Вы находитесь на странице: 1из 78

A.

SKENARIO
Seorang laki-laki, 16 tahun dating ke puskesmas dengan keluhan suara
parau dan kadang sesak napas sejak 2 hari yang lalu. Di dapatkan keluhan
batuk-pilek disertai demam. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya radang
di rongga hidung dan faring. Pemeriksaan laringoskopi indirekta didapatkan
korda vokalis yang udem dan hiperemi.

B. KATA SULIT
 Hiperemi : Terjadinya penyempitan pada pembuluh darah di daerah
tertentu sehingga memicu kemerahan pada kulit.
 Laringoskopi inderekta : Prosedur sederhana yang merupakan
pemeriksaan untuk memeriksa bagian belakang tenggorokan, pita
suara, epiglottis dan laring sehingga menghasilkan suatu diagnosa.

C. KATA KUNCI
 Laki-laki, 16 tahun
 Suara parau, kadang sesak napas sejak 2 hari lalu
 Batuk-pilek
 Demam
 Radang di rongga hidung dan faring
 Pemeriksaan laringoskopi inderekta : korda vokalis yang udem dan
hiperemi

D. PERTANYAAN
1. Jelaskan mekanisme keluhan batuk-pilek, demam, dan sesak pada
scenario disertai anatomi dan histologi organ yang terlibat!
2. Bagaimana patomekanisme suara parau dan apa penyebabnya?
3. Jelaskan hubungan keluhan suara parau dengan sesak!
4. Jelaskan hubungan sesak napas dengan radang di rongga hidung dan
faring!
5. Apa penyebab dari korda vokalis menjadi udem dan hiperemi?
6. Bagaimana penanganan awal ketika pasien datang?
7. Jelaskan diagnosa banding berdasarkan skenario!
a. Faringitis
b. Laryngitis
c. Epiglottitis
8. Sebutkan penyakit-penyakit saluran napas atas!
9. Bagaimana pencegahan pada penyakit saluran napas atas?

E. JAWABAN
1. Jelaskan mekanisme keluhan batuk-pilek, demam dan sesak pada
skenario disertai anatomi dan histologi organ yang terlibat!
Jawab :
 Anatomi
FARING

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya


seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian
bawah serta terletak pada bagian anterior kolum vertebra. Faring
terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring).

Faring terdiri atas 3, yaitu :

1. Nasofaring

Merupakan bagian yang paling luas dari cavum


pharynges. Terletak di belakang cavum nasi dan cranialis
dari palatum molle. Ruangan ini dapat dipisahkan sama
sekali dari oropharynx dengan mengangkat palatum molle
ke arah dinding posterior pharynx, ke arah anterior
berhubungan dengan cavum nasi dengan melalui choanae.
Bagian ini semata-mata dilalui oleh udara respirasi. Pada
setiap dinding lateral nasopharynx terdapat muara dari tuba
auditiva (tuba pharyngotympanica). Lubang ini terletak
setinggi concha nasalis inferior dan dibatasi di sebelah
posterior-superior oleh torus tubarius, yaitu suatu
penonjolan yang disebabkan oleh pars medialis dari tuba
auditiva. Di sebelah dorsal dari tonjolan ini terdapat
recessus pharyngeus (rosenmuelleri) yang berjalan vertical.
Pada ostium pharyngeum tubae auditivae terbentuk labium
anterius dan labium posterior, dan labium posterius
melanjutkan diri ke caudal pada plica
salpingopharyngealis, yaitu suatu plica yang dibentuk oleh
membrane mucosa yang membungkus m.salpingo
pharyngeus.

Di bagian cranialis dinding posterior nasopharynx


terdapat tonsilla pharyngea, yang bertumbuh sampai usia
anak 6 tahun, lalu mengalami retrogesi. Bilamana terjadi
hypertrophi maka nasopharynx dapat tertutup dan memberi
gangguan respirasi. Di sebelah dorsal tuba auditiva terdapat
kumpulan jaringan lymphoid yang membentuk tonsilla
tubaria. Pembesaran dari tonsilla pharyngea dan tonsilla
tubaria akan membentuk adenoid.

Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta


berhubungan erat dengan beberapa struktur penting, seperti
adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring
dengan resesus faring yang disebut fosaRosenmuller,
kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur
embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi
mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius,
koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n. glosofaring,
n. vagus dan n.asesoriusspinal saraf cranial dan
v.jugularisinterna, bagian petrosusostemporalis dan
foramen laserum dan muara tuba Eustachius.

2. Orofaring

Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas


atasnya adalah palatum mole, batas bawah adalah tepi atas
epiglottis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke
belakang adalah vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di
rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan
posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.

3. Laringofaring (Hipofaring)

Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas


epiglotis, batas anterior ialah laring, batas inferior ialah
esofagus, serta batas posterior ialah vertebra servikal.
Struktur pertama yang tampak di bawah lidah ialah
valekula. Bagian ini merupakan dua cengkungan yang
dibentuk oleh ligamentumglosoepiglotika medial dan
ligamentumglosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula
disebut juga “kantong pil” (pillpockets) sebab pada
beberapa orang, kadang – kadang bila menelan pil akan
tersangkut di situ. Di bawah valekula terdapat epiglotis.
Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan pada
perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang –
kadang bentuk infantile (bentuk omega) ini tetap sampai
dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat
menjadi demikian lebar dan tipisnya. Epiglotis berfungsi
juga untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau
bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus
piriformis dan ke esophagus.

LARING

Adalah organ yang dilewati oleh udara respirasi dan


mengalami modifikasi untuk dapat menghasilkan suara.
Dibentuk oleh cartilage, ligamentum, otot dan membrane
mucosa. Terletak di sebelah ventral pharynx, berhadapan
dengan vertebra cervicalis 3-6.

Berada di sebelah caudalis dari os hyoideum dan lingua


dan berhubungana langsung dengan trachea. Di sebelah
ventral ditutupi oleh kulit dan fascia, di kiri kanan linea
mediana terdapat otot-otot infrahyoideus. Di sebelah
posterior terdapat pharynx, yang memisahkannya daripada
otot-otot prevertebralis. Posisi larynx dipengaruhi oleh
gerakan kepala, deglutition dan phonasi.

- Cartilago Laryngis

Dibentuk oleh 3 buah cartilago yang tunggal dan 3


pasang cartilago, yaitu:

1. Cartilago thyroidea

Terdiri dari dua lembaran cartilage yang


berbentuk segiempat dan bersatu di bagian anterior
membentuk suatu sudut, kecuali di bagian cranialis
dimana terbentuk celah berbentuk huruf “V” yang
dinamakan incisura thyroidea.

Lembaran cartilage ini tetap terbuka lebar di


bagian dorsal dengan tepinya yang membulat dan
tebal, membentuk penonjolan kea rah cranialis yang
disebut cornu superius dan membentuk cornu
inferius yang menonjol ke arah caudalis. Cornu
superius panjang dan lancip, cornu inferius pendek
dan besar.

Tepi superior lamina thyreoidea sebagian besar


berbentuk konveks dan di bagian anterior turun
membentuk incisura thyreoidea. Tepi inferior
terletak hampir horizontal dan dekat pada titik
tengahnya membentuk tuberculum thyreoideum
inferius.

Permukaan lateral dari lamina thyreoidea agak


datar dan di sebelah caudalis dari cornu superius
membentuk tuberculum superius terdapat linea
oblique yang menuju ke tuberculum inferius.

Pada linea oblique melekat m.sternothyreoideus,


m.thyreohyoideus dan m.constrictor pharyngis
inferior.

Permukaan medial lamina thyreoidea licin dan


agak konkaf, dilapisi oleh membrana mucosa.
2. Cartilago cricoidea
Berbentuk cincin dan terdiri atas dua bagian,
bagian dorsal lebar berbentuk segiempat, disebut
lamina cartilaginis cricoidea, dan bagian anterior
yang disebut arcusdengan tepi caudalnya letak
horizontal dan tepi cranialnya yang terletak oblique.
Lumennya berbentuk bulat. Dihubungkan
dengan cincin trachea I oleh ligamentum
cricotrachealis. Terletak setinggi vertebra cervicalis
ke-6.
Arcus cartilaginis cricoidea terletak di sebelah
caudal dari pars anterior cartilaginis thyreoidea,
sedangkan lamina cartilaginis cricoidea berada di
antara kedua ujung pars posterior lamina
cartilaginis thyreoidea.

3. Cartilago arytaenoidea
Berbentuk pyramid yang terletak pada tepi
superior lamina cartilaginis cricoideae. Apex dari
cartilage arytaenoidea menghadap ke arah cranio-
dorso-medial, disini terletak cartilago corniculata.
Biasanya membentuk persendian dengan tepi
superior lamina cartilaginis cricoideae. Angulus
posterior-latelaris dari basis menonjol membentuk
prosessus muscularis. Angulus anterior dari basis
menonjol ke arah ventral membentuk prosessus
vocalis.
Facies medialisnya sempit, arahnya vertical dan
mendatar, diliputi membrane mucosa. Facies
posterior berbentuk konkaf, tempat melekatnya
m.arytaenoideus transverses.
Facies antero-lateral tidak rata dan merupakan
tempat melekat dari m.thyreoiarytaenoideus, otot-
otot vocalis dan ligamentum ventriculare.

4. Cartilago epiglottica
Berbentuk tipis seperti daunm menonjol dan
berada di sebelah dorsal dari lingua dan corpus
ossis hyoidei. Ujung caudal bentuknya lancip dan
dihubungkan oleh ligamentum
thyroepiglotticumpada angulus antara lamina
cartilaginis thyroideae di sebelah caudal incisura
thyroidea.
Ujung cranial bentuknya besar, bebas dan
menonjol ke cranio-dorsal. Permukaan anterior
bagian cranialis bebas dan menghadap ke arah
lingua, diliputi oleh membrane mucosa. Seluruh
permukaan posterior diliputi oleh membrane
mucosa dan sebagian besar permukaan anterior
diliputi oleh membrana mucosa dan membentuk
sebagian besar permukaan anterior vestibulum
laryngis. Pada permukaan posterior terdapat
tuberculum epiglotticum.
Epiglotis mendapatkan fiksasi dari:
a. Plica glosso-epiglottica mediana et lateralis
Suatu membrana mucosa yang
menghubungkan radix lingua dengan
permukaan anterior epiglottis, yang berada
pada linea mediana menonjol membentuk
plica glosso-epiglottica mediana dan pada
kedua sisi lateralnya membentuk plica
glosso-epiglottica lateralis yang meluas ke
dinding pharynx. Di kiri-kanan plica glosso-
epiglottica mediana terdapat cekungan yang
disebut vallecula epiglottica.
b. Ligamentum hyo-epiglotticum
Bentuknya pendek dan lebar, melekat di
satu pihak pada fascia anterior epiglottis dan
di pihak lain melekat pada tepi anterior os
hyoideum.
c. Ligamentum thyro-epiglotticum
Kuat, elastic dan tebal.

Di antara pars caudalis epiglottis dan


ligamentum thyro-hyoideum mediale terbentuk
suatu celah berbentuk segitiga yang berisi jaringan
lemak (yang lunak) dan di sebelah cranialis di
tutupi oleh ligamentum hyo-epiglotticum
Plica ary-epiglottica adalah membrana mucosa
yang meluas dari tepi lateral epiglottis menuju ke
caudo-dorsal dan melekat pada cartilage
arytaenoidea. Plica ini mengandung m.ary-
epiglotticus, dan di ujung caudalisnya terdapat
cartilage cuneiforme dan cartilage corniculata.
5. Cartilago corniculata dan cartilage cuneiforme
Cartilago corniculata mempunyai bentuk seperti
konus, kecil dan berada pada ujung posterior plica
ary-epiglottica, yaitu pada apex cartilage
arytaenoidea. Terletak menghadap ke dorso-medial
adalah cartilage cuneiforme yang berada pada plica
ary-epiglottica, yaitu di sebelah ventral dari
cartilage corniculata. Kedua tulang rawan ini
membentuk tuberculum corniculatum, dan
tuberculum cuneiforme.

- Persendian

1. Syndesmosis
Di antara cartilage laryngis dengan os hyoideum
dan trachea terdapat ligamentum extrinsic: di antara
cartilago laryngis terdapat ligamentum intrinsic.
Ligamentum intrinsic yang dimaksud adalah:
a. Membrana thyrohyoidea
Merupakan lembaran yang besar yang
dibagian caudal melekat pada tepi superior
laminacartilaginis thyreoideae, berjalan ke
cranial dan berada di sevelah profunda os
hyoideum, melekat pada tepi cranialis os
hyoideum.
Di bagian medial terbentuk suatu
penebalan yang disebut ligamentum
thyreohyoideum medium. Tepi posterior
dari membrana thyreoidea bebas dan
menebal membentuk ligamentum
hyothyreoideum laterale, sering didalam
ligamentum ini terdapat cartilage triticea.
b. Ligamentum cricotracheale
Menghubungkan tepi inferior cartilage
cricoidea dengan cartilage thoracalis I.

