Вы находитесь на странице: 1из 19

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

B. Hasil Penelitian
1. Analisis Univariat
Analisa univariat dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, jenis persalinan,
prematuritas, asfiksia, BBLR, infeksi/sepsis, trauma lahir (sefalhaematom) dan
kejadian ikterik neonatorum.
Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Analisa Univariat Bayu Baru Lahir di Ruang Perinatologi RSU PKU
Muhammadiyah Delanggu Tahun 2017 (n=70)
No Karakteristik Frekuensi %
Jenis Kelamin
1 Perempuan 26 37,1
2 Laki-laki 44 62,9
Jenis Persalinan
1 Tidak Spontan 36 51,4
2 Spontan 34 48,6
Prematuritas
1 Prematur 15 21,4
2 Tidak Prematur 55 78,6
Asfiksia
1 Asfiksia 14 20,0
2 Tidak Asfiksia 56 80,0
BBLR
1 BBLR 17 24,3
2 BBLC 53 75,7
Infeksi/Sepsis
1 Infeksi 1 1,4
2 Tidak Infeksi 69 98,6
Trauma Lahir (Sefalhaematom)
1 Ada Trauma Lahir 2 2,9
2 Tidak Ada Trauma Lahir 68 97,1
Kejadian Ikterik Neonatorum
1 Ikterik Neonatorum 35 50,0
2 Tidak Ikterik Neonatorum 35 50,0
Sumber: Data primer diolah, 2019

Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa dari 70 responden mayoritas berjenis


kelamin laki-laki sebanyak 44 orang (62,9%) dan perempuan sebanyak 26 orang
(37,1%). Jenis persalinan mayoritas responden termasuk lahir secara tidak spontan
sebanyak 36 orang (51,4%). Prematuritas mayoritas responden termasuk lahir
secara tidak prematur sebanyak 55 orang (78,6%). Asfiksia mayoritas bayi baur
lahir termasuk tidak asfiksia sebanyak 56 orang (80%). Berat badan bayi baru lahir
sebagian besar adalah BBLC sebanyak 53 orang (75,7%). Infeksi/sepsis mayoritas
bayi baru lahir tidak infeksi sebanyak 69 orang (98,6%). Trauma lahir
(sefalhaematom) mayoritas bayi baur lahir termasuk tidak ada trauma lahir
sebanyak 68 orang (97,1%). Kejadian ikterik neonatorum dan tidak ikterik
neonatorum pada bayi baru lahir sama besar masing-masing sebanyak 35 orang
(50%).
2. Analisis Bivariat
Analisa ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel independent
(variabel bebas) dengan variabel dependent (variabel terikat). Uji yang digunakan
yaitu dengan uji Chi Square (χ2) dan penilaian besar risiko dilakukan menggunakan
analisis odd ratio (OR) dengan confident interval 95% yang dilengkapi nilai lower
limit (LL) dan upper limit (UL) dari uji tersebut didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 4.2
Hubungan Faktor-faktor Resiko dengan Kejadian Ikterik Neonatorum di Ruang Perinatologi
RSU PKU Muhammadiyah Delanggu Tahun 2017
Variabel Independen Ikterik Neo Tidak Ikterik Neo Total 95%CI
2 sig OR
n % n % n % (LL-UL
Jenis Persalinan
Tidak spontan 24 34,3 12 17,1 36 51,4 8,235 0,004 4,182 1,541-
Spontan 11 15,7 23 32,9 34 48,6 11,347
Asfexia
Asfexia 8 11,4 6 8,6 14 20,0 0,357 0,550 1,432 0,440-
Tidak Asfexia 27 38,6 29 41,4 56 80,0 4,666
Jenis Kelamin
Perempuan 14 20,0 12 17,1 26 37,1 0,245 0,621 1,278 0,483-
Laki-laki 21 30,0 23 32,9 44 62,9 3,377
BBLR
BBLR 15 21,4 2 2,9 17 24,3 13,130 0,000 12,375 2,558-
BBLC 20 28,6 33 47,1 53 75,7 59,869
Usia Kehamilan
Prematur 14 20,0 1 1,4 15 21,4 14,339 0,000 22,667 2,775-
Tidak prematur 21 30,0 34 48,6 55 78,6 185,177
Trauma Lahir
Ada trauma 1 1,4 1 1,4 2 2,9 0,000 1,000 1,000 0,060-
Tidak ada trauma 34 48,6 34 48,6 68 97,1 16,648
Infeksi/Sepsis
Infeksi 1 1,4 0 0,0 1 1,4 1,014 0,314 2,029 1,597-
Tidak infeksi 34 48,6 35 50,0 69 98,6 2,578
Sumber: Data primer diolah, 2019

Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa faktor jenis persalinan diketahui


bahwa bayi baru lahir yang dilahirkan secara tidak spontan yang mengalami ikterik
neonatorum sebanyak 24 orang (34,3%) lebih banyak dibandingkan bayi yang
tidak mengalami ikterik neonatorum sebanyak 12 orang (17,1%). Bayi baru lahir
yang lahir secara spontan yang mengalami tidak ikterik neonatorum sebanyak 23
orang (32,9%) lebih banyak dibandingkan bayi yang lahir mengalami ikterik
neonatorum sebanyak 11 orang (15,7%). Hasil uji statistik dengan menggunakan
chi square diperoleh nilai 2 = 8,235 > 2 tabel (3,84) dan nilai signifikansi (p
value) sebesar 0,004 < 0,05 dan nilai OR = 4,182 pada interval LL – UL = 1,541-
11,347 dengan tingkat kepercayaan 95%. Jadi Ha diterima dan Ho ditolak
sehingga dapat diartikan ada hubungan jenis persalinan dengan kejadian ikterik
neonatorum di RSU PKU Muhammadiyah Delanggu Tahun 2017.
Faktor asfexia diketahui bahwa bayi baru lahir yang mengalami asfeksia
dengan ikterik neonatorum sebanyak 8 orang (11,4%) lebih banyak dibandingkan
yang tidak mengalami ikterik neonatorum sebanyak 6 orang (8,6%). Bayi baru
lahir yang tidak asfeksia dengan tidak mengalami ikterik neonatorum sebanyak 29
orang (41,4%) lebih banyak dibandingkan bayi yang mengalami ikterik
neonatorum sebanyak 27 orang (38,6%). Hasil uji statistik dengan menggunakan
chi square diperoleh nilai 2 = 0,357 < 2 tabel (3,84) dengan nilai signifikansi (p
value) 0,550 > 0,05 dan nilai OR = 1,432 pada interval LL – UL = 0,440-4,666
dengan tingkat kepercayaan 95%. Jadi Ha ditolak dan Ho diterima sehingga dapat
diartikan tidak ada hubungan asfeksia dengan kejadian ikterik neonatorum di RSU
PKU Muhammadiyah Delanggu Tahun 2017.
