Вы находитесь на странице: 1из 44

7

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh

orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang

Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan

digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat.

Pajak bersifat dinamis dan mengikuti perkembangan kehidupan

ekonomi dan sosial sehingga menuntut adanya perbaikan baik secara

sistematis maupun operasional. Perbaikan sistem perpajakan berupa

penyempurnaan kebijakan dan sistem administrasi perpajakan

diharapkan dapat mengoptimalkan potensi perpajakan yang tersedia

dengan menjunjung asas keadilan sosial. Salah satu upaya perbaikan

sistem perpajakan di Indonesia adalah dengan disahkannya Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang merupakan perubahan keempat

dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008 ini disahkan pada tanggal 23

September 2008 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 2009. Target

penerimaan pajak yang setiap tahunnya mengalami peningkatan tentu

harus dibarengi upaya ataupun strategi yang harus ditempuh negara

dalam hal ini Dirjen Pajak. Salah satu upaya peningkatan penerimaan

pajak yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Dirjen Pajak adalah

peningkatan jumlah wajib pajak.


8

Pengesahan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentunya

akan menimbulkan reaksi yang beragam dari masyarakat, terutama yang

terdaftar sebagai Wajib Pajak, baik Wajib Pajak Orang Pribadi maupun

Wajib Pajak Badan. Selain itu, salah satu kebijakan pemerintah yang

menjadi pro dan kontra saat ini adalah kebijakan pajak bagi Usaha Mikro

Kecil dan Menengah (UMKM) sebesar 1% dari omzet. Tujuan daripada

kebijakan pemerintah ini adalah untuk memberikan kemudahan kepada

Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang memiliki peredaran bruto

tertentu, dan perlunya memberikan perlakuan tersendiri ketentuan

mengenai perhitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan

yang terutang.

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 46

Tahun 2013 tentang pajak UMKM, yang substansinya adalah pungutan

pajak sebesar 1% dari omzet tidak lebih dari 4,8 milliar pertahun

terhadap Wajib Pajak orang pribadi maupun badan, yang berlaku mulai 1

Juli 2013. Penerbitan aturan ini diharapkan dapat meningkatkan

kepatuhan Wajib Pajak sehingga penerimaan Pajak Penghasilan menjadi

meningkat karena adanya kemudahan administrasi bagi wajib pajak

dalam menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri Pajak

Penghasilannya.

Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ini yang

diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak bisa jadi tidak terjadi

sebagaimana yang diharapkan oleh pemerintah. Darinya itu, penulis ingin


9

melihat apakah penerapan peraturan ini lebih efisien daripada sebelum

ditetapkannya aturan ini dengan membandingkan jumlah penerimaan

pajak penghasilan sebelum dan setelah penerapan aturan ini. Selain itu,

Tidak dipungkiri bahwa hingga kini masih banyak sektor UMKM yang

belum menjadi wajib pajak. Padahal dari sisi pendapatan seharusnya

sudah layak menjadi objek pajak. Fuad Rahmani dalam Majalah

Akuntansi Indonesia (2013) menyatakan bahwa kebijakan ini sebagai

bentuk keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia, karena pajak bicara

keadilan.

Terdapat potensi ketidakadilan dalam penerapan aturan ini

karena marjin UMKM yang berbeda-beda. Sebuah ilustrasi, realitanya

sejumlah pengusaha kena pajak dari berbagai sektor mungkin akan

senang menyambut lahirnya kebijakan ini. Betapa tidak, dengan marjin

keuntungan yang bisa dicapai 50 persen, mereka cukup mengeluarkan

pajak sebesar 1 persen saja. Disisi lain, ketika omzet sudah mendekati

4,8 miliar setahun seperti yang disyaratkan kebijakan ini, terbuka

kemungkinan pelaku UMKM mensplit entitas usahanya agar tetap dikenai

pajak 1 persen. Sementara di sektor lain, sejumlah pengusaha kecil

bermarjin laba lebih rendah justru kelimpungan. Mereka bisa saja

berpikir bahwa penerapan aturan ini tidak adil bagi mereka karena tarif

yang dikenakan atas marjin mereka sama dengan tarif yang dikenakan

atas pengusaha UMKM lainnya yang mungkin marjinnya mencapai 50

persen. Dari situ, kesadaraan wajib pajak akan menurun dalam


10

melaksanakan kewajiban perpajakannya dan akan menyebabkan

penerimaan pajak akan menurun. Padahal penerapan peraturan ini

diharapkan dapat meningkatkan pendapatan negara dengan berbagai

kebijakan dalam kemudahan administrasi bagi Wajib Pajak demi

meningkatkan kepatuhan dan jumlah pengusaha kena pajak.

