Вы находитесь на странице: 1из 22

Sukma

Senin, 26 Januari 2015

makalah anak pra-sekolah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang psikologi perkembangan usia pre
school,anak. Seorang ahli psikologi, Elizabeth B. Hurlock mengatakan bahwa kurun usia pra
sekolah disebut sebagai masa keemasan (the golden age). Karenanya di usia ini anak mengalami
banyak perubahan baik fisik dan mental, dengan berbagai karakteristik.

Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita. Karena pada masa ini
pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak
selanjutnya. Pada masa ini perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial,
kesadaran emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat. Perkembangan psiko-sosial sangat
dipengaruhi lingkungan dan interaksi antara anak dengan orang tuanya. Perkembangan anak
anak optimal bila interaksi sosial diusahakan sesuai dengan kebutuhan anak pada berbagai
tahap perkembangan.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan perkembangan?

2. Bagaimana teori/pendekatan tentang perkembangan anak usia pra sekolah ?


3. Bagaimana karakteristik fase perkembangan anak?

C. Tujuan Penulisan

Makalah ini membahas tentang bagaimana perkembangan anak pada usia pra sekolah. Dengan
makalah ini diharapkan pendidik dapat memahami dan mengaplikasikan beberapa dari
teori/pendekatan perkembangan anak pada usia pra sekolah.

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PSIKOLOGI PERKEMBANGAN

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli, psikologi perkembangan itu dapat diartikan sebagai
berikut.

“….. that branch of psychology which studies processes of pra and post natal growth and the
maturation of behavior”. Maksudnya adalah “ Psikologi perkembangan merupakan cabang dari
psikologi yang mempelajari proses perkembangan individu, baik sebelum maupun setelah
kelahiran berikut kematangan perilaku”(J.P. Chaplin, 1979).

Psikologi perkembangan merupakan “cabang psikologi yang mempelajari perubahan tingkah


laku dan kemampuan sepanjang proses perkembangan individu dari mulai masa konsepsi
sampai mati”(Rosta Vasta, dkk., 1992).

Kedua pendapat di atas menunjukan bahwa psikologi perkembangan merupakan salah satu
bidang psikologi yang memfokuskan kajian atau pembahasannya mengenai perubahan tingkah
laku dan proses perkembangan dari masa konsepsi (pra natal) sampai mati.

B. BEBERAPA TEORI PERKEMBANGAN ANAK

Dewasa ini ada dua teori atau pendekatan mengenai perkembangan, yaitu pendekatan-
pendekatan perkembangan kognitif, dan belajar atau lingkungan. Disamping itu, dikemukakan
juga pendekatan dari Imam Al-Ghazali.

1. PENDEKATAN PERKEMBANGAN KOGNITIF

a. Model dari Piaget

Menurut Piaget, perkembangan kognitif (intelegensi) anak itu meliputi tiga tahap atau periode,
seperti tampak pada table di bawah ini.

PERIODE

USIA

DESKRIPSI PERKEMBANGAN

1.Sensorimotor

0-2 tahun

Pengetahuan anak diperoleh melalui interaksi fisik, baik dengan orang atau objek (benda).
Skema-skemanya baru berbentuk refleks-refleks sederhana, seperti: menggenggam atau
mengisap.

2 Praoperasional

2-6 tahun
Anak mulai menggunakan simbol-simbol untuk merepresentasi dunia (lingkungan) secara
kognitif. simbol-simbol itu seperti: kata-kata dan bilangan yang dapat menggantikan objek,
peristiwa dan kegiatan (tingkah laku yang tampak)

b. Model Pemprosesan Informasi

Pendekatan ini merumuskan bahwa kognitif manusia sebagai suatu sistem yang terdiri
atas tiga bagian:

1) Input, yaitu proses informasi dari lingkungan atau stimulasi (rangsangan)yang masuk ke
dalam reseptor-reseptor pancaindera dalam bentuk penglihatan,suara, dan rasa;

2) Proses, yaitu pekerjaan otak untuk mentransformasikan informasi atau stimulasi dalam cara
yang beragam, yang meliputi mengolah/menyusun informasi ke dalam bentuk-bentuk
simbolik,membandingkan dengan informasi sebelumnya, memasukkan ke dalam memori dan
menggunakannya apabila diperlukan; dan

3) Output, yang bertingkah laku, seperti berbicara, menulis, interaksi sosial dan sebagainya.

c. Model Kognisi Sosial

Tokoh dari pendekatan ini adalah Lev Vygotsky (1886-1934) ahli psikologi dari Rusia.Teori
ini menekankan tentang kebudayaan sebagai faktor penentu bagi perkembangan individu.
Diyakini, bahwa hanya manusia yang dapat menciptakan kebudayaan dan setiap anak manusia
berkembang dalam konteks kebudayaannya. Kebudayaan memberikan dua kontribusi terhadap
perkembangan intelektual anak. Pertama, anak memperoleh banyak sisi pemahamannya ; dan
Kedua, anak memperoleh banyak cara berpikir, atau alat-alat adaptasi intelektual.

