Вы находитесь на странице: 1из 37

LAPORAN KASUS

* Pendidikan Profesi Dokter / G1A217063 / Februari 2019


** Preseptor

DIABETES MILITUS TIPE II


*Nabilla Andami Aziz, S.Ked, ** dr. Azwar Djauhari, M.Sc

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PUSKESMAS OLAK KEMANG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
DIABETES MILITUS TIPE II

Oleh:
Nabilla Andami Aziz, S.Ked
G1A217063

Sebagai salah satu tugas program pendidikan profesi dokter


Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Jambi
2019

Jambi, Februari 2019


Preseptor,

dr. Azwar Djauhari, M.Sc

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
yang berjudul “DIABETES MILITUS” sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengikuti
Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Azwar Djauhari, M.Sc yang telah
meluangkan waktu dan pikirannya sebagai pembimbing sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan. Selanjutnya, penulis
berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu bagi para pembaca.

Jambi, Februari 2019

Penulis

3
BAB I

STATUS PASIEN

1.1 Identitas Pasien


a. Nama/jenis kelamin/umur : Ny. R/Perempuan/68 tahun
b. Pekerjaan/pendidikan : IRT/SD
c. Alamat : RT 06 Tanjung Raden

1.2 Latar Belakang Sosio-Ekonomi-Demografi-Lingkungan-Keluarga


a. Status perkawinan : Menikah
b. Jumlah anak/saudara : 5 orang anak
c. Status ekonomi keluarga : Mampu
d. Kondisi rumah :

Rumah pasien merupakan rumah panggung, lantai kayu, dinding kayu, atap seng.
Rumah terdiri dari satu ruang tamu, dua kamar tidur, satu dapur dan satu kamar
mandi. Sumber air bersih berasal dari PDAM dan sumber penerangan berasal dari
PLN.
e. Kondisi lingkungan di sekitar rumah:
Rumah pasien berjarak cukup jauh dengan rumah lainnya.

1.3 Aspek Perilaku dan Psikologis dalam Keluarga


 Keharmonisan keluarga pasien baik, tidak ada masalah dalam hubungan satu
sama lain
 Dilihat dari suasana di dalam rumah tampak bahwa pasien dan keluarga cukup
menjaga kebersihan rumah

4
1.4 Keluhan Utama
Badan lemas sejak ±2 hari yang lalu.
1.5 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan badan lemas sejak ±2 hari yang lalu. Keluhan lemas
dirasakan saat pasien sedang beraktivitas biasa di rumah, muncul perlahan, dirasakan
terus-menerus, tidak disertai tangan gemetaran, berkeringat dingin atau perasaan
berdebar-debar. Awalnya, sejak ±10 tahun yang lalu pasien mengeluh cepat merasa
lapar, haus, dan sering berkemih sampai terbangun di malam hari. Berat badan pasien
juga turun 10 kg dalam setahun terakhir. Pasien kemudian berobat jalan ke Puskesmas
dan didiagnosis menderita penyakit kencing manis, diberi obat metformin tablet 3x500
mg dan glimepirid tablet 1x2 mg sebelum makan. Keluhan pasien berkurang jika
meminum obat. Kalau sudah merasa baikan pasien mengaku suka lupa mengkonsumsi
obat. Pasien juga tidak rutin mengikuti anjuran dokter untuk berolahraga dan mengatur
pola makan. Sejak ±2 tahun belakangan pasien mengeluh kedua kakinya terasa kebas
yang hilang timbul namun tidak disertai kesemutan atau nyeri yang menjalar, dan
pandangan kedua matanya kabur seperti ada asap yang semakin lama semakin memberat.
Riwayat luka yang lama sembuh (-), tekanan darah tinggi (-), stroke (-), kelainan BAB
dan BAK (-).
Sejak ±2 hari belakangan pasien tidak mengkonsumsi obatnya lagi karena sudah
habis.

1.6 Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat sakit yang sama sebelumnya (-)
- Riwayat tekanan darah tinggi (-)
- Riwayat penyakit jantung (-)
- Riwayat penyakit ginjal (-)
- Riwayat rawat inap (-)
- Riwayat operasi (-)

1.7 Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga (+) bibi kandung dari pihak ayah
- Riwayat tekanan darah tinggi (-)
- Riwayat penyakit jantung (-)

5
- Riwayat penyakit ginjal (-)

1.8 Riwayat Alergi


Riwayat alergi disangkal.

1.9 Pemeriksaan Fisik


Status Generalisata
 Keadaan sakit : Tampak sakit ringan
 Kesadaran : Compos mentis
 Suhu : 36,4°C
 Tekanan darah : 130/80 mmHg
 Nadi : 84 x/menit
 Pernafasan
- Frekuensi : 20 x/menit
- Irama : Reguler
- Tipe : Abdominothorakal
 Kulit
- Turgor : Baik
- Lembab/kering : Lembab
- Lapisan lemak : Ada
 Berat Badan : 65 kg
Tinggi Badan : 156 cm
IMT : 26,7 (overweight)
Pemeriksaan Generalisata
1. Kepala Bentuk : Normocephal
Simetri : Simetris
2. Mata Exopthalmus/enopthal: (-)
Kelopak : Normal
Conjungtiva : Anemis (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Kornea : Normal
Pupil : Bulat, isokor, RC (+/+)
Lensa : Keruh (+/+)

6
Gerakan bola mata : Baik
Visus : Kanan : 6/60
Kiri : 1/60
Iris shadow test : Kanan :+
Kiri :+
3. Hidung : Perdarahan (-), deviasi septum (-)
4. Telinga : Sekret (-/-), serumen (-/-)
5. Mulut Bibir : Lembab
Gusi : Warna merah muda, perdarahan (-)
Lidah : Lidah kotor (-), ulkus (-)
Tonsil : T1-T1, hiperemis (-)
6. Leher KGB : Tak ada pembesaran
Kel. tiroid : Tak ada pembesaran
JVP : 5-2 cmH2O
7. Thorax Bentuk : Simetris
Pergerakan dinding dada: Tidak ada yang tertinggal
Pulmo (Paru)
Pemeriksaan Kanan Kiri
Inspeksi Gerakan dinding dada Gerakan dinding dada
simetris, retraksi (-) simetris, retraksi (-)
Palpasi Massa (-), krepitasi (-) Massa (-), krepitasi (-)
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler (+), wheezing (-), Vesikuler (+), wheezing (-),
ronkhi (-) ronkhi (-)

Cor (Jantung)
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi Batas jantung atas: ICS II linea parasternalis sinistra
Batas jantung kanan: ICS IV line parasternalis dextra
Batas jantung kiri: ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)

7
8. Abdomen
Inspeksi Kontur cembung, sikatriks (-)
Palpasi Soepel, nyeri tekan (-), hati, lien dan ginjal tidak teraba,
massa (-), turgor cepat kembali
Perkusi Timpani
Auskultasi Bising usus (+) normal

