Вы находитесь на странице: 1из 4

Nama :Merita Sari No pelita : 17

Nama medis :Dacrocystitis


Nama pelita : Opthamology
No Absen :30

Artikel - Perlu Banyak Perbaikan Untuk BPJS Kesehatan

Jakarta (Antara Kalbar) - Sudah setengah tahun Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan beroperasi dan akan disusul dengan BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Juli 2015.
Dalam waktu enam bulan penyelenggaraannya, BPJS Kesehatan masih perlu banyak
perbaikan, mulai dari pendaftaran calon peserta, hingga layanan kepada peserta dan pasien.
Sejak beroperasi, kantor-kantor BPJS Kesehatan setiap hari selalu dipadati oleh calon peserta
yang ingin mendaftar. Kepadatan antrean terlihat setiap hari, bahkan hingga ke luar kantor
BPJS Kesehatan.

Seperti yang terlihat di Kantor BPJS Kesehatan Cabang Jakarta Barat yang berada di
kawasan, Palmerah, Jakarta Barat. Pun di bulan puasa, minat calon peserta untuk mendaftar
seolah tak surut. Karena adanya batasan nomor antrean dan waktu operasional, tak jarang
calon peserta yang ingin mendaftar harus pulang ke rumahnya dengan tangan hampa.
Akibatnya, ada calon peserta yang akhirnya baru berhasil mendaftar setelah tiga kali datang
ke kantor BPJS Kesehatan. Seperti Saut Gemaya (30), misalnya. Pada Jumat (4/7), dia sudah
tiga kali datang ke Kantor BPJS Kesehatan Cabang Jakarta Barat. "Sebelumnya saya memang
datang kesiangan sehingga tidak dapat nomor antrean. Ada juga yang saya hanya mengambil
formulir saja," tuturnya.

Pegawai sebuah bank BUMN itu berharap sistem antrean pendaftaran bisa seperti antrean di
perbankan. "Begitu datang langsung pencet tombol dan keluar nomor antrean. Kalau begitu
kan lebih mudah daripada seperti saat ini," katanya. Warga Kalideres, Jakarta Barat itu
mengatakan dia datang ke kantor cabang BPJS Kesehatan sekitar pukul 08.00 WIB lebih dan
mendapat nomor satu di daftar hadir gelombang kedua dan akhirnya sekitar pukul 11.00
mendapatkan nomor antrean 182. Selain itu, Saut juga menyarankan agar Kantor BPJS
Kesehatan Cabang Jakarta Barat menyediakan tenda supaya pendaftar yang di luar menunggu
giliran dipanggil tidak terlalu kepanasan.

Untuk menertibkan pendaftar, Kantor BPJS Kesehatan Cabang Jakarta Barat menerapkan
sistem daftar hadir bagi calon pendaftar. Di depan kantor tersedia meja dengan beberapa
lembar kertas untuk menuliskan daftar hadir. Pendaftar yang sudah membayar ke bank,
begitu hadir di kantor BPJS Kesehatan, harus mengisi daftar hadir itu. Begitu pukul 08.00,
atau mulai waktu operasional kantor, ada petugas yang akan membagikan nomor antrean
sesuai urutan dalam daftar hadir tersebut.

Ketika daftar hadir itu dipegang petugas untuk memberikan nomor antrean, disediakan daftar
hadir gelombang kedua. Pendaftar yang terdaftar dalam daftar hadir gelombang kedua baru
mendapatkan nomor antrean setelah pukul 11.00. Kantor BPJS Kesehatan Cabang Jakarta
Barat membatasi pendaftar hingga 250 orang setiap hari atau hingga waktu operasional
selesai. Pada bulan Ramadhan, waktu operasional hanya hingga pukul 15.00. Bank kerap
"Offline" Pendaftar BPJS Kesehatan lainnya mengeluhkan perbankan yang kerap "offline",
padahal pembayaran harus dilakukan di bank.
"Bank sering 'ofline'. Cara menyiasatinya ya harus bayar melalui ATM. Tapi kan tidak semua
orang memiliki ATM," kata Susan Sutanto (50), warga Kembangan, Jakarta Barat.
Susan yang sudah tiga kali mendaftarkan beberapa anggota keluarganya ke Kantor BPJS
Kesehatan mengatakan perbankan juga terlihat memiliki mekanisme yang berbeda-beda.
Susan menuturkan saat pertama kali mendaftarkan keluarga intinya dan membayar secara
"online" ke bank, dia tidak dikenai biaya sama sekali. Namun, dia mendapat informasi kalau
di bank lain, pendaftar yang bukan nasabah bank tersebut dikenai biaya Rp10.000.