Singkatnya, kebudayaan telah mengajari anak tentang apa yang telah dipikirkan dan
bagaimana cara berpikir. Lev Vygotsky meyakini bahwa perkembangan kognitif menghasilkan
proses sosio instruksional, yang karenanya anak saling bertukar pengalaman dalam
memecahkan masalah dengan orang lain, seperti orang tua, guru, saudara dan teman sebaya.
Perkembangan merupakan proses internalisasi terhadap kebudayaan yang membentuk
pengetahuan dan alat adaptasi, yang wahana utamanya melalui bahasa atau komunikasi verbal.
2. PENDEKATAN BELAJAR ATAU LINGKUNGAN

Teori-teori belajar atau lingkungan berakar dari asumsi bahwa tingkah laku anak
diperoleh melalui pengkondisian (conditioning) dan prinsip-prinsip belajar. Di sini dibedakan
antara tingkah laku yang dipelajari dengan yang temporer (tidak dapat diamati atau hanya
berdasarkan proses biologis). Dalam hal ini B.F. Skinner membedakan “respondent
behavior”dengan “operant behavior”.

a. Respondent Behavior, merupakan respons yang didasarkan kepada reflex yang dikontrol
oleh stimulus. Respons ini terjadi ketika ada stimulus dan tidak terjadi apabila stimulus itu tidak
ada. Dalam kehidupan manusia, tingkah laku responden terjadi selama masa anak yang
termasuk di dalamnya refleks, seperti : mengisap dan menggenggam. Anak-anak dan juga orang
dewasa biasa menampilkan tingkah laku responden, yaitu dalam bentuk (1) respons fisiologis
(seperti bersin); dan (2) respons emosional (seperti sedih dan marah).

b. Operant Behavior, yaitu tingkah laku suka rela yang dikontrol oleh dampak atau
konsekuennya. Pada umumnya dampak tingkah laku yang menyenangkan cenderung akan
diulang kembali, sedangkan yang tidak menyenangkan cenderung ditinggalkan atau tidak
diulang kembali.

Ada empat tipe cara pengkondisian dalam kegiatan belajar.

a. Habituasi, yaitu bentuk belajar sederhana yang melibatkan tingkah laku resonden dan
terjadi ketika respons refleks menghilang karena diperolehnya stimulus yang sama secara
berulang. Contohnya jika kita bertepuk tangan di dekat anak (bayi), maka dia akan
memperlihatkan respons kekagetannya/ keterkejutannya dengan membalikkan seluruh
badannya atau menoleh. Apabila bertepuk tangan diulang-ulang dengan frekuensi yang relatif
sama (seperti 15 detik sekali) maka respons kekagetannya akan menghilang.

b. Respondent Conditioning (Classical), merupakan salah satu bentuk belajar yang netral,
melibatkan refleks dimana stimulus memperoleh kekuatan untuk mendapatkan respons relektif
(respons tak bersyarat) sebagai hasil asosiasi dengan stimulus tak bersyarat. Stimulus netral
kemudian menjadi stimulus bersyarat.

c. Operant Conditioning, bentuk belajar dimana tingkah laku operan berubah karena
dipengaruhi oleh dampak tingkah laku tersebut. Dampak yang membuat suatu respons terjadi
kembali disebut “reinforcer”. Contoh: (a) seorang anak meminjamkan boneka kepada
temannya, karena dengan melakukan perbuatan tersebut anak itu sering mendapatkan
pinjaman serupa dari anak menangis di Toko Swalayan, karena kebiasaan menangisnya itu
menyebabkan ibunya membelikan boneka atau permen.

d. Discriminating Learning, tipe belajar yang sangat erat dengan “operant conditioning”.
Kadang-kadang tingkah laku yang sama dari anak yang sama menghasilkan dampak yang
berbeda, bergantung pada keadaan; contohnya, kegiatan agresif (menyerang) mungkin akan
mendapat pujian pada saat bermain sepak bola, tetapi akan mendapat hukuman apabila
dilakukan di ruang kelas.

Teori lain dari pendekatan ini adalah model belajar sosial. Model ini sangat dipengaruhi oleh
pemikiran Albert Bandura yang lebih mengajukan peranan faktor-faktor kognitif (anak) berubah
sebagai hasil dari pandangannya terhadap tingkah laku seorang model (seperti orang tua, guru,
saudara, teman, pahlawan dan bintang film). Hal yang sangat penting dari “modeling” adalah
mencontoh tingkah laku yang diobservasi atau mengabstraksinya dalam bentuk yang umum.

