Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Angka kematian balita (AKABA) merupakan salah satu indikator derajat
kesehatan suatu negara.Tujuan Pembangunan Millenium (Millenuim Development
Goals) 2000-2015 dan sekarang dilanjutkan dengan Sustainable Development Goals
(SDGs) 2015-2030 berkomitmen untuk menurunkan angka kematian balita 12/1.0000
kelahiran hidup (SDG,s , 2015). Menurut World Health Organization (WHO) 54%
kematian bayi dan anak terkait dengan gizi kurang dan gizi buruk.Berbagai penelitian
telah membuktikan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara kematian balita
dengan kekurangan gizi. Keadaan gizi yang kurang atau buruk akan menurunkan daya
tahan anak sehingga anak mudah sakit hingga bisa berakibat pada kematian (Depkes,
2010).
Gizi merupakan salah satu indikator untuk menilai keberhasilan pembangunan
kesehatan sebuah negara dalam membangun sumber daya yang berkualitas (Depkes
RI, 2009).Gizi sebagai faktor yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak harus
memperhatikan kecukupan pangan yang esensial baik secara kalitas maupun kuantitas
(Moersintowati dkk, 2010). Zat gizi sangat penting bagi kehidupan dan memegang
peranan penting bagi pertumbuhan dan perkembangan otak anak pada masa bawah
lima tahun (Balita). Periode kritis perkembangan otak anak yaitu sejak masa
kehamilan hingga 3 tahun pertama kehidupan.Masa ini disebut juga sebagai windows
of opportunity, yang berdampak buruk bila tidak diperhatikan, tetapi berdampak baik
jika masa tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Kekurangan gizi pada fase
pertumbuhan akan menghasilkan manusia dewasa dengan kualitas SDM rendah. Jadi
anak usia dini haruslah diberi jatah utama dalam distribusi makanan keluarga, bukan
mendapat sisa-sisa konsumsi keluarga (Sediaoetama, 2009). Gagal tumbuh yang
terjadi akibat kurang gizi pada masa-masa emas ini akan berakibat buruk pada
kehidupan berikutnya yang sulit diperbaiki (Hadi, 2005). Dan apabila ketidakcukupan
zat gizi tersebut berlangsung lama maka cadangan jaringan akan digunakan untuk
memenuhi ketidakcukupan itu, kemudian timbul penurunan jaringan yang ditandai
dengan penurunan berat badan, dan akan terjadi perubahan secara anatomi yang
tampak sebagai gizi kurang (Supariasa, dkk, 2002).
Masalah gizi pada hakikataya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun
penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan
kesehatan saja.Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktor, oleh karena itu
pendekatan penanggulangannya harus melibatkan berbagai sektor yang terkait
(Supariasa, 2012).
Salah satu indikato kesehatan yang dinila keberhasilan pencapaiannya dalam
MDGs adalah status gizi. Status gizi diukur berdasarkan umur (U), berat badan
(BB) dan tinggi badan (TB). Variabel BB dab TB ini disajikan dalam bentuk
tiga indikator antropometri, yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi
badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
(Dinkes Prov. Jateng, 2012).
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi. Status gizi ini menjadi penting karena merupakan salah satu
faktor risiko terjadinya kesakitan dan kematian. Status gizi yang baik bagi seseorang
akan berkontribusi terhadap kesehatannya dan juga terhadap kemampuan dalam
proses pemulihan (Dinkes Prov. Jateng, 2012).
Status gizi baik apabila tubuh memperoleh zat-zat gizi yang seimbang dalam
jumlah yang cukup. Status gizi kurang apabila terjadi kekurangan karbohidrat, lemak,
protein, dan vitamin. Status gizi lebih jika terdapat ketidakseimbangan antara
konsumsi energi dan pengeluaran energi. Asupan energi yang ber- lebihan dapat
menimbulkan overweigth dan obesitas (Nilsapril, 2008).
Konsumsi gizi yang baik dan cukup seringkali tidak bisa dipenuhi oleh seorang anak
karena faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal menyangkut keterbatasan
ekonomi keluarga sehingga uang yang tersedia tidak cukup untuk membeli makanan.
Sedangkan faktor internal adalah faktor yang terdapat didalam diri anak yang secara
psikologis muncul sebagai problema makan pada anak.
Prevalensi nasional gizi buruk pada balita Indonesia adalah 5,4% dan Gizi
Kurang pada balita adalah 13,0%. Keduanya menunjukkan bahwa baik target Rencana
Pembangunan Jangka Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi (20%),
maupun target Millenium Depelovment Goals pada 2015 (18,5%) telah tercapai pada
tahun 2007. Namun demikian, sebanyak 19 provinsi mempunyai prevalensi gizi buruk
dan gizi kurang diatas prevalensi nasional, kabupaten/kota dengan prevalensi gizi
buruk dan gizi kurang pada balita tertinggi adalah aceh tenggara (48,7%). Sedangkan
kabupaten/kota dengan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada Balita terendah
adalah kota Tomohon (4,8%). Prevalensi Nasional gizi lebih pada balita adalah 4,3%.
Sebanyak 15 provinsi mempunyai prevalensi gizi lebih pada balita diatas prevalensi
nasional, yaitu Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Bangka
belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, Sulawesi selatan, Maluku dan Papua. Secara bersama-sama,
prevalensi nasional Balita Pendek dan Balita Sangat Pendek (stunting) adalah 36,8%.
Sebanyak 17 provinsi mempunyai prevalensi Balita Pendek dan Balita Sangat Pendek
diatas prevalensi nasional, yaitu DI Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan,
Lampung, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara,
Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara dan Papua Barat (Naurarc, 2012).
Berdasarkan pemantauan status gizi tahun 2016, ditjen. Kesehatan masyarakat,
kemenkes RI, 2017 prevalensi status gizi balita usia 0-59 bulan diprovinsi Kalimantan
Selatan berdasarkan indeks BB/TB atau BB/PB pada tahun 2015 sangat kurus(3,9%),
kurus(10,2%), normal(79,8%), gemuk(6,1%) dan pada tahun 2016 sangat
kurus(2,6%), kurus(8,4%), normal(84,5%), gemuk(4,5%).Ini menunjukan bahwa
masalah kurang gizi masih menjadi masalah utama di Kalimantan Selatan dan perlu
mendapatkan perhatian serius untuk mengatasinya dan mencegah meningkatnya kasus
kurang gizi tersebut.
Data riskesdas 2013 provinsi Kalimantan selatan pada Kabupaten barito kuala
menunjukkan prevalensi status gizi balita BB/TB menurut kabupaten/kota bahwa
sangat kurus(2,4%), kurus(7,7%), normal(81,1%), dan gemuk(8,8%).
Faktor faktor yang mempengaruhi status gizi ada dua yaitu faktor tidak
langsung dan faktor langsung. Faktor tidak langsung antara lain adalah kemiskinan,
pendidikan dan pengetahuan yang mempengaruhi ketersediaan pangan dan pelayanan
kesehatan. Faktor langsung antara lain asupan makanan dan penyakit infeksi. Kedua
faktor tersebut sangat mempengaruhi status gizi seseorang (Supariasa dkk, 2002).
Intake gizi yang baik berperan penting di dalam mencapai pertumbuhan badan
yang optimal. Dan pertumbuhan badan yang optimal ini mencakup pula pertumbuhan
otak yang sangat menentukan kecerdasan seseorang. Faktor yang paling terlihat pada
lingkungan masyarakat adalah kurangnya pengetahuan ibu mengenai gizi-gizi yang
harus dipenuhi anak pada masa pertumbuhan. Ibu biasanya justru membelikan
makanan yang enak kepada anaknya tanpa tahu apakah makanan tersebut
mengandung gizi-gizi yang cukup atau tidak, dan tidak mengimbanginya dengan
makanan sehat yang mengandung banyak gizi.
Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan karena masuknya bibit
penyakit. Penyakit ini menular dari satu orang ke orang lain. Penyebab utama infeksi
diantaranya adalah bakteri dan jasad hidup (organism). Kuman-kuman ini menyebar
dengan berbagai cara dan vector. (Wardhani, 2018)
Penyakit infeksi dapat dikatakan sebagai pemula terjadinya kurang gizi
sebagai akibat menurunnya nafsu makan, adanya gangguan penyerapan dalam saluran
pencernaan atau peningkatan kebutuhan zat gizi oleh adanya penyakit.Kaitan penyakit
infeksi dengan keadaan kurang gizi adalah hubungan sebab akibat.Penyakit infeksi
dapat memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi yang jelek dapat mempermudah
infeksi. Penyakit yang umum terkait dengan masalah gizi antara lain diare,
tuberculosis, campak dan batuk (Supariasa dalam Hakim, 2002:187).
Data World Health Statistics menunjukkan bahwa lebih dari 70% kematian
Khusunya balita disebabkan oleh penyakit infeksi (seperti diare, pneumonia, campak,
malaria) dan malnutrisi.Menurut UNICEF penyakit infeksi merupakan penyebab
kematian utama. Dari 9 juta kematian pada balita per tahunnya di dunia,lebih dari 2
juta di antaranya meninggal akibat penyakit ISPA.WHO melaporkan lebih dari 50%
kasus penyakit infeksi berada di Asia Tenggara dan Sub-Sahara Afrika. Dilaporkan,
tiga per empat kasus penyakit infeksi pada balita berada di 15 negara berkembang.
Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan anak di Indonesia.Terbukti,
angka kesakitan dan angka kematian anak akibat penyakit tersebut masih cukup
tinggi. Daya tahan tubuh balita yang masih rendah mengakibatkan anak mudah sekali
terserang berbagai penyakit infeksi.(Meadow R dalam kawengian, dkk. 2015)
Masalah gizi, meskipun sering berkaitan dengan masalah kekurangan pangan,
pemecahannya tidak selalu berupa peningkatan produksi dan pengadaan pangan.Pada
kasus tertentu, seperti dalam keadaan krisis (bencana kekeringan, perang, kekacauan
sosial, krisis ekonomi), masalah gizi muncul akibat masalah ketahanan pangan di
tingkat rumah tangga, yaitu kemampuan rumah tangga memperoleh makanan untuk
semua anggotanya.Menyadari hal itu, peningkatan status gizi masyarakat memerlukan
kebijakan yang menjamin setiap anggota masyarakat untuk memperoleh makanan
yang cukup jumlah dan mutunya.
Berdasarkan Laporan Tahunan Badan Ketahanan Pangan Provinsi Kalimantan
Selatan Tahun 2013 skor PPH provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2013 mencapai
91,61% yang berarti masih berada di bawah skor maksimal yaitu 100%.Masalah gizi
dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling mempengaruhi secara kompleks.
Ditingkat rumah tangga, keadaan gizi dipengaruhi oleh kemampuan rumah tangga
menyediakan pangan di dalam jumlah dan jenis yang cukup serta pola asuh yang
dipengaruhi oleh faktor pendidikan, perilaku dan keadaan kesehatan rumah
tangga.Salah satu penyebab timbulnya kurang gizi pada anak balita adalah akibat pola
asuh anak yang kurang memadai (Soekirman, 2000).
Pengasuhan berasal dari kata asuh (to rear) yang mempunyai makna menjaga,
merawat dan mendidik anak yang masih kecil.Menurut Wagnel dan Funk
menyebutkan bahwa mengasuh itu meliputi menjaga serta memberi bimbingan
menuju pertumbuhan ke arah kedewasaan. Pengertian lain diutarakan oleh Webster
yang mengatakan bahwa mengasuh itu membimbing menuju ke pertumbuhan ke arah
kedewasaan dengan memberikan pendidikan, makanan dan sebagainya terhadap
mereka yang di asuh (Sunarti, 1989).
Pengasuhan merupakan faktor yang sangat erat kaitannya dengan
pertumbuhan dan perkembangan anak berusia di bawah lima tahun. Masa anak usia 1-
5 tahun (balita) adalah masa dimana anak masih sangat membutuhkan suplai makanan
dan gizi dalam jumlah yang cukup dan memadai. Kekurangan gizi pada masa ini
dapat menimbulkan gangguan tumbuh kembang secara fisik, mental, sosial dan
intelektual yang sifatnya menetap dan terus dibawa sampai anak menjadi
dewasa.Secara lebih spesifik, kekurangan gizi dapat menyebabkan keterlambatan
pertumbuhan badan, lebih penting lagi keterlambatan perkembangan otak dan dapat
pula terjadinya penurunan atau rendahnya daya tahan tubuh terhadap penyakit
infeksi.Pada masa ini juga, anak masih benar-benar tergantung pada perawatan dan
pengasuhan oleh ibunya.Pengasuhan kesehatan dan makanan pada tahun pertama
kehidupan sangatlah penting untuk perkembangan anak (Santoso, 2005).
Informasi di atas menunjukkan bahwa prevalensi status gizi bisa mengalami
penurunan dan kenaikan. Keadaan ini perlu disadari karena terjadinya masalah gizi
sangat terkait dengan berbagai faktor yang mempengaruhi antara lain adanya penyakit
infeksi seperti diare, tuberkulosis paru, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA),
demam berdarah dengue (DBD), malaria, dan lain-lain yang terkait dengan faktor
sanitasi lingkungan. Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik juga
memungkinkan terjadinya berbagai jenis penyakit infeksi yang akhirnya dapat
mempengaruhi status gizi.Sanitasi lingkungan sangat terkait dengan ketersediaan air
bersih, ketersediaan jamban, jenis lantai rumah serta kebersihan peralatan makan pada
setiap keluarga.Semakin tersedia air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, semakin
kecil risiko anak untuk terkena penyakit kurang gizi.
Sanitasi merupakan bagian penting dalam pengolahan makanan yang harus
dilaksanakan dengan baik. Sanitasi dapat didefinisikan sebagai usaha pencegahan
penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang
berkaitan dengan rantai perpindahan penyakit tersebut. Masalah sanitasi termasuk
masalah yang kompleks sehingga senantiasa berubah dari waktu ke waktu.Kesehatan
manusia hanya dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan jika manusia tersebut
terpapar terhadap faktor lingkungan pada tingkat yang tidak dapat ditenggang
keberadaannya.(Mulia, 2005).
Kondisi perekonomian merupakan salah satu aspek yang diukur dalam
menentukan keberhasilan suatu negara. Data badan pusat statistik (BPS) menyebutkan
bahwa pada tahun 2006, tingkat ekonomi nasional mengalami penurunan
dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2005 pertumbuhan ekonomi sebesar
5,7% dan mengalami penurunan pada tahun 2006 menjadi 5,5%. Namun pertumbuhan
ekonomi nasional mengalami peningkatan yang signifikan pada tahun 2007 menjadi
6,3%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia terus mengalami peningkatan pada tahun
2008 yaitu sebesar 6,1% lebih tinggi dari tahun 2007, dan pada tahun 2009 meningkat
sebesar 4,5%, dan meningkat sebesar 6,1% pada tahun 2010 (Depkes RI, 2010).
Salah satu karakteristik keluarga adalah tingkat pendapatan keluarga.Keluarga
dengan status ekonomi menengah kebawah, memungkinkan konsumsi pangan dan
gizi terutama pada balita rendah dan hal ini mempengaruhi status gizi pada anak balita
(Supariasa, Bakri, & Fajar, 2012).