Faktor jenis kelamin diketahui bayi baru lahir perempuan dengan ikterik
neonatorum sebanyak 14 orang (20,0%) lebih banyak dibandingkan bayi yang
tidak ikterik neonatorum sebanyak 12 orang (17,1%). Bayi baru lahir laki-laki
dengan tidak ikterik neonatorum lebih banyak sebanyak 23 orang (32,9%)
dibandingkan yang mengalami ikterik neonatorum sebanyak 21 orang (30,0%).
Hasil uji statistik dengan menggunakan chi square diperoleh nilai 2 = 0,245 < 2
tabel (3,84) dan nilai signifikansi (p value) sebesar 0,621 > 0,05 dan nilai OR =
1,278 pada interval LL – UL = 0,483 – 3,377 dengan tingkat kepercayaan 95%.
Jadi Ha ditolak dan Ho diterima sehingga dapat diartikan tidak ada hubungan jenis
kelamin dengan kejadian ikterik neonatorum di RSU PKU Muhammadiyah
Delanggu Tahun 2017.
Faktor usia kehamilan diketahui bahwa bayi baru lahir prematur dengan
ikterik neonatorum sebanyak 14 orang (20,0%) lebih banyak dibandingkan bayi
yang tidak mengalami ikterik neonatorum sebanyak 1 orang (1,4%). Bayi baru
lahir tidak prematur yang tidak mengalami ikterik neonatorum sebanyak 34 orang
(48,6%) lebih banyak dibandingkan bayi yang mengalami ikterik neonatorum
sebanyak 21 orang (30,0%). Hasil uji statistik dengan menggunakan chi square
diperoleh nilai 2 = 14,339 > 2 tabel (3,84) dengan nilai signifikansi (p value)
sebesar 0,000 < 0,05 dan nilai OR = 22,667 pada interval LL – UL 2,775 –
185,177 dengan tingkat kepercayaan 95%. Jadi Ha diterima dan Ho ditolak
sehingga dapat diartikan ada hubungan prematuritas (usia kehamilan) dengan
kejadian ikterik neonatorum di RSU PKU Muhammadiyah Delanggu Tahun 2017.
Faktor BBLR diketahui bahwa bayi baru lahir BBLR mengalami ikterik
neonatorum sebanyak 15 orang (21,4%) lebih banyak dibandingkan bayi yang
tidak mengalami ikterik neonatorum sebanyak 2 orang (2,9%). Bayi baru lahir
BBLC yang tidak mengalami ikterik neonatorum sebanyak 33 orang (47,1%) lebih
banyak dibandingkan yang mengalami ikterik neonatorum sebanyak 20 orang
(28,6%). Hasil uji statistik dengan menggunakan chi square diperoleh nilai 2 =
13,130 > 2 tabel (3,84) dengan nilai signifikansi (p value) 0,000 < 0,05 dan nilai
OR = 12,375 pada interval LL – UL = 2,558 – 59,869 dengan tingkat kepercayaan
95%. Jadi Ha diterima dan Ho ditolak sehingga dapat diartikan ada hubungan
BBLR dengan kejadian ikterik neonatorum di RSU PKU Muhammadiyah
Delanggu Tahun 2017.
Faktor trauma lahir diketahui bahwa bayi baru lahir yang mengalami
trauma lahir antara yang mengalami tidak ikterik neonatorum dengan yang
mengalami ikterik neonatorum sama besar yaitu sebanyak 1 orang (1,4%). Bayi
baru lahir yang tidak mengalami trauma lahir antara yang mengalami tidak ikterik
neonatorum dengan yang mengalami ikterik neonatorum sama besar yaitu
sebanyak 34 orang (48,6%). Hasil uji statistik dengan menggunakan chi square
diperoleh nilai 2 = 0,000 < 2 tabel (3,84) dan nilai signifikansi (p value) sebesar
1,000 > 0,05 dan nilai OR = 1,000 pada interval LL – UL = 0,060-16,648 dengan
tingkat kepercayaan 95%. Jadi Ha ditolak dan Ho diterima sehingga dapat
diartikan tidak ada hubungan trauma lahir dengan kejadian ikterik neonatorum di
RSU PKU Muhammadiyah Delanggu Tahun 2017.
Faktor infeksi/sepsis diketahui bahwa bayi baru lahir mengalami
infeksi/sepsis dengan ikterik neonatorum sebanyak 1 orang (1,4%) lebih banyak
dibandingkan yang tidak mengalami ikterik neonatorum sebanyak 0 orang (0%).
Bayi baru lahir yang tidak mengalami infeksi/ sepsis dengan tidak ikterik
neonatorum sebanyak 35 orang (50%) lebih banyak dibandingkan bayi yang
mengalami ikterik neonatorum sebanyak 34 orang (48,6%). Hasil uji statistik
dengan menggunakan chi square diperoleh nilai 2 = 1,014 < 2 tabel (3,84)
dengan nilai signifikansi (p value) 0,314 > 0,05 dan nilai OR = 2,029 pada interval
LL – UL = 1,597-2,578 dengan tingkat kepercayaan 95%. Jadi Ha ditolak dan Ho
diterima sehingga dapat diartikan tidak ada hubungan infeksi/sepsis dengan
kejadian ikterik neonatorum di RSU PKU Muhammadiyah Delanggu Tahun 2017.
3. Analisis Multivariat
Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui pengaruh banyak variabel
bebas dengan suatu variabel terikat. Masing variabel independent dilakukan analisis
bivariat dengan variabel dependent. Bila hasil analisi bivariat menghasilkan p value <
0,25 maka variabel terebut masuk dalam tahap analsis multivariat.
Tabel 4.3
Hasil Analisa Bivariat Faktor Resiko Terjadinya Ikterik Neonatorum di
RSU PKU Muhammadiyah Delanggu Tahun 2017
Variabel p value p –value normal
Jenis Persalinan 0,004* 0,25
Asfiksia 0,550
Jenis Kelamin 0,621
BBLR 0,000*
Usia Kehamilan 0,000*
Trauma Lahir 1,000
Infeksi/sepsis 0,314
*masuk ke model analisis berikutnya

Berdasarkan tabel 4.3 pada ketujuh faktor yang diteliti diketahui dengan
menggunakan model seleksi bivariat diperoleh nilai p-value < 0,25 terdapat tiga
variabel yaitu jenis persalinan, BBLR, dan usia kehamilan, sedangkan empat variabel
yang lain yaitu asfiksia, jenis kelamin, trauma lahir dan infeksi/sepsis tidak masuk
akan tetapi dengan pertimbangan subtansi karena keempat variabel dianggap penting
sehinggga tetap dimasukan ke dalam table dan ikut dianalisis multivariat dengan
menggunakan analisis regresi logistik.
Hasil analisis multivariat diketahui dilakukan sebanyak 4 step pada analisis
regresi logistik metode Backward dan hasil akhirnya adalah sebagai berikut.