Yang termasuk ligamentum intrinsic adalah:

a. Conus elasticus
Suatu jaringan fibroelastika yang di
sebelah caudal melekat pada tepi atas arcus
cartilaginis cricoideae, di sebelah cranial
pada linea mediana melekat pada pertemuan
kedua lamina cartilaginis thyreoideae (di
caudalis incisura thyreoidea) membentuk
ligamentum cricothyreoideum (medium)
yang tebal dan kuat. Tepi superior. Conus
elasticus bebas dan berada di sebelah ventral
melekat pada ligamentum cricothyreoideum
dan dibagian dorsal melekat pada processus
vocalis cartilaginis arytaenoidea membentuk
plica vocalis. Plica vocalis terletak
menghadap kea rah cranio-medial, diliputi
oleh jaringan epithel, berwarna pucat, dan
tampak jelas pada pemeriksaan
laringoskopi. Antara plica vocalis kiri dan
kanan terbentuk suatu celah yang dinamkan
rima glottidis yaitu rima glottidis pars
intermembranacea. Antara cartilage
arytaenoidea kiri dan kanan terbentuk rima
glottidis pars intercartilaginaea.

b. Membrana quadrangularis
Suatu membrana fibro-elastika yang
berada di antara cartilage arytaenoidea dan
tepi lateral epiglottis. Tepi caudal dari
membrane ini bebas dan disebut ligamentum
ventriculare yang membentuk plica
ventricularis (false vocal cord), bagian ini
melekat pada lamina cartilaginis thyreoidea
di sebelah anterior dan disebelah dorsal
melekat pada cartilage arytaenoidea yaitu di
antara processus vocalis dan cartilage
corniculatum. Tepi cranial dan membrane
quadrangularis membentuk plica ary-
epiglottica, bentuknya lebih panjang
daripada plica ventriculus (plica
vestibularis).
Celah yang berada di antara plica
ventricularis disebut rima vestibule. Kedua
plica ary-epiglottica bersama dengan pars
cranialis epiglottis yang menonjol bebas ke
cranial membentuk aditus laryngis, yang
terletak dlaam bidang vertical.

- Articulus (synovial joint)

1. Articulus cricothyreoideus
Dibentuk oleh cornu inferius cartilaginis
thyroidea dan facies articularis thyroidea
cartilaginis cricoideae. Gerakan rotasiterjadi
terhadap axis transversal, yaitu difiksasi maka yang
berputar adalah cartilago thyreoidea dan sebaliknya.

2. Articulatio cricocoarytaenoidea
Dibentuk oleh facies articularis cartilaginis
arytaenoideae dan facies articularis arytaenoideae
cartilaginis cricoideae.

- Otot-otot larynx

1. Otot Extrinsic
Otot-otot ini di salah satu pihak melekat pada
larynx dan berfungsi menggerakkan larynx. Karena
os hyoideum dihubungkan dengan larynx oleh
membrana hyothyreoidea, m.hyothyroideus dan
oleh epiglottis maka otot-otot yang menggerakkan
os hyoideum akan menggerakkan juga larynx.Yang
termasuk otot-otot ini adalah M. Strenothyroideus,
M.thyrehyoideus, M.stylopharyngeus dan
M.constrictor pharynges inferior.
2. Otot instinsic
Berada di sebelah lateral dan dorsal cartilago
laryyngis. Di sebelah lateral terdiri dari 5 buah otot,
yaitu:
a. M. cricoarytaenoideus lateralis
Mempunyai origo pada tepi superior
arcus cartilaginis cricoidea, serabut-serabut
otot ini berjalan di sebelah profunda tepi
inferior cartilage thyreoidea dan
mengadakan insersi pada processus
muscularis cartilaginis arytaenoidea. Otot
ini berada pada conus elasticus.
b. M. thyreoarytaenoideus
Merupakan lanjutas ke cranialis dari
m.cricoarytaenoideus lateralis. Mempunyai
origo pada permukaan dalam lamina
cartilaginis thyreoidea dan permukaan
superficial conus elasticus, mengadakan
insersi pada permukaan antero-lateral
cartilage arytaenoidea.
c. M. vocalis
Dibentuk oleh serabut-serabut otot yang
paling medial dari m.thyreo-arytaenoideus.
Berada di sebelah caudal dan lateral
ligamentum vocale, pada potongan
melintang berbentuk segitiga. Origonya
berada pada sudut yang dibentuk oleh
lamina cartilaginis thyreoidea kiri –kanan
dan mengadakan insersi pada processus
vocalis cartilaginis artaenoidea
d. M. thyreopiglotticus
Terletak pada membrane quadrangularis
di sebelah cranialis m.thyreoarytaenoideus,
di satu pihak melekat padalamina
cartilaginis thyreoidea dan pihak lain
melekat pada cartilage epiglottica.
e. M. aryepiglotticus
Terletak pada tepi superior membrane
quadrangularis dan merupakan lanjutan dari
m.arytaenoideus obliquus. Susunan otot ini
terdiri atas :
 M.arytaenoideus
 M.crico arytaenoideus posterior
 M.cricothyreoideus

- Rongga Didalam Larynx


Rongga di dalam larynx dibagi dalam vestibulum
laryngis, ventriculus laryngis dan cavum laryngis.
Vestibulum laryngis berada di bagan cranialis yang
dibatasi di sebelah superior oleh aditus laryngis dan di
sebelah inferior dibatasi oleh rima vestibule. Aditus
laryngis dibentuk oleh epiglottis di sebelah ventral,
plica aryepiglottica di sebelah lateral dan oleh incisura
inter-arytaenoidea di sebelah dorsal. Di sebelah lateral
plica aryepidlottica terdapat recessus piriformis yang
dibatasi disebelah medial oleh membrana
quadrangularis, dan recessus ini merupakan bagian dari
“the lateral foos channel”
Rongga yang berada di bagian tengah disebut
ventriculus laryngis, yang dibatasi oleh rima vestibule
dan rima glottides. Ventriculus laryngis disebut juga
sinus laryngis, mengadakan perluasan kea rah cranialis
di bahian anterior dan membentuk appendix ventriculi
laryngis; di dalamnya berisi kelenjar mucosa yang
membasahi plica vocalis. Plica ventricularis terlerak
menghadap ke arah caudo-medial sehinggan tidak dapat
menahan benda-benda asing yang masuk ke dalam
larynx, sebaliknya letak dari plica vocalis adalah
menghadap ke arah cranio-medial, dan dengan posisi
ini maka benda-benda asing yang masuk akan tertahan
pada rima glottides.

 Histologi
1. MUKOSA OLFAKTORIUS TRANSISI MUKOSA
RESPIRATORIUS

Di daerah transisi, perbedaan histologic kedua epitel ini


tampak jelas. Epitel olfaktorius adalah epitel bertingkat semu
silindris tinggi, terdiri atas tiga jenis sel berbeda: sel
penyokong, sel basal, dan sel olfaktorius neuro epitelial.
Bentuk masing-masing sel sukar dibedakan pada sediaan
histologik rutin; namun, lokasi dan bentuk inti menjadi
petunjuk untuk mengidentifikasi jenis sei. Sel penyokong atau
sel sustentakular (epitheliocytussustenans) memanjang, dengan
inti lonjong yang terletak lebih apical atau superfisial di epitel.
Sel olfaktorius (epitheliocytussensorius) memiliki inti lonjong
atau bulat yang terletak di antara inti sel penyokong dan sel
basal (epitheliocytusbasalis) .Apeks dan basis sel olfaktorius
langsing. Permukaan apicalis sel olfaktorius mengandung
mikro vili non motil halus yang terjulur ke dalam mukus yang
menutupi permukaan epitel. Sel basal adalah sel pendek yang
terletak di basis epitel di antara sel penyokong dan sel
olfaktorius. Dari basis sel olfaktorius terjulur akson yang
berjalan kedalam lamina propria berupa berkas saraf
olfaktorius tidak bermielin atau fila olfactoria. Saraf olfaktorius
meninggalkan rongga hidung dan masuk ke dalam bulbus
olfaktorius di dasar otak.
Transisi dari epitel olfaktorius menjadi epitel respiratorik
terjadi secara tiba-tiba. Epitel respiratorik adalah epitel
bertingkat semu silindris dengan siliadan banyak sel goblet . Di
daerah transisi,ketinggian epitei respiratorik tampaknya sama
dengan epitel olfaktorius. Di bagian saluran pernapasan
lainnya, ketinggian epitel respiratorik lebih rendah
dibandingkan dengan epitel olfaktorius. Lamina propria di
bawahnya mengandung banyak kapiler, pembuluh limfe,
arteriol, venula dan kelenjar olfaktorius (Bowman) tubules
sinar serosa yang bercabang. Kelenjar olfaktorius mencurahkan
sekretnya melalui duktus sekretorius kecil yang menembus
epitel olfaktorius. Sekret dari kelenjar olfaktorius membasahi
permukaan epitel, melarutkan molekul zat yang berbau, dan
merangsang sel olfaktorius.
2. EPIGLOTTIS

Epiglotis adalah bagian superior laring yang menonjol ke


atas dari dinding anterior laring. Struktur ini memiliki
permukaan lingualis dan laringeal. Kerangka epiglottis
dibentuk oleh tulang rawan elastic epiglotis di bagian tengah.
Mukosa lingual (sisi anterior) dilapisi oleh epitel berlapis
gepeng tanpa lapisan tanduk. Lamina propria di bawahnya
menyatu dengan jaringan ikat perikondrium tulang rawan
elastic epiglotis.
Mukosa lingual dengan epitel berlapis gepeng melapisi
apeks epiglottis dan sekitar separuh dari mukosa laringeal (sisi
posterior). Kearah basis epiglotis di permukaan laringeal ,epitel
berlapis gepeng berubah menjadi epitel bertingkat semu
silindris bersilia. Di bawah epitel di lamina propria pada sisi
laryngeal epiglottis terdapat kelenjar seromukosa buloasinar.
Selain lidah, kuncup kecap dan nodulus limfoid solite
rmungkin terlihat di epitel lingualis atau epitel laryngeal.

3. LARING

Plika vokalis palsu (superior), juga disebut pita suara,


dilapisi oleh mukosa yang bersambungan dengan permukaan
posterior epiglotis. Seperti di epiglotis, plika vokalis palsu
dilapisi oleh epitel bertingkat semu silindris bersiliadengan sel
goblet. Di lamina propria terdapat banyak kelenjar campuran
seromukosa. Duktus sekretorius dari kelenjar campuran ini
bermuara di permukaan epitel. Banyak nodulus limfoid,
pembuluh darah, dan sela diposa juga terletak di lamina propria
plika vokalis palsu.
Ventrikulus adalah lekukan atau resesus dalam yang
memisahkan plika vokalis palsu (superior) dari plika vokalis
seiati. Mukosa di dinding ventrikulus mirip dengan mukosa
plika vokalis palsu. Nodulus limfoid lebih banyak di daerah ini
dan kadang-kadang disebut "tonsil laringeal'’. Lamina propria
menyatu dengan perikondrium tulang rawan hialin tiroid.
Submukosa tidak terlihat jelas. Dinding bawah ventrikulus
membuat perallihan menjadi plika vokalis sejati. Mukosa plika
vokalis seiati dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa lapisan
tanduk dan lamina propria padat yang tipis tanpa kelenjar,
jaringan limfoid, atau pembuluh darah. Di apeks plika vokalis
sejati yaitu ligamentum vokalis dengan serat elastic padat yang
meluas ke dalam lamina propria dan otot rangka vokalis di
dekatnya.
Otot rangka tiroaritenoid dan tulang rawan tiroid
membentuk bagian dinding lainnya. Epitel laring bagian bawah
berubah menjadi epitel bertingkat semu silindris bersilia, dan
lamina propria mengandung kelenjar campuran seromukosa.
Tulang rawan hialin krikoid adalah tulang rawan terbawah di
laring.

 Mekanisme batuk-pilek, demam, sesak


DEMAM
Sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik, maka monosit,
makrofag, dan sel-sel Kupffer mengeluarkan suatu zat kimia yang
dikenal sebagai pirogen endogen IL-1, TNFα, IL-6, dan INF yang
bekerja pada pusat termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan
patokan termostat. Hipotalamus mempertahankan suhu di titik
patokan yang baru dan bukan di suhu normal. Sebagai contoh,
pirogen endogen meningkatkan titik patokan menjadi 38,9° C,
hipotalamus merasa bahwa suhu normal prademam sebesar 37° C
terlalu dingin, dan organ ini memicu mekanisme- mekanisme
respon dingin untuk meningkatkan suhu tubuh.
Peningkatan suhu tubuh berhubungan langsung dengan tingkat
sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi berbagai
rangsang. Ransangan endogen seperti eksotoksin dan endotoksin
menginduksi leukosit untuk mengeluarkan pirogen endogen, dan
yang poten. Pirogen endogen ini akan bekerja pada sistem saraf
pusat tingkat OVLT yang dikelilingi oleh bagian medial dan lateral
nukleus preoptik, hipotalamus anterior, dan septum palusolum.
Sebagai respon terhadap sitokin tersebut maka pada OVLT terjadi
sintesis prostaglandin, terutama prostaglandin E2 melalui
metabolisme asam arakidonat jalur COX-2, dan menimbulkan
peningkatan suhu tubuh terutama demam.
Mekanisme demam dapat juga terjadi melalui jalur non
prostaglandin melalui sinyal aferen nervus vagus yang dimediasi
oleh produk lokal MIP-1 ini tidak dapat dihambat oleh antipiretik.
Menggigil ditimbulkan agar dengan cepat meningkatkan
produksi panas, sementara vasokonstriksi kulit juga berlangsung
untuk dengan cepat mengurangi pengeluaran panas. Kedua
mekanisme tersebut mendorong suhu naik. Dengan demikian,
pembentukan demam sebagai respon terhadap rangsangan
pirogenik adalah sesuatu yang disengaja dan bukan disebabkan
oleh kerusakan mekanisme termoregulasi.

DISPNEA
Perubahan pH, pCO2, dan pO2 darah arteri dapat di deteksi
oleh kemoreseptor sentral dan perifer. Stimulasi reseptor ini
mengakibatkan peningkatan aktivitas motorik respirasi. Aktivitas
motorik respirasi ini dapat menyebabkan hiperkapniadan hipoksia,
sehingga memicu terjadinya dispnea. Menurut studi, terdapat pula
peran serta kemoreseptor karotid yang langsung memberikan
impuls ke korteks serebri, meskipun hal ini belum dibuktikan
secara luas.
Hiperkapnia akut yang terjadi pada seseorang sesungguhnya
lebih dikaitkan terhadap ketidaknormalan keluaran saraf motorik
dibanding aktivitas otot respiratorik. Hal ini disebabkan gejala
umum hiperapnia akut berupa urgensi untuk bernapas yang sangat
menonjol. Sensasi ini disebabkan oleh meningkatnya tekanan
parsial karbondioksida pada pasien-pasien, khususnya yang
mengalami quadriplegia maupun yang mengalami paralisis otot
pernapasan. Penderita sindrom hipoventilasi sentral kongenital
yang mengalami desentisasi respons ventilatorik terhadap CO2
tidak merasakan sensasi sesak napas ketika penderita tersebut henti
napas atau diminta untuk menghirup kembali CO2 yang telah
dihembuskan. Dengan kata lain, mekanisme yang turut serta dalam
sensasi sesak napas ini adalah kenaikan pCO2 dan penurunan pO2
dibawah normal. Ketika nilai pCO2 normal dan ventilasi normal,
tekanan parsial oksigen harus diturunkan di bawah 6.7 kPa untuk
bisa menghasilkan sensasi sesak napas.

