Вы находитесь на странице: 1из 18

ANALISIS COMPETITIVE DYNAMICS PADA STUDI KASUS INDUSTRI PERTELEVISIAN DI INDONESIA

Ridhotullah Rezki Maulana Suprapto

Program Studi Manajemen

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga

E-mail: ridhotullahriki27@gmail.com

ABSTRACT

In recent years, the competitive tension among 10 private TV stations free-to-air in


Indonesia’s broadcasting industry becomes fierce and highly dynamics. Firm’s managers will
perceive the others company as a direct or indirect rivals based on the similarity of resources
owned by the company to its rivals and/or whether the resources have critical value –salience–
which is captured a vital resources used by the company compares to its rivals. Both of these,
salience and similarity considerations, shows the capability to contest of the company while
compete in the marketplace with rivals. This study examines the correlation of capability to
contest, which are salience and similarity consideration, on market performance by using TV
ratings as the indicator. Based on the secondary data from AGB Nielsen Media Research, this
study used the concept of competitive dynamics to analyze the rivalry of all TV stations on dyad-
level. By using hierarchical multiple regression, the result of this study indicate that there is a
correlation of salience and similarity consideration in movie, variety show, news, sport, others, and
reality show on TV rating. Not only analysis about the study but also academic and managerial
implications are further discussed in this research.

Keywords: salience consideration, similarity consideration, competitive dynamics, firm


performance, broadcasting industry

PENDAHULUAN
Sejak tahun 1884, pertumbuhan peran televisi telah berkembang luas baik sebagai
teknologi maupun media (Nugroho dkk., 2012). Perkembangan industri pertelevisian di era
kapitalisme global yang berorientasikan pada bisnis pun semakin berkembang pada tahun 1960-
an yang berdampak pada terbangunnya jaringan media internasional di seluruh wilayah negara
(Ishadi, 2014). Sejarah industri pertelevisian di Indonesia sendiri dimulai pada 24 Agustus 1962
dimana TVRI pada saat itu menjadi televisi nasional pertama Indonesia menayangkan Upacara
Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-17 dan acara Asian Games yang
diselenggarakan di Jakarta (Ishadi, 2014).
Pada rentang tahun 1987 sampai dengan 1995, industri pertelevisian di Indonesia telah
berkembang sedemikian rupa sejak terjadinya gelombang pertama privatisasi yang dilakukan
beberapa stasiun televisi, yakni RCTI (1987), SCTV (1990), TPI (1990) –relaunched pada tahun 2010
dengan nama MNC TV–, ANTV (1993) dan Indosiar (1995) (Sudibyo dan Patria, 2013). Di awal era
reformasi, gelombang kedua privatisasi stasiun TV swasta nasional free-to-air semakin gencar
memasuki pasar (Ishadi, 2014), yaitu Metro TV (2000), Trans TV (2001), TV7 (2001) –relaunched pada
tahun 2006 dengan nama Trans 7–, Global TV (2001), dan Lativi (2002) –relaunched pada tahun
2008 dengan nama TV One– (Farre dan Fasani, 2013).
Hal ini berdampak pada persaingan bisnis antar stasiun TV yang semakin kompetitif dalam
meningkatkan rating TV dimana kesepuluh TV swasta nasional ini yang kemudian mendapat
kebebasan menyiarkan tayangan TV dengan pangsa pasar yang mencakup 95% dari total
keseluruhan pasar di industri pertelevisian Indonesia, dimana 5% sisanya dimiliki oleh stasiun TV
berbayar atau TV kabel, seperti Indovision (Nugroho dkk., 2012). Ditegaskan oleh Haryanto di
dalam Nugroho dkk. (2012) bahwa saat ini setiap stasiun TV saling bersaing untuk mengejar rating,
sensasionalisasi, dan komersialisasi. Semakin banyak jumlah khalayak yang menonton, maka
akan semakin tinggi rating yang akan didapatkan oleh stasiun TV (Mahardhika, 2011). Semakin
tinggi rating, maka akan semakin besar pula minat para pengiklan untuk bersedia bekerja sama
mensponsori sebuah program acara meskipun pihak stasiun TV menjualnya dengan harga yang
mahal (Nugroho dkk., 2012).
Data yang dihimpun oleh Nielsen Advertising Information Services (AIS) dalam artikel yang
dimuat di dalam majalah MIX Marketing Communications edisi 09/xiii/20 tahun 2016, menyajikan
sebuah fakta statistik dari aktivitas belanja iklan pada semester pertama di tahun 2016 yang
mengalami peningkatan positif dan tumbuh sebesar 18% menjadi Rp 67,7 triliun ($4,9 miliar)
dimana hal ini menjadikan dinamika persaingan TV begitu tinggi dan sengit yang dibuktikan
dengan data statistik dinamika perubahan posisi 10 TV swasta nasional berdasarkan rating dari
tahun 2010-2013 (Gambar 1). Fakta tersebut ditegaskan oleh Chen dkk., (2007) yang juga
berpendapat bahwa di dalam praktik dunia bisnis terdapat suatu fase jenuh atau statis dimana
hal ini akan berubah menjadi lebih dinamis jika terdapat persaingan antar perusahaan. Oleh
karena adanya persaingan yang terjadi, Chen dkk., (2007) lebih lanjut memberikan argumennya
bahwa setiap perusahaan memerlukan suatu alat analisa untuk memahami dan dapat
digunakan untuk memprediksi setiap apa yang dilakukan oleh para pesaingnya.
Gambar 1
Peringkat TV Berdasarkan Rating Periode 2010-2013

