Вы находитесь на странице: 1из 21

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1. DIABETES MELITUS

2.1.1 Definisi

Diabetes mellitus dalam bahasa Indonesia adalah sirkulasi darah madu.


Kata sirkulasi darah madu digunakan karena pasien diabetes mellitus mengalami
peningkatan kadar gula darah, termanifestasi juga dalam air seni. Ginjal tidak
dapat lagi menahan kadar gula darah yang tinggi. Istilah diabetes mellitus berasal
dari bahasa Yunani. Diabetes artinya mengalir terus, dan mellitus berarti madu
atau manis. Istilah menunjukkan tentang keadaan tubuh penderita, yaitu adanya
cairan manis yang mengalir terus (Mahendra et al, 2008).

Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan kadar
glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia), berlangsung terus-menerus, disertai
dengan berbagai kelainan dalam proses metabolisme tubuh akibat gangguan
hormonal (kekurangan hormon insulin) baik secara absolute maupun relatif
(Rusilanti, 2008). Menurut Misnadiarly (2006) diabetes mellitus atau penyakit
kencing manis merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai dengan kadar
glukosa darah melebihi nilai normal yaitu kadar gula darah sewaktu sama atau
lebih dari 200 mg/dl, dan kadar gula darah puasa di atas atau sama dengan 126
mg/dl. Keadaan ini juga bisa menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata,
ginjal, saraf dan pembuluh darah.

Insulin merupakan salah satu hormon di dalam tubuh manusia yang


dihasilkan oleh sel beta pulau Langerhans yang berada di kelenjar pankreas.
Kelenjar pankreas terletak di dalam rongga perut bagian atas, tepatnya di
belakang lambung. Insulin merupakan suatu polipeptida, sehingga dapat juga
disebut protein. Dalam keadaan normal bila kadar glukosa naik maka insulin akan
dikeluarkan dari kelenjar pankreas dan masuk ke dalam aliran darah. Dalam aliran
darah insulin akan menuju ke tempat kerja (reseptor) yaitu 50% ke hati 10-20% ke
ginjal dan 30-40% bekerja sel darah, otot dan jaringan lemak. Adanya insulinlah
yang membuat kadar glukosa darah akan kembali normal (Dalimartha, 2007).

Pada diabetes kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat


menurun, atau pankreas dapat menghentikan sama sekali insulin. Keadaan ini
menimbulkan hiperglikemia yang dapat mengakibatkan komplikasi metabolik akut
atau seperti diabetes ketoasidosis dan sindrom hiperglikemik hiperosmoler
nonketonik (HHNK). Hiperglikemia jangka panjang dapat ikut menyebabkan
komplikasi mikrovaskuler yang kronis (penyakit ginjal dan mata) komplikasi
neuropati (penyakit pada saraf). Diabetes juga disertai dengan peningkatan
insiden penyakit makrovaskuler yang mencakup infark miokard, stroke dan
penyakit vaskuler perifer (Brunner & Suddarth, 2002).

2.1.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus

Menurut Gibney (2008) diabetes mellitus diklasifikasikan sebagai diabetes


tipe I, diabetes tipe II, diabetes gestasional dan toleransi glukosa yang terganggu
(impaired glucose tolerance). Sindrome metabolik atau sindrom X yang berkaitan
erat dengan diabetes mellitus.

a. Diabetes tipe I
DM tipe I ditandai oleh penurunan kadar insulin (insulinopenia) yang
disebabkan oleh destruksi sel-sel ß. Pasien DM tipe I memerlukan insulin
untuk tetap bertahan hidup. Tanpa adanya insulin dari luar, pasien akan
mengalami ketoasidosis, koma dan kematian.
b. Diabetes tipe II
DM tipe II merupakan bentuk DM yang paling sering ditemukan dan ditandai
oleh gangguan pada sekresi serta kerja insulin. Kedua defek ini terdapat pada
DM klinis. Penyebab yang jumlahnya banyak dan bervariasi untuk terjadinya
kelainan ini teridentifikasi. DM tipe II juga memiliki perubahan multifaktorial.
Mayoritas pasien DM tidak tergantung pada insulin dan kebanyakan di antara
mereka menderita diabetes pada usia dewasa.
Pada DM tipe II terdapat resistensi insulin dengan insulinopenia relative, pada
saat stres memerlukan insulin. Obesitas pada bagian perut umumnya terlihat
pada pada pasien-pasien DM tipe II. Ketoasidosis jarang ditemukan dan jika
terlihat, keadaan ini berhubungan dengan stres atau penyakit lain yang
menjangkit pasien DM. Pasien DM cenderung mengalami komplikasi
mikrovaskular dan makrovaskular. Faktor etiologi meliputi faktor genetik, usia,
obesitas dan kurangnya aktivitas fisik.
c. Diabetes gestasional
DM gestasional merupakan intoleransi karbohidrat yang mengakibatkan
hiperglikemia dengan keparahan yang beragam dan onset atau deteksi
pertama kali pada saat hamil. Definisi ini berlaku tanpa memandang apakah
hormon insulin digunakan atau tidak dalam penanganannya ataukah keadaan
tersebut tetap bertahan setelah kehamilan berakhir. Intoleransi glukosa dapat
mendahului kehamilan tetapi kedaan ini tidak diketahui sebelumnya.
d. Sindrom metabolik atau sindrom X
Kelompok kelainan yang terdiri atas hiperglikemia, hipertensi, obesitas pada
bagian perut, dislipidemia dan resistensi insulin sering ditemukan. Kelompok
faktor-faktor risiko untuk terjadinya penyakit kardiovaskular ini dinamakan
sindrom X atau sindrom resistensi insulin atau sindrom metabolik. Sejumlah
penelitian epidemiologi memastikan bahwa sindrom ini umumnya dijumpai
pada berbagai kelompok etnis yang meliputi orang-orang Eropa, Afro-Amerika,
Meksiko-Amerika, India, serta Cina di Asia, Aborigin Australia, Polinesia dan
Mikronesia. Manajemen orang dengan hiperglikemia dan ciri-ciri sindrom
metabolik lainya tidak hanya berfokus pada pengendalian glukosa darah,
tetapi juga harus meliputi berbagai berbagai strategi untuk menurunkan faktor
risiko kardiovaskular lainya.