BATUK
Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi tiga
fase, yaitu fase inspirasi, fase kompresi dan fase ekspirasi. Batuk
biasanya bermula dari inhalasi sejumlah udara, kemudian glottis
akan menutup dan tekanan di dalam paru akan meningkat yang
akhirnya diikuti dengan pembukaan glottis secara tiba-tiba dan
ekspirasi sejumlah udara dalam kecepatan tertentu.
Fase inspirasi dimulai dengan inspirasi singkat dan cepat dari
sejumlah besar udara, pada saat ini glottis secara reflex sudah
terbuka. Volume udara yang di inspirasi sangat bervariasi
jumlahnya, berkisar antara 200 sampai 3500 ml di atas kapasitas
residu fungsional. Penelitian lain menyebutkan jumlah udara yang
dihisap berkisar antara 50% dari tidal volume sampai 50% dari
kapasitas vital. Ada dua manfaat utama dihisapnya sejumlah besar
volume ini. Pertama, volume yang besar akan memperkuat fase
ekspirasi nantinya dan dapat menghasilkan ekspirasi yang lebih
cepat dan lebih kuat. Manfaat kedua, volume yang besar akan
memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga pengeluaran
secret akan lebih mudah.
Setelah udara di inspirasi, maka mulailah fase kompresi
dimana glottis aka n tertutup selama 0,2 detik. Pada masa ini,
tekanan di paru dan abdomen akan meningkat sampai 50-100
mmHg. Tertutupnya glottis merupakan cirri khas batuk, yang
membedakannya dengan maneuver ekspirasi paksa lain karena
akan menghasilkan tenaga yang berbeda. Tekanan yang di
dapatkan bila glottis tertutup adalah 10 sampai 100% lebih besar
daripada cara ekspirasi paksa yang lain. Di pihak lain, batuk juga
dapat terjadi tanpa penutupan glottis.
Kemudian, secara aktif glottis akan terbuka dan berlangsunglah
fase ekspirasi. Udara akan keluar dan menggetarkan jaringan
saluran napas serta udara yang ada sehingga menimbulkan suara
batuk yang kita kenal. Arus udara ekspirasi yang maksimal akan
tercapai dalam waktu 30-50 detik setelah glottis terbuka, yang
kemudian diikuti dengan arus yang menetap. Kecepatan udara
yang dihasilkan dapat mencapai 16.000 sampai 24.000 permenit,
dan pada fase ini dapat dijumpai pengurangan diameter trakea
sampai 80%

.
2. Bagaimana patomekanisme suara parau dan apa penyebabnya?
Jawab :
 Patomekanisme
Hoarseness atau suara serak menggambarkan kelainan memproduksi suara
ketika mencoba berbicara, atau ada perubahan nada atau kualitas
suara. Suaranya terdengar lemah, terengah- engah,kasar dan serak.
Hoarseness biasanya disebabkan oleh adanya masalah pada bagian
pita suara. Produksi suara sendiri merupakan suatu hasil dari koordinasi
diantara sistem pernapasan, fonasi (suara) danartikulasi, dimana masing-
masing dipengaruhi oleh teknik bersuara dan status emosianal
setiapindividu. Dalam dunia medis, dikenal istilah Disfonia yaitu
merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara untuk yang
disebabkan kelainan pada organ-organ fonasi, terutama laring,
baik yang bersifat organik maupun fungsional. Disfonia bukan
penyakit melainkan merupakan gejala penyakit atau kelainan pada
laring. Gangguan suara atau disfonia ini dapat berupa suara parau atau serak
yaitu suara terdengar kasar (roughness) dengan nada lebih rendah dari
biasanya, suara lemah (hipofonia), hilang suara(afonia), suara
tegang dan susah keluar (spastik), suara terdiri dari beberapa nada
(diplofonia), nyeri saat bersuara (odinofonia) atau ketidakmampuan
mencapai nada atau intensitas tertentu.Setiap keadaan yang menimbulkan
gangguan dalam getaran, gangguan dalam ketegangan serta
gangguan dalam pendekatan (aduksi) kedua pita suara kiri dan
kanan akan menimbulkandisfonia.Suara merupakan produk akhir
akustik dari suatu sistem yang lancar, seimbang, dinamisdan saling
terkait, melibatkan respirasi, fonasi, dan resonansi. Tekanan udara
subglotis dari paru,yang diperkuat oleh otot-otot perut dan dada, dihadapkan
pada plika vokalis. Suara dihasilkan oleh pembukaan dan penutupan yang
cepat dari pita suara, yang dibuat bergetar oleh gabungan
kerjaantara tegangan otot dan perubahan tekanan udara yang cepat.
Tinggi nada terutama ditentukanoleh frekuensi getaran pita suara.

 Penyebab :
- Radang akut laring pada umumnya merpakan kelanjutan dan infeksi
saluran napas seperti influenza atau common cold.. Penyebab radang ini
adalah bakteri yang menyebabkan radang lokal atau virus yang
menyebabkan peradangan sistemik. Ketika ketidaksempurnaan produksi
suara pada pasien dengan laryngitis akut dapat diakibatkan oleh
penggunaan kekuatan aduksi yang besar atau tekanan untuk mengimbangi
penutupan yang tidak sempurna dari glottis selama episode
laringitis akut. Tekanan ini selanjutnya menegangkan lipatan-
lipatan (plika) vocal dan mengurangi produsi suara.
Padaakhirnya menunda kembalinya fonasi normal.
- Radang kronik laring
Beberapa hal yang bisa mendasari kondisi ini yang
biasanya akibat paparan dari iritan (zat yang bisa mengiritasi)
seperti tekanan yang terus menerus pada pita suara,sinusitis
kronis, infeksi ragi (akibat sistem kekebalan tubuh yang lemah)
serta terpapar asap ataugas yang mengandung zat kimia.
- Dalam keadaan laryngitis, pita suara mengalami peradangan
sehingga tekanan yang diperlukan untuk memproduksi suara
meningkat. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam
memproduksi tekanan yang adekuat. Udara yang melewati pita
suara yang mengalami peradangan ini justru menyebabkan
suara yang dihasilkan menjadi parau. Bahkan pada beberapa
kasus suara dapat menjadi lemah atau bahkan tak terdengar.
- Nodul pita suara dan polip pita suara
Kelainan ini biasanya disebabkan oleh penyalahgunaan suara
dalam waktu yang lama, seperti pada seorang guru,
penyanyi dan sebagainya. Gejalanya terdapat suara parau yang
kadang-kadang disertai batuk. mereka yang memang menggunakan
suara secara berlebihan, seperti, penyanyi profesional,
guru, dosen, atau mereka yang sering berbicara dan
menggunakan suara berlebihan dapat terjadi pembengkakan
pita suara yang disebut sebagai nodul pita suara atau
polip pita suara.
- Merokok dan mengkonsumsi alcohol dapat mengiritasi laring,
dapat menyebabkan peradangan dan penebalan pita suara.
- Gastroesophageal reflux disease (GERD)
3. Jelaskan hubungan keluhan suara parau dan sesak!
Jawab :
Jika ditemukan penebalan pada plika vokalis, trakea masih terbuka
dengan mukosa yang licin, hiperemi dengan sekret mukopurulen,
tetapi tak tampak stenosis, jaringan granulasi maupun band trakea.
Semua orifisium bronkus kanan dan kiri terbuka, mokosa licin,
hiperemi, agak edema, yang kemudian disimpulkan adanya
peradangan kronik bronkus kanan dan kiri dengan infeksi sekunder
dan penebalan plika vokalis.
Kemungkinan yang pertama adalah adanya nodul plika vokalis.
Nodul biasanya bilateral, jinak, dengan pertumbuhan seperti kalus
pada bagian tengah membran plika vokalis. Dengan ukuran bervariasi
dan ditandai penebalan epitel pada gambaran histologinya, dengan
berbagai derajat radang pada lapisan lamina propria yang superfisial.
Nodul plika vokalis biasanya memberikan gejala suara serak dan
ketidakstabilan suara saat berbicara dan menyanyi.
Kemungkinan yang kedua adalah paresis atau paralisis yaitu
kelainan suara yang dapat terjadi jika satu atau dua plika vokalis tidak
dapat membuka atau menutup dengan baik karena kelumpuhan
sebagian atau seluruh otot plika vokalis. Paralisis plika vokalis
merupakan suatu kelainan yang umum, dengan gejala yang bervariasi
dari yang ringan sampai berat bahkan mengancam jiwa. Paresis terjadi
bila fungsi saraf pada otot plika vokalis terganggu sebagian sedang
paralisis terjadi bila ototnya lumpuh total. Akibat dari kelumpuhan ini
dapat menyebabkan abnormalitas fungsi plika vokalis dan
mempengaruhi kemampuan berbicara atau menyanyi bahkan juga
dapat menyebabkan sesak napas. Hal seperti ini juga sering
mengakibatkan kesulitan batuk dan menelan karena makanan dan
minuman masuk ke trakea dan paru.
Penebalan plika vokalis inilah yang kemungkinan besar
menyebabkan suara serak pada pasien ini, bahkan juga dapat member
kontribusi terhadap sesaknya.

4. Jelaskan hubungan sesak napas dengan radang di rongga hidung


dan faring!
Jawab :
Terdapat hipotesis bahwa perluasan inflamasi dari mukosa hidung
berhubungan dengan fungsi paru dan inflamasi pada mukosa
bronkhial.
Hubungan anatomis antara saluran napas atas dan bawah
menunjukkan keterlibatan post nasal drip dalam mencetuskan
hipereaktivitas bronkus. Beberapa sel, mediator, sitokin, dan
neurotransmitter yang berperan dalam patofisiologi asma dan
rinosinusitis adalah sama.
Mekanisme lainnya yang berhubungan dengan rinitis alergi,
rinosinusitis, dan asma yaitu terdapatnya respon inflamasi sistemik.
Percobaan dengan menginduksi inflamasi pada sinus paranasal
menunjukkan perburukan pada hiperesponsivitas bronkus dan
peningkatan jumlah eosinofil dan sel mast pada mukosa saluran napas
bawah.
Skema Patofisiologi :
Spasme otot bronkus -> Edema mukosa -> Sumbatan mukus ->
Inflamasi mukosa hidung & sinus -> Overproduksi mukus -> Post
nasal drip -> Mouth breathing -> Infeksi saluran napas -> Refleks
nasobronkhial -> Epitel kolumner bersilia -> Kelenjar mukus ->
Vaskularisasi -> Inervasi
5. Apa penyebab dari korda vokalis udem dan hiperemi?
Jawab :
Pita suara atau plika vokalis yang terdapat pada laring adalah suatu
susunan yang terdiri dari tulang rawan, otot dan membran mukosa
yang membentuk pintu masuk dari batang tenggorok (trachea). Di
dalam kotak suara terdapat pita suara—dua buah membran mukosa
yang terlipat dua membungkus otot dan tulang rawan. Biasanya dalam
keadaan normal pita suara akan membuka dan menutup dengan lancar,
membentuk suara melalui pergerakan dan getaran yang terbentuk.
Bila jaringan cedera karena terinfeksi oleh kuman, maka pada
jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang menyebabkan
musnahnya agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah
agen ini menyebar lebih luas. Rekasi-reaksi ini kemudian juga
menyebabkan jaringan yang cedera untuk segera diperbaiki.Rangkaian
reaksi yang terjadi pada tempat jaringan cedera ini dinamakan radang.
Jika ada suatu infeksi, maka sel darah putih akan bekerja membunuh
mikroorganisme selama proses penyembuhan. Pita suara kemudian
akan menjadi tampak edema, dan proses vibrasi juga umumnya ikut
mengalami gangguan. Hal ini juga dapat memicu timbulnya suara
yang parau disebabkan oleh gangguan fonasi. Membran yang meliputi
pita suara juga terlihat berwarna kemerahan dan membengkak.

