Вы находитесь на странице: 1из 13

MAKALAH

Tafsir
Q.S Al-Baqarah: 30
Q.S As-Shod: 26
Q.S Al-An’am: 165
DOSEN PENGAMPU : Mahmud Jalal M.A.

KELOMPOK 2
Aldi Permana (11180530000056)
Faisal Amin (11180530000086)
Ulul Azmi (11180530000003)

Kelas : MD / II / B

PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAKWAH


FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019/2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunianya.
Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Tafsir yang berjudul “Tafsir Q.S Al-
Baqarah: 30, Q.S As-Shod: 26,Q.S Al-An’am: 165”.
Makalah ini disusun berdasarkan rujukan yang baik dengan mengambil materi dari
beberapa buku referensi, makalah ini kami tujukan kepada dosen pengampu kami Bapak
Mahmud Jalal M.A. . Khususnya dan pembaca makalah pada umumnya, guna memenuhi nilai
tugas mata kuliah Tafsir.
Pada sistem penyajian materi dalam makalah ini diharapkan dapat diterima oleh para
pembaca sebagai persimulasi untuk lebih mendalami materi Tafsir.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini dimasa
mendatang.
Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada semua yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.

Ciputat, 15 Maret 2019

(Penyusun)

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang............................................................................................................4

2. Rumusan Masalah.......................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

1. Definisi Tafsir............................................................................................................5

2. Tafsir Q.S Al-Baqarah:30..........................................................................................6

3. Tafsir Q.S As-Shod:26...............................................................................................9

4. Tafsir Q.S Al-An’am: 165........................................................................................12

BAB III PENUTUP

1. Simpulan....................................................................................................................13

2.Saran..........................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................14

3
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Islam mengajarkan bahwa manusia memiliki 2 predikat, sebagai hamba Allah (Abdullah)
dan wakil Allah (Khalifatullah) di muka bumi. Sebagai hamba Allah, manusia adalah kecil dan
tak memiliki kekuasaan. Oleh karena itu, tugasnya hanya menyembah kepada-Nya dan berpasrah
diri kepada-Nya. Tetapi, sebagai Khalifatullah, manusia diberi fungsi yang sangat besar, karena
Allah Maha Besar maka manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi memiliki tanggung jawab dan
otoritas yang sangat besar, oleh karenanya, sudah selayaknya manusia memperbagus amal
kebajikan dan berusaha menjadi yang terbaik serta bermanfaat bagi orang lain.

Dalam menjadi Khalifatullah tentu banyak ujian di alam dunia ini. Keberhasilan dalam
menghadapi ujian tentu tergantung dari pribadi masing-masing. Apabila berhasil melalui ujian
tentu Allah SWT. janjikan di Jannah-Nya. Diangkat derajatnya setelah mengaruhi ujian dari sang
Empunya Hidup.

Sebagai manusia, hamba Sang Khaliq, tentu perintah Allah SWT. harus kita laksanakan
dan tentu tak luput dari ujian dari Allah SWT. Bagi orang yang bersungguh-sungguh pastilah
dunia ini tidak akan menyusahkan atau akan mengatakan bahwa dunia ini sempit. Mereka
berusaha seoptimal mungkin menggapai ridho-Nya, menyadari bahwa dunia adalah tempat
berperih, tempat berjuang dan tempat yang tidak mengenakkan(sebentar). Ada tempat
kesempurnaan yang telah Sang Maha Janjikan.