9. Ekstremitas atas : Edema (-/-), akral hangat, CRT<2 detik, tremor (-)
Ekstremitas bawah: Edema (-/-), akral hangat, CRT<2 detik
10. Neurologi
Ekstremitas atas :
 Sensibilitas dbn
 Kekuatan 5/5
 Refleks fisiologis dbn
 Refleks patologis (-)
Ekstremitas bawah:
 Sensibilitas menurun (+/+)
 Kekuatan 5/5
 Refleks fisiologis dbn
 Refleks patologis (-)

1.10 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan gula darah sewaktu: 356 mg/dL

1.11 Pemeriksaan Penunjang Anjuran

 Pemeriksaan laboratorium
- GDP, GD2PP, HbA1C
- Elektrolit
- Profil lipid: kolesterol total, LDL, HDL, trigliserida
- Fungsi ginjal: ureum, kreatinin
- Fungsi hepar: SGOT, SGPT, protein total
 EKG

8
 Foto toraks
 Pemeriksaan slit lamp
 Funduskopi

1.12 Diagnosis
Diabetes melitus tipe 2 overweight tidak terkontrol + polineuropati diabetik (E11.42)
+ katarak senilis imatur ODS (H25.9)

1.13 Diagnosis Banding


-

1.14 Manajemen
1. Promotif
- Menerangkan pada pasien bahwa penyakit ini tidak dapat sembuh namun dapat
dikontrol dengan cara mengatur diet, olahraga dan rutin mengonsumsi obat
diabetes.
- Menerangkan kepada pasien bahwa pasien harus mengontrol diet sesuai terapi
gizi penderita diabetes melitus. Diet DM yang tepat antara lain:
- Karbohidrat dianjurkan sebesar 45-65% dari kebutuhan kalori, terutama
karbohidrat yang berserat tinggi.
- Pasien tetap rutin makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan
karbohidrat dalam sehari. Dapat pula diberikan makanan selingan seperti
buah sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
- Lemak yang dianjurkan sebesar 20-25% dari kebutuhan kalori. Bahan
makanan berlemak yang perlu dibatasi adalah makanan yang mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain; daging berlemak dan susu penuh
(whole milk).
- Protein dibutuhkan sebesar 10-20% dari kebutuhan kalori. Kandungan
protein yang baik terdapat pada seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa
kulit, susu rendah lemah, kacang-kacangan, tahu dan tempe.
- Garam yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 3000 mg atau setara dengan
1 sendok teh.

9
- Melakukan olahraga ringan tiap harinya seperti berjalan-jalan di sekeliling
daerah rumah agar membantu pembakaran kalori dan lemak berlebih.
- Menjelaskan tanda-tanda hipoglikemi pada pasien.
- Menerangkan kepada pasien perlunya cuci tangan pakai sabun untuk menjaga
kebersihan diri dan menghindari penularan penyakit.
2. Preventif
- Pasien harus selalu mengontrol kesehatannya dengan cara rutin mengunjungi
Puskesmas tiap bulan untuk memeriksaan keadaan klinis dan kadar gula
darahnya.
- Pasien harus mencegah terjadinya luka pada kaki dengan cara menggunakan
sandal lembut jika keluar rumah.
- Cuci tangan pakai sabun untuk menjaga kebersihan diri dan menghindari
penularan penyakit.
3. Kuratif
Non-medikamentosa
 Istirahat
 Diet DM 1300 Kkal
 Olahraga 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150
menit perminggu
 Sarankan operasi ekstraksi katarak dan pemasangan IOL kedua mata
Medikamentosa
 Metformin tablet 3x500 mg
 Glimepirid tablet 1x2 mg sebelum makan
 B complex tablet 3x1
Tradisional
 Daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus)
- Siapkan 15 lembar kumis kucing
- Cuci sampai bersih
- Rebus dengan air rebusan sebanyak 2 gelas
- Tunggu sampai air rebusan tersisa 1 gelas
- Saring air rebusannya
- Minumlah setelah dingin sebanyak 1 kali sehari

10
4. Rehabilitatif
- Memantau penyakit pasien secara rutin. Hal ini dilakukan dengan kerjasama
dari pasien tersebut dengan mengikuti saran dokter untuk datang berobat secara
berkala.
- Menyarankan pasien mengkonsumsi obat secara teratur.
- Jika keluhan dirasakan kembali segera berobat ke pelayanan medis terdekat.

11
RESEP PUSKESMAS RESEP ILMIAH 1
Dinas Kesehatan Kota Jambi Dinas Kesehatan Kota Jambi
Puskesmas Olak Kemang Puskesmas Olak Kemang
Jl. H. Tomok, Olak Kemang, Kota Jambi, Jambi 36265 Jl. H. Tomok, Olak Kemang, Kota Jambi, Jambi
dr. Nabilla Andami Aziz dr. Nabilla Andami Aziz
SIP. 1234567 SIP. 1234567
STR. 987654 STR. 987654

Tanggal: Tanggal:

Pro : Pro :
Umur : Umur :
Alamat : Alamat :

RESEP ILMIAH 2 RESEP ILMIAH 3


Dinas Kesehatan Kota Jambi Dinas Kesehatan Kota Jambi
Puskesmas Olak Kemang Puskesmas Olak Kemang
Jl. H. Tomok, Olak Kemang, Kota Jambi, Jambi 36265 Jl. H. Tomok, Olak Kemang, Kota Jambi, Jambi 36265
dr. Nabilla Andami Aziz dr. Nabilla Andami Aziz
SIP. 1234567 SIP. 1234567
STR. 987654 STR. 987654

Tanggal: Tanggal:

Pro : Pro :
Umur : Umur :
Alamat : Alamat :

12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Pankreas


Pankreas merupakan suatu organ penghasil hormon yang terletak di bagian belakang
rongga perut bagian atas. Terbentang secara horizontal dari usus halus ke organ
limfa.Panjangnya sekitar 10-20 cm dan lebar 2,5 cm. Pankreas berfungsi sebagai organ
endokrin dan eksokrin. Fungsinya sebagai organ endokrin didukung oleh pulau-pulau
Langerhans. Pulau-pulau Langerhans terdiri dari tiga jenis sel yaitu:
1. Sel alfa yang menghasilkan glukagon.
2. Sel beta yang menghasilkan insulin.
3. Sel delta yang menghasilkan somatostatin.
Sedangkan fungsi eksokrin pankreas berguna untuk menghasilkan enzim pencernaan seperti
enzim lipase, pankreatis amilase dan tripsinogen.1-3

2.2 Definisi Diabetes Melitus


Diabetes melitus (DM) adalah kelainan metabolisme karbohidrat akibat defisiensi
insulin secara relatif ataupun absolut sehingga menyebabkan komplikasi seperti
hiperglikemia, dan kerusakan organ lainnya.
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.4-8

2.3 Epidemiologi
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global diabetes
melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada tahun 2000 menjadi 366 juta tahun
2030. Berdasarkan data WHO, Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah
penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah
penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita
diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di
Indonesia menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita
melakukan pemeriksaan secara teratur.1-8

