Вы находитесь на странице: 1из 26

A.

Analisis Masalah
1. Dokter Shanty, seorang dokter IGD yang berpraktek di Rumah Sakit Bhayangkara
Palembang, menerima pasien anak laki-laki usia 4 tahun yang mengalami tanda-tanda
kekerasan pada tubuhnya. Pasien datang bersama pembantu rumah tangga sebab orang
tuanya lagi keluar kota.
a. Apa saja yang harus dilakukan dokter IGD saat menerima pasien dengan tanda-
tanda kekerasan seperti pada kasus?

1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan auto dan hetero anamnesis. Auto anamnesis dilakukan
setelah terjalin hubungan yang akrab dan saling percaya antara pewawancara dan
korban dengan menggunakan alat bantu seperti: boneka, alat tulis dan buku gambar.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam anamnesis adalah anamnesis diperoleh secara
cermat baik dari pengantar maupun korban dengan menggunakan ruang tersendiri dan
harus dijamin kerahasiaannya.
Bila dijumpai satu atau lebih indikator pada anamnesis, dapat dipikirkan adanya
kekerasan pada anak, yaitu:
a. Riwayat kecelakaan tidak cocok dengan jenis atau beratnya trauma. Misalnya
distribusi atau jenis lesi tidak sesuai dengan riwayat kejadian yang diceritakan atau
riwayat kejadian menyatakan trauma ringan tetapi dijumpai trauma yang berat.
b. Riwayat bagaimana kecelakaan terjadi tidak jelas atau pengasuh (orang tua) tidak
tahu bagaimana terjadinya kecelakaan
c. Riwayat kecelakaan berubah-ubah ketika diceritakan kepada petugas kesehatan
yang berlainan.
d. Orang tua jika ditanya secara terpisah memberi keterangan yang saling
bertentangan
e. Riwayat yang tidak masuk akal, misalnya anak dikatakan terjatuh ketika memanjat
padahal dudukpun belum bisa.
Perhatikan pula sikap/perilaku korban dan pengantar, apakah korban terlihat dikontrol
atau ditekan dalam memberikan jawaban, apabila memungkinkan, anamnesa terhadap
korban dan pengantar dilakukan secara terpisah. Nilai kemungkinan adanya
ketidaksesuaian yang muncul antara penuturan orang tua/pengantar dan anak dengan
temuan medis. Perhatikan sikap/perilaku korban dan pengantar, apakah korban
terlihat takut, cemas, ragu-ragu dan tidak konsisten dalam memberikan jawaban.
Lengkapi rekam medis dengan identitas dokter pemeriksa, pengantar, tanggal, tempat
dan waktu pemeriksaan serta identitas korban, terutama umur dan perkembangan
seksnya, tanggal hari pertama haid terakhir dan apakah sedang haid saat kejadian.
Konfirmasi ulang urutan kejadian, apa yang menjadi pemicu, penyiksaan apa yang
telah terjadi, oleh siapa, dengan menggunakan apa, berapa kali, apa dampaknya
terhadap korban, waktu dan lokasi kejadian.
Petugas perlu untuk menggali informasi tentang, adakah perubahan perilaku anak
setelah mengalami trauma, seperti ngompol, mimpi buruk, susah tidur, menjadi
manja, suka menyendiri, murung atau malah berubah menjadi agresif. Keadaan
kesehatan sebelum trauma, adakah riwayat trauma seperti ini sebelumnya, adakah
riwayat penyakit dan masalah perilaku sebelumnya, adakah faktor-faktor sosial
budaya ekonomi yang berpengaruh terhadap perilaku di dalam keluarga. Jika
ditemukan amnesia (organik atau psikogenik) lakukan konseling atau rujuk jika
memerlukan intervensi psikiatrik, serta periksa apakah ada tanda-tanda kehilangan
kesadaran yang diakibatkan pemberian NAPZA.
Bila terjadi kekerasan seksual, tambahkan pertanyaan tentang hal-hal berikut ini, yaitu
waktu dan lokasi kejadian, ada tidaknya kekerasan sebelum kejadian, segala bentuk
kegiatan seksual yang terjadi, termasuk bagian-bagian tubuh yang mengalami
kekerasan, ada tidaknya penetrasi, dengan apa penetrasi dilakukan, adanya rasa nyeri,
perdarahan dan atau keluarnya sekret dari vagina, adanya rasa nyeri dan gangguan
pengendalian buang air besar dan/atau buang air kecil, apa yang dilakukan korban
setelah kejadian kekerasan seksual tersebut, apakah korban mengganti pakaian, buang
air kecil, membersihkan bagian kelamin dan dubur, mandi atau gosok gigi. Khusus
untuk kasus kekerasan seksual pada remaja, tanyakan kemungkinan adanya hubungan
seksual dua minggu sebelumnya.
Selama melaksanakan anamnesis, lakukan pengamatan tentang adanya beberapa hal
yang perlu diobservasi, yaitu adanya keterlambatan yang bermakna antara saat
terjadinya kekerasan dan saat mencari pertolongan medis, adanya ketidaksesuaian
antara tingkat kepedulian orang tua dengan beratnya trauma yang dialami anak, dan
interaksi yang tidak wajar antara orangtua/pengasuh dengan anak, seperti adanya
pengharapan yang tidak realistis, keinginan yang tidak memadai atau perilaku marah
yang impulsif dan tidak menyadari kebutuhan anak.
b. Pemeriksaan Fisik
Lakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh dengan ramah dan sopan. Lakukan
pemeriksaan terhadap keadaan umum, kesadaran dan tanda-tanda vital. Perhatikan
apakah ada luka lama dan baru yang sesuai dengan urutan kejadian peristiwa
kekerasan yang dialami. Sering kali tidak ada kesesuaian antara pemeriksaan fisis
dengan anamnesis tentang kejadian yang diungkapkan oleh orang tua atau pengantar.
Pemeriksaan fisis harus dilakukan dengan teliti dan hati-hati terutama bila ditemukan
jelas pada bagian-bagian tubuh yang tidak lazim.
Indikator kemungkinan terjadinya perlakuan salah fisis pada anak yaitu:
1. Memar dan bilur: pada wajah, bibir/mulut, bagian tubuh lainnya seperti di
punggung, bokong, paha, betis, terdapat baik memar/bilur yang baru maupun
yang sudah menyembuh, corak memar/bilur menunjukkan benda tertentu yang
dipakai untuk kekerasan
2. Luka lecet dan luka robek: di mulut, mata, bibir, kuping, lengan dan tangan; di
genitalia; luka akibat gigitan manusia; dan di bagian tubuh lain, terdapat luka baru
atau berulang.
3. Patah tulang: setiap patah tulang pada anak di bawah usia 3 tahun, patah tulang
baru dan lama (dalam penyembuhan) yang ditemukan bersamaan, patah tulang
ganda, patah tulang spiral pada tulang-tulang panjang lengan dan tungkai, dan
patah tulang pada kepala, rahang dan hidung, serta patah gigi.
4. Luka bakar: bekas sundutan rokok; luka bakar pada kaki, tangan, atau bokong,
akibat kontak bagian tubuh tersebut dengan benda panas; dan bentuk luka yang
khas sesuai dengan bentuk benda panas yang dipakai untuk menimbulkan luka
tersebut.
5. Cedera pada kepala: perdarahan (hematoma) subkutan dan atau subdural yang
dapat dilihat pada foto rontgen, bercak/area kebotakan akibat tertariknya rambut,
dan terdapat baik yang baru atau berulang.
6. Lain-lain: dislokasi/lepas sendi pada sendi bahu atau pinggul (kemungkinan
akibat tarikan), atau tanda-tanda luka yang berulang.
Pada korban kekerasan seksual perlu dilakukan pemeriksaan lain, yaitu tanda-tanda
perlawanan atau kekerasan seperti pakaian yang robek, bercak darah pada pakaian dalam,
gigitan, cakaran, ekimosis, hematoma dan perhatikan kesesuaian tanda kekerasan dengan
urutan kejadian kekerasan. Kadang-kadang tanda ini muncul dengan segera atau setelah
beberapa waktu kemudian. Gunting dan kerok kuku korban kanan dan kiri masukan ke
dalam amplop terpisah dan berilah label. Juga lakukan pemeriksaan ginekologik pada