Oleh karena itu, berdasarkan uraian dan fenomena yang telah

diuraikan di atas maka penulis mencoba untuk melihat “Analisis

Perbandingan Penerimaan Pajak Pengasilan Sebelum dan Setelah

Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dan

Pengaruhnya Terdadap Penerimaan Pajak Penghasilan Sektor UMKM

pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Makassar Utara”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan

sebelumnya, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah:

1. Apakah terdapat perbedaan jumlah penerimaan Pajak

Penghasilan sebelum dan setelah penerapan Peraturan

Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 pada Kantor Pelayanan Pajak

Pratama Makassar Utara?

2. Bagaimana pengaruh penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46

Tahun 2013 terhadap penerimaan Pajak Penghasilan sektor

UMKM pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Makassar Utara?


11

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya,

maka yang menjadi tujuan penelitian dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan jumlah penerimaan

Pajak Penghasilan sebelum dan setelah penerapan Peraturan

Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 pada Kantor Pelayanan Pajak

Pratama Makassar Utara.

2. Untuk mengetahui pengaruh penerapan Peraturan Pemerintah

Nomor 46 Tahun 2013 terhadap penerimaan Pajak Penghasilan

sektor UMKM pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Makassar

Utara.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang diuraikan sebelumnya, maka

manfaat dari hasil penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

a) Memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan

ilmu perpajakan, khususnya terkait dengan penerimaan Pajak

Penghasilan.

b) Sebagai masukan dan bahan referensi tambahan serta

menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca yang

tertarik untuk mendalami topik yang diangkat oleh penulis dalam

penelitian ini.
12

2. Manfaat Operasional

Penulis berharap dapat memberikan bahan pertimbangan bagi

pemerintah dalam penerapan peraturan tersebut sekiranya

pemberlakuan peraturan ini dapat meningkatkan penerimaan Pajak

Penghasilan.
13

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoritis

1. Defenisi Pajak

Pajak sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang

Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan

digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.

Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. dalam Mardiasmo

(2011:1), Pajak adalah iuran rakyar kepada kas negara berdasarkan

Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat

jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan dan yang

digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

2. Pajak Penghasilan (PPh)

Pajak penghasilan diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1984 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor

36 Tahun 2008. Pajak penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak

atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.

Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau

memperoleh penghasilan.
14

Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan,

dalam Undang-Undang ini disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai

pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu

tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam

bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau

berakhir dalam tahun pajak. Tahun pajak dalam Undang-Undang ini

adalah tahun kalender, tetapi Wajib Pajak dapat menggunakan tahun

buku yang tidak sama dengan tahun kalender, sepanjang tahun buku

tersebut meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan.

a. Subjek Pajak Penghasilan

Yang menjadi subjek pajak dalam pajak penghasilan adalah

(Pasal 2 ayat 1):

1) Orang pribadi;

2) Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan,

menggantikan yang berhak;

3) Badan;

4) Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Dalam pasal 2 ayat (2) UU PPh subjek pajak dibedakan

menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.

Yang dimaksud dengan subjek pajak dalam negeri adalah :

1) Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang

pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus

delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)


15

bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada

di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di

Indonesia.

2) Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia,

kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi

kriteria:

a) Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan

perundang- undangan;

b) Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah;

c) Penerimaanya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah

Pusat atau Pemerintah Daerah;

d) Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan

fungsional negara.

3) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan,

menggantikan yang berhak.

Sedangkan yang dimaksud dengan subjek pajak luar negeri adalah:

1) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau

berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh

tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan

yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia

yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui


16

bentuk usaha tetap di Indonesia.

2) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau

berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh

tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan

yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia

yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari

Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan

kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Dalam pasal 3 UU PPh disebutkan bahwa yang tidak termasuk

subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:

1) kantor perwakilan negara asing;

2) pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau

pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang

diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan

bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan

warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau

memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya

tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan

timbal balik;

3) organisasi-organisasi internasional dengan syarat:

a) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan

b) tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk

memperoleh penghasilan dari Indonesia selain


17

memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya

berasal dari iuran para anggota;

4) pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional

sebagaimana dimaksud pada poin 3), dengan syarat bukan

warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha,

kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan

dari Indonesia.

b. Objek Pajak Penghasilan

Dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh disebutkan bahwa yang

menjadi objek pajak penghasilan adalah penghasilan yaitu Setiap

tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh

wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar

Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk

menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan

nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:

1) Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan

atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji,

upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang

pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali

ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;

2) Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan

penghargaan;

3) Laba usaha;
18

4) Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan

harta termasuk:

a) Keuntungan karena pengalihan harta kepada

perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai

pengganti saham atau penyertaan modal;

b) Keuntungan karena pengalihan harta kepada

pemegang saham, sekutu, atau anggota yang

diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan

lainnya;

c) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan,

peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan

usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam

bentuk apa pun;

d) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah,

bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan

kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan

lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan

pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi,

atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro

dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut

dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak

ada hubungan dengan usaha pekerjaan, kepemilikan,

atau penguasaan di antara pihak-pihak yang


19

bersangkutan; dan

e) Keuntungan karena penjualan atau pengalihan

sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda

turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan

dalam usaha pertambangan.

5) Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah

dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan

pengembalian pajak;

6) Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena

jaminan pengembalian uang;

7) Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun,

termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada

pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

8) Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;

9) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan

harta;

10) Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

11) Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai

dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan

pemerintah;

12) Keuntungan selisih kurs mata uang asing;

13) Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

14) Premi asuransi;


20

15) Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari

anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan

usaha atau pekerjaan bebas;

16) Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan

yang belum dikenakan pajak;

17) Penghasilan dari usaha berbasis syariah;

18) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata

cara perpajakan;

19) Surplus Bank Indonesia.

Dalam pasal 4 ayat 2 UU No. 36 Tahun 2008 disebutkan

bahwa penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:

1) Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya,

bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan

yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang

pribadi;

2) Penghasilan berupa hadiah undian;

3) Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya,

transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi

penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada

perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan

modal ventura;
21

4) Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah

dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate,

dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan

5) Penghasilan tertentu lainnya, ang diatur dengan atau

berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan adalah (Pasal 4

ayat 3 UU PPh) :

1) a) Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima

oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk

atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh

penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan

yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di

Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang

dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima

oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya

diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan

b) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam

garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan

pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau

orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang

ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan

Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan


22

usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara

pihak-pihak yang bersangkutan;

2) Warisan;

3) Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b

sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan

modal;

4) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan

atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura

dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah,

kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak

yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang

menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit)

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;

5) Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi

sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi

kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi

bea siswa;

6) Dividen atau bagian laba yang diterima atau

diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak

dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara,

atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan


23

modal pada badan usaha yang didirikan dan

bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:

a) Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;

dan

b) Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik

negara dan badan usaha milik daerah yang

menerima dividen, kepemilikan saham pada

badan yang memberikan dividen paling rendah

25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal

yang disetor;

7) Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun

yang pendiriannya telah disahkan Menteri

Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja

maupun pegawai;

8) Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana

pensiun sebagaimana dimaksud pada poin 7), dalam

bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan

Keputusan Menteri Keuangan;

9) Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota

dari perseroan komanditer yang modalnya tidak

terbagi atas saham-saham, persekutuan,

perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang

unit penyertaan kontrak investasi kolektif;


24

10) Penghasilan yang diterima atau diperoleh

perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari

badan pasangan usaha yang didirikan dan

menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia,

dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:

a) Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah,

atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-

sektor usaha yang diatur dengan atau

berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan

b) Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di

Indonesia;

11) Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang

ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau

berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

12) Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau

lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang

pendidikan dan/atau bidang penelitian dan

pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi

yang membidanginya, yang ditanamkan kembali

dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan

pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan,

dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun

sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang


25

ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau

berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan

13) Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak

tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut

dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri

Keuangan.

c. Tarif Pajak Penghasilan

Tarif pajak didefinisikan sebagai tarif yang digunakan untuk

menghitung besarnya pajak yang harus dibayar dan biasanya

merupakan presentase untuk diterapkan atas penghasilan neto.