6. Bagaimana penanganan awal ketika pasien datang?


Jawab :
Berdasarkan mekanisme kerjanya,obat dapat di bagi dalam beberapa
kelompok,yaitu :
1. Antialergika
Adalah zat zat yang berkhasiat menstabilisasi mastcells
,sehinnga tidak pecah dan mengakibatkan terlepasnya histamine
dan mediator peradang lainnya.yang terkenal adalah kromoglikat
dan nedocromil,tetapi juga antihstaminnika (ketotipen,oksatomida)
dan β2-adrenergika (lemah) memiliki daya kerja ini. Obat ini
sangat berguna untuk prefensi serangan asma dan rhinitis alergis
(hay fever) .
Penggunaan kromoglikat sangat efektif sebagai obat pencegah
serangan asma dan bronchitis yang bersifat alergi serta
conjunctivitis alergi dan alergi akibat makanan.Untuk profilaksis
yang layak, obat ini perlu diberikan minimal 4 kali sehari yang
efeknya baru menjadi nyata sesudah 2-4 minggu.Pada serangan
akut kromolin tidak efektif karena tidak memblok reseptor
histamine.
Resorpsi didalam usus tidak terjadi, dari suatu dosis inhalasi
(serbuk halus) senyawa ini hanya 5-10% mencapai bronchi dan
diserap, yang segera diekskresikan lewat kemih dan empedu secara
utuh.
Efek sampingnya berupa rangsangan local pada selaput lender
tenggorokan dan tracea, dengan gejala batuk-batuk, kadang-
kadang kejang, dan serangan asma selewat .Untuk mencegah hal
ini dapat digunakan inhalasi salbutamol terlebih
dahulu.Rangsangan mukosa dapat terjadi pada penggunaan nasal
(Rynacrom, Lomusol) dan pada mata.Wanita hamil dapat
menggunakan kromoglikat.
Dosis inhalasi minimal 4 dd 1 puff (20mg) sebagai serbuk
halus dengan menggunakan alat khusus (spinhaler) atau sebagai
larutan (aerosol).Nasal 4 dd 10 mg serbuk dan untuk mata 4-6 dd
1-2 tetes dari larutan 2%.
2. Bronchodilator
Pelepasan kejang dan bronchodilasi dapat dicapai dengan
dengan merangsan adrenergic dengan adrenergika atau melauai
penghambatan sistim kolinergis dengan antikolinergika, juga
dengan teofilin.
a. agonis β adrenerrgik atau (β-mimetika)
salbutamol,terbutalin, klenbuterol, salmeterol, fenoterol,
formoterol dan prokaterol.
Contoh :
 Kerja singkat (1-3 jam) : epinefrin, isoproterenol, isoetarin
 Kerja sedang (3-6 jam) : salbutamol, bitolterol, fenoterol,
metaproterenol. pributerol, terbutalin.
 Kerja lama (lebih dari 12 jam) : formoterol, salmeterol,
bambuterol.
Zat zat ini bekerja selektif tehadap reseptor β
adrenergic (bronchospasmolysis) dan praktis tidak terhadap
reseptor β1 (stimulasi jantung).Obat dengan efek terhadap
kedua reseptor sebaiknya jangan digunakan lagi berhubung
efeknya terhadap jantung. Seperti efedrin,isoprenalin, dan
orsiprenalin.pengecualian ada adrenalin (reseptor-α dan –
β) dan yang sangat efektif pada keadaan kemelut.
 Mekanisme kerjannya adalah melaui stimulasi reseptor β2
yang banyak terdapat di trachea (batang tenggorok dan
bronchi yang menyebabkan aktivasi dari
adenilsiklase.Enzim ini memperkuat pengubahan
adenosintrifosfat (ATP) yang kaya energi menjadi cyclic-
adenosine-monophosphape (cAMP) dengan pembebasan
enersi yang digunakan proses-proses dalam
sel.Meningkatnya kadar (cAMP) didalam sel
menghasilkan beberapa efek melalui enzim
fosfokinase,a.1.bronchodilatasi dan penghambatan
pelepasan mediator oleh mastcells.
 Farmakodinamika : Zat zat ini bekerja selektif terhadap
reseptor beta-2 adrenergik (bronchospasmolysis) dan
praktis tidak terhadap reseptor beta-1 (stimulasi jantung).
 Indikasi : Untuk mencegah dan untuk mengatasi
bronkospasme.
 Farmakokinetik : diadsorbsi minimal dari saluran
cerna,tidak melintasi blood-brain barier ,dimetabolisme
secara ekstensif dalam hepar menjadi metabolit in
aktif,dieksresi secara cepat melaui urin dan feses.
 Efek samping :
1. kerja pendek :mulut kering, tremors, tachycardia,
paradoxial bronchospasm
2. Kerja lama: bronchospasm, tachycardia
Penggunaanya semula sebagai monoterapi
kontinu,yang ternyata berangsur meningkatkan HRB
dan akhirnya memperburuk fungsi paru karena tidak
menanggulangi peradangan dan peningkatan kepekaan
bagi allergen . Pada pasien alergis.oleh karena itu sejak
beberapa tahun sejak beberapa tahun hanya untuk
melawan serangan dan sebagai pemeliharaan dalam
kombinasi dengan zat anti radang.yaitu kortikosteroid
inhalasi. Salbutamol dan butalin dapat di gunakan oleh
wanita hamil,begitu pula penoterol dan hekso- prenalin
settelah minggu ke 16.salbutamol, terbutalin dan
salmeterol mencapaiair susu ibu.dari obat lainnya
belum terdapat data untuk menilai keamanannya tetapi
cukup pada binatang percobaan salmeterol ternyata
merugikan janin.
Contoh obat

 Dosis : 2mg, 4mg/tab, 2mg/5ml


Anak-anak : 3-4x 1/4-1/2 tab
Dewasa : 3-4x 2 tab
 Indikasi : asma bronkial, bronkitis kronik, emfisema
pulmonum,
 Efek samping : kejang otot, tremor,takikardia, sakit kepala,
ketegangan, gugup,mual, vasodilatasi perifer, dan susah
tidur.
 Kontraindikasi : Hipersensitif

3. Antikolinergik
Ipratropium,tiotropiumdan deftropin. Di dalam sel sel otot
polos terdapat keseimbangan antara sistem adrenergic dan
sistem kolinergis. Bila karena sesuatu sebab reseptor beta-2
dari sistem adrenergic akan berkuasa dengan akibat
bronchokonsttriksi. Antikolinergika memblock reseptor
muskarin dari saraf saraf kolinergik di otot polos bronchi,
hingga aktivitas saraf adrenergic menjadi dominan dengan efek
bronchodilatasi. Penggunaannya untuk terapi pemeliharaan
HRB ,tetapi juga berguna untuk meniadakan serangan asma
akut (melalui inhalasi efek pesat). Iprat ropium dan tiotropium
khusus digunakan sebagai inhalasi, kerjanya lebih panjang dari
pada salbutamol.kombinasinya dengan β2 mimetika sering kali
igunakan karena mencapai efek adiktif. Deptropin (brontin)
berdaya mengurangi HRB tetapi kerja spasmolitisnya ringan,
sehingga diperlukan dosis tinggi dengan risiko efek samping
yang lebih tinggi pula.Adakalahnya senyawa ini masih
digunakan pada anak-anak kecil dengan hipersekresi dahak,
yang belum mampu diberikan terapi inhalasi.
Efek samping yang tidak dikehendaki adalah sifatnya yang
mengentalkan dahak dan tachycardia, yang tak jarang
mengganggu terapi.Begitu pula efek atropine lainnya seperti
mulut kering, obstipasi, sukar kemih, dan penglihatan kabur
akibat gangguan akomodasi.Penggunaannya sebagai inhalasi
meringankan efek samping ini.

4. Derivate Xantin : Teofilin, Aminofilin


Derivat metilxanttin mencangkup teofilin, aminofilin, dan
kafein.Xantin juga merangsang saraf pusat dan pernafasan,
mendilatasi pembuluh pulmolar dan koronaria, dan
menyebabkan diuresis karena efeknya terhadap respirasi dan
pembuluh pulmolar, maka xantin dipakai untuk mengobati
asma.
Daya bronchorelaksasinya diperkirakan berdasarkan
blockade reseptor adenosine.Selain itu, teofilin seperti
kromoglikat mencegah meningkatnya hiperreaktivitas dan
berdasarkan ini bekerja profilaktis. Resorpsi dari turunan
teofilin sangat berfariasi yang terbaik adalah teofilin microfine
(particle size :1-5 micron) dan garam-garam aminofilin dan
kolinteofilinat.
Penggunaan secara terus menerus pada terapi pemeliharaan
ternayata efektif mengurangi frekuensi serta hebatnya
serangan. Pada keadaan akut (injeksi aminofilin) dapat
dikombinasi dengan abat asma lain , tetapi kombinasi dengan
beta-2 mimetika hendaknya digunakan dengan hati-hati
berhubung kedua jenis obat saling memperkuat efek terhadap
jantung. Kombinasinya dengan efedrin (asmadex, asmasolon)
praktis tidak meningkatkan efek bronchodilatasi.Sedangkan
efeknya terhadap jantung dan efek sentralnya sangat
diperkuat.Oleh karena ini, sediaan kombinasi demikian tidak
dianjurkan terutama untuk pasien pemula.
 Farmakokinetik : diabsorbsi dengan baik setelah diberikan
secara oral, tetapi absorbsi dapat bervariasi sesuai dengan
dosis. Teofilin dapat diberikan secara i.v dalam cairan i.v.
obat-obat teofilin dimetabolisasi oleh enzim hati, dan 90%
dari obat ini dikeluarkan melalui ginjal.
 Farmakodinamik : Teofilin meningkatkan kadar siklik
AMP, menyebabkan terjadinya bronkodilatasi.
 Efek samping : Mual, muntah, nyeri lambung karena
peningkatan sekresi asam lambung, pendarahan usus,
disritmia jantung, palpitasi (berdebar), hipotensi berat,
hiperrefleks, dan kejang.
 Teofilin adalah suatu bronkodilator dengan potensi sedang.
 Mekanisme : menghambat aktifitas fosfodiesterase yang
dihasilkan oleh peningkatan kadar cAMP dalam otot polos
saluran napas. Teofilin menghambat degranulasisel
mastosit, mengurangi kebocoran mikrovaskular, dan
meningkatkan bersihan mukosiliar.
 Efek samping : teofilin berkaitan dengan kadar plasma (20
mg/1), termasuk kegugupan, tremor ansietas, mual,
anoreksia, perut tidak enak, aritmia jantung, dan kejang.
 Indikasi : sebagai terapi penunjang untuk asma kronis yang
gejalanya masih sulit dikontrol oleh kombinasi agonis
beta-2 dan obat antiinflamasi. Memperbaiki fungsi paru
dan kelemahan diafragma.
 Farmakokinetik : Absorbsi teofilin lebih komplet dan cepat
pada pemakaian peroral.
 Metabolisme : oleh sitokrom P-450 dan kecepatan
metabolisme bervariasi luas diantara subjek-subjek.

5. kortikosteroid : Hidrokortison, Prednisone, Dexametason


Kortikosteroi berkhasiat meniadakan efek mediator, seperti
peradangan dan gatal gatal.Daya antiradang ini berdasarkan
blockade enzim fosfolipase A2, sehingga pembentukan
mediator peradangan prostaglandin dan leukotrien dari asam
arachidonat tidak terjadi.Kortikosteroid menghambat
mekanisme kegiatan allergen yang melalui IgE dapat
menyebabkan degranulasi mastcells, juga meningkatkan
kepekaan reseptor beta 2 hingga efek beta mimetika diperkuat.
Penggunaannya terutama bermanfaat pada serangan asma
akibat infeksi virus,selain itu juga pada infeksi bakteri,dan
melawan reaksi perdangan .zat zat ini dapat diberikan inhalasi
atau per oral pada kasus gawat dan statuis asthmatikus,obat ini
di berikan secara iv (perinfus)disusul pemberian oral.
Penggunaan oral dalam jangka waktu lama hendaknya di
hindari karena menekan funsi aank ginjal yang mengakibatkan
osteoporosis maka hanya diberikan untuk satu kurunsingkat.
 Steroid inhalasi → untuk asma nokturnal
(budesonid,beklometason,flunisolid,flutikason dan
triamcinolon cetonide)
 Steroid intravena → untuk penanganan asma akut berat (
hydrocortisone sodium succinate. Metylprednisolon
sodium succinate)
 Oral → prednisolon, prednisone
 Indikasi : pengobatan asma sedang dan asma berat.
 Mekanisme : bekerja dengan jalan berikatan dengan
reseptor cytosolic yang penting untuk regulasi gen tertentu.
Kortikosteroid meningkatkan densitas reseptor beta 2
dalam otot polos saluran naps yang dapt mencegah
potensial toleransi terhadap agonis beta 2.
Contoh obat

 Dosis : 4mg, 8mg, dan 16mg


Anak –anak : 0,4-1,6 mg/kg BB
Dewasa : 4-48 mg/hari
 Kontraindikasi : infeksi jamur ,sistemik, dan hipersensitif.
 Indikasi : asma bronkial, gangguan endokrin,
gastrointestinal, reumatik,eksema,alergi,meningitis
tuberkulosa.
 Efek samping : gangguan elektrolit dan cairan
tubuh,gangguan pencernaan, keringat berlebih, kelemahan
otot, hambatan pertumbuhaan pada anak, DM, glaukoma,
katarak, meningkatnya tekanan darah.
 Farmakokinetik
Prednison oral dapat diabsorbsi dengan cepat dalam sal.
Cerna dimetabolisme secara ekstensif dalam hepar menjadi
metabolit aktif prednisolone .Bentuk iv mempunyai onset
cepat .Bentuk inhalasi diabsorbsi minimal (absorbsi linier
dengan penambahan dosis)
6. Kortikosteroid bekerja dengan banyak mekanisme yaitu :
 Relaksasi bronkospasme
 Mengurangi sekresi mukosa
 Potensiasi dengan reseptor adrenergik beta
 Mengantagonis aksi aksi kolinergik
 Stabilisasi lisosom
 Memiliki sifat antiinflamsi
 Menghambat pembentukan antibodi dan mengantagonis
kerja histamin.
 Kortikosteroid tidak menghambat pembebasan mediator
dari sel mastosit, dan tidak pula menghambat respon awal
terhadap alergen , tetapi memblok respon lambat dan
hiperresponsif selanjutnya.
 Steroid yang aktif pada pemberian topikal dan dapat
mengontrol asma tanpa menyebabkan efek sistemik atau
suspersi adrenal adalah beklometason dipropionat,
budesonid, triamsinolon asetat, dan flunisolid.
 Efek samping : yang umum dari steroid inhalasi adalah
kandidiasis orofaringeal dan disfonia yang dapat dikurangi
dengan penggunaan aerosol spacer dan higiene orofaringeal
yang baik. Efek samping trerois per oral adalah
osteoporosis, penambahan berat badan, hipertensi, diabetes,
miopati, gangguan psikiatri, kulit rapuh, katarak, dan
supresi adrenal.

