Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
E-mail: ridhotullahriki27@gmail.com
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Sejak tahun 1884, pertumbuhan peran televisi telah berkembang luas baik sebagai
teknologi maupun media (Nugroho dkk., 2012). Perkembangan industri pertelevisian di era
kapitalisme global yang berorientasikan pada bisnis pun semakin berkembang pada tahun 1960-
an yang berdampak pada terbangunnya jaringan media internasional di seluruh wilayah negara
(Ishadi, 2014). Sejarah industri pertelevisian di Indonesia sendiri dimulai pada 24 Agustus 1962
dimana TVRI pada saat itu menjadi televisi nasional pertama Indonesia menayangkan Upacara
Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-17 dan acara Asian Games yang
diselenggarakan di Jakarta (Ishadi, 2014).
Pada rentang tahun 1987 sampai dengan 1995, industri pertelevisian di Indonesia telah
berkembang sedemikian rupa sejak terjadinya gelombang pertama privatisasi yang dilakukan
beberapa stasiun televisi, yakni RCTI (1987), SCTV (1990), TPI (1990) –relaunched pada tahun 2010
dengan nama MNC TV–, ANTV (1993) dan Indosiar (1995) (Sudibyo dan Patria, 2013). Di awal era
reformasi, gelombang kedua privatisasi stasiun TV swasta nasional free-to-air semakin gencar
memasuki pasar (Ishadi, 2014), yaitu Metro TV (2000), Trans TV (2001), TV7 (2001) –relaunched pada
tahun 2006 dengan nama Trans 7–, Global TV (2001), dan Lativi (2002) –relaunched pada tahun
2008 dengan nama TV One– (Farre dan Fasani, 2013).
Hal ini berdampak pada persaingan bisnis antar stasiun TV yang semakin kompetitif dalam
meningkatkan rating TV dimana kesepuluh TV swasta nasional ini yang kemudian mendapat
kebebasan menyiarkan tayangan TV dengan pangsa pasar yang mencakup 95% dari total
keseluruhan pasar di industri pertelevisian Indonesia, dimana 5% sisanya dimiliki oleh stasiun TV
berbayar atau TV kabel, seperti Indovision (Nugroho dkk., 2012). Ditegaskan oleh Haryanto di
dalam Nugroho dkk. (2012) bahwa saat ini setiap stasiun TV saling bersaing untuk mengejar rating,
sensasionalisasi, dan komersialisasi. Semakin banyak jumlah khalayak yang menonton, maka
akan semakin tinggi rating yang akan didapatkan oleh stasiun TV (Mahardhika, 2011). Semakin
tinggi rating, maka akan semakin besar pula minat para pengiklan untuk bersedia bekerja sama
mensponsori sebuah program acara meskipun pihak stasiun TV menjualnya dengan harga yang
mahal (Nugroho dkk., 2012).
Data yang dihimpun oleh Nielsen Advertising Information Services (AIS) dalam artikel yang
dimuat di dalam majalah MIX Marketing Communications edisi 09/xiii/20 tahun 2016, menyajikan
sebuah fakta statistik dari aktivitas belanja iklan pada semester pertama di tahun 2016 yang
mengalami peningkatan positif dan tumbuh sebesar 18% menjadi Rp 67,7 triliun ($4,9 miliar)
dimana hal ini menjadikan dinamika persaingan TV begitu tinggi dan sengit yang dibuktikan
dengan data statistik dinamika perubahan posisi 10 TV swasta nasional berdasarkan rating dari
tahun 2010-2013 (Gambar 1). Fakta tersebut ditegaskan oleh Chen dkk., (2007) yang juga
berpendapat bahwa di dalam praktik dunia bisnis terdapat suatu fase jenuh atau statis dimana
hal ini akan berubah menjadi lebih dinamis jika terdapat persaingan antar perusahaan. Oleh
karena adanya persaingan yang terjadi, Chen dkk., (2007) lebih lanjut memberikan argumennya
bahwa setiap perusahaan memerlukan suatu alat analisa untuk memahami dan dapat
digunakan untuk memprediksi setiap apa yang dilakukan oleh para pesaingnya.