Bandura meyakini bahwa belajar melalui observasi (observasional Learning) atau “modeling” itu
melibatkan empat proses, yaitu sebagai berikut.

a. Attentional, yaitu proses dimana observer atau anak menaruh perhatian terhadap tingkah
laku atau penampilan model (orang yang diimitasi)

b. Retention, yaitu proses yang merujuk kepada upaya anak untuk memasukkan informasi
tentang model, seperti karakteristik penampilan fisiknya, mental, dan tingkah lakunya ke dalam
memori.

c. Production, yaitu proses mengontrol tentang bagaimana anak dapat mereproduksi


respons atau tingkah laku model. Kemampuan mereproduksi ini bisa berbentuk ketrampilan
fisik atau kemampuan mengidentifikasi tingkah laku model.

d. Motivational, yaitu proses pemilihan tingkah laku model yang diimitasi oleh anak. Dalam
proses ini terdapat faktor terpenting yang mempengaruhinya, yaitu “reinforcement” atau
“punishment”, apakah terhadap model atau langsung kepada anak.
3. PENDEKATAN IMAM AL GHAZALI

Al-Ghazali berpendapat bahwa anak dilahirkan dengan membawa fitrah yang seimbang
dan sehat. Kedua orangtuanyalah yang memberikan agama kepada mereka. Demikian pula
anak dapat terpengaruh oleh sifat-sifat yang buruk. Ia mempelajari sifat-sifat yang buruk dari
lingkungan yang dihidupinya, dari corak hidup yang memberikan peranan kepadanya dan dari
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya. Ketika dilahirkan, keadaan tubuh anak belum
sempurna. Kekurangan ini diatasinya dengan latihan dan pendidikan yang ditunjang dengan
makanan. Demikian pula halnya dengan tabiat yang difitrahkan kepada anak, yang merupakan
kebajikan yang diberikan Al-Khalik kepadanya. Tabiat ini dalam keadaan berkekurangan (dalam
keadaan belum berkembang dengan sempurna). Dan mungkin dapat disempurnakan serta
diperindah dengan pendidikan yang baik, yang oleh Al-Ghazali dipandang sebagai salah satu
proses yang penting dan tidak mudah.

Al-Ghazali mengatakan bahwa penyembuhan badan memerlukan seorang dokter yang


tahu tentang tabiat badan serta macam-macam penyakitnya dan tentang cara-cara
penyembuhannya. Demikian pula halnya dengan penyembuhan jiwa dan pendidikan akhlak.
Keduanya membutuhkan pendidik yang tahu tentang tabiat dan kekurangan jiwa manusia serta
tentang cara memperbaiki dan mendidiknya. Kebodohan dokter akan merusak kesehatan orang
sakit. Begitu pun kebodohan guru dan pendidik akan merusak akhlak muridnya. Sesungguhnya
setiap penyakit mempunyai obat dan cara penyembuhannya. Al-Ghazali berkata :

“…. Demikianlah guru yang diikuti, yang mengobati jiwa murid-muridnya dan hati orang-orang
yang diberi petunjuk, hendaknya tidak membebani mereka dengan berbagai latihan dan tugas
dalam bidang khusus dengan beban metode yang khusus pula sebelum ia mengetahui akhlak
serta penyakit mereka. Apabila dokter mengobati seluruh pasien dengan obat yang sama, maka
ia akan membunuh banyak manusia. Demikian pula halnya dengan guru. Apabila ia
mengarahkan seluruh murid kepada satu macam pola yang sama, niscaya ia akan
menghancurkan mereka dengan mematikan hati mereka. Oleh karena itu, hendaknya guru
memperhatikan penyakit, keadaan, usia dan tabiat serta motivasi peserta didiknya. Atas dasar
itulah hendaknya ia memprogram pendidikannya”.

Al-Ghazali tidak menganjurkan penggunaan satu metode saja dalam menghadapi


permasalahan akhlak serta pelaksanaan pendidikan anak. Dia menganjurkan agar guru memilih
metode pendidikan sesuai dengan usia dan tabiat anak, daya tangkap dan daya tolaknya (daya
persepsi dan daya rejeksinya), sejalan dengan situasi kepribadiannya. Dengan ini, sekali-kali Al-
Ghazali memperhatikan masalah perbedaan individual di dalam melaksanakan pendidikan.
Dalam upaya mengembangkan akhlakul karimah (akhlak mulia) anak, ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan, yaitu:

a. Menjauhkan anak dari pergaulan yang tidak baik

b. Membiasakan anak untuk bersopan santun

c. Memberikan pujian kepada anak yang melakukan amal shaleh, misalnya berbuat sopan
dan mencela anak yang melakukan kezaliman/kelaliman

d. Membiasakannya mengenakan pakaian yang putih (bagus), bersih dan rapi

e. Mencegah anak untuk tidur di siang hari

f. Menganjurkan mereka untuk berolah raga

g. Menanamkannya sikap sederhana

h. Mengizinkannya bermain setelah belajar

C. KARAKTERISTIK FASE PERKEMBANGAN PADA PRASEKOLAH ( USIA TAMAN KANAK –


KANAK )

1. FASE PRA SEKOLAH

a. PERKEMBANGAN FISIK

Perkembangan fisik anak ditandai juga dengan berkembangnya kemampuan atau keterampilan
motorik, baik yang kasar maupun yang lembut. Kemampuan motorik tersebut dapat
dideskripsikan sebagai berikut.