PENGOBATAN UNTUK BATUK


Terapi farmakologi (dengan menggunakan obat)
Obat batuk dapat dibagi menurut titik kerjanya dalam 2 golongan
besar, yaitu :
1. Zat-zat Sentral (Antitusif)
Obat-obat ini menekan rangsangan batuk di pusat batuk yang
terletak di sumsum lanjutan dan mungkin bekerja terhadap pusat
saraf lebih tinggi di otak dengan efek menenangkan (sedatif).Zat-
zat ini dibedakan antara zat-zat yang menimbulkan adiksi dan non-
adiksi.
2. Zat-zat adiktif
Yang termasuk zat-zat ini adalah candu dan kodein, zat ini
termasuk kelompok obat opioid, yaitu zat yang memiliki sebagian
sifat farmakologi dari opium atau morfin.Berhubungan obat ini
mempunyai efek ketagihan (adiksi) maka penggunaanya harus
hati-hati dan untuk jangka waktu yang singkat.
3. Zat-zat non-adiktif
Yang termasuk zat-zat ini adalah noskapin, dekstrometorfan,
pentoksiverin.Antihistamin juga termasuk, misalnya prometazin
dan difenhidramin.
4. Zat-zat Perifer
Obat-obat ini bekerja di perifer dan terbagi dalam beberapa
kelompok yaitu :
a. Ekspektoran
Ekspektoran ialah obat yang dapat merangsang
pengeluaran dahak dari saluran pernapasan.Obat ini bekerja
melalui suatu refleks dari lambung yang menstimulasi
batuk.Sekresi dahak yang bersifat cair diperbanyak secara
reflektoris atau dengan jalan efek langsung terhadap sel-sel
kelenjar.Obat yang termasuk golongan ini adalah ammonium
klorida, gliceryl guaiacolat, ipeka, dan minyak terbang.
b. Mukolitik
Mukolitk ialah obat yang dapat mengencerkan sekret
saluran pernapasan dengan jalan memecah benang-benang
mukoprotein dan mukopolisakarida dari sputum.Mukolitik
memiliki gugus sulfhydryl bebas dan berdaya mengurangi
kekentalan dahak dan mengeluarkannya.Mukolitik digunakan
dengan efektif pada batuk dengan dahak yang kental sekali.
Zat-zat ini mempermudah pengeluaran dahak yang telah
menjadi lebih encer melalui proses batuk atau dengan bantuan
gerakan cilia dari epitel. Tetapi pada umumnya zat ini tidak
berguna bila gerakan silia terganggu, misalnya pada perokok
atau akibat infeksi.Obat-obat yang termasuk kelompok ini
adalahasetilkarbosistein, mesna, bromheksin, danambroxol.
c. Emoliensia
Memperlunak rangsangan batuk dan memperlicin
tenggorokan agar tidak kering, serta memperlunak selaput
lendir yang teriritasi. Zat-zat yang sering digunakan adalah
sirup (thymi dan altheae), zat-zat lendir (infus carrageen), dan
gula-gula, seperti drop (akar manis), permen, pastilles isap, dan
sebagainya.
Contoh-contoh Obat Batuk
Zat-zat pereda sental (Antitusif)
1. Keodein (F.I): metilmorfin, *Codipront
Alkaloida candu ini memiliki sifat menyerupai morfin,
tetapi efek analgetis dan meredakan batuknya jauh lebih lemah,
begitu pula efek depresinya terhadap pernapasan. Obat ini
banyak digunakan sebagai pereda batuk dan penghilang rasa
sakit, biasanya dikombinasi dengan asetosal yang memberikan
efek potensiasi. Dosis analgetis yang efektif terletak di anatara
15 – 60 mg. Sama dengan morfin, kodein juga dapat
membebaskan histamine (histamine-liberator).
Efek sampingnya jarang terjadi pada dosis biasa dan
terbatas pada obstipasi, mual dan muntah, pusing, dan
termangu-mangu. Pada anak kecil dapat terjadi konvulsi dan
depresi pernapasan. Dalam dosis tinggi dapat menimbulkan
efek sentral tersebut. Walaupun kurang hebat dan lebih jarang
daripada morfin, obat ini dapat pula mengakibatkan ketagihan.
Dosis: oral sebagai aalgetikum dan pereda batuk 3-5 dd 10-
40 mg dan maksimum 200 mg sehari. Pada diare 3-4 dd 25-40
mg.

2. Noskapin
Alkaloida candu alamiah ini tidak memiliki rumus
fenantren, seperti kodein dan morfin, melainkan termasuk
dalam kelompok benzilisokinolin seperti alkaloda candu
lainnya (papaverin dan tebain). Efek meredakan batuknya tidak
sekuat kodein, tetapi tidak mengakibatkan depresi pernapasan
atau obstipasi, sedangkan efk sedatifnya dapat diabaikan.
Risiko adiksinya ringan sekali. Berkat sifat baik ini, kini obat
ini banyak digunakan dalam berbagai sediaan obat batuk
popular.
Noskapin tidak bersifat analgetis dan merupakan pembebas
histamine yang kuat dengan efek bronchokonstriksi dan
hipotensi (selewat) pada dosis besar.
Efek sampingnya jarang terjad dan berupa nyeri kepala,
reaksi kulit, dan perasaan lelah letih tidak bersemangat. Dosis:
oral 3-4 kali sehari 15-50 mg, maksimal 250 mg sehari.

3. Dekstrometofan: methoxylevorphanol, Detusif, *Romilar/exp,


*Benadryl DMP
Derivat-fenantren ini (1953) berkhasiat menekan batuk,
yang sama kuatnya dengan kodein, tetapi bertahan lebih lama
dan tidak bersifat analgetis, sedative, sembelit, atau adiktif.
Mekanisme kerjanya berdasarkan peningkatan ambang pusat
batuk di otak. Pada peyalahgunaan dengan dosis tinggi dapat
terjadi efek stimulasi SP.
Efek sampingnya hanya ringan dan terbatas pada rasa
mengantuk, termangu-mangu, pusing, nyeri kepala, dan
gangguan lambung-usus. Dosis: oral 3-4 dd 10-20 mg
(bromide) p.c., anak-anak 2-6 tahun 3-4 dd 8 mg, 6-12 tahun 3-
4 dd 15 mg.

Antihistamin
1. Prometazin: (phenargen exp)
Sebagai antihistaminikum berdaya meredakan rangsangan batuk
berkat sifat sedative dan antikolinergik yang kuat. Efek samping
antikolinergiknya dapat menyebabkan gangguan buang air kecil
dan akomodasi pada manula. Dosis : 3 dd 25-50 mg (garam HCl)
d.c., anak-anak diatas 1 tahun 2-4 dd 0,2 mg/kg.
2. Oksomemazin
Adalah derivat dengan khasiat dan penggunaan sama, daya
antikolinergiknya lemah. Dosis : 2-3 dd 15 mg, anak-anak 1-2
tahun 2,5-10 mg sehari, 2-5 tahun 10-20 mg sehari, 5-10 tahun 2-3
dd 10 mg.
3. Difenhidramin (Benadryl)
Sebagai zat antihistamin (H-Blocker), senyawa ini bersifat
hipnotis-sedatif dan dengan demikian meredakan rangsangan
batuk.Pada bayi dapat menimbulkan perangsangan paradoksal,
misalnya mengeringnya selaput lender karena efek
antikolinergiknya. Dosis : 3-4 dd 25-50 mg

Muskolitik
1. Asetilsistein (Fluimucil)
Mekanisme aksinya yakni Mengurangi kekentalan / viskositas
sekret dengan memecah ikatan disulfida pada mukoprotein,
memfasilitasi pengeluaran sekret melalui batuk.Mekanisme ini
paling baik pada pH 7-9, sehingga pH sediaan diadjust dengan
NaOH.
Efek Samping: Reaksi hipersensitivitas (bronkospasme,
angioedema, kemerahan, gatal), hipotensi / hipertensi (kadang-
kadang), mual, muntah, demam, syncope, berkeringat, arthralgia,
pandangan kabur, gangguan fungsi hati, asidosis, kejang, ;cardiac /
respiratory arrest. Dosis : Oral 3-6 dd 200 mg atau 1-2 dd 600 mg
granulat, anak-anak n2-7 tahun 2 dd 200 mg, dibawah 2 tahun 2 dd
100 mg, Sebagai antidotum keracunan paracetamool , oral 150
mg/kg berat badan dan larutan 5 %, disusul dengan 75 mg/kg
setiap 4 jam
2. Bromheksin
Mekanisme aksinya yakni Bromheksin merupakan secretolytic
agent, yang bekerja dengan cara memecah mukoprotein dan
mukopolisakarida pada sputum sehingga mukus yang kental pada
saluran bronkial menjadi lebih encer, kemudian memfasilitasi
ekspektorasi.
Efek Samping : Pusing, sakit kepala, berkeringat, kulit
kemerahan. Batuk atau bronkospasme pada inhalasi (kadang-
kadang).Mual, muntah, diare dan efek samping pada saluran cerna.
Dosis : Oral 3-4 dd 8-16 mg (Klorida), Anak-anak 3 dd 1,6 – 8 mg.
Tergantung dari usia.

Ekspektoran
1. Kaliumiodida
Iodida menstimulasi sekresi mucus di cabang tenggorokan dan
mencairkannya, tetapi sebagai obat batuk (Hampir) tidak efektif.
Efek Samping : gangguan tiroid , Struma, Ucticaria dan iod-acne,
juga hiperkaliemia( pada fungsi ginjal buruk). Dosis: Pada batuk
oral 3 dd 0,5-1 g, maks. 6 g sehari.
2. Amoniumklorida
Berdaya diuretic lemah yang menyebabkan acidosis, yakni
kelebihan asam dalam darah.Keasaman darah merangsang pusat
pernapasan sehingga frekuensi napas meningkat dan gerakkan bulu
getar (cilia) disaluran napas distimulasi.Sekresi dahak juga
meningkat.Maka senyawa ini banyak digunakan dalam sediaaan
sirop batuk, misalnya obat batuk hitam. Efek Sampingnya :
Acidosis ( khusus pada anak-anak dan pasien ginjal) dan gangguan
lambung (mual, muntah), berhubung sifatnya yang merangsang
mukosa. Dosis : oral 3-4 dd 100-150 mg, maks. 3 g seharinya.
3. Guaifenesin ( Gliserilguaiakolat, Toplexil)
Digunakan sebagai ekspektorans dalam berbagai jenis sediaan
bentuk popular.Pada dosis tinggi bekerja merelaksasi otot seperti
mefenesin. Efek Samping : Iritasi Lambung (mual,muntah) yang
dapat dikurangi bila diminum dengan segelas air. Dosis: Oral 4-6
dd 100-200 mg.

Terapi non farmakologi (tanpa menggunakan obat)


Pada umunya batuk berdahak maupun tidak berdahak daat dikurangi
dengan cara sebagai berikut:
1. Memperbanyak minum air putih untuk membantu mengencerkan
dahak, mengurangi iritasi dan rasa gatal.
2. Menghindari paparan debu, minuman atau makanan yang
merangsang tenggorokan seperti makanan yang berminyak dan
minuman dingin.
3. Menghindari paparan udara dingin.
4. Menghindari merokok dan asap rokok karena dapat mengiritasi
tenggorokan sehingga dapat memperparah batuk.
5. Menggunakan zat – zat Emoliensia seperti kembang gula, madu,
atau permen hisap pelega tenggorokan. Ini berfungsi untuk
melunakkan rangsangan batuk, dan mengurangi iritasi pada
tenggorokan dan selaput lendir.
7. Jelaskan diagnosa banding berdasarkan skenario!
a. Laryngitis
b. Faringitis
c. Epiglottitis
Jawab :
a. Laryngitis

 Definisi
Laringitis merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai
pada daerah laring. Laringitis merupakan suatu proses inflamasi
pada laring yang dapat terjadi baik akut maupun kronik. Laringitis
akut biasanya terjadi mendadak dan berlangsung dalam kurun
waktu kurang lebih 3 minggu. Bila gejala telah lebih dari 3 minggu
dinamakan laringitis kronis. Penyebab dari laringitis akut dan
kronis dapat bermacam-macam bisa disebabkan karena kelelahan
yang berhubungan dengan pekerjaan maupun infeksi virus. Pita
suara adalah suatu susunan yang terdiri dari tulang rawan, otot, dan
membran mukos yang membentuk pintu masuk dari trakea.
Biasanya pita suara akan membuka dan menutup dengan lancar,
membentuk suara melalui pergerakan. Bila terjadi laringitis,
makan pita suara akan mengalami proses peradangan, pita suara
tersebut akan membengkak, menyebabkan perubahan suara.
Akibatnya suara akan terdengar lebih serak.

 Etiologi
Hampir setiap orang dapat terkena laringitis baik akut
maupun kronis. Laringitis biasanya berkaitan dengan infeksi
virus pada traktus respiratorius bagian atas. Akan tetapi
inflamasi tesebut juga dapat disebabkan oleh berbagai macam
sebab diantaranya adalah

Tabel Laringitis akut dan kronis

laringitis akut Laringitis kronis


1. Rhinovirus 1. Infeksi bakteri
2. Parainfluenza virus 2. Infeksi tuberkulosis
3. Adenovirus 3. Sifilis
4. Virus mumps 4. Leprae
5. Varisella zooster virus 5. Virus
6. Penggunaan asma inhaler 6. Jamur
7. Penggunaan suara berlebih 7. Actinomycosis
dalam pekerjaan : Menyanyi, 8. Penggunaan suara berlebih
Berbicara dimuka umum 9. Alergi
Mengajar 10. Faktor lingkungan seperti asap,
8. Alergi debu
9. Streptococcus grup A 11. Penyakit sistemik : wegener
10. Moraxella catarrhalis granulomatosis, amiloidosis
11. Gastroesophageal refluks 12. Alkohol
13. Gatroesophageal refluks
 Insiden
Laringitis atau croup mempunyai puncak insidensi pada usia 1-
2 tahun. Sebelum usia 6 tahun laki-laki lebih mudah terserang
dibandingkan perempuan, dengan perbandingan laki-
laki/perempuan 1.43:1.