Mereka itulah hamba Allah SWT. yang mengikhlaskan diri akan hidupnya yang sebentar
ini untuk mengabdikan diri kepada Allah dengan beribadah dan selalu berusaha dalam jalan
kebaikan. Semoga kita semua digolongkan kedalam hamba-hamba-Nya yang dijanjikan surga-
Nya. Aamiin

2. Rumusan Masalah
Untuk memudahkan proses penjabaran dan penjelasan, makalah ini memiliki beberapa
rumusan masalah, yaitu :

1. Apa definisi tafsir?


2. Bagaimana tafsir Q.S Al-Baqarah:30?
3. Bagaimana tafsir Q.S As-Shod:26?
4. Bagaimana tafsir Q.S Al-An’am: 165?

4
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi tafsir

Para pakar ilmu tafsir banyak memberi pengertian baik secara


etimologimaupun terminologi terhadap term tafsir. Secara etimologi kata tafsir berarti al-ibanah wa
kasyfu al-mughattha (menjelaskan dan menyingkap yang tertutup). Dalam kamus Lisan al-‘Arab, tafsir
berarti menyingkap maksud kata yang samar. Hal ini didasarkan pada firman Allah Sûrah al-Furqân: 33
ً ‫سنَاات َ ْفس‬
‫يرا‬ ‫لايَأْتُونَكَاابا َمثَلااإ َ ا‬
َ ْ‫لاجائْنَاكَااب ْال َحقاا َوأَح‬ ‫َو َ ا‬
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami
datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”1‫ا‬
Sedangkan secara terminologi penulis akan mengungkapkan pendapat para pakar. Al-Zarqoni
menjelaskan tafsir adalah ilmu untuk memahami al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
dengan menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya. 2
Menurut Abû Hayyân sebagaimana dikutip Manna al-Qaththân, mendefinisikan tafsir sebagai
ilmu yang membahas cara pengucapan lafaz al-Qur’an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik
ketika berdiri sendirimaupun tersusun, dan makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal
lain yang melengkapinya.3
Ilmu tafsir merupakan bagian dari ilmu syari’at yang paling mulia dan paling tinggi
kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan denganKalamullah yang merupakan sumber segala
hikmah, serta petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman
Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini. Kebutuhan akan tafsir semakin
mendesak lantaran untuk kesempurnaan beragama dapat diraih apabila sesuai dengan syari’at, sedangkan
kesesuaian dengan syari’at bannyak bergantung pada pengetahuan terhadap Al-Qur’an, kitabullah.4
Demikian ulasan mengenai definisi tafsir. Hal ini menjadi penting untuk diketahui, karena pada
perkembangan penafsiran akan tampak keragaman dan perubahan pada kurun waktu tertentu. Ulama
modern, tentu akan berbeda melihat “tafsir” dengan ulama terdahulu. Dibawah ini akanpenulis
akan mepaparkan ulasan mengenai perkembangan tafsir dan penafsiran dari masa klasik sampai modern.

1
Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, (Riyadh: Mansyurat al-‘ashr al-hadits, 1973), h. 323.
2
Abdul Azhîm al-Zarqanî, Manâhil al-Irfân fi Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Maktabah al-Arabiyah, 1995), vol 2, h. 6.
3
Yang dimaksud “petunjuk-petunjuknya” adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafaz-lafaz. Kemudian “hukum yang berdiri sendiri atau yang tersusun”, meliputi
ilmu Sharf, I’rab, Bayan, Badi’. “makna yang memungkinkan baginya ketika tersusun” meliputi pengertian hakiki dan majazi. Sedangkan yang dimaksud “hal-hal
yang melengkapinya” adalah pengetahuan mengenai asbab nuzul, naskh mansukh, kisah-kisah dan lain sebagainya yang menjadi lingkup kajian ilmu al-Qur’an. Lihat
Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 324.
Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqon fi 'ulum al-Qur'an, (Cairo: Mathba'ah Hijazy, tt.) Juz II, hlm. 172.
4

5
2. Tafsir Q.S Al-Baqarah: 30

ُ‫الد َما َء َونَحْ ن‬


ِ ُ‫س ِفك‬ ِ ‫ض َخ ِليفَةً قَالُوا أَتَجْ عَ ُل فِي َها َم ْن يُ ْف‬
ْ َ‫س ُد فِي َها َوي‬ ْ ‫َوإِ ْذ قَا َل َربُّكَ ِل ْل َمالئِ َك ِة إِنِي َجا ِع ٌل فِي‬
ِ ‫األر‬
} )30( َ‫ِس لَكَ قَا َل ِإنِي أ َ ْعلَ ُم َما ََل ت َ ْعلَ ُمون‬
ُ ‫س ِب ُح ِب َح ْم ِدكَ َونُقَد‬
َ ُ‫ن‬

Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.'" Mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
menyucikan Engkau!" Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian
ketahui.”

