Вы находитесь на странице: 1из 22

BAB I

PENDAHULUAN

Di negara berkembang, seiring dengan kemajuan teknologi dan pembangunan, frekuensi


trauma kepala cenderung makin meningkat. Trauma kepala berperan pada hampir separuh dari
seluruh kematian akibat trauma, mengingat bahwa kepala merupakan bagian yang tersering dan
rentan terlibat dalam suatu kecelakaan. Kasus trauma kepala terutama melibatkan kelompok usia
produktif, yaitu antara 15-44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan
perempuan. Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas dan disusul dengan kasus jatuh
terutama pada kelompok usia anak-anak.

Trauma kepala adalah cedera pada kepala yang dapat melibatkan seluruh struktur lapisan,
mulai dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling “ringan”, tulang tengkorak, duramater,
vaskuler otak, sampai jaringan otaknya sendiri; baik berupa luka yang tertutup, maupun trauma
tembus.

Untuk rujukan penderita cedera kepala, perlu dicantumkan informasi penting seperti: umur
penderita, waktu, mekanisme cedera, status respiratorik dan kardiovaskuler, pemeriksaan
minineurologis (GCS) terutama nilai respon motorik dan reaksi cahaya pupil, adanya cedera
penyerta, dan hasil CT Scan.

Pada penderita harus diperhatikan pernafasan, peredaran darah umum dan kesadaran,
sehingga tindakan resusitasi, anmnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus
dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan trauma kepala harus segera ditentukan pada saat
pasien tiba di Rumah Sakit. Pencitraan sangat penting untuk menentukan bentuk dari trauma
kepala beserta dengan pemilihan tatalaksananya, oleh karena itu sangat penting untuk dapat
mengetahui peran pencitraan dalam trauma kepala.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi kepala

Tengkorak membentuk rangka kepala dan muka, termasuk mandibula. Kranium


mempunyai dua bagian besar, yakni kalvaria (atap tengkorak) yang sering disebut neurokranium
dan selaput otak. 1

2.1.1 Tengkorak atau Kalvaria

Kalvaria terbentuk dari bagian-bagian superior os frontal, parietal dan oksipital.


Tulang-tulang kalvaria terdiri atas lempeng tulang kortika dan diploe. Lempeng-lempeng
tulang kortika memberi kekuatan pada lengkung atap kranium, sementara diploe berperan
untuk meringankan berat kranium dan memberi tempat untuk memproduksi sumsum
darah.

2.1.2 Kranium

Kranium membungkus dan melindungi otak. Kranium terdiri dari os frontal yang
membentuk dahi, langit-langit rongga nasal dan langit-langit rongga orbita; os parietal
yang membentuk sisi dan langit-langit kranium; os temporal yang membentuk dasar dan
bagian sisi dari kranium; os etmoid yang merupakan struktur penyangga penting dari
rongga nasal dan berperan dalam pembentukan orbita mata dan os sfenoid yang
membentuk dasar anterior cranium. Pada aspek anterior tengkorak dapat dikenali os
frontale, os zygomaticum, orbita, nasal, maxilla dan mandibular, aspek lateral tengkorak
terdiri dari os kranium dan os wajah. Os kranium tersebut adalah fossa temporalis, linea
temporalis superior, linea temporalis inferior os parietal, arcus zygomaticus, titik pterion,
processus mastoideus ossis temporalis, meatus acusticus externus dan processus styloideus
ossis temporalis. Os wajah yakni mandibula terletak dua bagian: bagian horisontal, yakni
corpus mandibulae dan bagian vertikal, yakni ramus mandibulae. Aspek posterior
tengkorak (occiput) dibentuk oleh os occipitale, os parietale dan os temporale.
Protuberentia occipitalis externa adalah benjolan yang mudah diraba di bidang median.
Linea nuchalis superior yang merupakan batas atas tengkuk, meluas ke lateral dari
protuberentia occipitalis externa tersebut; linea nuchalis inferior tidak begitu jelas. Aspek
superior dibentuk oleh os frontale di sebelah anterior, kedua os parietale dextra dan sinistra
dan os occipitale di sebelah posterior. Sutura coronalis memisahkan os frontale dari os
parietale; sutura sagitalis memisahkan kedua tulang ubun-ubun satu dari yang lain; dan
sutura lamboidea memisahkan os parietale dan os temporale dari os occipitale. Titik
bregma adalah titik temu antara sutura sagitalis dan sutura coronalis. Titik vertex
merupakan titik teratas pada tengkorak yang terletak pada sutura sagitalis di dekat titik
tengahnya. Titik lambda merujuk kepada titik temu antara sutura lamboidea dan sutura
sagitalis.