korban anak perempuan (hanya dilakukan pemeriksaan luar, sedangkan untuk
pemeriksaan dalam harus dirujuk). Rambut pubis disisir, rambut lepas yang ditemukan
mungkin milik pelaku dimasukan ke dalam amplop. Rambut pubis korban dicabut/
digunting 3-5 helai masukan ke dalam amplop yang berbeda dan diberi label.
Periksa adanya luka di daerah sekitar paha, vulva dan perineum. Catat jenis, lokasi,
bentuk, dasar dan tepi luka. Periksa selaput dara, pada selaput dara tentukan ada atau
tidaknya robekan, robekan baru atau lama, lokasi robekan tersebut dan teliti apakah
sampai ke dasar atau tidak. Dalam hal tidak adanya robekan, padahal ada informasi
terjadinya penetrasi, lakukan pemeriksaan besarnya lingkaran lubang. Pada balita
diameter hymen tidak lebih dari 5 mm, dan dengan bertambahnya usia akan bertambah 1
mm. Bila ditemukan diameter sama atau lebih dari 10 mm, patut dicurigai sudah terjadi
penetrasi oleh benda tumpul misalnya jari. Pada remaja pemeriksaan dilakukan dengan
memasukkan satu jari kelingking. Bila kelingking dapat masuk tanpa hambatan dan rasa
nyeri, lanjutkan pemeriksaan dengan satu jari telunjuk, bila tanpa hambatan, teruskan
dengan jari telunjuk dan jari tengah (2 jari). Bila dengan 2 jari tanpa hambatan, dicurigai
telah terjadi penetrasi. Bercak kering dikerok dengan menggunakan skalpel, bercak basah
diambil dengan kapas lidi, dikeringkan pada suhu kamar dan dimasukkan amplop.
Pemeriksaan colok dubur baik pada anak laki-laki maupun perempuan. Pada balita
pemeriksaan dilakukan dalam posisi menungging (kneechest position. Jangan
menggunakan anuskop pada anak di bawah 6 tahun, agar tidak menambah trauma baru
pada anak. Anuskop hanya digunakan sesuai indikasi (dicurigai ada keluhan, infeksi,
perdarahan dalam).
c. Pemeriksaan Status Mental
Kekerasan berdampak pada berbagai aspek kehidupan korban yang membutuhkan
daya adaptasi yang luar biasa dan menimbulkan distres serta gejala-gejala pasca
trauma. Anak memiliki ciri temperamen dan perasaan yang unik, sehingga dapat
memberikan reaksi yang berbeda terhadap trauma/tekanan yang sama. Anak mungkin
akan mengekspresikan masalah melalui kata-kata, keluhan-keluhan fisik atau tingkah
laku yang tidak sesuai dengan tahapan perkembangannya.
Gejala yang muncul antara lain, ketakutan, bisa takut akan reaksi keluarga maupun
teman-teman, takut orang lain tidak akan mempercayai keterangannya, takut diperiksa
oleh dokter pria, takut melaporkan kejadian yang dialaminya, takut terhadap pelaku,
takut ditinggal sendirian. Reaksi emosional lain, seperti syok, rasa tidak percaya,
marah, malu, menyalahkan diri sendiri, kacau, bingung, histeris yang menyebabkan
sulit tidur (insomnia), hilang nafsu makan, mimpi buruk, selalu ingat peristiwa itu.
Gejala lain selain ketakutan mungkin muncul adanya rasa siaga berlebihan (mudah
kaget, terkejut, curiga), panik, berduka berupa perasaan sedih terus menerus. Gejala-
gejala tersebut dapat diatasi dengan konseling. Bila konseling tidak berhasil, rujuk ke
PPT/PKT,P2TP2A. Jika gejala-gejalanya bertaraf berat, dapat menimbulkan
gangguan jiwa. Gangguan jiwa yang bisa terjadi, antara lain:
1. PTSD (Gangguan Stres Pasca Trauma
2. Gangguan Depresi
3. Gangguan Cemas terkait Trauma
4. Gangguan Penyesuaian
5. Gangguan Psikotik
6. Gangguan Perkembangan pada Anak
(a) Gangguan perkembangan pervasif
(b) Gangguan perkembangan spesifik
d. Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis serta pemeriksaan status mental maka
dapat dipilih jenis pemeriksaan laboratorium dan pencitraan yang akan dilakukan.
Apabila dicurigai terdapat perdarahan maka evaluasi terhadap faktor perdarahan dan
koagulasi harus dilakukan. Uji toksikologi dapat dilakukan apabila terdapat gejala
keracunan, demikian pula pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan tergantung
indikasi. Pencitraan memegang peran penting dalam menegakkan diagnosis perlakuan
salah fisis pada anak. Untuk anak yang berusia < 2 tahun yang dicurigai telah
mengalami perlakuan salah, American Association of Pediatrician (AAP)
merekomendasikan dilakukannya survei tulang. Survei tulang meliputi foto rontgen
anteroposterior untuk humerus, lengan bawah, tangan, pelvis, femur, tungkai bawah
dan kaki, sedangkan foto rontgen lateral untuk toraks dan kepala. Beberapa modalitas
pencitraan lainnya digunakan tergantung indikasi, seperti CT-scan yang merupakan
pilihan terbaik untuk mengetahui trauma abdomen dan MRI untuk menilai cedera
jaringan lunak kepala. Lakukan penapisan (screening) penyakit kelamin, tes
kehamilan, mikroskop untuk melihat sperma dengan NaCl, serta USG bila tersedia.
Tatalaksana
Tata laksana medis, penangananan masalah medis korban diutamakan terhadap keadaan
yang mengancam jiwa, apabila perlu dilakukan konsultasi pada ahli pencitraan anak,
bedah tulang, dan bedah plastik.
Tangani luka sesuai dengan prosedur, bila dicurigai terdapat patah tulang, lakukan rontgen
dan penanganan yang sesuai, bila dicurigai terdapat perdarahan dalam, lakukan USG atau
rujuk. Dengarkan dan beri dukungan pada anak, sesuai panduan konseling, pastikan
keamanan anak, periksa dengan teliti, lakukan dan lengkapi rekam medis, dan berikan
surat-surat yang diperlukan. Penting untuk dibuatkan VeR bila ada permintaan resmi dari
polisi (surat resmi permintaan VeR harus diantar polisi). Informasikan dengan hati-hati
hasil temuan pemeriksaan dan kemungkinan dampak yang terjadi, kepada anak dan
keluarga serta rencana tindak lanjutnya. Pada anak yang mempunyai status gizi buruk atau
kurang diberikan makanan tambahan dan konseling gizi kepada orangtua/keluarga.
Tata laksana psikososial, dilakukan penanganan menyeluruh terhadap korban dan
keluarganya, serta pelakunya. Tergantung dari berat ringannya masalah anak yang
mengalami perlakuan salah fisis oleh orang tuanya. Untuk sementara anak dapat diasuh
oleh lembaga perlindungan anak dan orang tua sebagai pelaku harus mendapat terapi
psikologis. Masalah sosial dan masyarakat dapat dikurangi dengan bantuan lembaga
terkait.
Pada kekerasan seksual, penentuan jenis tata laksana dilakukan berdasarkan jenis
penganiayaan, usia anak, serta jangka waktu kejadian. Secara medis, terapi antibiotik
profilaksis terhadap penyakit menular seksual pada anak yang mengalami perlakuan salah
masih kontroversial. Terapi spesifik diberikan apa bila pada pemeriksaan laboratorium
darah menunjukkan hasil yang positip. Secara psikososial, gejala depresi, gangguan
cemas, gangguan pasca trauma dan gangguan tingkah laku seksual sering dialami anak
yang mengalami perlakuan salah seksual sehingga diperlukan penanganan terhadap
korban maupun keluarga. Dokter sebagai penyedia pelayanan tingkat awal dapat
melakukan rujukan ke lembaga perlindungan anak yang mempunyai fasilitas
sosiopsikologis.
Untuk kekerasan emosional dapat dilakukan terapi psikologis yang merupakan terapi yang
banyak diberikan kepada korban maupun pelaku. Dalam hal ini banyak digunakan terapi
keluarga dan terapi interpersonal.