 Epidemiologi
Dari penelitian di Seattle – Amerika, didapatkan angka
serangan croup pada bayi usia 0-5 bulan didapatkan 5.2 dari 1000
anak per tahun, pada bayi usia 6-12 bulan didapatkan 11 dari 1000
anak per tahun, pada anak usia 1 tahun didapatkan 14.9 dari 1000
anak per tahun, pada anak usia 2-3 tahun didapatkan 7.5 dari 1000
anak per tahun, dan pada anak usia 4-5 tahun didapatkan 3.1 dari
1000 anak per tahun. Dari penelitian di Chapel Hill – NC,
didapatkan data-data perbandingannya yaitu 24.3, 39.7, 47, 31.2,
dan 14.5, dan dari data-data tersebut didapatkan 1.26%
membutuhkan perawatan di rumahsakit. Di Tuscon – AZ
didapatkan angka serangan croup selama tahun pertama kehidupan
107 kasus dari 961 anak

 Patogenesis
Bila jaringan cedera karena terinfeksi oleh kuman, maka pada
jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang menyebabkan
musnahnya agen yang membahayakan jaringan atau yang
mencegah agen ini menyebar lebih luas. Rekasi-reaksi ini
kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki.
Rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan cedera ini
dinamakan radang.
Laringitis akut merupakan proses inflamasi pada mukosa pita
suara dan laring yang berlangsung kurang dari 3 minggu. Bila
etiologi dari laringitis akut disebabkan oleh adanya suatu infeksi,
maka sel darah putih akan bekerja membunuh mikroorganisme
selama proses penyembuhan. Pita suara kemudian akan menjadi
tampak edema, dan proses vibrasi juga umumnya ikut mengalami
gangguan. Hal ini juga dapat memicu timbulnya suara yang parau
disebabkan oleh gangguan fonasi. Membran yang meliputi pita
suara juga terlihat berwarna kemerahan dan membengkak.
Laringitis kronis merupakan suatu proses inflamasi yang
menunjukkan adanya peradangan pada mukosa laring yang
berlangsung lama. Pada laringitis kronis proses peradangan dapat
tetap terjadi meskipun faktor penyebabnya sudah tidak ada. Proses
inflamasi akan menyebabkan kerusakan pada epitel bersilia pada
laring, terutama pada dinding belakang laring. Hal ini akan
menyebabkan gangguan dalam pengeluaran sekret dari traktus
trakeobronkial. Bila hal ini terjadi, sekret akan berada tetap pada
dinding posterior laring dan sekitar pita suara menimbulkan reaksi
timbulnya batuk. Adanya sekret pada daerah pita suara dapat
menimbulkan laringospasme. Perubahan yang berarti juga dapat
terjadi pada epitel dari pita suara berupa hiperkeratosis,
diskeratosis, parakeratosis dan akantosis

 Gejala klinis
1. Gejala lokal seperti suara parau dimana digambarkan pasien
sebagai suara yang kasar atau suara yang susah keluar atau
suara dengan nada lebih rendah dari suara yang biasa / normal
dimana terjadi gangguan getaran serta ketegangan dalam
pendekatan kedua pita suara kiri dan kanan sehingga
menimbulkan suara menjada parau bahkan sampai tidak
bersuara sama sekali (afoni).
2. Sesak nafas dan stridor
3. Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menalan atau berbicara.
4. Gejala radang umum seperti demam, malaise
5. Batuk kering yang lama kelamaan disertai dengan dahak kental
6. Gejala commmon cold seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok
hingga sulit menelan, sumbatan hidung (nasal congestion),
nyeri kepala, batuk dan demam dengan temperatur yang tidak
mengalami peningkatan dari 38 derajat celsius.
7. Gejala influenza seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga
sulit menelan, sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri
kepala, batuk, peningkatan suhu yang sangat berarti yakni lebih
dari 38 derajat celsius, dan adanya rasa lemah, lemas yang
disertai dengan nyeri diseluruh tubuh .
8. Pada pemeriksaan fisik akan tampak mukasa laring yang
hiperemis, membengkak terutama dibagian atas dan bawah pita
suara dan juga didapatkan tanda radang akut dihidung atau
sinus paranasal atau paru
9. Obstruksi jalan nafas apabila ada udem laring diikuti udem
subglotis yang terjadi dalam beberapa jam dan biasanya sering
terjadi pada anak berupa anak menjadi gelisah, air hunger,
sesak semakin bertambah berat, pemeriksaan fisik akan
ditemukan retraksi suprasternal dan epigastrium yang dapat
menyebabkan keadaan darurat medik yang dapat mengancam
jiwa anak
 Diagnosa
Diagnosis laringitis akut dapat ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemerinksaan penunjang. Pada anamnesis
biasanya didapatkan gejala demam, malaise, batuk, nyeri telan,
ngorok saat tidur, yang dapat berlangsung selama 3 minggu, dan
dapat keadaan berat didapatkan sesak nafas, dan anak dapat biru-
biru. Pada pemeriksaan fisik, anak tampak sakit berat, demam,
terdapat stridor inspirasi, sianosis, sesak nafas yang ditandai
dengan nafas cuping hidung dan/atau retraksi dinding dada,
frekuensi nafas dapat meningkat, dan adanya takikardi yang tidak
sesuai dengan peningkatan suhu badan merupakan tanda hipoksia
Pemeriksaan dengan laringoskop direk atau indirek dapat
membantu menegakkan diagnosis. Dari pemeriksaan ini plika
vokalis berwarna merah dan tampak edema terutama dibagian atas
dan bawah glotis. Pemeriksaan darah rutin tidak memberikan hasil
yang khas, namun biasanya ditemui leukositosis. pemeriksaan
usapan sekret tenggorok dan kultur dapat dilakukan untuk
mengetahui kuman penyebab, namun pada anak seringkali tidak
ditemukan kuman patogen penyebab. Proses peradangan pada
laring seringkali juga melibatkan seluruh saluran nafas baik
hidung, sinus, faring, trakea dan bronkus, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan foto.
Pada laringitis kronis diagnosis dapat ditegakkan melalui
anamnesis pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada
anamnesis dapat ditanyakan :

1. Kapan pertama kali timbul serta faktor yang memicu dan


mengurangi gejala
2. Kondisi kesehatan secara umum
3. Riwayat pekerjaan, termasuk adanya kontak dengan bahan
yang dapat memicu timbulnya laringitis seperti debu, asap.
4. Penggunaan suara berlebih
5. Penggunaan obat-obatan seperti diuretik, antihipertensi,
antihistamin yang dapat menimbulkan kekeringan pada
mukosa dan lesi pada mukosa.
6. Riwayat merokok
7. Riwayat makan
8. Suara parau atau disfonia
9. Batuk kronis terutama pada malam hari
10. Stridor karena adanya laringospasme bila sekret terdapat
disekitar pita suara
11. Disfagia dan otalgia

Pada gambaran makroskopi nampak permukaan selaput lendir


kering dan berbenjol-benol sedangkan pada mikroskopik terdapat
epitel permukaan menebaldan opaque, serbukan sel radang
menahun pada lapisan submukosa. Pemeriksaan laboratorium
dilakukan pemeriksaan darah, kultur sputum, hapusan mukosa
laring, serologik marker.

Pada laringitis kronis juga dapat dilakukan foto radiologi untuk


melihat apabila terdepat pembengkakan. CT scanning dan MRI
juga dapat digunakan dan memberikan hasil yang lebih baik.
Pemeriksaan lain yang dapat digunakan berupa uji tes alergi.

 Penatalaksanaan
Terapi pada laringitis akut berupa mengistirahatkan pita suara,
antibiotik, mnambah kelembaban, dan menekan batuk. Obat-
obatan dengan efek samping yang menyebabkan kekeringan harus
dihindari. Penyayi dan para profesional yang mengandalkan suara
perlu dinasehati agar membiarkan proses radang mereda sebelum
melanjutkan karier mereka. Usaha bernyayi selama proses radang
berlangsung dapat mengakibatkan perdarahan pada laring dan
perkembangan nodul korda vokalis selanjutnya.
Terapi pada laringitis kronis terdiri dari menghilangkan
penyebab, koreksi gangguan yang dapat diatasi, dan latihan
kembali kebiasaan menggunakan vocal dengan terapi bicara.
Antibiotik dan terapi singkat steroid dapat mengurangi proses
radang untuk sementara waktu, namun tidak bermanfaat untuk
rehabilitasi jangka panjang. Eliminasi obat-obat dengan efek
samping juga dapat membantu.
Pada pasien dengan gastroenteriris refluks dapat diberikan
reseptor H2 antagonis, pompa proton inhibitor. Juga diberikan
hidrasi, meningkatkan kelembaban, menghindari polutan.
Terapi pembedahan bila terdapat sekuester dan trakeostomi
bila terjadi sumbatan laring.
Laringitis kronis yang berlangsung lebih dari beberapa minggu
dan tidak berhubungan dengan penyakit sistemik, sebagian besar
berhubungan dengan pemajanan rekuren dari iritan. Asap rokok
merupakan iritan inhalasi yang paling sering memicu laringitis
kronis tetapi laringitis juga dapat terjadi akibat menghisap kanabis
atau inhalasi asap lainnya. Pada kasus ini, pasien sebaiknya
dijauhkan dari faktor pemicunya seperti dengan menghentikan
kebiasaan merokok.
 Pencegahan
Berikut ini beberapa cara yang bisa dilakukan agar terhindar dari
penyakit laringitis, di antaranya:
1. Melakukan vaksinasi flu sesuai dengan yang dijadwalkan oleh
dokter tiap tahun.
2. Membatasi konsumsi minuman beralkohol dan jangan
merokok.
3. Memperbanyak minum air putih agar dahak di dalam
tenggorokan menjadi encer dan mudah dikeluarkan.
4. Untuk orang yang rentan terkena laringitis, hindari penularan
infeksi dari orang lain yang sedang menderita laryngitis atau
flu.
5. Membiasakan diri mencuci tangan sebelum dan sesudah
makan, atau setelah menggunakan kamar kecil.
6. Melindungi hidung dan mulut dari paparan debu (memakai
masker) agar terhindar dari virus atau bakteri penyebab
laringitis.
7. Jika Anda alergi terhadap sesuatu, misalnya debu, suatu jenis
makanan, atau zat kimia tertentu, maka hindarilah hal-hal
tersebut.
8. Agar asam lambung tidak naik ke tenggorokan, tinggikan
sedikit alas kepala atau bantal ketika tidur. Jangan langsung
berbaring setelah makan.
9. Mengonsumsi makanan-makanan yang sehat untuk
tenggorokan yang banyak mengandung vitamin A,C, dan E
(misalnya buah, sayur, atau biji-bijian).
10. Tidak mengeluarkan volume suara yang melewati batas
ketahanan pita suara, misalnya berteriak sangat keras atau
bernyanyi dengan suara tinggi.

 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu laringitis kronik. Selain
itu, dapat terjadi perubahan suara jika gejala suara serak tersebut
terjadi selama 2 – 3 minggu. Perubahan suara ni dapat diakibatkan
oleh refluks asam lambung atau pajanan terhadap bahan iritan. Hal
tersebut berisiko untuk menimbulkan keganasan pada pita suara.
Pada pasien yang berusia lebih tua, laringitis bisa lebih parah dan
dapat menimbulkan pneumonia.
Penyakit croup jarang menimbulkan komplikasi, namun
beberapa komplikasi yang terjadi berkaitan dengan obstruksi jalan
napas, yaitu respiratory distress, hipoksia, atau superinfeksi
bakteri. Kortikostreoid dapat digunakan untuk mengurangi
inflamasi. Pemberian epinefrin aerosol menimbulkan efek
konstriksi pada mukosa dan dapat mengurangi edema.

 Prognosis
Laringitis akut umunya bersifat self limited. bila terapi
dilakukan dengan baik maka prognosisnya sangat baik. Pada
laringitis kronis prognosis bergantung kepada penyebab dari
laringitis kronis tersebut.

b. Faringitis
 Defenisi
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang
disebabkan oleh virus, bakteri alergi, trauma, atau penyebab
lainnya seperti refluks gastroesofageal.

 Epidemiologi
Setiap tahunnya ± 40 juta orang mengunjungi pusat pelayanan
kesehatan karena faringitis. Anak-anak dan orang dewasa
umumnya mengalami 3−5 kali infeksi virus pada saluran
pernafasan atas termasuk faringitis . Frekuensi munculnya
faringitis lebih sering pada populasi anak-anak. Kira-kira 15−30%
pada anak-anak usia sekolah dan 10% kasus faringitis pada orang
dewasa. Biasanya terjadi pada musim dingin yaitu akibat dari
infeksi Streptococcus ß hemolyticus group A. Faringitis jarang
terjadi pada anak-anak kurang dari tiga tahun.

 Faktor Risiko
Faktor risiko lain penyebab faringitis akut yaitu udara yang
dingin, turunnya daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus
influenza, konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol
yang berlebihan, merokok dan seseorang yang tinggal di
lingkungan kita yang menderita sakit tenggorokan atau demam.

 Patofisiologi
Invasi virus dan bakteri menimbulkan reaksi inflamasi local di
dinding faring. Bakteri streptococcus Grup A beta hemolitikus
adalah bakteri yang sering menyebabkan faringitis, melepaslkan
toksin ekstraseluler dan protease. Keduanya dapat menyababkan
kerusakan jaringan hebat berupa demam reumatik, kerusakan
katup jantung, dan glomerulonefritis akut, melalui pembentukan
kompleks antigen antibodi. Proses penularannya berupa droplet
infection melalui secret hidung dan ludah.