2.1.3 Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak, terdiri dari tiga lapisan yaitu:
duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras, terdiri atas
jaringan ikat fibrosa yang melekat erat dengan tabula interna atau bagian dalam kranium.
Duramater tidak melekat dengan lapisan dibawahnya (araknoid), terdapat ruang subdural.

Pada cedera kepala, pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju
sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging veins, dapat mengalami
robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Arteri-arteri meningea terletak antara
duramater dan tabula interna tengkorak, jadi terletak di ruang epidural. Yang paling sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa
media). Dibawah duramater terdapat araknoid yang merupakan lapisan kedua dan tembus
pandang. Lapisan yang ketiga adalah piamater yang melekat erat pada permukaan korteks
serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi diantara selaput araknoid dan piameter dalam
ruang sub araknoid 1

2.1.4 Otak

Otak manusia terdiri dari serebrum,serebelum dan batang otak. Serebrum terdiri
atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri(lipatan duramater yang
berada di inferior sinus sagitalis superior). Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara
sering disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus frontalis berkaitan dengan fungsi emosi,
fungsi motorik dan pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara
motorik).

Lobus parietalis berhubungan dengan orientasi ruang dan fungsi sensorik. Lobus
temporalis mengatur fungsi memori tertentu. Lobus occipitalis berukuran lebih kecil dan
berfungsi dalam penglihatan. Batang otak terdiri dari mesensefalon, pons dan medula
oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikulasi yang
berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata berada pusat vital
kardiorespiratorik yang terus memanjang sampai medula spinalis di bawahnya. Serebellum
bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan terletak dalam fosa
posterior, berhubungan dengan medula spinalis batang otak dan kedua hemisfer serebri. 2

2.2 Trauma kepala

2.2.1 Definisi

Trauma kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak
langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi
psikososial baik temporer maupun permanen. 3

2.2.2 Epidemiologi

Cedera kepala sangat sering dijumpai. Di Amerika setiap tahunnya kejadian cedera kepala
diperkirakan mencapai 500.000 kasus. 10 % dari penderita cedera kepala meninggal sebelum
datang ke Rumah sakit. Lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat
cedera kepala

Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala serius adalah kecelakaan sepeda motor,
dan sebagian besar diantaranya tidak menggunakan helm atau menggunakan helm yang tidak
memadai (>85%). Dalam hal ini yang dimaksud dengan tidak memadai adalah helm yang terlalu
tipis dan penggunaan helm tanpa ikatan yang memadai, sehingga saat penderita terjatuh, helm
sudah terlepas sebelum kepala membentur lantai. 4
2.2.3 Etiologi

Sebagian besar penderita cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas, berupa
tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda dan penyebrang jalan yang ditabrak. Sisanya disebabkan
oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda (misalnya ranting pohon, kayu, dsb), olahraga, korban
kekerasan baik benda tumpul maupun tajam (misalnya golok, parang, batang kayu, palu, dsb),
kecelakaan kerja, kecelakaan rumah tangga, kecelakaan olahraga, trauma tembak, dan lain-lain 5

2.2.4 Patofisiologi

Trauma pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan otak langsung (primer)
yang disebabkan oleh efek mekanik dari luar. Perluasan kerusakan dari jaringan otak (sekunder)
disebabkan oleh berbagai faktor seperti: kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak,
gangguan metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotransmitter,
eritrosit, opioid endogen, reaksi inflamasi dan radikal bebas.

Kulit kepala dan tengkorak merupakan unsur pelindung bagi jaringan otak terhadap
benturan pada kepala. Bila terjadi benturan, sebagian tenaga benturan akan diserap atau dikurangi
oleh unsur pelindung tersebut. Sebagian tenaga benturan dihantarkan ke tengkorak yang relatif
memiliki elastisitas, yakni tengkorak mampu sedikit melekuk ke arah dalam. Tekanan maksimal
terjadi pada saat benturan dan beberapa milidetik kemudian diikuti dengan getaran-getaran yang
berangsur mengecil hingga reda. Pukulan yang lebih kuat akan menyebabkan terjadinya
deformitas tengkorak dengan lekukan yang sesuai dengan arah datangnya benturan dimana
besarnya lekukan sesuai dengan sudut datangnya arah benturan. Bila lekukan melebihi batas
toleransi jaringan tengkorak, tengkorak akan mengalami fraktur. Fraktur tengkorak dapat
berbentuk sebagai garis lurus, impresi / depresi, diastase sutura atau fraktur multiple disertai
fraktur dasar tengkorak.

