human through direct contact with body fluids of infected animals or indirectly
through contaminated puddles . The prevalence of leptospirosis in Banyumas tends to increase
for 3 years. The purpose of this study was to determine the leptospira serovar in reservoir to
prove of a current infection. Surveys was conducted using single live traps for three consecutive
days, determination of leptospira serovar was conducted using Microscopic Aglutination Test
(MAT). Data analysis was performed by univariate and presented in tables and graphs. The
results showed that the trapped animals consisted of Rattus tanezumi (70.6%) and Suncus
murinus (29.4%) with 6.5% succsess trap. Rattus tanezumi were dominantly caught inside the
house (51%) than outside the house (49%). Female rats were dominantly caught (66.7%) than
male rats (33.3%). Suncus murinus and Rattus tanezumi shown a titer of 1/100 to be infected
with L.icterohaemorrhagiae , L.javanica and L.cynopteri which are pathogenic Leptospira in
humans. Efforts are needed to improve community participation in preventing tranmission of
leptospirosis by avoiding contact with contaminated water and soil. For people who are risk of
exposure to infected animal should wear protective clothes or footwear.

Keywords: Serovar,leptospira, determination, microscopic agglutination test

ABSTRAK

Leptospirosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri dari genus
Leptospira yang patogen. Penularan leptospirosis pada manusia karena adanya kontak dengan

Fakultas Kedokteran Ukrida


2

hewan yang terinfeksi bakteri Leptospira atau secara tidak langsung melalui genangan air yang
terkontaminasi. Kejadian leptospirosis di Kabupaten Banyumas cenderung mengalami kenaikan
selama 3 tahun. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeteksi serovar bakteri Leptospira yang ada
di reservoir. Survei tikus dilakukan dengan perangkap live trap selama tiga hari berturut-turut,
serovar bakteri leptospira dilakukan dengan metode Microscopic Aglutination Test (MAT).
Analisis data dilakukan secara univariat dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Hasil
penelitian menunjukkan spesies tikus yang tertangkap hanya jenis Rattus tanezumi (70,6%) dan
insektivora jenis Suncus murinus (29,4%) dengan trap success 6,5%. Rattus tanezumi labih
banyak yang tertangkap di dalam rumah (51%) dibandingkan di luar rumah (49%) dengan jenis
kelamin betina (66,7%) lebih banyak dibandingkan tikus jantan (33,3%). Rattus tanezumi dan
Suncus murinus terbukti terinfeksi bakteri leptospira serovar L.icterohaemorrhagiae, L javanica
dan L.cynopteri dengan titer 1/100 yang merupakan jenis bakteri Leptospira patogen pada
manusia. Upaya yang diperlukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mencegah
penularan leptospirosis adalah menghindari kontak dengan air dan tanah yang terkontaminasi.
Orang—orang yang mempunyai risiko terpapar oleh hewan yang terinfeksi hams menggunakan
pakaian pelindung atau alas kaki.

Kata kunci: Serovar, leptospira, determinasi, Microscopic Agglutination Test

A. Pendahuluan

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme


Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik serotipnya. Penyakit ini pertama
sekali dikemukakan oleh Weil pada tahun 1886 yang membedakan penyakit yang disertai
dengan ikterus ini dengan penyakit lain yang juga menyebabkan ikterus. Bentuk yang
beratnya dikenal sebagai Weil disease. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti

Fakultas Kedokteran Ukrida


3

mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever, infectious jaundice, cane cutter fever dan
lain-lain.1,2
Leptospira menyebabkan penyakit yang dikarakterisasi oleh stadium klinik yang
disertai remisi dan eksaserbasi. Organisme leptospira merupakan bakteri spirochaeta yang
sangat halus, berlilit padat (ketat) dan bersifat obligat aerob, yang ditandai oleh gerakan
bertipe fleksuosa yang unik. Genus ini dibagi menajdi dua spesies, leptospira interrogans
yang patogenik dan leptospira biflexa yang hidup bebas.1
Serotipe L. interrogans merupakan penyebab penyakit leptospirosis, yang merupakan
penyakit zoonis. Hospes utama penyakit ini adalah mamalia liar maupun mamalia peliharaan,
dan penyakitnya menyebabkan kerugian ekonomis pada industri pengolahan daging dan
susu. Manusia merupakan hospes aksidental yang penyakitnya tersebar di seluruh tubuh, dan
beratnya berbeda-beda, mulai dari subklinik hingga fatal.1
Leptospirosis acapkali luput didiagnosa karena gejala klinis tidak spesifik, dan sulit
dilakukan konfirmasi diagnosa tanpa uji laboratorium. Kejadian luar biasa leptospirosis
dekade terakhir di beberapa negara telah menjadikan leptospirosis sebagai salah satu
penyakit yang termasuk the emerging infectious disease.1

B. Skenario Kasus
Seorang laki-laki berusia 45 tahun datang dengan keluhan demam tinggi disertai nyeri kedua
betis sejak 4 hari yang lalu