13
2.4 Etiologi dan Klasifikasi
Klasifikasi diabetes melitus menurut ADA 2005 beserta penyebabnya, yaitu:
1. Diabetes melitus tipe 1 (Insulin-Dependent Diabetes Mellitus – IDDM)
Dikenal sebagai tipe “juvenile onset” atau tipe “insulin dependent” karena tanpa
insulin dapat terjadi kematian dalam beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis. Istilah
“juvenile onset” didasarkan pada onset DM tipe 1 dimulai dari usia 4 tahun dan
memuncak pada usia 11-13 tahun, selain itu dapat juga terjadi pada akhir usia 30 atau
menjelang 40. DM ini disebabkan oleh ketidakadaan insulin dalam darah yang terjadi
akibat kerusakan dari sel beta pankreas, sehingga memerlukan terapi insulin seumur
hidup. Gejala yang menonjol adalah sering kencing (terutama malam hari), sering lapar
dan sering haus, sebagian besar penderita terjadi penurunan berat badan.
DM tipe 1 dianggap sebagai penyakit autoimun dan genetik. Pemeriksaan
histopatologi pankreas menunjukkan adanya infiltrasi leukosit dan destruksi sel
Langerhans. Pada 85% pasien ditemukan antibodi sirkulasi yang menyerang glutamic-
acid decarboxylase (GAD) di sel beta pankreas tersebut.4-8
2. Diabetes melitus tipe 2 (Non Insulin-Dependent Diabetes Mellitus – NIDDM)
Lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, pada usia 40 tahun, dapat terjadi
pada kembar monozigot, dan berhubungan dengan obesitas.5 DM tipe 2 tidak memiliki
hubungan dengan aktivitas HLA, virus atau autoimunitas dan biasanya pasien
mempunyai sel beta yang masih berfungsi. DM tipe 2 ini bervariasi mulai dari yang
predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif, sampai yang predominan
gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin.
Pada DM tipe 2 resistensi insulin terjadi pada otot, lemak dan hati serta terdapat
respons yang inadekuat pada sel beta pankreas. Terjadi peningkatan kadar asam lemak
bebas di plasma, penurunan transpor glukosa di otot, peningkatan produksi glukosa hati
dan peningkatan lipolisis. Kegagalan fungsi sel beta bisa disebabkan oleh gaya hidup
yang diabetogenik (asupan kalori yang berlebihan, aktivitas fisik yang rendah,
obesitas).4-8
3. DM gestasional
Yang dimaksud adalah tipe diabetes yang terdiagnosis atau dialami selama masa
kehamilan.
Beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan timbulnya diabetes melitus pada
keadaan seperti berikut:
1. Usia >45 tahun

14
2. Berat badan lebih, IMT >25 kg/m2
3. Hipertensi (TD >140/90 mmHg)
4. Riwayat DM dalam keluarga
5. Riwayat melahirkan bayi >4 kg
6. Riwayat DM pada kehamilan
7. Riwayat TGT atau GDPT
8. Penderita PJK, TBC, hipertiroidisme
9. Kadar lemak abnormal (HDL <35 mg/dl, kolesterol total >250 mg/dL.4-8

2.5 Patogenesis
1) Patogenesis diabetes melitus tipe 1
Terjadinya reaksi autoimun yang dicetuskan oleh infeksi virus pada patogenesis
DM tipe 1 yang menyebabkan terjadinya kerusakan permanen sel beta untuk
menghasilkan insulin. Selain defisiensi insulin, pada penderita DM tipe 1 akan
terjadi kelebihan sekresi glukagon oleh sel alfa pankreas. Hal ini akan
menyebabkan hiperglikemia yang berlangsung pada penderita usia muda.
Penderita DM tipe 1 lebih cepat mengalami ketoasidosis karena sangat bergantung
dari insulin eksternal.7,9
2) Patogenesis diabetes melitus tipe 2
DM tipe 2 adalah hasil dari gabungan resistensi insulin dan sekresi insulin yang
tidak adekuat, hal tersebut menyebabkan resistensi insulin sampai dengan
kerusakan sel β yang tidak berhubungan dengan proses autoimun. Sekitar 80%
pasien DM tipe 2 juga mengalami obesitas. Obesitas dikaitkan dengan terjadinya
resistensi insulin sehingga timbul kegagalan toleransi glukosa pada patogenesis
DM tipe 2. Kerusakan sel β pada DM tipe 2 dapat disebabkan antara lain:4-8
a. Glukotoksisitas
Tingginya kadar gula darah yang berlangsung lama menyebabkan
peningkatan stress oksidatif, IL-1β dan NF-kB mengakibatkan apoptosis sel
β.
b. Lipotoksisitas
Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adiposa akibat
proses lipolisis akan mengalami metabolisme non oksidatif menjadi ceramide
yang toksik terhadap sel β.

15
2.6 Manifestasi Klinis
Gejala khas diabetes melitus yaitu:4-9
1. Haus yang berlebihan (polidipsia): Kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan
tubuh mengirimkan sinyal ke otak dan menimbulkan rangsangan haus. Tubuh
mendorong konsumsi lebih banyak air untuk mengencerkan gula darah agar kembali
ke tingkat normal. Selain itu glukosa darah yang berlebihan akan dibuang melalui urin
yang secara normal ikut menarik air tubuh sehingga tubuh akan kehilangan cairan
berlebihan.
2. Buang air kecil yang berlebihan (poliuria): Glukosa darah yang berlebihan akan
dibuang oleh tubuh melalui urin. Glukosa akan terus menarik air dari proses filtrasi di
ginjal sehingga memicu poliuria.
3. Makan berlebihan (polfagia): Penurunan kadar insulin dan tidak berfungsinya
insulin yang beredar dalam tubuh akan menyebabkan kegagalan transpor glukosa
darah menuju sel. Sehingga sel kekurangan makanan untuk proses metabolisme
tubuh. Sinyal yang timbul pada penderita DM adalah rasa lapar. Tubuh akan
mengkompensasi dengan proses glikolisis dan glukoneogenesis untuk ketersediaan
makanan sel. Namun hal ini cenderung makin meningkatkan glukosa darah.
4. Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Gejala tidak khas lain yang mungkin dikemukakan oleh pasien, yaitu:4-9
1. Cepat lelah
2. Kesemutan
3. Gatal
4. Penglihatan kabur
5. Mudah mengantuk
6. Luka sulit sembuh
7. Disfungsi ereksi pada pria
8. Pruritus vulva pada wanita

2.7 Diagnosis
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam
menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara
pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Walaupun
demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood),

16
vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda
sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa
darah kapiler.
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik
DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala atau tanda DM, sedangkan
pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, namun
memiliki risiko DM. Nantinya, uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang
hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif.4-8
1) Uji diagnostik DM
PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian berdasarkan ada
tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM antara lain poliuria, polidipsia,
polifagia, dan penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas. Sedangkan gejala
tidak khas DM di antaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata
kabur, disfungsi ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita).1
Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu
kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak
ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah
abnormal. Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui cara berikut:1,6-8
a) Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)
b) Atau
Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L)
c) Glukosa plasma 2 jam pada TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral) ≥200
mg/dL (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang
setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

17
Alur penegakkan diagnosis DM
Keluhan klinis
diabetes

Keluhan khas (+) Keluhan khas (-)