"Jadi ketika mendaftarkan kakak saya, saya sekalian buka rekening di bank itu. Informasinya
kalau nasabah yang tidak membawa kartu ATM juga akan dikenai biaya Rp7.500," tuturnya.
Susan sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan bila perbankan menarik biaya untuk
pendaftar BPJS. Pasalnya, bank juga harus mengeluarkan biaya kertas dan tinta untuk bukti
pembayaran calon pendaftar. Namun, dia mempertanyakan mengapa ada perlakuan yang
berbeda antara bank satu dengan lainnya. Padahal, seluruh pembayaran pendaftaran BPJS
harus melalui bank yang sudah ditunjuk, yaitu BRI, Mandiri dan BNI. "Cara yang paling
mudah untuk mendaftar melalui 'online'. Setelah mendaftar 'online' nanti mendapat 'virtual
account' untuk membayar di bank. Kalau saya biasanya mendaftar 'online' di bank sekalian
supaya dibantu dan tidak salah," katanya.

Sebab, Susan mengatakan ada beberapa pendaftar "online" yang datanya ternyata tidak
sesuai. Data yang berbeda itu bisa memperpanjang waktu ketika mengambil kartu BPJS.
Padahal, yang paling menghabiskan waktu dan tenaga adalah antrean saat pengambilan kartu.
Kebingungan Seorang warga Kampung Duri, Jakarta Barat,Ahmad Hanafi(31) kebingungan
saat akan mendaftarkan keluarganya ke BPJS Kesehatan karena namanya dan anaknya
ternyata sudah terdaftar dan dibayar. "Waktu itu saya titipkan berkas ke bank untuk
mendaftar BPJS. Esoknya saat saya ke sana, diberi tahu kalau saya dan anak sudah terdaftar
dan dibayar dan hanya tinggal mengambil kartunya saja," kata Hanafi.

Karena merasa belum mendaftar sebelumnya, Hanafi dan istrinya, Eva Latifa (29), pun
kebingungan. Ketika ingin membayar supaya bisa mendaftar pun petugas bank menyatakan
tidak perlu karena sudah dibayar. "Orang bank bilang buat apa dibayar, kan sudah dibayari.
Katanya kemungkinan dari APBD. Saya diyakinkan tinggal mengambil kartunya saja," kata
Eva.
Petugas bank kemudian memberikan daftar peserta BPJS milik keluarga Hanafi. Di situ
tercantum nama Hanafi dan anaknya, Nadzwa Latifa Ahmad, yang berhak mendapatkan
layanan kesehatan di kelas II. "Saya heran. Kalau saya masuk dalam penerima bantuan iuran,
kan seharusnya tidak di kelas II, mungkin di kelas III atau bahkan di bawahnya," tutur
Hanafi.
Saat ditanya kemungkinan namanya terdaftar sebagai penerima Kartu Jakarta Sehat (KJS),
program Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, Hanafi mengatakan dia tidak pernah mendaftar
dan memperoleh kartunya.

Kebingungan Hanafi akhirnya terjawab ketika dia dipanggil sesuai dengan nomor antrean.
Menurut petugas BPJS, dia dan anaknya sudah terdaftar karena sebelumnya terdaftar sebagai
penerima KJS sehingga preminya dibayarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hanafi
kemudian memutuskan untuk mendaftar sebagai peserta biasa. Dia menyatakan enggan
menerima bantuan dari Pemprov DKI Jakarta. "Petugas BPJS bilang saya harus mutasi. Jadi
Senin (7/7) saya harus kembali lagi. Biar yang lebih berhak saja menerima bantuan dari
KJS," kata wiraswastawan itu. Rumah sakit ditambah Sementara itu, Didik Suhartono (57),
yang otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan karena sebelumnya menjadi peserta Askes,
berharap rumah sakit yang bekerja sama denga BPJS bisa bertambah.