Tabel 1.1. Klasifikasi etiologi kelainan glikemia (Diabetes Mellitus)

Klasifikasi etiologi kelainan glikemia (Diabetes Mellitus)

Tipe I Ditandai dengan kegagalan produksi insulin yang parsial


atau total oleh sel-sel ß pankreas. Faktor penyebab
masih belum diketahui dengan jelas tetapi beberapa virus
tertentu, penyakit atoimun dan faktor-faktor genetik turut
berperan

Tipe II Ditandai dengan resistensi insulin ketika hormon insulin


diproduksi dengan jumlah yang tidak memadai atau
dengan bentuk yang tidak efektif. Ada korelasi genetik
yang kuat pada tipe diabetes ini dan proses terjadinya
berkaitan erat dengan obesitas

Tipe spesifik Defek genetik pada fungsi sel-ß, defek genetik pada kerja
lainnya. insulin, penyakit pada kelenjar esokrine pankreas,
endokrinopati, ditimbulkan oleh obat-obatan atau zat
kimia, Infeksi, bentuk imun-mediated diabetes yang
langka, sindrom genetik lain yang disertai diabetes

Diabetes Bentuk diabetes yang terjadi selama kehamilan


gastesional.
2.1.3 Tanda dan Gejala

Menurut Misnadiarly (2006) tanda dan gejala diabetes dapat digolongkan


menjadi gejala akut dan gejala kronik.

a. Gejala akut
Gejala penyakit DM ini dari suatu penderita ke penderita lainnya tidak selalu
sama dan gejala yang umum timbul dengan adanya variasi gejala lain, bahkan
penderita diabetes yang tidak menunjukkan gejala apapun sampai pada saat
tertentu. Pada permulaan gejala ditunjukkan meliputi tiga tanda yaitu banyak
makan (polifagia), banyak minum (polidipsia), banyak buang air kecil (poliuria).
Dalam fase ini penderita menunjukkan berat badan yang terus naik,
bertambah gemuk karena pada saat jumlah insulin masih mencukupi.
Diabetes mellitus bila tidak cepat diobati, lama-kelamaan mulai timbul gejala
yang disebabkan oleh kurangnya insulin, akan mengalami polidipsia dan
poliuria, dan beberapa keluhan lain seperti nafsu makan mulai berkurang,
bahkan timbul rasa mual jika kadar glukosa darah melebihi 500 mg/dl, disertai
berat badan turun dengan cepat (bisa 5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu),
mudah lelah. Bila tidak lekas diobati akan timbul rasa mual, bahkan penderita
akan jatuh tidak sadarkan diri (koma diabetic). Koma diabetic adalah koma
pada penderita DM akibat kadar glukosa darah terlalu tinggi (melebihi 600
mg/dl). Gejala dan penurunan berat badan yang paling sering menjadi keluhan
utama penderita.
b. Gejala kronik
Keadaan penderita DM tidak menunjukkan gejala akut (mendadak) tetapi baru
menunjukkan gejala sesudah beberapa tahun mengidap penyakit DM, gejala
ini disebut kronik atau menahun. Gejala kronik yang sering timbul adalah
seorang penderita dapat mengalami beberapa gejala antara lain: kesemutan,
kulit terasa panas atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal di kulit, kram,
mudah lelah, mudah mengantuk, mata kabur, biasanya sering mengganti
kacamata, gatal di sekitar kemaluan terutama wanita gigi mudah goyang dan
mudah lepas, kemampuan seksual menurun, bahkan impoten, para ibu hamil
sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau berat
badan lahir >4 kg.
2.1.4 Etiologi

Diabetes mellitus mempunyai etiologi yang heterogen, penyebab berbagai lesi


dapat menyebabkan insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik memegang
peranan penting pada mayoritas DM. Faktor lain yang dianggap sebagai etiologi
DM yaitu:
a. Kelainan sel beta pankreas, berkisar dari hilangnya sel beta sampai kegagalan
sel beta melepas insulin.
b. Faktor-faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara lain agen
yang dapat menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan karbohidrat dan gula
yang diproses secara berlebihan, obesitas dan kehamilan.
c. Gangguan sistem imunitas. Sistem ini dapat dilakukan oleh autoimunitas yang
disertai pembentukan sel-sel antibodi antipankreatik dan mengakibatkan
kerusakan sel-sel penyekresi insulin, kemudian peningkatan kepekaan sel
beta oleh virus.
d. Kelainan insulin. Pada pasien obesitas, terjadi gangguan kepekaan jaringan
terhadap insulin akibat kurangnya reseptor insulin yang terdapat pada
membran sel yang responsir terhadap insulin.

2.1.5 Patofisiologi

a. Diabetes mellitus tipe I


Diabetes mellitus tipe I diperantarai oleh degenerasi sel-ᵝ Langerhans
pankreas akibat infeksi virus, pemberian senyawa toksin, diabetogenik
(streptozotosin, aloksan) atau secara genetik (wolfram sindrome) yang
mengakibatkan produksi insulin sangat rendah atau berhenti sama sekali. Hal
tersebut mengakibatkan penurunan pemasukan glukosa dalam otot dan
jaringan adiposa. Secara patofisiologi, penyakit ini terjadi lambat dan
membutuhkan waktu yang bertahun-tahun, biasanya terjadi sejak anak-anak
atau awal remaja. Penurunan berat badan merupakan ciri khas dari penderita
DM I yang tidak terkontrol. Gejala yang sering mengiringi DM I yaitu poliuria,
polidipsia dan polifagia. Peningkatan volume urin terjadi disebabkan oleh
diuresis osmotic (akibat peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemik)
dan benda-benda keton dalam urin. Lebih lanjut, diuresis osmotic tersebut
akan mengakibatkan kondisi dehidrasi, kelaparan dan shock. Gejala haus dan
lapar merupakan akibat dari kehilangan cairan dan ketidakmampuan tubuh
menggunakan nutrisi (Nugroho, 2006).
b. Diabetes mellitus tipe II
Secara patofisiologi, DM tipe II disebabkan karena dua hal yaitu penurunan
respon jaringan perifer terhadap insulin, peristiwa tersebut dinamakan
resistensi insulin, dan Penurunan kemampuan sel ᵝ pankreas untuk
mensekresi insulin sebagai respon terhadap beban glukosa. Sebagian besar
DM tipe II diawali dengan kegemukan karena kelebihan makan. Sebagai
kompensasi, sel ᵝ pankreas merespon dengan mensekresi insulin lebih
banyak sehingga kadar insulin meningkat (hiperinsulinemia). Konsentrasi
insulin yang tinggi mengakibatkan reseptor insulin berupaya melakukan
pengaturan sendiri (self regulation) dengan menurunkan jumlah reseptor atau
down regulation. Hal ini membawa dampak pada penurunan respon
reseptornya dan lebih lanjut mengakibatkan terjadinya resistensi insulin. Di
lain pihak, kondisi hiperinsulinemia juga dapat mengakibatkan desensitisasi
reseptor insulin pada tahap postreseptor, yaitu penurunan aktivasikinase
reseptor, translokasi glucose transporter dan aktivasi glycogen synthase.
Kejadian ini mengakibatkan terjadinya resistensi insulin. Dua kejadian
tersebut terjadi pada permulaan proses terjadinya DM tipe II.
Secara patologis, pada permulaan DM tipe II terjadi peningkatan kadar
glukosa plasma dibanding normal, namun masih diiringi dengan sekresi
insulin yang berlebihan (hiperinsulinemia). Hal tersebut mengindikasikan telah
terjadi defek pada reseptor maupun postreseptor insulin. Pada resistensi
insulin, terjadi peningkatan produksi glukosa dan penurunan penggunaan
glukosa sehingga mengakibatkan peningkatan kadar gula darah
(hiperglikemik). Seiring dengan kejadian tersebut, sel ᵝ pancreas mengalami
adaptasi diri sehingga responnya untuk mensekresi insulin menjadi kurang
sensitif dan pada akhirnya membawa akibat pada defisiensi insulin.
Sedangkan pada DM tipe II akhir telah terjadi penurunan kadar insulin plasma
akibat penurunan kemampuan sel ᵝ pankreas untuk mensekresi insulin dan
diiringi dengan peningkatan kadar glukosa plasma dibandingkan normal.
Pada penderita DM II, pemberian obat-obat oral antidiabetes sulfonilurea
masih dapat merangsang kemampuan sel ᵝ Langerhans pankreas untuk
mensekresi insulin (Nugroho, 2006).