GDP >126 <126 GDP >126 110-125 <100


GDS >200 <200 GDS >200 110-199

Ulang GDS/ GDP

GDP TTGO
>126 <126
GDS GD 2 jam
>200 <200

>200 140-199 <140

Diabetes Melitus TGT GDPT Normal

- Evaluasi status gizi - Nasihat umum


- Evaluasi penyulit DM - Perencanaan makan
- Evaluasi dan perencanaan - Latihan jasmani
makan sesuai kebutuhan - Berat ideal
- Belum perlu obat
penurun glukosa

18
2) Pemeriksaan penyaring DM
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada semua individu dewasa dengan Indeks
Massa Tubuh (IMT) ≥25 kg/m2 yang tidak memiliki gejala klinis DM namun
memiliki faktor risiko DM, yaitu:4-8
a) Kurangnya aktivitas fisik
b) Riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama (first degree
relative)
c) Termasuk kelompok etnik risiko tinggi (African American, Latino, Native
American, Asian American, Pasific Islander)
d) Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat ≥4000 gram atau
riwayat Diabetes Melitus Gestasional (DMG)
e) Hipertensi (tekanan darah ≥140/90 mmHg atau sedang dalam terapi obat
anti hipertensi)
f) Kolesterol HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida ≥250 mg/dL
g) Wanita dengan sindrom polikistik ovarium
h) Riwayat Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Glukosa Darah Puasa
Terganggu (GDPT)
i) Keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin seperti obesitas
j) Riwayat penyakit kardiovaskular
Penapisan DM dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah puasa atau
sewaktu atau TTGO. Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan
penyaringnya negatif, maka pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun.
Bagi mereka yang berusia >40 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaring
dapat dilakukan setiap 3 tahun atau lebih cepat tergantung dari klinis masing-
masing pasien. Pemeriksaan penyaringan dapat dilakukan melalui pemeriksaan
kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat
diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO).
Cara penatalaksanaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO):1
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup).
Tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.
2. Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum
air putih diperbolehkan.
3. Diperiksa kadar glukosa darah puasa.

19
4. Diberikan 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit.
5. Diperiksa kadar gula darah 2 jam sesudah beban glukosa.
6. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.
Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan glukosa (TTGO)
dibagi menjadi 3 yaitu:1
- Normal : <140 mg/dL
- Toleransi Glukosa Terganggu : 140 - <200 mg/dL
- Diabetes : ≥200 mg/dL
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi
glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga
dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT
merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3
kelompok TGT akan berkembang menjadi DM. Adanya TGT sering berkaitan
dengan resistensi insulin.
3) Pemeriksaan keberhasilan terapi DM
Selain tes untuk penegakan diagnosis diabetes melitus, terdapat pula tes
untuk mengontrol glukosa pada pasien yang telah menjalani pengobatan diabetes
melitus, yaitu pengukuran glikat hemoglobin (HbA1c). HbA1c adalah pengukuran
molekul glukosa yang menempel pada hemoglobin. Kadar HbA1c akan meningkat
pada pasien dengan hiperglikemia kronik dan bertahan selama 8 – 12 minggu.
Kadar HbA1c pada Diabetes:4
- Nilai normal : 3,5-5,5 %
- Kontrol glukosa baik : 5,5-6,0 %
- Kontrol glukosa sedang : 7,0-8,0 %
- Kontrol glukosa buruk : >8,0 %

2.8 Tatalaksana
Dalam mengelola diabetes melitus untuk jangka pendek tujuannya adalah
menghilangkan gejala DM tersebut dan mempertahankan rasa nyaman dan sehat. Sedangkan
untuk jangka panjang, tujuannya yaitu mencegah komplikasi akut dan kronik, serta
menurunkan morbiditas dan mortalitas DM.

20
Modalitas penatalaksanaan diabetes melitus sendiri terdiri atas terapi non-farmakologis
yang meliputi perubahan gaya hidup dengan pengaturan pola makan yang dikenal sebagai
terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang
berkaitan dengan penyakit diabetes secara terus menerus. Modalitas lainnya adalah terapi
farmakologis, yang meliputi pemberian obat antidiabetik oral dan injeksi insulin. Terapi
farmakologis ini pada prinsipnya diberikan jika penerapan terapi non-farmakologis yang
diberikan tidak dapat mengendalikan kadar gula darah sebagaimana yang diharapkan.4-10
1. Terapi non-farmakologis pada diabetes melitus
a. Edukasi
Diabetes tipe 2 biasa terjadi pada usia dewasa. Pengelolaan mandiri
diabetes secara optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam merubah
perilaku yang tidak sehat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam
perubahan perilaku tersebut, yang berlangsung seumur hidup. Keberhasilan dalam
mencapai perubahan perilaku, membutuhkan edukasi, pengembangan
keterampilan (skill), dan motivasi yang berkenaan dengan pola makan sehat,
kegiatan jasmani rutin, pemantauan rutin glukosa darah dan mencegah terjadinya
luka.4-11
b. Terapi gizi medis
Terapi gizi medis pada pasien diabetes pada prinsipnya adalah melakukan
pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi penderita diabetes
(diabetisi) dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual. Hal
ini dimaksudkan untuk mengatur jumlah kalori dan karbohidrat yang dikonsumsi
pasien tiap harinya dan mencapai serta mempertahankan kadar glukosa darah
tetap normal.11
Tabel 2.1 Komposisi makanan yang dianjurkan pada penderita diabetes melitus
Karbohidrat
 Karbohidrat dianjurkan sebesar 45-65% dari total kalori per hari
 Jumlah serat 25-50 gram per hari
 Jumlah sukrosa sebagai sumber energi tidak perlu dibatasi, namun
jangan sampai lebih dari total kalori per hari
 Sebagai pemanis dapat digunakan pemanis non kalori, seperti sakarin,
aspartame, acesulfam, dan sukralosa.
Protein
 Kebutuhan yang diperlukan 10-20 % dari total kalori per hari
 Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol asupan protein

21
tidak akan mempengaruhi konsentrasi glukosa darah.
 Pada keadaan kadar glukosa darah tidak terkontrol, pemberian
protein sekitar 0.8-1.0 mg/kg berat badan/hari
 Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein
nabati lebih dianjurkan dari protein hewani.
Lemak
 Dibutuhkan sebesar 20-25% dari kebutuhan kalori
 Batasi konsumsi asam lemak jenuh dalam daging berlemak atau
sususekitar 10% dari kebutuhan kalori per hari.
 Konsumsi kolesterol <200 mg perhari

c. Latihan jasmani
Diabetes merupakan penyakit yang akan berlangsung seumur hidup.
Latihan jasmani selain dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, juga akan memperbaiki kendali gula darah. Dianjurkan
olahraga teratur, 3-4 kali tiap minggu selama setengah jam yang sifatnya sesuai
CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance training).
Latihan yang dianjurkan adalah yang bersifat aerobic, misalnya berjalan kaki,
sepeda santai, jogging, dan berenang.11
2. Terapi farmakologis pada diabetes melitus
Terapi farmakologis pada pasien DM dapat berupa OHO (obat hipoglikemik
oral) maupun insulin. Diabetes tipe 1 hanya bisa diobati dengan terapi insulin tetapi
DM tipe 2 dapat diobati dengan obat oral terlebih dahulu. Jika pengendalian berat
badan dan berolahraga tidak berhasil maka dokter kemudian memberikan obat yang
dapat diminum (oral) atau menggunakan insulin sesuai dengan kondisi pasien.
Berikut ini pembagian terapi farmakologi untuk diabetes:9-13
1) OHO (Obat Hipoglikemik Oral)
1. Golongan sekretagok insulin (pemicu sekresi insulin)
a) Sulfonilurea
Obat golongan ini memiliki efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan
berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien
dengan berat badan lebih.
Golongan sulfonilurea (SU) seringkali dapat menurunkan kadar gula
darah secara adekuat pada penderita diabetes tipe II, tetapi tidak efektif pada
diabetes tipe 1. SU terdiri dari 3 generasi, yaitu generasi pertama adalah