Tabel 4.4
Faktor Resiko Terjadinya Ikterik Neonatorum Di RSU PKU Muhammadiyah Delanggu Tahun 2017
Tahap Variabel B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95,0% C.I.for
seleksi Penelitian EXP(B)
Lower Upper
Step 1a JK 1.311 .716 3.346 1 .067 3.708 .911 15.100
Persalinan 2.119 .743 8.146 1 .004 8.326 1.943 35.686
Usia Kehamilan 2.976 1.221 5.946 1 .015 19.616 1.793 214.580
Asfiksia .023 .981 .001 1 .981 1.023 .150 6.993
Berat Badan 2.473 .963 6.591 1 .010 11.856 1.795 78.316
Trauma Lahir -1.873 3.682 .259 1 .611 .154 .000 209.294
Infeksi 21.650 4.019E4 .000 1 1.000 2.526E9 .000 .
Constant -26.089 4.019E4 .000 1 .999 .000
Step 2a JK 1.311 .717 3.346 1 .067 3.708 .911 15.104
Persalinan 2.119 .743 8.143 1 .004 8.327 1.942 35.703
Usia Kehamilan 2.975 1.219 5.956 1 .015 19.588 1.796 213.618
Berat Badan 2.478 .939 6.962 1 .008 11.916 1.891 75.075
Trauma Lahir -1.855 3.597 .266 1 .606 .157 .000 180.267
Infeksi 21.670 4.019E4 .000 1 1.000 2.578E9 .000 .
Constant -26.112 4.019E4 .000 1 .999 .000
Step 3a JK 1.283 .714 3.231 1 .072 3.607 .891 14.607
Persalinan 2.145 .745 8.299 1 .004 8.543 1.985 36.765
UsiaKehamilan 2.948 1.217 5.869 1 .015 19.068 1.756 207.075
BeratBadan 2.488 .942 6.983 1 .008 12.039 1.902 76.216
Infeksi 21.668 4.019E4 .000 1 1.000 2.573E9 .000 .
Constant -27.922 4.019E4 .000 1 .999 .000
Step 4a JK 1.199 .706 2.883 1 .089 3.318 .831 13.243
Persalinan 2.204 .739 8.889 1 .003 9.064 2.128 38.607
UsiaKehamilan 2.883 1.215 5.633 1 .018 17.868 1.652 193.245
BeratBadan 2.454 .943 6.775 1 .009 11.633 1.833 73.827
Constant -6.201 1.678 13.651 1 .000 .002
Sumber: Data primer diolah, 2019

Berdasarkan hasil analisis regresi logistik seperti disajikan tabel 4.4 bahwa dari
4 step diketahui faktor jenis persalinan, usia kehamilan dan BBLR merupakan faktor-
faktor yang berhubungan dengan kejadian ikterik neonatorum di RSU PKU Delanggu
Tahun 2017. Sedangkan faktor jenis kelamin, asfiksia, trauma lahir, dan infeksi/sepsis
sampai 4 step tidak berhubungan dengan kejadian ikterik neonatorum, sehingga
disimpulkan bahwa faktor jenis kelamin, asfiksia, trauma lahir dan infeksi/sepsis
merupakan variabel confounding atau kontrol.
Hasil analisis multivariat diketahui faktor jenis persalinan mempunyai nilai wald
sebesar 8,889 > 2 tabel (3,84) dengan signifikansi (0,003) < 0,05 maka dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan jenis persalinan dengan kejadian ikterik
neonatorum. Didukung dengan nilai Exp(B) (OR) sebesar 9,064 dengan IK 95%
2,128-38,607 artinya bayi yang lahir secara tidak spontan mempunyai kemungkinan
9,064 kali untuk mengalami ikterik neonatorum dibandingkan dengan bayi yang lahir
spontan.
Faktor usia kehamilan mempunyai nilai wald sebesar 5,633> 2 tabel (3,84)
dengan signifikansi (0,018) < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan usia
kehamilan dengan kejadian ikterik neonatorum. Didukung dengan nilai Exp(B) (OR)
sebesar 17,868 dengan IK 95% 1,652-193,245 artinya bayi yang lahir dengan usia
kehamilan prematur mempunyai kemungkinan 17,868 kali untuk mengalami ikterik
neonatorum dibandingkan dengan bayi tidak prematur.
Faktor BBLR mempunyai nilai wald sebesar 6,775> 2 tabel (3,84) dengan
signifikansi (0,009) < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan BBLR
dengan kejadian ikterik neonatorum. Didukung dengan nilai Exp(B) (OR) sebesar
11,633 dengan IK 95% 1,833 – 73,827 artinya bayi yang lahir dengan BBLR
mempunyai kemungkinan 11,633 kali untuk mengalami ikterik neonatorum
dibandingkan dengan bayi BBLC.

BAB V
PEMBAHASAN

A. Pembahasan
1. Analisa Univariat
Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya ikterus neonatorum. Secara
garis besar faktor yang di duga terdapat dua penyebab yaitu faktor maternal dan
neonatal. Dalam penelitian ini faktor maternal hanya diambil faktor jenis persalinan
saja, sedangkan faktor neonatal dilihat dari faktor jenis kelamin, prematuritas, BBLR,
asfexia, trauma lahir (cephal haematoma), dan infeksi/sepsis.
Faktor resiko dilihat dari faktor maternal yaitu faktor jenis persalinan,
berdasarkan hasil analisis univariat diketahui jenis persalinan tidak spontan lebih
banyak dibandingkan persalinan spontan. Dari faktor ibu antara lain jenis persalinan di
mana bayi yang lahir spontan pervaginam di temukan hasil kadar bilirubin lebih tinggi
di banding dengan bayi yang lahir secara section caesaria, bayi yang lahir spontan
dengan induksi oksitosin pun mempunyai kadar bilirubin yang sedikit lebih tinggi di
banding dengan bayi yang lahir spontan tanpa induksi oksitosin, sedangkan untuk
faktor bayi di dapatkan bahwa bayi berjenis kelamin perempuan mempunyai resiko
hiperbilirubinemia yang lebih tinggi dari pada bayi laki laki (Garosi et all, 2016).
Ditambahkan Rosmawaty (2015) bahwa Ibu yang melahirkan SC biasanya jarang
menyusui langsung bayinya karena ketidaknyamanan pasca operasi, dimana diketahui
ASI ikut berperan untuk menghambat terjadinya sirkulasi enterorehepatik bilirubin
pada neonatus. Jika menderita hiperbilirubin pada setiap jenis persalinan, maka
section caesarea merupakan presentase terbesar karena section caesarea merupakan
jenis persalinan dengan risiko tinggi dibandingkan dengan jenis persalinan lainnya.
Hal ini diperkuat oleh Marlina (2017) dalam penelitiannya menyebutkan ikterus
neonatorum dapat terjadi pada setiap proses persalinan, baik persalinan normal
maupun persalinan tindakan. Bayi yang dilahirkan secara normal maupun tindakan,
kemungkinan pada saat lahir tidak langsung menangis dan keterlambatan menangis
sehingga mengakibatkan kelainan hemodinamika sehingga depresi pernapasan dan
menyebabkan hipoksia di seluruh tubuh yang berakibat timbulnya asidosis
respiratorik/metabolik yang dapat mengganggu metabolisme bilirubin. Jenis
persalinan spontan lebih besar memiliki resiko untuk terjadinya trauma dibandingkan
dengan SC. Tetapi kejadian ikterus ini bisa terjadi pada setiap jenis persalinan,
meskipun SC merupakan jenis persalinan dengan resiko paling kecil dibandingkan
dengan jenis persalinan lainnya. Karena, umumnya bayi dilahirkan secara SC setelah
mempertimbangkan faktor resiko yang terjadi selama kehamilan (Ifalahma, 2015).