Menurut Suhardjo 2007 kurangnya konsumsi pemberian pangan dan kualitas
gizi yang diberikan oleh keluarga mempengaruhi status gizi balita dan terdapat faktor
faktor, antara lain saling berkaitan satu sama lain. Dari faktor tersebut diantaranya ibu
yang tingkat pendidikannya tinggi, ibu yang 3 pengetahuannya luas, usia ibu dan
pekerjaan ibu. Dari semua faktor ini sangat menentukan keberhasilan pemberian
makanan pada bayi dan balita, karena seorang ibulah yang sangat berperan dalam
mengatur konsumsi pemberian makanan anak.Anak yang diberikan makanan
pendamping ASI setelah berumur 6 bulan umumnya lebih cerdas dan memiliki daya
tahan tubuh lebih kuat, mengurangi resiko terkena alergi akibat makanan. Sedangkan
jika makanan pendamping ASI diberikan terlalu dini justru dapat meningkatkan angka
kematian bayi, mengganggu sistem pencernaan pada bayi, dan apabila terlambat
memberikan juga akan membuat bayi kekurangan gizi (Kodrat, 2010). Makanan
Pendamping ASI (MPASI) perlu diberikan tepat waktu. Bila terlalu dini, berikut
dampak negatifnya karena dapat menyebabkan diare atau susah BAB, Obesitas, Kram
usus, Alergi makanan, konstipasi dan apabila terlambat anak mengalami Kekurangan
nutrisi serta Kemampuan oromotor kurang terstimulasi (Wawa, 2012).
Sikap atau perilaku merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap
suatu objek dengan cara-cara tertentu. Dapat di katakana bahwa kesiapan yang di
maksudkan merupakan kecendrungan potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu
apabila individu di hadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon.(
Devi,2016).
Penyebab timbulnya masalah gizi salah satunya yaitu status gizi yang dipengaruhi
oleh berbagai hal diantaranya umur, tingkat pendidikan, status gizi balita dan sanitasi
lingkungan yang meliputi kualitas sumber air dan kebersihan jamban (Suharyono,
2008).
Salah satu perilaku yang berkaitan dengan kesehatan adalah PHBS. PHBS
adalah semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas kesadaran sehingga anggota
keluarga atau keluarga dapa tmenolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan
berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan di masyarakat. ( Naura,2012).
Berdasarkan fenomena diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang
berjudul “Hubungan asupan makanan, penyakit infeksi, ketersediaan pangan, pola
asuh ibu, kesehatan lingkungan, tingkat pendapatan, pengetahuan ibu, serta perilaku
hidup bersih dan sehat Lingkungan dengan Status Gizi pada Anak Balita.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka perumusan masalah dalam penelitian
ini adalah :
1. Apakah ada hubungan antara asupan makanan dengan status gizi balita di desa X
?
2. Apakah ada hubungan penyakit infeksi dengan status gizi pada balita di Desa X ?
3. Apakah ada hubungan ketersediaan pangan dengan status gizi balita di Desa X ?
4. Apakah ada hubungan pola asuh ibu dengan status gizi anak balita di wilayah
Desa X ?
5. Apakah ada hubungan kesehatan lingkungan dengan status gizi pada anak balita di
desa X?
6. Apakah ada hubungan tingkat pendapatan keluarga dengan status gizi balita di
Desa X ?
7. Apakah ada hubungan pengetahuan ibu dengan status gizi pada bayi ?
8. Apakah ada hubungan antara perilaku hidup bersih dan sehat dengan status gizi
balita di Desa X ?
C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita di desa
X.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk menilai status gizi balita di Desa X.
b. Untuk menilai asupan makanan balita di Desa X.
c. Untuk mengidentifikasi penyakit infeksi pada balita di Desa X.
d. Untuk menilai ketersediaan pangan keluarga di Desa X.
e. Untuk mendeskripsikan pola asuh balita di Desa X.
f. Untuk mendeskripsikan kesehatan lingkungan keluarga di Desa X.
g. Untuk menghitung pendapatan keluarga di Desa X.
h. Untuk menilai pengetahuan Ibu di Desa X.
i. Untuk mendeskripsikan perilaku hidup bersih dan sehat di Desa X.
j. Untuk mengetahui hubungan asupan zat gizi dengan status gizi balita di desa
X.
k. Untuk mengetahui hubungan penyakit infeksi dengan status gizi pada balita di
Desa X.
l. untuk mengetahui gambaran ketersediaan pangan dengan status gizi balita di
Desa X.
m. Untuk mengetahui hubungan pola asuh ibu dengan status gizi anak balita di
wilayah Desa X
n. Untuk mengetahui hubungan kesehatan lingkungan keluarga dengan status
gizi pada balita didesa X.
o. untuk mengetahui hubungan tingkat pendapatan keluarga dengan status gizi
balita di Desa X.
p. Mengetahui hubungan pengetahuan ibu dengan status gizi pada balita di Desa
X.
q. Untuk mengetahui hubungan antara perilaku hidup bersih dan sehat dengan
statusgizi di Desa X.
D. HIPOTESIS
1. Ada hubungan antara asupan makan dengan status gizi balita di desa X
2. Ada hubungan antara penyakit infeksi terhadap status gizi balita di Desa X.
3. Ada hubungan ketersediaan pangan keluarga dengan status gizi balita di Desa X
4. Ada hubungan antara pola asuh ibu dengan status gizi anak balita di wilayah Desa
X.
5. Ada hubungan kesehatan lingkungan dengan status gizi pada anak balita di desa X
6. Ada hubungan tingkat pendapatan keluarga dengan status gizi balita di Desa X
7. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi balita di Desa X.
8. Ada hubungan antara perilaku hidup bersih dan sehat dengan status gizi di Desa X
E. MANFAAT PENELITIAN
1 Manfaat bagi pemerintah
Penelitian ini diharapkan menjadi masukkan dan bahan pertimbangan bagi
pemerintah terutama Dinas Kesehatan untuk meningkatkan kegiatan promosi
kesehatan pada status gizi anak balita.
2 Bagi Responden
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menambah
pengetahuan mengenai status gizi pada balita.
3 Bagi Peneliti
Dapat menambah wawasan serta pemahaman peneliti tentang hubungan asupan
makanan, penyakit infeksi, ketersediaan pangan, pola asuh ibu, kesehatan
lingkungan, tingkat pendapatan, pengetahuan ibu serta perilaku hidup bersih dan
sehat dengan status gizi pada balita.
4 Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah wawasan pengetahuan
tentang status gizi balita sehingga dapat dijadikan referensi untuk penelitian
selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. BALITA
Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia diatas satu tahun atau lebih
popular dengan pengertian usia anak dibawah lima tahun (Muaris. H, 2012). Menurut
Sutomo. B. Dan Anggraeni. DY, (2010), Balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3
tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat usia balita , anak masih tergantung
penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air
dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik, namun
kemampuan lain masih terbatas.
tubuhnya, agar individu tersebut tetap berada dalam keadaan sehat dan baik secara
(Marmi, 2013).
Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh status keseimbangan antara
jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan (requirement) oleh
pula diartikan sebagai gambaran kondisi fisik seseorang sebagai refleksi dari
keseimbangan energi yang masuk dan yang dikeluarkan oleh tubuh (Marmi,
2013).
a. Energi
b. Protein
c. Lemak
karena merupakan sebagai sumber suplai energi yang berkadar tinggi dan
dihitung sekitar 37% dari asupan energi total remaja, baik laki-laki
defisiensi asal lemak esensial dan nutrien yang larut dalam lemak, serta
dapat dikonsumsi adalah lemak jenuh (mentega), asam lemak tak jenuh tak
tunggal (minyak olive), asam lemak tak jenuh ganda (minyak kacang
kedelai), kolestrol (hati, ginjal, otak, kuning telur, daging, unggas, ikan,
Sumber terbesar energi tubuh adalah karbohidrat yang menjadi bagian dari
tubuh, yang terjadi sebagai akibat dari kurangnya kadar karbohidrat dalam
(Soetjiningsih, 2004).
e. Serat
Fungsi serat pada tubuh adalah untuk melancarkan proses pengeluaran dari
tubuh. Sumber yang baik dari diet adalah, produk padi-padian, beberapa
(Soetjiningsih, 2004).
f. Mineral
(Soetjiningsih, 2004). 17
g. Vitamin
Vitamin A merupakan nutrien yang larut dalam lemak, esensial untuk
dan integritas sistem imun. Sumber vitamin A yang baik adalah, karoten
(sayur daun hijau tua, buah dan sayur kuning dan orange), makanan yang
perhari vitamin C yaitu, 50 mg/hari untuk remaja usia 11-14 tahun pada
laki-laki, dan 60 mg/hari untuk usia 15-18 tahun pada perempuan. Sumber
hijau tua dan strawberi yang dijus merupakan sumber vitamin C yang
sangat baik.
Gizi kurang merupakan salah satu masalah gizi yang banyak dihadapi
oleh negara-negara yang sedang berkembang. Hal ini dapat terjadi karena
tingkat pendidikan yang rendah, pengetahuan yang kurang mengenai gizi
dan perilaku belum sadar akan status gizi. Contoh masalah kekurangan gizi
antara lain KEP (Kekurangan Energi Protein), GAKI (Gangguan Akibat
Kekurang Iodium), Anemia Gizi Besi (AGB) (Apriadji, 2012).
3) Gizi Lebih
Status gizi lebih merupakan keadaan tubuh seseorang yang
mengalami kelebihan berat badan, yang terjadi karena kelebihan jumlah
asupan energi yang disimpan dalam beentuk cadangan berupa lemak.Ada
yang menyebutkn bahwa masalah gizi lebih indentik dengan
kegemukan.Kegemukan dapat menimbulkan dampak yang sangat
berbahaya yaitu dengan munculnya penyakit degeneratif, seperti diabetes
melitus, penyakit jantung koroner, hipertensi, gangguan ginjal dam masih
banyak lagi (Soerjodibroto, 2004).
Masalah gizi lebih ada dua jenis yaitu overweight dan obesitas. Batas
IMT untuk dikategorikan overweight adalah antar 25,1-27,0 kh/mg2,
sedangkan obesitas adalah >27,0 kg/m2. Kegegmukan (obesitas) dapat
terjadi mukai dari masa bayi, anak-anak, sampai usia dewasa. Kegemukan
pada masa bayi terjadi karena adanya penimbunan lemak selama dua tahun
pertama kehidupan bayi. Bayi yang menderita kegemukan maka ketika
menjadi dewasa akan mengalami kegemukan pula.
Kegemukaan pada masa anak-anak terjadi sejak anak tersebut
berumur dua tahun sampai menginjak usia remaja dan secara terhadap akan
terus mengalami kegemukan dari masa anak-anak terjadi sejak anak
tersebut berumur dua tahun sampai menginjak usia remaja dan secara
terhadap akan terus mengalami kegemukan sampai usia dewasa.
Kegemukan pada manusi dewasa terjadi karena seseorang telah mengalami
kegemukan dari masa anak-anak (Suyono, 2012).
2.2.4 Kelompok Rentan Masa Gizi
Kelompok-kelompok rentan gizi ini menurut (Notoatmodjo, 2005) :
1. Kelompok bayi, umur 0-1 tahun
2. Kelompok dibawah 5 tahun (balita), umur 1-5 tahun
3. Kelompok anak sekolah, umur 6-12 tahun
4. Kelompok remaja, umur 13-20 tahun
5. Kelompok ibu hamil dan menyusui
6. Kelompok lansia (lanjut usia)
Kelompok-kelompok rentan gizi ini menurut (Sediaoetama, 2007) :
1. Bayi (0-1 tahun)
2. Balita (1-5 tahun)
3. Anak sekolah (6-13 tahun)
4. Remaja (14-20 tahun)
5. Ibu hamil dan ibu menyusui
6. Manula (usia lanjut)
Kelompok-kelompok rentan gizi ini menurut (Rimbawan dan Baliwati,
2004) :
1. Lokasi tempat tingkat (rawan ekologis/daerah terpencil)
2. Rawan biologis (umur dan jenis kelamin)
3. Bayi dan anak sekolah
4. Wanita hamil dan menyusui
5. Penderita penyakit dan orang yang sedang dalam penyembuhan
2.2.5 Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi merupakan penjelasan yang berasal dari data yang
populasi atau individu yang memiliki risiko status gizi kurang maupun gizi lebih
(Hartriyanti dan Triyanti, 2010). Penilaian status gizi terdiri dari dua jenis yaitu :
1. Penilaian Langsung
a. Antropometri
dan buruk
kelemahan yaitu :
1. Tidak sensitif
antropometri.
keaddaan gizi yang yang kurang baik akibat kekurangan energi dan
2010).
ukuran massa jaringan adalah berat badan, lingkar lengan atas, dan
tebal lemak dibawah kulit. Apabila ukuran ini rendah atau kecil,
status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat
makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga dan
makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga dan
a) Metode Kualitatif
antara lain :
3) Metode telpon
b) Metode Kuantitatif
lain :
antropometri gizi, beberapa parameter yang banyak dikenal, yaitu : umur, berat
badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar dada, lingkar kepala, dan
antropometri bisa merupakan rasio dari suatu pengukuran terhadap satu atau lebih
dari :
a. Berat Badan
protein otot menurun. Berat badan adalah salah satu memberikan gambaran
labil.
keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, berat badan
berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal (Supriasa, 2012).
Cara mengukur berat badan yaitu letakkan timbangan pada lantai
angka pada timbangan yang menunjukkan berat badan dan catat berat badan
yang didapat dengan teliti. Kelebihan parameter berat badan adalah lebih
mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum, baik untuk
mengukur status gizi akut atau kronis, berat badan dapat berkualitas, sangat
interprestasi status gizi yang keliru bila terdapat edema maupun asites,
didaerah pedesaan yang masih terpencil dan tradisional, umur sering sulit
ditaksir secara baik karena pencatatan umur yang belum baik, memerlukan
data umur yang akurat, terutama untuk anak dibawah usia lima tahun,
mudah digunakan dan dibawa dari satu tempat ke tempat yang lainnya,
b. Tinggi Badan
Tinggi badan merupakan salah satu parameter yang penting
paku pada dinding yang harus datar setinggi 2 meter. Angka 0 (nol)
pada lantai yang datar rata, sepatu atau sandal dilepas, responden
harus berdiri tegak seperti sikap siap dalam baris-berbaris, kaki lurus,
siku-siku harus lurus menempel panda dinding, baca angka pada skala
2012).
status gizi masa lalu, ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan
d. Z-Score
Kategori dan ambang batas status gizi anak adalah sebagimana terdapat
pada label di bawah ini :
Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Berdasarkan Indeks
a. Asupan Energi
Energi dibutuhkan tubuh untuk memelihara fungsi dasar tubuh yang disebut
energi diperlukan untuk metabolisme basal dan fungsi tubuh seperti mencerna,
mengolah dan menyerap makanan serta untuk bergerak, berjalan, bekerja dan
terdiri atas 60-65% karbohidrat, 20% lemak dan 15-20% protein (Irianto,
2007).
b. Asupan Karbohidrat
Sumber energi terbesar tubuh adalah karbohidrat yang menjadi bagian dari
sebagai glikogen dalam hati dan jaringan otot dan sebagian diubah menjadi
lemak untuk kemudian disimpan sebagai cadangan energi di dalam jaringan
Normal 90 – 119%
c. AsupanLemak
Lemak merupakan garam yang terbentuk dari penyatuan asam lemak dengan
alkohol organik yang disebut gliserol. Kelebihan makanan dalam tubuh akan
disimpan dalam bentuk lemak terutama pada jaringan bawah kulit, sekitar otot,
jantung, paru-paru, ginjal dan organ tubuh lainnya (Irianto, 2007). Asupan
lemak memiliki densitas energi lebih tinggi dibandingkan zat gizi makro lain.
pada asupan energi karena rasa enak di mulut ketika mengonsumsi makanan
antara lain ; sebagai sumber energi yaitu 1gram lemak menghasilkan 9kalori,
Kategori Ambangbatas
Normal 90 – 119%
a. Pengolahan
Keamanan pangan untuk balita tidak cukup hanya menjaga
kebersihan tetapi juga perlu diperhatikan selama proses pengolahan.