Gambar 1
Peringkat TV Berdasarkan Rating Periode 2010-2013
0
2010 2011 2012 2013
Performa Perusahaan
Hipotesa Penelitian
Di dalam menjalankan operasional bisnisnya, setiap perusahaan akan menggunakan
sumber daya yang berbeda dengan pesaingnya yang dimana sumber daya tersebut bernilai
vital bagi perusahaan dan ketersediannya cukup langka (Chen dkk., 2007). Salience
consideration merupakan tingkat atau derajat yang mengukur suatu jenis sumber daya yang
digunakan oleh rival lebih unggul dibandingkan dengan yang digunakan oleh perusahaan
dalam menjalankan operasional bisnisnya (Chen dkk., 2007; Tsai dkk., 2011). Pada penelitian ini,
peneliti menganalogikan tingkat salience consideration dengan mengukur tingkat jenis per
acara yang digunakan oleh rival dan juga digunakan oleh perusahaan utama di dalam
menayangkan setiap programnya.
Penggunaan sumber daya yang bernilai vital ini merupakan salah satu bentuk dari
keunggulan dan kepentingan strategi yang digunakan perusahaan agar tetap kompetitif
bersaing dengan para rivalnya (Chen dkk., 2007). Semakin sumber daya yang bernilai vital
tersebut banyak dan sama-sama digunakan, baik oleh perusahaan maupu rivalnya, maka
derajat salience akan semakin tinggi (Chen 1996). Semakin tinggi tingkat hubungan yang terjadi
antara perusahaan dengan rivalnya maka perusahaan akan semakin paham dengan
kemampuan pesaingnya yang dapat menjaga dan meningkatkan posisi perusahaan di pasar
persaingan (Tsai dkk., 2011). Dengan begitu, perusahaan secara terus-menerus akan
meningkatkan performanya dibanding rivalnya dengan mengetahui pola-pola strategi yang
digunakan oleh rivalnya di masa yang akan datang (Coughlan, 2015). Atas argumen tersebut,
hipotesa yang diajukan adalah sebgaai berikut.
H1: terdapat pengaruh antara pertimbangan keunggulan (salience consideration) pada
(a) film, (b) variety show, (c) berita, (d) olahraga, (e) acara lain, dan (f) reality show
terhadap performa perusahaan
Menurut Chen dkk. (2007) perusahaan dengan profil sumber daya yang sama memiliki
kapabilitas yang sebanding dan merupakan kompetitor satu sama lain, serta kompetitor yang
menggunakan strategi dan memiliki struktur organisasi yang serupa akan saling menyerang satu
sama lain. Oleh sebab itu, Chen dkk. (2007) menyimpulkan bahwa manajer dan stakeholder
perusahaan akan memandang setiap pesaingnya yang memiliki sumber daya yang serupa
sebagai pesaing langsung. Hal ini sesuai dengan argumen Chen (1996) yang menyatakan bahwa
semakin besar tingkat kesamaan sumber daya yang digunakan perusahaan dengan rivalnya,
semakin besar pula kemungkinan rival akan melakukan serangan balik terhadap perusahaan
pesaingnya.
Perusahaan yang memiliki tingkat similarity consideration yang tinggi mampu memprediksi
setiap tindakan dan respon yang dilakukan rivalnya di masa yang akan datang (Tsai dkk., 2011).
Hal tersebut dapat meningkatkan kapabilitas dan peluang perusahaan untuk dapat
mengalahkan pesaingnya serta memperbaiki sekaligus mengamankan posisi perusahaan di
pasar persaingan dengan meningkatkan performa perusahaan secara terus-menerus
(Coughlan, 2015). Atas argumen tersebut, hipotesa yang diajukan adalah sebgaai berikut.
Dimana, Dij adalah resource similarity dari dua perusahaan yang dibandingkan (Tsai dkk.,
2011). Sementara Aj adalah total jumlah keseluruhan program acara yang ditayangkan oleh TVb
di waktu prime time. Tinggi rendahnya derajat pertimbangan kesamaan ini menunjukkan
penggunaan program acara di setiap stasiun TV. Semakin mendekati 0 (nol) menggambarkan
Variabel Kontrol. Variabel kontrol yang digunakan dalam penelitian ini adalah hari,
minggu, dan grup afiliasi. Terdapat perbedaan preferensi dari penonton di dalam
mengalokasikan waktu untuk melihat program TV di waktu prime time dan selain prime time.
Seluruh variabel kontrol yang berhubungan dengan satuan waktu, dapat memengaruhi
preferensi dan jumlah pemirsa yang menonton TV di waktu prime time (Nugroho dkk., 2012).