Ada 4 macam tarif pajak, yaitu:

1) Tarif sebanding/proporsional

Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun

jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang

terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai

pajak.

Contoh:

Untuk penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah

pabean akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar

10%.

2) Tarif tetap

Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun


26

jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang

terutang tetap.

Contoh:

Besarnya tarif Bea Materai untuk cek dan bilyet giro dengan

nilai nominal berapapun adalah Rp 6.000,00.

3) Tarif progresif

Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah

yang dikenai pajak semakin besar.

4) Tarif degresif

Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah

yang dikenai pajak semakin besar.

Dalam hubungannya dengan Pajak Penghasilan sebagaimana

diatur dalam UU PPh maka tarif yang diterapkan adalah tarif

progresif sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat (1) UU PPh.

Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:

1) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai

berikut:

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

Sampai dengan Rp 50.000.000.00 (lima puluh 5% (lima

juta rupiah) persen)

Di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta 15% (lima

rupiah) s.d. Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima belas

puluh juta rupiah) persen)


27

Di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima 25% (dua

puluh juta rupiah) s.d. Rp 500.000.000,00 puluh lima

(lima ratus juta rupiah) persen)

30% (tiga
Di atas Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
puluh
rupiah)
persen)

2) Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap

adalah sebesar 28% (dua puluh delapan persen).

Dalam pasal 17 ayat (2a) UU PPh, tarif PPh untuk wajib

pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sejak

tahun 2010 tarif tunggalnya berubah menjadi 25% (dua puluh

lima persen).

3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013

Materi pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini

mengenai pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan

penetapan besarnya tarif pajak terhadap penghasilan dari usaha

yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran

bruto tertentu. Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final

tersebut ditetapkan berdasarkan pada pertimbangan perlunya

kesederhanaan dalam pemungutan pajak, berkurangnya beban

administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal

Pajak, serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter.


28

Tujuan pengaturan ini adalah untuk memberikan kemudahan

kepada Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan

dari usaha yang memiliki peredaran bruto tertentu, untuk melakukan

penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan yang

terutang. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 mulai berlaku

pada 1 Juli 2013.

Pasal 2 ayat (2) dalam PP No. 46 Tahun 2013 disebutkan bahwa

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah Wajib

Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak

termasuk bentuk usaha tetap; dan

b. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan

dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan

peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat

miliar delapan ratus juta rupiah).

Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi dalam Peraturan

Pemerintah ini adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan

kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:

a. Menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar

pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan

b. Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan

umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau

berjualan.
29

Tidak termasuk Wajib Pajak badan dalam Peraturan Pemerintah ini

adalah:

a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial;

atau

b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu satu tahun setelah

beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto

melebihi Rp 4.800.000.00,00 (empat miliar delapan ratus

rupiah).

Pasal 3 dalam PP No. 46 Tahun 2013 disebutkan bahwa

besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah 1%.

Pengenaan Pajak Penghasilannya pada peredaran bruto dari usaha

dalam satu tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak

yang bersangkutan. Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib

Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp 4.800.000.000,00

(empat miliar depalan ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak,

Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final

ini sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan. Dalam

hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp

4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada

suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh

Wajib Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan

ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final


30

berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan menyelenggarakan

pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan

penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat

final dengan ketentuan sebagai berikut (Pasal 8 PP No. 46 Tahun

2013):

a. Kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak

berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;

b. Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat

final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetap diperhitungkan

sebagai bagian dari jangka waktu sebagaiman dimaksud pada

huruf a;

c. Kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak

Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan

Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak

berikutnya.

4. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)

a. Pengertian Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)

Pengertian mengenai Usaha Mikro Kecil dan Menengah dalam

UU No. 20 Tahun 2008 (Pasal 1) adalah sebegai berikut:

1) Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan

dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria

Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

ini.
31

2) Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri

sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan

usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan

cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi

bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha

Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha

Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

3) Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang

berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau

badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau

cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi

bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan

Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan

bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang ini.

b. Asas dan Tujuan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah berasaskan (Pasal 2 UU No.