c. Diabetes gestesional
Diabetes gestasional terjadi pada wanita yang tidak menderita diabetes
sebelum kehamilan. Hiperglikemia terjadi selama kehamilan akibat sekresi
hormon-hormon plasenta. Semua wanita hamil harus menjalani skrining pada
usia kehamilan 24 hingga 27 minggu untuk mendeteksi kemungkinan
diabetes.
Penatalaksanaan pendahuluan mencankup modifikasi diet dan pemantauan
kadar glukosa. Jika hiperglikemia terjadi, preparat insulin harus diresepkan.
Obat hipoglikemia oral tidak boleh digunakan selama kehamilan. Tujuan yang
akan dicapai adalah kadar glukosa selama kehamilan yang berkisar dari 70
hingga 100 mg/dl sebelum makan (kadar gula nuchter) dan kurang dari 165
mg/dl pada 2 jam sesudah makan ( kadar gula 2 jam postprandial). Sesudah
melahirkan bayi, kadar glukosa darah pada wanita yang menderita diabetes
gestasional akan kembali normal. walaupun banyak wanita yang mengalami
diabetes gestastional ternyata kemudian hari menderita diabetes tipe II. Oleh
karena itu, semua wanita yang menderita diabetes gestasional harus
mendapatkan konseling guna mempertahankan berat badan idealnya untuk
menghindari awitan diabetes tipe II (Brunner & Suddarth, 2002).
d. Diabetes tipe spesifik lain
Diabetes tipe spesifik lain disebabkan oleh berbagai kelainan spesifik
(kerusakan sel ß pankreas dan kerja insulin), penyakit pada pankreas, obat-
obatan, bahan kimia, infeksi dan lain-lain (Wijayakusuma, 2004).

2.1.6 Faktor Risiko

Faktor-faktor yang mempertinggi risiko diabetes menurut Sutrani (2006):

a. Kelainan genetika
Diabetes dapat menurun silsilah keluarga yang mengidap diabetes, karena
kelainan gen yang mengakibatkan tubuhnya tidak dapat menghasilkan insulin
dengan baik. Tetapi risiko terkena diabetes juga tergantung pada faktor
kelebihan berat badan, stress dan kurang bergerak.
b. Usia
Umumnya manusia mengalami perubahan fisik yang secara dratis menurun
dengan cepat setelah usia 40 tahun. Diabetes sering muncul setelah
seseorang memasuki usia rawan tersebut, terutama setelah usia 45 tahun
pada mereka yang berat badannya berlebih, sehingga tubuhnya tidak peka
terhadap insulin.
c. Gaya hidup stress
Stres kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang manis-
manis dan berlemak tinggi untuk meningkatkan kadar serotonin otak.
Serotonin ini memiliki efek penenang sementara untuk meredakan stresnya.
Tetapi gula dan lemak itulah yang berbahaya bagi mereka yang berisiko
terkena diabetes.
d. Obesitas
Obesitas terjadi pada 80-85% penderita diabetes tipe II mengidap kegemukan
dan tidak semua orang yang kegemukan menderita diabetes, tetapi penyakit
ini muncul 10-20 tahun kemudian. Dikatakan obesitas jika seseorang
kelebihan 20% dari berat badan normal.
e. Pola makan yang salah
Kurang gizi atau kelebihan berat badan sama-sama meningkatkan risiko
terkena diabetes. Kurang gizi (malnutrisi) dapat merusak pankreas,
sedangkan obesitas (gemuk berlebihan) mengakibatkan gangguan insulin
(retensi insulin). Kurang gizi dapat terjadi selama kehamilan, masa anak-anak,
dan pada usia dewasa akibat diet ketat berlebihan. Sedangkan kurang gizi
pada janin terjadi karena ibu merokok atau mengkonsumsi alkohol semasa
hamilnya. Sebaliknya, obesitas bukan karena makanan yang manis atau kaya
lemak, tetapi lebih disebabkan jumlah konsumsi yang terlalu banyak,
sehingga cadangan gula darah yang disimpan di dalam tubuh sangat
berlebih. Sekitar 80% penderita diabetes tipe II adalah mereka tergolong
gemuk.

2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik

Diagnostik (pemeriksaan) diabetes mellitus dilakukan dengan beberapa tes


(Wiyakusuma, 2004):

a. Tes kadar glukosa darah


Kadar glukosa darah yang diuji setiap waktu sepanjang hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir. jika kadar glukosa sama atau di atas
200 mg/dl, hal itu menunjukkan adanya diabetes mellitus.

b. Tes glukosa darah puasa


Tes ini memerlukan puasa 12 sampai 14 jam sebelum darah diambil untuk
pemeriksaan. Puasa adalah keadaan tanpa suplai makanan (kalori) selama
minimum 8 jam, tetapi tetap diperbolehkan minum air putih. Jika kadar glukosa
darah puasa sama atau lebih dari 126 mg/dl maka dikategorikan diabetes
mellitus.
Menurut American Diabetes Association (ADA) ada dua tes yang dapat
dijadikan sebagai dasar diagnostik terhadap diabetes mellitus yang didasarkan
pada pemeriksaan kadar glukosa plasma vena.
1) Kadar glukosa darah sewaktu (tidak puasa) ≥ 200 mg/dl
2) Kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dl. Pada tes toleransi glukosa oral
(TTGO), kadar glukosa darah yang diperiksa kembali setelah 2 jam ≥ 200
mg/dl.
Diagnosis DM didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Dalam
menentukan diagnosis dilakukan pemeriksaan laboratorium terhadap
seseorang, untuk mengetahui orang tersebut berdasarkan gejala dan keluhan
penyakit benar-benar telah menderita penyakit diabetes mellitus. Pemeriksaan
yang dilakukan adalah dengan memeriksa kadar glukosa darah puasa,
pemeriksaan glukosa darah sewaktu (at random atau kadar glukosa darah dua
jam sesudah makan (post prandial). Pemeriksaan yang dilanjutkan adalah
pemeriksaan glukosa darah dengan metode enzimatik menggunakan bahan
plasma darah yang diambil dari darah vena. Metode enzimatik bersifat lebih
spesifik karena yang diukur hanya kadar glukosa (Purnamasari, 2009).