Proses pengolahan pangan memberikan beberapa keuntungan, misalnya
memperbaiki nilai gizi dan daya cerna, memperbaiki cita rasa maupun
aroma, serta memperpanjang daya simpan (Auliana, 1999).
Bahan makanan yang akan diolah disamping kebersihannya juga
dalam penyiapan seperti dalam membuat potongan bahan
perlu diperhatikan. Hal ini karena proses mengunyah dan refleks
menelan balita belum sempurna sehingga anak sering tersedak.
Penggunaan bumbu dalam pengolahan juga perlu diperhatikan.
Menurut Uripi, V (2004) pemakaian bumbu yang merangsang perlu
dihindari karena dapat membahayakan saluran pencernaan dan pada
umumnya anak tidak menyukai makanan yang beraroma tajam.
Pengolahan makanan untuk balita adalah yang menghasilkan tekstur
lunak dengan kandungan air tinggi yaitu direbus, diungkep atau
dikukus. Untuk pengolahan dengan dipanggang atau digoreng yang
tidak menghasilkan tekstur keras dapat dikenalkan tetapi dalam jumlah
yang terbatas.Disamping itu dapat pula dilakukan pengolahan dengan
cara kombinasi misal direbus dahulu baru kemudian dipanggang atau
direbus/diungkep baru kemudian digoreng.
b. Penyajian
Penyajian makanan salah satu hal yang dapat dapat menggugah
selera makan anak.Penyajian makanan dapat dibuat menarik baik dari
variasi bentuk, warna dan rasa.Variasi bentuk makanan misalnya dapat
dibuat bola-bola, kotak, atau bentuk bunga. Penggunaan kombinasi
bentuk, warna dan rasa dari makanan yang disajikan tersebut dapat
diterapkan baik dari bahan yang berbeda maupun yang sama.
Disamping
itujugadepatmenggunakanalatsajiataualatmakanyanglucusehingga
selain anak tergugah untuk makan, anak tertarik untuk dapat berlatih
makan sendiri.
c. Cara Pemberian Makanan untukAnak
Anak balita sudah dapat makan seperti anggota keluarga lainnya
dengan frekuensi yang sama yaitu pagi, siang dan malam serta 2 kali
makan selingan yaitu menjelang siang dan pada sore hari. Meski
demikian cara pemberiannya dengan porsi kecil, teratur dan jangan
dipaksa karena dapat menyebabkan anak menolak makanan. Waktu
makan dapat dijadikan sebagai kesempatan untuk belajar bagi anak
balita, seperti menanamkan kebiasaan makan yang baik, belajar
keterampilan makan dan belajar mengenai makanan. Orang tua dapat
membuat waktu makan sebagai proses pembelajaran kebiasaan makan
yang baik seperti makan teratur pada jam yang sama setiap harinya,
makan di ruang makan sambil duduk bukan digendongan atau sambil
jalan-jalan. Makan bersama keluarga dapat memberikan kesempatan
bagi balita untuk mengobservasi anggota keluarga yang lain dalam
makan.
Anak dapat belajar cara menggunakan peralatan makan dan cara
memakan makanan tertentu. Anak usia ini mulai mengetahui cara
makan sendiri meskipun masih mengalami kesulitan untuk mengambil
atau menyendok makanan dengan demikian anak dilatih untuk dapat
mengeksplorasi keterampilan makan tanpa bantuan.Untuk
menumbuhkan keterampilan makan anak secara mandiri anak jangan
dibiasakan untuk selalu disuapi oleh orang tua atau pengasuhnya.Acara
makan bersama juga dapat mengajarkan balita mengenai makanan.
Secara umum anak lebih suka memakan makanan yang dimakan orang
tuanya. Seiring bertambahnya usia anak balita mulai tertarik dengan
makanan yang dimakan oleh teman-temannya. Dengan demikian, orang
tua sangat berperan dalam memberikan model atau contoh bagi anak
dengan memilih makanan yang sehat dan bergizi.
3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Pemberian Makan Balita
a. Pengetahuan Ibu tentang Gizi Balita
Pengetahuan gizi merupakan suatu proses belajar tentang
pangan,bagaimana tubuh menggunakan dan mengapa pangan
diperlukan untuk kesehatan. Pengetahuan pangan dan gizi orang tua
terutama ibu berpengaruh terhadap jenis pangan yang dikonsumsi
sebagai refleksi dari praktek dan perilaku yang berkaitan dengan
gizi (Zulkarnaen,dkk.,2000).
Adanya pengetahuan gizi diharapkan seseorang dapat
mengubah perilaku yang kurang benar sehingga dapat memilih
bahan makanan bergizi serta menyusun menu seimbang sesuai
dengan kebutuhan dan selera serta akan mengetahui akibat apabila
terjadi kurang gizi.
Pengetahuan tentang pangan dan gizi dapat diperoleh melalui
berbagai media baik cetak (majalah, tabloid) maupun elektronik
(radio, televisi, internet) disamping dari buku-buku.Selain itu juga
bisa diperoleh melalui pelayanan kesehatan seperti posyandu,
puskesmas.
Sumber informasi yang dapat menambah pengetahuan ibu di
luar pendidikan formal yang sering dipergunakan dan menarik
sebagian besar ibu rumah tangga di pedesaan, sehingga
memungkinkan informasi termasuk pengetahuan pangan, gizi dan
kesehatan adalah media elektronik diantaranya televise dan radio.
Namun, menurut penelitian Zulkarnaen,dkk (2000) untuk ibu-ibu
rumah tangga di desa keberadaan posyandu justru lebih banyak
dimanfaatkan sebagai sumber informasi pangan, gizi dan kesehatan.
Hal ini karena disamping adanya kegiatankegiatan penyuluhan
(penyampaian pesan-pesan gizi), posyandu juga merupakan tempat
pertemuan ibu-ibu yang memiliki balita sehingga sangat
memungkinkan adanya pertukaran informasi dan pengalaman dalam
mengasuh balitanya.
B. Pendidikan
Menurut UU No.2 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada bab I pasal 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan
pendidikan, pengajaran dan latihan bagi peranannya di masa yang
akandatang. Berkaitan dengan jenjang atau tingkatan yang ada dalam
pendidikan sekolah, sikap dan kepribadian seseorang akan
berubahsetelah memperoleh pendidikan sesuai dengan jenjang
pendidikan yang berbeda- beda.
Menurut Kusumawati, Yuli (2004) latar belakang pendidikan
seseorang berhubungan dengan tingkat pengetahuan. Tingkat
pendidikan itu sangat mempengaruhi kemampuan penerimaan
informasi gizi.
Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah akan lebih
baik mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan
makanan sehingga sulit menerima informasi baru bidang gizi. Tingkat
pendidikan ikut menentukan atau mempengaruhi mudah tidaknya
seseorang menerima suatu pengetahuan, semakin tinggi pendidikan
maka seseorang akan lebih mudah menerima informasi-informasi
gizi.
Pendidikan ibu disamping merupakan modal utama dalam
menunjang perekonomian rumah tangga juga berperan dalam pola
penyusunan makanan untuk rumah tangga.Wahidah (2005)
menyatakan bahwa tingkat pendidikan formal ibu rumah tangga
berhubungan positif dengan perbaikan pola konsumsi pangan
keluarga dan pola pemberian makanan pada bayi dan anak. Hal ini
dikarenakan tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi
melalui pemilihan bahan pangan.
C. Pendapatan RumahTangga
Pendapatan adalah seluruh penerimaan baik berupa uang
maupun barang dari pihak lain maupun hasi sendiri dengan jalan dinilai
dengan uang atas dasar harga saat itu (Mulyono,dkk 1985).
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik pendapatan per kapita
masyarakat Indonesia tahun 2007 naik 17% menjadi US$ 1.946 atau
sekitar 17,9 juta rupiah per tahun (kurs 9.200), berarti pendapatan per
kapita rata – rata masyarakat Indonesia per bulan sekitar 1,46 juta
rupiah.
Struktur pendapatan rumah tangga di pedesaan bervariasi
tergantung pada keragaman sumber daya pertanian.Variasi itu tidak
hanya disebabkan oleh faktor potensi daerah, tetapi juga karakteristik
rumah tangga.Akses ke daerah perkotaan yang merupakan pusat
kegiatan ekonomi seringkali merupakan faktor dominan terhadap
variasi struktur pendapatan rumah tangga pedesaan.Secara garis besar
ada dua sumber pendapatan rumah tangga pedesaan yaitu sektor
pertanian dan non- pertanian.Struktur dan besarnya pendapatan dari
sektor pertanian berasal dari usaha tani/ternak dan berburuh
tani.Sedangkan dari sektor nonpertanian berasal dari usaha
nonpertanian, profesional, buruh non pertanian dan pekerjaan lainnya
di sektor non pertanian.
Pada umumnya jika tingkat pendapatan naik, jumlah dan jenis
makanan cenderung untuk membaik juga.Akan tetapi mutu makanan
tidak selalu membaik jika diterapkan pada tanaman perdagangan.
Tanaman perdagangan menggantikan produksi pangan untuk
rumah tangga dan pendapatan yang diperoleh dari tanaman
perdagangan itu atau peningkatan pendapatan yang lain mungkin tidak
digunakan untuk membeli pangan atau bahan-bahan berkualitas gizi
tinggi. Pendapatan keluarga menurut Wahidah (2005) adalah jumlah
semua hasil perolehan yang didapat oleh anggota keluarga dalam
bentuk uang sebagai hasil pekerjaannya. Pendapatan keluarga
mempunyai peran yang penting terutama dalam memberikan pengaruh
dalam taraf hidup keluarga.
Pengaruh di sini lebih diorientasikan pada kesejahteraan dan
kesehatan, dimana perbaikan pendapatan akan meningkatkan tingkat
gizi masyarakat. Pendapatan akan menentukan daya beli terhadap
pangan dan fasilitas lain (pendidikan, perumahan, kesehatan, dll) yang
dapat mempengaruhi status gizi.
D. Besar Keluarga
Wahidah (2005) menyatakan bahwa besar keluarga yaitu banyaknya
anggota suatu keluarga akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga.
Termasuk dalam hal ini akanmempengaruhi konsumsi pangan. Sehingga
jumlah anggota keluarga yang semakin besar akan menyebabkan
pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata tanpa
diimbangi dengan meningkatnya pendapatan.
Menurut Zulkarnaen,dkk (2000) jumlah anggota rumah tangga yang
sedikit akan lebih mudah meningkatkan kesejahteraan, pemenuhan
pangan dan sandang serta upaya meningkatkan pendidikannya lebih
tinggi. Keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak akan lebih
sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya jika dibandingkan keluarga
dengan jumlah anak yang sedikit. Jika besar keluarga bertambah maka
pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak
menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda memerlukan pangan
relatif lebih banyak dari pada anak yang lebih tua.
E. Kebiasaan Makan
Kebiasaan makan diartikan sebagai cara individu atau kelompok
individu memilih pangan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap
pengaruh fisiologik, psikologik, sosial dan budaya (Suhardjo, 2003).
Mengembangkan kebiasaan makan, berarti mempelajari cara yang
berhubungan dengan konsumsi pangan dan menerima atau menolak
bentuk atau jenis pangan tertentu dimulai dari permulaan hidupnya dan
akan menjadi perilaku yang berakar diantara kelompok penduduk.
Kebiasaan makan adalah suatu gejala budaya dan sosial yang dapat
memberi gambaran perilaku dari nilai – nilai yang dianut oleh seseorang
atau suatu kelompok masyarakat. Pada masyarakat kota modern dimana
hampir semua orang menghabiskan waktu dari pagi sampai sore di
tempat kerja sudah tentu tidak banyak mempunyai waktu untuk
memasak makanan. Biasanya pada masyarakat seperti ini akan
berkembang kebiasaan makan di restoran cepat saji dimana nilai gizi
yang terkandung dalam makanan belum tentu sesuai dengan kebutuhan.
Hal sebaliknya terjadi pada masyarakat pedesaan dimana kebiasaan
makan keluarga dari makanan yang diolah dan dimasak sendiri.
Kebiasaan makan seseorang terbentuk dari proses belajar (learning
behavior). Apabila sejak dini orang tua tidak memperkenalkan atau
membiasakan makan dengan benar maka hal itu akan terbawa hingga
anak dewasa. Hal ini karena bersamaan dengan pangan yang disajikan
dan diterima baik langsung atau tidak langsung, anak-anak
menerima pula informasi yang berkembang menjadi perasaan, sikap dan
tingkah laku serta kebiasaan yang dapat mereka kaitkan dengan pangan.
F. Penilaian Pola Pemberian Makan
Menurut jurnal tentang Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Status Gizi Anak Usia Prasekolah Di Taman Kanak-Kanak Nurul Huda
Kecamatan Indra Jaya Kabupaten Pidie Tahun 2012 oleh Junaidi
penilaian pola pemberian makan dapat dilakukan menggunakan rumus:
𝑆𝑝
𝑁 = 𝑆𝑚 × 100 %
Keterangan:
Sm : skor maksimum
G. Perilaku
1 Pengertian
Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau
suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik,
durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak.Perilaku merupakan
kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi (Wawan & Dewi,
2010).
Perilaku manusia pada dasarnya adalah suatu aktivitas dari
pada manusia itu sendiri sehingga perilaku manusia mempunyai
bentangan yang sangat luas mencangkup berjalan, berbicara, bereaksi,
berpakaian dan lain sebagainya.
Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan
organisme tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik (keturunan) dan
lingkungan.
2 Faktor – faktor dibalik Perilaku Manusia
Perilaku manusia cenderung bersifat holistik (menyeluruh),
sebagai arah analisa kita terdapat tiga aspek yaitu aspek fisiologi,
psikologi dan sosial.Perilaku manusia adalah merupakan refleksi dari
pada berbagai gejala kejiwaan seperti keinginan, minat, kehendak,
pengetahuan, emosi, berpikir sikap, motivasi, dan reaksi. Faktor lain
yang berhubungan dengan perilaku adalah pengalaman, keyakinan,
sarana fisik dan sosial. Hal ini dapat di ilustrasikan sebagai berikut
(Notoatmodjo,2003):
3 Bentuk Perilaku
Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respons
organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar
subyek tersebut. Respon ini terbentuk dua macam yakni
(Notoatmodjo,2003):
a. Bentuk Pasif adalah respon internal, yaitu yang terjadi didalam diri
manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain,
misalnya berpikir, tanggapan atau sikap batin dan pengetahuan.
b. Bentuk Aktif yaitu apabila perilaku tersebut jelas dapat diobservasi
secara langsung.