Jadi dapat peneliti simpulkan bahwa jenis persalinan spontan maupun tidak spontan
mempunyai peluang risiko terhadap kejadian ikterus neonatorum karena setiap jenis
persalinan memungkinkan terjadi komplikasi.
Faktor neonatal riwayat asfixia bayi saat lahir diketahui dari 70 subyek pada
penelitian ini, didapatkan bayi tidak asfixia proporsinya lebih besar dibandingkan bayi
yang asfixia saat lahir. Yuliawati dan Astutik (2018) menyatakan bahwa tingkat
keparahan hipoksemia pada neonatus asfiksia berdampak negatif bagi hepar dan organ
tubuh lainnya. Syok hepar (gangguan berat hepar) akibat dari asfiksia dapat
mengganggu fungsi fisiologis hepar, dimana hal ini mengakibatkan adanya hipoperfusi
hepar. Kurangnya asupan oksigen pada organ-organ tubuh sehingga fungsi organ tidak
maksimal, glikogen yang dihasilkan tubuh dalam hati berkurang yang menyebabkan
hiperbilirubinemia. Asfiksia dapat menyebabkan hipoperfusi hati, yang kemudian akan
mengganggu uptake dan metabolisme bilirubin hepatosit sehingga menyebabkan
hiperbilirubinemia. Hasil penelitian ini didukung hasil penelitian Sastrawati dan
Meliati (2012) dimana proporsi bayi saat lahir tidak asfixia (53,8%) lebih besar
dibandingkan yang mengalami asfixia (46,2%).
Faktor neonatal jenis kelamin bayi diketahui dari 70 subyek pada penelitian ini,
didapatkan subyek laki-laki lebih besar dibandingkan subyek perempuan. Dari
berbagai penelitian proporsi kejadian ikterik neonatorum berdasarkan jenis kelamin
cukup bervariasi namun tidak terdapat perbedaan yang mencolok antar kedua jenis
kelamin. Dari hasil technical report American Academy of Pediatries tahun 2004
disebutkan bahwa subyek neonatus aterm dan near-term (usia gestasi > 34 minggu)
dengan ensefalopati bilirubin, diperoleh hasil subyek laki-laki lebih besar
dibandingkan perempuan. Hasil penelitian ini juga didukung hasil penelitian Tazami
dkk (2013) proporsi bayi laki-laki lebih besar dibandingkan bayi perempuan. Dalam
penelitiannya menjelaskan bahwa terdapat beberapa hal yang mempengaruhi neonatus
laki-laki memiliki risiko ikterik lebih tinggi dibandingkan dengan neonatus
perempuan, diantaranya: a. Prevalensi Sindrom Gilbert (kelainan genetik konjugasi
bilirubin) dilaporkan lebih dari dua kali lipat ditemukan pada laki-laki dibandingkan
pada perempuan . b.Defisiensi G6PD merupakan suatu kelainan enzim tersering pada
manusia, yang terkait kromosom sex (x-linked) dimana pada umumnya hanya
bermanifestasi pada laki-laki. Enzim G6PD sendiri berfungsi dalam menjaga keutuhan
sel darah merah sekaligus mencegah hemolitik. Meskipun demikian, sampai saat ini
belum peneliti dapatkan kepustakaan yang menyebutkan adanya hubungan antara jenis
kelamin dengan kejadian ikterik neonatorum. Diperkuat hasil penelitian Yuliawati dan
Astutik (2018) dimana responden laki-laki, hampir seluruh responden mengalami
ikterus patologis (80,8%) sedangkan responden perempuan hanya sebagian responden
mengalami ikterus patologis (67,9%).
Faktor neonatal berat badan saat bayi lahir diketahui dari 70 subyek pada
penelitian ini, didapatkan bayi BBLC proporsinya lebih besar dibandingkan bayi
BBLR. Hasil penelitian ini diperkuat hasil penelitian Puspita (2018), Yuliawati dan
Astutik (2018), dan Cholifah, dkk (2016) dimana proporsi bayi lahir berat badan
normal lebih banyak dibandingkan bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR).
Kondisi kelahiran bayi dapat berkaitan dengan BBLR dimana BBLR juga akan
berkaitan dengan kejadian ikterus neonatorum. Berat badan lahir sangat
mempengaruhi terutama bayi yang mengalami BBLR, salah satu penyulit atau
masalah yang dialami bayi dengan berat lahir rendah adalah gangguan metabolisme
sehingga menimbulkan asidosis, hipoglisemia, dan hiperbilirubinemia. Menurut teori,
hiperbilirubin terjadi pada bayi dengan berat badan lahir rendah yaitu: 34,5% dan
62,5% pada berat badan lahir normal. Hal ini disebabkan neonatus dengan berat badan
antara 2500 – 4000 gram memiliki metabolisme yang tinggi, selain itu juga produksi
bilirubin relatif lebih tinggi dibandingkan bayi-bayi dengan berat badan kurang dari
2500 gram (Hafizah dan Imelda, 2013).
Faktor neonatal usia kehamilan (prematuritas bayi) diketahui dari 70 subyek
pada penelitian ini, didapatkan bayi tidak prematur proporsinya lebih besar
dibandingkan bayi yang prematur. Hasil penelitiannya diperkuat hasil penelitian
Yuliawati dan Astutik (2018); Marlina (2017) dan Roselina dkk (2013) dimana
proporsi bayi lahir cukup bulan lebih banyak dibandingkan bayi yang lahir kurang
bulan. Usia kehamilan merupakan faktor risiko terhadap kejadian ikterus pada bayi
baru lahir, karena usia kehamilan merupakan faktor yang penting dan penentu kualitas
kesehatan bayi yang akan dilahirkan karena bayi baru lahir dengan usia kehamilan
kurang bulan akan berkaitan dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan akan
berpengaruh terhadap daya tahan tubuh bayi yang belum bisa beradaptasi dengan
lingkungan diluar rahim. Ikterus pada bayi terjadi di minggu pertama kehidupan bayi,
terjadi 80% pada neonatus kurang bulan dan 60% pada bayi cukup bulan (Danaei, et
al. 2016). Bayi baru lahir dengan kehamilan kurang dari 37 minggu terjadi imaturitas
enzimatik, karena belum sempurnanya pematangan hepar sehingga konjugasi bilirubin
indirek belum sempurna kemudian terjadi penumpukan bilirubin, hal ini yang
menyebabkan bayi kurang bulan lebih sering mengalami ikterus dibandingkan bayi
cukup bulan (Ifalahma, 2015).