C. Epidemiologi
Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, disemua benua kecuali benua antartika,
namun terbanyak didapati di daerah tropis. Leptospira bisa terdapat pada binatang piaraan
seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmut, atau binatang-binatang pengerat lainnya
seperti tupai, musang, kelalawar, dan lain sebagainya. Di dalam tubuh binatang tersebut,
leptospira hidup di dalam ginjal/air kemihnya. Tikus merupakan vektor yang utama dari L.
icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada manusia. Dalam tubuh tikus, leprosira
akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang biak di dalam epitel tubulus ginjal
tikus dan secara terus-menerus dan ikut mengalir dalam filtrat urin. Penyakit ini bersifat
musiman, di daerah beriklim sedang masa puncak insidens dijumpai pada musim panas dan

Fakultas Kedokteran Ukrida


4

musim gugur karena temperatur adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup
leptospira, sedangkan di daerah tropis insidens tertinggi terjadi selama musim hujan.1
Leptospirosis mengenai paling kurang 160 spesies mamalia. Ada berbagai penjamu
dari leptospira, dari mamalia yang berukuran kecil di mana manusia dapat kontak dengannya,
misalnya landak, kelinci, tikus sawah, tikus rumah, tupai, musang, sampai dengan reptil
(berbagai jenis katak dan ular), babi, sapi, kucing, dan anjing. Binatang pengerat terutama
tikus merupakan reservoir yang paling banyak. Leptospira membentuk hubungan simbiosis
dengan penjamunya dan dapat menetap dalam tubulus renalis selama berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun. Beberapa serovar berhubungan dengan binatang tertentu, seperti L.
icterohaemoragicae/copenhageni dengana tikus, L. grippotyphosa dengan voles (sejenis
tikus), L. hardjo dengan sapi, L. canicola dengan anjing dan L. pomona dengan babi.1
International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai negara dengan
insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk mortalitas.1

Di Indonesia leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,


Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Utara, Bali, NTB,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Pada kejadian
banjir besar di Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari seratus kasus leptospirosis dengan
20 kematian.1
Salah satu kendala dalam menangani leptospirosis berupa kesulitan dalam melakukan
diagnostik awal. Sementara dengan pemeriksaan sederhana memakai mikroskop biasa
dideteksi adanya gerakan leptospira dalam urin. Diagnostik pasti ditegakkan dengan
ditemukannya leptospira pada daerah atau urin atau ditemukannya hasil serologi positif.
Untuk dapat berkembang biaknya leptospira memerlukan lingkungan optimal serta
tergantung pada suhu yang lembab, hangat, pH air/tanah yang netral, di mana kondisi ini
ditemukan sepanjang tahun di daerah tropis.1

Fakultas Kedokteran Ukrida


5

D. Anamnesis
Pada anamnesis, penting diketahui tentang riwayat pekerjaan pasien, apakah pasien
termasuk orang dengan kelompok risiko tinggi, seperti berpergian ke hutan belantara, rawa,
sungai, sawah, atau pasien selesai membersihkan got atau saluran air. Biasanya didapati
adanya gejala/keluhan demam yang muncul mendadak, sakit kepala terutama dibagian
frontal, nyeri otot, mata merah, fotofobia, mual, muntah.3
Akan tetapi pada tahap anamnesis biasa nya yang di tanyakan adalah identitas,
keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit
keluarga.

E. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai adanya demam, bradikardia relatif, nyeri
tekan otot, ikterik, hepatomegali, limfadenopati, dan lain-lain.3

F. Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, famili tropenemataceae, suatu
mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas mikroorganisme ini yakni berbelit, tipis, fleksibel,
panjangnya 5-15 um, dengan spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1-0,2 um. Salah satu ujung
organisme sering membengkak, membentuk suatu kail. Terdapat gerak rotasi aktif, tetapi
tidak ditemukan adanya flagella. Spirochaeta ini demikian halus sehingga tidak dalam
mikroskop lapangan gelap hanya dapat terlihat sebagai rantai kokus kecil-kecil. Dengan
pemeriksaan lapangan redup pada mikroskop biasa morfologi leptospira secara umum dapat

Fakultas Kedokteran Ukrida


6

dilihat. Untuk mengamati lebih jelas gerakan leptospira digunakan mikroskop lapangan
gelap. Leptospira membutuhkan media dan kondisi yang khusus untuk tumbuh dan mungkin
membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk membuat kultur yang positif. Dengan
medium Fletcher’s dapat tumbuh dengan baik sebagai obligat aerob.1
Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies: L. Interrogans yang
patogen dan L. Biflexa yang nonpatogen/saprofit. Tujuh spesies dari leptospira patogen
sekarang ini telah diketahui dasar ikatan DNA-nya, namun lebih praktis dalam klinik dan
epidemiologi menggunakan klasifikasi yang didasarkan atas perbedaan serologis. Spesies L.
Interrogans dibagi menjadi beberapa serogrup dan serogrup ini dibagi menjadi banyak
serovar menurut komposisi antigennya. Saat ini telah ditemukan lebih dari 250 serovar yang
tergabung dalam 23 serogrup. Beberapa serovar L. Interrogans yang dapat menginfeksi
manusia di antaranya: L. Icterohaemorrhagie, L. Canicola, L. pomona, L. Grippothyphosa,
L. Javanica, L. Celledeoni, L. Ballum, L. Pyrogenes, L. Automnalis, L. Hebdomadis. L.
Bataviae. L. Tarassovi, L. Panama, L. Andamana, L. Sherinani, L. Ranarum, L. Bufonis, L.
Copenhageni, L. Australis, L. Cynopteri, dan lain-lain.1
Menurut beberapa peneliti, yang tersering menginfeksi manusia ialah L.
Icterohaemorrhagica dengan reservoir tikus, L. Canicola dengan reservoir anjing dan L.
Pomona dengan reservoir sapi dan babi.1