Allah Swt. menceritakan perihal anugerah-Nya kepada Bani Adam, yaitu sebagai makhluk yang
mulia; mereka disebutkan di kalangan makhluk yang tertinggi yaitu para malaikat—sebelum
mereka diciptakan. Untuk itu, Allah Swt. berfirman: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
para malaikat. (Al-Baqarah: 30)
Makna yang dimaksud ialah 'hai Muhammad, ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat, dan ceritakanlah hal ini kepada kaummu'.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari salah seorang ahli bahasa Arab —yaitu Abu Ubaidah— bahwa
lafaz iz dalam ayat ini merupakan huruf zaidah (tambahan), dan bentuk lengkap kalimat ialah wa
qala rabbuka tanpa memakai iz.
Pendapat tersebut dibantah oleh Ibnu Jarir. Menurut Al-Qurtubi, semua ahli tafsir pun
membantahnya. Hingga Az-Zujaj mengatakan bahwa pendapat tersebut merupakan suatu
tindakan kurang ajar dari Abu Ubaidah.5

}ً‫ض َخ ِليفَة‬
ِ ‫األر‬
ْ ‫{إِنِي جَا ِع ٌل فِي‬
Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (Al-Baqarah: 30)
Yakni suatu kaum yang sebagiannya menggantikan sebagian yang lain silih berganti, abad demi
abad, dan generasi demi generasi, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman-
Nya:

5
al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. 1, h. 265-267.

6
‫ض‬
ِ ‫األر‬
ْ ‫ف‬ َ ِ‫{وه َُو الَّذِي َج َعلَ ُك ْم َخالئ‬
َ
Dan Dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi. (Al-An'am: 165)
}‫ض‬ ْ ‫{ويَجْ َعلُ ُك ْم ُخ َلفَا َء‬
ِ ‫األر‬ َ
dan yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi. (An-Naml: 62)
} َ‫ض يَ ْخلُفُون‬ ْ ‫{ولَ ْو نَشَا ُء لَ َج َع ْلنَا ِم ْن ُك ْم َمالئِكَةً ِفي‬
ِ ‫األر‬ َ
Dan kalau Kami kehendaki benar-benar Kami jadikan sebagai ganti kalian di muka bumi
malaikat-malaikat yang turun-temurun. (Az-Zukhruf: 60)
َ َ‫{فَ َخل‬
ٌ ‫ف ِم ْن بَ ْع ِد ِه ْم َخ ْل‬
}‫ف‬
Maka datanglah sesudah mereka generasi lain. (Al-A'raf: 169)

Al-Qurtubi menukil dari Zaid ibnu Ali, yang dimaksud dengan khalifah dalam ayat ini
bukanlah Nabi Adam a.s. saja seperti yang dikatakan oleh sejumlah ahli tafsir. Al-Qurtubi
menisbatkan pendapat ini kepada Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, dan semua ahli takwil6. Akan tetapi,
apa yang dikatakan oleh Al-Qurtubi ini masih perlu dipertimbangkan. Bahkan perselisihan dalam
masalah ini banyak, menurut riwayat Ar-Razi dalam kitab tafsirnya, juga oleh yang lainnya.
Pengertian lahiriah Nabi Adam a.s. saat itu masih belum kelihatan di alam wujud. Karena jikalau
sudah ada, berarti ucapan para malaikat yang disitir oleh firman-Nya dinilai kurang sesuai, yaitu:
Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah? (Al-Baqarah: 30)
Karena sesungguhnya mereka (para malaikat) bermaksud bahwa di antara jenis makhluk ini ada
orang-orang yang melakukan hal tersebut, seakan-akan mereka mengetahui hal tersebut melalui
ilmu yang khusus, atau melalui apa yang mereka pahami dari watak manusia. Karena Allah Swt.
memberitahukan kepada mereka bahwa Dia akan menciptakan jenis makhluk ini dari tanah liat
kering yang berasal dari lumpur hitam. Atau mereka berpemahaman bahwa yang dimaksud
dengan khalifah ialah orang yang melerai persengketaan di antara manusia, yaitu memutuskan
hukum terhadap apa yang terjadi di kalangan mereka menyangkut perkara-perkara penganiayaan,
dan melarang mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan serta dosa-dosa.
Demikianlah menurut Al-Qurtubi. Atau para malaikat mengkiaskan manusia dengan makhluk
sebelumnya, sebagaimana yang akan kami kemukakan dalam berbagai pendapat ulama tafsir.
Ucapan para malaikat ini bukan dimaksudkan menentang atau memprotes Allah, bukan pula