"Dalam keadaan darurat, orang pasti akan memilih rumah sakit terdekat. Kalau tidak semua
rumah sakit melayani BPJS, tentu akan menyusahkan masyarakat," kata pensiunan pegawai
negeri sipil itu. Didik, yang sudah pernah merasakan layanan kesehatan BPJS ketika
menjalani operasi tumor usus itu, juga mengeluhkan obat dan alat kesehatan yang harus
diambil sendiri oleh pasien atau keluarganya, tidak boleh oleh perawat atau tenaga kesehatan
lainnya. Hal itu, kata dia, berbeda dengan pelayanan di rumah sakit untuk pasien non-BPJS
yang ketersediaan obat dan alat kesehatan relatif lebih mudah karena pasien harus
menyerahkan deposit terlebih dahulu saat awal masuk rumah sakit.
"Kalau pasien non-BPJS yang sudah deposit, pihak rumah sakit mudah sekali menyediakan
obat. Kalau pasien BPJS, harus diambil sendiri. Bagaimana kalau pasien tidak ada keluarga
yang mendampingi dan tidak bisa mengambil sendiri," tuturnya.

Didik juga mengeluhkan kualitas alat kesehatan yang diberikan BPJS. Karena penanganan
penyakitnya belum usai, Didik harus dibuatkan "colostomy" atau anus buatan di perutnya
untuk sementara. Nah, kantong "colostomy" yang disediakan BPJS Kesehatan untuk
menampung kotoran ternyata mudah terlepas karena perekatnya kurang melekat dengan kulit.
Selain itu, kantong "colostomy" yang disediakan juga hanya bisa digunakan satu kali pakai.
"Akhirnya saya membeli sendiri kantong 'colostomy' yang bisa merekat lebih kuat dan tidak
sekali pakai sehingga lebih praktis digunakan bila bepergian," katanya.

Aturan pelaksana bermasalah Terkait dengan penyelenggaraan BPJS Kesehatan, Presiden


Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan permasalahan ada pada
tataran aturan pelaksana, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69 Tahun 2013.
"Permenkes itu mengatur tentang sistem tarif. Masalahnya tarif yang diberikan menkes
sangat murah sehingga rumah sakit dan klinik swasta tidak tertarik untuk menjadi penyedia
layanan BPJS," kata Said Iqbal. Sistem pembayaran menggunakan mekanisme INA CBGs
yang ditetapkan berdasarkan paket-paket tertentu juga Iqbal nilai kurang tepat. Seharusnya,
BPJS Kesehatan menggunakan sistem pembayaran "fee for service" sebagaimana terjadi
ketika masih bernama PT Askes.

Iqbal mengatakan dengan mekanisme INA CBGs, sudah ditetapkan paket layanan kesehatan
dan obat untuk penyakit tertentu. Padahal, kadang kala pasien harus mendapat layanan atau
obat melebihi paket yang sudah ditentukan. "Karena itulah muncul keluhan, masih ada obat
yang harus dibeli sendiri. Kalau mekanisme 'fee for service',
seluruh tagihan pasien akan diklaimkan ke BPJS. Memang nanti akan diverifikasi dulu mana
yang bisa dibayarkan dan tidak," tuturnya. Iqbal juga mendesak agar kerja sama dengan
rumah sakit dan klinik swasta bisa diperluas dan diperbanyak.
Namun, untuk memperbanyak rumah sakit dan klinik swasta yang melayani BPJS, maka
permasalahan tarif harus diselesaikan terlebih dahulu. "Harus ada tarif yang wajar sehingga
rumah sakit dan klinik swasta mau bergabung. sekarang ini tidak banyak yang mau
bergabung. Kalau pun mau, pasti karena terpaksa," katanya. Mengenai banyaknya antrean
saat pendaftaran peserta BPJS, Iqbal mengatakan pada tahap selanjutnya nanti seharusnya
tidak perlu lagi ada pendaftaran.

Pasalnya, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS mengamanatkan untuk seluruh
rakyat. "Jadi tidak perlu pendaftaran dan memiliki kartu. Untuk berobat nanti cukup dengan
e-KTP. Dengan e-KTP kan data sudah lengkap. Bekerja di mana, bagaimana pajaknya. Jadi
tidak perlu terlalu banyak kartu," katanya.

Sumber : http://www.jamkesindonesia.com/home/cetak/321/%20Artikel%20-
%20Perlu%20Banyak%20Perbaikan%20Untuk%20BPJS%20Kesehatan

Menurut saya pelayanan BPJS hingga saat ini masih belum optimal. Terbukti dengan
banyaknya keluhan-keluhan masyarakat diatas entah itu tentang nomor antrian, tentang
pelayanan kesehatan, tentang rumah sakit, ataupun tentang pengobantan yang diberikan.
Sebaiknya pemerintah lebih memperhatikan detail-detail kecil seperti diatas agar masyarakat
yang berobat atau menggunakan pelayanan BPJS ini merasa nyaman dan puas.

Вам также может понравиться