0
2010 2011 2012 2013

RCTI Trans TV Trans 7 SCTV Indosiar

ANTV MNC TV Global TV TV One Metro TV

Sumber: Nielsen, 2013


Analisa kompetitor (Porter, 1980, 1985; Hamel dan Prahalad, 1990; Porac dan Thomas,
1990; Tsai dkk., 2011) dan persaingan antar perusahaan (Mac Millan dkk., 1985; Smith dkk., 1992;
D’Avenni, 1994) memegang peran utama bagi perusahaan dalam menyusun strategi yang
kompetitif. Untuk mengetahui interaksi perilaku kompetitif setiap perusahaan, bagaimana
perilaku kompetitif dapat memengaruhi kinerja perusahaan, dan cara bagaimana perusahaan
mengalokasikan sumber daya yang dimiliki secara tepat di dalam bersaing satu sama lain maka
digunakanlah analisa competitive dynamics dengan salience consideration yang menunjukkan
tingkat market commonality dan similarity consideration yang menjelaskan resource similarity
untuk menggabungkan konsep mengenai analisa kompetitor dengan persaingan antar
perusahaan dalam mendapatkan keunggulan posisi di suatu pasar industri tertentu (Chen, 1996;
Hitt, Ireland, dan Hoskisson, 2016).
Peneliti mengadopsi konsep yang diilustrasikan oleh Chen dkk. (2007) di dalam menganalisa
salience consideration (pertimbangan keunggulan) dan similarity consideration (pertimbangan
kesamaan), dimana kedua konsep ini menitikberatkan pada aspek sumber daya (resource-
based view) yang dimiliki oleh setiap perusahaan (Coughlan, 2015). Penggunaan kedua konsep
ini didasarkan atas argumen peneliti bahwa setiap perusahaan memiliki keunikan baik dari segi
sumber daya maupun profil di pasar serta kedua dimensi ini dapat menjelaskan hubungan
kompetitif antar perusahaan yang saling bersaing untuk memprediksi bagaimana setiap
perusahaan dapat menyerang atau merespon satu sama lain di pasar (Chen, 1996; Sukoco,
2015:65). Penelitian ini akan menggunakan pendekatan yang serupa dengan penelitian-
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Chen (1996), Chen dkk. (2007), dan Tsai dkk. (2011).
Namun terdapat perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang terletak pada
objek penelitian yang digunakan. Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Chen dkk. (2007), dan
Tsai dkk., (2011), objek yang digunakan adalah industri aviasi yang melibatkan 13 maskapai
pesawat di Amerika Serikat. Namun pada penelitian ini, peneliti menggunakan industri
pertelevisian yang melibatkan 10 TV swasta nasional di Indonesia sebagai objek penelitian yang
persaingannya dari tahun ke tahun semakin sengit dan tingkat dinamika persaingannya begitu
tinggi (Hollander dkk., 2009; Ishadi, 2014). Dengan menggunakan analisa competitive dynamics,
yakni suatu konsep dengan berfokus pada dyad-level yang mempelajari rivalitas berdasarkan
segala bentuk tindakan aksi dan reaksi setiap perusahaan di dalam suatu industri pasar yang
sama secara spesifik serta dapat digunakan untuk memprediksi kekuatan kompetitor,
meningkatkan profitabilitas dan menguatkan market share perusahaan di masa yang akan
datang, maka konsep ini tepat dugunakan untuk mempelajari persaingan industri TV di Indonesia
(Sukoco, 2015:64).
Berdasarkan fakta dan hasil penelitian-penelitian tersebut, maka dikembangkanlah
penelitian terkait dengan persaingan antar perusahaan TV swasta nasional di Indonesia dilihat
dari perspektif competitive dynamics untuk membantu para pelaku bisnis dan akademisi di
dalam memahami, menganalisia, dan memprediksi persaingan yang terjadi dan implikasinya
terhadap strategi pemasaran yang digunakan oleh setiap perusahaan TV. Penelitian ini menarik
untuk dilakukan dan dikaji lebih jauh karena efek dan dampaknya pada perilaku pasar setiap
pelaku bisnis di industri pertelevisian nasional (Farre dan Fasani, 2013). Bagaimana perilaku dari
masing-masing perusahaan, termasuk di dalamnya adalah seluruh aksi yang dilakukan dan
respon yang diberikan, dari perspektif competitive dynamics masing-masing perusahaan yang
bersaing dalam menghadapi persaingan di suatu industri, yakni industri pertelevisian nasional
Indonesia (Hitt, Ireland, Hoskisson, 2016:144).

LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESA


Competitive Dynamics
Menurut Smith dkk. (2001) di dalam Chen dan Miller (2014), teori competitive dynamic ini
berasal dari Austria yang menyatakan bahwa competitive dynamics memandang suatu bentuk
persaingan secara lebih interaktif dan dinamis sehingga menghasilkan serangkaian respon dan
tindakan dalam dyad-level. Serangkaian respon dan tindakan dalam dyad-level itu lah yang
menjadi karakteristik daripada competitive dynamics dan memberikan dasar bagi para peneliti
untuk melakukan penelitian pada konteks persaingan secara lebih kompleks (Chen dan Miller,
2012). Hsieh, Tsai, dan Chen (2015) menambahkan bahwa karakteristik persaingan dilihat dari
perspektif competitive dynamics ini menggambarkan tentang perilaku dan hubungan antara
perusahaan dengan rivalnya akan menciptakan suatu bentuk respon dan tindakan yang
dilakukan oleh perusahaan disebabkan dari adanya aktivitas yang dilakukan oleh rival-rivalnya,
dimana hal tersebut memiliki korelasi yang positif terhadap kinerja atau performa setiap
perusahaan yang ada di dalam suatu kawasan industri yang sama.
Setiap perusahaan tidak akan terlibat persaingan satu sama lain dalam serangkaian
tindakan dan respon kompetitif kecuali setiap perusahaan tersebut memenuhi tiga faktor
pendorong utama, yaitu (1) awareness atau kesadaran kompetitif, sebelum perusahaan
menyusun rencana strategi yang digunakan, perusahan terlebih dahulu harus memiliki kesadaran
terhadap setiap kesempatan, tantangan, dan sekaligus ancaman yang membahayakan posisi
perusahaan di pasar; (2) setiap perusahaan memiliki motivasi untuk terlibat di dalam melakukan
competitive action; dan (3) masing-masing perusahaan memiliki kapabilitas (capability) atau
kemampuan berupa sumber daya yang diperlukan untuk terlibat persaingan antar perusahaan
di dalam suatu pasar, semakin besar kapabilitas yang dimiliki oleh suatu perusahaan maka akan
semakin baik kinerja operasional perusahaan tersebut (Chen dan Miller, 2012).
Chen dkk. (2007) mengembangkan kerangka AMC (Awareness-Motivation-Capability) dari
Chen (1996) dengan salience dan similarity consideration digunakan sebagai indikator untuk
mengukur kemampuan perusahaan di dalam menghadapi persaingan yang ada (capability to
contest). Salience dan similarity consideration yang dikemukakan oleh Chen dkk. (2007)
merupakan pengembangan dari teori kerangka analisa kompetitor market commonality dan
resource similarity yang digagas oleh Chen (1996). Penelitian yang dilakukan oleh Chen ini
menjelaskan tentang konsep kesamaan pasar dan kesamaan sumber daya yang selama ini
menjadi karakteristik strategi sekaligus merupakan dasar dari competitive dynamics (Sukoco,
2015).
Fokus yang menjadi perhatian dasar dari salience dan similarity consideration ini adalah
pada penggunaan sumber daya sebagai kompetensi inti (core competencies) oleh setiap
perusahaan dimana hal ini dikategorikan ke dalam teori pendekatan pemasaran, yakni resource-
based view (Hamel dan Prahalad, 1990; Coughlan, 2015). Pada strategi pemasaran resource-
based view, perusahaan berada pada posisi yang seimbang antara kebutuhan pasar dengan
kemampuan perusahaan untuk memenuhi dan menyediakan kebutuhan tersebut (lihat Gambar
2.6) (Hooley, Piercy, dan Nicoulaud, 2012:13).