22
acetohexamide, tolbutamide dan chlorpropamide. SU generasi kedua adalah
glibenclamide, glipizide dan gliclazide, sedangkan SU generasi ketiga adalah
glimepiride.
Dosis permulaan SU tergantung dari beratnya hiperglikemia. Bila
konsentrasi glukosa darah puasa <200 mg/dL, pemberian SU dimulai dengan
dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2 minggu sampai tercapai
GDP 90-130 mg/dL. Bila GDP >200 mg/dL dapat diberikan dosis awal yang
lebih besar. Obat sebaiknya diberikan setengah jam sebelum makan karena
diserap lebih baik. Pada obat yang diberikan sehari sekali, sebaiknya
diberikan pada waktu makan pagi atau pada makan makanan porsi terbesar.
SU juga dapat dikombinasikan dengan terapi insulin dan efeknya lebih baik
daripada terapi tunggal insulin. Efek samping SU adalah hipoglikemia.
b) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan meningkatkan sekresi insulin pada fase pertama. Perbedaannya
adalah masa kerja glinid yang lebih pendek, sehingga baik digunakan sebagai
obat prandial. Golongan ini terdiri dari dua macam obat yaitu repaglinid
(derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini
diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara
cepat melalui hati. Pemberiannya dua sampai tiga kali sehari dan efek
kerjanya singkat sehingga tidak kuat menurunkan HbA1c.
2. Golongan insulin sensitizing (penambah sensitivitas insulin)
a) Biguanid
Golongan biguanid yang saat ini banyak dipakai adalah metformin.
Konsentrasi metformin tinggi di dalam usus dan hati serta tidak
dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal sehingga
diberikan dua sampai tiga kali sehari. Metformin akan mencapai kadar
tertinggi dalam darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan
utuh dengan waktu paruh 2-5 jam. Efek metformin adalah menurunkan berat
badan akibat penekanan nafsu makan dan menurunkan hiperinsulinemia
akibat resistensi insulin, sehingga tidak dianggap sebagai obat hipoglikemia
tetapi obat antihiperglikemia.

23
b) Glitazone
Glitazone merupakan agonist peroxisome proliferator-activated receptor
gamma yang sangat selektif dan poten. Reseptor tersebut terdapat pada
jaringan target kerja insulin seperti jaringan lemak, otot skelet dan hati.
Glitazone tidak merangsang sekresi insulin oleh sel beta pankreas namun
dapat menurunkan konsentrasi insulin. Contoh dari golongan glitazone
adalah Rosiglitazone dan Pioglitazone yang saat ini dapat digunakan sebagai
monoterapi dan juga sebagai terapi kombinasi dengan metformin dan SU.
3. Penghambat glukosidase alfa (acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi gula di usus halus, sehingga
memiliki efek menurunkan kadar gula darah sesudah makan. Acarbose tidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan adalah kembung dan flatulens. Acarbose ini dapat diberikan bersama
makan saat suapan pertama.

Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian OHO adalah:


1. Terapi dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan secara
bertahap.
2. Harus diketahui betul lama kerja dan efek samping obat tersebut.
3. Bila diberikan bersama obat lain, pikirkan adanya interaksi obat.
4. Pada kegagalan sekunder terhadap OHO, usahakan menggunakan obat oral
golongan lain, bila gagal, baru beralih ke insulin.
5. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.

24
Tabel 2.2 Obat hipoglikemik oral (OHO)

25
2) Insulin
Secara keseluruhan 20-25% pasien dengan DM tipe 2 akan memerlukan
insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Terapi insulin diberikan
pada pasien DM tipe 2 yang glukosa darahnya tidak terkendali walaupun telah
diberikan obat hipoglikemia oral (OHO). Indikasi terapi dengan insulin, yaitu:
- Semua pasien dengan DM tipe 1 memerlukan insulin eksogen karena
produksi insulin oleh sel beta tidak ada atau hampir tidak ada.
- Pada pasien DM tipe 2 akan membutuhkan insulin apabila terapi jenis lain
seperti kombinasi OHO tidak dapat mencapai target pengendalian glukosa
darah, terjadi komplikasi seperti infeksi sekunder, tindakan bedah, IMA
ataupun stroke.
- DM gestasional yang tak terkendali dengan perencanaan diet makanan.
- Ketoasidosis diabetik.

26
- Pengobatan sindrom hiperglikemi hiperosmolar non-ketotik.
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.
- Kontraindikasi atau alergi terhadap OHO.
Beberapa jenis sediaan insulin dan cara kerjanya sebagai berikut:
a. Insulin kerja cepat (rapid acting)
Insulin lispro, aspart, dan glulisin merupakan insulin kerja cepat. Lama
kerja dapat berlangsung segera dan mencapai puncaknya setelah 30-90
menit pasca penyuntikan dan bertahan selama 3-5 jam, contohnya pada
insulin lispro.
b. Insulin kerja pendek (short acting)
Biasanya dipergunakan untuk mengatasi keadaan akut seperti
ketoasidosis, penderita baru dan tindakan bedah dan mengontrol
hiperglikemia postprandial. Insulin jenis ini kadang-kadang juga
digunakan sebagai pengobatan bolus (15-20 menit) sebelum makan. Lama
kerja dapat mencapai 5-8 jam dengan awitan kerja 30-60 menit dan
puncak kerja 2-4 jam.
c. Insulin kerja menengah (intermediate acting)
Sediaan insulin kerja menengah yang saat ini tersedia:
- Isophane atau insulin NPH (Neutral Protamine Hagedorn)
- Insulin crystalline zinc-acetate (insulin lente)
NPH mengandung protamin dan sejumlah zink, yang keduanya kadang-
kadang memiliki pengaruh sebagai penyebab reaksi imunologi, seperti
urtikaria pada lokasi suntikan. Lama kerja dapat mencapai 12-24 jam
pasca penyuntikan, dengan awitan kerja 2-4 jam dan puncak kerja 4-12
jam.
d. Insulin kerja panjang (long acting)
Mempunyai masa kerja lebih dari 24 jam, sehingga dapat digunakan
dalam regimen basal-bolus. Insulin basal seperti glargline dan detemir
dapat memenuhi kebutuhan basal insulin lebih dari 24 jam tanpa adanya
efek puncak. Insulin ini memiliki kadar zink yang tinggi untuk
memperpanjang waktu kerjanya.
e. Insulin kerja campuran
Terdiri dari kombinasi insulin kerja cepat dan menengah atau kerja
pendek dan menengah. Sediaan yang ada di Indonesia adalah kombinasi