USIA

KEMAMPUAN MOTORIK KASAR


KEMAMPUAN MOTORIK LEMBUT / HALUS

3 – 4 tahun

4 – 6 tahun

1. Naik dan turun tangga

2. Meloncat dengan dua kaki

3. Melempar bola

1. Meloncat

2. Mengendarai sepeda anak

3. Menangkap bola

4. Bermain olahraga

1. Menggunakan krayon

2. Menggunakan benda / alat

3. Meniru bentuk ( meniru gerakan orang lain )

1. Menggunakan pensil

2. Menggambar

3. Memotong dengan gunting

4. Menulis huruf cetak


b. PERKEMBANGAN INTELEKTUAL

Secara ringkas perkembangan intelektual masa prasekolah ini dapat dilihat pada tabel berikut.

PERIODE

DESKRIPSI

Praoperasional

1. Mampu berpikir dengan menggunakan simbol (symbolic function).

2. Berpikirnya masih dibatasi oleh persepsinya. Mereka meyakini apa yang dilihatnya, dan
hanya terfokus kepada satu atribut / dimensi terhadap satu objek dalam waktu yang sama.
cara berpikir mereka bersifat memusat

( centering ).

3. Berpikirnya masih kaku tidak fleksibel. Cara berpikirnya berfokus kepada keadaan awal atau
akhir dari suatu transformasi, bukan kepada transformasi itu sendiri yang mengantarai keadaan
tersebut. Contohnya: Anak mungkin memahami bahwa dia lebih tua dari adiknya, tetapi
mungkin tidak memahaminya, bahwa adiknya lebih muda dari dirinya.

4. Anak sudah mulai mengerti dasar – dasar mengelompokkan sesuatu atau dasar satu
dimensi, seperti atas kesamaan warna, bentuk dan ukuran.

c. PERKEMBANGAN EMOSIONAL

Beberapa jenis emosi yang berkembang pada masa anak, yaitu sebagai berikut.

1. Takut, yaitu perasaan terancam oleh suatu objek yang dianggap membahayakan. Rasa takut
terhadap sesuatu berlangsung melalui tahapan:
a) mula – mula tidak takut, karena anak belum sanggup melihat kemungkinan bahaya yang
terdapat dalam objek,

b) timbul rasa takut setelah mengenal adanya bahaya, dan

c) rasa takut bisa hilang kembali setelah mengetahui cara – cara menghindar dari bahaya.

2. Cemas, yaitu perasaan takut yang bersifat khayalan, yang tidak ada objeknya. kecemasan ini
muncul mungkin dari situasi – situasi yang dikhayalkan, berdasarkan pengalaman yang
diperoleh, baik perlakuan orangtua, buku – buku bacaan/komik, radio, atau film. Contoh
perasaan cemas: anak berda di dalam kamar yang gelap, takut hantu dan sebagainya.

3. Marah, merupakan perasaan tidak senang, atau benci baik terhadap orang lain, diri sendiri,
atau objek tertentu, yang diwujudkan dalam bentuk verbal ( kata – kata kasar / makian /
sumpah serapah ), atau nonverbal ( seperti mencubit, memukul, menampar, menendang, dan
merusak ). Perasaan marah ini merupakan reaksi terhadap situasi frustasi yang dialaminya,
yaitu perasaan kecewa atau perasaan tidak senang karena adanya hambatan terhadap
pemenuhan keinginannya. Pada masa ini rasa marah sering terjadi karena:

1) banyak stimulus yang menimbulkan rasa marah, dan

2) banyak anak yang menemukan bahwa marah merupakan cara yang baik untuk mendapatkan
perhatian atau memuaskan keinginannya. Berbagai stimulus yang menimbulkan perasaan
marah, di antaranya: rintangan atas kebutuhan jasmaniah, gangguan terhadap gerakan –
gerakan anak yang ingin dilakukannya, rintangan terhadap kegiatan yang sedang berlangsung,
rintangan terhadap keinginan – keinginannya, atau kejengkelan – kejengkelan yang menumpuk.
Sumber perasaan marah bisa berasal dari diri sendiri (seperti, ketidakmampuan dan
kelemahan/kecacatan diri), atau orang lain (orangtua, saudara, guru dan teman sebaya).

4. Cemburu, yaitu perasaan tidak senang terhadap orang lain yang dipandang telah merebut
kasih saying dari seseorang yang telah mencurahkan kasih saying kepadanya. Sumber yang
menimbulkan rasa cemburu selalu bersifat situasi sosial, hubungan dengan orang lain. Seperti
kakak cemburu kepada adiknya, karena dia telah merebut kasih saying dari orangtuanya.
Perasaan cemburu ini diikuti dengan ketegangan, yang biasanya dapat diredakan dengan
reaksi – reaksi:

1) agresif atau permusuhan terhadap saingan;

2) regresif, yaitu perilaku kekanak – kanakan, seperti ngompol, atau mengisap jempol;

3) sikap tidak peduli; dan

4) menjauhkan diri dari saingan.