c. Pemeriksaan urine
Pemeriksaan urine dapat memberikan dugaan kuat adanya diabetes mellitus,
tetapi pemeriksaan urine tidak dapat digunakan sebagai dasar pemeriksaan
diagnosis adanya diabetes mellitus. Pada pemeriksaan urine, urine akan
dianalisis, mengandung glukosa (gula) atau tidak. Jika dalam urine ditemukan
adanya glukosa, menandai dugaan adanya diabetes mellitus.
d. Tes keton
Keton ditemukan dalam urine jika kadar glukosa darah sangat tinggi atau
sangat rendah. Jika hasil tes positif dan kadar glukosa juga tinggi, dapat
memperkuat dugaan ada diabetes mellitus.

e. Pemeriksaan mata
Dari hasil pemeriksaan, pada mata menempatkan adanya retina yang
abnormal (tidak normal), sehingga terjadi pada penderita diabetes mellitus
kronis akibat komplikasi penyakit diabetes mellitus.

2.1.8 Penatalaksanaan

Komponen dalam penatalaksanaan diabetes ada lima komponen yaitu diet,


latihan, pemantauan, terapi dan pendidikan. Penanganan di sepanjang perjalanan
penyakit diabetes akan bervariasi karena terjadinya perubahan pada gaya hidup,
keadaan fisik dan mental penderita di samping karena berbagai kemajuan dalam metode
terapi yang dihasilkan dari riset. Karena itu, meliputi berbagai pengkajian yang konstan
dan modifikasi rencana penanganan oleh profesional kesehatan di samping penyesuaian
terapi oleh pasien sendiri setiap hari. Meskipun tim kesehatan mengarahkan penanganan
tersebut, namun pasien sendirilah yang harus bertanggung jawab dalam melaksanakan
terapi yang kompleks itu setiap hari, karena alasan ini pendidikan pasien dan keluarganya
dipandang kompenen yang penting dalam menangani penyakit diabetes sama pentingnya
dengan komponen lain pada terapi diabetes (Brunner & Suddarth 2002).

a. Diet
Mengatasi DM dengan berdiet pada hakikatnya memiliki tujuan meningkatkan
dan mempertahankan berat badan ideal dengan menyediakan makanan
untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat-zat gizi. Dalam menjalani diet
asupan gizi makanan bagi penderita adalah karbohidrat 60-70%, lemak 20-
25%, dan protein penderita DM setiap hari 15-20% dari total kebutuhan energi
atau 0,8 gram/kg berat badan, pilih protein yang memiliki niali gizi tinggi.
Konsumsi lemak tidak jenuh ditingkatkan minimum 10% dari total energi dan
konsumsi lemak yang mengandung kolesterol tidak boleh lebih dari 300
mg/hari. Serat halus dalam jumlah yang tinggi, yakni lebih dari 40 gram setiap
hari atau 25 gram untuk setiap 100 kalori. Dianjurkan mengkonsumsi
makanan berserat secara bertahap hingga mencapai jumlah yang diharapkan.
Pilih makan yang mengandung serat mudah larut, seperti buncis, buah dan
kacang-kacangan (Sumanto, 2009).
b. Latihan fisik (olahraga)
Beberapa manfaat olahraga yang dilakukan secara rutin dan teratur bagi
penderita DM yaitu, menurunkan kadar gula darah, memperlancar darah
sehingga retensi insulin berkurang dan sensitivitas atau kepekaan insulin
bertambah, menurunkan berat badan, mencegah kegemukan yang akan
memperberat peningkatan kebutuhan insulin, mengurangi komplikasi yang
berkaitan lemak darah dan meningkatkan kadar High-density lipoproteins
(HDL) sebagai faktor pelindung (protected) dari kejadian penyakit jantung
koroner dan antikoagulan. High-density lipoproteins normal 45-65%, HDL 35%
berisiko terjadi komplikasi vaskuler (Sutedjo, 2010).
c. Pemantauan
Pemantauan pengendalian diabetes dan pencegahan komplikasi DM
bertujuan menghilangkan gejala, memperbaiki kualitas hidup, mencegah
komplikasi akut dan kronik mengurangi laju pengendapan komplikasi yang
sudah ada. Pemantauan dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah
puasa dan 2 jam post-prandial, pemeriksaan HbA1c setiap 3 bulan,
pemeriksaan ke fasilitas kesehatan kurang lebih 4x pertahun (kondisi normal)
dan dilakukan pemeriksaan jasmani lengkap, albuminuriamikro, kreatinin,
albumin globulin, ALT, kolesterol total, HDL, trigliserida dan pemeriksaan lain
yang diperlukan (Hastuti, 2008).
d. Terapi
Tujuan utama terapi diabetes adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin
dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangii terjadinya
komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan terapetik pada setiap tipe
diabetes adalah tercapainya kadar glukosa daran normal (euglikemia) tanpa
terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas pasien
(Brunner & Suddarth 2002).
e. Pendidikan
Diabetes mellitus merupakan sakit kronis yang memerlukan prilaku
penanganan mandiri yang khusus seumur hidup. Diet aktivitas fisik dan stres
fisik serta emosional mempengaruhi pengendalian diabetes, maka pasien
harus belajar untuk mengatur keseimbangan berbagai faktor. Pasien bukan
hanya harus belajar keterampilan untuk merawat diri sendiri setiap hari guna
menghindari penurunan atau kenaikan kadar glukosa darah yang mendadak,
tetapi juga harus memiliki perilaku preventif dalam gaya hidup untuk
menghindari komplikasi diabetik jangka panjang. Pentingnya pengetahuan
dan keterampilan yang harus dimiliki oleh penderita dapat membantu perawat
dalam melakukan pendidikan dan penyuluhan (Brunner & Suddarth 2002).

2.1.9 Komplikasi

Diabetes merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia yang


terjadi akibat kerusakan sekresi insulin. Pada hiperglikemia kronis diabetes berhubungan
komplikasi jangka panjang dan kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf,
jantung dan pembuluh darah. Diabetes tipe I, 5-10% dari penderita DM mengalami
kerusakan autoimun sel beta pankreas. Diabetes tipe II, 90-95% mengalami resistensi
insulin relatif. Keluhan diabetes sering tidak terdiagnosis selama bertahun-tahun, karena
hiperglikemia berkembang secara bertahap (Turns, 2011).