Performa Perusahaan

Di industri pertelevisian Indonesia, persaingan antar stasiun TV dalam memperebutkan


market share dan advertising revenue semakin sengit dan ketat pasca berlangsungnya Pemilu
2004 (Hollander dkk., 2009; Ishadi, 2014). Tolak ukur performa setiap stasiun TV dapat dilihat dari
indikator rating di pasar industri media TV di Indonesia (Hollander dkk., 2009; Windarsih, 2015;
Khessina dan Reis, 2016). Rating merupakan persentase jumlah penonton atau target penonton
pada satuan waktu tertentu, minimal satu menit terhadap populasi atau suatu target populasi
dan berkaitan dengan jumlah penonton terhadap program tertentu (Ishadi, 2014). Semakin tinggi
rating maka akan semakin baik performa perusahaan serta semakin besar pula market share dan
profit yang didapatkan sebuah stasiun TV yang dimana hal tersebut melambangkan pencapaian
economic of scale dan kekuatan mereka di suatu industri pasar yang sama (Chen dan Miller,
2011; Solomon, 2012). Hal ini menjadikan kultur industri TV di Indonesia telah berubah dari yang
awalnya sebagai sebuah entitas publik mejadi industri bisnis yang berorientasi pada profit
(Nugroho dkk., 2012).
Meningkatkan market share perusahaan merupakan salah satu tujuan dari dilakukannya
studi competitive dynamics selain meningkatkan profit dan memperoleh competitive advantage
(Chen dan Miller, 2014; Coughlan, 2015). Oleh sebab itu, menjadi hal yang penting bagi para
manajer dan para stakeholder untuk memperhatikan dan mengetahui dengan baik kemampuan
setiap pesaingnya untuk mempertahankan dan meningkatkan performa perusahaan yang
berimplikasi pada posisi market share perusahaan di pasar (Hitt, Ireland, dan Hoskisson, 2016:147).

Hipotesa Penelitian
Di dalam menjalankan operasional bisnisnya, setiap perusahaan akan menggunakan
sumber daya yang berbeda dengan pesaingnya yang dimana sumber daya tersebut bernilai
vital bagi perusahaan dan ketersediannya cukup langka (Chen dkk., 2007). Salience
consideration merupakan tingkat atau derajat yang mengukur suatu jenis sumber daya yang
digunakan oleh rival lebih unggul dibandingkan dengan yang digunakan oleh perusahaan
dalam menjalankan operasional bisnisnya (Chen dkk., 2007; Tsai dkk., 2011). Pada penelitian ini,
peneliti menganalogikan tingkat salience consideration dengan mengukur tingkat jenis per
acara yang digunakan oleh rival dan juga digunakan oleh perusahaan utama di dalam
menayangkan setiap programnya.

Penggunaan sumber daya yang bernilai vital ini merupakan salah satu bentuk dari
keunggulan dan kepentingan strategi yang digunakan perusahaan agar tetap kompetitif
bersaing dengan para rivalnya (Chen dkk., 2007). Semakin sumber daya yang bernilai vital
tersebut banyak dan sama-sama digunakan, baik oleh perusahaan maupu rivalnya, maka
derajat salience akan semakin tinggi (Chen 1996). Semakin tinggi tingkat hubungan yang terjadi
antara perusahaan dengan rivalnya maka perusahaan akan semakin paham dengan
kemampuan pesaingnya yang dapat menjaga dan meningkatkan posisi perusahaan di pasar
persaingan (Tsai dkk., 2011). Dengan begitu, perusahaan secara terus-menerus akan
meningkatkan performanya dibanding rivalnya dengan mengetahui pola-pola strategi yang
digunakan oleh rivalnya di masa yang akan datang (Coughlan, 2015). Atas argumen tersebut,
hipotesa yang diajukan adalah sebgaai berikut.
H1: terdapat pengaruh antara pertimbangan keunggulan (salience consideration) pada
(a) film, (b) variety show, (c) berita, (d) olahraga, (e) acara lain, dan (f) reality show
terhadap performa perusahaan
Menurut Chen dkk. (2007) perusahaan dengan profil sumber daya yang sama memiliki
kapabilitas yang sebanding dan merupakan kompetitor satu sama lain, serta kompetitor yang
menggunakan strategi dan memiliki struktur organisasi yang serupa akan saling menyerang satu
sama lain. Oleh sebab itu, Chen dkk. (2007) menyimpulkan bahwa manajer dan stakeholder
perusahaan akan memandang setiap pesaingnya yang memiliki sumber daya yang serupa
sebagai pesaing langsung. Hal ini sesuai dengan argumen Chen (1996) yang menyatakan bahwa
semakin besar tingkat kesamaan sumber daya yang digunakan perusahaan dengan rivalnya,
semakin besar pula kemungkinan rival akan melakukan serangan balik terhadap perusahaan
pesaingnya.

Perusahaan yang memiliki tingkat similarity consideration yang tinggi mampu memprediksi
setiap tindakan dan respon yang dilakukan rivalnya di masa yang akan datang (Tsai dkk., 2011).
Hal tersebut dapat meningkatkan kapabilitas dan peluang perusahaan untuk dapat
mengalahkan pesaingnya serta memperbaiki sekaligus mengamankan posisi perusahaan di
pasar persaingan dengan meningkatkan performa perusahaan secara terus-menerus
(Coughlan, 2015). Atas argumen tersebut, hipotesa yang diajukan adalah sebgaai berikut.

