Вы находитесь на странице: 1из 3

Cerpen : Serpihan Di teras Rumah karya Zaidinoor

Tangan keriputnya bergetar saat menorehkan pisau pada batang pohon yang hanya
sebesar lutut orang dewasa itu. Setelah torehannya hampir melingkari batang, titik-titik cairan
kental putih muncul pada bekas goresan pisaunya. Getah mengalir lamban menuju susudu.
Kemudian tetes demi tetes jatuh ke dalam tempurung. Ini adalah pohon karet terakhir dari enam
belas batang yang disadap Ni Siti, dan matahari sudah lebih dari duduk di atas kepala. Setelah
membersihkan pisau sadapnya, Ni Siti duduk di samping tangkitan yang diletakkannya tak jauh
dari batang karet terakhir tadi. Ni Siti ingin istirahat sebentar sebelum pulang sambil menunggu
getah karet terkumpul di tempurung. Dengan istirahat sebentar, ia berharap bisa
mengumpulkan tenaga guna memungut ranting yang bisa didapat sepanjang tepian jalan
pulang. Di rumah, kayu bakar sudah hampir habis.

Menyadap karet akhir-akhir ini terasa sangat melelahkan. Padahal sewaktu Kai Rustam
sang suami masih hidup, sebelum matahari muncul pohon karet keenam belas telah selesai
disadap. Pulang ke rumah, menanak nasi, sarapan dan sekitar pukul setengah sembilan, saat
mereka kembali ke kebun karet tempurung telah penuh dengan getah karet yang masih cair.

Namun sekarang semua telah berubah. Seorang diri, Ni Siti membutuhkan waktu lebih
lama untuk menyadap semua pohon karet. Ni Siti tak pernah lagi mendapati getah cair dalam
tempurung. Getah itu telah beku sebelum Ni Siti kembali untuk mengumpulkannya. Bagi Ni
Siti, sebenarnya beku atau tidak karet itu bukanlah masalah penting. Yang jadi masalah baginya
adalah dalam dua tahun terakhir ini, sejak suara mesin yang meraung-raung, kadang berdentum
di sebelah barat kebun karetnya, tempurung-tempurung tempat menetesnya getah tak pernah
penuh lagi. Sejak hampir tiap hari truk-truk besar melintas di jalan depan rumah atap
rumbianya, ratarata tiap batang karetnya hanya menghasilkan seperempat tempurung getah.
Sejak pohon rambutan depan rumahnya digantikan tong besar yang katanya tempat air bersih
itu, penghasilan Ni Siti yang sudah sedikit bertambah cekat. Ah… pohon rambutan itu. Masih
jelas terbayang di benak Ni Siti, bagaimana Rustam tergopoh-gopoh membawa bibit pohon
yang baru dibelinya di pasar Sajumput. “Ding, ini bibit rambutan Batuk, akan kutanam di
halaman kita. Kalau sudah tumbuh, daunnya sangat rindang, sangat cocok untuk tempat
bahanup. Anak-anak pasti suka bermain di bawahnya,” kata Rustam menjelaskan. “Apalagi
kalau sudah berbuah, pasti tambah banyak anak-anak yang bermain sambil memetik buahnya,”
sambung Rustam. Sang istri tersenyum, ia tahu keinginan suaminya itu adalah agar ia bisa
melihat anak-anak setiap hari. Maklum, setelah dua puluh tahun menikah, mereka sadar bahwa
salah satu dari mereka tamanang. Mereka harus mengubur harapan mereka untuk memiliki
anak. Dengan melihat anak-anak setidaknya bisa sedikit menghibur. Setelah menanam, dengan
tekun sang suami merawat bibit itu. Hingga bibit itu tumbuh seperti yang diharapkan. Dan
benar saja, hampir tiap sore anak-anak bermain di bawahnya. Halaman Ni Siti pun tak pernah
sepi dari anak-anak. Hampir tiap hari pula Ni Siti dan suaminya duduk di teras rumah,
memperhatikan anak-anak yang sedang bermain. Kadang mereka berdua ikut bercanda
bersama anakanak. Mengingat hal itu, bibir keriput Ni Siti tersungging. Setelah suaminya tiada,
satu-satunya hal yang meredam keinginan Ni Siti untuk dekat dengan sang suami adalah
dengan duduk di teras, dan memandang pohon rambutan itu.

Sekarang, pohon itu telah digantikan dengan tong besar warna biru yang katanya tempat
air bersih. Tiga bulan lalu, Ni Siti didatangi pembakal bersama beberapa orang dengan
membawa tong besar. Di tong itu tertera sebuah logo dan tulisan. Ni Siti yang tak bisa membaca
merasa tak perlu menanyakan arti gambar dan tulisan apa itu. “Desa kita ini kekurangan air
bersih, tong ini untuk menampung air bersih,” kata Pembakal. “Saya harus bayar berapa?”
tanya Ni Siti lugu. “Tak perlu bayar, ini merupakan kemurahan hati orang-orang yang lalu
lalang di desa kita.” “Ini sudah kesepakatan seluruh warga desa dengan orang-orang itu.”
Pembakal menambahkan. Sebenarnya Ni Siti ingin menanyakan lebih lanjut kenapa desanya
dikatakan kekurangan air bersih. Padahal sumur kecil di belakang rumah Ni Siti tak pernah
kering, sekalipun kemarau manahun. Namun mendengar itu sudah menjadi kesepakatan warga
desa, Ni Siti tak ingin—dan juga memang tak bisa—berdebat. Tong itu terlalu besar dan
halaman Ni Siti tak terlalu luas, alhasil pohon rambutan yang telah ditanam Kai Rustam pun
ditebang. Anakanak tak pernah lagi bermain di halaman Ni Siti. Dan Ni Siti kehilangan sesuatu
yang bisa membuatnya merasa dekat dengan sang suami.

Matahari kian tinggi, Ni Siti dengan lamban bangkit dari duduknya. Diambilnya
tangkitan, kemudian talinya dikaitkan di kepala. Di kejauhan, dari arah jalan desa, di antara
deru mesin terdengar klakson truk yang menyalak-nyalak. “Tampaknya truk-truk itu melintas
lagi,” pikir Ni Siti. Ni Siti memperhatikan susudu, masih ada getah yang menetes jatuh ke
tempurung. Berarti ia punya waktu beberapa jam untuk kembali ke rumah sebelum baputik.
Setelah mendengar iring-iringan truk tadi, hanya satu yang ada dalam benak wanita tua itu. Ia
harus membersihkan halamannya dari debu yang disemburkan roda-roda truk tersebut.
Kadang-kadang debu itu bercampur dengan serpihan hitam berbagai ukuran, dari seukuran
kerikil sampai sebesar kepalan tangan. Kadang-kadang pula semburan serpihan itu terlempar
sampai ke teras rumahnya.
Ni Siti tak tahu banyak tentang serpihan hitam itu. Satu-satunya yang ia ketahui adalah
bahwa untuk mendapatkan serpihan hitam itu, orang yang lalu lalang di desanya menggali
lubang-lubang besar dengan alat-alat bak raksasa di sebelah barat kebun karetnya. Mungkin air
dari berbagai tempat mengumpul di lubang-lubang bekas galian itu. Sehingga air di sebelah
barat tak lagi mengalir ke kebun karet Ni Siti. Sedang air dari kebun karetnya mengalir menuju
lubang. Karet-karet Ni Siti pun kekurangan air. Dan sampai kapan hal ini berlangsung?…
Wanita renta itu tak pernah tahu. Ni Siti hanya ingin pulang dan menyapu terasnya.

Вам также может понравиться