G. Patogenesis
Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki aliran
darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh. Kemudian terjadi
respon imunologik baik secara selular maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan
dan terbentuk antibodi spesifik. Walaupun demikian beberapa organisme ini masih bertahan
pada daerah yang terisolasi secara imunologi seperti di dalam ginjal di mana sebagian
mikroorganisme akan mencapai convoluted tubules, bertahan di sana dan dilepaskan melalui
urin. Leptospira dapat dijumpai dalam air kemih sekitar 8 hari sampai beberapa minggu
setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira
dapat dihilangan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat
lenyap dari darah setelah terbentunya aglutinin. Setelah fase leptospremia 4-7 hari,
mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler. Leptospiruria

Fakultas Kedokteran Ukrida


7

berlangsung 1-4 minggu. Tiga mekanisme yang terlibat pada patogenese leptospirosis:
invansi bakteri berlangsung, faktor inflamasi nonspesifik, dan reaksi imunologi.1

H. Patologi
Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang
bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Lesi yang muncul
terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada leptospirosis terdapat perbedaan
antara derajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara histologis. Pada leptospirosis
lesi histologis yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional
yang nyata dari organ tersebut. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada
struktur organ. Lesi inflamasi menunjukkan edema dan ilfiltrasi sel monosit, limfosit dan sel
plasma. Pada kasus yang erat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan
disfungsi hepatiseluler dengan retensi bile. Selain di ginjal, leptospirosis juga bertahan pada
otak dan mata. Leptospira dapat masuk ke dalam cairan serebrospinal pada fase
leptospiremia. Hal ini akan menyebabakan meningitis yang merupakan gangguan neurologi
terbanyak yang terjadi sebagai komplikasi leptosirosis. Organ-organ yang sering dikenai
leptospira adalah ginjal, hati, otot, dan pembuluh darah. Kelainan spesifik pada organ ialah:1

1. Gunjal. Interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuklear merupakan bentuk lesi pada
leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat
tubular nekrosis akut. Adanya peranan nefrotoksin, reaksi imunologis, iskemia ginjal,
hemolisis dan invasi langsung mikroorganisme juga berperan menimbulkan kerusakan
ginjal.
2. Hati. Hati menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal dan
proliferasi sel Kupfer dengan kolestatis. Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian
ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat di antara sel-sel
parenkim.
3. Jantung. Epikardium, endokardium, dan miokardium dapat terlibat. Kelainan miokardium
dapat fokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi sel mononuklear dan

Fakultas Kedokteran Ukrida


8

plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi perdarahan fokal
pada miokardium dan endokarditis.
4. Otot rangka. Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa lokal nekrosis,
vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira disebabkan
invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot.
5. Mata. Leptospira dapat masuk ruang anterior dari mata selama fase leptospiremia dan
bertahan beberapa bulan walaupun antibodi yang terbentuk cukup tinggi. Hal ini akan
menyebabkan uveitis.
6. Pembuluh darah. Terjadi perubahan pada pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis
yang akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan/pteki pada mukosa,
permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit.
7. Susunan saraf pusat. Leptospira mudah masuk ke dalam cairan serebrospinal dan
dikaitkan dengan terjadinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon
antibodi, tidak pada saat memasuki CCS. Diduga bahwa terjadinya meningitis
diperantarai oleh mekanisme imunologis. Terjadi penebalan meninges dengan sedikit
peningkatan sel mononuklear arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis
aseptik, biasanya paling sering disebabkan oleh L. Canicola.

I. Manifestasi Klinis
Infeksi leptospirosis bisa tanpa gejala klinis. Oleh karena itu, amatlah penting untuk
menggali dari pasien mengenai riwayat paparan terhadap material yang terkontaminasi oleh
leptospira. Bukti serologi menunjukkan bahwa terdapat 15-40% individu yang pernah
terpapar dengan leptospira, namun tidak menjadi sakit. Pada kasus yang simtomatik,
manifestasi klinis bervariasi dan ringan sampai berat, bahkan fatal. Lebih dari 90% individu
yang simtomatik menunjukkan bahwa leptospirosis yang ringan dan anikterik, dengan atau
tanpa meningitis. Sisanya, sekitar 5-10% dengan bentuk leptospirosis yang berat (sindrom
Weil).4-5
Masa inkubasi biasanya 1-2 minggu, tetapi bekisar 2-16 hari. Perjalanan penyakitnya
khas, terdiri dari 2 fase, yakni fase leptospiremia (5-7 hari) yang kemudian diikuti oleh fase

Fakultas Kedokteran Ukrida


9

imun (4-30 hari). Pertama antara fase pertama dan kedua tidaklah selalu jelas. Pada kasus
yang ringan tidak ada selalu fase kedua, sedangkan pada sindrom Weil, kedua fase penyakit
seringkali berkelanjutan dan sulit dibedakan. Fase leptospiremia ditandai oleh adanya
leptospira di dalam darah dan cairan serebrospinal, sedangkan fase imun ditandai oleh
peningkatan kadar IgM dalam sirkulasi dan adanya leptospira dalam urin.5

