Вы находитесь на странице: 1из 2

Nama : ANDRE PRASETIO

NIM : 1710114310003

Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi

Mata Kuliah : Antropologi Kuliner

Ulat Sagu

Ulat sagu merupakan cemilan bagi beberapa masyarakat. Ulat sagu merupakan
larva dari kumbang merah kelapa yang hidup di batang sagu yang membusuk. Bahasa
ilmiahnya hynchophorus ferruginesus. Masyarakat di Maluku dan Papua sudah biasa
mengonsumsi ulat sagu. Ulat ini biasanya ditemukan di pohon sagu yang sudah membusuk.
Warga atau pemburu biasanya memotong pohon tersebut kemudian mencarinya di lapisan
pohon. Ulat sagu tersebut di konsumsi masyarakat papua dan Maluku selain dimakan
hidup-hidup, ulat sagu juga dapat dimakan setelah diolah dengan cara dibakar dijadikan
sate. Ulat sagu rasanya lebih kenyal, asam, dan tawar. dan butuh waktu lama saat
mengunyahnya. Ulat sagu yang dimasak memiliki rasa yang klebih nikmat dan gurih serta
lebih kriuk dan tidak terasa asam. Kulitnya yang terpanggang membuat ketagihan untuk
memakannya lagi.
Di Tanah Grogot Kabupaten Tanah Paser Kalimantan Timur, ulat sagu diolah
menjadi “gulai ulat sagu”. Ulat sagu yang gemuk-gemuk dan besar membuat gulai asli
warga paser ini memiliki rasa yang nikmat. Kandungan gizi dari ulat sagu dalam setiap 100
gram ulat sagu mentah yang akan dimasak mengandung protein, asam amino esensial, asam
aspartate, asam glutamat, tirosin, lisin, dan methoin. Ulat sagu juga dijadikan sebagai
alternative makanan yang bebas kolesterol.
Banyak masyarakat yang tidak menyukai makanan yang berasal yang ulat sagu
tersebut yang mana dianggap menjijikan saat di makan dan juga dilihat yang mana pada
saat di peganmg mengeluarkan lendir sehingga membuat seseoramg menjadi jijik untuk
memakannya. Ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat bahwa halal memakan ulat yang
berkembang biak di makanan seperti pada cuka dan buah, namun dengan syarat:
1. Ulat dimakan dengan makanan, baik ulat tersebut hidup atau mati. Jika hanya ulat
saja yang dimakan, maka tidak halal.
2. Ulat tidak diambil secara tersendiri. Jika dipisah secara tersendiri, maka tidak halal
dimakan. Kedua syarat pertama ini bermakna taabi’, artinya ulat tersebut hanya
sebagai ikutan.
3. Ulat tersebut tidak merubah rasa, bau, atau warna makanan jika makanan tersebut
cair. Namun, jika ulat tersebut merubah ketiga hal tadi, maka tidak halal disantap
atau diminum karena ketika itu dinilai najis.
Hal diatas dapat diatarik kesimpulan ulat tersebut halal dimakan selama tidak
mengubah keadaan air dan juga kembali kepada orang yang memakannya jika tidak
mengganggap jijik dan najis dalam memakannya.

Вам также может понравиться