4 Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon
seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit,
penyakit,sistem pelayanan kesehatan, makanan dan lingkungan.
Respon atau reaksi manusia baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi
dan sikap) maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata) sedangkan
stimulus atau rangsangan disini terdiri dari empat unsur pokok yakni
sakit, penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan
(Notoatmodjo, 2003).
Menurut Notoatmodjo (2003) mengemukakan secara lebih rinci
perilaku kesehatan yaitu :
perilaku seseorang terhadap sakit atau penyakit, yaitu bagaimana
manusia berespons, baik secara pasif mengetahui, bersikap, dan
mempersepsi penyakit dan rasa sakit yang ada pada dirinya dan di luar
dirinya, maupun aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan
penyakit dan sakit tersebut.
2.3.8 PHBS
A. PENGERTIAN
PHBS adalah upaya untuk memberikan pengalaman belajar/ menciptakan
suatu kondisi bagi perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat, dengan membuka
jalan komunikasi, memberikan informasi dan melakukan edukasi, untuk
meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku, melalui pendekatan pimpinan
(advokasi), bina suasana (social support) dan pemberdayaan masyarakat
(empowerment) sehingga dapat menerapkan cara-cara hidup sehat dalam rangka
menjaga, memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat (Dinkes, 2006).
Sebagai suatu upaya untuk membantu masyarakat mengenai dan mengatasi
masalahnya sendiri, dalam tatanan rumah tangga, agar dapat menerapkan cara-cara
hidup sehat dalam rangka menjaga memelihara dan meningkatkan kesehatannya
(Dinkes Lampung, 2003).
B. TUJUAN PHBS
Tujuan PHBS adalah: meningkatkan rumah tangga sehat diseluruh
masyarakat Indonesia, meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan kemauan
masyarakat agar hidup sehat, meningkatkan peran aktif masyarakat termasuk
swasta dan dunia usaha, dalam upaya mewujudkan derajat hidup yang optimal
(Dinkes, 2006).
C. MANFAAT PHBS
1. Bagi rumah tangga: semua anggota keluarga menjadi sehat dan tidak mudah
sakit, anak tumbuh sehat dan cerdas dan pengeluaran biaya rumah tangga
dapat ditujukan untuk memenuhi gizi keluarga, pendidikan dan modal
usaha untuk menambah pendapatan keluarga.
2. Bagi masyarakat: masyarakat mampu mengupayakan lingkungan yang
sehat, masyarakat mampu mencegah dan menanggulangi masalah-masalah
kesehatan dan masyarakat mampu mengembangkan Upaya Kesehatan
Bersumber Masyarakat (UBKM) seperti Posyandu, tabungan ibu bersalin,
arisan jamban, ambulan desa dan lain-lain (Depkes RI, 2008).
D. SASARAN PHBS
Tatanan Rumah Tangga, sasaran PHBS di rumah tangga adalah seluruh anggota
keluarga secara keseluruhan dan terbagi dalam:
1. Sasaran primer adalah sasaran utama dalam rumah tangga yang akan
dirubah perilakunya atau anggota keluarga yang bermasalah (individu
dalam keluarga yang bermasalah).
2. Sasaran sekunder adalah sasaran yang dapat mempengaruhi individu dalam
keluarga yang bermasalah misalnya, kepala keluarga, ibu, orang tua, tokoh
keluarga, kader tokoh agama, tokoh masyarakat, petugas kesehatan, dan
lintas sektor terkait, PKK3.
3. Sasaran tersier adalah sasaran yang diharapkan dapat menjadi unsur
pembantu dalam menunjang atau mendukung pendanaan, kebijakan, dan
kegiatan untuk tercapainya pelaksanaan PHBS misalnya, kepala desa, lurah,
camat, kepala Puskesmas, guru, tokoh masyarakat dan lain-lain.
E. INDIKATOR PHBS DIRUMAH TANGGA
PHBS di Rumah Tangga adalah upaya memberdayakan anggota rumah tangga agar
tahu, mau dan mampu mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat serta
berperan aktif dalam gerakan kesehatan dimasyarakat.
Ada beberapa hal yang memenuhi syarat untuk rumah sehat, yakni:
1) Jendela berfungsi dengan baik dengan ukuran yang memadai. Jendela
ada dua sisi yang berbeda, sehingga bisa menjadi jalannya udara yang
baru. Pada setiap rungan sebaiknya dibuatkan jendela kaca yang
berhubungan dengan ruang luar. Dalam menentukan letak jendela,
harus diperhatikan untuk mengarah ke matahari. Cahaya matahari yang
terlalu panas, gunakan kanopi jendela untuk menaungi jendela dari
cahaya matahari langsung.
2) Ventilasi udara adalah lubang penghawaan pada ruangan agar sirkulasi
udara dalam ruangan menjadi baik. Minimal ventilasi udara berukuran
lebih 10 % dari luas lantai
3) Pencahayaan ruangan dengan standar mata normal bisa membaca tanpa
sinar lampu tambahan
4) Lubang asap dapur lebih besar 10% dari luas tanah lantai.
5) Lingkungan tidak padat penghuni luas lantai rumah per penghuni lebih
besar 10 m2
6) Kandang hewan harus terpisah dengan rumah. Misalkan anda
mempunyai ternak maka kandangnya harus terpisah dari rumah.
7) Konstruksi rumah, bangunan permanen dengan tembok, bata plesteran,
serta papan kedap airSanitasi yang benar
Sarana sanitasi yang benar yakni :
a. Sarana air milik sendiri, memenuhi syarat kesehatan
b. Jamban leher angsa atau septic tank
c. Terdapat sarana pembuangan air limbah yakni dapat diserap dan
tidak mencemari sumber air (jarak dengan sumber air lebih dari 10
m ) dialirkan ke selokan tertutup (saluran kota) untuk diolah lebih
lanjut.
d. Tempat sampah yang kedap air tertutup
Rumah sehat juga dipengaruhi oleh kebiasaan penghuninya.Kebiasaan
yang dilakukan sehari-hari dapat mempengaruhi terjadinya penularan
berbagai penyakit. Agar tidak terjadi maka seharusnya perilaku
penghuni memperhatikan beberapa hal :
a. Membersihkan tempat jentik berkembang agar rumah bebas jentik
nyamuk tidak lebih dari 5 %
b. Bersihkan dari hal-hal yang mempengaruhi tikus datang ke rumah.
Pastikan rumah bebas tikus
c. Membersihkan rumah dan halaman rumah setiap hari
d. Memanfaatkan pekarangan, misalnya dengan menanami bunga,
sehingga ada upaya penghijauan
e. Membuang tinja bayi atau balita ke jamban, jangan meremehkan
tinja bayi dan dibuang sembarangan karena tinja bayi sama halnya
dengan tinja orang dewasa
f. Membung sampah pada tempat sampah, sampah hendaknya
dibuang setiap hari pada sampah besar yang akan dibawa oleh
petugas sampah (Nur Ilmiah)
2.12. KerangkaTeori
Asupan makanan
Penyakit infeksi
Ketersediaan pangan
Tingkat pendapatan
Pengetahuan ibu
TB/U :
Sangat Pendek
: <-3SD
Pendek : -3SD
sampai -2SD
Normal : -2SD
sampai 2SD
Tinggi : >2SD
BB/TB :
Sangat Kurus :
<-3SD
Kurus : -3SD
sampai <-2SD
Normal : -2SD
sampai 2SD
Gemuk : >2SD
METODE PENELITIAN
2) Data sekunder
Data sekunder dikumpulkan dengan cara mempelajari catatan
dokumen yang ada di dinas kesehatan, puskesmas, kecamatan, dan kantor desa
X.