1. Leptospira Anikterik
Leptospirosis tampak sebagai penyakit yang menyerupai influenza akut dengan
demam, menggigil, sakit kepala hebat, mual, muntah, dan mialgia. Nyeri otot terutama
pada betis, punggung dan abdomen, merupakan gejala yang penting pada leptospirosis.
Gejala lain yang kurang sering adalah nyeri menelan dan timbul ruam pada kulit. Pasien
biasanya mengalami sakit kepala berat (frontal atau retroorbital) dan terkadang timbul
fotofobia. Perubahan status mental juga bisa terjadi. Bila paru juga terlibat, maka
sebagian besar kasus terjadi batuk dna nyeri dada, serta tidak jarang juga terlihat
hemoptisis.4,6

Temuan yang paling sering dijumpai pada pemeriksaan fisik adalah demam
dengan injeksi silier pada konjungtiva, sedangkan yang jarang ditemukan adalah nyeri
tekan otot, limfadenopati, injeksi faringeal, ruam, hepatomegali dan splenomegali. Ruam
pada kulit bisa berbentuk makular, makulopapular, eritematosa, urtikarial atau hemoragik.
Ikterus ringan juga dapat terjadi.6
Sebagian besar pasien menjadi asimtomatik dalam 1 minggu. Sesudah interval
bebas demam selama 1-3 hari, akan timbul demam kembali dan masuk ke fase kedua
(imun) pada sejumlah kasus. Fase imum dimulai bersamaan dengan terbentuknya
antibodi. Gejala klinisnya lebih bervariasi dibandingkan dengan fase pertama
(leptospiremia). Biasanya gejala berlangsung hanya selama beberapa hari, namun
terkadang dapat menetap selama berminggu-minggu. Demam seringkali kurang jelas
(tidak begitu tinggi) dan mialgia lebih ringan bila dibandingkan pada saat fase
leptospiremia. Hal penting yang bisa terjadi pada fase imun adalah timbulnya meningitis

Fakultas Kedokteran Ukrida


10

aseptik. Walaupun gejala dan tanda meningitis hanya dijumpai pada tidak lebih dari 15%
pasien, akan tetapi banyak pasien mengalami pleositosis pada cairan serebrospinalnya.
Gejala meningeal biasanya hilang dalam beberapa hari, namun juga bisa menetap selama
bermingggu-minggu. Hal yang salam, pleositosis umumnya menghilang selama 2 minggu
tetapi terkadang menetap sampai berbulan-bulan. Iritis, iridosiklitis dan korioretinitis
merupakan komplikasi lanjut yang bisa menetap selama bertahun-tahun. Biasanya timbul
minimal sesudah 3 minggu, akan tetapi sering juga setelah beberpa bulan dari permulaan
sakit.6

2. Leptospirosis Berat (sindrom Weil)


Sindrom Weil adalah bentuk yang paling berat dari leptospirosis, yang ditandai
oleh ikterus, disfungsi ginjal dan diathesis hemoragik, serta mempunyai angka mortalitas
yang tinggi. Sindrom ini seringkali terjadi pada infeksi oleh serovar icterohaemorrhagiae.
Pada awal sakit, klinisnya tidak berbeda dengan leptopsirosis yang ringan, akan tetapi
sesudah 4-9 hari umumnya timbul ikterik disertai disfungsi ginjal dan vaskuler. Walaupun
telah dilaporkan terdapat perbaikan dalam beberapa hal sesudah minggu pertama sakit,
namun pola penyakit yang bifasik, seperti yang terlihat pada leptospirosis anikterik,
kurang jelas terlihat. Biasanya tidak terjadi nekrosis hati berat. Kematian jarang
disebabkan oleh kegagalan hati. Hepatomegali dan nyeri tekan pada abdomen kuadran
kanan atas sering dijumpai. Splenomegali ditemukan pada 20% kasus.5,7
Gagal ginjal sering sekali terjadi pada minggu kedua sakit. Hipovolemia dan
penurunan perfusi renal berkontribusi terhadap terjadinya nekrosis tubular akut dengan

Fakultas Kedokteran Ukrida


11

oliguria atau anuria. Dialisis terkadang diperlukan, walaupun pada cukup banyak kasus
fungsi kasus fungsi ginjal dapat normal kembali tanpa dialisis. Keterlibatan paru sering
terjadi. Manifestasi klinisnya berupa batuk, dispnu, nyeri dada dan sputum bercak darah,
serta terkadang hemoptisis atau bahkan kegagalan respirasi. Manifestasi perdarahan pada
sindrom Weil umumnya berupa epistaksis, petekie, purpura dan ekimosis, sedangkan
perdarahan gastrointestinal berat serta perdarahan adrenal atau subaraknoid jarang
dijumpai. Rabdomiolisis, hemolisis, disseminated intravascular coagulation (DIC),
pankreatitis, miokarditis, perikarditis, gagal jantung kongestif, syok kardiogenik, acute
respiratory distress syndrom (ARDS), serta kegagalan multiorgan, juga dapat terjadi pada
leptospirosis berat.4,6