H2: terdapat pengaruh antara pertimbangan kesamaan (similarity consideration) pada


(a) film, (b) variety show, (c) berita, (d) olahraga, (e) acara lain, dan (f) reality show
terhadap performa perusahaan
METODE PENELITIAN
Konteks Penelitian
Pada penelitian ini, jenis data yang digunakan oleh peneliti adalah data sekunder. Data
sekunder merupakan data yang diperoleh melalui pihak kedua, seperti data dan laporan
keuangan perusahaan, lembaga survey, intansi pemerintah atau non-pemerintah terkait, dan
lain-lain (Cooper dan Schindler, 2014:665) yang memiliki beberapa keuntungan diantaranya
adalah (1) waktu pengumpulan data yang relatif lebih singkat dibandingkan pengumpulan data
primer, (2) menyajikan data yang lebih informatif, dan (3) memungkinkan penggunaan data
dalam jumlah besar.
Sementara itu, pertimbangan peneliti menggunakan periode 2013 ini dikarenakan
keberadaan TV berbasis internet maupun TV berbayar pada tahun tersebut belum begitu tinggi
pangsa pasarnya apabila dibandingkan dengan TV nasional swasta berstatus free-to-air yang
pangsa pasarnya mencapai 95%.
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah 10 TV swasta nasional free-to-air yang
menguasai 95% pangsa pasar pertelevisian di Indonesia, yakni RCTI, SCTV, MNC TV, ANTV,
Indosiar, Metro TV, Trans TV, Trans 7, dan Global TV (Nugroho dkk., 2012). Selain itu, dasar
penggunaan 10 TV swasta nasional free-to-air tersebut karena kesepuluh TV swasta nasional itulah
yang menguasai 10 besar peringkat dengan pendapatan rating tertinggi sepanjang tahun 2013.
Penelitian ini hanya menggunakan program-program yang tayang pada waktu prime time (06.00
sampai dengan 22.00). Alasan peneliti hanya menggunakan waktu prime time dikarenakan
terdapat lebih dari 50% penonton yang mengalokasikan waktunya untuk menonton TV sehingga
menyebabkan persentase aktivitas belanja iklan yang dilakukan oleh agensi periklanan lebih
besar jika dibandingkan dengan di luar waktu prime time (Nielsen, 2013).
Penelitian ini mengggunakan regresi linear berganda hierarki yang merupakan suatu alat
statistik yang digunakan untuk menguji dan menjelaskan teori kausal yang menggambarkan
bagaimana variabel dependen dapat memengaruhi variabel independen (Aiken dan West,
1991; Cooper dan Schindler, 2014:660).
Variabel Penelitian
Performa perusahaan. Untuk menghitung performa perusahaan, peneliti menggunakan
rating TV sebagai indikator pengukuran.
rata − rata 𝑟𝑎𝑡𝑖𝑛𝑔 TVa pada 𝑝𝑟𝑖𝑚𝑒 𝑡𝑖𝑚𝑒
𝑅𝑎𝑡𝑖𝑛𝑔 TVa =
rata − rata 𝑟𝑎𝑡𝑖𝑛𝑔 TVb pada 𝑝𝑟𝑖𝑚𝑒 𝑡𝑖𝑚𝑒
Pertimbangan Keunggulan. Semakin tinggi derajat pertimbangan keunggulan
menggambarkan tingkat interaksi antara kedua TV yang saling bersaing dengan menggunakan
program acara yang sama yang dianggap unggul oleh setiap perusahaan di dalam
menjalankan operasional bisnisnya. Peneliti menggunakan ilustrasi Chen dkk. (2007) untuk
menghitung pertimbangan keunggulan sebagai berikut.

𝑺𝒊𝒋 = ∑[(𝑨𝒊𝒎⁄𝑨𝒊) 𝒙 (𝑨𝒋𝒎/𝑨𝒎)]


𝒊=𝟏
Dimana,

Pertimbangan Kesamaan. Untuk menghitung pertimbangan kesamaan peneliti


menggunakan ilustrasi Chen dkk. (2007) sebagai berikut.

𝑫𝒊𝒋 = √∑[(𝑨𝒊𝒎/𝑨𝒊) − (𝑨𝒋𝒎/𝑨𝒋)]𝟐


𝒊=𝟏

Dimana, Dij adalah resource similarity dari dua perusahaan yang dibandingkan (Tsai dkk.,

2011). Sementara Aj adalah total jumlah keseluruhan program acara yang ditayangkan oleh TVb

di waktu prime time. Tinggi rendahnya derajat pertimbangan kesamaan ini menunjukkan

penggunaan program acara di setiap stasiun TV. Semakin mendekati 0 (nol) menggambarkan

bahwa kedua TV menggunakan program acara yang sama.

Variabel Kontrol. Variabel kontrol yang digunakan dalam penelitian ini adalah hari,
minggu, dan grup afiliasi. Terdapat perbedaan preferensi dari penonton di dalam
mengalokasikan waktu untuk melihat program TV di waktu prime time dan selain prime time.
Seluruh variabel kontrol yang berhubungan dengan satuan waktu, dapat memengaruhi
preferensi dan jumlah pemirsa yang menonton TV di waktu prime time (Nugroho dkk., 2012).
Setiap variabel kontrol tersebut dikategorikan menggunakan nomor binari (binary number), yakni
0 (nol) dan 1 (satu), dengan 1 (satu) sebagai baseline. Sementara itu, grup afiliasi yang dijadikan
kontrol dibagi menjadi beberapa kelompok sesuai dengan lima grup perusahaan utama yang
menguasai kesepuluh TV swasta nasional free-to-air, yakni MNC Group, TransCorp atau CT Grup,
EMTE, Visi Media Asia atau VIVA, dan Media Grup, karena masing-masing grup memiliki beberapa
stasiun TV yang dimana setiap program yang ditayangkan oleh stasiun TV yang berada pada
grup yang sama memiliki acara dengan konten program yang cenderung sama (homogen)
sehingga hal ini juga dapat memengaruhi preferensi penonton di dalam menentukan program
acara di stasiun TV mana yang akan dilihat (Nugroho dkk., 2012).
ANALISIS
Berdasarkan data dari AGB Nielsen Media Research sepanjang tahun 2013 pada prime
time, terdapat empat TV stasiun yang program acaranya dibuat oleh rumah produksi domestik
(mencapai 85%), yakni RCTI, SCTV, Indosiar, dan MNC TV. Sementara untuk Trans 7, TV One, dan
Metro TV dominasi menggunakan rumah produksi in-house untuk membuat program acaranya
(sebesar 90%). Selama prime time pada periode tahun yang sama, jumlah kategori program yang
ditayangkan untuk film begitu mendominasi empat TV stasiun yang persentasenya mencapai
lebih dari 80%, yakni RCTI, SCTV, MNC TV, Global TV, dan Indosiar. Sementara itu, Trans TV dan
ANTV merupakan dua TV stasiun yang dalam menayangkan program-program acaranya
didominasi oleh kategori program variety show sebesar 70%. Untuk program-program yang
ditayangkan oleh Metro TV dan TV One didominasi oleh kateogri progam berita yang mencapai
angka 59%. Secara keseluruhan, film menempati urutan pertama dengan nilai 51,67%. Diikuti oleh
variety show diperingkat kedua sebesar 25,39%. Kemudian berturut-turut setelahnya adalah
program berita dengan 14,08%, olahraga dengan 4,09%, acara lain-lain sebesar 2,69% dan
terakhir adalah program reality show dengan persentase sebesar 2,08%.
Tabel 1
Hasil Analisa Uji Regresi