b. Bagaimana tanda-tanda kekerasan?


Suatu kasus patut diduga sebagai kekerasan terhadap anak bila ditemukan adanya:
1. Memar/jejas di kulit pada daerah yang tidak lazim terkena kecelakaan seperti pipi,
lengan atas, paha, bokong dan genital.
2. Perlukaan multipel (ganda) dengan berbagai tingkat penyembuhan; tanda dengan
konfigurasi sesuai jari tangan, tali atau kabel, kepalan, ikat pinggang bahkan gigi orang
dewasa.
3. Patah tulang pada anak usia dibawah tiga tahun, patah tulang baru dan lama yang
ditemukan bersamaan, patah tulang ganda, patah tulang bentuk spiral pada tulang-
tulang panjang lengan dan tungkai, patah tulang pada kepala, rahang dan hidung serta
patahnya gigi.
4. Luka bakar seperti bekas sundutan rokok, luka bakar pada tangan, kaki, atau bokong
akibat kontak bagian-bagian tubuh tersebut dengan benda panas, bentuk luka yang
khas sesuai dengan bentuk benda panas yang dipakai untuk menimbulkan luka
tersebut.
5. Cedera pada kepala, seperti perdarahan (hematoma) subkutan atau subdural, yang
dapat dilihat pada foto rontgen, bercak/area kebotakan akibat tertariknya rambut, baik
yang baru atau berulang.
6. Lain-lain: dislokasi/lepas sendi pada sendi bahu atau pinggul.
Pada kasus kekerasan seksual, perlu memperhatikan adanya tanda-tanda perlawanan atau
kekerasan seperti pakaian yang robek, bercak darah pada pakaian dalam, gigitan, cakaran,
ekimosis, hematoma dan perhatikan kesesuaian tanda kekerasan dengan urutan kejadian
kekerasan. Kadang-kadang tanda ini muncul dengan segera atau setelah beberapa waktu
kemudian.

c. Siapa saja yang harus diminta keterangan apabila terdapat pasien anak dengan
tanda-tanda kekerasan?
Pembantu, orangtua, guru di sekolah, tetangga, dan orang-orang yang mungkin
berhubungan dengan anak tersebut

2. Dalam wawancara dengan pembantu, didapatkan keterangan bahwa anak tersebut dianggap
sebagai anak yang nakal, tidak mau menurut perintah ibunya. Anak sering dicubit dan
dipukul karena sering merengek dan mengganggu pekerjaan ibunya kadang juga bapaknya.
Anak sering dikurung di kamar mandi karena nakal. Si anak malas makan.
a. Apa saja faktor yang mungkin memicu perilaku anak pada kasus?
Sering kali kekerasan terhadap anak dianggap hal yang wajar dengan dalih sebagai cara
pendisiplinan anak. Kekerasan yang dialami akibat ketidakpatuhan ini dapat berupa
kekerasan fisik, psikis, pemerkosaan, kekerasan seks lainnya, penelantaran, dan lain-lain.
Sikap anak yang nakal dan tidak mau menurut mungkin akibat dari kurangnya perhatian
orangtua yang sibuk bekerja.
b. Apa dampak dilakukan kekerasan pada anak? (fisik dan mental)