27
yang terdiri dari 30% insulin kerja cepat atau pendek, dan 70% insulin
kerja menengah.
Penilaian hasil terapi:
1. Pemeriksaan glukosa darah
2. Pemeriksaan HbA1C
3. Pemeriksaan glukosa darah mandiri
4. Pemeriksaan glukosa urin
5. Penentuan benda keton pengendalian urin
Tabel 2.3 Kriteria pengendalian DM
Indikator Baik Sedang Buruk
GD puasa 80-109 110-125 ≥ 126
GD 2 jam PP 80-144 145-179 ≥180
A1C <6,5 6,5-8 >8
Kolesterol total <200 200-239 ≥240
Kolesterol LDL <100 100-129 ≥130
Kolesterol HDL >45
Trigliserida <150 150-199 ≥200
IMT 18,5-22,9 23-25 >25
Tekanan darah <130/80 130-140/80-90 >140/90

2.9 Komplikasi
1. Komplikasi Akut
a. Hipoglikemi
Hipoglikemia adalah suatu keadaan di manakadar gula darah (glukosa) di
bawah nilai normal (<70-110 mg/dL). Kadar gula darah yang rendah menyebabkan
berbagai sistem organ tubuh mengalami kelainan fungsi.
Penyebab tersering hipoglikemia pada pasien DM yaitu akibat OHO
golongan sulfonilurea, hipoglikemia ini dapat berlangsung lama sehingga harus
diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Waktu
pengawasannya bisa berlangsung 24-72 jam, terutama pada pasien dengan gagal
ginjal kronis.

28
Gejala hipoglikemia dapat terdiri dari gejala adrenergik seperti berdebar,
banyak keringat, gemetar, rasa lapar dan gejala neurologik seperti pusing, gelisah,
penurunan kesadaran hingga koma.
Tatalaksana hipoglikemia yang paling tepat adalah pencegahan. Namun
Apabila hipoglikemia telah terjadi, maka pengobatan harus segera dilakukan
terutama untuk mencegah terjadinya gangguan terhadap otak yang paling sensitif
terhadap penurunan glukosa darah. Penatalaksanaan hipoglikemia dibedakan atas
stadium permulaan dan stadium lanjut, sebagai berikut:
a. Stadium permulaan (pasien sadar)
- Pada stadium permulaan, pasien masih dalam keadaan sadar sehingga
penatalaksanaan terbaik adalah pemberian gula murni +30 gram (2 sendok
makan) atau sirup, permen, makanan yang mengandung karbohidrat
lainnya.
- Stop obat hipoglikemi, periksa GDS dan lakukan pengkajian ulang setiap
4 jam selama 24 jam.
b. Stadium lanjut (koma hipoglikemi)
- Penanganan keadaan gawat darurat ini harus cepat dan tepat.
- Berikan larutan glukosa 40% sebanyak 2 flakson, intravena setiap 10-20
menit hingga pasien sadar disertai pemberian cairan dextrose 10% 6
jam/kolf untuk mempertahankan glukosa darah dalam nilai normal atau di
atas normal.
- Bila belum teratasi dapat diberikan insulin antagonis seperti adrenalin,
kortison dosis tinggi atau glukagon 1 mg intravena, tetapi sebaiknya
penggunaan adrenalin perlu dibatasi mengingat efek sampingnya.4,12
b. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
KAD adalah suatu keadaan di mana terdapat defisiensi insulin absolut atau
relatif dan peningkatan hormon kontraregulator (glukagon, katekolamin, kortisol,
dan growth hormone) ditandai dengan trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis.
Keadaan tersebut menyebabkan keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa
hati meningkat dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir
hiperglikemia. Hasil sampingan dari produksi glukosa hati tersebut adalah
peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton
(asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton). Akumulasi produksi benda keton oleh sel
hati dapat menyebabkan metabolik asidosis. Benda keton utama adalah asam

29
asetoasetat (AcAc) dan 3 beta hidroksi butirat (3HB); dalam keadaan normal kadar
3HB meliputi 75-85% dan aseton darah merupakan benda keton yang tidak begitu
penting.
Keadaan lain adalah timbulnya glukosuria dan ketonuria yang dapat
menimbulkan diuresis osmotik sehingga terjadi dehidrasi dan kehilangan elektrolit.
Pasien dapat mengalami hipotensi dan syok bahkan penurunan kesadaran. Parameter
pemeriksaan pada kasus KAD sebagai berikut:4,12
 Kadar glukosa >250 mg%
 pH <7,35
 HCO3 rendah (<15 mEq/l)
 Anion gap yang tinggi
 Keton serum positif

Gambar 2.1 Patofisiologi ketoasidosis diabetikum


c. Hiperosmolar Hiperglikemik Non-Ketosis (HHNK)
Merupakan komplikasi akut/emergensi diabetes melitus yang ditandai
dengan dengan hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. HHNK
dimulai dengan adanya diuresis glukosurik. Glukosuria menyebabkan kegagalan
ginjal untuk mengkonsentrasikan urin sehingga akan terjadi kehilangan air yang
menimbulkan dehidrasi pada pasien tersebut. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi
mengeliminasi glukosa di atas ambang batas tertentu. Hilangnya air yang lebih
banyak dibandingkan natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar. Insulin yang ada
tidak cukup untuk menurunkan kadar glukosa darah, terutama jika terjadi resistensi
insulin.