Setiap variabel kontrol tersebut dikategorikan menggunakan nomor binari (binary number), yakni
0 (nol) dan 1 (satu), dengan 1 (satu) sebagai baseline. Sementara itu, grup afiliasi yang dijadikan
kontrol dibagi menjadi beberapa kelompok sesuai dengan lima grup perusahaan utama yang
menguasai kesepuluh TV swasta nasional free-to-air, yakni MNC Group, TransCorp atau CT Grup,
EMTE, Visi Media Asia atau VIVA, dan Media Grup, karena masing-masing grup memiliki beberapa
stasiun TV yang dimana setiap program yang ditayangkan oleh stasiun TV yang berada pada
grup yang sama memiliki acara dengan konten program yang cenderung sama (homogen)
sehingga hal ini juga dapat memengaruhi preferensi penonton di dalam menentukan program
acara di stasiun TV mana yang akan dilihat (Nugroho dkk., 2012).
ANALISIS
Berdasarkan data dari AGB Nielsen Media Research sepanjang tahun 2013 pada prime
time, terdapat empat TV stasiun yang program acaranya dibuat oleh rumah produksi domestik
(mencapai 85%), yakni RCTI, SCTV, Indosiar, dan MNC TV. Sementara untuk Trans 7, TV One, dan
Metro TV dominasi menggunakan rumah produksi in-house untuk membuat program acaranya
(sebesar 90%). Selama prime time pada periode tahun yang sama, jumlah kategori program yang
ditayangkan untuk film begitu mendominasi empat TV stasiun yang persentasenya mencapai
lebih dari 80%, yakni RCTI, SCTV, MNC TV, Global TV, dan Indosiar. Sementara itu, Trans TV dan
ANTV merupakan dua TV stasiun yang dalam menayangkan program-program acaranya
didominasi oleh kategori program variety show sebesar 70%. Untuk program-program yang
ditayangkan oleh Metro TV dan TV One didominasi oleh kateogri progam berita yang mencapai
angka 59%. Secara keseluruhan, film menempati urutan pertama dengan nilai 51,67%. Diikuti oleh
variety show diperingkat kedua sebesar 25,39%. Kemudian berturut-turut setelahnya adalah
program berita dengan 14,08%, olahraga dengan 4,09%, acara lain-lain sebesar 2,69% dan
terakhir adalah program reality show dengan persentase sebesar 2,08%.
Tabel 1
Hasil Analisa Uji Regresi
Berbeda dengan pertimbangan keunggulan untuk kategori program variety show, berita,
dan acara lain-lain yang memiliki pengaruh positif signifikan yang artinya semakin tinggi suatu
stasiun TV beranggapan bahwa program film merupakan program yang unggul untuk digunakan
di dalam bersaing dengan para rivalnya maka akan semakin tinggi juga performa perusahaan
di pasar. Sementara itu, untuk pertimbangan keunggulan pada kategori program olahraga dan
reality show memiliki pengaruh yang positif namun tidak signifikan terhadap rating TV. Hal ini
dikarenakan program acara olahraga dan reality show tidak terlalu banyak menghasilkan profit
sehingga membuat manajer di setiap stasiun TV tidak mengambil resiko dengan menjadikan
program olahraga dan reality show sebagai produk unggulan yang digunakan untuk bersaing
dengan rivalnya.
Hukum Hotelling (1929), Wurff (2004), Hollander dkk. (2009), dan Nugroho dkk. (2012)
menguatkan alasan mengapa program berita (β = -2,575), acara lain (β = -2,205), dan reality
show (β = -1,089) memiliki koefisien korelasi pertimbangan kesamaan yang negatif terhadap
performa perusahaan di pasar. Hal ini dikarenakan beberapa stasiun TV tidak mau mengambil
resiko lebih dengan menayangkan program-program yang kurang diminati oleh penonton
khususnya di waktu prime time. Terkecuali beberapa stasiun TV di Indonesia yang sejak awal
berfokus pada saluran ceruk (niche channel) dengan mengandalkan program-program yang
notabene menghasilkan rating yang rendah (Hollander dkk., 2009). Misalnya, dua stasiun TV yang
menggunakan program berita sebagai program utama, yakni Metro TV (59,69%) dan TV One
(63,29%). Untuk kategori program reality show, hanya Trans TV yang memiliki persentase terbesar
diantara 10 TV swasta nasional lainnya, angka persentasenya pun hanya mencapai 8,29%.
Selebihnya, persentase stasiun TV yang menayangkan program reality show menunjukkan angka
persentase di bawah 8% dari total keseluruhan program yang ditayangkan di waktu prime time.