Secara fisik, dampak dari kekerasan fisik antara lain: luka memar, berdarah, luka
lecet,patah tulang, sayatan-sayatan, luka bakar, pembengkakan, jaringan-jaringan lunak,
pendarahan di bawah kulit,pingsan, dan bentuk lain yang kondisinya lebih berat, dan
akibat yang paling fatal adalah kematian.
Dampak dari kekerasan terhadap mental anak antara lain terlihat pada fungsi mental atau
tingkah laku, termasuk keresahan, murung, menyendiri, tingkah laku agresif, adanya
perasaan tidak aman, dan dapat menurunkan kepercayaan diri anak.
Ahli psikologi, Reni Kusumowardhani yang menyebutkan ada tiga fase yang dialami
korban kekerasan pertama; fase krisis, kedua fase dukacita dan ketiga fase trauma. Fase
krisis yang dialami si korban berlangsung selama satu hingga dua minggu pasca kejadian.
Pada saat itu korban mengalami disorganisasi dan gangguan emosional yang akan
berusaha mengatasi problem itu melalui sumber kekuatan yang dimilikinya. Jika gagal
dia akan mencari sumber eksternal dan jika sumber eksternal tidak mendukung maka
emosi korban akan terganggu. Kemudian fase kedua, perasaan dukacita ditandai ketika
korban mengalami penderitaan emosional mendalam. Gejala fisiologis terjadi selama 6-
12 bulan hingga korban kembali normal. Fase ketiga yaitu fase trauma bisa terjadi jauh
hari setelah kejadian. Situasi trauma membuat korban tidak mampu mengendalikan diri
(Aufrida, 2006).

Tabel 1. Simptom Kekerasan dalam Evidence-Based Models of Reporting


Kekerasan Fisik Kekerasan Emosi
Menarik diri Depresi
Mengalami ketergantungan Tertutup
Tidak senang dengan kesedihan orang lain Agresif
Berbohong Menarik diri
Lemah Apatis dan pasif
Perilaku nakal Perilaku berbeda di sekolah dan di rumah
Penggunaan alkohol dan narkoba Upaya bunuh diri
Upaya bunuh diri Kepercayaan diri rendah
Kesulitan dalam belajar Sulit menjalin hubungan sosial
Tidak sabaran
Sumber : Cavett, 2002

c. Bagaimana aspek medikolegal pada kasus kekerasan pada anak? (tindakan dokter
dalam menyikapi kasus ini)
Hasil pemeriksaan medikolegal terhadap korban adalah dokumentasi seluruh hasil
temuan pemeriksaan medis pada korban yang kemudian dituangkan di dalam sebuah
keterangan yang di Indonesia disebut sebagai Visum et Repertum (VeR).
Keterangan tersebut memberikan bukti bahwa benar telah terjadi kekerasan dan seberapa
parah akibat kekerasan tersebut, atau pada kasus kekerasan seksual dapat pula
menjelaskan apakah telah terjadi persetubuhan ataukah penetrasi.
Bahkan dengan menggunakan teknik mutakhir (pemeriksaan DNA), pemeriksaan
medikolegal secara praktis dapat menunjuk siapa pelaku kekerasan seksual tersebut.
Seberapa jauh Visum et Repertum (VeR) membantu proses peradilan sangat bergantung
kepada seberapa lengkap dan spesifiknya temuan medikolegalnya sehingga dapat
diinterpretasikan sebagai bukti yang determinatif.
Bukti medis bukanlah satu-satunya komponen dalam pembuktian adanya KtA dalam
perkara pidana. Pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara (TKP), kesaksian, dan
pemeriksaan barang bukti lain memiliki nilai yang sama sebagai alat bukti yang sah.
Selain itu, wawancara forensik, penilaian sikap perilaku korban pasca kekerasan,
pemeriksaan laboratorium forensik seringkali sangat mendukung pembuktian.
Wajib lapor, petugas kesehatan yang menangani kekerasan anak, apabila ada kasus
kekerasan anak yang di layani, maka petugas wajib dengan segera melaporkan kasus
tersebut kepada Kepolisian dalam hal ini Unit perlindungan Perempuan dan Anak yang
ada di seluruh Polres/Polwil dan Polda. Apabila tidak melaporkan diancam mendapatkan
sanksi, ini merupakan edaran Menkes yang segera diedarkan sebagai tindak lanjut pasal
108 KUHP dan UU Perlindungan anak no 23/2002. Dan pada Permenkes No 68 tahun
2013 pasal 4 juga disebutkan bahwa pemberi layanan kesehatan wajib memberikan
informasi kepada kepolisian.

3. Ketika masuk ke ruang pemeriksaan, tampak anak agak ketakutan dengan mata melotot.
Ketika dilakukan pemeriksaan pada pipi anak, telinga punggung, pinggang, dan perut
dijumpai ada bekas memar. Pada bokong anak, dijumpai memar dengan bentuk beberapa
garis lurus. Hasil pemeriksaan didapatkan bahwa adanya luka memar dan lecet di sekujur
tubuh. kemungkinan telah terjadi kekerasan fisik dan mental kepada anak, disamping dugaan
terjatuh atau terpeleset.
a. Bagaimana prosedur melakukan visum et repertum terkait kasus? (beserta
interpretasi luka)
1. Ketentuan standar dalam penyusunan visum et repertum
a. Pihak yang berwenang meminta keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133 ayat (1)
adalah penyidik yang menurut PP 27/1983 adalah Pejabat Polisi Negara RI.
Sedangkan untuk kalangan militer maka Polisi Militer (POM) dikategorikan sebagai
penyidik.
b. Pihak yang berwenang membuat keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133 ayat (1)
adalah dokter dan tidak dapat didelegasikan pada pihak lain.
c. Prosedur permintaan keterangan ahli kepada dokter telah ditentukan bahwa
permintaan oleh penyidik harus dilakukan secara tertulis yang secara tegas telah
diatur dalam KUHAP pasal 133 ayat (2).
d. Penyerahan surat keterangan ahli hanya boleh dilakukan pada Penyidik yang
memintanya sesuai dengan identitas pada surat permintaan keterangan ahli. Pihak
lain tidak dapat memintanya.
2. Pihak yang terlibat dalam kegiatan pelayanan forensik klinik
a. Dokter
b. Perawat / petuga pemulasaraan jenazah
c. Petugas Administrasi
3. Setiap visum et repertum harus dibuat memenuhi ketentuan umum sebagai berikut:
a. Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa
b. Bernomor dan bertanggal
c. Mencantumkan kata ”Pro Justitia” di bagian atas kiri (kiri atau tengah)
d. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
e.Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan temuan
pemeriksaan
f. Tidak menggunakan istilah asing
g. Ditandatangani dan diberi nama jelas
h. Berstempel instansi pemeriksa tersebut
i. Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan
j. Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum et repertum. Apabila ada lebih dari
satu instansi peminta, misalnya penyidik POLRI dan penyidik POM, dan keduanya
berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut dapat diberi visum et repertum
masing-masing asli. k. Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada
umumnya, dan disimpan sebaiknya hingga 20 tahun.
Penulisan VeR harus memenuhi suatu disalin dan format tertentu karena dokumen
tersebut akan digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan.