Perbedaan massa dari jaringan otak dan dari tulang kepala menyebabkan perbedaan
percepatan getaran berupa akselerasi, deselerasi dan rotasi. Kekuatan gerak ini dapat menimbulkan
cedera otak berupa kompresi, peregangan dan pemotongan. Benturan dari arah samping akan
mengakibatkan terjadinya gerakan atau gesekan antara massa jaringan otak dengan bagian tulang
kepala yang menonjol atau bagian-bagian yang keras seperti falk dengan tentoriumnya maupun
dasar tengkorak dan dapat timbul lesi baik coup maupun contra coup. Lesi coup berupa kerusakan
berseberangan atau jauh dari tempat benturan misalnya di dasar tengkoran. Benturan pada bagian
depan (frontal), otak akan bergerak dari arah antero-posterior, sebaliknya pada pukulan dari
belakang (occipital), otak bergerak dari arah postero-anterior sedangkan pukulan di daerah puncak
kepala (vertex), otak bergerak secara vertikal. Gerakan-gerakan tersebut menyebabkan terjadinya
coup dan contra coup. Bila terjadi benturan, akan timbul gelombang kejut (shock wave) yang akan
diteruskan melalui massa jaringan otak dan tulang. Gelombang tersebut menimbulkan tekanan
pada jaringan, dan bila tekanan cukup besar akan menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan otak
melalui proses pemotongan dan robekan. 5

2.2.5 Klasifikasi 6

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan morfologinya.

a. Mekanisme cedera kepala

Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera
kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor,
jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedang cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru
atau tusukan

b. Beratnya cedera

Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale adalah sebagai berikut :

1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.

2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13

3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.


c. Morfologi cedera

Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesiintrakranial.

1. Fraktur cranium

Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat berbentuk garis atau
bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fracture dasar tengkorak biasanya memerlukan
pemeriksaan CT Scan dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan lebih rinci.tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon
eye sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS(Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis
nervus fasialis.

Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi
kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater. Keadaan ini membutuhkan
tindakan dengan segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang
terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktura
tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi
yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak
sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada
pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura
tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan
2. Lesi Intrakranial

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk
cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural,
dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara
umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan
koma dalam keadaan klinis

a. Hematoma Epidural

Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara
tabula interna dan duramater dengan ciri berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung.
Paling sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh
meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari
perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus
vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior.

Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari
pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera.
Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak
berlangsungg lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan langsung denggan
status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural dapat
menunjukan adanya “lucid interval” yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu
tiba-tiba meninggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah memnang tidak mudah dan
memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf.

Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu homogeny,
bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke
sisi kontralateral ( tanda space occupying lesion ). Batas dengan corteks licin, densitas duramater
biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga
tampak lebih jelas.
b. Hematom Subdural

Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan
arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan
cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral
dan sinus draining.

Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih
berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun
mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.
Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.

1) SDH Akut

Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat tabula
interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial hematom seperti
bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan
adanya hematom subdural

2) SDH Kronis

Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang disebabkan
oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan
tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas
melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens,
yang semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya
menjadi hipodens

d. Kontusi dan hematoma intraserebral.

Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu
berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan
temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan
antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun,
terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral
dalam beberapa hari.

Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak.
Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya
pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah
lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada
sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung
pada lokasi dan luas perdarahan

e. Cedera difus

Cedar otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan
deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio cerebri
ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi
neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena
ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan
bingguung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama
sekali.cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia
retrograde dan amnesia antegrad

Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau hilanggnya
kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini
merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam bebberapa penderita dapat timbul defisist neurologis
untuk beberapa waktu. Defisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual,
anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio
yang dapat cukup berat.

Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana pendeerita
mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama ddan tidak diakibatkan oleh suatu lesi mas
aatau serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma
selama beberapa waktu. Penderita sering menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila
pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita sering
menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu
diduga akibat cedera aksonal difus dan cedeera otak kerena hiipoksia secara klinis tidak mudah,
dan memang dua keadaan tersebut seringg terjadi bersamaan.

2.3 Peran pencitraan pada trauma kepala

Indikasi foto polos kepala

Foto polos kepala hanya menunjukkan ada tidaknya patah tulang, dan tidak mampu
menghasilkan visibilitas yang baik pada otak atau adanya darah untuk menunjukkan cedera
intrakranial. Adanya patah tulang tengkorak tanpa kelainan neurologis tidak begitu signifikan.
Patah tulang tengkorak yang ditentukan berdasarkan pemeriksaan foto polos kepala pada pasien
dengan cedera kepala ringan telah dilaporkan dengan angka sangat rendah, mulai dari 1,9% hingga
4,3%. Patah tulang tengkorak tidak selalu berarti cedera intrakranial yang signifikan, meskipun
tidak adanya patah tulang tengkorak, pasien dapat memiliki kelainan patologis yang signifikan
pada intrakranialnya.

Foto polos kepala sangat membantu pada pasien yang dicurigai tidak cedera akibat
kecelakaan, patah tulang tengkorak depresi, cedera kepala akibat penetrasi oleh benda asing, atau
7
trauma kepala pada anak-anak kurang dari 2 tahun,walaupun tanpa gejala neurologis.

Pemeriksaan foto polos kepala untuk melihat pergeseran (displacement) fraktur tulang
tengkorak (gambar 1), tetapi tidak dapat menentukan ada tidaknya perdarahan intrakranial. Fraktur
pada tengkorak dapat berupa fraktur impresi (depressed fracture), fraktur linear, dan fraktur
diastasis (traumatic suture separation).
Gambar 1. Garis fraktur pada tengkorak

Fraktur impresi biasanya disertai kerusakan jaringan otak dan pada foto terlihat sebagai
garis atau dua garis sejajar dengan densitas tinggi pada tulang tengkorak. Fraktur linear harus
dibedakan dari gambaran pembuluh darah normal atau dengan garis sutura interna, yang tidak
bergerigi seperti sutura eksterna. Garis sutura interna bersifat superimposisi pada sutura yang
bergerigi, sedangkan fraktur akan menyimpang dari itu di beberapa titik. Selain itu, pada foto polos
kepala, fraktur ini terlihat sebagai garis radiolusen, paling sering di daerah parietal. Garis fraktur
biasanya lebih radiolusen daripada pembuluh darah dan arahnya tidak teratur. Fraktur diastasis
lebih sering pada anak-anak dan terkihat sebagai pelebaran sutura. 8

Indikasi untuk CT scan kepala 9

CT scan kepala nonkontras merupakan pemeriksaan standar untuk menangani cedera


kepala sedang dan berat. CT scan kepala nonkontran mempunyai sensitifitas dan spesifitas yang
tinggi untuk perdarahan intracranial, edema, bengkak, midline shift, herniasi, dan fraktur.
Ketersediaan CT scan cukup banyak dan jarang terdapat kontraindikasi dalam penatalaksanaan
cedera kepala. Ketika dihadapkan dengan pasien anak, risiko dan keuntungan harus diperhitungkan
karena paparan radiasi.
Protokol CT scan kepala 9 10

CT scan pada trauma kepala dijalankan dengan 120 kVp, 200mAs dengan rotasi singkat
yaitu 0.5 detik. Beberapa kali, CT scan tulang servikal digunakan dengan CT scan kepala untuk
menyingkirkan diagnose fraktur atau dislokasi tulang servikal. Protokol utama untuk deteksi
fraktur, pada kalvaria atau tulang belakang memerlukan potongan tipis aksial dengan
menggunakan sharp kennel. Potongan aksial harus setidaknya memiliki ketebalan 1.25 mm dengan
50% nya akan melakukan overlap. Selain itu dapat juga dilakukan pencitraan koronal, sagittal,
multiplayer oblique, atau tiga dimensi utnuk membantu visualisasi. Rekonstruksi multiplanar
berfungsi untuk meninjau asimetri tulang. Semua pencitraan harus divisualisasi sesuai level seperti
otak, subdural, tulang, dan jaringan lunak untuk memaksimalkan deteksi dari patologis.
Rekonstruksi 3D berguna untuk rencana sebelum operasi. Beberapa institusi memilih potongan
aksial dibandingkan dengan helical. Potongan aksial mengurangi kemungkinan artifak.