30
Tidak tercukupinya kebutuhan insulin menyebabkan timbulnya
hiperglikemia. Penurunan pemakaian glukosa oleh jaringan perifer termasuk oleh sel
otot dan lemak, ketidakmampuan menyimpan glukosa sebagai glikogen pada otot
dan hati, serta stimulus glukagon pada sel hati untuk glukogenesis mengakibatkan
semakin naiknya kadar glukosa darah. Pada keadaan di mana insulin tidak
mencukupi, maka besarnya kenaikan kadar glukosa darah juga tergantung dari status
hidrasi dan masukan karbohidrat oral.
Hiperglikemia mengakibatkan timbulnya diuresis osmotik, dan
mengakibatkan menurunnya cairan tubuh total. Dalam ruang vaskular, di mana
glukoneogenesis dan masukan makanan terus menambah glukosa, kehilangan cairan
akan semakin mengakibatkan hiperglikemia dan hilangnya volume sirkulasi.
Hiperglikemia dan peningkatan konsentrasi protein plasma yang mengikuti
kehilangan cairan intravaskular menyebabkan keadaan hiperosmolar yang memicu
sekresi hormon antidiuretik serta menimbulkan rasa haus. Jika hilangnya cairan ini
tidak dikompensasi, maka akan timbul dehidrasi dan kemudian hipovolemia yang
nantinya dapat mengakibatkan terjadinya hipotensi serta gangguan perfusi jaringan.
Keadaan koma merupakan stadium akhir proses hiperglikemia ini, di mana telah
timbul gangguan elektrolit berat dalam kaitannya dengan hipotensi.
Gejala klinis utamanya adalah hiperglikemia berat serta seringkali disertai
dengan gangguan neurologis dengan atau tanpa ketosis. Perjalanan klinis penyakit
ini berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai beberapa
minggu), dengan gejala khas seperti poliuria, polidipsia sehingga meningkatkan rasa
haus, dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan pada 10% kasus.
Diagnosis HHNK menurut American Diabetes Association (ADA) sebagai berikut:
1) Glukosa plasma 600 mg/dL atau lebih
2) Osmolalitas serum 320 mOsm/kg atau lebih
3) Dehidrasi berat (biasanya 8-12 L) dengan peningkatan BUN
4) Ketonuria minimal, tidak ada ketonemia
5) Bikarbonat >15 mEq/L
6) Perubahan kesadaran.
Karakteristik pasien HHNK adalah berusia lanjut, yang belum diketahui
mengalami DM, dan pasien DM tipe 2 yang mendapat pengaturan diet dan atau
OHO. Keluhan pasien adalah rasa lemah, gangguan penglihatan atau kaki kejang.
Ditemukan keluhan lain seperti mual dan muntah, namun lebih jarang dibandingkan

31
KAD. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti turgor
yang buruk, mukosa kering, mata cekung, ekstremitas dingin dan denyut nadi cepat
dan lemah.4,12
2. Kronis
a. Makroangiopati
1) Penyakit arteri koroner
Salaha satu gambaran histopatologi berupa aterosklerotik dalam pembuluh
darah arteri koroner. Keadaan ini meningkatkan insiden infark miokard pada
penderita diabetes. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa penyakit arteri
koroner menyebabkan 50% hingga 60% dari semua kematian pada pasien-
pasien diabetes.
2) Penyakit serebrovaskuler
Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah serebral atau pembentukan
emboli di tempat lain dalam sistem pembuluh darah yang kemudian terbawa
aliran darah sehingga terjepit dalam pembuluh darah serebral dapat
menimbulkan serangan iskemia sepintas dan stroke.
3) Penyakit vaskuler perifer
Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah besar pada ekstremitas bawah
merupakan penyebab meningkatnya insiden penyakit osklusif arteri perifer pada
pasien diabetes. Bentuk penyakit oklusif arteri yang parah pada ekstremitas
bawah ini merupakan penyebab utama meningkatnya insiden gangren dan
amputasi pada pasien-pasien diabetes.
Timbulnya arterosklerotik pada pembuluh darah pasien DM disebabkan akibat
insufisiensi insulin sehingga memicu penimbunan sorbitol dalam tunika intima
vaskular, hiperlipoproteinemia dan kelainan pembekuan darah yang menjadi
dasar pembentukan arterosklerotik.4,12
b. Mikroangiopati
1) Retinopati diabetik
Kelainan patologis mata yang disebut retinopati diabetik disebabkan oleh
perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil pada retina mata. Ada tiga
stadium utama retinopati: retinopati nonproliferatif (background retinopathy),
praproliferatif dan retinopati proliferatif. Sebagian besar pasien diabetes
mengalami retinopati nonproliferatif dengan derajat tertentu dalam waktu 5
hingga 15 tahun setelah diagnosis diabetes ditegakkan.4,12

32
2) Nefropati
Komplikasi DM berupa kerusakan nefron-nefron ginjal sehingga terjadi
kegagalan fungsi ginjal. Manifestasi dini nefropati berupa proteinuria dan
hipertensi. Jika hilangnya fungsi nefron terus berlanjut, pasien akan mengalami
insufisiensi ginjal dan uremia. Pada tahap ini, pasien memerlukan dialisis
ataupun transplantasi ginjal untuk mengatasi komplikasi ini.4,12
3) Neuropati diabetes
Neuropati dalam diabetes mengacu kepada sekelompok penyakit yang
menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom dan
spinal. Keadaan ini disebabkan penimbunan sorbitol dan fruktosa serta
penurunan mioinositol pada jaringan saraf. Hal ini menyebabkan gangguan pada
kegiatan metabolik sel-sel Schwann dan hilangnya akson. Kecepatan konduksi
motorik akan berkurang pada tahap dini neuropati. Dilanjutkan dengan
timbulnya nyeri, parestesia, berkurangnya sensasi getar dan propioseptik,
hilangnya refleks tendo dalam, kelemahan otot dan atrofi. Terserangnya saraf
otonom akan mengakibatkan diare nokturnal, keterlambatan pengosongan
lambung dengan gastroparesis, hipotensi postural dan impotensi. Pada pasien
neuropati otonom diabetik yang juga menderita infark miokard akut tidak akan
merasakan nyeri dada. Pasien juga dapat kehilangan respons katekolamin
terhadap keadaan hipoglikemia sehingga tidak akan menyadari reaksi-reaksi
hipoglikemia yang terjadi.4,12

2.10 Prognosis
Meskipun diabetes melitus adalah kondisi kronis progresif yang belum bisa
disembuhkan, kondisi tersebut dapat secara efektif dikelola dengan teratur melakukan
pendidikan kepada pasien, dan memberikan perawatan medis yang sesuai.4

2.11 Katarak Diabetik


Dalam bidang oftalmologi, komplikasi yang terpenting dari diabetes melitus adalah
retinopati diabetik dan peningkatan progresifitas katarak yang telah terjadi. Diabetes melitus
dapat mempengaruhi kejernihan lensa, indeks refraksi dan amplitudo akomodatifnya. Dengan
peningkatan kadar gula darah, juga diikuti dengan kadar glukosa pada aqueous humor.
Karena kadar glukosa darah yang meningkat pada aqueous humor dan glukosa masuk ke
dalam lensa melalui difusi, kadar glukosa dalam lensa akan meningkat. Beberapa molekul