Unsur penting dalam VeR yang diusulkan oleh banyak ahli adalah sebagai berikut:
1. Pro Justitia

Kata ini harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian visum et repertum tidak perlu
bermeterai. Maksud pencantuman kata "Pro justitia" adalah sesuai dengan artinya, yaitu
dibuat secara khusus hanya untuk kepentingan peradilan. Di bagian atas tengah dapat
dituliskan judul surat tersebut, yaitu : Visum et Repertum.

Contoh

Pekanbaru, ………………………

PRO JUSTITIA
VISUM ET REPERTUM
No :……………………….

2. Pendahuluan
Pada bagian pendahuluan ini minimal memuat : identitas pemohon visum et repertum,
tanggal dan pukul diterimanya permohonan visum et repertum, identitas dokter yang
melakukan pemeriksaan, identitas objek yang diperiksa : nama, jenis kelamin, umur,
bangsa, alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, dimana dilakukan pemeriksaan.
3. Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan)
Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati terutama dilihat
dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan
sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal. Deskripsinya juga
tertentu yaitu mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis adalah jarak antara luka
dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka dengan titik anatomis
permanen yang terdekat), jenis luka atau cedera, karakteristiknya serta ukurannya.
Rincian ini terutama penting pada pemeriksaan korban mati yang pada saat persidangan
tidak dapat dihadirkan kembali.
4. Kesimpulan
Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari fakta
yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat visum et repertum, dikaitkan dengan maksud
dan tujuan dimintakannya visum et repertum tersebut. Pada bagian ini harus memuat
minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan kekerasan dan derajat kualifikasi luka. Hasil
pemeriksaan anamnesis yang tidak didukung oleh hasil pemeriksaan lainnya, sebaiknya
tidak digunakan dalam menarik kesimpulan. Pengambilan kesimpulan hasil anamnesis
hanya boleh dilakukan dengan penuh hati-hati. Kesimpulan visum et repertum adalah
pendapat dokter pembuatnya yang bebas, tidak terikat oleh pengaruh suatu pihak tertentu.
Tetapi di dalam kebebasannya tersebut juga terdapat pembatasan, yaitu pembatasan oleh
ilmu pengetahuan dan teknologi, standar profesi dan ketentuan hukum yang berlaku.
Kesimpulan visum et repertum haruslah dapat menjembatani antara temuan ilmiah
dengan manfaatnya dalam mendukung penegakan hukum. Kesimpulan bukanlah sekedar
resume hasil pemeriksaan, melainkan lebih ke arah interpretasi hasil temuan dalam
kerangka ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Salah satu yang harus diungkapkan
dalam kesimpulan sebuah visum et repertum perlukaan adalah derajat luka atau
kualifikasi luka. Dari aspek hukum, visum et repertum dikatakan baik apabila substansi
yang terdapat dalam visum et repertum tersebut dapat memenuhi delik rumusan dalam
Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). Penentuan derajat luka sangat tergantung
pada latar belakang individual dokter seperti pengalaman, keterampilan, keikutsertaan
dalam pendidikan kedokteran berkelanjutan dan sebagainya.
5. Penutup
Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan mengingat
sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan mengucapkan sumpah atau
janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan serta dibubuhi tanda tangan dokter
pembuat visum et repertum.
Salinan VeR tidak boleh diserahkan kepada siapapun. Selain penyidik POLRI, Instansi
lain yang berwenang meminta VeR adalah Polisi Militer, hakim, jaksa penyidik dan jaksa
penuntut umum. Sebelum tindakan pemeriksaan untuk pembuatan VeR, perlu dibuatkan
informed consent. Apabila korban menolak untuk diperiksa maka hendaknya dokter
meminta pernyataan tertulis secara singkat penolakan tersebut dari korban disertai
alasannya atau bila hal itu tidak mungkin dilakukan, agar mencatatnya didalam rekam
medis.

b. Bagaimana gambaran luka memar dan lecet?


Gambar 1. Memar

Gambar 2. Luka lecet


Interpretasi :
Memar dengan bentuk garis lurus (sejajar) menunjukkan cedera yang diakibatkan oleh
pukulan tongkat atau benda sejenis.
Luka lecet biasanya diakibatkan oleh benda tumpul yang permukaannya relative rata atau
akibat geseran benda tumpul dengan permukaan relative tidak rata
c. Bagaimana predileksi luka pada anak usia 4 tahun? (murni kecelakaan)
Di lutut, telapak tangan, dll
d. Bagaimana predileksi luka pada anak usia 4 tahun? (tindak kekerasan)
Memar pada pipi, lengan atas, paha, bokong, dan genital
e. Apa saja contoh kekerasan mental pada anak?
Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah
mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak
basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia
boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan
mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung
konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terus-
menerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu.

4. Tindakan yang dilakukan melakukan pengobatan pada luka dan disarankan pendampingan
psikolog anak.
a. Bagaimana tatalaksana pada anak terkait kasus? (fisik dan mental)

Tata laksana medis, penangananan masalah medis korban diutamakan terhadap keadaan
yang mengancam jiwa, apabila perlu dilakukan konsultasi pada ahli pencitraan anak,
bedah tulang, dan bedah plastik.
Tangani luka sesuai dengan prosedur, bila dicurigai terdapat patah tulang, lakukan
rontgen dan penanganan yang sesuai, bila dicurigai terdapat perdarahan dalam, lakukan
USG atau rujuk. Dengarkan dan beri dukungan pada anak, sesuai panduan konseling,
pastikan keamanan anak, periksa dengan teliti, lakukan dan lengkapi rekam medis, dan
berikan surat-surat yang diperlukan. Penting untuk dibuatkan VeR bila ada permintaan
resmi dari polisi (surat resmi permintaan VeR harus diantar polisi). Informasikan dengan
hati-hati hasil temuan pemeriksaan dan kemungkinan dampak yang terjadi, kepada anak
dan keluarga serta rencana tindak lanjutnya. Pada anak yang mempunyai status gizi buruk
atau kurang diberikan makanan tambahan dan konseling gizi kepada orangtua/keluarga.
Tata laksana psikososial, dilakukan penanganan menyeluruh terhadap korban dan
keluarganya, serta pelakunya. Tergantung dari berat ringannya masalah anak yang
mengalami perlakuan salah fisis oleh orang tuanya. Untuk sementara anak dapat diasuh
oleh lembaga perlindungan anak dan orang tua sebagai pelaku harus mendapat terapi
psikologis. Masalah sosial dan masyarakat dapat dikurangi dengan bantuan lembaga
terkait.
Untuk kekerasan emosional dapat dilakukan terapi psikologis yang merupakan terapi
yang banyak diberikan kepada korban maupun pelaku. Dalam hal ini banyak digunakan
terapi keluarga dan terapi interpersonal.

b. Bagaimana prosedur perujukan kekerasan anak?