Faktor neonatal trauma lahir (sefalhematom) diketahui dari 70 subyek pada
penelitian ini, didapatkan bayi yang tidak mengalami trauma lahir proporsinya lebih
besar dibandingkan bayi yang mengalami trauma lahir. Trauma lahir adalah suatu
tanda yang timbul akibat proses persalinann Trauma lahir yang sering terjadi pada
umumnya tidak memerlukan tindakan khusus. Hanya beberapa jenis kasus yang
memerlukan tindakan lebih lanjut. Sefalhematom merupakan perdarahan di bawah
lapisan tulang tengkorak terluar akibat benturan kepala bayi dengan panggul ibu.
Paling umum terlihat pada sisi samping kepala, tetapi kadang dapat terjadi pada bagian
belakang kepala. Pada trauma lahir sangat mungkin terjadi perdarahan tertutup
sehingga terjadi hemolisis yang berlebihan sehingga mengakibatkan peningkatan
kadar bilirubin (Mojtahedi et all, 2018). Hasil penelitian ini diperkuat Sastrawati dan
Meliati (2012) serta hasil penelitian dan Cholifah, dkk (2016) dimana bayi yang tidak
mengalami trauma kelahiran lebih banyak proporsinya dibandingkan yang mengalami
trauma.
Faktor neonatal infeksi/sepsis diketahui dari 70 subyek pada penelitian ini,
didapatkan bayi yang tidak mengalami infeksi/sepsis proporsinya lebih besar
dibandingkan bayi yang mengalami infeksi/sepsis. Sepsis yang terjadi pada
neonatorum pada umumnya disebabkan oleh bakteri, jamur, dan virus yang dapat
terjadi karena berbagai faktor seperti ketuban pecah dini, demam pada ibu saat
persalinan, dan kurang masa kehamilan yang dapat mengakibatkan bayi mengalami
asfiksia perinatal, berat bayi lahir rendah, kelainan bawaan, prosedur invasif yang
mengarah menjadi sepsis. Hasil penelitian ini diperkuat Sastrawati dan Meliati (2012)
serta hasil penelitian dan Cholifah, dkk (2016) dimana bayi yang tidak mengalami
trauma kelahiran lebih banyak proporsinya dibandingkan yang mengalami trauma.
Menurut Tazami dkk (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat dua
proses yang melibatkan antara komplikasi (asfiksia, sepsis, sefalhematom) dengan
risiko terjadinya ikterus neonatorum, yaitu; (a) Produksi yang berlebihan, hal ini
melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada perdarahan tertutup
dan sepsis. (b) Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar, gangguan ini
dapat disebabkan oleh hipoksia dan infeksi. Asfiksia dapat menyebabkan hipoperfusi
hati, yang kemudian akan mengganggu uptake dan metabolisme bilirubin hepatosit.
2. Hubungan antara Jenis Persalinan dengan Kejadian Ikterik Neonatorum
Jenis persalinan merupakan salah satu faktor-faktor penyebab kejadian ikterik
neonatorum dilihat dari faktor maternal. Meskipun kejadian asfiksia, trauma dan
aspirasi mekonium bisa berkurang dengan SC, risiko distress pernapasan sekunder
sampai takipneu transien, defisiensi surfaktan, dan hipertensi pulmonal dapat
meningkat. Hal tersebut bisa berakibat terjadinya hipoperfusi hepar dan menyebabkan
proses konjugasi bilirubin terhambat. Bayi yang lahir dengan SC juga tidak
memperoleh bakteri-bakteri menguntungkan yang terdapat pada jalan lahir ibu yang
berpengaruh pada pematangan sistem daya tahan tubuh, sehingga bayi lebih mudah
terinfeksi. Jika menderita hiperbilirubin pada setiap jenis persalinan, maka section
caesarea merupakan presentase terbesar karena section caesarea merupakan jenis
persalinan dengan risiko tinggi dibandingkan dengan jenis persalinan lainnya
(Rosmawaty, 2015). Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi jenis persalinan
tidak spontan mayoritas mengalami ikterik neonatorum (34,3%) dan jenis persalinan
spontan mayoritas tidak mengalami ikterik neonatorum (32,9%). Secara keseluruhan,
persalinan pervaginam dengan bantuan vakum, sefalohematoma, dan induksi oksitosin
dianggap sebagai faktor risiko hiperbilirubinemia. Dengan kata lain jenis persalinan
tidak spontan mempunyai kecenderungan terjadinya ikterik neonatorum (Garosi et all,
2016). Bayi yang lahir dengan SC juga tidak memperoleh bakteri-bakteri
menguntungkan yang terdapat pada jalan lahir ibu yang berpengaruh pada pematangan
sistem daya tahan tubuh, sehingga bayi lebih mudah terinfeksi. Ibu yang melahirkan
SC biasanya jarang menyusui langsung bayinya karena ketidaknyamanan pasca
operasi, dimana diketahui ASI ikut berperan untuk menghambat terjadinya sirkulasi
enterohepatik bilirubin pada neonatus (Tazami dkk, 2013).
Hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis
persalinan dengan kejadian ikterik neonatorum di ruang perinatologi RSU PKU
Muhammadiyah Delanggu dengan nilai 2 = 8,235 > 2 tabel (3,84) dan nilai
signifikansi (p value) sebesar 0,004 < 0,05 dan hasil analisis multivariat faktor jenis
persalinan ini merupakan faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi faktor
resiko terjadinya ikterik neonatorum dengan nilai OR sebesar 9,064, yang dapat
diartikan bahwa ibu dengan jenis persalinan tidak spontan memiliki peluang 9,064
bayinya mengalami ikterik neonatorum dibandingkan ibu dengan jenis persalinan
spontan. Peneliti berasumsi bahwa jenis persalinan spontan lebih besar memiliki
resiko untuk terjadinya trauma dibandingkan dengan tidak spontan. Tetapi kejadian
ikterus ini bisa terjadi pada setiap jenis persalinan, meskipun secara SC merupakan
jenis persalinan dengan resiko paling kecil dibandingkan dengan jenis persalinan
lainnya. Karena, umumnya bayi dilahirkan secara SC setelah mempertimbangkan
faktor resiko yang terjadi selama kehamilan. Terjadinya persalinan dengan tindakan
dapat menyebabkan terjadinya asfiksia dan cidera pada bayi yang dapat meniimbulkan
infeksi dan dapat berakibat kelainan pada bayi, seperti ikterus neonatorum. Hal
tersebut dapat menyebabkan kematian bayi pada jangka pendek dan keterbelakangan
mental untuk jangka panjang. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Roselina
dkk (2013), Haryanti (2017), Bahar (2017) dan Alliyah (2017) dimana ada hubungan
jenis persalinan dengan terjadinya ikterik neonatorum, dimana bayi yang lahir secara
tidak spontan termasuk melalui SC memiliki kecenderungan mengalami ikterik
neonatorum lebih besar dibandingkan bayi yang lahir secara spontan. Persalinan sectio
caesaria akan menunda ibu untuk menyusui bayinya, yang kemudian dapat
berdampak pada lambatnya pemecahan kadar bilirubin yang akhirnya menyebabkan
terjadinya ikterik neonatorum.