20 Tahun 2008) :

1) kekeluargaan;

2) demokrasi ekonomi;

3) kebersamaan;

4) efisiensi berkeadilan;

5) berkelanjutan;
32

6) berwawasan lingkungan;

7) kemandirian;

8) keseimbangan kemajuan; dan

9) kesatuan ekonomi nasional.

Dalam Pasal 3 Undang-Undang ini disebutkan bahwa Usaha

Mikro, Kecil, dan Menengah bertujuan menumbuhkan dan

mengembangkan usahanya dalam rangka membangun

perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang

berkeadilan.

B. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46

Tahun 2013 telah dilakukan sebelumnya oleh beberapa peneliti, salah

satunya yang menjadi acuan penulis dalam menyusun tulisan ini adalah

penelitian yang dilakukan oleh I Putu Gede Ganesha dengan judul

penelitian yaitu “ Penerapan Akuntansi Pajak Atas PP No. 46 Tahun

2013 Tentang PPh Atas Penghasilan Dari Usaha Wajib Pajak Yang

Memiliki Peredaran Bruto Tertentu”. Penelitian ini dilakukan pada Tahun

2013 dengan hasil penelitian bahwa dari hasil perhitungan yang

dilakukan oleh penulis menunjukkan bahwa sebenarnya kebijakan ini

menguntungkan wajib pajak yang tergolong usaha mikro dan menengah.

Secara nominal hampir pendapatan Negara berkurang sebesar 50%

kalau semua perusahaan yang mempunyai peredaran bruto usaha

dibawah 4,8 Milyar menerapkan tarif 1% yang bersifat final ini.


33

Sehubungan dengan penelitian yang ingin dilaksanakan oleh

penulis, penulis mengacuh pada penetilian yang dilakukan oleh Irma

Nurmayanti yang berjudul “Analisis Perbandingan Penerimaan Pajak

Penghasilan Sebelum dan Sesudah Perubahan Tarif Tunggal Dan

Pengaruhnya Terhadap Pajak Penghasilan Terutang (Studi Kasus Wajib

Pajak Badan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kota Tasikmalaya)”.

Penelitian tersebut dilaksanakan pada tahun 2012 dengan hasil

penelitian yaitu Penerimaan pajak penghasilan sebelum dan sesudah

penerapan tarif tunggal terdapat perbedaan yang cukup signifikan dan

pencapaian peningkatan penerimaan pajak penghasilan sesudah tarif

tunggal meningkat walaupun belum mencapai hasil yang optimal.

Penerimaan pajak penghasilan berpengaruh terhadap pajak

penghasilan terutang, dimana apabila nilai penerimaan pajak

penghasilan meningkat maka akan diikuti dengan peningkatan pajak

terutang, begitu pula sebaliknya.

C. Kerangka Pikir

Pada 1 Juli 2013 Pemerintah mengeluarkan peraturan baru di

bidang perpajakan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013

tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima

atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.

Penerapan Peraturan ini akan mempengaruhi penerimaan pajak

penghasilan khususnya sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah.

Sebelum penerapan peraturan ini, Wajib Pajak menghitung jumlah pajak


34

terutang berdasarkan tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan

Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Dari sini kita dapat membandingkan jumlah penerimaan Pajak

Penghasilan sebelum dan setelah penerapan Peraturan Pemerintah

Nomor 46 Tahun 2013 dan melihat yang mana yang lebih besar

pengaruhnya terhadap penerimaan Pajak Penghasilan, apakah sebelum

diberlakukannya peraturan ini atau setelah berlakunya Peraturan

Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Jadi, kita dapat melihat apakah

dengan diterapkannya aturan ini penerimaan Pajak Penghasilan menjadi

lebih besar.

Berdasarkan uraian diatas, maka kerangka pikir yang disusun

oleh penulis adalah sebagai berikut:

Gambar 2.1

Kerangka Pikir

Penerimaan Pajak
Penghasilan Sebelum
Penerapan Peraturan
Pemerintah Nomor 46
Tahun 2013

Penerimaan Pajak
Penghasilan Setelah Penerimaan Pajak
Penerapan Peraturan Penghasilan
Pemerintah Nomor 46
Tahun 2013
35

D. Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara tentang rumusan masalah

penelitian yang belum dibuktikan kebenarannya.