Sistem dan Alur Rujukan pada Kekerasan Anak

Gambar 1. Alur Pemeriksaan dan Rujukan di Puskesmas.


Penyelenggaraan rujukan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak
merupakan proses kerjasama semua unsur terkait. Anak korban kekerasan pada umumnya
datang ke fasilitas kesehatan diantar oleh orang tua, LSM atau Polisi, karena cidera fisik
akibat berbagai perlakuan kekerasan yang dialaminya. Penanganan dan rujukan kasus
kekerasan terhadap anak perlu tindakan secara cepat dan tepat, oleh karena itu dibutuhkan
kesiapan, pemahaman dan keterampilan tenaga kesehatan, baik dari aspek medis/mediko-
legal dan psikososial. Tenaga kesehatan harus sensitif gender dan mampu memberikan
konseling. Penanganan kasus kekerasan terhadap anak di fasilitas kesehatan ditentukan
oleh ketersediaan sarana dan kemampuan tenaga yang ada. Peran tenaga kesehatan dalam
penanganan kasus kekerasan terhadap anak adalah menemukan kasus, menerima rujukan
kasus, menangani kasus dan merujuk kasus.
Puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan dasar atau primer dapat menerima,
menangani kasus kekerasan terhadap anak atau apabila diperlukan merujuk ke Rumah
Sakit atau institusi terkait lainnya untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Kasus-
kasus yang memerlukan rujukan antara lain, perdarahan berat, fraktur multipel, syok,
kejang-kejang, luka bakar luas, sesak nafas, sepsis, robekan anogenital, dan stres berat.
Sedangkan yang dapat ditangani di puskesmas adalah kasus kekerasan terhadap anak yang
memiliki derajat ringan, antara lain luka ringan, cidera sederhana (Iuka bakar ringan,
laserasi superfisialliebam), cidera ringan/infeksi pada organ/saluran reproduksi, cidera
ringan/infeksi pada anus, fraktur tertutup/terbuka ringan yang perlu tindakan P3K, trauma
psikis ringan, dan malnutrisi. Tindakan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak
di tingkat puskesmas diawali dengan anamnesa untuk identifikasi kasus dan pengisian
lembar persetujuan pemeriksaan (informed consent), yang meliputi antara lain, perawatan
luka, reposisi fraktur, stabilisasi pernafasan, perbaikan keseimbangan cairan tubuh (infus),
pemberian nutrisi, konseling, pencatatan dan pelaporan kasus, pembuatan visum et
repertum (VeR) atas permintaan Polisi dan rujukan.
Untuk melakukan rujukan pada semua lini perlu dipersiapkan antara lain surat
pengantar rujukan, kronologis singkat kasus, pemeriksaan laboratorium lainnya dan bukti-
bukti yang mendukung (pakaian, celana dalam, rambut pubis, kotoran/debris pada kuku,
swab vagina, dll). Pada kasus yang memerlukan pendampingan, perlindungan, bantuan
hukum, dan lain-lain dilakukan rujukan non medis ke institusi terkait lainnya.
Gambar 2. Alur Pemeriksaan dan Rujukan di Rumah Sakit
Rumah Sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan
rawat inap dan rawat jalan dapat menerima, menangani kasus kekerasan terhadap anak,
dan merujuk ke Rumah Sakit yang lebih mampu atau institusi terkait lainnya apabila
diperlukan. Mekanisme rujukan kasus kekerasan terhadap anak di Rumah Sakit tidak
dibedakan menurut kelas Rumah Sakit baik kelas C, kelas B atau kelas A, tetapi
berdasarkan tersedia atau tidaknya Pusat Krisis Terpadu atau Pusat Pelayanan Terpadu.
Pusat Krisis Terpadu (PKT)/Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) adalah pusat
pelayanan bagi korban kekerasan pada anak dan perempuan yang memberikan pelayanan
komprehensif dan holistik meliputi penangan medis dan medikolegal, penangan
psikologis, sosial dan hukum. Oleh karena itu di dalam PKT/PPT diperlukan tim yang
terdiri dari dokter, perawat, pekerja sosial, psikolog dan ahli hukum, serta ruang konsultasi
khusus. Apabila tidak memungkinkan, berikan ruangan yang menjamin kerahasiaan,
keamanan dan kenyamanan. Rumah Sakit yang sudah mempunyai PKT/PPT, dapat
memberikan pelayanan komprehensif dalam satu atap (one stop service) yang mencakup
aspek pelayanan medis/medikolegal, psikologis, sosial, hukum dan perlu bekerjasama
dengan LSM, LBH yang tergabung dalam jaringan kerja penanganan kekerasan terhadap
anak.
Rumah Sakit yang belum memiliki PKT/PPT kegiatan penanganan kasus
penanganan kekerasan terhadap anak dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Kasus
kekerasan terhadap anak yang ditangani di Rumah Sakit mulai dari derajat ringan sampai
berat sesuai dengan ketersediaan sarana, prasarana serta kemampuan tenaga di Rumah
Sakit. Tindakan dalam penanganan kekerasan terhadap anak di Rumah Sakit diawali
dengan anamnesa untuk identifikasi kasus dan pengisian lembar persetujuan pemeriksaan.
Sistem Pencatatan dan Pelaporan
Sistem pencatatan dan pelaporan merupakan bagian penting dalam upaya
penanggulangan kekerasan terhadap anak (KtA), oleh karena melalui pencatatan dan
pelaporan yang baik akan diperoleh data dasar untuk menentukan kebijakan dan
pengembangan program selanjutnya. Sementara ini kasus KTA belum bisa dimasukkan
ke dalam sistem pencatatan dan pelaporan kesehatan anak yang tersedia, sehingga
memerlukan format pencatatan khusus serta mekanisme pelaporan tersendiri.
Puskesmas dan Rumah Sakit membuat pencatatan dan pelaporan berdasarkan rekam
medis (format rekam medis). Terdapat 3 jenis format pencatatan, yaitu:
1. Format 1 : Format Pencatatan KTA untuk Puskesmas atau Rumah Sakit
2. Format 2 : Format Pencatatan KTA untuk Kabupaten/Kota
3. Format 3 : Format Pencatatan KTA untuk Propinsi
Gambar 3. Alur Pelaporan Kekerasan pada Anak.
Di tingkat masyarakat Kasus KTA yang telah ditangani di Puskesmas atau Rumah
Sakit Kabupaten/Kota dilaporkan dengan menggunakan Format Pencatatan Kasus
KTA untuk Puskesmas atau Rumah Sakit (Format 1). Selanjutnya Puskesmas atau
Rumah Sakit mengirim Format 1 ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Di tingkat
Kabupaten / Kota, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota membuat rekapan laporan yang
masuk dari Puskesmas dan Rumah Sakit di wilayah kerja dengan menggunakan
Format Pencatatan Kasus KTA untuk Kabupaten/Kota (Format 2). Selanjutnya
Format 2 dikirim ke Dinas Kesehatan Propinsi dengan tembusan ke lintas sektor
terkait setempat yaitu : Bagian Kesejahteraan Rakyat/Bagian Sosial Pemerintah
Daerah, Kepolisian, Dinas Sosial dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Berlaku juga
bagi Lintas Sektor terkait, sehingga pada akhirnya dapat dipakai sebagai data dasar
dalam perencanaan program KTA di tingkat Kabupaten/Kota.
Di tingkat Propinsi Dinas Kesehatan Propinsi membuat rekapan hasil laporan dari
semua Kabupaten/Kota dengan menggunakan Format Pencatatan KTA untuk Propinsi
(Format 3) dan mengirimnya ke Direktorat Bina Kesehatan Anak Depkes RI dengan
tembusan ke lintas sektor terkait setempat yaitu Biro Pemberdayaan Perempuan dan
KPAID. Di tingkat Pusat, Rekapan data KTA dari Propinsi akan di analisa untuk
bahan dasar pembuatan kebijakan dan pengembangan program. Selain itu laporan
tersebut akan di kirim ke Meneg Pemberdayaan Perempuan sebagai bahan laporan
periodik Konvensi Hak-hak Anak (KHA) di tingkat internasional.