Fraktur pada dasar tengkorak (gambar 2) seringkali sukar dilihat. Fraktur dasar tengkorak
(basis kranii) biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan teknik (bone window) untuk
mengidentifikasi garis frakturnya. Fraktur dasar tengkorak yang melintang kanalis karotikus dapat
mencederai arteri karotis (diseksi, pseuoaneurisma ataupun trombosis) perlu dipertimbangkan
untuk dilakukan pemeriksaan angiography cerebral. Dapat dilihar pada gambar 2.1, 2.2, dan 2.3
untuk variasi CT scan pada fraktur kepala.
Gambar 2. CT scan potongan aksial menunjukkan fraktur tulang frontal dan open
comminuted dengan perdarahan menggumpal pada fisura interhemisfer

Gambar 2.1 Fraktur depresi pada CT scan kepala

Gambar 2.2 Fraktur bola ping pong


Gambar 2.3 Fraktur Stiletto heel

Skema penanganan terhadap fraktur kepala dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Skema diagnose fraktur kepala

Hematoma epidural biasanya dapat dibedakan dari hematoma subdural dengan bentuk
bikonveks dibandingkan dengan crescent-shape dari hematoma subdural. Selain itu, tidak seperti
hematoma subdural, hematoma epidural biasanya tidak melewati sutura. Hematoma epidural
sangat sulit dibedakan dengan hematoma subdural jika ukurannya kecil. Dengan bentuk bikonveks
yang khas,elips, gambaran CT scan pada hematoma epidural (gambar 3) tergantung pada sumber
perdarahan, waktu berlalu sejak cedera, dan tingkat keparahan perdarahan. Karena dibutuhkan
diagnosis yang akurat dan perawatan yang cepat, diperlukan pemeriksaan CT scan dengan cepat
dan intervensi bedah saraf
Gambar 3. CT scan kepada dengan epidural hematoma

Temuan CT scan dalam hematoma subdural tergantung pada lamanya perdarahan (Gambar
4). Pada fase akut, hematoma subdural muncul berbentuk bulan sabit, ketika cukup besar,
hematoma subdural menyebabkan pergeseran garis tengah. Pergeseran dari gray matter-white
matter junction merupakan tanda penting yang menunjukkan adanya lesi.

Jika ditemukan hematoma subdural pada CT scan, penting untuk memeriksa adanya cedera
terkait lainnya, seperti patah tulang tengkorak, kontusio intra parenkimal, dan darah pada
subaraknoid. Adanya cedera parenkim pada pasien dengan hematoma subdural adalah faktor yang
paling penting dalam memprediksi hasil klinis mereka.
Gambar 4. CT scan pada pasien dengan subdural hematoma kronis

Pada CT scan, perdarahan subaraknoid (SAH) (gambar 5) terlihat mengisi ruangan


subaraknoid yang biasanya terlihat gelap dan terisi CSF di sekitar otak. Rongga subaraknoid yang
biasanya hitam mungkin tampak putih di perdarahan akut. Temuan ini paling jelas terlihat dalam
rongga subaraknoid yang besar.

Ketika CT scan dilakukan beberapa hari atau minggu setelah perdarahan awal, temuan akan
tampak lebih halus. Gambaran putih darah dan bekuan cenderung menurun, dan tampak sebagai
abu-abu. Sebagai tambahan dalam mendeteksi SAH, CT scan berguna untuk melokalisir sumber
perdarahan.

Gambar 5. CT scan pada otak menunjukkan perdarahan subaraknoid yang ditunjukkan area putih
pada tengah
Perdarahan intraserebral biasanya disebabkan oleh trauma terhadap pembuluh darah,
timbul hematoma intraparenkim dalam waktu ½-6 jam setelah terjadinya trauma (gambar 6).
Hematoma ini bisa timbul pada area kontralateral trauma. Pada CT scan sesudah beberapa jam
akan tampak daerah hematoma (hiperdens), dengan tepi yang tidak rata.