5. kegembiraan, kesenangan, kenikmatan, yaitu perasaan yang positif, nyaman, karena
terpenuhi keinginannya. Kondisi yang melahirkan perasaan gembira pada anak, diantaranya
terpenuhi kebutuhan jasmaniah ( makan dan minum ), keadaan jasmaniah yang sehat,
diperolehnya kasih sayang, ada kesempatan untuk bergerak ( bermain secara leluasa ), dan
memiliki mainan yang disenanginya.

6. Kasih sayang, yaitu perasaan senang untuk memberikan perhatian, atau perlindungan
terhadap orang lain, hewan atau benda. Perasaan ini berkembang berdasarkan pengalamannya
yang menyenangkan dalam berhubungan dengan orang lain (orangtua, saudara, dan teman),
hewan (seperti, kucing dan burung), atau benda (seperti mainan). Kasih sayang anak kepada
orangtua atau saudaranya, amat dipengaruhi oleh iklim emosional dalam keluarganya. Apabila
orangtua dan saudaranya menaruh kasih sayang kepada anak, maka dia pun akan menaruh
kasih sayang kepada mereka.

7. Phobi, yaitu perasaan takut terhadap objek yang tidak patut ditakutinya ( takut yang
abnormal ), seperti takut ulat, takut kecoa, dan takut air. Perasaan ini muncul akibat perlakuan
orangtua yang suka menakut – nakuti anak, sebagai cara orangtua untuk menghukum, atau
menghentikan perilaku anak yang tidak disenanginya.

8. Ingin tahu ( curiosity ), yaitu perasaan ingin mengenal, mengetahui segala sesuatu atau
objek – objek, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik. Perasaan ini ditandai dengan
pertanyaan – pertanyaan yang diajukan anak. Seperti anak bertanya tentang dari mana dia
berasal, siapa Tuhan, dan di mana Tuhan berada. Masa bertanya ( masa haus nama ) ini dimulai
pada usia 3 tahun dan mencapai puncknya pada usia sekitar 6 tahun.

d. PERKEMBANGAN BAHASA

Perkembangan bahasa anak usia prasekolah, dapat diklasifikasikan ke dalam dua tahap
( sebagai kelanjutan dari dua tahap sebelumnya ) yaitu sebagai berikut.

1. Masa ketiga ( 2,0 – 6,0 ) yang bercirikan

a) Anak sudah mulai bisa menyusun kalimat tunggal yang sempurna.

b) Anak sudah mampu memahami tentang perbandingan, misalnya burung pipit lebih kecil
dari burung perkutut, anjing lebih besar dari kucing.

c) Anak banyak menanyakan nama dan tempat: apa, di mana dan dari mana.
d) Anak sudah banyak menggunakan kata – kata yang berawalan dan yang berakhiran.

2. Masa keempat ( 2,6 – 6,0 ) yang bercirikan

a) Anak sudah dapat menggunakan kalimat majemuk beserta anak kalimatnya.

b) Tingkat berpikir anak sudah lebih maju, anak banyak menanyakan soal waktu – sebab
akibat melalui pertanyaan – pertanyaan: kapan, ke mana, mengapa, dan bagaimana.

e. PERKEMBANGAN SOSIAL

Tanda – tanda perkembangan sosial pada tahap ini adalah:

1) Anak mulai mengetahui aturan – aturan, baik dilingkungan keluarga maupun dalam
lingkungan bermain.

2) Sedikit demi sedikit anak sudah mulai tunduk pada peraturan.

3) Anak mulai menyadari hak atau kepentingan orang lain.

4) Anak mulai dapat bermain bersama anak – anak lain, atau teman sebaya (neer group).

Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh sosiopsikologis keluarganya. Apabila di


lingkungan keluarga tecipta suasana yang harmonis, saling memperhatikan, saling membantu
( bekerja sama ) dalam menyelesaikan tugas – tugas keluarga atau anggota keluarga, terjalin
komunikasi antar anggota keluarga, dan konsisten dalam melaksanakan aturan, maka anak
akan memiliki kemampuan, atau penyesuaian sosial dalam berhubungan dengan orang lain.

Kematangan penyesuaian sosial anak akan sangat terbantu, apabila anak dimasukkan ke Taman
Kanak – Kanak. TK sebagai “ jembatan bergaul “ merupakan tempat yang memberikan peluang
kepada anak untuk belajar memperluas pergaulan sosialnya, dan menaati peraturan
( kedisiplinan ).

f. PERKEMBANGAN BERMAIN
Usia anak pra sekolah dapat dikatakan sebagai masa bermain, karena setiap waktunya diisi
dengan kegiatan bermain. Yang dimaksud dengan kegiatan bermain disini adalah suatu
kegiatan yang dilakukan dengan kebebasan batin untuk memperoleh kesenangan. Terdapat
beberapa macam permainan anak (Abu Ahmadi, 1977), yaitu sebagai berikut.