Komplikasi penyakit diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi dua, yaitu


komplikasi bersifat akut dan kronis (menahun). Komplikasi akut merupakan komplikasi
yang harus ditindak cepat atau memerlukan pertolongan dengan segera. Komplikasi
kronis merupakan komplikasi yang timbul setelah penderita mengidap diabetes mellitus
selama 5-10 tahun atau lebih (Tobing et al, 2008).

a. Komplikasi akut
1) Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah suatu keadaan seseorang dengan kadar glukosa
darah di bawah nilai normal. Gejala umum hipoglikemia adalah rasa
lapar, gemetar, mengeluarkan keringat dan berdebar-debar, pusing,
gelisah, serta keadaan penderita bisa menjadi koma. Gejala muncul
akibat kelebihan katekolamin dalam darah (hiperkatekolaminemia)
(Utami et al, 2003).
2) Ketoasidosis diabetik-koma diabetic
Koma diabetik adalah koma pada penderita DM akibat kadar glukosa
darah terlalu tinggi (600 mg/dl). Glukosa darah tinggi tidak dapat
memenuhi kebutuhan energi tubuh, sehingga metabolisme tubuh
berubah. Kebutuhan energi tubuh terpenuhi setelah sel lemak pecah
dan membentuk senyawa keton. Keton akan terbawa dalam urine dan
dapat dirasakan baunya saat bernafas. Akibatnya darah menjadi asam,
jaringan tubuh rusak, tidak sadarkan diri dan mengalami koma
(Misnadiary, 2006).
Penyebab koma komplikasi koma diabetik adalah infeksi. Komplikasi
disebabkan lupa suntik insulin, pola makan yang terlalu bebas, atau
stres sehingga terjadi defisiensi atau kekurangan insulin akut pada
metabolisme lemak, karbohidrat, maupun protein. Gejala yang sering
muncul adalah poliuria, polidipsia dan nafsu makan menurun akibat rasa
mual, sehingga terjadi hipotesis (tekanan darah rendah) sampai shock,
kadar glukosa tinggi dan kadar bikarbonat rendah (Utami, 2003).
3) Koma hiperosmoler non ketolik
Koma hiperosmoler non ketotik yang diakibatkan adanya dehidrasi
berat, hipotensi dan shock karena koma hiperosmoler non ketotik
diartikan sebagai keadaan tubuh tanpa penimbunan lemak yang
menyebabkan penderita menunjukkan pernapasan yang cepat dan
dalam (kussmaul). Pemeriksaan di laboratorium menunjukkan bahwa
kadar glukosa penderita sanggat tinggi, pH darah normal, kadar natrium
(Na) tinggi dan tidak ada ketonemia (Utami, 2005).
4) Koma ketoasidosis
Komplikasi pada koma ketoasidosis sebagai suatu keadaan tubuh
dengan asam laktat di dalam darah meningkat (hiperlaktatemia) dan
akhirnya menimbulkan koma. Keadaan koma dapat terjadi karena
infeksi, shock, gangguan hepar, ginjal, diabetes mellitus yang
pengobatan dengan phenformin. Gejala yang muncul biasanya berupa
stupor hingga koma. Pemeriksaan gula darah hanya menunjukkan
hiperglikemia ringan (gula darah dapat normal atau sedikit turun)
(Utami,2003).
b. Komplikasi kronis
1) Komplikasi mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskular mempengaruhi pembuluh darah kecil dan
syaraf. Retinopati yang mempengaruhi retina mata, nefropati yang
mempengaruhi fungsi ginjal dan neuropati (kerusakan saraf sensorik,
motorik atau otonom). Komplikasi makrovaskular terjadi penyempitan
pada pembuluh-pembuluh darah sehingga organ yang seharusnya
mendapatkan suplai darah dari pembuluh-pembuluh tersebut menjadi
kekurangan suplai. Penyandang DM menghadapi peningkatan risiko
untuk menderita penyakit kardiovaskular, serebrovaskular dan penyakit
vascular verifier (Gibney, 2008).
2) Komplikasi makrovaskular
Komplikasi makrovaskular adalah komplikasi yang mengenai pembuluh
darah arteri yang besar, sehingga menyebabkan aterosklerosis.
Penyakit makrovaskular menyebabkan aterosklerosis yang semakin
cepat terjadi di antara para pengidap diabetes sehingga dapat
mengakibatkan peningkatan risiko timbulnya infark miokard, stroke dan
gangren pada ekstremitas bawah (Robinson, et al 2009). Komplikasi
diabetes mellitus mempengaruhi beberapa organ tubuh, hal ini juga
dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap penyembuhan luka.
Lebih dari separuh pasien yang telah mengalami amputasi didahului
dengan ulkus. Nyeri kram di betis dan otot kaki disebabkan oleh suplai
darah yang tidak memadai ke otot-otot yang rusak. Ulkus kaki diabetik
mempengaruhi sampai seperempat dari semua orang dengan diabetes
(Sharp et al, 2010).
Komplikasi makrovaskular terutama terjadi akibat aterosklerosis
(pengerasan arteri). Komplikasi makrovaskular ikut berperan dan
menyebabkan gangguan aliran darah, penyulit komplikasi jangka
panjang dan mortalitas. Kerusakan makrovaskular dapat terjadi bahkan
tanpa adanya diabetes mellitus (kadar glukosa plasma kurang dari 126
mg/100mL) (Corwin, 2009).

2.2. LATIHAN NAFAS DALAM (SLOW DEEP BREATHING)


2.4.1 2.1.1 Pengertian
Latihan nafas dalam adalah bernapas dengan perlahan dan menggunakan
diafragma, sehingga memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan dada
mengembang penuh (Parsudi, dkk., 2002). Tujuan nafas dalam adalah untuk mencapai
ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta untuk mengurangi kerja bernafas,
meningkatkan inflasi alveolar maksimal, meningkatkan relaksasi otot, menghilangkan
ansietas, menyingkirkan pola aktifitas otot-otot pernafasan yang tidak berguna, tidak
terkoordinasi, melambatkan frekuensi pernafasan, mengurangi udara yang terperangkap
serta mengurangi kerja bernafas (Suddarth & Brunner, 2002).
Latihan nafas dalam bukanlah bentuk dari latihan fisik, ini merupakan teknik jiwa
dan tubuh yang bisa ditambahkan dalam berbagai rutinitas guna mendapatkan efek
relaks. Praktik jangka panjang dari latihan pernafasan dalam akan memperbaiki
kesehatan. Bernafas pelan adalah bentuk paling sehat dari pernafasan dalam (Brunner &
Suddarth, 2002).

2.4.2. Kegunakaan Nafas Dalam


1. Breathing exercise didesain untuk memperbaiki fungsi otot-otot respirasi,
meningkatkan ventilasi dan oksigenisasi.
2. Exercise aktive ROM pada shoulder dan trunk akan membantu ekspansi thorax,
memfasilitasi deep breathing dan sering digunakan untuk menstimulasi reflex batuk.
3. Breathing exercise adalah bagian dari program treatment yang didesain untuk
meningkatkan status pulmonal, endurance dan fungsi ADL.
4. Tergantung pada problem klinik pasien, breathing exercise sering dikombinasikan
dengan pengobatan, postural drainage penggunaan alat-alat respirasi terapi dan
program conditioning.

