Вы находитесь на странице: 1из 5

Di sebuah desa yang asri hiduplah seorang kakek dan istrinya, mereka adalah keluarga sederhana.

Mereka hidup sebagai petani untuk menyambung kehidupan. Mereka tinggal di sebuah rumah yang
sederhana. Meskipun begitu mereka tetap bahagia dan bersyukur terhadap apa yang mereka miliki.

Sang kakek adalah orang yang rajin dan ulet dalam bekerja. Meski ia telah mencapai usia yang sepuh
semangatnya untuk terus bekerja tak pernah surut. Terik matahari sudah jadi hal yang biasa baginya
yang setiap hari bertani. Ia juga orang yang rajin beribadah, setiap hari kakek ini tak pernah luput untuk
pergi ke surau yang letaknya tak jauh dari rumahnya.

Pada suatu ketika sang kakek menanam sebuah pohon pepaya di halaman rumahnya. Ia merawat pohon
pepaya yang ia tanam itu dengan baik. Hari demi hari berlalu dan akhirnya tibalah saat pohon pepaya
yang ditanamnya berbuah. Pepaya itu memiliki dua buah yang sudah menguning sebagai tanda hampir
masak. Setiap hari sang kakek melihat dan menunggu waktu buah pepaya itu bisa dipetik.

Pada suatu pagi sang kakek mendapati buah pepaya miliknya hanya tinggal satu, ternyata pepaya yang
ia tunggu untuk dipetik itu telah dicuri orang. Sang kakek terlihat muram dan amat sedih mendapati
kenyataan bahwa pepayanya telah hilang dicuri. Istrinya yang heran karena sang kakek terlihat sangat
sedih pun bertanya pada sang kakek.

Nenek:

"Suamiku mengapa engkau begitu bersedih hanya karena kehilangan pepaya?"

Kakek:

(Diam sejenak kemudian mulai berkata perlahan)

"Duhai istriku, taukah engkau betapa sulitnya pencuri itu mengambil buah pepaya kita?

Nenek:

(Bingung mendengar jawaban yang diberikan suaminya)

Mengapa seperti itu?

Kakek:

Coba engkau bayangkan pencuri itu harus mengendap-endap di gelapnya malam, agar tidak ada orang
yang tau saat mengambil buah pepaya kita. Belum lagi ia harus memanjat pohon pepaya itu dalam
kegelapan.

Nenek:

(Semakin bingung dengan jawaban suaminya, ia menghela nafas)

Lalu bagaimana?
Kakek:

Aku akan memberi tangga di puhon pepaya itu, agar jika nanti malam pencuri itu tidak kesulitan
memetik pepaya itu.

Sang kakek segera mengambil tangga dan meletakkannya di pohon pepayanya. Ia berharap sang pencuri
akan datang kembali dan tidak akan kesulitan untuk memetik pepayanya.

Malam berlalu dan matahari pagi yang cerah telah bersinar, tapi sang kakek kecewa dan sedih karena
buah pepayanya masih utuh. Ternyata pencuri itu tak datang. Sang kakek berfikir mungkin saja nanti
malam pencuri itu akan datang. Namun keesokan harinya sang kakek mendapati pepayanya masih ada,
itu artinya sang pencuri tak datang. Sang kakek masih berharap pencuri itu datang di malam berikutnya.
Pagi kembali menyapa tapi lagi-lagi pencuri itu tak datang.

Saat sang kakek masih duduk bersantai di teras rumahnya, tiba-tiba ada seorang pria datang bertamu ke
rumahnya. Pria yang asing bagi sang kakek karena ia baru pertama kali melihat pria itu. Sang kakek
menyambut pria itu dengan hangat dan mengajaknya duduk. Pria itu membawa sebuah pepaya besar
untuk sang kakek. Mereka pun mengobrol cukup lama.

Setelah mengobrol cukup lama akhirnya tamu tersebut berpamitan pulang ke kakek.

Tamu:

Saya pulang dulu pak!

Kakek:

Oh ya nak! Hati-hati di jalan, kapan-kapan mampir lagi kesini!

Tamu:

Sebelum saya pulang saya ingin mengatakan sesuatu kepada bapak.

Kakek:

Ya, silahkan!

Tamu:

(Wajahnya pucat dan sambil bergetar ia mulai berkata)

Maafkan saya pak! Sebenarnya sayalah yang mencuri buah pepaya bapak.

Kakek:

(Kaget mendengar yang dikatakan pria itu)

Apa itu benar?


Tamu:

Sebenarnya pada malam berikutnya saya kembali kesini untuk mencuri lagi, tapi saya melihat ada
tangga di bawah pohon pepaya itu.

(Ia diam sejenak)

Saat itu saya langsung sadar dengan kesalahan saya dan saat itu juga saya bertaubat. Saya telah berjanji
pada diri saya untuk tidak lagi mencuri.

Kakek:

(Tersenyum kemudian mendekati pria itu dan menepuk pundaknya pelan)

Alhamdulillah, Allah telah memberi hidayah kepadamu.