3. Hubungan antara Asfexia Neonatorum dengan Kejadian Ikterik Neonatorum
Asfexia neonatorum merupakan salah satu faktor faktor resiko penyebab
terjadinya ikterik neonatorum dari faktor neonatal. tingkat keparahan hipoksemia pada
neonatus asfiksia berdampak negatif bagi hepar dan organ tubuh lainnya. Syok hepar
(gangguan berat hepar) akibat dari asfiksia dapat mengganggu fungsi fisiologis hepar,
dimana hal ini mengakibatkan adanya hipoperfusi hepar. Kurangnya asupan oksigen
pada organ-organ tubuh sehingga fungsi organ tidak maksimal, glikogen yang
dihasilkan tubuh dalam hati berkurang yang menyebabkan hiperbilirubinemia.
Asfiksia dapat menyebabkan hipoperfusi hati, yang kemudian akan mengganggu
uptake dan metabolisme bilirubin hepatosit sehingga menyebabkan hiperbilirubinemia
(Yuliawati dan Astutik, 2018). Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi bayi
lahir dengan asfixia mayoritas mengalami ikterik neonatorum (11,4%) dan bayi yang
tidak mengalami asfixia mayoritas tidak mengalami ikterik neonatorum (41,4%). Hal
ini berarti terjadinya asfiksia dapat menyebabkan hipoperfusi hati, yang kemudian
akan mengganggu uptake dan metabolisme bilirubin hepatosit yang akhirnya
menyebabkan terjadinya ikterik neonatorum.
Hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
asfixia neonatorum dengan kejadian ikterik neonatorum di ruang perinatologi RSU
PKU Muhammadiyah Delanggu dengan nilai 2 = 0,357 < 2 tabel (3,84) dan nilai
signifikansi (p value) sebesar 0,550 > 0,05. Hal ini dapat diartikan bahwa dalam
penelitian ini faktor asfixia neonatorum bukan merupakan faktor terjadinya ikterik
neonatorum di RSU PKU Muhammadiyah Delanggu Tahun 2017. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena banyak neonatus yang lahir tidak mengalami asfixia
dan dimungkinkan riwayat bayi dengan asfiksia bukan merupakan faktor yang
berhubungan dengan kejadian ikterik neonatorum, hal ini dimungkinkan karena faktor
lain yang menyebabkan ikterik neonatorum. Sehingga hasil penelitian ini tidak mampu
mendukung hasil penelitian sebelumnya, dimana ada hubungan asfixia dengan
kejadian ikterik neonatorum. Meskipun demikian nilai OR= 1,432 95% CI 0,440-
4,666, artinya neonatus dengan asfixia mempunyai resiko 1,432 kali mengalami
ikterus neonatorum dibandingkan dengan neonatus yang tidak mengalami asfixia.
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Choiriyah dkk (2016) dimana tidak
ada hubungan antara kejadian asfiksia dengan kejadian.
4. Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kejadian Ikterik Neonatorum
Faktor jenis kelamin dapat menjadi salah satu faktor resiko penyebab terjadinya
ikterik neonatus meskipun belum ada hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan
bahwa ada hubungan jenis kelamin dengan terjadinya ikterik neonatorum. Glukosa 6
fosfat dehydrogenase adalah enzim yang normalnya melindungi sel darah merah dan
sel-sel lain dari perlukaan oksidatif dan hemolisis. Glucose 6 phosphate
dehydrogenase deficiency (G6PD) adalah gangguan yang terkait X resesif sehingga
terutama disertai bayi-bayi laki-laki, meskipun bayi-bayi perempuan menderita
penyakit yang kurang parah (Teachers, 2012). Hasil analisis diketahui bahwa
meskipun mayoritas subyek penelitian berjenis kelamin laki-laki namun mayoritas
tidak mengalami ikterik neonatorum sedangkan responden perempuan mayoritas
mengalami ikterik neonatorum. Hal ini dapat diartikan bahwa dalam penelitian ini
tidak sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa neonatus laki-laki memiliki risiko
ikterik lebih tinggi dibandingkan dengan neonatus perempuan.
Hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
jenis kelamin dengan kejadian ikterik neonatorum di ruang perinatologi RSU PKU
Muhammadiyah Delanggu dengan nilai 2 = 0,245 < 2 tabel (3,84) dan nilai
signifikansi (p value) sebesar 0,621 > 0,05. Meskipun demikian nilai OR= 1,278 95%
CI 0,483-3,377, artinya neonatus jenis kelamin laki-laki mempunyai resiko 1,278 kali
mengalami ikterus neonatorum dibandingkan dengan neonatus jenis kelamin
perempuan. Tidak adanya hubungan tersebut, kemungkinan bisa disebabkan karena
faktor lain yang lebih berpengaruh. Menurut Kosim dkk, 2014, jenis kelamin laki-laki
merupakan salah satu faktor risiko minor hiperbilirubin berat pada bayi usia kehamilan
>35 minggu. Dari hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat faktor risiko mayor yang
lebih berpengaruh terhadap terjadinya ikterik neonatorum. Hasil penelitian ini
mendukung hasil penelitian Yuliawati dan Astutik (2018) dimana jenis kelamin tidak
berhubungan dengan kejadian ikterik neonatorum.
5. Hubungan antara Berat Badan Lahir Rendah dengan Kejadian Ikterik
Neonatorum
Faktor berat badan bayi saat lahir merupakan salah satu faktor faktor resiko
kejadian ikterik neonatorum dari faktor neonatal. Bayi dengan berat lahir rendah
mengalami peningkatan risiko terhadap kejadian infeksi karena cadangan
immunologlobulin maternal menurun, kemampuan untuk membentuk antibodi rusak
dan sistem integumen rusak (kulit tipis dan kapiler rentan), hipoglikemia karena bayi
prematur dan yang mengalami hambatan pertumbuhan memiliki simpanan glikogen
yang lebih rendah, sehingga tidak dapat memobilisasi glukosa secepat bayi aterm
normal selama periode segera setelah lahir dan bayi prematur memiliki respons
hormon dan enzim yang immatur, dan hiperbilirubin diakibatkan oleh faktor
kematangan hepar, hingga konjugasi bilirubin indirect menjadi direct belum sempurna.
Ikterus bisa diperberatkan oleh polisetemia, memar hemolisis dan infeksi karena
hiperbilirubin dapat mengakibatkan kern ikterus maka warna kulit bayi harus sering
dicatat dan bilirubin diperiksa, bila ikterus timbul dini atau lebih cepat bertambah
coklat ( Puspita, 2018 ). Hasil analisis diketahui bahwa mayoritas neonatus lahir
BBLR akan mengalami ikterik neonatorum dan neonatus yang lahir BBLC mayoritas
tidak mengalami ikterik neonatorum. Peneliti berasumsi bahwa kondisi BBLR,
pembentukan hepar belum sempurna (imaturitas hepar) sehingga menyebabkan
konjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk di hepar tidak sempurna. Proses
konjugasi bilirubin yang tidak sempurna ini menyebabkan terjadinya gangguan dalam
uptake bilirubin yang menyebabkan bayi mengalami ikterus.
Hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa ada hubungan antara berat
badan lahir rendah dengan kejadian ikterik neonatorum di ruang perinatologi RSU
PKU Muhammadiyah Delanggu dengan nilai 2 = 13,130 > 2 tabel (3,84) dan nilai
signifikansi (p value) sebesar 0,000 < 0,05. Hasil analisis multivariat diketahui bahwa
berat badan bayi saat lahir mempunyai nilai OR= 11,633 95% CI 1,833-73,827,
artinya bayi lahir BBLR mempunyai resiko 11,633 kali mengalami ikterus neonatorum
dibandingkan dengan bayi lahir BBLC. Menurut peneliti kondisi BBLR mengarah
pada terjadinya ikterus patologis pada bayi. Pada bayi kecil (bayi dengan berat lahir <
2500 g) hatinya belum matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang
tidak memadai sehingga serum bilirubin mencapai tingkat patologis sehingga
menyebabkan hiperbilirubin. Sedangkan pada bayi yang mengalami asfiksia, ikatan
bilirubin dengan protein menjadi terganggu, hal ini menyebabkan gangguan
pemecahan bilirubin plasma sehingga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin
tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang. Keadaan lain
yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan
konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan
saluran empedu akibat gangguan metabolisme karena kekurangan oksigen. Adanya
gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang
dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi, toksoplasmosis,
syphilis dapat menyebabkan hiperbilirubin. Hasil penelitian ini mendukung hasil
penelitian Sastrawati dan Meliati (2012); Widiawati (2017), dan Puspita (2018)
dimana BBLR mempunyai hubungan dengan kejadian ikterik neonatorum.
Berat Badan Lahir yang tidak normal (<2500 gram) sangat mempengaruhi
terjadinya ikterus neonatorum terutama pada bayi BBLR (Bayi berat lahir rendah), Hal
ini disebabkan belum matangnya fungsi hati bayi untuk memproses eritrosit (sel darah
merah) lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam minggu pertama
kehidupan disebabkan oleh keadaan ini. Banyak bayi, terutama bayi kecil (berat badan
kurang dari 2500 gram) pada saat lahir atau lahir sebelum usia gestasi 37 minggu
dapat mengalami ikterus selama minggu pertama kehidupan. Bayi BBLR kurang bulan
mengalami peningkatan risiko terhadap infeksi karena cadangan imunologlobulin
maternal menurun, kemampuan untuk membentuk antibodi rusak dan sistem
integumen rusak (kulit tipis dan kapiler rentan), hipoglikemia karena bayi prematur
dan yang mengalami hambatan pertumbuhan memiliki simpanan glikogen yang lebih
rendah sehingga tidak dapat memobilisasi glukosa secepat bayi aterm normal selama
periode segera setelah lahir dan bayi premature memiliki respons hormon dan enzim
yang imatur, dan hiperbilirubin disebabkan oleh faktor kematangan hepar, hingga
konjugasi bilirubin indirek menjadi direk belum sempurna.Ikterus dapat diperberat
oleh polisetemia, memar hemolisis dan infeksi karena hiperbilirubin dapat
menyebabkan kern ikterus maka warna kulit bayi harus seringdicatat dan bilirubin
diperiksa, bila ikterus muncul dini atau lebih cepat bertambah coklat (Widiawati,
2017). Jadi dapat disimpulkan bahwa berat badan lahir < 2.500 gram dapat
mengakibatkan berbagai kelainan diantaranya ikterus neonatorum.
6. Hubungan antara Usia Kehamilan dengan Kejadian Ikterik Neonatorum
Faktor usia kehamilan atau usia gestasi menjadi salah satu faktor resiko kejadian
ikterik neonatorum pada neonatus dari faktor neonatal. Hiprbilirubinemia pada bayi
premature di sebabkan karena belum matangnya fungsi hati bayi untuk memproses
eritrosit. Sisa pemecahan eritrosit ini di sebut bilirubin, dan bilirubin ini yang
menyebabkan kuning pada bayi, dan apabila jumlah bilirubin semakin menumpuk di
tubuh menyebabkan bayi menjadi berwarna kuning. Keadaan ini timbul akibat
akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna ikterus pada sclera dan kulit (Olusanya et
all, 2018). Hasil analisis diketahui bahwa bayi lahir prematur mayoritas mengalami
ikterik neonatorum sedangkan bayi lahir tidak prematur mayoritas tidak mengalami
ikterik neonatorum. Peneliti berpendapat bahwa fungsi hati yang immatur pada
neonatus prematur lah yang memperberat risiko mengapa neonatus prematur lebih
sering mengalami hiperbilirubinemia dibandingkan dengan neonatus yang matur.
Hasil analisis ini sesuai dengan pendapat Roselina dkk (2013) dimana
hiperbilirubinemia berkembang selama 5 hari pertama kehidupan bayi, terjadi pada
80% neonatus yang prematur dan 45% sampai 60% pada neonatus yang matur. Hal ini
pun sejalan dengan kondisi fisiologis organ hati pada neonatus yang rentan mengalami
hiperbilirubinemia. Kondisi ini disebabkan oleh organ hati neonatus yang memiliki
kandungan hepatosit 20% lebih sedikit dari organ hati dewasa, juga berkurangnya
enzim glukoronil transferase yang berperan pada peristiwa pembentukan bilirubin tak
terkonjugasi menjadi bilirubin terkonjugasi yang mengakibatkan masih tingginya
kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam darah.
Hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa ada hubungan antara usia
kehamilan dengan kejadian ikterik neonatorum di ruang perinatologi RSU PKU
Muhammadiyah Delanggu dengan nilai 2 = 14,339 > 2 tabel (3,84) dan nilai
signifikansi (p value) sebesar 0,000 < 0,05. Hasil analisis multivariat diketahui bahwa
usia kehamilan mempunyai nilai OR= 17,868 95% CI 1,652-193,245, artinya bayi
lahir prematur mempunyai resiko 17,868 kali mengalami ikterus neonatorum
dibandingkan dengan bayi lahir dalam kondisi tidak prematur. Seringkali prematuritas
berhubungan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada neonatus. Aktifitas
uridine difosfat glukoronil transferase hepatik jelas menurun pada bayi prematur,
sehingga konjugasi bilirubin tak terkonjugasi menurun. Selain itu juga terjadi
peningkatan hemolisis karena umur sel darah merah yang pendek pada bayi prematur.
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Tazami dkk (2013), Haryanti (2017), Yuliawati dan Astutik (2018) dimana usia
kehamilan berhubungan dengan kejadian ikterus neonatorum. Hal ini mendukung hasil
penelitian bahwa usia kehamilan mengarah pada terjadinya ikterus neonatorum pada
bayi.
7. Hubungan antara Trauma Lahir dengan Kejadian Ikterik Neonatorum
Faktor trauma lahir juga merupakan salah satu faktor resiko terjadinya ikterik
neonatorum dari faktor neonatal. Trauma lahir adalah suatu tanda yang timbul akibat
proses persalinann Trauma lahir yang sering terjadi pada umumnya tidak memerlukan
tindakan khusus. Hanya beberapa jenis kasus yang memerlukan tindakan lebih lanjut.