J. Diagnosis
Diagnosis leptospirosis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada umumnya, tidak mudah untuk menegakkan diagnosis
awal leptospirosis karena pasien biasanya datang dengan meningitis, hepatitis, nefritis,
pneumonia, influenza, sindrom syok toksik, demam yang tidak diketahui asalnya dan diatesis
hemoragik, bahkan pada beberapa kasus datang dengan pankreatitis.8
Pada anamnesis, penting diketahui tentang riwayat pekerjaan pasien, apakah pasien
termasuk orang dengan kelompok risiko tinggi, seperti berpergian ke hutan belantara, rawa,
sungai, sawah, atau pasien selesai membersihkan got atau saluran air. Biasanya didapati
adanya gejala/keluhan demam yang muncul mendadak, sakit kepala terutama dibagian
frontal, nyeri otot, mata merah, fotofobia, mual, muntah. Pada pemeriksaan fisik dapat
dijumpai adanya demam, bradikardia relatif, nyeri tekan otot, ikterik, hepatomegali,
limfadenopati, dan lain-lain.8

Fakultas Kedokteran Ukrida


12

Laju endap darah (LED) biasanya meningkat. Pada leptospirosis anikterik, jumlah
leukosit darah berkisar antara 3.000-26.000/mm3 dengan pergeseran ke kiri. Pada sindrom
Weil leukositosis seringkali lebih nyata. Trombositopenia ringan terjadi pada 50% pasien,
dengan jumlah trombosit berkisar antara 80.000-150.000/mm3.8
Ginjal merupakan organ yang selalu terlibat pada leptospirosis. Dapat ditemukan
adanya sedimen urin (leukosit, eritrosit, hialin, dan granular) serta proteinuria ringan pada
leptospirosis anikterik hingga gagal ginjal dan azotemia pada penyakit yang berat.8
Organ hati dapat juga terlibat. Kadar bilirubin darah, alkali fosfatase dan
transaminase dapat meningkat. Namun, berbeda dengan hepatitis akut, peningkatan bilirubin
pada pasien leptospirosis tidak sebanding dengan peningkatan kadar transaminasenya, baik
SGOT maupun SGPT. Pada leptosiposis, transaminase hanya meningkat ringan (sampai 200
U/L). Pada sindrom Weil , masa protombin dapat memanjang tetapi masih bisa dikoreksi
dengan pemberian vitamin K. Kadar CPK meningkat pada 50% pasien leptospirosis pada
minggu pertama sakit, hal ini juga dapat membantu membedakannya dengan hepatitis viral.
Pada beberapa kasus, amilase dan lipase serum juga meningkat.8,9
Bila terjadi meningitis, maka pada pemeriksaan cairanserebrospinal, leukosit
polimorfonuklear akan mendominasi pada awalnya, sedangkan jumlah sel mononuklear baru
akan meningkat kemudian. Kadar protein dapat meningkat dengan kadar glukosa normal.8
Pada leptospirosis berat, kalainan radiologis paru lebih sering melebihi dari dugaan
kita pada saat pemeriksaan fisik. Kelainan tersebut paling sering terjadi sesudah 3-9 hari
sakit. Temuan radiologis yang paling sering adalah suatu patchy alveolar pattern yang
menandakan adanya perdarahan alveolar yang tersebat. Kelainan ini paling sering dijumpai
pada bagian perifer dari lobus bawah paru.8,10
Berbagai kelainan EKG juga dapat dijumpai pada pasien leptospirosis, antara lain
aritmia yang bisa berupa atrial fibrillation, atrial flutter, atrial tachycardia dan premature
ventricular contractions. Kelainan lain yang bisa ditemukan adalah perikarditis, efusi
perkardial ringan, heart block dan miokarditis.9
Diagnosis pasti dari leptospirosis dapat diperoleh melalui isolasi leptopsira dari
darah/cairan tubuh dngan kultur, pemeriksaan PCR pada stadium awal penyakit, atau
pemeriksaan serologi dengan microscopic agglutination test (MAT) maupun enzym linked
immunosorbent (ELISA).9

Fakultas Kedokteran Ukrida


13

1. Kriteria Diagnosis
The Informal Expert Consultation on Suveillance, Diagnosis and Risk
Reduction of Leptospirosis (WHO, SEARO, 2009), telah menetapkan kriteria diagnosis
baru untuk leptospirosis yang dapat diaplikasikan dengan mudah, baik pada pelayanan
kesehatan primer maupun pada tingkat yang lebih tinggi, dengan kriteria sebagai berikut:
a. Suspect Case
1) Demam akut (> 38,5oC) dan/atau nyeri kepala hebat dengan:
a) Mialgia
b) Kelemahan tubuh (prostration) dan/atau
c) Injeksi konjungtiva (conjungtival suffusion), dan
d) Riwayat paparan terhadap lingkunganyang terkontaminasi oleh leptospira

b. Probable Case
1) Pada pelayanan kesehatan primer, suspect case dengan dua dari berikut ini:
a) Nyeri tekan pada betis
b) Batuk dengan atau tanpa hemoptisis
c) Ikterik
d) Manifestasi perdarahan
e) Iritasi meningeal
f) Anuria/oliguria/proteinuria
g) Sesak napas
h) Aritmia jantung
i) Ruam kulit

2) Pelayanan kesehatan sekunder/tertier


a) berdasarkan ketersediaan fasilitas laboratorium maka suatu probable case adalah