Berdasarkan kerangka pikir diatas, maka penulis dapat mengajukan

hipotesis bahwa:

1. Terdapat perbedaan penerimaan Pajak Penghasilan sebelum dan

setelah penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.

2. Terdapat pengaruh penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46

Tahun 2013 terhadap penerimaan Pajak Penghasilan.


36

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan untuk menguji analisis

perbandingan penerimaan pajak penghasilan sebelum dan setelah

penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dan

pengaruhnya terhadap penerimaan pajak penghasilan sektor Usaha

Mikro Kecil dan Menengah adalah penelitian kuantitatif. Penelitian

kuantitatif adalah suatu penelitian yang menggunakan pendekatan

deduktif-induktif (umum-khusus), dimana pendekatan ini berawal dari

suatu kerangka teori, gagasan para ahli, ataupun pemahaman peneliti

berdasarkan pengalamannya, yang selanjutnya dikembangkan menjadi

permasalahan-permasalahan dan pemecahan-pemecahan yang diajukan

untuk memperoleh pembenaran (verifikasi) dalam bentuk dukungan data

empiris di lapangan.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode penelitian komparatif. Metode penelitian komparatif adalah suatu

penelitian yang bersifat membandingkan (Sugiyono, 2011:11).

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian atas analisis perbandingan penerimaan Pajak

Pengahasilan sebelum dan setelah penerapan Peraturan Pemerintah

Nomor 46 Tahun 2013 dilaksanakan di Kantor Pelayanan Pajak


37

Pratama Makassar Utara Jl. Urip Sumoharjo Km 4, Gedung

Keuangan Negara 1.

2. Waktu Penelitian

Penelitian atas analisis perbandingan penerimaan Pajak

Pengahasilan sebelum dan setelah penerapan Peraturan Pemerintah

Nomor 46 Tahun 2013 dilaksanakan pada bulan Maret 2015 s/d April

2015.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah objek atau subjek yang berada dalam suatu

wilayah dan mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti.

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penerimaan pajak penghasilan sebelum penerapan Peraturan

pemerintah Nomor 46 tahun 2013 (Tahun 2012 s.d Juni 2013) dan

penerimaan Pajak Penghasilan setelah berlakunya Peraturan

Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 (Juli 2013 s.d Desember 2014).

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang mempunyai ciri-ciri

atau keadaan tertentu yang akan diteliti.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah penerimaan

Pajak Penghasilan sebelum penerapan Peraturan Pemerintah Nomor

46 tahun 2013 (Tahun 2012 s.d Juni 2013) dan penerimaan pajak
38

penghasilan setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46

Tahun 2013 (Juli 2013 s.d Desember 2014).

D. Metode Pengumpulan Data

1. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

kuantitatif. Data kuantitatif adalah data yang dinyatakan dalam bentuk

angka.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data

sekunder adalah data yang diperoleh dalam bentuk jadi dan telah

diolah oleh pihak lain, biasanya dalam bentuk publikasi.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu

melalui:

a. Observasi (Pengamatan)

Observasi adalah melakukan pengamatan secara langsung ke

objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan.

b. Dokumentasi

Dokumentasi adalah ditujukan untuk memperoleh data langsung

dari tempat penelitian, meliputi buku-buku yang relevan,

peraturan-peraturan, laporan kegiatan, foto-foto, film dokumenter,

dan data lain yang relevan dengan penelitian.


39

E. Defenisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Dalam penelitian yang dilakukan penulis mengungkapkan adanya

beberapa variabel sebagai objek penelitian, adapun variabel tersebut

terdiri dari :

1. Variabel bebas (independent variabel)

Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang

menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat

(dependent variabel). Dalam penelitian ini, yang menjadi variabel

bebas adalah:

Variabel (X1) : Penerimaan Pajak Penghasilan sebelum penerapan

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.

Variabel (X2) : Penerimaan Pajak Penghasilan setelah penerapan

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.

2. Variabel terikat (dependent variabel)

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang

menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Dalam penelitian ini,

yang menjadi variabel terikat adalah penerimaan Pajak Penghasilan.