Sefalhematom merupakan perdarahan di bawah lapisan tulang tengkorak terluar akibat
benturan kepala bayi dengan panggul ibu. Paling umum terlihat pada sisi samping
kepala, tetapi kadang dapat terjadi pada bagian belakang kepala. Pada trauma lahir
sangat mungkin terjadi perdarahan tertutup sehingga terjadi hemolisis yang berlebihan
sehingga mengakibatkan peningkatan kadar bilirubin (Mojtahedi et all, 2018). Hasil
analisis diketahui bahwa bayi lahir dengan ada trauma antara mengalami ikterik
neonatorum dan tidak mengalami ikterik neonatorum sama besar begitu juga dengan
bayi yang tidak ada taruma antara yang mengalami ikterik neonatorum dan tidak
mengalami ikterik neonatorum sama besar.
Hal tersebut yang membuat penelitian ini tidak ada hubungan antara trauma lahir
dengan kejadian ikterik neonatorum di RSU PKU Muhammadiyah Delanggu. Hasil
analisis statistik Chi Square diperoleh nilai 2 = 0,000 < 2 tabel (3,84) dan nilai
signifikansi (p value) sebesar 1,000 > 0,05. Hal ini mungkin disebabkan dari 70
responden hanya 2 bayi yang mengalami trauma dan hanya satu yang mengalami
ikterik neonatorum dan satu lainnya tidak mengalami ikterik neonatorum. Meskipun
demikian hasil analisis diperoleh nilai OR= 1,000 95% CI 0,060 – 16,648, artinya bayi
lahir dengan trauma mempunyai resiko 1,000 kali mengalami ikterus neonatorum
dibandingkan dengan bayi lahir dalam kondisi tidak trauma. Hal ini dapat diartikan
bahwa dalam penelitian ini faktor trauma bukan merupakan faktor resiko terjadinya
ikterik neonatorum. Hal tersebut dikarenakan ikterik pada kelompok neonatus tanpa
komplikasi kemungkinan besar disebabkan oleh faktor risiko lain. Riwayat persalinan
ibu dapat merupakan faktor resiko terjadinya trauma lahir, disamping penolongnya
sendiri, pada penelitian menemukan jenis persalinan sectio caesarea dengan presentasi
terbesar disusul dengan ekstraksi vakum/ forcep, eksrasi vacum/ forcep mempunyai
kecenderungan terjadinya perdarahan tertutup di kepala (trauma persalinan) seperti
caput succadeneum dan cephalhematoma, yang merupakan faktor resiko terjadinya
ikterik neonatorum. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Choiriyah dkk
(2016) dimana trauma lahir tidak berhubungan dengan kejadian ikterik neonatorum.
8. Hubungan antara Infeksi/Sepsis dengan Kejadian Ikterik Neonatorum
Faktor infeksi/sepsis juga merupakan salah satu faktor terjadinya ikterik
neonatorum dari faktor neonatal. Sepsis yang terjadi pada neonatorum pada umumnya
disebabkan oleh bakteri, jamur, dan virus yang dapat terjadi karena berbagai faktor
seperti ketuban pecah dini, demam pada ibu saat persalinan, dan kurang masa
kehamilan yang dapat mengakibatkan bayi mengalami asfiksia perinatal, berat bayi
lahir rendah, kelainan bawaan, prosedur invasif yang mengarah menjadi sepsis.
Bakteri yang menyebabkan sepsis tersebut dapat menyerang hepar yang dapat
menyumbat saluran hepar dan menyebabkan kolestasis. Tahap akhir produk bilirubin
dikeluarkan menjadi sterkobilin melalui feses dan urobilin/urobilinogen lewat ginjal
dalam urin. Infeksi yang dapat menimbulkan terjadinya kelainan kongenital ialah
infeksi yang terjadi pada periode atau pada masa organogenesis yakni dalam trimester
pertama kehamilan. Adanya infeksi tertentu dalam periode organogenesis ini dapat
menimbulkan gangguan dalam pertumbuhan suatu organ tubuh. Infeksi pada trimester
pertama di samping dapat menimbulkan kelainan kongenital juga dapat pula
meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus. Beberapa infeksi lain pada trimester
pertama yang dapat menimbulkan kelainan kongenital antara lain ialah infeksi virus
sitomegalovirus, rubella, infeksi toksoplasmasis, kelainankelainan kongenital yang
mungkin dijumpai ialah adanya gangguan pertumbuhan pada sistem saraf pusat seperti
hidrosefalus, mikrosefalus, atau mikroftalmia serta gangguan pada organ hati yaitu
vena porta intrahepatik atau ekstrahepatik (Rohani dan Wahyuni, 2018). Hasil analisis
diketahui bahwa bayi lahir dengan infeksi seluruhnya mengalami ikterik neonatorum
dan bayi lahir tidak mengalami infeksi mayoritas tidak mengalami ikterik neonatorum.
Hal ini dapat dikatakan terjadinya infeksi/sepsis pada neonatus mampu memicu
terjadinya ikterik neonatorum.
Hasil analisis statistik Chi Square diperoleh nilai 2 = 1,014 < 2 tabel (3,84) dan
nilai signifikansi (p value) sebesar 0,314 > 0,05. Sehingga dapat diartikan Ha ditolak
dan Ho diterima artinya tidak ada hubungan antara infeksi/sepsi dengan kejadian
ikterik neonatorum. Hal ini mungkin disebabkan dari 70 responden hanya 1 bayi yang
mengalami infeksi/sepsis dan mengalami ikterik neonatorum. Meskipun demikian
hasil analisis diperoleh nilai OR= 2,095 95% CI 1,597 – 2,578, artinya bayi lahir
dengan infeksi/sepsis mempunyai resiko 2,095 kali mengalami ikterus neonatorum
dibandingkan dengan bayi lahir tidak mengalami infeksi/sepsis. Hal ini dapat diartikan
bahwa dalam penelitian ini faktor infeksi/sepsis bukan merupakan faktor resiko
terjadinya ikterik neonatorum. Hal tersebut dikarenakan ikterik pada kelompok
neonatus tanpa komplikasi kemungkinan besar disebabkan oleh faktor risiko lain.

B. Keterbatasan Penelitian
1. Penelitian ini hanya menganalisis satu faktor maternal sebagai faktor resiko terjadinya
ikterik neonatorum yaitu jenis persalinan dan hanya menganalisis faktor jenis kelamin,
asfixia, usia kehamilan, BBLR, trauma, infeksi/sepsis sebagai faktor neonatal.
2. Penelitian ini terbatas pada subyek penelitian dari satu rumah sakit saja.
3. Tidak seluruh faktor mampu berhubungan dengan kejadian ikterik neonatorum
sehingga apabila menambahkan faktor-faktor lain secara teoritis yang mampu menjadi
risiko terhadap kejadian ikterik neonatorum maka besaran risiko yang diperoleh pada
penelitian ini dapat berubah.

Вам также может понравиться