1. Faringitis viral

 Etiologi
Faringitis virus di sebabkan oleh Epstein-Barr Virus,
coxsakie virus , adenovirus, rhinovirus, retrovirus, respiratory
syncytial virus (RSV) influenza, parainfluenza.
 Tanda dan gejala
Dapat timbul berupa nyeri tenggorokan, konjutifitis,
renorea, batuk, suara serak, dengan demam subfebris.
Faringitis viral pada anak dapat muncul dengan gejala atipikal
seperti muntah nyeri perut, pernapasan lewat mulut dan diare.
 Pemeriksaan Fisik
Tampak faring dan tonsil hiperemis ataupun lesi ulseratif
intra-oral yang tersebar disekret. Pada faringitis yang
disebabkan Epstein-Barr Virus (EBV) dapat ditemukan
produksi eksudat yang banyak.
 Tatalaksana
Terapi antibiotik tidak diperlukan . istirahat, minum cukup,
dan kumur dengan air hangat, serta kompres dingin dileher
dapat membantu mengurangi nyeri. Analgetik dapat diberikan
seperlunya seperti asetaminofen atau Ibuprofen. Pada infeksi
herpes simpleks dapat diberikan antivirus metisoprinol 60-
100mg/kg pada dewasa dan anak kurang dari 5 tahun diberikan
50 mg/kg dibagi dalam 4-6 kali pemberian.
2. Faringitis bacterial

 Etiologi
Faringitis bakteri sering disebabkan oleh streptococcus
Grup A beta hemolitikus , yakni terjadi 15-30% kasus anak
dan 5-15% dewasa. Namun, kejadiannya jarang terjadi pada
anak dibawah 3 tahun. Penting untuk membedakannya dengan
faringitis oleh etiologi lain, karena tata laksana yang tepat
dibutuhkan untuk mencegah terjadinya demam reumatik.
 Tanda dan gejala
Gejala glinis tidak selalu dapat langsung membedakan
faringitis viral dengan bacterial. Kultur dan atau rapid antigen
detection test (RADT) dapat digunakan untuk
membedakannya. Faringitis bacterial jarang timbul dengan
rinore, batuk, ataupun konjungtifitis,. Pasien dengan faringitis
bacterial biasanya datang dengan nyeri tenggorokan,nyeri
menelan , dan demam. Gejala lainnya dapat disertai sakit
kepala hebat, mual, muntah, dan nyeri perut.
 Pemeriksaan fisik
Di dapatkan tonsil yang membesar, tonsil dan faring
hiperemis dengan atau tanpa eksudat, dan pembesaran kelenjar
getah bening servikal anterior. Uvula dapat ditemukan
membengkak, merah, dengan petekia pada platum dan fvaring
(beberapa hari kemudian). Dan ekskoriasi (terutama pada
bayi). Secara keseluruhan , tidak ada tanda dan gejala yang
spesifik faringitis dan GABHS.
 Tatalaksana
Pasien diyakin memiliki faringitis bacterial, harus
diberikan antibiotic. Gejala klinis pada umumnya akan
membaik dalam 24-48 jam sejak konsumsi antibiotic pertama,
namun perlu ditekankan bahwa penggunaan antibiotic harus
hingga 10 hari untuk mengeradikasi bateri. Beberapa pilihan
regimen antibiotic yang dapat digunakan pada anak secara
ringkas sebagai berikut :

- Kotrimoksazol 2 tablet anak 2 x sehari selama 5 hari


- Amoksisilin 30 - 50mg/kgBB perhari selama 5 hari
- Eritromisin 20 – 40 mg/kgBB perhari selama 5 hari

 Pemeriksaan Penunjang
Faringitis didiagnosis dengan cara pemeriksaan tenggorokan
(kultur apus tenggorokan). Pemeriksaan kultur memiliki
sensitivitas 90−95% dari diagnosis, sehingga lebih diandalkan
sebagai penentu penyebab faringitis yang diandalkan.
Kultur tenggorokan merupakan suatu metode yang dilakukan
untuk menegaskan suatu diagnosis dari faringitis yang disebabkan
oleh bakteri Group A Beta-Hemolytic Streptococcus (GABHS).
Group A Beta-Hemolytic Streptococcus (GABHS) rapid antigen
detection test merupakan suatu metode untuk mendiagnosa
faringitis karena infeksi GABHS. Tes ini akan menjadi indikasi
jika pasien memiliki risiko sedang atau jika seorang dokter
memberikan terapi antibiotik dengan risiko tinggi untuk pasien.
Jika hasil yang diperoleh positif maka pengobatan diberikan
antibiotik dengan tepat namun apabila hasilnya negatif maka
pengobatan antibiotik dihentikan kemudian dilakukan follow-up.
Rapid antigen detection test tidak sensitif terhadap Streptococcus
Group C dan G atau jenis bakteri patogen lainnya.
Untuk mencapai hasil yang akurat, pangambilan apus
tenggorok dilakukan pada daerah tonsil dan dinding faring
posterior. Spesimen diinokulasi pada agar darah dan ditanami disk
antibiotik. Kriteria standar untuk penegakan diagnosis infeksi
GABHS adalah persentase sensitifitas mencapai 90−99%. Kultur
tenggorok sangat penting bagi penderita yang lebih dari sepuluh
hari.

 Konseling dan Edukasi :


1. Memberitahu keluarga untuk menjaga daya tahan tubuh
dengan mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga teratur.

2. Memberitahu keluarga untuk berhenti merokok.

3. Memberitahu keluarga untuk menghindari makan-makanan


yang dapat mengiritasi tenggorok.

4. Memberitahu keluarga dan pasien untuk selalu menjaga


kebersihan mulut.

5. Memberitahu keluarga untuk mencuci tangan secara teratur


 Komplikasi
Komplikasi umum pada faringitis adalah sinusitis, otitis media,
epiglottitis, mastoiditis, dan pneumonia. Faringitis yang
disebabkan oleh infeksi Streptococcus jika tidak segera diobati
dapat menyebabkan endokarditis,meningitis, otitis media,
pneumonia, glomerulonefritis post-streptoccos, peritonsillar abses,
demam reumatik akut, toxic shock syndrome, peritonsillar
sellulitis, abses retrofaringeal dan obstruksi saluran pernasafan
akibat dari pembengkakan laring.

c. Epiglottitis
 Definisi
Epiglotitis akut adalah suatu keadaan inflamasi akut yang
terjadi pada daerah supraglotis dari laring, meliputi epiglotis,
valekula, aritenoid,dan lipatan ariepiglotika, sehingga sering juga
disebut dengan supraglotitis atau laryngitis supraglotik.
 Etiologi
Pada orang dewasa organisme terbanyak yang menyebabkan
epiglotitis akut adalah Haemophilus influenza (25%) diikuti
oleh H parainfluenzae, Streptococcus pneumonia dan group A
streptococci. Penyebab infeksi lain yang jarang ditemukan seperti
yang disebabkan Staphylococcus aureus, mycobacteria,
Bacteroides melaninogenicus, Enterobacter cloacae,
Escherichia coli, Fusobacterium necrophorum, Klebsiella
pneumoniae, Neisseria meningitidis, Pasteurella multocida,
Herpes simplex virus (HSV) dan virus lainnya, infeksi
mononucleosis, Candida dan Aspergillus (pada pasien
dengan immunocompromised).
Penyebab non-infeksi dari epiglotitis akut dapat berupa
penyebab termal (makanan atau minuman yang panas, rokok,
penggunaan obat-obatan terlarang seperti kokain dan mariyuana)
dan benda asing yang tertelan. Epiglotitis juga dapat terjadi
sebagai reaksi dari kemoterapi pada daerah kepala dan leher

 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, epiglotitis merupakan penyakit yang
jarang ditemui, dengan insidensi pada orang dewasa sekitar 1
kasus per 100.000 penduduk pertahun, dengan rasio pria - wanita
sekitar 3:1, dan terjadi pada usia dekade kelima dengan usia rata -
rata sekitar 45 tahun. Namun akhir-akhir ini terdapat bukti yang
menyatakan bahwa prevalensi dan insidensi epiglotitis akut pada
orang dewasa meningkat, dibandingkan dengan pada anak-anak
yang relatif menurun.

 Insiden
Rasio insidensi antara anak - anak dengan orang dewasa pada
tahun 1980 adalah 2,6 : 1, dan menurun menjadi 0,4 : 1
pada tahun 1993. Penurunan angka kejadian epiglotitis
pada anak-anak ini terjadi sejak diperkenalkannya vaksin
untuk Haemophilus influenzae tipe B (Hib).Epiglotitis akut paling
sering terjadi pada anak-anak usia 2 - 4 tahun.
 Patofisiologi

 Gejala Klinis
Onset dan perkembangan gejala yang terjadi pada pasien
epiglotitis berlangsung dengan cepat. Biasanya pasien
datang dengan keluhan nyeri tenggorok, nyeri menelan / sulit
menelan, dan suara menggumam atau ”hot potato voice”, suara
seperti seseorang berusaha berbicara dengan adanya makanan
panas di dalam mulutnya. Prediktor adanya obstruksi
saluran napas adalah perkembangan yang cepat dalam 8 jam
setelah onset gejala, terdapat stridor inspiratoar, saliva yang
menggenang, laju pernapasan lebih dari 20 kali permenit, dispnea,
retraksi dinding dada dan posisi tubuh yang tegak.2 Selain itu,
tanda-tanda lain yang dapat ditemukan pada pasien dengan
epiglotitis akut adalah demam, nyeri pada palpasi ringan leher,
dan batuk. Pada anak-anak, manifestasi klinik yang nampak akan
terlihat lebih berat dibandingkan pada orang dewasa. Tiga tanda
yang paling sering ditemui adalah demam, sulit bernapas, dan
iritabilitas. Anak-anak akan terlihat toksik, dan terlihat tanda-tanda
adanya obstruksi saluran napas atas. Akan terlihat pernapasan yang
dangkal, stridor inspiratoar, retraksi, dan saliva yang banyak.
Selain itu juga terdapat nyeri tenggorok yang hebat dan disfagia. 4
Berbicara pun terbatas akibat nyeri yang dirasakan. Batuk dan
suara serak biasanya tidak ditemukan, namun bisa terdapat suara
menggumam. Stridor muncul ketika saluran napas hampir
sepenuhnya tertutup. Anak-anak biasanya akan melakukan posisi
“tripod” (pasien duduk dengan tangan mencengkram pinggir
tempat tidur, lidah menjulur dan kepala lurus ke depan).
Laringospasme dapat muncul secara tiba-tiba dengan adanya
aspirasi sekret ke saluran napas yang telah menyempit dan
menimbulkan respiratory arrest. Obstruksi saluran napas pada
pasien dengan epiglotitis akut dapat terjadi karena mukosa dari
daerah epiglotis longgar dan memiliki banyak pembuluh darah,
sehingga ketika terjadi reaksi inflamasi, iritasi, dan respon alergi,
dapat dengan cepat terjadi edema dan menutupi saluran napas
sehingga terjadi obstruksi yang mengancam jiwa.

 Diagnosa
- Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditemukan adanya disfagia, sakit
tenggorokan dan demam, biasanya seorang anak akan menolak
untuk makan. Dispnue progresif, suara biasanya tidak parau
tetapi menyerupai “hot potato voice”, penderita lebih suka
posisi duduk tegak atau bersandar ke depan (kadang dengan
siku yang diletakkan di lutut, dikenal dengan tripod position.
- Pemeriksaan Fisis
Dari pemeriksaan fisis laringoskopi indirect, pada inspeksi
dapat terlihat epiglotis dan daerah sekitarnya yang eritematosa,
membengkak, dan berwarna merah ceri, namun pemeriksaan
ini jarang dilakukan karena kemungkinan akan memperparah
sumbatan dari saluran napas. Ataupun jika perlu dilakukan,
maka pemeriksaan ini dilakukan di tempat yang memiliki alat-
alat yang lengkap, seperti di ruang operasi. Dapat juga
dilakukan pemeriksaan laringoskopi direk dengan fiber optik
untuk pemeriksaan yang lebih akurat.

- Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi
Penggunaan pemeriksaan radiologis pada pasien
dengan epiglotitis akut masih kontroversial. Meskipun
diketahui bahwa epiglotitis dapat didiagnosis dari
radiografi lateral leher, masih dipertanyakan apakah
prosedur ini aman dan memang diperlukan.8 Dari hasil
pemeriksaan radiografi ditemukan gambaran “thumb
sign”, yaitu bayangan dari epiglotis globular yang
membengkak, terlihat penebalan lipatan ariepiglotika, dan
distensi dari hipofaring. Terkadang, epiglottis itu sendiri
tidak membengkak, namun daerah supraglotis masih
terlihat tidak jelas dan nampak kabur akibat edema dari
struktur supraglotis yang lain. Pada kasus yang berat, terapi
tidak boleh ditunda untuk melakukan pemeriksaan
radiografi. Jika radiografi memang dibutuhkan,
pemeriksaan harus didampingi dengan personil yang
dapat mengintubasi pasien secara cepat ketika obstruksi
saluran napas memberat atau telah tertutup seluruhnya.

Gambaran edema pada epiglottis, vallecula yang


menghilang dan penyempitan dari lumen laring.