1) Permainan Fungsi (permainan gerak), seperti meloncat-loncat, naik dan turun tangga,
berlari-larian, bermain tali dan bermain bola.

2) Permainan Fiksi , seperti menjadikan kursi sebagai kuda, main sekolah-sekolahan, dagang-
dagangan, perang-perangan dan masak-masakan.

3) Permainan Reseptif atau Apresiatif, seperti mendengarkan cerita atau dongeng, melihat
gambar dan melihat orang melukis.

4) Permainan Membentuk (konstruksi), seperti membuat kue dari tanah liat, membuat
gunung pasir, membuat kapal-kapalan dari kertas, membuat gerobak dari kulit jeruk,
membentuk bangunan rumah-rumahan dai potongan-potongan kayu (plastik) dan membuat
senjata dari pelepah daun pisang.

5) Permainan Prestasi, seperti sepak bola, bola voli, tenis meja dan bola basket.

Secara psikologis dan pedagogis, bermain mempunyai nilai-nilai yang sangat berharga bagi anak,
di antaranya :

a. Anak memperoleh perasaan senang, puas, bangga atau berkatarsis (peredaan


ketegangan),

b. Anak dapat mengembangkan sikap percaya diri, tanggung jawab dan kooperatif (mau
bekerja sama)

c. Anak dapat mengembangkan daya fantasia tau kreativitas (terutama permainan fiksi dan
konstruksi).

d. Anak dapatmengenal aturan atau norma yang berlaku dalam kelompok serta belajar untuk
menaatinya,

e. Anak dapat memahami bahwa baik dirinya maupun orang lain, sama-sama mempunyai
kelebihan dan kekurangan,

f. Anak dapat mengembangkan sikap sportif, tenggang rasa atau toleran terhadap orang lain.

g. PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
Aspek-aspek perkembangan kepribadian anak itu meliputi hal-hal berikut.

1) Dependency & Self-Image

Konsep anak pra sekolah tentang dirinya sulit dipahami dan dianalisis, karena
ketrampilan bahasanya belum jelas dan pandangannya terhadap orang lain masih egosentris.
Mereka memiliki sistempandanga dan persepsi yang kompleks, tapi belum dapat menyatakan.
Perkembangan sikap “Independensi” dan kepercayaan diri (self confidence) anak amat terkait
dengan cara perlakuan orang tuanya. Sebagai orang tua, mereka memberikan perlindungan
kepada anak dari sesuatu yang membahayakan dan dari kefrustasian. Gaya perlakuan orang tua
kepada anak, ternyata sangat beragam, ada yang terlalu memanjakan, bersikap keras,
penerimaan dan kasih sayang, dan acuh tak acuh (permisif). Masing-masing perlakukan itu
cenderung memberikan dampak yang beragam bagi kepribadian anak.

Anak yang biasa dihukum karena pelanggaran biasa dengan tidak memberikan kasih
sayang atau perhatian kepadanya, maka anak tersebut cenderung lebih dependen daripada
anak yang diikuti keinginannya dengan pengasuhan atau perhatian yang cukup dari
orangtuanya dirumah, maka ia akan menuntut perhatian dari guru pada saat dia sudah masuk
TK.

Namun apabila perlindungan orang tua itu terlalu berlebihan (terlalu memanjakan)
maka anak cenderung kurang bertanggung jawab dan kurang mandiri (senantiasa meminta
bantuan kepada orang lain). Salah satu penelitian Braumbrind (Ambron, 1981) menemukan
bahwa anak yang orang tuanya memberikan pengasuhan atau perawatan yang penuh
kehangatan dan pemahaman serta memberikan arahan atau tuntunan (pemberian tugas sesuai
dengan umurnya), maka anak akan memiliki rasa percaya diri (self-confidence), bersikap ramah,
mempunyai tujuan yang jelas dan mampu mengontrol (mengendalikan) diri. Sementara anak
yang di kembangkan dalam keluarga yang memperturutkan semua keinginan anak dan bersikap
persimif, cenderung mengembangkan pribadi anak yang kurang memiliki arah hidup yang jelas
dan kurang percaya diri.

2) Initiative vs Guilt

Erik erikson mengemukakan suatu teori bahwa anak prasekolah mengalami suatu krisis
perkembangan, karena mereka menjadi kurang dependen dan mengalami konfliks antara
“Initiative dan Guilt”. Anak berkembang, baik secara fisik maupun kemampuan intelektual serta
berkembangnya rasa percaya diri untuk melakukan sesuatu. Mereka menjadi lebih mampu
mengontrol lingkungan fisik sebagaimana ia mampu mengotrol tubuhnya. Anak mulai
memahami bahwa orang lain memiliki perbedaan dengan dirinya, baik menyangkut persepsi
maupun motivasi (keinginan) dan mereka menyenangi kemampuan dirinya untuk melakukan
sesuatu.
Perkembangan ini semua mendorong lahirnya apa yang disebut Erikson dengan
initiative (inisiatif). Pada tahap ini, anak sudah siap dan berkeinginan untuk belajar dan bekerja
sama dengan orang lain untuk mencapai tujuannya. Yang berbahaya pada tahap ini, adalah
tidak tersalurkannya energi yang mendorong anak untuk aktif (dalam rangka memenuhi
keinginannya), karena mengalami hambatan atau kegagalan, sehingga anak mengalami guilt
(rasa bersalah). Perasaan bersalah ini berdampak kurang baik bagi perkembangan kepribadian
anak, dia bisa menjadi nakal atau pendiam (kurang bergairah).