6
http://www.ibnukatsironline.com/2014/08/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-30.html

7
karena dorongan dengki terhadap manusia, sebagaimana yang diduga oleh sebagian ulama tafsir.
Sesungguhnya Allah Swt. menyifati para malaikat; mereka tidak pernah mendahului firman
Allah Swt., yakni tidak pernah menanyakan sesuatu kepada-Nya yang tidak diizinkan bagi
mereka mengemukakannya.
Dalam ayat ini (dinyatakan bahwa) ketika Allah memberitahukan kepada mereka bahwa Dia
akan menciptakan di bumi suatu makhluk —menurut Qatadah—, para malaikat telah mengetahui
sebelumnya bahwa makhluk-makhluk tersebut gemar menimbulkan kerusakan padanya (di
bumi). Maka mereka mengatakan: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah? (Al-Baqarah: 30)
Sesungguhnya kalimat ini merupakan pertanyaan meminta informasi dan pengetahuan tentang
hikmah yang terkandung di dalam penciptaan itu. Mereka mengatakan, "Wahai Tuhan kami,
apakah hikmah yang terkandung dalam penciptaan mereka, padahal di antara mereka ada orang-
orang yang suka membuat kerusakan di muka bumi dan mengalirkan darah? Jikalau yang
dimaksudkan agar Engkau disembah, maka kami selalu bertasbih memuji dan menyucikan
Engkau," yakni kami selalu beribadah kepada-Mu, sebagaimana yang akan disebutkan nanti.
Dengan kata lain (seakan-akan para malaikat mengatakan), "Kami tidak pernah melakukan
sesuatu pun dari hal itu (kerusakan dan mengalirkan darah), maka mengapa Engkau tidak cukup
hanya dengan kami para malaikat saja?"
Allah Swt. berfirman menjawab pertanyaan tersebut:
} َ‫{إِنِي أَ ْعلَ ُم َما ََل ت َ ْعلَ ُمون‬
Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30)
Dengan kata lain, seakan-akan Allah bermaksud bahwa sesungguhnya Aku mengetahui hal-hal
yang tidak kalian ketahui menyangkut kemaslahatan yang jauh lebih kuat dalam penciptaan jenis
makhluk ini daripada kerusakan-kerusakan yang kalian sebut itu. Karena sesungguhnya Aku
akan menjadikan dari kalangan mereka nabi-nabi dan rasul-rasul; di antara mereka ada para
siddiqin, para syuhada, orang-orang saleh, ahli ibadah, ahli zuhud, para wali, orang-orang
bertakwa, para muqarrabin, para ulama yang mengamalkan ilmunya, orang-orang yang khusyuk,
dan orang-orang yang cinta kepada Allah Swt. lagi mengikuti jejak rasul-rasul-Nya.

8
2. Tafsir Q.S As-Shod:26

Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan.