Sementara untuk stasiun TV yang menayangkan kategori program acara lain-lain, praktis hanya
Metro TV (13,8%) dan ANTV (11,85%) saja yang memiliki besar persentase di atas 10%. Kedelapan
stasiun TV lainnya menunjukkan angka persentase di bawah 1% dan bahkan ada yang
menyentuh 0% (memutuskan untuk sama sekali tidak menayangkan program acara lain-lain),
seperti RCTI, MNC TV, Global TV, dan TV One. Nilai pertimbangan kesamaan dari hasil penelitian
untuk masing-masing kategori berita (2,575), acara lain-lain (2,205), dan reality show (1,089) juga
menunjukkan angka yang jauh dari 0 (nol). Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya
bahwa derajat pertimbangan kesamaan menggambarkan semakin angka yang didapat
menjauhi 0 (nol), maka semakin sedikit stasiun TV yang menggunakan suatu program acara
tersebut.
Berbeda dengan kategori program film (β = 0,825), variety show (β = 0,158), dan olahraga
(β = 0,621) yang memiliki nilai pertimbangan kesamaan mendekati 0 (nol) dan koefisien
korelasinya bernilai positif yang dimana memang ketiga kategori program ini merupakan
program-program yang paling sering dilihat oleh penonton (film 15,092 kali; variety show 7414 kali;
olahraga 1194 kali). Sesuai dengan teori Hotelling yang didukung dengan pendapat dari Wurff
(2004), Hollander dkk. (2009), serta Nugroho dkk. (2012), dikarenakan tingginya tingkat persaingan
dan dinamika yang ada di industri pertelevisian Indonesia maka setiap stasiun TV akan
mengunakan program-program yang banyak diminati oleh sebagian besar pasar dan bersifat
homogen. Data yang dikeluarkan AGB Nielsen Media Research tahun 2013 membuktikan bahwa
stasiun TV yang dominan dalam menggunakan program film, variety show, dan olahraga memiliki
performa perusahaan yang lebih baik ditunjukkan dengan pendapatan rata-rata rating setiap
stasiun TV. RCTI yang mengandalkan film (92,5%) berhasil menguasai pasar dengan rata-rata
rating 4,203. SCTV yang juga mengandalkan program film (92,95%) menempati posisi kedua
dengan rata-rata pendapatan rating sebesar 2,889. Menyusul di tempat ketiga adalah Trans TV
dengan rata-rata rating sebesar 2,516 menggunakan film (47,95%) dan variety show (42,74%)
sebagai program andalan. Kemudian berturut-turut setelahnya adalah MNC TV dengan rata-rata
rating 2,421 (91,47% menggunakan film), Trans 7 dengan rata-rata rating 2,350 (71,99%
menggunakan variety show), Indosiar dengan rata-rata rating 1,764 (81,51% menggunakan film),
ANTV dengan rata-rata rating 1,374 (61,64% menggunakan variety show), dan Global TV dengan
rata-rata rating 1,349 (92,19% menggunakan film). Adapun TV One dan Metro TV yang menarget
pasar ceruk dengan mengandalkan program berita berada pada posisi dua terbawah yakni
dengan rata-rata rating dibawah 1, masing-masing sebesar 0,887 dan 0,446.
Farré, L., & Fasani, F. 2013. Media exposure and internal migration—Evidence from Indonesia.
Journal of Development Economics, 102, 48-61.
Hitt, Michael A., R. Duane Ireland, Robert E. Hoskisson. 2016. Strategic Management:
Competitiveness & Globalization: Concepts and Cases. Edisi ke-12. New York: Cengage
Learning.
Hollander, E., d'Haenens, L., & Bardoel, J. 2009. Television performance in Indonesia: steering
between civil society, state and market. Asian Journal of Communication, 19(1), 39-58.
Hutt, Michael D. dan Thomas W. Speh. 2013. Business Marketing Management: A Strategic View
of Industrial and Organizational Markets. Edisi ke-11. Ohio: Cengage Learning
Ishadi SK. 2014. Media dan Kekuasaan: Televisi di Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Jakarta:
Kompas.
Khessina, O. M., & Reis, S. 2016. The Limits of Reflected Glory: The Beneficial and Harmful Effects of
Product Name Similarity in the US Network TV Program Industry, 1944–2003. Organization
Science, 27(2), 411-427.
Koetler, Philip dan Kevin Lane Keller. 2016. Marketing Management. Edisi ke-15. Inggris: Pearson.
Sukoco, Badri Munir. 2015. Teori Manajemen Strategi: Evolusi dan Evaluasi. Surabaya: Airlangga
University Press
Tsai, W., Su, K. H., & Chen, M. J. 2011. Seeing through the eyes of a rival: Competitor acumen based
on rival-centric perceptions. Academy of Management Journal, 54(4), 761-778.
Van der Wurff, R. 2004. Supplying and viewing diversity: The role of competition and viewer choice
in Dutch broadcasting. European Journal of Communication, 19(2), 215-237.