2.4.3. Indikasi Breathing Exercise


2.4.3.1. Penyakit paru akut atau kronis
a. Penyakit paru obstruktif kronis
b. Pneumonia
c. Atelectasis
d. Emboli pulmo
e. Gangguan respirasi akut.
2.4.3.2. Nyeri pada area thorax dan abdomen setelah pembedahan atau trauma.
2.4.3.3. Obstruksi jalan nafas akibat bronchospasme atau menahan sekresi.
2.4.3.4. Penyakit CNS yang mengarah kepada kelemahan otot :
a. High spinal cord injury.
b. Myophatic progresif akut dan kronik atau penyakit nurophatic.
c. Abnormalitas orthopedic berat yang mempengaruhi fungsi respirasi seperti
scoliosis dan kiposis.
d. Penanganan stress.

2.4.4. Tujuan Breathing Exercise


a. Meningkatkan ventilasi.
b. Meningkatkan efektifitas mekanisme batuk.
c. Mencegah atelektasis
d. Meningkatkan kekuatan, daya tahan dan koordinasi otot-otot respirasi.
e. Mempertahankan atau meningkatkan mobilitas chest dan thoracal spine.
f. Koreksi pola-pola nafas yang tidak efisien dan abnormal.
g. Meningkatkan relaksasi.
h. Mengajarkan pasien bagaimana melakukan tindakan bila terjadi gangguan
nafas

2.4.5. Prinsip Umum Mengajarkan Breathing Exercise


a. Bila memungkinkan lakukan ditempat yang tenang tanpa banyak gangguan.
b. Jelaskan kepada pasien tujuan dan rasionalisasi breathing exercise.
c. Tempatkan pasien pada posisi yang nyaman, posisi rileks
d. Observasi dan evaluasi pola napas normal pasien saat istirahat dan
melakukan aktifitas.
e. Bila perlu ajarkan teknik relaksasi kepada pasien.
f. Tunjukkan pola yang diinginkan kepada pasien.
g. Minta pasien untuk melakukan pola bernapas yang tepat dalam berbagai
posisi baik istirahat maupun saat melakukan aktifitas.

2.4.6. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan


a. Pasien tidak boleh melakukan force expiration.
b. Pasien tidak boleh melakukan prolonged expiration.
c. Hindari penggunaan accessory muscles saat mengawali inspirasi.
d. Minta pasien untuk melakukan inspirasi dan ekspirasi sebanyak 3 atau 4 kali
dalam satu sesi.

2.4.7. Jenis-Jenis Breathing Exercise


2.4.7.1. Diaphragmatic Breathing
a. Pemberian oksigen bila penderita mendapat terapi oksigen di rumah.
b. Posisi penderita bisa duduk, telentang, setengah duduk, tidur miring ke kiri
atau ke kanan, mendatar atau setengah duduk.
c. Penderita meletakkan salah satu tangannya di atas perut bagian tengah,
tangan yang lain di atas dada. Akan dirasakan perut bagian atas
mengembang dan tulang rusuk bagian bawah membuka. Penderita perlu
disadarkan bahwa diafragma memang turun pada waktu inspirasi. Saat
gerakan (ekskursi) dada minimal. Dinding dada dan otot bantu napas
relaksasi.
d. Penderita menarik napas melalui hidung dan saat ekspirasi pelan-pelan
melalui mulut (pursed lips breathing), selama inspirasi, diafragma sengaja
dibuat aktif dan memaksimalkan protrusi (pengembangan) perut. Otot perut
bagian depan dibuat berkontraksi selama inspirasi untuk memudahkan
gerakan diafragma dan meningkatkan ekspansi sangkar toraks bagian bawah.
e. Selama ekspirasi penderita dapat menggunakan kontraksi otot perut untuk
menggerakkan diafragma lebih tinggi. Beban seberat 0,51 kg dapat diletakkan
di atas dinding perut untuk membantu aktivitas ini.
2.4.7.2. Segmental Breathing
1) Lateral costal expansion
2) Posterior basal expansion
3) Right middle lobe
4) Pursed lip breathing
2.5 Deep Breathing Oleh Para Ahli
Berbagai jurnal penelitian dari para ahli tentang DBE banyak dipertontonkan
diberbagai media elektronik. Adapun tehnik dan cara yang biasa digunakan adalah
sebagai berikut :
2.5.1. Enam teknik pernapasan untuk membantu tetap tenang dalam preoperatif
Dr Alison McConnell, instruktur yoga Rebecca Pacheco dan psikolog Dr Ellen Langer.
enam teknik pernapasan untuk membantu tetap tenang dalam preoperatif antara lain :
1. Vritti atau "Breathing Equal"
Bagaimana hal itu dilakukan: keseimbangan tubuh yang baik dapat dilakukan
dengan pernafasan. Untuk memulai, menghirup dalam 4 hitungan, lalu hembuskan
dalam 4 hitungan melalui hidung, yang menambahkan kemampuan menahan nafas
secara alami.Lebih lanjut yoga dapat bertujuan untuk enam sampai delapan hitungan
per napas dengan tujuan yang sama dalam pikiran: menenangkan sistem saraf,
meningkatkan fokus dan mengurangi stres.
2. Teknik Pernapasan Perut
Bagaimana hal itu dilakukan: Dengan satu tangan di dada dan yang lainnya di
perut, ambil napas dalam-dalam melalui hidung, memastikan diafragma mengembang
dengan udara yang cukup untuk membuat peregangan di paru-paru. Tujuannya: Enam
sampai 10 nafas dalam per menit selama 10 menit setiap hari untuk menurunkan
denyut jantung dan tekanan darah.
3. Nadi Shodhana atau "Pernapasan Hidung Bergantian"
Bagaimana hal itu dilakukan: napas ini untuk meningkatkanketenangan dan
keseimbangan, dan menyatukan sisi kanan dan kiri otak. Dimulai pada posisi meditasi
nyaman, tahan ibu jari kanan atas lubang hidung sebelah kanan dan tarik napas dalam
melalui hidung sebelah kiri. Pada puncak inhalasi, menutup lubang hidung sebelah kiri
dengan jari manis, lalu buang napas melalui lubang hidung kanan. Lanjutkan pola,
menghirup melalui lubang hidung kanan, menutup dengan ibu jari kanan dan
menghembuskan napas melalui hidung sebelah kiri.
Nadi Shodhana dikatakan "membersihkan saluran" dan membuat orang merasa lebih
nyaman.
4. Kapalabhati atau "Skull Bersinar Breath"
Bagaimana hal itu dilakukan: Siap untuk mencerahkan hari Anda dari dalam ke
luar? Ini dimulai dengan, menghirup lambat dan panjang, diikuti dengan cepat, napas
kuat yang dihasilkan dari perut bagian bawah. Setelah nyaman dengan kontraksi,
hingga kecepatan satu menghirup napas (semua melalui hidung) setiap satu atau dua
detik, dengan total 10 napas.
Pacheco mengatakan, "terapi ini akan menghangatkan tubuh, melepaskan energi dan
merangsang otak”.
5. Progresif Relaksasi
Bagaimana hal itu dilakukan: Untuk nix ketegangan dari kepala sampai kaki,
menutup mata dan fokus pada tegang dan santai setiap kelompok otot selama dua
sampai tiga detik setiap. Mulailah dengan kaki dan jari-jari kaki, kemudian naik ke lutut,
paha, belakang, dada, lengan, tangan, leher, rahang dan mata - semua tetap menjaga
dalam, napas lambat. Mengalami kesulitan tinggal di jalur? Kecemasan dan panik
spesialis Dr. Patricia Farrell menunjukkan kita hirup melalui hidung, tahan selama lima
hitungan sambil otot-otot yang tegang, kemudian bernapas melalui mulut pada rilis.
Mengurangi nyeri, pusing dan pegal-pegal.
6. Visualisasi Dipandu "happy place”
Bernapas dalam-dalam sambil memfokuskan pada hal yang menyenangkan, citra
positif untuk mengganti pikiran negatif. Psikolog Dr Ellen Langer menjelaskan bahwa
sementara itu hanya salah satu cara untuk mencapai kesadaran, "visualisasi Dipandu
membantu menempatkan memfokuskan pikiran tentang hal yang menyenangkan,
daripada membiarkan pikiran memikirkan hal yang membuat pikiran stres atau rumit."
menutup mata dan biarkan pikiran memikirkan hal-hal yang menyenangkan.