Ini merupakan perintah dari Allah Swt. kepada para penguasa agar mereka memutuskan perkara
di antara manusia dengan kebenaran yang diturunkan dari sisi-Nya, dan janganlah mereka menyimpang
darinya, yang berakibat mereka akan sesat dari jalan Allah. Allah Swt. telah mengancam orang-orang
yang sesat dari jalan-Nya dan yang melupakan hari perhitungan„yaitu dengan ancaman yang tegas dan
azab yang keras.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami
Hisyam ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Al-Walid, telah menceritakan kepada kami Marwan
ibnu Janah, telah menceritakan kepadaku Ibrahim alias Abu Zar'ah yang pandai membaca kitab-kitab
terdahulu, bahwa Al-Walid ibnu Abdul Malik pernah bertanya kepadanya, "Apakah khalifah juga
mendapat hisab? Kuajukan pertanyaan ini kepadamu karena kamu telah membaca kitab-kitab terdahulu,
juga telah membaca Al-Qur'an serta memahaminya." Aku (Abu Zar'ah) menjawab, "Wahai Amirul Mu-
minin, saya hanya berpesan kepadamu, hendaknyalah engkau berdoa semoga berada di dalam keamanan
dari Allah." Kukatakan lagi, "Hai Amirul Mu-minin, apakah engkau lebih mulia bagi Allah ataukah Daud
a.s.? Sesungguhnya Allah telah menghimpunkan baginya antara kenabian dan kekhalifahan (kekuasaan),
tetapi sekalipun demikian Allah mengancamnya melalui firman-Nya," sebagaimana yang disebutkan di
dalam Al-Qur'an; Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka Bumi,
maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah. (Shad: 26) hingga akhir hayat.
Ikrimah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: mereka akan mendapat azab yang
berat, karena melupakan hari perhitungan. (Shad: 26) Ini merupakan ungkapan yang
َ ‫لَ ُه ْما‬
mengandung taqdim dan ta-khir, menurut urutannya adalah berbunyi seperti berikut: ‫عذَابٌ اشَديدٌايَ ْو َما‬
.‫سوا‬
ُ َ‫ساباب َماان‬ ْ yang artinya bagi mereka azab yang berat pada hari perhitungan nanti disebabkan mereka
َ ‫الح‬,
lupa daratan.
As-Saddi mengatakan bahwa makna ayat ialah bagi mereka azab yang berat disebabkan mereka
meninggalkan amal perbuatan untuk bekal mereka di hari perhitungan. Pendapat yang kedua ini lebih
serasi dengan makna lahiriah ayat.

9
MENURUT TAFSIR JALALAIN

(Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah penguasa di muka bumi) yaitu sebagai
penguasa yang mengatur perkara manusia (maka berilah keputusan perkara di antara manusia dengan adil
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu) kemauan hawa nafsu (karena ia akan menyesatkan kamu dari
jalan Allah) dari bukti-bukti yang menunjukkan keesaan-Nya. (Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari
jalan Allah) dari iman kepada Allah (mereka akan mendapat siksa yang berat karena mereka melupakan)
artinya, disebabkan mereka lupa akan (hari perhitungan) hal ini ditunjukkan oleh sikap mereka yang tidak
mau beriman, seandainya mereka beriman dengan adanya hari perhitungan itu, niscaya mereka akan
beriman kepada Allah sewaktu mereka di dunia.

Pada surah Shad (38) ayat 26 disebutkan yang dialamatkan kepada Nabi Daud As. Allah Swt berfirman, "
...‫ک ْما َبيْنَ االنَاساب ْال َحقا‬
ُ ْ‫یااْل َ ْرضافَاح‬ َ ‫﴿يااداودُاإنَاا َج َع ْلنا‬
ْ ‫کاخَليفَةًاف‬ ُ ﴾
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah
keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil.”