Tamu:

Maafkan saya pak!

Kakek:

Saya sudah memaafkanmu, semoga kamu diberikan ampunan dan limpahan kasih sayang dari Allah.

(Keduanya berpelukan dan tersenyum bahagia) .


Andi adalah siswa kelas VI di SD Nusa Bangsa. Sehari-hari ia dikenal sebagai sosok yang lincah, baik,
sopan dan pandai bergaul.

Pada suatu hari, kelas Andi mendapat ulangan mendadak. Namun, Andi sangat tenang karena semalam
ia telah belajar. Dan hasil yang ia dapatkan amat memuaskan. Ia mendapat nilai sempurna, 100.

Sepulang sekolah…

“Andi!”

“Kenapa, Van?”

“Main futsal yok!”

Andi kebingungan, di satu sisi dia ingin bermain futsal, tetapi besok di kelasnya diadakan ulangan.

“Em, gimana ya bro? Besok kan ada ulangan!”

“Elah, udah, lo kan pinter, ga belajar juga bisa!”

“Ah, elo! Ya udah deh! Yok!”

Sepulang dari bermain ia langsung mandi dan belajar. Ia hanya sempat belajar 30 menit untuk ulangan
besok. Karena kelelahan ia pun tertidur di meja belajarnya.

Di sekolah…

“Halo bro! Udah belajar?”

“Yoo! Ulangn bab 3 kan?”

“Yee, bukan bro! Bab 4!”

“Elah, bercanda lo!”

“Iya, bab 3! Tapi gue sih ga belajar. Kemaren pulang gue langsung tidur!”

“Anak-anak,” Bu Ria muncul di ambang pintu. Kontan anak-anak langsung ketar-ketir lari ke tempat
mereka masing-masing. Bu Ria menggelengkan kepala.

“Kalian sudah siap ulangan?”

“Belum buu!” Dengan kompaknya, satu kelas berteriak.

“Ibu tidak peduli! Kemarin ibu sudah bilang bukan ada ulangan? Ayo, semua masukkan buku kedalam
tas!”
Kelas langsung rebut dipenuhi suara kertas dan keluhan anak –anak. Beberapa detik kemudian, suasana
sunyi.

“Baik, kalian sudah siap? Oke!” Bu Ria membagikan kertas yang sudah berisi soal. “Kerjakan langsung di
kertasnya!” Bu Ria kembali ke meja guru.

Andi kaget bukan kepalang. Ternyata perkataan temannya benar, ulangan bab 4. Dengan perasaan was-
was ia menulis jawaban seingatnya.

Beberapa menit kemudian…

“Oke, ibu tinggal dulu!” Bu Ria meninggalkan kelas. Setelah guru mereka berjalan agak jauh, kelas
langsung dipenuhi bisik-bisik. Banyak yang malah dengan terang-terangan membuka buku mereka dan
menyontek. Sebagian melihat milik teman mereka. Meskipun sedang terdesak, Andi tidak mau
menyontek seperti teman-temannya yang lain.

Dua hari kemudian hasilnya dibagikan.

“Andi,”

Andi berjalan ke depan. Memegang kertasnya, ia tersentak. Ia sangat kaget! Ia mendapat nilai 90.

Setelah semuanya dibagikan, Bu Ria berjalan ke tengah kelas. “Kalian tahu? Ibu tahu bahwa dua hari
yang lalu, kalian semua menyontek,”

Terdengar jeritan tertahan dari penjuru kelas.

“Kecuali empat orang. Fira, Annie, Ressa, dan… Andi. Ibu tau semuanya. Bagi ibu, empat orang ini sangat
baik karena mereka jujur, tidak mencontek. Dan untuk Andi,” Ucap Bu Ria. “Kamu satu-satunya anak
lelaki yang jujur. Terimakasih atas kejujuran kamu. Kalian juga, terimakasih Fira, Ressa, Annie.” Bu Ria
tersenyum. “Dan untuk yang menyontek, siap-siap saja kalian ulangan lagi.” ucap Bu Ria ringan sambil
menuju meja guru. “Oke, buka bab 5.”

Andi masih dengan tidak konsentrasi membuka bukunya. Ia mendapat 90 tanpa belajar dan menyontek!
Menurutnya, itu pencapaian menakjubkan.

Dia menceritakan semua kejadian itu pada ibundanya tersayang. Ibunya mengembangkan senyum dan
berkata, “Makanya, kamu harus ngambil hikmah dari kejadian ini,”

“Iya bunda, aku mengerti,” jawab Andi masih dengan wajah berseri.

Sang bunda berucap lagi, masih dengan tersenyum bahagia atas kejujuran anaknya, “Kalau kamu ingin
lulus, kamu harus belajar dengan sungguh-sungguh karena sebentar lagi sudah ujian kelulusan.”

“Iya bunda, aku akan inget nasihat bunda.”

Вам также может понравиться