B. Learning Issue

VISUM ET REPERTUM
Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi)
penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun
bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk
kepentingan peradilan.
Visum et Repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184
KUHP. Visum et Repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap
kesehatan dan jiwa manusia, dimana Visum et Repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil
pemeriksaan medis yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap
sebagai pengganti barang bukti.
Visum et Repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan
medis tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan. Dengan demikian Visum et Repertum
secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca
Visum et Repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang, dan para
praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut
tubuh dan jiwa manusia.
Apabila Visum et Repertum belum dapat menjernihkan duduk persoalan di sidang pengadilan,
maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum
dalam KUHAP, yang memungkinkan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang
bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap
suatu hasil pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan pasal 180 KUHAP.
Bagi penyidik (Polisi/Polisi Militer) Visum et Repertum berguna untuk mengungkapkan perkara.
Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu berguna untuk menentukan pasal yang akan
didakwakan, sedangkan bagi hakim sebagai alat bukti formal untuk menjatuhkan pidana atau
membebaskan seseorang dari tuntutan hukum. Untuk itu perlu dibuat suatu Standar Prosedur
Operasional (SPO) pada suatu Rumah Sakit / pelayanan kesehatan tentang tata laksana pengadaan
Visum et Repertum.
JENIS-JENIS VISUM ET REPERTUM
Secara umum terdapat dua jenis Visum et Repertum yaitu Visum et Repertum untuk korban hidup
dan Visum et Repertum untuk orang mati. Untuk korban hidup dapat berupa Visum et Repertum
luka, Visum et Repertum perkosaan/kejahatan seksual, Visum et Repertum psikiatrik dan
sebagainya sesuai dengan kondisi subjek yang diperiksa. Untuk korban mati akan disusun Visum
et Repertum jenazah. Pada umumnya semua dokter dianggap memiliki kemampuan untuk
menyusun Visum et Repertum dalam bentuk apapun.
TATA LAKSANA UMUM VISUM ET REPERTUM
1. Ketentuan standar dalam penyusunan visum et repertum
e. Pihak yang berwenang meminta keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133 ayat (1)
adalah penyidik yang menurut PP 27/1983 adalah Pejabat Polisi Negara RI. Sedangkan
untuk kalangan militer maka Polisi Militer (POM) dikategorikan sebagai penyidik.
f. Pihak yang berwenang membuat keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133 ayat (1)
adalah dokter dan tidak dapat didelegasikan pada pihak lain.
g. Prosedur permintaan keterangan ahli kepada dokter telah ditentukan bahwa permintaan
oleh penyidik harus dilakukan secara tertulis yang secara tegas telah diatur dalam KUHAP
pasal 133 ayat (2).
h. Penyerahan surat keterangan ahli hanya boleh dilakukan pada Penyidik yang memintanya
sesuai dengan identitas pada surat permintaan keterangan ahli. Pihak lain tidak dapat
memintanya.
2. Pihak yang terlibat dalam kegiatan pelayanan forensik klinik
a. Dokter
b. Perawat / petuga pemulasaraan jenazah
c. Petugas Administrasi
3. Tahapan-tahapan dalam pembuatan visum et repertum
a. Penerimaan korban yang dikirim oleh Penyidik.
Yang berperan dalam kegiatan ini adalah dokter, mulai dokter umum sampai dokter
spesialis yang pengaturannya mengacu pada Standar Prosedur Operasional (SPO). Yang
diutamakan pada kegiatan ini adalah penanganan kesehatannya dulu, bila kondisi telah
memungkinkan barulah ditangani aspek medikolegalnya. Tidak tertutup kemungkinan
bahwa terhadap korban dalam penanganan medis melibatkan berbagai disiplin spesialis.
b. Penerimaan surat permintaan keterangan ahli/visum et revertum
Adanya surat permintaan keterangan ahli/visum et repertum merupakan hal yang
penting untuk dibuatnya visum et repertum tersebut. Dokter sebagai penanggung jawab
pemeriksaan medikolegal harus meneliti adanya surat permintaan tersebut sesuai ketentuan
yang berlaku. Hal ini merupakan aspek yuridis yang sering menimbulkan masalah, yaitu
pada saat korban akan diperiksa surat permintaan dari penyidik belum ada atau korban
(hidup) datang sendiri dengan membawa surat permintaan visum et repertum. Untuk
mengantisipasi masalah tersebut maka perlu dibuat kriteria tentang pasien/korban yang
pada waktu masuk Rumah Sakit/UGD tidak membawa SpV. Sebagai berikut :
1. Setiap pasien dengan trauma
2. Setiap pasien dengan keracunan/diduga keracunan
3. Pasien tidak sadar dengan riwayat trauma yang tidak jelas
4. Pasien dengan kejahatan kesusilaan/perkosaan
5. Pasien tanpa luka/cedera dengan membawa surat permintaan visum