Allah Swt menyatakan dengan firman-Nya ini kepada Nabi Daud yang menjadi khalifah dan representasi-
Nya di tengah umat manusia7[ sehingga dapat berperan sebagaimana para nabi sebelumya yang menyeru
masyarakat kepada tauhid dan akhlak mulia.
Pada ayat ini, di samping meletakkan tanggung jawab risalah, Allah Swt juga membebani tugas peradilan
dan menyelesaikan sengketa di antara masyarakat di atas pundak Nabi Daud As. Masyarakat membawa
persoalan dan persengketaannya di hadapan Nabi Daud dan Nabi Daud mengadili persoalan tersebut lalu
menyampaikan yang benar kepada mereka.
Kemudian Allah Swt melanjutkan firman-Nya:
َ ‫سبيل‬
﴾‫اَّللا‬ َ ‫ع ْنا‬
َ ‫کا‬ ْ ‫﴿والاتَتَبع‬
َ َ‫اال َهوىافَيُضل‬ َ
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan
kamu dari jalan Allah.”

Ayat ini menandaskan bahwa tatkala menyelesaikan sengketa dan mengeluarkan hukum dan mengadili
tidak berdasarkan kecendrungan pribadi karena hukum seperti ini akan membuat manusia berpaling dari
kebenaran dan hakikat. Dalam masalah menyelesaikan sengketa dan mengeluarkan hukum, ayat di atas
menggunakan kata hak bahwa hukum dan peradilan harus berdasarkan kebenaran dan fakta yang ada
sehingga tiada satu pun yang dizalimi dari dua pihak yang bersengketa.
Kalimat “Jangan mengikut hawa nafsu” menegaskan bahwa hawa nafsu dan pelbagai kecendrungan

7
Meski sebagian ahli tafsir berkata bahwa yang dimaksud dengan khilafah dan suksesor adalah khilafah para nabi, bukan khilafah Ilahi
sebagaimana yang disebutkan pada ayat, “Aku ingin jadikan di bumi seorang khalifah.” Silahkan lihat, Sayid Muhammad Husain Thabathabai,
al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 17, hal. 195, Daftar Intisyarat Islami, Qum, 1417 H.

10
manusiawi berseberangan dengan kebenaran dan membuat orang berpaling dari jalur Ilahi sehingga harus
dijauhi.
Kalimat ini dialamatkan kepada Nabi Daud As, padahal dikarenakan kedudukan maksum, sangat mulia
dan suci dari bersandar pada kecendrungan-kecendrungan dan keinginan-keinginan pribadinya dalam
menyelesaikan sengketa masyarakat.
Dalam hal ini harus dikatakan bahwa pertama, ayat berada pada tataran pensyariatan hukum Ilahi dan
layak untuk mendapat penegasan. Kedua, peradilan dan menyelesaikan sengketa, merupakan salah satu
hukum Ilahi dimana pada agama-agama samawi telah diperbaharui dan ditegaskan pada masa Nabi Daud.
Tentunya hal ini tidak bertentangan dengan masalah kemaksuman seorang nabi. Karena adanya
kemaksuman tidak menjadi dalil dicabutnya ikhtiar dari seorang maksum dan seorang maksum
sebagaimana orang lain juga menjalankan kewajiban dan meninggalkan larangan. Namun kemaksuman
tidak menjadi halangan munculnya penentangan. Dengan kata lain, kemaksuman tidak menjadi
penghalang taklif bagi seorang maksum.
Namun sebagian ahli tafsir8 berkata bahwa Allah Swt memerintahkan Nabi Daud As untuk menghukumi
berdasarkan kebenaran dan keadilan dan melarangnya untuk tidak mengikuti hawa nafsu merupakan
peringatan bagi orang lain; artinya setiap orang yang memikul tugas melayani masyarakat maka yang
harus menjadi panglima adalah kebenaran dan tidak mengikuti hawa nafsu. Karena disebabkan oleh
kemaksuman yang dimilikinya, sekali-kali Nabi Daud tidak menghukumi kecuali berdasarkan kebenaran
dan tidak mengikut kebatilan.
Perlu untuk disebutkan adanya kritikan yang dilontarkan kepada ahli tafsir di atas bahwa adanya khitab
kepada Nabi Daud adalah peringatan bagi orang lain tidak dapat menjadi dalil bahwa karena ia maksum
maka ayat ini tidak dialamatkan kepadanya; karena sebagaimana yang telah dijelaskan kemaksuman tidak
menjadi sebab hilangnya ikhtiar melainkan dengan adanya kemaksuman maka ikhtiar seorang maksum
tetap pada tempatnya. Dan selagi ada ikhtiar maka taklifnya sah bahkan wajib sebagaimana hal ini juga
sah berkaitan dengan orang lain; karena apabila taklif tidak diarahkan kepada mereka maka wajib dan
haram tidak dapat digambarkan, ketaatan dan kemaskiatan tidak lagi dapat dibedakan. Hal ini sendiri
menjadi penyebab batalnya kemaksuman; lantaran tatkala kita berkata Daud As itu maksum maka hal itu
bermakna bahwa beliau tidak melakukan dosa dan dosa merupakan cabang dari taklif9
Akhir frase ayat ini adalah,
ْ ‫سواا َي ْو َم‬
﴾‫االحساب‬ َ ‫اَّللاالَ ُه ْما‬
ُ َ‫عذابٌ اشَديدٌابماان‬ َ ‫سبيل‬ ‫﴿إ َناالَذينَ ا َيضلُّونَ ا َا‬
َ ‫ع ْنا‬
“Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan.” (Qs. Shad [38]:26)