Tabel dibawah ini menjelaskan operasionalisasi variabel yang

dilakukan penulis, sebagai berikut:


40

Tabel 3.1

Operasionalisasi

Variabel

Variabel Konsep Indikator Skala

Penerimaan Jumlah
Penerimaan
Pajak penerimaan
Pajak
Penghasilan Pajak
Penghasilan
sebelum Penghasilan
Sebelum
penerapan PP sebelum
Penerapan PP
No. 46 Tahun penerapan PP
No. 46 Tahun
2013 yaitu NO. 46 Tahun
2013 (X1)
penerimaan pajak 2013 Rasio

penghasilan yang

menggunakan

tarif Pajak

Penghasilan

berdasarkan

ketentuan

Undang-Undang

Pajak

Penghasilan.

Penerimaan Penerimaan Jumlah

Pajak Pajak penerimaan


41

Penghasilan Penghasilan Pajak

Setelah setelah Penghasilan

Penerapan PP penerapan PP setelah

No.46 Tahun No. 46 Tahun penerapan PP Rasio

2013 (x2) 2013 yaitu No. 46 Tahun

penerimaan 2013

Pajak

Penghasilan yang

menggunakan

tarif berdasarkan

ketentuan dalam

PP No. 46 Tahun

2013 yaitu

sebesar 1% dari

peredaran bruto

yang bersifat

final.

Penerimaan Pajak 1. Tarif PPh

Pajak Penghasilan 2. Subjek

Penghasilan (Y) dikenakan dan Rasio

terhadap subjek Objek

pajak atas PPh

penghasilan yang 3. Dasar


42

diterima atau Pengena

diperolehnya an Pajak

dalam tahun

pajak.

F. Metode Analisis

1. Menghitung dan membandingkan dua mean

Pengujian hipotesis pertama dilakukan dengan menggunakan

statistik uji t untuk membedakan dua mean yaitu untuk mengetahui

ada tidaknya perbedaan penerimaan Pajak Penghasilan sebelum dan

sesudah penerapan tarif tunggal. Adapun tahapannya sebagai

berikut:

a. Hipotesis Operasional

Ho : Tidak terdapat perbedaan penerimaan pajak penghasilan

sebelum dan setelah penerapan Peraturan Pemerintah

Nomor 46 Tahun 2013.

Ha : terdapat perbedaan penerimaan pajak penghasilan sebelum

dan setelah penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46

Tahun 2013.

b. Rata-rata besarnya penerimaan pajak penghasilan dari masing-

masing sampel dengan menggunakan rumus sebagai berikut:


43

(Hasan, Muh.Iqbal, 2001:235)

Keterangan:

= rata-rata hitung

xi = nilai sampel ke-i

n = jumlah sampel

Untuk menghitung nilai yaitu untuk menguji signifikan dalam

pengambilan kesimpulan, digunakan rumus sebagai berikut:

(Sugiyono, 2011:145)

Keterangan:

t = Rata-rata besarnya penerimaan Pajak Penghasilan sebelum

dan setelah penerapan PP No. 46 tahun 2013

1= rata-rata berarnya penerimaan Pajak Penghasilan sebelum

penerapan PP No. 46 tahun 2013

2= rata-rata berarnya penerimaan Pajak Penghasilan setelah

penerapan PP No. 46 tahun 2013

n1 = ukuran sampel 1,5 tahun

n2 = ukuran sampel 1,5 tahun


44

Sx1x2 = Simpangan baku

Untuk menghitungan simpangan baku gabungan antara penerimaan

Pajak Penghasilan sebelum dan setelah penerapan PP No. 46

Tahun 2013 adalah :

(Sugiyono, 2011:145)

Keterangan:

Sx1 = simpangan baku berdasarkan hasil penerimaan Pajak

Penghasilan sebelum penerapan PP No. 46 Tahun 2013

Sx2 = simpangan baku berdasarkan hasil penerimaan Pajak

Penghasilan setelah penerapan PP No. 46 Tahun 2013

c. Tingkat signifikan yang digunakan

Tingkat keyakinan dalam penelitian ini ditentukan sebesar 0,95

dengan tingkat kesalahan yang ditolelir atau alpha sebesar 0,05.