Fakultas Kedokteran Ukrida


14

suatu suspect case dengan pemeriksaan rapid IgM positif


b) temuan serologik mendukung (misalnya titer MAT sama dengan 200 pada
sampel tunggal)
c) temuan urin: proteinuria, sel-sel pus, darah
d) neutropilia relatif (>80%) dengan limfopenia
e) trombosit <100.000/mm3
f) peningkatan bilirubin serum > 2 mg%, enzim-enzim hati (fosfatase alkali
serum, amilase serum, CPK) meningkat moderat.

c. Confirmed Case
Suatu confirmed case dari leptospirosis adalah suspect atau probable case dengan salah
satu dari berikut ini:
1) isolasi leptospira dari spesimen klinik
2) hasil PCR positif
3) serokonversi dari negatif ke positif atau peningkatan 4 kali titer MAT
4) titer MAT 400 atau lebih pada sampel tunggal
Pada keadaaan di mana kapasitas laboratorium tidak memadai: hasil positif dari dua
pemeriksaan diagnostik cepat yang berbeda dapat dianggap sebagai confirmed case
secara laboratoris.

2. Diagnosis Banding
Influenza yang sporadik, meningitis aseptik viral, riketsiosis, semua penyakit
dengan ikterus (hepatitis, demam kuning dll), glandular fever, bruselosis, pneumonia

Fakultas Kedokteran Ukrida


15

atipik, demam berdarah dengue, penyakit susunan saraf yang akut, dan fever of unknown
origin (FUO).2

K. Komplikasi
Pada leptospirosis, komplikasi yang terjadi ialah iridoksiklitis, gagal ginjal,
miokarditis, meningitis aseptik, dan hepatitis. Perdarahan masif jarang ditemui dan bila
terjadi selalu menyebabkan kematian.2

L. Pemeriksaan Penunjang
1. Spesimen/Kultur
Spesimen terdiri dari darah yang diambil secara aseptik dalam tabung heparin,
cairan serebrospinal, atau jaringan untuk pemeriksaan mikroskopik dan biakan segera
pada awal gejala. Dianjurkan untuk melakukan kultur ganda dan mengambil spesimen
pada fase leptospiremia serta belum diberi antibiotik. Kultur urin harus dikumpulkan
setelah 2-4 minggu onset penyakit dengan sangat hati-hati untuk menghindari
kontaminasi. Serum dikumpulkan untuk uji aglutinasi.1,11

2. Inokulasi Binatang
Teknik yang sensitif untuk isolasi leptospira terdiri dari inokulasi intraperitoneum
hamster muda atau marmot dengan plasma segar atau urin. Dalam waktu beberapa hari,
spiroketa menjadi terlihat dalam rongga peritoneum, pada binatang yang mati (8-14 hari),
lesi hemoragik dengan spiroketa ditemukan pada banyak organ.11

Fakultas Kedokteran Ukrida


16

3. Pemeriksaan Mikroskopik
Pemeriksaan lapangan gelap atau sediaan apus yang diwarnai dengan teknik
Giemsa kadang-kadang menunjukkan leptospira pada darah segar dari infeksi dini.
Pemeriksaan lapangan gelap pada urin yang disentrifugasi juga dapat memberikan hasil
yang positif. Antibodi konjugasi-fluoresensi atau teknik imunohistokimia lainnya juga
dapat digunakan.11

4. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin bisa dijumpai lekositosis, normal, atau sedikit
menurun disertai gambaran neutrofilia dan laju endap darah yang meninggi. Pada urin
dijumpai proteinuria, leukosituria, dan torak (cast). Bila organ hati terlibat, bilirubin direk
meningkat tanpa peningkatan transaminase. BUN, ureum dan kreatinin juga bisa
meninggi bila terjadi komplikasi pada ginjal. Trombositopenia terdapat pada 50% kasus.11

5. Serologi
Pemeriksaan untuk mendeteksi adanya leptospira dengan cepat adalah dengan
pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), silver strain atau fluroscent antibody
strain, dan mikroskop lapangan gelap.1

Tabel 1.2 Jenis Uji Serologi pada Leptospirosis


Microscopic Agglutination Test Macroscopic Slide Agglutination Test
(MAT) (MSAT)
Uji carik celup: Enzym linked immunosorbant assay (ELISA)
 Lepto dipsttick Microcapsule agglutination test
 Leptotek lateral flow Patoc-slide agglutination test (PSAT)
Aglutinasi lateks kering (Leptotek dry dot) Sensitized erythrocyte lysis test (SEL)
Indirect flourescent antibody test (IFAT) Counter immune electrophoresis (CIE)
Indirect haemagglutination test (IHA)
Uji aglutinasi lateks
Complement fixation test (CFT)