Faktor eksternal yang mungkin menghambat perkembangan inisiatif anak, diantaranya :

1) tuntutan kepada anak di luar kemampuannya,

2) sikap keras orang tua/guru dalam memperlakukan anak,

3) terlalu banyak larangan dan

4) anak kurang mendapat dorongan atau peluang untuk berani mengungkapkan perasaannya,
pendapatnya atau keinginannya.

h. PERKEMBANGAN MORAL

Pada masa ini, anak sudah memiliki dasar tentang sikap moralitas terhadap kelompok
sosialnya (orang tua, saudara dan teman sebaya). Melalui pengalaman berinteraksi dengan
orang lain (orang tua, saudara dan teman sebaya) anak belajar memahami tentang kegiatan
atau perilaku mana yang baik/boleh/diterima/disetujui atau buruk/tidak boleh/ditolak/tidak
disetujui. Berdasarkan pemahamannya itu, maka pada masa ini anak harus dilatih atau
dibiasakan mengenai bagaimana ia harus bertingkah laku (seperti, mencuci tangan sebelum
makan, menggosok gigi sebelum tidur dan membaca basmalah sebelum makan).

Pada saat mengenalkan konsep-konsep baik-buruk, benar-salah, atau menanamkan


disiplin pada anak, orang tua atau guru hendaknya memberikan penjelasan tentang alasannya.
Seperti (1) mengapa menggosok gigi sebelum tidur itu baik, (2) mengapa sebelum makan harus
memcuci tangan; atau (3) mengapa tidak boleh membuang sampah sembarangan. Penanaman
disiplin dengan disertai alasannya ini, diharapkan akan mengembangkan self-control atau self-
discipline (kemampuan mengendalikan diri, atau mendisplinkan diri berdasarkan kesadaran
sendiri) pada anak. Apabila penanaman disiplin ini tidak diiringi penjelasan tentang alasannya,
atau bersifat doktriner, biasanya akan melahirkan sikap disiplin buta, apalagi jika disertai
dengan perlakuan yang kasar.
Pada usia pra sekolah berkembang kesadaran sosial anak, yang meliputi sikap empati,
“generosity” (murah hati) atau sikap “altruism” yaitu kepedulian terhadap kesejahteraan orang
lain. Sikap ini merupakan lawan dari egosentris atau “selfishness” (mementingkan diri sendiri).

Hasil pengamatan terhadap anak usia pra sekolah, membuktikan bahwa mereka tidak
hanya menyadari bahwa orang lain memiliki perasaan, tetapi juga mereka aktif mencoba untuk
memahami perasaan-perasaan orang laintersebut. Contohnya, ada seorang anak berusia 2,5
tahun memberikan boneka terhadap anak lain yang sedang menangis. Ini menunjukan
pemahaman anak, tidak hanya berkaitan dengan kasih sayang dan pemeliharaan yang mereka
terima, tetapi juga berkaitan dengan pola atau gaya kedisiplinan orang tuanya (Ambron, 1981 :
340-341).

Dalam rangka membimbing perkembangan moral anak pra sekolah ini, sebaiknya orang tua
atau guru-guru TK, melakukan upaya-upaya berikut.

1) Memberikan contoh atau teladan yang baik, dalam berperilaku atau bertutur kata.

2) Menanakan kedisiplinan kepada anak, dalam berbagai aspek kehidupan, seperti


memelihara kebersihan atau kesehatan dan tata krama atau berbudi pekerti luhur.

3) Mengembangkan wawasan tentang nilai-nilai moral kepada anak, baik melalui pemberian
informasi atau melalui cerita seperti tentang : riwayat orang-orang yang baik (para nabi dan
pahlawan) dunia bintang yang mengisahkan tentang nilai kejujuran, kedermawanan,
kesetiakawanan atau kerajinan.

i. PERKEMBANGAN KESADARAN BERAGAMA

Kesadaran beragama pada usia ini ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut.

1) Sikap keagamaannya bersifat reseptif (menerima) meskipun banyak bertanya.

2) Pandangan ketuhanannya bersifat anthropormorph (dipersonifikasikan).

3) Penghayatan secara rohaniah masih superficial (belum mendalam) meskipun mereka telah
melakukan atau berpartisipasi dalam berbagai kegiatan ritual.