Variabel Penelitian Variabel Dependen: Rating TV


M0 M1 M2 M3 M4 M5 M6
Hari Senin 0,047 0,050 0,047 0,044 0,048 0,047 0,048
Hari Selasa**
Hari Rabu -0,007 -0,004 -0,002 -0,012 -0,007 -0,007 -0,009
Hari Kamis -0,025 -0,018 -0,022 -0,022 -0,025 -0,027 -0,025
Hari Jumat -0,013 0,001 -0,013 -0,020 -0,013 -0,008 -0,015
Hari Sabtu 0,076 0,097 0,078* 0,085* 0,074 0,073 0,076
Hari Minggu -0,029 -0,014 -0,031 -0,012 -0,030 -0,031 -0,029
Minggu Pertama -1,533* -0,850* -1,539* -1,365* -1,506* -0,872* -1,537*
Minggu Kedua -1,513* -0,812* -1,521* -1,286* -1,486* -0,841* -1,516*
Minggu Ketiga -1,534* -0,836* -1,542* -1,307* -1,505* -0,862* -1,538*
Minggu Keempat -1,541* -0,844* -1,550* -1,311* -1,512* -0,863* -1,544*
Grup MNC**
Grup CT -0,221* 0,087* -0,344* -0,087* -0,194* -0,257* -0,179*
Grup EMTEK -0,273* -0,282* -0,292* -0,307* -0,255* -0,316* -0,277*
Grup VIVA -1,315* -1,676* -1,405* -0,546* -1,330* -1,241* -1,265*
Grup Media -1,980* -3,761* -2,049* -0,594* -1,958* -1,752* -1,983*
Pertimbangan -3,761*
Keunggulan Film
Pertimbangan Kesamaan 0,825*
Film
Pertimbangan 0,466*
Keunggulan Variety Show
Pertimbangan Kesamaan 0,158*
Variety Show
Pertimbangan 0,811*
Keunggulan Berita
Pertimbangan Kesamaan -2,575*
Berita
Pertimbangan 0,300
Keunggulan Olahraga
Pertimbangan Kesamaan 0,621*
Olahraga
Pertimbangan 0,801*
Keunggulan Acara Lain
Pertimbangan Kesamaan -2,205*
Acara Lain
Pertimbangan 0,260
Keunggulan Reality Show
Pertimbangan Kesamaan -1,089*
Reality Show
Konstanta 3,728 3,162 3,764 3,162 3,691 3,045 3,714
R2 0,125 0,239 0,127 0,318 0,129 0,149 0,128
∆R2 0,125 0,113 0,001 0,193 0,003 0,024 0,002
F 336,554 644,117 298,108 957,332 303,360 359,508 301,020
∆F 336,554 2446,180 25,472 4637,457 62,219 455,034 45,844
p 0,000* 0,000* 0,000* 0,000* 0,000* 0,000* 0,000*
∆p 0,000* 0,000* 0,000* 0,000* 0,000* 0,000* 0,000*
Catatan *menandakan p < .05 (α = 5%); **merupakan excluded variable
Sumber: Data Olahan, 2017
Model 0 (M0) merupakan model baseline dimana pada model ini hanya menguji
pengaruh dari variabel kontrol yang digunakan di dalam penelitian (Sukoco, 2016). Model 1 (M1)
merupakan model yang menguji H1 dan H2 untuk kategori program film. Model 2 (M2) merupakan
model yang menguji H1 dan H2 untuk kategori program variety show. Model 3 (M3) merupakan
model yang menguji H1 dan H2 untuk kategori program berita. Model 4 (M4) merupakan model
yang menguji H1 dan H2 untuk kategori program olahraga. Model 5 (M5) merupakan model yang
menguji H1 dan H2 untuk kategori program acara lain-lain. Model 6 (M6) merupakan model yang
menguji H1 dan H2 untuk kategori program reality show.
Berdasarkan hipotesa pertama (H1) bahwa terdapat korelasi antara variabel
pertimbangan keunggulan terhadap variabel dependen rating TV telah terbukti setelah
dilakukan uji analisa regresi berganda hierarki. Namun terdapat perbedaan koefisien terhadap
masing-masing kategori program acara yang diteliti pada penelitian ini. Untuk kategori program
film, pertimbangan keunggulan memiliki korelasi negatif yang signifikan terhadap performa
perusahaan yang diukur dengan indikator rating TV (β = -3,761; p = 0,000; ∆R2 = 0,113; ∆F =
2446,180). Untuk kategori program variety show, pertimbangan keunggulan memiliki korelasi
positif yang signifikan terhadap performa perusahaan yang diukur dengan indikator rating TV (β
= 0,466; p = 0,000; ∆R2 = 0,001; ∆F = 25,472). Untuk kategori program berita, pertimbangan
keunggulan memiliki korelasi positif yang signifikan terhadap performa perusahaan yang diukur
dengan indikator rating TV (β = 0,811; p = 0,000; ∆R2 = 0,193; ∆F = 4637,457). Untuk kategori program
olahraga, pertimbangan keunggulan memiliki korelasi positif yang signifikan terhadap performa
perusahaan yang diukur dengan indikator rating TV (β = 0,300; p = 0,000; ∆R2 = 0,003; ∆F = 62,219).
Untuk kategori program acara lain, pertimbangan keunggulan memiliki korelasi positif yang
signifikan terhadap performa perusahaan yang diukur dengan indikator rating TV (β = 0,801; p =
0,000; ∆R2 = 0,024; ∆F = 455,034). Untuk kategori program reality show, pertimbangan keunggulan
memiliki korelasi positif yang signifikan terhadap performa perusahaan yang diukur dengan
indikator rating TV (β = 0,260; p = 0,000; ∆R2 = 0,002; ∆F = 45,844). Dengan demikian, hasil penelitian
membuktikan kebenaran dari hipotesa pertama (H1).