Fakultas Kedokteran Ukrida


17

Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV

M. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi
keadaan dehidrasi, hipotensi, dan gagal ginjal sangat penting pada leptospirosis.
Gangguan fungsi ginjal pada umumnya dengan spontan akan membaik dengan
membaiknya kondisi pasien. Namun pada beberapa pasien membutuhkan tindakan
hemodialisis temporer.1
Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin, biasanya pemberian
dalam 4 hari setelah onset cukup efektif. Untuk kasus leptospirosis berat, pemberian
penicillin G amoxicillin, ampisillin atau eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk
kasus-kasus ringan dapat diberikan antibiotika oral tetrasiklin, doksisiklin, streptomisin,
klorafenikol, siprofloksasin, ampisilin atau amoksisilin maupun sefalosporin.1
Sampai saat ini penicillin masih merupakan antibiotik pilihan utama, namun
perlu diingat bahwa antibiotik bermanfaat jika leptospira masih di darah (fase
leptospiremia). Pada pemberian penisillin G 1,5 juta unit setiap 6 jam selama 57 hari.
Dalam 4-6 jam setelah pemberian intravena dapat muncul reaksi Jarisch-Herxherimer
yang menunjukkan adanya aktivitas antileptospira. Tindakan suportif ini diberikan sesuai
dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul. Obat-obat ini efektif pada
pemberian hari 1-3 namun kurang manfaat bila diberikan setelah fase imun da tidak
efektif jika terdapat ikterus, gagal ginjal, daan meningitis. Keseimbangan cairan,
elektrolit, dan asama basa diatur sebagaimana pada penanggulangan gagal ginjal secara
umum. Kalau terjadi azotemia/uremia berat sebaiknya dilakukan dialisis.1,2
Meskipun tidak banyak yang dapat dilakukan untuk mengendalikan
leptospirosis pada hewan liar, penyakit ini pada hewan peliharaan dapat dikendalikan
melalui vaksinasi dengan sel bakteri yang utuh yang dilemahkan atau dengan sediaan
membran luar. Bila vaksin tidak memiliki masa imunogenik yang memadai, respons imun
yang timbul akan melindungi hospes terhadap penyakit klinis, tetapi tidak melindungi
terhadap timbulnya pengerluaran bakteri melalui ginjal (renal shedder state).12

Fakultas Kedokteran Ukrida


18

Karena kemungkinan terdapatnya berbagai serotipe pada suatu wilayah


gerografik tertentu, sedangkan perlindungan yang diberikan oleh vaksin bakteri yang
dilemahkan bersifat spesifik untuk serotipe, maka dianjurkan untuk menggunakan vaksin
polivalen. Vaksin untuk digunakan pada manusia belum tersedia di Amerika Serikat.
Struktur selular pada leptospira menyebabkan bakteri ini mudah dimatikan oleh keadaan
buruk, misalnya dehidrasi, pemaparan terhadap detergen, dan suhi di atas 50oC.12
Pencegahan leptospirosis pada manusia sangat sulit karena tidak mungkin
menghilangkan reservoir infeksi yang besar pada hewan. Vaksinasi hewan ternak dan
hewan peliharaan dilakukans ecara luas di Amerika Serikat dan telah banyak mengurangi
insidens infeksi pada beberapa spesies. Infeksi pada ginjal masih tetap dapat terjadi pada
anjing yang divaksinasi, dan manusia dapat terinfeksi dengan anjing yang telah
diimunisasi secara adekuat.12

Tabel 1.1 Pengobatan & Kemoprofilaksis Leptospirosis

Indikasi Regimen Dosis


Leptospirosis ringan Doksisiklin 2 x 100 mg
Ampisilin 4 x 500-750 mg
Amoksisilin 4 x 500 mg
Leptospirosis sedang/berat Penisillin G 1,5 juta unit/6 jam (IV)
Ampisillin 1 gram/6 jam (IV)
Amoksisilin 1 gram/6 jam (IV)
Kemoprofilaksis Doksisiklin 200 mg/minggu
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV

2. Non-Medikamentosa
Pencegahan leptospirosis khususnya di daerah tropis sangat sulit. Banyaknya
hospes perantara dan jenis serotipe sulit untuk dihapuskan. Begi mereka yang mempunyai
risiko tinggi untuk tertular leptospirosis harus diberikan perlindungan berupa pakaian
khusus yang dapat melindungi dari kontak dengan bahan-bahan yang telah
terkontaminasi dengan kemih binatang reservoar.1
Orang yang paling sering berkontak dengan air yang terkontaminasi dengan
tikus (misalnya pekerja pertambangan, tukang jahit, petani, dan nelayan) mempunyai

Fakultas Kedokteran Ukrida


19

risiko terkena infeksi yang paling besar. Anak-anak lebih sering terkena infeksi dari
anjing daripada orang dewasa. Tindakan pengendalian terdiri dari pencegahan terhadap
pajanan air yang terkontaminasi dan mengurangi kontaminasi dengan pengendalian
binatang pengerat. Pada daerah tertentu, pengendalian tikus, disinfeksi daerah kerja yang
tercemar, dan larangan berenang pada perairan tercemar, telah mengurangi insidens
penyakit secara efektif.11

N. Prognosis
Tergantung keadaan umum pasien, umur, virulensi leptospira, dan ada tidaknya
kekebalan yang didapat. Kematian juga biasanya terjadi akibat sekunder dari faktor pemberat
seperti gagal ginjal, atau perdarahan dan terlambatnya pasien mendapat pengobatan. Jika
tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus, angka kematian 5% pada
umur di bawah 30 tahun, dan pada usia lanjut mencapai 30-40%.2

O. Diagnosa Banding pada Kasus Leptospirosis


1. Malaria
Malaria adalah penyakit yang dapat bersifat akut maupun kronik, disebabakan oleh
protozoa genus plasmodium detandai dengan demam, anemia, dan splenomegali.13
a. Manifestasi Klinis
Pada anamnesis ditanyakan gejala penyakit dan riwayat berpergian ke daerah
endemik malaria. gejala dan tanda yang dapat ditemukan adalah:
1) Demam
Demam periodik yang berkaitan dengan saat pecahnya skizon matang (sporulasi).
Pada malaria tertian, pematangan skizon tiap 48 jam maka periodisitas demamnya
setiap hari ke-3, sedangkan malaria kuartana pematangannya tiap 72 jam dan
peridiositas demamnya tiap 4 hari. Tiap serangan ditandai dengan beberapa
serangan demam periodik. Demam khas malarian terdiri atas 3 stadium, yaitu
mengigil (15 menit-1 jam), puncak demam (2-6 jam), dan berkeringan (2-4 jam).