Secara umum adanya penegasan dan halangan dari kesesatan dan pelanggaran tugas Ilahi, entah itu
berada pada posisi menyelesaikan persengketaan hukum, atau pelanggaran dosa besar yang akan menjadi
sebab manusia layak mendapatkan azab. Sumber dan sebab seluruh kesesatan dan maksiat adalah
kelalaian, berpaling dari hari kiamat dan pengingkaran terhadap hari perhitungan kelak di hadapan Allah
Swt, mengabaikan dan melupakan perhitungan dan hukuman atas setiap maksiat, kesesatan dan
penyimpangan di hari kiamat.
Dengan kata lain, kalimat ini merupakan dalil atas larangan mengikuti hawa nafsu. Mengikuti hawa nafsu
adalah faktor utama manusia lalai dan lupa akan hari perhitungan. Lupa akan hari kiamat buntutnya

8
Sayid Mahmud Alusi, Ruh al-Ma’âni fi Tafsir al-Qur’ân al-Azhim, jil. 12, hal. 179, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, 1415 H.
9
Al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 17, hal. 195.

11
adalah azab yang pedih. Yang dimaksud lupa di sini adalah tidak mengindahkan akan hari kiamat.
Ayat ini menunjukkan bahwa tiada penyimpangan dan kesesatan dari jalan Allah, atau dengan kata lain
tiada satu pun maksiat dari maksiat yang dilakukan terlepas dari lalai dan lupa dari hari perhitungan10
Artinya bahwa akar seluruh maksiat dan pembangkangan itu adalah lalai dan lupa akan hari kiamat.
3. Tafsir Q.S Al-An’am: 165

ٌ ُ‫اوإنَهُالَغَف‬
‫ورا َرحي ٌما‬ ْ ‫سري ُع‬
َ ‫االعقَاب‬ َ ‫ض ُك ْمافَ ْوقَ ا َب ْعضادَ َر َجاتال َي ْبلُ َو ُك ْمافايا َمااآت َا ُك ْماإ َن‬
َ ‫اربَكَ ا‬ َ ‫ااْل َ ْرض‬
َ ‫او َرفَ َعا َب ْع‬ ْ ‫ف‬ َ ‫َوه َُواالَذيا َج َعلَ ُك ْماخ َََلئ‬
Artinya :
"Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu
atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang’.

Adapun tafsiran nya :

(Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi) jamak dari kata khalifah yakni
sebagian di antara kamu mengganti sebagian lainnya di dalam masalah kekhalifahan ini (dan Dia
meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat) dengan harta benda ,kedudukan
dan lain sebagainya (untuk mengujimu) untuk mencobamu (tentang apa yang diberikan kepadamu)
artinya Dia memberi kamu agar jelas siapakah di antara kamu yang taat dan siapakah yang maksiat
.(Sesungguhnya Tuhanmu itu adalah amat cepat siksaan-Nya) terhadap orang-orang yang berbuat maksiat
kepada-Nya (dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun) terhadap orang-orang mukmin (lagi Maha
Penyayang ) terhadap mereka.