2.5.2. Breathing Awareness and Deep Breathing


1. Berbaringlah atau duduk di kursi yang nyaman, menjaga postur tubuh yang baik.
Tubuh harus sesantai mungkin, tutup mata dan rilekskan tubuh untuk mengurangi
ketegangan.
2. Fokus pada pernafasan. Tempatkan satu tangan di bagian dada atau perut yang
tampak naik dan turun setiap tarikan napas.
3. Tempatkan kedua tangan di perut Anda dan ikuti pernapasan Anda, lihat bagaimana
perut naik dan turun pada tiap tarikan dan hembusan nafas
4. Bernapas melalui hidung.
5. Perhatikan jika dada Anda bergerak selaras dengan perut Anda.
6. Sekarang menempatkan satu tangan di perut Anda dan satu di dada Anda.
7. Tarik napas dalam-dalam dan perlahan-lahan melalui hidung Anda ke dalam perut
Anda. rasakan kenaikan perut Anda dengan inhalasi ini dan dada harus bergerak
hanya sedikit.
8. Buang napas melalui mulut Anda, menjaga mulut, lidah, dan rahang rileks.
9. Relax Anda fokus pada suara dan perasaan yang panjang, lambat, napas dalam-
dalam.

2.5.3. Complete Natural Breathing


1. Duduk atau berdiri dengan postur yang baik.
2. Bernapas melalui hidung.
3. Tarik napas, mengisi pertama bagian bawah paru-paru Anda kemudian bagian tengah,
selanjutnya bagian atas.
4. Tahan napas selama beberapa detik.
5. Buang napas perlahan. Rileks perut dan dada.
Berlatih dua latihan ini, dalam kombinasi apa pun terasa paling baik untuk Anda,
selama sepuluh menit, dua kali sehari. (Diambil dari Davis, ESHELMAN, dan McKay,
The Relaksasi dan Stres Pengurangan Workbook, 2nd edition; New Harbringer
Publikasi, 1982.) © Pusat Keterampilan Akademik, Dartmouth College 2001

2.5.4 Tiga latihan Nafas dalam.


Dr. Weil mengatakan The Breath Stimulating, The 4-7-8 Latihan Pernapasan (juga
disebut Santai Nafas), dan Menghitung Nafas. Coba masing-masing dan melihat
bagaimana cara ini mengurangi stres dan tingkat kecemasan Anda.
Latihan 1: The Stimulating Breath (also called the Bellows Breath)
Pernafasan stimulasi diadaptasi dari teknik pernapasan yoga. Tujuannya
adalah untuk meningkatkan energi vital dan meningkatkan kewaspadaan.Tarik
napas dan menghembuskan napas cepat melalui hidung, jaga mulut tetap
tertutup dengan rileks. Tarikan dan hembusan nafas harus sama durasinya,
tetapi sesingkat mungkin. Ini adalah latihan pernapasan cepat. Coba untuk tiga-
dan-out siklus napas per detik. Ini menghasilkan gerakan cepat dari diafragma
bernapas normal setelah setiap siklus.
Jangan lakukan selama lebih dari 15 detik pada percobaan pertama Anda.
Setiap kali Anda berlatih pernafasan stimulasi, Anda dapat meningkatkan waktu
Anda dengan lima detik atau lebih, sampai Anda mencapai satu menit penuh.
Jika dilakukan dengan benar, Anda mungkin merasa segar, sebanding
dengan yang meningkat kesadaran Anda rasakan setelah latihan yang baik.
Anda harus merasa usaha di bagian belakang leher, diafragma, dada dan perut.

Latihan 2:The 4-7-8 (or Relaxing Breath) Exercise


Latihan ini benar-benar sederhana, membutuhkan waktu yang singkat,
tidak memerlukan peralatan dan bisa dilakukan di mana saja. Meskipun Anda
dapat melakukan latihan dalam posisi apapun, duduk dengan punggung lurus
sambil belajar latihan. Tempatkan ujung lidah Anda tepat di belakang gigi depan
atas Anda, dan tetap di sana melalui seluruh latihan. Anda akan
menghembuskan napas melalui mulut Anda di sekitar lidah Anda; mencoba
mengerucutkan bibir Anda sedikit apabila kesulitan melakukannya.Buang napas
melalui mulut Anda benar-benar, membuat suara Deru.
Tutup mulut Anda dan tarik napas pelan melalui hidung hingga hitungan
empat.Tahan napas untuk tujuh hitungan.Buang napas melalui mulut Anda
benar-benar, membuat suara deru ke hitungan delapan.Ini adalah satu napas.
Sekarang tarik napas lagi dan ulangi siklus tiga kali lebih untuk total empat
napas.
Perhatikan bahwa Anda selalu menghirup tenang melalui hidung dan
menghembuskan napas terdengar melalui mulut. Ujung lidah Anda tetap di posisi
selama latihan. Pernafasan mengambil dua kali lebih lama inhalasi. Mutlak waktu
yang Anda habiskan di setiap fase tidak penting; rasio 4: 7: 8 penting. Jika Anda
memiliki kesulitan menahan napas Anda, mempercepat latihan sampai tapi tetap
dengan rasio 4: 7: 8 untuk tiga tahap. Dengan latihan Anda dapat memperlambat
semua turun dan bisa digunakan untuk menghirup dan membuang lebih banyak
dan lebih dalam.
Latihan ini merupakan obat penenang alami untuk sistem saraf. Tidak
seperti obatpenenang, yang sering efektif ketika Anda pertama kali
menggunakannya tapi kemudian kehilangan efek dari waktu ke waktu, latihan ini
mudah ketika Anda pertama kali mencoba tapi keuntungan dalam manfaat
dengan pengulangan dan praktek. Lakukan setidaknya dua kali sehari. Anda
tidak dapat melakukannya terlalu sering. Jangan lakukan lebih dari empat napas
pada satu waktu untuk bulan pertama latihan. Kemudian, jika Anda ingin, Anda
dapat memperpanjang sampai delapan napas. Jika Anda merasa sedikit pusing
ketika Anda pertama kali bernapas dengan cara ini, jangan khawatir; itu akan
menghilang. Setelah Anda mengembangkan teknik ini dengan berlatih setiap
hari, itu akan menjadi alat yang sangat berguna ketika terjadi ketegangan
internal. Menggunakannya dapat membantu Anda tertidur lebih mudah.