Berdasarkan hipotesa kedua (H2) bahwa terdapat pengaruh antara variabel


pertimbangan kesamaan terhadap variabel dependen rating TV telah terbukti setelah dilakukan
uji analisa regresi berganda hierarki. Namun terdapat perbedaan korelasi terhadap masing-
masing kategori program acara yang diteliti pada penelitian ini. Untuk kategori program film,
pertimbangan kesamaan memiliki korelasi positif yang signifikan terhadap performa perusahaan
yang diukur dengan indikator rating TV (β = 0,825; p = 0,000; ∆R2 = 0,113; ∆F = 2446,180). Untuk
kategori program variety show, pertimbangan kesamaan memiliki korelasi positif yang signifikan
terhadap performa perusahaan yang diukur dengan indikator rating TV (β = 0,158; p = 0,000; ∆R2
= 0,001; ∆F = 25,472). Untuk kategori program berita, pertimbangan kesamaan memiliki korelasi
negatif yang signifikan terhadap performa perusahaan yang diukur dengan indikator rating TV (β
= -2,575; p = 0,000; ∆R2 = 0,193; ∆F = 4637,457). Untuk kategori program olahraga, pertimbangan
kesamaan memiliki korelasi positif yang signifikan terhadap performa perusahaan yang diukur
dengan indikator rating TV (β = 0,621; p = 0,000; ∆R2 = 0,003; ∆F = 62,219). Untuk kategori program
acara lain, pertimbangan kesamaan memiliki korelasi negatif yang signifikan terhadap performa
perusahaan yang diukur dengan indikator rating TV (β = -2,205; p = 0,000; ∆R2 = 0,024; ∆F = 455,034).
Untuk kategori program reality show, pertimbangan kesamaan memiliki korelasi negatif yang
signifikan terhadap performa perusahaan yang diukur dengan indikator rating TV (β = -1,089; p =
0,000; ∆R2 = 0,002; ∆F = 45,844). Dengan demikian, hasil penelitian membuktikan kebenaran dari
hipotesa kedua (H2).
Hasil dari uji F menunjukkan bahwa variabel kontrol, yakni hari, minggu dan grup afiliasi,
memiliki pengaruh secara simultan terhadap penelitian ini (F = 336,554; p = 0,000). Hal ini
dikarenakan satuan waktu (Khessina dan Reis, 2016) dan grup afiliasi (Nugroho dkk., 2012) dapat
memengaruhi preferensi pemirsa dalam menonton TV. Namun berdasarkan hasil uji t
menunjukkan bahwa secara parsial, hanya variabel kontrol minggu dan grup afiliasi saja yang
memiliki pengaruh negatif dan signifikan (p < 0,05). Penulis berargumen bahwa pada kalender di
Indonesia tahun 2013 terdapat beberapa minggu yang bertepatan dengan libur nasional, libur
keagamaan, dan tahun baru yang dimana mayoritas masyarakat Indonesia akan
memanfaatkan dan menghabiskan waktunya untuk berkumpul bersama keluarga sehingga
mengurangi preferensi masyarakat untuk menonton TV (Irianto dan Djaja, 2017). Hal ini dapat
menyebabkan penurunan rata-rata rating yang didapat oleh setiap stasiun TV pada minggu-
minggu tertentu seiring dengan berkurangnya jumlah penonton TV. Sementara itu, menurut
Nugroho dkk. (2012) menyebutkan bahwa masing-masing grup afiliasi memiliki satu stasiun TV
yang menjadi pemimpin dan memiliki rating yang lebih tinggi jika dibandingkan stasiun TV lainnya
yang berada pada grup yang sama. MNC Grup diwakili oleh RCTI, TransCorp diwakili oleh Trans
TV, EMTEK diwakili oleh SCTV dan VIVA Grup diwakili oleh ANTV. Oleh karena itu, grup afiliasi
memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap performa perusahaan yang diukur dengan
rating. Terakhir, hasil penelitian pada variabel kontrol hari secara parsial tidak memiliki pengaruh
positif namun tidak signifikan (p > 0,05).