3. Cara Pengolahan Data
1. Pengolahan Data Status Gizi
hasil penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan
dimasukkan ke dalam aplikasi program Nutri 2008.
Dikategorikan menjadi :
BB/U : TB/U : BB/TB :
Gizi Buruk : <-3 SD Sangat Pendek : <-3SD Sangat Kurus : <-3SD
Gizi Kurang : -3SD Pendek : -3SD sampai - Kurus : -3SD sampai
sampai <-2SD 2SD <-2SD
Gizi Baik : -2SD sampai Normal : -2SD sampai Normal : -2SD sampai
2SD 2SD 2SD
Gizi Lebih : >2SD Tinggi : >2SD Gemuk : >2SD
1. Terdapatnya ventalasi
- Ada : Skor 2
- Tidak : Skor 1
2. Pembagian Ruangan
- Ada : Skor 2
- Tidak : Skor 1
5. Pembuangan Sampah
- TPS : Skor 4
- Dibakar : Skor 3
- Selokan : Skor 3
- Sungai : Skor 1
1. Analisis Univariat
Data diolah dalam table distribusi frekuensi untuk tiap variable.
1 Gizi lebih
2 Gizi baik
3 Gizi kurang
4 Gizi buruk
Jumlah
Gemuk : > 2 SD
Normal : > -2 SD s/d 2 SD
Kurus : < -2 SD s/d -3 SD
Kurus sekali : < -3 SD
Jumlah
No Status Gizi balita (BB/TB)
N %
1 Gemuk
2 Normal
3 Kurus
4 Kurus Sekali
Jumlah
Normal : -2 SD s/d 2 SD
Pendek : < -2 SD
Jumlah
No Status Gizi balita (TB/U)
N %
1 Normal
2 Pendek
Jumlah
1. Baik
2. Sedang
3. Kurang
4. Defisit
Jumlah
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariate dilakukan untuk mencari hubungan antara variable
yang diteliti dengan status gizi balita. Analisis menggunakan SPSS 18
dengan uji statistic korelasi spearman dengan tingkat signifikansi 95% (α
0,05).
P = 1 - 6Σbi2
n(n2-1)
(Sugiyono, 2009)
a. Apabila P > α maka H0 diterima Tidak ada hubungan antara variable bebas
(Ketersediaan Pangan) dengan variable perikat (Status Gizi Balita)
1. Analisis Univariat
Analisis Univariat adalah analisis yang digunakan untuk
mendriskipsikan variabel yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi dan persentase dari tiap variabel.
2. Analisis Univariat
hubungan variabel bebas dan variabel terikat dengan uji statistic yang
disesuaikan dengan data yang ada yaitu ordinal. Variabel yang akan diuji
6 ⅀ 𝑑²
Rumus : rs = 1 - 𝑛 (𝑛2 −1)
Keterangan :
c. Uji ini digunakan untuk menguji hubungan dua variabel atau lebih.
dirangking.
dua variabel.
Ho : tidak ada hubungan antara pola asuh dengan status gizi balita
1. Analisis Univariat
Jumlah
No Status Gizi balita (BB/U)
N %
1 Gizi lebih
2 Gizi baik
3 Gizi kurang
4 Gizi buruk
Jumlah
𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 − 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖𝑚𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛
𝑍𝑠𝑐𝑜𝑟𝑒𝑇𝐵/𝑈 =
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖𝑚𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛 − 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖𝑠𝑝. 𝑏𝑎𝑘𝑢
Dengan beberapa kriteria :
a. Gemuk : > 2 SD
b. Normal : > -2 SD s/d 2 SD
c. Kurus : < -2 SD s/d -3 SD
d. Kurus sekali : < -3 SD
Jumlah
No Status Gizi balita (BB/TB)
N %
1 Gemuk
2 Normal
3 Kurus
4 Kurus Sekali
Jumlah
𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 − 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖𝑚𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛
𝑍𝑠𝑐𝑜𝑟𝑒𝑇𝐵/𝑈 =
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖𝑚𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛 − 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖𝑠𝑝. 𝑏𝑎𝑘𝑢
1) Normal : -2 SD s/d 2 SD
2) Pendek : < -2 SD
1 Normal
2 Pendek
Jumlah
c. Sanitasi
Pengolahan data kesehatan lingkungan yaitu dengan cara member skor
pada hasil wawancara kuesioner.
1. Terdapatnya ventalasi
Ada : Skor 1
Tidak : Skor 0
2. Pembagian Ruangan
Ada : a. Ruang tamu : skor 1
g. Jamban/wc : skor 1
h. Gudang : skor 1
Tidak : Skor 0
5. Pembuangan Sampah
TPS : Skor 4
Dibakar : Skor 3
Selokan : Skor 3
Sungai : Skor 1
2. Analisis Bivariat
P = 1 - 6Σbi2
n(n2-1)
(Sugiyono, 2009)
1. Analisis Univariat
Penelitian yang dilakukan terhadap variable dari hasil penelitian.Pada
umumya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan presentasi dari tiap
variabel.
2. Analisis Bivariat
Analisis yang dilakukan terhadap dua variable yang diduga berhubungan
atau berkorelasi (Notoadmodjo, 2002).Untuk mengetahui apakah ada hubungan
antara variabel yang akan diuji hubungannya antara tingkat pendapatan keluarga
dengan status gizi balita,data tersebut kemudian ditabulasikan. Uji hipotesis yang
digunakan pada penelitian ini adalah uji chi square, yaitu membandingkan
frekuensi yang diamati dengan frekuensi yang diharapkan (Notoadmojo,
2010).Analisa menggunakan aplikasi SPSS 19.
1. Analisis Univariat
Penelitian yang dilakukan terhadap variabel dari hasil penelitian.Pada
umumya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan presentasi dari
tiap variabel.
2. Analisis Bivariat
Analisis yang dilakukan terhadap dua variable yang diduga berhubungan atau
berkorelasi (Notoadmodjo, 2002).Untuk mengetahui apakah ada hubungan
antara variabel yang akan diuji hubungannya antara pengetahuan ibu dengan
status gizi,data tersebut kemudian ditabulasikan. Untuk menguji hipotesis
dilakukan uji Spearman dengan menggunakan bantuan komputer.
3.5.8 Analisis Data Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat
berdasarkan statistik sampel atau lebih dikenal dengan proses generalisasi dan
1. Analisis Univariat
Penelitian yang dilakukan terhadap variable dari hasil penelitian.Pada
umumya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan presentasi dari
tiap variabel.
2. Analisis Bivariat
Analisis yang dilakukan terhadap dua variable yang diduga berhubungan atau
berkorelasi (Notoadmodjo, 2002).Untuk mengetahui apakah ada hubungan
antara variabel yang akan diuji hubungannya antara PHBS dengan status
gizi,data tersebut kemudian ditabulasikan. Untuk menguji hipotesis dilakukan
uji Spearman dengan menggunakan bantuan komputer.
Nilai ketentuan :
a. Apabila p < α, maka Ho ditolak berarti ada hubungan yang bermakna antara
kedua variabel.
b. Apabila p < α, maka Ho diterima berarti tidak ada hubungan yang bermakna
antara kedua variabel.
Menurut Colton, kekuatan hubungan dua variabel secara kualitatif dapat di bagi
dalam empat area sebagai berikut :