Latihan 3:Breath Counting


Duduk dalam posisi yang nyaman dengan punggung lurus dan kepala
miring sedikit ke depan. Tutup mata perlahan dan mengambil beberapa napas
dalam. Lalu biarkan nafas datang secara alami tanpa berusaha
mempengaruhinya. Idealnya itu akan menjadi tenang dan lambat, tetapi
kedalaman dan ritme dapat bervariasi.Untuk memulai latihan, hitung "satu" ketika
Anda menghembuskan napas.Lain kali Anda mengeluarkan napas, hitung "dua",
dan seterusnya sampai "lima."Kemudian memulai siklus baru, menghitung "satu"
pada pernafasan berikutnya.Tidak pernah menghitung lebih tinggi dari "lima,"
dan menghitung hanya ketika Anda menghembuskan napas. Anda akan tahu
perhatian Anda telah berjalan ketika Anda menemukan diri Anda hingga
"delapan", "12", bahkan "19."
Cobalah untuk melakukan 10 menit dari bentuk meditasi.
3.1. Pengaruh Nafas Dalam Terhadap Penurunan Glukosa

Teknik relaksasi merupakan salah satu tindakan keperawatan yang dapat


mengurangi kecemasan dan secara otomatis dapat menurunkan kadar kadar gula
darah. Salah satu bentuk relaksasi adalah dengan menggunakan tehnik nafas salam.
Relaksasi dapat mempengaruhi hipotalamus untuk mengatur dan menurunkan
aktivitas system saraf simpatis. Stres tidak hanya dapat meningkatkan kadar gula
darah secara fisiologis.Pasien dalam keadaan stress juga dapat mengubah piola
kebiasaannya yang baik, terutama dalam hala makan, latihan dan pengobatan
(Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2008)

Lane, McCasskill, Ross, Feinglos, dan Suwit (1993) dalam Kelley dan Barrett
(1999) telah melakukan peneletian tentang efek relaksasi bagi pasien DM Tipe II.
Jumlah subjek yaitu 38 orang. Kelompok control dan intervensi menunujukkan
perbaikan kadar gila darah, tetapi pada kelompok control tidak signifikan. Peneletian
ini menyarankan relaksasi bagi pasien DM Tipe II. Selain itu , Feinglos, dan Suwit
(1993) dalam Kelley dan Barrett (1999) telah meneliti pengaruh terapi relaksasi pada
pasien DM. Total sejak 21 subjek dipilih sebagai partisipan, dengan masing-masing
10 partisipan pada kelompok intervensi dan control. Subjek diminta melakukan
relaksasi dua kali sehari selama tujuh hari. Subjek pada kelompok control tidak
melakukan relaksasi, diet, dan control insulin. Hasilnya menunjukkan bahwa terjadi
penurunan yang signifikan, sehingga peneliti menyarankan agar senantiasa melatih
pasien DM melakukan relaksasi.

Surwit et al. (2002) dari Duke University Medical Centre, Amerika, menyatakan
bahwa teknik-teknik penanganan stress bila disertai dengan perawatan standar bisa
membantu menurunkan kadar gula darah.Penurunan yang dicapai juga hampir
sebesar hasil yang bisa diharapkan dari obat-obatan pengendali diabetes. Surwit
bersama timnya meneliti 108 pasien DM tipe 2 dan penderita DM akut pada orang
dewasa. Semua responden menjalani sesi edukasi DM selama 30 menit dan
separuh responden juga dimunta panduan mengatasi stress. Setelah 1 tahun
sebanyak 32% pasien yang mendapat pengetahuan penanganan stress tercatat
mengalami penurunan gula darah 1% atau lebih. Sementara penurunan kadar gula
darah hanya 12% di antara responden yang tidak memiliki pengetahuan mengatasi
stress.
Relaksasi diketahui dapat membantu menurunkan kadar gula darah pada pasien
diabetes karena dapat menekan pengeluaran hormone-hormon yang dapat
meningkatkan kadar gula darah, yaitu epinefrin, kortisol, glucagon,
adrenocorticotropic hormone (ACTH), kortikosteroid, dan tiroid (Smeltzer, Bare,
Hinkle, & Cheever, 2008).

Eponefrin beraksi pada hati meningkatkan konversi glikogen menjadi glukosa


dalam keadaan stress. Sedangkan kortisol memiliki efek meningkatkan metabolism
glukosa, sehingga asam amino, laktat, dan pirufat diubah di hati menjadi glukosa
(gluconeogenesis) akhirnya menaikkan kadar gula darah. Glukagon meningkatkan
kadar gula darah dengan cara mengkonversi glikogen di hati (bentuk karbohidrat
yang tersimpan pada mamalia) menjadi glukosa, sehingga gula darah menjadi naik.
ACTH dan glukokortikoid pada korteks adrenal dapat meningkatkan kadar gula darah
dengan cara meningkatkan kadar gula darah dengan cara meningkatkan
pembentukan glukosa baru oleh hati. ACTH dan glukokortikoid juga meningkatkan
lipolysis dan katabolisme karbohidrat (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2008)

Relaksasi dapat menurunkan kadar gula darah pada pasien diabetes dengan cara
menekan kelebihan pengeluaran hormone-hormon yang dapat meningkatkan kadar
gula darah, yaitu epinefrin, kortisol, glucagon, ACTH, kortikosteroid, dan tiroid
(Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2008). Dengan demikian, relaksasi dapat
membantu menurunkan kadara gula darah dengan cara :

a) Menekan pengeluaran epinefrin sehingga menghambat konversi glikogen menjadi


glukosa

b) Menekan pengeluaran kortisol menghambat metabolism glukosa, sehingga asam


amino, laktat, dan pirufat tetap disimpan di hati dalam bentuk glikogen sebagai
energi cadangan

c) Menekan pengeluaran glucagon menghambat mengkonversi glikogen dalam hati


menjadi glukosa

d) Relaksasi dapat menekan ACTH dan glukokortikoid pada korteks adrenal


sehingga dapat menekan pembentukan glukosa baru oleh hati, selain itu lipolisi
dan katabolisme karbohidrat dapat ditekan yang dapat menurunkan kadar gula
darah (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2008)

Вам также может понравиться