Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Kelas : 2B
NIM : P1337420217057
BPJS KESEHATAN
A. Pengertian
BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan) merupakan Badan Hukum Publik yang bertanggung jawab langsung
kepada Presiden dan memiliki tugas untuk menyelenggarakan jaminan Kesehatan
Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil,
Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta
keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa.
B. Tujuan
Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan
terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota
keluarganya.
BELUM lama ini BPJS Kesehatan mengeluarkan tiga kebijakan baru, yakni
layanan kesehatan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terkait dengan
katarak, persalinan dengan bayi lahir sehat, dan rehabilitasi medik. Kebijakan itu
menjadi polemik, menimbulkan kegaduhan karena mendapat reaksi negatif dari
beberapa pihak. Terutama Kementerian Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional
(DJSN) serta sejumlah asosiasi profesi bidang kesehatan, seperti IDI dan Ikatan
Fisioterapi Indonesia (IFI).
Sementara itu, BPJS Kesehatan memiliki argumen bahwa kebijakan baru itu
dirancang untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembiayaan kesehatan. BPJS
Kesehatan melakukan ini sebagai upaya mengatasi defisit keuangan yang dialaminya.
Menkes menerangkan bahwa dalam hal ini, tidak ada diagnosa bayi lahir sehat
atau bayi lahir sakit. Menurutnya, bayi yang sehat dalam kandungan belum
dapat dipastikan akan persalinan normal.
Iqbal pun berharap, kehadiran suntikan dana bisa membantu masalah defisit
anggaran tersebut.
"Harapan kami setelah ada tambahan suntikan dana jaminan sosial dari apbn
bisa mengatasi masalah tersebut," terangnya.
Lebih lanjut, pada tahun 2017 berdasarkan jumlah kunjungan 4.200.678 dan
jumlah pasien dialisis berdasarkan nomor kartu kepesertaan yaitu 73.737
pasien, didapatkan rata-rata kunjungan adalah 56 kali per tahun. Angka ini
hanya 58 persen dari idealnya jumlah kunjungan 96 kali setahun (dengan
asumsi 8 kali kunjungan per bulan). Artinya, fungsi hemodialisa masih belum
optimal.
Beberapa hal masih menjadi pemicu kondisi tersebut seperti faktor kepatuhan
pasien, faktor pasien meninggal dunia, atau adanya hambatan akses pasien
untuk mendapatkan perawatan, seperti proses rujukan berjenjang yang
berbelit, atau minimnya jumlah fasilitas hemodialisis.
Kenyataan yang terjadi dengan tingginya defisit yang dialami oleh BPJS
Kesehatan harus disoroti dan ditindaklanjuti secara serius. Biaya penyakit
katastropik yang cukup tinggi, seperti contohnya dialisis tidak dapat
diabaikan.
"Banyak yang perlu dibenahi khususnya kemudahan bagi pasien dialisis
mendapatkan layanan yang berkualitas baik melalui hemodialisis maupun
CAPD sebagai salah satu alternatif terapi pengganti ginjal yang dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien Gagal ginjal kronis dan sekaligus menjadi
solusi pengendalian biaya kesehatan negara," ujar Ketua Perhimpunan
Nefrologi Indonesia, dr. Aida Lydia, PhD., Sp. PD-KGH, dalam acara
InaHEA, di kawasan Kuningan, Jakarta, Rabu 31 Oktober 2018.
Namun, faktor iuran yang diberikan oleh masyarakat juga tidak boleh
dilupakan. Terlebih, iuran yang dianggap terlalu kecil, dikaitkan dengan
adanya ketimpangan biaya pada BPJS Kesehatan.
"Sejak awal tahun sudah diperhitungkan bahwa JKN akan ada ketidakcukupan
biaya," ujar direktur pelayanan BPJS, Maya A. Rusady dalam acara InaHEA,
di kawasan Kuningan, Jakarta, Rabu 31 Oktober 2018.
Di kesempatan yang sama, Dewan Jaminan Sosial Nasional, Asih Eka Putri
mengatakan bahwa angka iuran perlu ditelaah kembali. Sebab, angka iuran
yang terbilang minim, tak sesuai dengan sebagian masyarakat yang tergolong
memiliki pendapatan yang cukup besar.
"Banyak orang-orang yang pendapatannya besar tapi iurannya sama saja
walaupun dengan iuran yang paling tinggi. Perlu juga disamakan gaji pokok
dan tunjangan tetapnya agar iuran bisa disesuaikan," kata Asih.
Kepatuhan membayar pada masyarakat dalam hal ini juga perlu dipertegas
kembali. Tingkat kepatuhan yang seharusnya mencapai 80 persen, saat ini
masih di angka yang sangat jauh yaitu 5 persen.
"Artinya dalam 1 tahun, dari 10 orang, hanya 5 orang yang patuh membayar.
Padahal seharusnya, dari 10 orang, hanya 1 orang yang tidak patuh
membayar."(ben)