Penentuan alpha sebesar 0,05 merujuk kepada kelaziman yang

digunakan secara umum dalam penelitian ilmu sosial, yang

dapat digunakan sebagai kriteria dalam pengujian signifikansi

hipotesis penelitian.

d. Kaidah keputusan

Diterima Ho jika - t ½ ≤ t ≤ ½ α, df = n1 + n2 – 2

Ditolak Ho jika t < - t ½ α atau t > ½ α, df = n1 + n2 – 2


45

e. Penarikan Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pengujian hipotesis ditarik

kesimpulan apakah hipotesis yang telah ditetapkan itu diterima

atau ditolak.

2. Analisis Korelasi Linier Sederhana

r= nΣxy – (Σx) (Σy)

. √{nΣx² – (Σx)²} {nΣy2 – (Σy)2}

(Hasan, Muh.Iqbal, 2001:235)

Keterangan:

n = ukuran sampel

r = koefisien korelasi antara variabel X dan Y

X = Penerimaan pajak sebelum dan setelah penerapan PP No. 46

Tahun 2013

Y = Penerimaan Pajak Penghasilan

Alat analisis ini digunakan untuk mengetahui besarnya korelasi

antara penerimaan pajak penghasilan (X) dengan pajak penghasilan

terutang (Y).

Untuk dapat memberikan penafsiran terhadap koefisien korelasi

yang diperoleh dari hasil perhitungan tersebut, maka dapat

dilihat pada ketentuan sebagai berikut :


46

Tabel 3.2

Pedoman Untuk Memberikan

Interpretasi koefisien korelasi

Interval Koefisien Tingkat Hubungan


0,00 – 0,199 Sangat rendah
1,20 – 0,399 Rendah
0,40 – 0,599 Sedang
0,60 – 0,799 Kuat
0,80 – 1,000 Sangat kuat
Sumber: Sugiyono (2013 : 250)

3. Analisis Koefisien Determinasi

Analisis ini merupakan pengkuadratan dari nilai korelasi (𝑟2 ). Alat

analisis ini digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh

penerapan PP No. 46 tahun 2013 terhadap penerimaan pajak

penghasilan.

Rumus yang digunakan sebagai berikut :


2
Kd = 𝑟 x 100% (Sugiyono, 2006:210)

Keterangan :

Kd = Koefisien Determinasi
2
𝑟 = koefisien korelasi yang dikuadratkan.

Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara X dan Y, maka

dilakukan uji hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut :

a. Uji hipotesis

Ho : Tidak terdapat pengaruh penerapan Peraturan Pemerintah

Nomor 46 tahun 2013 terhadap penerimaan Pajak


47

Penghasilan.

Ha : Terdapat pengaruh penerapan Peraturan Pemerintah

Nomor 46 tahun 2013 terhadap penerimaan Pajak

Penghasilan.

b. Penetapan tingkat signifikansi

Tarif signifikansi (𝛼) yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebesar 5% ini berarti kemungkinan kebenaran hasil penarikan

kesimpulan mempunyai probabilitas 95% atau toleransi kekeliruan

adalah 5%. Taraf signifikan tersebut adalah tingkat yang umum

digunakan dalam penelitian sosial, karena dianggap cukup ketat

untuk mewakili antar variabel yang akan diteliti.

c. Uji signifikansi

Untuk mengetahui signifikan atau tidaknya pengaruh variabel X

terhadap Variabel Y digunakan uji t, dengan rumus sebagai

berikut:

𝑟 √𝑛−2
t=
√1−𝑟 2

(sugiyono, 2013:250)

Keterangan:

t= Statistik uji t

r= Nilai koefisien korelasi


48

n= Ukuran sampel

d. Kriteria Pengujian Hipotesis :

Terima Ho jika -t ½ ∝ ≤ thitung ≤ t ½ ∝

Tolak Ho jika -t ½ ∝ > thitung atau t ½ ∝ < thitung

e. Penarikan kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian seperti tahapan diatas

maka akan dilakukan analisis secara kuantitatif. Dari hasil analisis

tersebut akan ditarik kesimpulan apakah hipotesis yang ditetapkan

dapat diterima atau ditolak.


49
50

Вам также может понравиться