Gambar 6. Gambaran perdarahan intraserebral pada CT scan kepala

Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel otak. Perdarahan


intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral (Gambar 7).Pada perdarahan
intraventrikular akan terlihat peningkatan densitas dari gambaran CT scan kepala. Jika terlambat
ditangani, perdarahan intraventrikular akan menyebabkan terjadinya ventrikulomegali pada sistem
ventrikel (hidrosefalus) dari gambaran CT scan.

Gambar 7. CT scan kepala pada perdarahan intraventrikular


Indikasi MRI untuk trauma kepala

Terdapat beberapa penelitian yang menjelaskan tentang penggunaan MRI pada cedera
kepala, namun MRI bukan merupakan pencitraan utama untuk investigasi trauma kepala. MRI
lebih sensitif dalam menunjukkan beberapa patologi seperti diffuse axonal injury (DAI) (gambar
8) dibandingkan dengan menggunakan CT scan non kontras. Namun sampai saat ini tidak terdapat
penelitian yang mengkonfirmasi penggunaan MRI dalam situasi emergensi. Namun, MRI harus
digunakan pada pasien dimana dengan pemeriksaan CT scan gagal untuk menjelaskan defisit
neurologis. MRI juga menjelaskan informasi prognosis terhadap outcome jangka panjang. MRI
juga dapat digunakan untuk menentukan klasifikasi perdarahan intracranial dan untuk deteksi
kontusio, DAI, perdarahan minimal, edema, dan cedera batang otak.

Gambar 8. Susceptibility weighted image (SWI) dari diffuse axona injury pada trauma dengan
1.5 tesla (kanan)

Protokol untuk menjalankan MRI

Protokol MRI untuk evaluasi cedera kepala mencakup T1W, T2W, T2W fluid-attenuated
inversion recovery (FLAIR), T2*gradient recalled echo (GRE), dan diffusion weighted imaging
(DW1). SW1 atau susceptibility weighted images juga dapat digunakan pada perdarahan mikro.
Namun secara umum, tidak diperlukan pemberian kontras intravena untuk evaluasi cedera kepala.
BAB III

KESIMPULAN

Trauma kepala adalah suatu trauma yang menimpa struktur kepala sehingga dapat
menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak. Berdasarkan Skala
Koma Glasgow, trauma kepala dibagi atas trauma kepala ringan (SKG 14-15), sedang (SKG 9-
13) dan berat (SKG 3-8). Trauma kepala dapat menimbulkan perdarahan intrakranial berupa
fraktur yulang kepala, perdarahan epidural, perdarahan subdural, perdarahan subarakhnoid,
perdarahan intraventrikular, dan perdarahan intraserebral. Pemeriksaan foto polos kepala
digunakan untuk melihat pergeseran (displacement) fraktur tulang tengkorak, tetapi tidak dapat
menentukan ada tidaknya perdarahan intrakranial.

Pemeriksaan tomografi komputer(CT Scan) kepala sangat berguna pada trauma kepala
karena isi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada trauma kepala, fraktur,
perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun ukurannya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hiatt JL, Gartner LP. Textbook of Head and Neck Anatomy 4th ed. Lippincott Williams &
Wilkins. 2009
2. Carter R. The Human Brain Book : An Illustrated Guide to its Structure, Function, and
Disorders. DK Expanded Illustrated Updated Edition. 2014
3. Silver JM, McAllister TW, Yudofsky SC. Textbook of Traumatic Brain Injury 2nd ed.
American Psychiatric Publishing. 2011
4. Corrigan JD, Sekassue AW. The Epidemiology of Traumatic Brain Injury. Journal of Head
Trauma Rehabilitation. 2010
5. Kinoshita K. Traumatic brain injury : pathophysiology for neurocritical care. Journal of
Intensive Care. 2016
6. Townsend C, Beauchamp D. Sabiston Textbook of Surgery 20th ed. Elsevier. 2016
7. Mossop D, Soysa S. The use of skull X-rays in head injury in the emergency department a
changing practice. Ann R Coll Surg Enl. 2005
8. Boulay GH. Principles of X-ray Diagnosis of the Skull. Elsevier. 1980
9. Rincon S, Gupta R, Ptak T. Imaging of head trauma. Handbook of Clinical Neurology 3 rd
series. 2016
10. Courtney FJ, Michael H. Essentials of Head Trauma Imaging. Seminars in Ultrasound, CT,
and MRI. 2017

Вам также может понравиться