2. Laringoskop
Laringoskop fiberoptik merupakan pemeriksaan terbaik
yang dianjurkan untuk melihat epiglotis secara langsung
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak spesifik pada pasien
dengan epiglotitis dan dilakukan ketika saluran napas
pasien telah diamankan. Jumlah leukosit dapat meningkat
dari 15.000 hingga 45.000 sel/μL.4 Kultur darah
dapat diambil terutama jika pasien terlihat tidak
baik secara sistemik. Kultur biasanya memberikan
hasil yang positif pada 25% kasus.
Epiglotitis dapat menjadi fatal jika terdiagnosis
terlambat. Diagnosis biasanya dapat ditegakkan dari
riwayat perjalanan penyakit dan temuan klinis, serta
pemeriksaan radiografi jika memungkinkan.
 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan epiglotitis
diarahkan kepada mengurangi obstruksi saluran napas dan
menjaganya agar tetap terbuka, serta mengeradikasi agen
penyebab. Intubasi tidak boleh dilakukan di lapangan kecuali
sudah terjadi obstruksi saluran napas yang akut. Pada pasien
dengan keadaan yang tidak stabil, penatalaksanaan saluran
napas sangat diperlukan. Tanda dan gejala yang berhubungan
dengan kebutuhan intubasi termasuk distres pernapasan,
keadaan saluran napas yang membahayakan yang ditemukan
saat pemeriksaan, stridor, ketidakmampuan untuk menelan,
saliva yang menggenang, dan keadaan yang makin
memburuk dalam 8 - 12 jam. Epiglotis yang
membesar pada pemeriksaan radiografi berhubungan dengan
obstruksi saluran napas. Jika masih ragu-ragu, mengamankan
saluran napas merupakan pendekatan yang paling aman.
Keadaan pasien dapat memburuk secara cepat, dan
peralatan untuk membuka saluran napas harus tersedia. Jika
intubasi gagal, dapat dilakukan trakeostomi atau krikotirotomi
segera.Pada pasien dengan keadaan yang stabil tanpa tanda-
tanda bahaya salurannapas, sulit bernapas, stridor, atau saliva
yang menggenang, dan hanya memiliki pembengkakan yang
ringan, dapat ditangani tanpa intervensi saluran napas yang
segera dengan pengawasan ketat di unit perawatan intensif atau
ICU. Karena obstruksi saluran napas dapat terjadi dengan cepat
pada pasien, penilaian serial berulang dari patensi saluran
napas sangat diperlukan.Pada anak-anak, hindari prosedur yang
dapat meningkatkan kegelisahan sampaisaluran napas anak
tersebut telah diamankan.Prosedur seperti pengambilan darah
dan pemasangan infus, meskipun dibutuhkan pada kebanyakan
kasus epiglotitis akut pada anak, dapat meningkatkan
kegelisahan dan memperparah keadaan saluran
napasnya.Antibiotik intravena dapat dimulai sesegera mungkin
dan harus mencakupHaemophilus influenzae,
Staphylococcus aureus, Streptococcus danPneumococcus,
seperti amoksisilin/asam klavulanat atau sefalosporin
generasikedua atau ketiga, seperti sefuroksim, sefotaksim, atau
seftriakson. Kortikosteroid sering direkomendasikan untuk
epiglotitis. Walaupun begitu, tida ada data yang menunjukkan
kegunaannya pada keadaan ini. Penggunaan kortikosteroid
tidak mengurangi kebutuhan untuk intubasi, durasi
intubasi, ataupun durasi perawatan.Ekstubasi biasanya dapat
dilakukan setelah 48 hingga 72 jam, di mana edema telah
berkurang dan terdapat kebocoran udara di sekeliling
selang endotrakeal. Kriteria untuk ekstubasi termasuk
berkurangnya eritema, berkurangnya edema epiglotis, atau
secara empiris setelah 48 jam intubasi.
Laringoskopi fiber optik transnasal dapat dilakukan untuk
menilai resolusi dari edema sebelum dilakukan ekstubasi.Di
berikan oksigen dan hampir selalu di lakukan pebukaan saluran
pernafasan,baik dengan cara memasukan tuba endotrakeal
maupun dengan cara membuatlubang di leher bgian depan
(Trakeostomi). Untuk meningkatkan hidrasi, diberikan
cairan infus. Antibiotik diberikan untuk mengatasi infeksi.
Kortikosteroid di berikan untuk mengurangi pembengkakan
 Komplikasi dan Prognosis
Meskipun epiglotitis akut itu sendiri merupakan
penyakit yang dapat mengancam jiwa, infeksi lain dapat
terjadi secara bersamaan. Komplikasi paling sering adalah
pneumonia. Infeksi konkomitan dengan Haemophilus influenza
yang lain termasuk meningitis, adenitis servikal, perikarditis,
dan otitis media.
Selain itu, dapat juga terjadi abses epiglotis dan
uvulitis.Komplikasi non-infeksi juga dapat terjadi pada pasien
dengan epiglotitis.Pasien dengan obstruksi saluran napas yang
menyeluruh dan respiratory arrest dapat mengalami kerusakan
hipoksik dari sistem saraf pusat dan sistem organ yang lain.
Bahkan pasien yang telah mendapat tatalaksana yang cukup
dapat menjadi hipoksik.Mortalitas pada pasien anak-anak telah
menurun dari 7,1% menjadi 0,9% sejak digunakannya
intervensi saluran napas profilaksis. Mortalitas pada orang
dewasa sekitar 1 - 7%, namun jika terjadi obstruksi, mortalitas
menjadi 17,6%

 Pencegahan
Vaksin HIB merupakan pencegahan utama epiglotitis.Di
indonesia,vaksin ini deiberikan bersamaan dengan DPT dan
hepatitis B. Pencegahan lainnya yaitu menghindari obat-obatan
terlarang serta menghindari asap rokok
8. Sebutkan penyakit-penyakit saluran napas atas dan tengah!
Jawab :
 Penyakit saluran napas atas
1. Rhinitis
Rhinitis adalah peradangan atau iritasi yang terjadi di membrana
mukosa di dalam hidung yang diakibatkan oleh bakteri, alergen
(penyebab alergi), dan virus dapat menyebabkan gejala-gejala
rhinitis.
 Paling sering terjadi manifestasi common cold, biasanya
ditandai demam, edema mucosa hidung, kenaikan sekresi
sehingga hidung menjadi tersumbat.
 Penyebab : rhinovirus, adenivirus, para influenza virus,
coronavirus, influenza virus, respiratory synycal virus.
2. Pharyngitis
Pharyngitis atau penyakit radang tenggerokan merupakan sebuah
keadaan dimana terdapat bengkak atau penebalan pada dinding
tenggerokan.bengkak pada tenggerokan tersebut berwarna merah
dan terdapat bintik-bintik putih.
 Gejala nyeri saat menelan, erythema dan pembengkakan pada
jaringan yang terkena.
 Penyebab virus : rhinovirus, adenoviruse, parainfluenza virus,
influenzavirus, coxsackie viruses, herpes simplex virus,
Epstein-bar virus.
 Bakteri : streptococcus pyogens, Corynebacterium diphteriae,
Neisseria ghonorrhoeae
3. Stomatitis
Stomatitis adalah luka lecet yang terdapat dalam mulut dan gusi
yang disebabkan oleh proses peradangan (inflamasi).
 Virus: HSV, Coxsackie A virus
 Bakteri atau jamur : fusobacterium, spirochetes, candida sp.

 Infeksi saluran napas tengah


1. Epiglottitis
Epiglottitis adalah pembengkakan dan peradangan pada epiglottis.
Epiglottis merupakan katup berbentuk daun yang berfungsi
menutupi trakea (batang tenggerokan) agar tidak dimasuki
makanan atau cairan pada saat kita menelan.
 Klinis : nyeri tenggorok dan leher (tiba-tiba), demam, serak
(“inflammatory stridor”), sukar menelan.
 Virus : sangat jarang
 Bakteri : H.influenzae (paling sering), S.pyogens,
S.pneumoniae, C.diphtheriae, N.meningitidis.

2. Laryngitis
Laryngitis adalah peradangan yang terjadi pada laring (kotak pita
surara di dalam tenggerokan).
 Klinis : demam. serak (“inflammatory stridor”), batuk
keras/menyertak. Seringnya merupakan perluasan infeksi
saluran napas atas.
 Virus (90%) : Rhinovirus, Adenovirus, parainfluenza virus,
influenza virus, coronavirus, echovirus.
 Bakteri: sangat jarang.
 Penyebab :
a. Kerusakan pada pita suara
b. Infeksi virus, bakteri, dan jamur.
c. Reaksi alergi
d. Naiknya asam lambung ke tenggerokan lewat
kerongkongan
e. Mengeringnya dan teriritasinya laring
f. Penggunaan obat kortikosteroid hirup

3. Bronchitis / trachebronchitis
 Klinis : demam, batuk, disertai produksi sputum. Sering
merupakan akibat/perluasan infeksi saluran napas atas.
 Virus (80%) : Adenovirus, parainfluenzavirus, influenzavirus,
respiratory syntial viruses, measles.
 Bakteri : B.pertusis, H.influenza, chlamydia pneumonia.

9. Bagaimana pencegahan pada penyakit saluran napas atas?


Jawab :
ISPA umumnya ditularkan melalui droplet. Namun demikian, pada
sebagian patogen ada juga kemungkinan penularan melalui cara lain,
seperti melalui kontak dengan tangan atau permukaan yang
terkontaminasi. Pasien yang terinfeksi harus diberi perawatan dan
pelayanan yang sesuai dan langkah pencegahan dan pengendalian infeksi
harus segera dilakukan untuk mengurangi penularan lebih lanjut penyakit
tersebut.
Kewaspadaan Standar :
Kewaspadaan standar yang merupakan dari pencegahan kontak
langsung tanpa pelindung dengan cairan tubuh, darah, sekret, ekskresi,
dan mengurangi penyebaran infeksi yang berkaitan dengan pelayanan
kesehatan.
 Kebersihan tangan
- Mencuci tangan dengan antiseptic berbasis alcohol
- Mencuci tangan dengan sabun dan air
 Pencegahan alat pelindung diri (APD) untuk menghindari kontak
dengan cairan tubuh pasien dan kulit yang tidak utuh.
Pedoman umum APD :
- Tangan harus selalu dibersihkan meskipun menggunakan APD
- Lepas dan ganti bila perlu segala perlengkapan APD yang
dapat digunakan kembali yang sudah rusak atau sobek segera
setelah mengetahui APD tersebut tidak berfungsi optimal.
- Lepas semua APD sesegera mungkin setelah selesai
memberikan pelayanan dan hindari kontaminasi :
 Lingkungan diluar ruang isolasi
 Para pasien atau pekerja lain
 Buang semua perlengkapan APD dengan hati-hati dan
segera membersihkan tangan
- Buang semua perlengkapan APD dengan hati-hati dan segera
membersihkan tangan
 Kebersihan pernapasan dan etika batuk
- Tutup hidung dan mulut saat batuk atau bersih
- Segera buang tissue yang sudah dipakai
- Bersihkan tangan
- Sebaiknya menggunakan masker bedah bila sedang batuk
 Pencegahan luka tusukan jarum atau benda tajam lainnya
- Jangan tutup kembali jarum yang sudah dipakai
- Jangan mengarahkan ujung jarum kea rah bagian tubuh kecuali
sebelum injeksi
- Jangan melepas dengan tangan jarum yang sudah dipakai dari
suntikan sekali pakai, dan jangan membengkokan,
mematahkan atau memegang jarum yang sudah dipakai dengan
tangan
- Buang suntikan, jarum suntik, isau bedah, dan benda tajam
lainnya di wadah tahan tusukan yang sesuai, yang harus
disimpan sedekat mungkin dengan tempat dimana alat-alat
tersebut digunakan.
- Hindari penggunaan suntikan yang dapat digunakan kembali
- Jangan menggunakan jarum yang sudah dipakai
 Pengelolaan limbah
- Angkut linen dan limbah hati-hati
- Angkut linen kotor dan limbah dalam wadah atau kantong
tertutup
- Pastikan limbah diangkut dan diolah dengan aman dengan
melakukan klasifikasi limbah dan menggunakan wadah atau
kantong yang di tentukan klasifikasinya
 Pembersihan dan disinfeksi lingkungan dan peralatan
- Lingkungan yang digunakan harus dibersihkan dengan teratur
- Pembersihan harus digunakan dengan teknik yang benar untuk
menghindari aerosolisasi debu
- Hanya permukaan yang bersentukan dengan kulit atau mukosa
pasien dan permukaan yang sering disentuh yang memerlukan
disinfeksi setelah dibersihkan
 Mengonsumsi makanan sehat dan bergizi yang seimbang
 Menghindari kontak langsung dengan penderita
 Mengurangi tingkat stress
DAFTAR ISI

Eroschenko, Victor P. Atlas Histologi diFiore Ed. 12.2015. Jakarta:EGC. Hal. 346-
353

FKUI. 2007. Buku Ajar IlmuKesehatan :Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
Leher. Jakarta: Balai Pustaka FKUI.

Mygind, N., J.M. Gwaltney, et al. 1999. The common cold and asthma. Allergy, Vol.
54 : 146-159.

Anonim, Sindroma Croup and Laringitis, 2009, diakses dari http://google.com


[diakses 9 januari 2009]

Kumar S, Disease of the Larinx in Fundamental Of Ear, Nose, & throath


Disease And Head-Neck Surgery, Calcutta,publisher Mohendra Nath
Paul,1996:391-99

Tanto Chris, Liwang Frans, Hanifati Sonia, Pradipta Eka Adip, Kapita selekta
kedokteran . edisi IV jilid 2, Jakarta. 2014. Hal 1057-1059

Jurnal faringitis akut. Fk Unila

Adams GL, Boies LR, Higler PA. Laring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6.
Cetakan Ketiga. Jakarta: EGC; 1997. P369-396

Ghazalur rizqi. Bakteri penyebab infeksi saluran napas . kedokteran universitas


baiturrahman. hal.122
Laporan Tutorial Modul 2 Makassar, 8 November 2017
Blok Respirasi

Modul “Sesak”
Kelompok 2

Dosen Pembimbing :
dr. Arni Isnaini Arfah, M.Kes
Anggota Kelompok :
Ade Apriani Ratnasari 1102150049
Nur Khusnul Khatimah B.P 1102150156
Ulfah Anggraini Syarief 1102150160
Putri Yunan Chaerunnisya 1102160011
Putri Nadila Iryanti. S 1102160021
Fatimah Marwah 1102160059
Dwi Puji Astuti 1102160075
Sulfiani 1102160088
Ratri Ayu Imran 1102160144
Andi Suryanti Tenri Rawe 1102160124
A. Zihni Amalia 1102160139

Fakultas Kedokteran
Universitas Muslim Indonesia
Makassar
2017
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., karena kami masih
diberi limpahan rahmat dan hidayah sehingga masih tertuntun menyelesaikan laporan
ini. Dan tak lupa shalawat dan taslim tertuju kepada Nabi Muhammad SAW., suri
tauladan umat di seluruh dunia.
Kami ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang
terlibat secara langsung maupun tidak langsung pada pembuatan laporan ini, baik
sebelum, saat dan setelah tutorial berlangsung. Tanpa bantuan dari semuanya, kami
tidak akan dapat menyelesaikan laporan ini.
Kami pun memohon maaf yang sebesar-besarnya atas semua kesalahan dan
kekurangan yang ada pada laporan ini. Kami sangat sadar bahwa laporan ini masih
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun tetap
kami nantikan demi kesempurnaan laporan ini. Harapan kami, semoga laporan ini
dapat berguna/bermanfaat bagi semua orang
Demikian yang ingin kami sampaikan.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatu.

Makassar, 8 November 2017

Kelompok 2

Вам также может понравиться