Dari kenyataan sejarah sepanjang masa , terbukti manusia tetap manusia ,dahulu maupun
sekarang senantiasa terjadi permusuhan walaupun sesama saudara dan sesama manusia, maka akan dapat
dirasakan pula hubungan dan hikmahnya pada akhir ayat ini "Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai
khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk
mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi
hukuman dan sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang." Ayat ini seakan mengatakan,
sesungguhnya Tuhanmu yang menciptakan segala sesuatu, Dialah yang menjadikan kamu penguasa-
penguasa di bumi ini dan Dia meninggikan derajat sebagian kamu dari yang lainnya, baik kedudukan dan
harta maupun kepintaran dan lain-lainnya, karena Dia hendak mengujimu dengan apa yang telah
diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksa-Nya dan sesungguhnya Dia Maha
Pengampun bagi orang yang benar-benar minta ampun kepada-Nya dan Maha Penyayang bagi hamba-
Nya yang mukmin.
Ayat ini menegaskan, bahwa Allah-lah yang menjadikan manusia penguasa-penguasa di bumi untuk
mengatur kehidupan rakyatnya dan Dia pulalah yang meninggikan derajat sebagian mereka dari sebagian
lainnya. Semua itu adalah menurut sunatullah untuk menguji mereka masing masing bagaimana mereka
menyikapi karunia Allah yang diberikan Tuhan kepadanya. Mereka akan mendapat balasan dari ujian itu,
baik di dunia maupun di akhirat. Penguasa-penguasa diuji keadilan dan kejujurannya, si kaya diuji
bagaimana dia membelanjakan hartanya, si miskin dan si penderita diuji kesabarannya. Oleh karena itu,
manusia tidak boleh iri hati dan dengki dalam pemberian Tuhan kepada seseorang, karena semua itu dari
Allah dan semua pemberian-Nya adalah ujian bagi setiap orang .

10
Sayid Muhammad Husain Husaini Hamadani, Anwâr Derakhsyan, jil. 14, hal. 115-116, Kitabpurusyi Luthfi, Tehran, 1404 H; al-Mizân fi
Tafsir al-Qur’ân, jil. 17, hal. 194-196.
12
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang abadi. Al-Qur’an ibarat samudera tak bertepi
yang menyimpan berjuta-juta mutiara ilahi. Untuk meraihnya, semua orang harus berenang dan
menyelami samudera al-Qur’an. Tidak semua penyelam itu memperolah apa yang diinginkannya karena
keterbatasan kemampuannya. Di sinilah letak urgensi perangkat ilmu tafsir.
Terjemah, tafsir, dan ta`wil diperlukan dalam memahami isi kandungan ayat-ayat al-Qur`an yang
mulia. Pengertian terjemah lebih simple dan ringkas karena hanya merubah arti dari bahasa yang satu ke
bahasa yang lainnya. Sedangkan istilah tafsir lebih luas dari kata terjemah dan ta’wil , dimana segala
sesuatu yang berhubungan dengan ayat, surat, asbaabun nuzul, dan lain sebagainya dibahas dalam tafsir
yang bertujuan untuk memberikan kepahaman isi ayat atau surat tersebut, sehingga mengetahui maksud
dan kehendak firman-firman Allah SWT tersebut.
2. Saran
Pemakalah mengetahui banyak sekali kekurangan dalam makalah ini. Mohon kiranya
saran dan pendapat membangun dari pembaca untuk pembuatan makalah yang lebih sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. 2007. Tafsir Ibnu Katsir jilid 1. 3.dan 6 Jakarta: Pustaka Imam AsySyafi’i.
Muhammad. 2009. Tafsir Ath-Thobari. Jakarta: Pustaka Azzam.
al-Marâghi, Ahmad Mustafa, Tafsîr al-Marâghi, vol. 1, h. 3.

13

Вам также может понравиться