33
glukosa akan diubah menjadi sorbitol oleh enzim aldose reduktase yang tidak dimetabolisme
namun menetap di dalam lensa. Bersama dengan itu, tekanan osmotik akan menyebabkan
influks dari air ke dalam lensa yang menyebabkan pembengkakan dari serat-serat lensa.
Keadaan hidrasi lentikular dapat mempengaruhi kemampuan/kekuatan refraksi lensa. Pasien
dengan diabetes dapat menunjukkan perubahan kekuatan refraksi berdasarkan perubahan
pada kadar glukosa darah yang dialami.13
Glikosilasi dari protein lensa terlibat dalam proses pembentukan katarak. Glikosilasi
dari protein lensa, di mana glukosa atau gula-gula terreduksi lainnya bereaksi dengan grup e-
amino dari residu lisin atau amino terminal dari protein yang mengakibatkan pembentukan
basa schiff. Basa schiff ini akan mengalami perombakan secara Amadori melalui reaksi
Maillard yang akan menghasilkan ketoamin yang lebih stabil dari produk Amadori (produk
glikosilasi awal). Pada tahap akhir, produk Amadori mengalami dehidrasi dan perombakan
kembali untuk membentuk lintas silang antara protein terkait, menghasilkan agregat protein
atau Advanced Glycocylated End Products (AGEs).14
Sekalipun katarak diabetik sejati jarang sekali ditemukan pada praktek klinis saat ini,
segala macam bentuk maturitas progresif dari katarak bilateral kortikal pada anak atau
dewasa muda harus mengingatkan para dokter akan kemungkinan diabetes melitus. Resiko
tinggi pada katarak terkait usia pada pasien dengan diabetes dapat merupakan akibat dari
akumulasi sorbitol dalam lensa, perubahan hidrasi lensa, dan peningkatan glikosilasi protein
pada lensa diabetik.14
Operasi katarak dengan diabetes bukanlah suatu kontraindikasi jika terdapat retinopati
diabetik non-proliferatif. Didasarkan dari penelitian-penelitian yang ada, didapatkan bahwa
teknik fakoemulsifikasi memberikan hasil yang lebih baik dengan komplikasi post operasi
yang lebih kecil. Pada adanya retinopati diabetik lanjut, pasien perlu dijelaskan akan
kemungkinan hasil postoperasi yang tidak optimal.14

34
BAB III

ANALISIS KASUS

3.1 Hubungan diagnosis dengan keadaan rumah dan lingkungan sekitar:

Rumah pasien merupakan rumah panggung, lantai kayu, dinding kayu, atap seng.
Rumah terdiri dari satu ruang tamu, satu ruang keluarga, dua kamar tidur, satu dapur dan satu
kamar mandi. Sumber air bersih berasal dari PDAM dan sumber penerangan berasal dari
PLN. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara penyakit yang diderita pasien
dengan keadaan rumah dan lingkungan sekitar.

3.2 Hubungan diagnosis dengan keadaan keluarga dan hubungan dalam keluarga:

Di dalam keluarga, tidak ada masalah dalam keluarga dan keharmonisan dalam
keluarga baik, namun bibi kandung pasien juga memiliki penyakit DM. Secara teori faktor
herediter merupakan salah satu faktor risiko pada penyakit ini. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan antara diagnosis dengan hubungan dalam keluarga.

3.3 Hubungan diagnosis dengan perilaku kesehatan dalam keluarga dan lingkungan
sekitar:

Pasien cenderung belum bisa mengontrol diet kesehariannya. Pasien dan keluarga
masih sering mengonsumsi makanan selingan yang berat. Pasien dan keluarga juga jarang
berolahraga. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara diagnosis dengan
perilaku kesehatan dalam keluarga dan lingkungan sekitar.

3.4 Analisis kemungkinan berbagai faktor risiko atau etiologi penyakit pada pasien ini:

 Faktor herediter yang didapat dari bibi kandung pasien


 Berat badan pasien berlebih (overweight)
 Pasien sulit mengatur diet
 Pasien jarang berolahraga

35
3.5 Analisis untuk mengurangi paparan atau memutus rantai penularan:

 Turunkan berat badan hingga mencapai berat badan yang normal


 Mengatur diet
 Berolahraga

3.6 Edukasi yang diberikan pada pasien atau keluarga:

 Menerangkan kepada pasien bahwa penyakit ini tidak dapat sembuh namun dapat
dikontrol dengan cara mengatur diet, olahraga dan rutin mengonsumsi obat diabetes.
 Pasien harus mengontrol diet sesuai terapi gizi penderita diabetes melitus. Diet DM
yang tepat antara lain:
- Karbohidrat dianjurkan sebesar 45-65% dari kebutuhan kalori, terutama
karbohidrat yang berserat tinggi.
- Pasien tetap rutin makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan
karbohidrat dalam sehari. Dapat pula diberikan makanan selingan seperti buah
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
- Lemak yang dianjurkan sebesar 20-25% dari kebutuhan kalori. Bahan
makanan berlemak yang perlu dibatasi adalah makanan yang mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh
(whole milk).
- Protein dibutuhkan sebesar 10-20% dari kebutuhan kalori. Kandungan protein
yang baik terdapat pada seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, susu
rendah lemah, kacang-kacangan, tahu dan tempe.
- Garam yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 3000 mg atau setara dengan 1
sendok teh.
 Melakukan olahraga ringan tiap harinya seperti berjalan-jalan di sekeliling daerah
rumah agar membantu pembakaran kalori dan lemak berlebih.
 Menjelaskan tanda-tanda hipoglikemi pada pasien.
 Menerangkan kepada pasien perlunya cuci tangan pakai sabun untuk menjaga
kebersihan diri dan menghindari penularan penyakit.
 Menjelaskan kepada pasien untuk rutin kontrol ke Puskesmas.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, Arthur C dan John E. Hall. Bukuajarfisiologikedokteran, edisi 11. Jakarta: EGC;
2008.
2. Sherwood, Luralee. Fisiologimanusiadariselke system. Jakarta: EGC; 2001.
3. Snell, Richard S. Neuroanatomi klinik edisi 5. EGC, Jakarta; 2006.
4. Fischer C, Faselis CJ. USMLE step 2 CK lecture notes internal medicine. New York:
Kaplan Medicine; 2006.
5. Soegondo S. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
indonesia. Jakarta: Perkeni; 2011.
6. Gustaviani, R. Diagnosis danklasifikasi diabetes melitus.Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, editors. Buku ajar ilmupenyakitdalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta :
DepartemenIlmuPenyakitDalam FK UI; 2007.
7. Soegondo, S. Diagnosis danklasifikasi diabetes mellitus terkinidalampenatalaksanaan
diabetes mellitus terpadu, cetakan ke-7. Jakarta: BalaiPenerbit FKUI; 2009.
8. PerkumpulanEndokrinologi Indonesia. Terapi insulin padapasien diabetes melitus.
Jakarta: Perkeni; 2007.
9. Soegondo, S. Farmakoterapipadapengendalianglikemia diabetes mellitus tipe 2. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, editors. Buku ajar ilmupenyakitdalam. Jilid II. Edisi
IV. Jakarta : DepartemenIlmuPenyakitDalam FK UI;2007.
10. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensuspengelolaandanpencegahan diabetes
mellitus tipe-2 di Indonesia. Jakarta: Perkeni; 2011.
11. Fowler MJ. 2011. The diabetes treatment trap: hypoglycemia, Vol 29 No. 1. ADA; 2011.
12. Setyohadi, B. Arsana PM, Suroto, AY. dkk. EIMED PAPDI
Kegawatdaruratanpenyakitdalam. Jakarta: PerhimpunanDokterSpesialisPenyakitDalam
Indonesia; 2012.
13. Rosenfeld S, Blecher MH. Pathology; Cataracts, Metabolic Cataracts. In: Rosenfeld S,
editors. Lens & Cataract. 2006-2007. San Fransisco; American Assosciation of
Ophtalmology; 2006; 45-61
14. Jansirani, Anathanaryanan PH. A Comparative Study of Lens Protein Glycation in
Various Forms of Cataract. Indian Journal of Clinical Biochemistry;2004; 19 (1): 110-2.

37

Вам также может понравиться