Hollander dkk. (2009) berargumen bahwa industri pertelevisian Indonesia memiliki


perbedaan apabila dibandingkan dengan industri pertelevisian di Eropa. Industri pertelevisian
Indonesia berada pada tingkat persaingan yang tinggi dimana hampir setiap stasiun TV
menayangkan program yang hampir sama satu dengan lainnya (Wurff, 2004). Dikarenakan
tingkat persaingan dan dinamika yang begitu tinggi, setiap stasiun TV akan sangat
mempertimbangkan dan meminimalisasi angka ketidakpastian dari resiko yang mungkin terjadi
ketika membuat suatu program yang sifatnya baru atau berbeda untuk ditayangkan di pasar.
Fenomena yang terjadi di Industri pertelevisian di Indonesia juga dikuatkan oleh penelitian yang
dilakukan oleh Nugroho dkk. (2012) yang menyatakan bahwa saat ini program acara yang
ditayangkan oleh setiap stasiun TV, terutama yang berada di bawah naungan satu grup afiliasi,
cenderung memiliki kesamaan dalam hal konten. Sejalan dengan hukum Hotelling (1929) di
dalam Hollander dkk. (2009) yang menyatakan bahwa tingginya tingkat persaingan yang terjadi
di suatu pasar memiliki hubungan yang linier terhadap suatu produk yang ditawarkan menjadi
lebih homogen.
Derajat pertimbangan keunggulan menggambarkan tingkat interaksi diantara kedua
stasiun TV yang saling bersaing dengan menggunakan kategori program acara yang sama yang
dianggap bernilai vital dan unggul oleh setiap perusahaan dibandingkan dengan rival dalam
menjalankan operasional bisnisnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai petimbangan
keunggulan untuk kategori program film adalah sebesar 3,761 yang berarti tingginya tingkat
interaksi antar stasiun TV di pasar. Namun pertimbangan keunggulan kategori program film ini
memiliki pengaruh negatif signifikan yang artinya semakin tinggi suatu stasiun TV beranggapan
bahwa program film merupakan program yang unggul untuk digunakan di dalam bersaing
dengan para rivalnya maka akan semakin rendah performa perusahaan di pasar. Tingginya
dinamika yang terjadi di indutri pertelevisian Indonesia, terutama pada stasiun TV yang
menggunakan kategori program film untuk ditayangkan pada prime time, menjadikan film tidak
lagi memiliki keunggulan kompetitif melainkan bersifat sementara.
Dorongan atau motif setiap stasiun TV di industri pertelevisian Indonesia di dalam bersaing
bukan lagi hanya untuk mencari keunggulan kompetitif dengan menayangkan program-
program yang dianggap dapat mengungguli rival-rivalnya melainkan untuk mendapatkan rating
yang tinggi dan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya (motif ekonomi) (Nugroho dkk.,
2012). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya berdasarkan hukum Hotelling (1929) serta
argumen dari Wurff (2004), Hollander dkk. (2009), dan Nugroho dkk. (2012) tentang homogenitas
suatu produk pada dinamika pasar persaingan yang tinggi telah memasukkan kategori program
film sebagai suatu produk yang homogen di industri pertelevisian di Indonesia. Oleh sebab itu,
setiap stasiun TV saat ini telah menganggap bahwa kategori program bukan lagi sebagai suatu
program yang dijadikan sebagai produk unggulan untuk digunakan dalam bersaing dengan
para rivalnya. Data statistik yang dikeluarkan oleh AGB Nielsen Media Research membuktikan
bahwa lima dari 10 TV swasta nasional di Indonesia memiliki persentase di atas 80% dalam
menayangkan program acara film selama prime time, yakni SCTV (92,95%), RCTI (92,50%), Global
TV (92,19%), MNC TV (91,47%), dan Indosiar (81,51%). Selain kelima TV tersebut, data statistik
menunjukkan bahwa Trans TV juga mengandalkan film sebagai program utama selama prime
time di sepanjang tahun 2013 sebesar 47,95% dari keseluruhan program yang ditayangkan.

Berbeda dengan pertimbangan keunggulan untuk kategori program variety show, berita,
dan acara lain-lain yang memiliki pengaruh positif signifikan yang artinya semakin tinggi suatu
stasiun TV beranggapan bahwa program film merupakan program yang unggul untuk digunakan
di dalam bersaing dengan para rivalnya maka akan semakin tinggi juga performa perusahaan
di pasar. Sementara itu, untuk pertimbangan keunggulan pada kategori program olahraga dan
reality show memiliki pengaruh yang positif namun tidak signifikan terhadap rating TV. Hal ini
dikarenakan program acara olahraga dan reality show tidak terlalu banyak menghasilkan profit
sehingga membuat manajer di setiap stasiun TV tidak mengambil resiko dengan menjadikan
program olahraga dan reality show sebagai produk unggulan yang digunakan untuk bersaing
dengan rivalnya.

Hukum Hotelling (1929), Wurff (2004), Hollander dkk. (2009), dan Nugroho dkk. (2012)
menguatkan alasan mengapa program berita (β = -2,575), acara lain (β = -2,205), dan reality
show (β = -1,089) memiliki koefisien korelasi pertimbangan kesamaan yang negatif terhadap
performa perusahaan di pasar. Hal ini dikarenakan beberapa stasiun TV tidak mau mengambil
resiko lebih dengan menayangkan program-program yang kurang diminati oleh penonton
khususnya di waktu prime time. Terkecuali beberapa stasiun TV di Indonesia yang sejak awal
berfokus pada saluran ceruk (niche channel) dengan mengandalkan program-program yang
notabene menghasilkan rating yang rendah (Hollander dkk., 2009). Misalnya, dua stasiun TV yang
menggunakan program berita sebagai program utama, yakni Metro TV (59,69%) dan TV One
(63,29%). Untuk kategori program reality show, hanya Trans TV yang memiliki persentase terbesar
diantara 10 TV swasta nasional lainnya, angka persentasenya pun hanya mencapai 8,29%.
Selebihnya, persentase stasiun TV yang menayangkan program reality show menunjukkan angka
persentase di bawah 8% dari total keseluruhan program yang ditayangkan di waktu prime time.
Sementara untuk stasiun TV yang menayangkan kategori program acara lain-lain, praktis hanya
Metro TV (13,8%) dan ANTV (11,85%) saja yang memiliki besar persentase di atas 10%. Kedelapan
stasiun TV lainnya menunjukkan angka persentase di bawah 1% dan bahkan ada yang
menyentuh 0% (memutuskan untuk sama sekali tidak menayangkan program acara lain-lain),
seperti RCTI, MNC TV, Global TV, dan TV One. Nilai pertimbangan kesamaan dari hasil penelitian
untuk masing-masing kategori berita (2,575), acara lain-lain (2,205), dan reality show (1,089) juga
menunjukkan angka yang jauh dari 0 (nol). Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya
bahwa derajat pertimbangan kesamaan menggambarkan semakin angka yang didapat
menjauhi 0 (nol), maka semakin sedikit stasiun TV yang menggunakan suatu program acara
tersebut.

Berbeda dengan kategori program film (β = 0,825), variety show (β = 0,158), dan olahraga
(β = 0,621) yang memiliki nilai pertimbangan kesamaan mendekati 0 (nol) dan koefisien
korelasinya bernilai positif yang dimana memang ketiga kategori program ini merupakan
program-program yang paling sering dilihat oleh penonton (film 15,092 kali; variety show 7414 kali;
olahraga 1194 kali). Sesuai dengan teori Hotelling yang didukung dengan pendapat dari Wurff
(2004), Hollander dkk. (2009), serta Nugroho dkk. (2012), dikarenakan tingginya tingkat persaingan
dan dinamika yang ada di industri pertelevisian Indonesia maka setiap stasiun TV akan
mengunakan program-program yang banyak diminati oleh sebagian besar pasar dan bersifat
homogen. Data yang dikeluarkan AGB Nielsen Media Research tahun 2013 membuktikan bahwa
stasiun TV yang dominan dalam menggunakan program film, variety show, dan olahraga memiliki
performa perusahaan yang lebih baik ditunjukkan dengan pendapatan rata-rata rating setiap
stasiun TV. RCTI yang mengandalkan film (92,5%) berhasil menguasai pasar dengan rata-rata
rating 4,203. SCTV yang juga mengandalkan program film (92,95%) menempati posisi kedua
dengan rata-rata pendapatan rating sebesar 2,889. Menyusul di tempat ketiga adalah Trans TV
dengan rata-rata rating sebesar 2,516 menggunakan film (47,95%) dan variety show (42,74%)
sebagai program andalan. Kemudian berturut-turut setelahnya adalah MNC TV dengan rata-rata
rating 2,421 (91,47% menggunakan film), Trans 7 dengan rata-rata rating 2,350 (71,99%
menggunakan variety show), Indosiar dengan rata-rata rating 1,764 (81,51% menggunakan film),
ANTV dengan rata-rata rating 1,374 (61,64% menggunakan variety show), dan Global TV dengan
rata-rata rating 1,349 (92,19% menggunakan film). Adapun TV One dan Metro TV yang menarget
pasar ceruk dengan mengandalkan program berita berada pada posisi dua terbawah yakni
dengan rata-rata rating dibawah 1, masing-masing sebesar 0,887 dan 0,446.

SIIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN


Berdasarkan hasil pengujian hipotesa dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa
kedua variabel independen di dalam penelitian ini memiliki pengaruh, baik positif maupun
negative, terhadap performa perusahaan yang diukur dengan menggunakan indikator rating TV.
Implikasi manajerial dari penelitian ini diantaranya adalah (1) bagi manajer di setiap stasiun
TV sebaiknya menonjolkan pertimbangan kesamaan karena pada industri kesenian, konsumen
harus familiar dengan program acara yang dilihat untuk dapat menarik atensi penonoton; (2)
untuk pertimbangan keunggulan sebaiknya manajer perusahaan dapat melakukan diferensiasi
program acara agar konsumen memiliki aternatif program yang dapat ditonton (Nugroho dkk.,
2012); (3) penelitian ini menggambarkan persaingan antar stasiun TV secara empiris sehingga
membantu manajer untuk mengetahui siapa saja yang menjadi pesaing langsung dari
perusahaan (Chen, 1996); dan terakhir, (4) penelitian ini membantu manajer dalam menentukan
IMC tools yang efektif dalam konteks pemasaran B2B secara tepat untuk menarik minat agensi
periklanan, seperti direct marketing dan personal selling (Hutt dan Speh, 2013). Selain implikasi
manajerial, terdapat implikasi teoritis yaitu, (1) penggunaan konsep competitive dynamics
dengan objek penelitian industri TV di Indonesia yang dimana tiga penelitian (Chen, 1996; Chen
dkk., 2007; Tsai dkk., 2011) sebelumnya hanya menggunakan industri aviasi di Amerika Serikat; dan
(2) penelitian ini mengaitkan konsep competitive dynamics dengan performa perusahaan d
pasar.
Selain itu, terdapat beberapa batasan penelitian. Pertama, penelitian ini hanya
menggunakan industri pertevisian Indonesia dengan melibatkan 10 TV swasta nasional yang
berstatus free-to-air. Diharapkan penelitian selanjutnya dapat melibatkan lebih banyak lagi
perusahaan TV yang ada di industri TV Indonesia, baik TV swasta, pemerintah, maupun TV
berbayar. Kedua, periode data yang digunakan hanya setahun yakni 2013. Diharapkan
penelitian selanjutnya dapat menggunakan periode yang lebih lama dan aktual untuk
mengurangi bias. Ketiga, metode yang digunakan untuk menganalisa hipotesa yang diteliti
adalah analisa regresi berganda hierarki. Diharapkan pada penelitian selanjutnya dapat
menggunakan metode alat analisis lain sehingga dapat menjelaskan hubungan tinggi
rendahnya salience dan similarity consideration terhadap rating karena akan memberikan
informasi yang lebih menarik bagi industri pertelevisian. Terakhir, variabel independen yang
digunakan hanya sebatas mengukur elemen kapabilitas perusahaan dalam bersaing, dalam hal
ini pertimbangan keunggulan dan kesamaan. Diharapkan penelitian selanjutnya dapat
ditambahkan variabel-variabel yang dapat menggambarkan model AMC (awareness-
motivation-capability) secara keseluruhan (Chen dkk., 2007).
REFERENSI
Baum, J. A., & Korn, H. J. 1996. Competitive dynamics of interfirm rivalry. Academy of
Management journal, 39(2), 255-291.
Chen, M. J. 1996. Competitor analysis and interfirm rivalry: Toward a theoretical integration.
Academy of management review, 21(1), 100-134.
Chen, M. J., Kuo-Hsien, S. U., & Tsai, W. 2007. Competitive tension: The awareness-motivation-
capability perspective. Academy of Management Journal, 50(1), 101-118.
Cooper, Donald R. dan Pamela S. Schindler. 2014. Business Research Method. Edisi ke-14. New
York: McGraw-Hill/Irwin

Farré, L., & Fasani, F. 2013. Media exposure and internal migration—Evidence from Indonesia.
Journal of Development Economics, 102, 48-61.
Hitt, Michael A., R. Duane Ireland, Robert E. Hoskisson. 2016. Strategic Management:
Competitiveness & Globalization: Concepts and Cases. Edisi ke-12. New York: Cengage
Learning.

Hollander, E., d'Haenens, L., & Bardoel, J. 2009. Television performance in Indonesia: steering
between civil society, state and market. Asian Journal of Communication, 19(1), 39-58.

Hutt, Michael D. dan Thomas W. Speh. 2013. Business Marketing Management: A Strategic View
of Industrial and Organizational Markets. Edisi ke-11. Ohio: Cengage Learning

Ishadi SK. 2014. Media dan Kekuasaan: Televisi di Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Jakarta:
Kompas.
Khessina, O. M., & Reis, S. 2016. The Limits of Reflected Glory: The Beneficial and Harmful Effects of
Product Name Similarity in the US Network TV Program Industry, 1944–2003. Organization
Science, 27(2), 411-427.
Koetler, Philip dan Kevin Lane Keller. 2016. Marketing Management. Edisi ke-15. Inggris: Pearson.

Sukoco, Badri Munir. 2015. Teori Manajemen Strategi: Evolusi dan Evaluasi. Surabaya: Airlangga
University Press

Tsai, W., Su, K. H., & Chen, M. J. 2011. Seeing through the eyes of a rival: Competitor acumen based
on rival-centric perceptions. Academy of Management Journal, 54(4), 761-778.
Van der Wurff, R. 2004. Supplying and viewing diversity: The role of competition and viewer choice
in Dutch broadcasting. European Journal of Communication, 19(2), 215-237.

Вам также может понравиться