Kelompok pasien tersebut di atas untuk dilakukan kekhususan dalam hal pencatatan
temuan-temuan medis dalam rekam medis khusus, diberi tanda pada map rekam medisnya
(tanda “VER”), warna sampul rekam medis serta penyimpanan rekam medis yang tidak
digabung dengan rekam medis pasien umum.
“Ingat ! kemungkinan atas pasien tersebut di atas pada saat yang akan datang, akan
dimintakan visum et repertumnya dengan surat permintaan visum yang datang menyusul.”
Pada saat menerima surat permintaan visum et repertum perhatikan hal-hal sebagai
berikut : asal permintaan, nomor surat, tanggal surat, perihal pemeriksaan yang dimintakan,
serta stempel surat. Jika ragu apakah yang meminta penyidik atau bukan maka penting
perhatikan stempel nya. Jika stempelnya tertulis “KEPALA” maka surat permintaan
tersebut dapat dikatakan sah meskipun ditandatangani oleh pnyidik yang belum memiliki
panfkat inspektur dua (IPDA).
Setelah selesai meneliti surat permintaan tersebut dan kita meyakini surat tersebut
sah secara hukum, maka isilah tanda terima surat permintaan visum et repertum yang
biasanya terdapat pada kiri bawah. Isikan dengan benar tanggal, hari dan jam kita
menerima surat tersebut, kemudian tuliskan nama penerima dengan jelas dan bubuhi
dengan tanda tangan.
Pasien atau korban yang datang ke rumah sakit atau ke fasilitas pelayanan
kesehatan tanpa membawa Surat Permintaan Visum (SPV) tidak boleh ditolak untuk
dilakukan pemeriksaan. Lakukan pemeriksaan sesuai dengan standar dan hasilnya dicatat
dalam rekam medis. Visum et Repertum baru dibuat apabila surat permintaan visum telah
disampaikan ke rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan.
c. Pemeriksaan korban secara medis
Tahap ini dikerjakan oleh dokter dengan menggunakan ilmu forensik yang telah
dipelajarinya. Namun tidak tertutup kemungkinan dihadapi kesulitan yang mengakibatkan
beberapa data terlewat dari pemeriksaan.
Ada kemungkinan didapati benda bukti dari tubuh korban misalnya anak peluru,
dan sebagainya. Benda bukti berupa pakaian atau lainnya hanya diserahkan pada pihak
penyidik. Dalam hal pihak penyidik belum mengambilnya maka pihak petugas sarana
kesehatan harus me-nyimpannya sebaik mungkin agar tidak banyak terjadi perubahan.
Status benda bukti itu adalah milik negara, dan secara yuridis tidak boleh diserahkan pada
pihak keluarga/ahli warisnya tanpa melalui penyidik.
d. Pengetikan surat keterangan ahli/visum et repertum
Pengetikan berkas keterangan ahli/visum et repertum oleh petugas administrasi
memerlukan perhatian dalam bentuk/formatnya karena ditujukan untuk kepentingan
peradilan. Misalnya penutupan setiap akhir alinea dengan garis, untuk mencegah
penambahan kata-kata tertentu oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Contoh : “Pada pipi kanan ditemukan luka terbuka, tapi tidak rata sepanjang lima senti
meter --------“
e. Penandatanganan surat keterangan ahli / visum et repertum
Undang-undang menentukan bahwa yang berhak menandatanganinya adalah
dokter. Setiap lembar berkas keterangan ahli harus diberi paraf oleh dokter. Sering terjadi
bahwa surat permintaan visum dari pihak penyidik datang terlambat, sedangkan dokter
yang menangani telah tidak bertugas di sarana kesehatan itu lagi.
Dalam hal ini sering timbul keraguan tentang siapa yang harus menandatangani
visum et repertun korban hidup tersebut. Hal yang sama juga terjadi bila korban ditangani
beberapa dokter sekaligus sesuai dengan kondisi penyakitnya yang kompleks.
Dalam hal korban ditangani oleh hanya satu orang dokter, maka yang
menandatangani visum yang telah selesai adalah dokter yang menangani tersebut (dokter
pemeriksa). Dalam hal korban ditangani oleh beberapa orang dokter, maka idealnya yang
menandatangani visumnya adalah setiap dokter yang terlibat langsung dalam penanganan
atas korban.
Dokter pemeriksa yang dimaksud adalah dokter pemeriksa yang melakukan
pemeriksaan atas korban yang masih berkaitan dengan luka/cedera/racun/tindak pidana.
Dalam hal dokter pemeriksa sering tidak lagi ada di tempat (diluar kota) atau sudah tidak
bekerja pada Rumah Sakit tersebut, maka visum et repertum ditandatangani oleh dokter
penanggung jawab pelayanan forensik klinik yang ditunjuk oleh Rumah Sakit atau oleh
Direktur Rumah Sakit tersebut.
f. Penyerahan benda bukti yang telah selesai diperiksa
Benda bukti yang telah selesai diperiksa hanya boleh diserahkan pada penyidik saja
dengan menggunakan berita acara.
g. Penyerahan surat keterangan ahli/visum et repertum.
Surat keterangan ahli/visum et repertum juga hanya boleh diserahkan pada pihak
penyidik yang memintanya saja. Dapat terjadi dua instansi penyidikan sekaligus meminta
surat visum et repertum. Penasehat hukum tersangka tidak diberi kewenangan untuk
meminta visum et repertum kepada dokter, demikian pula tidak boleh meminta salinan
visum et repertum langsung dari dokter. Penasehat hukum tersangka dapat meminta salinan
visum et repertum dari penyidik atau dari pengadilan pada masa menjelang persidangan.
Daftar Pustaka

1. Afandi, Dedi. 2017. Visum et Repertum Tata Laksana dan Cara Pembuatan Edisi II. Fakultas
Kedokteran Universitas Riau.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pengembangan: puskesmas mampu
tatalaksana kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2009.
3. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan.
4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 68 tahun 2013 tentang Kewajiban Memberikan Informasi
Dugaan Kekerasan terhadap Anak oleh Pemberi Layanan Kesehatan

Вам также может понравиться

  • JN
    JN
    Документ71 страница
    JN
    Andi Kania Putri
    0% (1)
  • BM
    BM
    Документ13 страниц
    BM
    Andi Kania Putri
    Оценок пока нет
  • SD
    SD
    Документ1 страница
    SD
    Andi Kania Putri
    Оценок пока нет
  • Case DR Lisa FIX MAJU
    Case DR Lisa FIX MAJU
    Документ64 страницы
    Case DR Lisa FIX MAJU
    Andi Kania Putri
    Оценок пока нет
  • Case Fix Kayuagung Meningitis
    Case Fix Kayuagung Meningitis
    Документ36 страниц
    Case Fix Kayuagung Meningitis
    Andi Kania Putri
    Оценок пока нет
  • Kerangka Operasional
    Kerangka Operasional
    Документ1 страница
    Kerangka Operasional
    Andi Kania Putri
    Оценок пока нет
  • LI Kania 25 C
    LI Kania 25 C
    Документ40 страниц
    LI Kania 25 C
    Andi Kania Putri
    Оценок пока нет