Fakultas Kedokteran Ukrida


20

Demam akan mereda secara bertahap karena tubuh dapat beradaptasi terhadap
parasite dalam tubuh da nada respons imun.13
2) Splenomegali
Splenomegali merupakan gejala khas malaria kronik. Limpa mengalami kongesti,
menghitam, dan menjadi keras karena timbunan pigmen eritrosit parasit dan
jaringan ikat yang bertambah.13

3) Anemia
Derajat anemia tergantung pada spesies penyebab yang paling berat adalah
anemia karena P. falciparum. Anemia disebabkan oleh pengancuran eritrosit yang
berlebih, eritrosit normal tidak dapat hidup lama, gangguan pembentukan eritrosit
karena depresi eritropoesis dalam sumsum tulang.13
4) Ikterus
Ikterus disebakan karena hemolisis dan gangguan hepar.13

b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah tepi, pembuatan preparat darah tebal dan tipis dilakukan untuk
melihat keberadaan parasit dalam darah tepi, seperti tropozoit yang berbentuk
cincin.13

2. Demam Tifoid
Demam tifoid dan paratifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus. Sinonim dari
demam tifoid dan paratifoid adalah typhoid dan paratyphoid fever, enteric fever, tifus,
dan paratifus abdominalis. Demam paratifoid menunjukkan manifestasi yang sama
dengan tifoid, namun biasanya lebih ringan.13
a. Manifestasi Klinis
Gejala yang timbul bervariasi. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing,

Fakultas Kedokteran Ukrida


21

nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut,
batuk, dan epistaksis, pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan peningkatan suhu
badan.13
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi
relatif, lidah tifoid (kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali,
splenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma,
sedangkan roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.13

P. Kesimpulan
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan leptospira. Manusia
dapat terinfeksi melalui kontak dengan leptospira secara insidental. Gejala klinis yang timbul
mulai dari ringan sampai berat bahkan kematian, bila terlambat mendapat pengobatan.
Diagnosis dini yang tepat dan penatalaksanaan yang cepat akan mencegah perjalanan
penyakit menjadi berat. Pencegahan dini terhadap mereka yang terekspos diharapkan dapat
melindungi mereka dari serangan leptospirosis.

Daftar Pustaka

1. Zein Umar. Leptospirosis. Dalam: Sudoyo AW dkk, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Edisi Ke-4. Jakarta; Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI:
2006. hal. 1845-1847.
2. Mansjoer, A dkk. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ke-3 Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius;
2005. hal. 425-427.

Fakultas Kedokteran Ukrida


22

3. Zulkarnain I. Management of Leptospirosis, Recent Development. Dalam: Atmakusuma D


dkk, penyunting. Prosiding Simposium Current Diagnosis and Treatment in Internal
Medicine 2003. Jakarta; Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 2003.
hal. 76-81.
4. Spleeman P. Leptospirosis. In: Kasper DL et al, editors. Harrison’s Principles of Internal
Medicine, 16th Edition. New York; Mc Graw Hill: 2005. p. 988-991.
5. Markum HMS. Renal Involvement in Leptospirosis at Dr. Cipto Mangunkusumo and
Persahabatan Hospitals. Indonesia J Intern Med 2004; 36(3): 148-152.
6. Kandel N, Thakur GD, Andjaparidze A. Leptospirosis in Nepal. J Nepal Med Assoc 2012;
52(187): 151-153.
7. Pohan HT. Kasus Leptospirosis di Jakarta. Dalam: Atmakusuma D dkk, penyunting.
Prosiding Simposium Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine 2003. Jakarta;
Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 2003. hal. 68-75.
8. Maroun E, Kushawosa A at al. Fulminant Leptospirosis (Weil’s diasease) Man Urban Setting
as an Overload Cause of Multiorgan Failure Case Report. Jurnal of Medical Case Report.
2011. 7: 2-4.
9. Zavitsanou A, Babatsikou F. Leptospirosis, Epidemiology and Preventive Measure. Vol.2;
2008: 75-82.
10. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Lecture Notes Kedokteran Klinis Edisi Kedokteran.
Rahmalia A, penerjemah. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama; 2007. hal. 380-382.
11. Brooks GF, Butel JS, Morse SAM. Mikrobiologi Kedokteran (Jawetz, Melnick, Adelberg’s
Medical Microbiology), Edisi 23. Hartanto H dkk, penerjemah. Jakarta: EGC; 2008. hal.
347-348.
12. Muliawan SY. Seri Mikrobiologi dalam Praktikum Klinik Bakteri Spiral Patogen
(Treponema, Leptospira, dan Borrelia). Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama; 2008. hal. 68-
72.
13. Mansjoer, A dkk. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ke-3 Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius;
2005. hal. 76-83.

Fakultas Kedokteran Ukrida

Вам также может понравиться