4) Hal ketuhanan dipahamkan secara ideosyncritic (menurut khayalan pribadinya) sesuai


dengan taraf berpikirnya yang masih bersifat egosentrik (memandang segala sesuatu dari sudut
dirinya)(Abin Syamsuddin Makmun, 1996)
Pengetahuan anak tentang agama terus berkembang berkat : (1) mendengarkan ucapan-
ucapan orang tua, (2) melihat sikap perilaku orang tua dalam mengamalkan ibadah; dan (3)
pengalaman dan meniru ucapan atau perbuatan orang tuanya.

Sesuai dengan perkembangan intelektualnya (berpikirnya) yang terungkap dalam kemampuan


berbahasa, yaitu sudah dapat membentuk kalimat, mengajukan pertanyaan dengan kata-kata:
apa, siapa, dimana, dari mana dan kemana: maka pada usia ini kepada anak sudah dapat
diajarkan syahadat, bacaan dan gerakan solat, doa-doa dan Al Quran.

Mengajarkan salat pada usia ini dalam rangka memenuhi tuntunan Rasulullah, bahwa orang tua
harus menyuruh anaknya salat pada usia tujuh tahun, “muruu auladakum bisholaat sab’u
siniin”(suruhlah anak-anakmu salat pada usia 7 tahun).

Dengan demikian, mengajarkan bacaan dan gerakan salat pada usia ini adalah dalam rangka
mempersiapkan dia untuk dapat melaksanakan salat pada usia tujuh tahun tersebut.

Adapun doa-doa yang diajarkan : (1) doa sebelum makan dan sesudahnya, (2) doa berangkat
dari rumah, (3) doa tidur, (4) doa untuk orang tua, (5) doa keselamatan/kebahagiaan di dunia
dan di akherat.

Di samping mengajarkan hal-hal diatas, kepada anak pun diajarkan atau dilatihkan tentang
kebiasaan-kebiasaan melaksanakan akhlakul karimah, seperti (1) mengucapkan salam; (2)
membacakan basmalah pada saat akan mengerjakan sesuatu; (3) membacakan hamdalah pada
saat mendapatkan kenikmatan dan setelah mengerjakan sesuatu; (4) menghormati orang lain;
(5) memberi shodaqoh; (6) memelihara kebersihan (kesehatan) baik dari diri sendiri maupun
lingkungan (seperti mandi, menggosok gigi, dan membuang sampah pada tempatnya).
j. PERKEMBANGAN MOTORIK

Seiring dengan perkembangan fisiknya yang beranjak matang, maka perkembangan


motorik anak sudah dapat terkoordinasi dengan baik. Setiap gerakannya sudah selaras dengan
kebutuhan atau minatnya. Pada masa ini ditandai dengan kelebihan gerak atau aktivitas
motorik yang lincah. Oleh karena itu, usia ini merupakan masa ideal untuk belajar keterampilan
yang berkaitan dengan mtorik ini, seperti menulis, menggambar, melukis, mengetik (komputer),
berenang, main bola dan atletik.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Seorang ahli psikologi, Elizabeth B. Hurlock mengatakan bahwa kurun usia pra sekolah
disebut sebagai masa keemasan (the golden age). Karenanya di usia ini anak mengalami banyak
perubahan baik fisik dan mental, dengan berbagai karakteristik.

Ada dua teori atau pendekatan mengenai perkembangan, yaitu pendekatan-pendekatan


perkembangan kognitif, dan belajar atau lingkungan. Dikemukakan juga pendekatan dari Imam
Al-Ghazali.

Dalam upaya mendidik atau membimbing anak agar mereka dapat mengembangkan
potensi dirinya seoptimal mungkin maka bagi para pendidik, orangtua, atau siapa saja yang
berkepentingan dalam pendidikan anak, perlu dianjurkan untuk memahami perkembangan
anak

Ada 9 karakteristik fase pra sekolah anak:

1. Perkembangan Fisik
2. Perkembangan Intelektual

3. Perkembangan Emosional

4. Perkembangan Bahasa

5. Perkembangan Sosial

6. Perkembangan Bermain

7. Perkembangan Kepribadian

8. Perkembangan Moral

9. Perkembangan Kesadaran Beragama

B. Saran

Kami menyadari akan kekurangan dalam makalah ini, maka pembaca dapat menggali kembali
sumber-sumber lainnya, untuk menyempurnakannya. Jadi kami harapkan kritik yang
membangun dari anda sekalian, untuk kami lebih bisa baik dan sempurna lagi dalam
pembuatan makalah ini selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi para
pembacanya

DAFTAR PUSTAKA

Nurhayati Eti. 2011. Psikologi Pendidikan Inovatif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.


Yusuf Syamsu. 2004. Psikologi Perkembangan Anak. Bandung : PT REMAJA ROSDA KARYA.

sukma wati di 14.05

Berbagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beranda

Lihat versi web

Mengenai Saya

Foto saya

sukma wati

Lihat profil lengkapku

Diberdayakan oleh Blogger.

Вам также может понравиться